Cerita ini menceritakan tentang Xi Luhan yang trauma dengan hujan setelah kecelakaan yang menewaskan kekasihnya, Park Chorong. Luhan mengalami mimpi bertemu kembali dengan Chorong di sebuah rumah makan panekuk. Chorong menjelaskan bahwa dia mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan Luhan. Setelah berpisah, Luhan sadar dari komanya dan mulai menerima takdir.
1. RAIN SOUND
by dorkieskid
.
[EXO’s Luhan as Xi Luhan – Apink’s Chorong as Park Chorong ]
[ Romance, Tragedy, slight!Fluff—PG-13—FICLET ]
—
Summary : Xi Luhan menjadi takut terhadap hujan setiap dia mengingat kenangan buruknya.
Ketakutan yang diamalinya itu membuatnya melakukan hal berbahaya. Tetapi, aksinya itu berbuah
sebuah sukacita di awal dan perpisahan di akhir. Semua yang telah pergi akan pergi semakin jauh.
-—-
Aku terdiam di bawah pohon ini. Menggigil ketakutan, menggigil kedinginan. Rasanya tadi
tempat ini terasa teduh, namun semua berubah sejak aku mengingat kembali kenangan itu.
Tetesan air hujan yang tadinya terasa membelai lembut membasahi wajahku, kini berubah
menjadi tusukan hingga lapisan kulit terdalam seiring semakin derasnya hujan. Hanya kaos
berlengan pendek dan celana jeans yang melindungi tubuhku.
Aku bisa saja berlari menembus hujan ini, tetapi bunyi rintikan hujan yang deras membuatku
membeku di tempat. Hingga sepasang kekasih—hanya firasat—melintas di depanku. Mereka
menggunakan satu payung bersama. Tanpa menghiraukan derasnya hujan yang tengah mengguyur,
mereka berjalan dengan santai. Mereka bahkan bisa tertawa; entah apa yang mereka tertawakan.
Tanpa pikir panjang; secara refleks, aku mengikuti setiap langkah mereka. Sakit yang
kurasakan akibat tusukan air hujan tadi pun perlahan memudar. Lebih tepatnya, aku melupakan rasa
sakit itu. Sepasang kekasih itu mengingatkanku pada kejadian beberapa bulan yang lalu. Itu bukanlah
kenangan yang baik untuk diingat dalam situasi seperti ini.
"Senior, apa kau mau makan sesuatu yang hangat?" tanya si perempuan kepada si lelaki.
"Berhenti memanggilku 'senior'," si lelaki itu mendengus. "Baiklah, bagaimana kalau panekuk? Di
sekitar sini ada rumah makan panekuk yang terkenal. Aku yang akan traktir, karena kau
meminjamkan payungmu hari ini."
Si wanita itu mengangguk. Sebuah senyuman merekah di wajah si lelaki. Dia merengkuh
bahu si perempuan agar semakin rapat ke dekatnya—untuk menghindari air hujan.
Mereka masih saja berjalan dengan santai, padahal hujan semakin deras. Hingga mereka
sampai di penyebrangan jalan; saat itu lampu penyebrangan jalan menunjukkan warna merah.
"Sebentar. Tali sepatuku terlepas." si perempuan itu berjongkok untuk mengencangkan tali
sepatunya.
2. "Cepat! Hujan sudah semakin deras!" seru si lelaki. Si lelaki itu mencoba meraih tangan si
perempuan, namun luput. Si lelaki itu segera berlari ke seberang jalan. Saat itu, sebuah sepeda
motor berkecepatan tinggi menerobos lampu merah.
"Xi Luhan!" pekik si perempuan. Si perempuan itu berlari ke arah si lelaki dan mendorongnya
menjauh sesegera mungkin.
BRAK!
Beberapa saat berlalu, si lelaki membuka matanya dan melihat darah ada di tangannya.
Bukan. Bukan. Itu bukan darahnya. Lalu dia mengalihkan pandangannya hingga bertemu sepasang
mata yang sedang menatapnya sendu.
Sepasang mata itu milik si perempuan. Si perempuan itu tergeletak tak jauh dari si lelaki.
“Xi Luhan, kau bodoh. Xi Luhan. Xi Luhan.” lirih suara si perempuan. Dia terus saja menyeru lirih 'Xi
Luhan'.
Si perempuan itu menutup matanya. Dia masih hidup. Dia masih bernapas. Namun, itu
adalah nafas terakhirnya. Nafas terakhir yang dia gunakan untuk mengatakan sebuah kalimat yang
tidak bisa didengar. Lalu, nafasnya berhenti. Detakan jantungnya berhenti.
Aku terduduk di sisi penyebrangan jalan. Aku menemani si si lelaki menangis. Tidak. Aku
tidak menemani. Aku hanya mengulangi tangisan yang pernah aku lakukan.
Perlahan, aku merasakan kembali rasa sakit tusukan air hujan. Kali ini di selingi dengan suara
lirih si perempuan itu bisa kusebut sebagai suara Chorong.
Aku mencoba berdiri. Aku berjalan ke tengah jalan. Aku tidak mempedulikan lampu
penyeberangan jalan yang tengah berwarna merah. Tatapanku kosong.
Lalu, dalam sekejap tubuhku rasanya remuk. Rasa itu hanya terasa sekejap. Setelah itu,
tubuhku justru mati rasa. Samar-samar aku mendengar suara orang berkerumun dan suara sirine
ambulan.
Aku merasa sangat mengantuk. Sangat mengantuk. Lalu mataku terpejam begitu saja.
.
.
Apakah seperti ini rasanya mati ?
.
.
3. Aku mencoba membuka mataku. Aku terheran. Di sekelilingku hanya ada warna putih.
Tetapi, aku masih bisa samar-samar melihat setting tempat ini.
"Luhan, apa yang kau lakukan di sini?" tanya sesosok wanita yang berpakaian ala pelayan restoran.
“Chorong?” Aku tidak begitu percaya dengan apa yang kulihat sekarang.
Chorong segera duduk di hadapanku. Aku masih samar-samar mendiskripsikan tempat ini.
Tetapi, aku yakin bahwa tempat ini memanglah tempat 'itu'.
"Chorong. Mungkinkah ini? Mungkinkah ini rumah makan panekuk yang akan kita tuju waktu itu?"
tanyaku pada Chorong. Chorong mengangguk.
"Apa kau tidak merindukan aku?" tanya Chorong tiba-tiba. Aku terkekeh.
"Aku sakit setiap mengingatmu…" Belum sampai aku menyelesaikan kalimatku, dia sudah berdiri dari
tempatnya lalu menempelkan tangannya di dahiku. Dia menafsirkan kalimatku dengan berbeda.
Aku menyingkirkan tangannya dari dahiku dengan lembut lalu membawa kepalanya
mendekat. Kukecup keningnya; menyalurkan bagaimana aku merindukannya selama ini.
"Baiklah, aku mengerti." ucap Chorong. Wajahnya mulai memerah. Aku pun segera melepaskannya.
"Chorong, bolehkah aku menanyakan satu hal?" ujarku. Chorong hanya berdeham mengiyakan. "Apa
kalimat yang kau ucap terakhir kali sebelum kau…?"
Chorong terdiam sejenak. "Aku mengucapkan, "Jangan pernah mencoba untuk menyusulku.",
begitu." jawabnya polos.
Aku kecewa mendengarnya. Aku kira kalimatnya akan begitu romantis atau menyentuh,
tetapi ternyata hanya seperti itu. Aku menghela nafas.
Kami saling menatap cukup lama. Wajah Chorong mulai merona. Aku pun menyerangnya
dengan senyuman mautku. Dan akhirnya dia berkedip. Aku tertawa atas kemenanganku. Chorong
hanya bisa menundukkan wajahnya yang memerah. Dia diam beberapa saat lalu mulai angkat bicara
lagi.
"Sebenarnya aku mengucapkan, "Aku mencintaimu, Xi Luhan"." ujarnya.
"Aku sudah tahu. Aku juga mencintaimu, gadis bodoh.” ucapku. Aku mengacak rambutnya yang
hitam panjang itu.
"Berhentilah memanggilku dengan sebutan itu." racau Chorong. Dia menyisir rambutnya yang
berantakan menggunakan tangannya sambil mengerucutkan bibirnya.
Aku menghela nafas. "Apakah kita akan hidup bersama mulai sekarang?" tanyaku spontan.
Pertanyaan itu tiba-tiba saja mengganggu pikiranku.
"Sudah, diamlah. Sebentar lagi kau juga akan tahu. Makan saja panekuk dan minum teh hijau di
depanmu itu." jawab Chorong dengan tenang.
4. Aku pun mulai melahap panekuk daun bawang di hadapanku seperti saran Chorong. Sesekali
aku juga menyeruput teh hijau hangat.
Di luar masih hujan begitu deras seperti saat aku mencoba mengakhiri hidupku. Namun
suasananya kali ini terasa lebih damai, karena ada wanita itu yang sekarang di dekatku.
Masih ada satu hal yang mengganjal. Setiap bunyi air hujan yang jatuh, akan menggemakan
isi pikiran Chorong. Ya, kalian tahu. Tempat ini adalah 'milik' Chorong. Pikiran Chorong tak berisi
banyak pertanyaan atau masalah. Sekali dia memikirkan sesuatu, itu tidaklah hal yang termasuk
penting. Bisa aku bilang pikirannya ‘kosong’.
Kami selalu memakan panekuk dan ditemani teh hijau di sini. Setiap makanan itu sudah
habis, makanan itu akan menjadi utuh kembali. Makanan itu tidak pernah ada habisnya.
Mengejutkan kami tidak pernah merasa kenyang.
"Chorong, sampai kapan kau akan bersamaku?" celetukku spontan.
Chorong sedikit tersedak teh hijaunya. "Sampai kau mau meninggalkanku. Sebentar lagi." jawabnya
dengan datar.
"Benarkah? Bagaimana kau tahu ? Aku kira kita akan bersama selalu mulai sekarang?" heranku.
"Tidak. Waktuku hampir habis untuk bisa bersamamu." Chorong menatap kosong cangkir teh di
hadapannya sembari menggosok bibir cangkir. "Kau tahu? Aku bisa saja masih hidup sekarang.
Tetapi, aku memilih untuk mati. Menarik, bukan?"
Aku memukul jidatnya pelan. "Bodoh." Chorong hanya tersenyum.
"Kau ingat saat aku mengencangkan tali sepatuku sebelum kecelakaan itu? Saat itu ada suara
seseorang membisikkan sesuatu kepadaku melalui bunyi rintikan air hujan. Suara itu berkata bahwa
takdir kita mungkin saja akan bertukar. Jadi, aku membuat kesepakatan dengan pemilik suara itu.
Aku ingin agar takdir mengerikanmu ditukar dengan takdirku. Aku juga punya satu permintaan lagi
agar waktu hidupku bisa ditukar dengan kesempatan untuk bertemu denganmu." Chorong terisak di
sela perkataannya. Aku mencoba menenangkannya dengan memegang tangannya. Memberi
kehangatan, memberi ketenangan.
"Dan di sinilah kau dan aku sekarang. Kita berada di tempat dimana aku ingin bertemu denganmu di
masa lalu dan saat ini. Apa kau senang kita bisa bertemu lagi ?" lanjutnya. "Waktuku sudah hampir
habis. Dan saat waktuku habis, kau akan kembali ke dunia nyata."
"Kenangan ini, apa aku akan tetap mengingatnya?" tanyaku.
"Semua tergantung dengan seberapa kau berusaha untuk mengingatnya." jawab Chorong dengan
senyumnya yang khas.
Tanganku semakin erat menggenggam tangannya. Aku rasakan tangannya semakin dingin
dan perlahan memudar.
5. "Ini waktuku, Luhan. Ini juga waktumu." ujar Chorong.
Aku bangkit dari tempat dudukku. Aku berjalan mendekat ke arahnya dan menuntunnya
untuk bangkit dari tempat duduknya. Aku masih menggenggam erat tangannya. Mata kami saling
bertautan. Mencoba menilisik pikiran satu sama lain.
Tak ada lagi yang bisa aku temukan di pikirannya. Di pikirannya terucap hal yang sama
berulang-ulang. Kenyataan bahwa dia sangat mencintaiku. Tak ingin berpisah denganku. Seperti
halnya apa yang kupikirkan dan kuinginkan.
Hujan semakin reda. Kini tinggal gerimis yang terdengar. Rintikan air hujan tak berbunyi
sekeras tadi seiring suara pikiran Chorong yang mulai hilang. Tubuhnya semakin memudar.
Mata Chorong berkaca-kaca, menahan air mata yang tak ingin dia loloskan dari pelupuk
matanya. Aku ingin meluangkan bahuku untuk menjadi sandarannya. Aku menarik Chorong ke dalam
pelukanku. Terakhir kalinya, Chorong menangis di dalam pelukanku.
Chorong menangis dengan keras. Suaranya yang parau dan lirih juga membuatku
mengalirkan air mata.
Aku melepaskan pelukan kami lalu mengecup kening Chorong. Ini adalah salam perpisahan.
"Luhan, ingatlah. Suaraku masih selalu bisa kau dengar saat hujan. Jadi, lupakanlah kenangan
burukmu tentang hujan dan aku. Nikmatilah setiap bunyi air hujan juga tetesannya." ujar Chorong
dengan sosoknya yang terlihat hanya setipis bulu angsa.
Hal terakhir yang kulihat darinya adalah senyumnya yang lebar dan tenang. Sama seperti
Chorong yang selalu aku kenal.
Sosok Chorong menghilang lalu aku terjatuh di lantai dan semua berubah menjadi putih.
* * *
Aku membuka mataku. Aku tahu di mana aku sekarang. Tempat di mana semua ruangan
berwarna putih, udara yang dibuat agar selalu steril, dan bau obat-obatan yang khas. Tempat yang
paling aku benci namun tak jarang aku harus mengunjungi tempat ini.
Keluargaku mulai mengerumuniku. Wajah mereka terlihat penuh suka cita melihatku sadar.
Aku mengembangkan senyum kepada mereka. Rasanya seperti aku terlahir kembali.
.
.
Aku sudah kembali, Park Chorong.
***
Beberapa bulan telah berlalu. Aku sudah kembali menjalani kehidupanku seperti dulu
dengan normal.
6. Sekarang aku sedang berdiri di depan pusara Chorong. Tepatnya, hari ini adalah hari
peringatan kematian Chorong. Aku membawa satu buket bunga liar kesukaannya. Aku memberi
hormat lalu terdiam sesaat. Memutar kembali beberapa kenangan kami. Memutar kembali
kenangan yang sangat berharga bersama Chorong di pertemuan terakhir kami.
"Aku datang, Park Chorong." sapaku. "Aku mengingatnya. Aku mengingat pengalaman 'after-life' itu.
Saat terakhir aku bisa bersamamu. Saat yang indah dan berharga, bukan?" Aku tertawa kecil.
"Aku yakin kau baik-baik saja di sana. Aku mencintaimu, Park Chorong. Maaf aku tak sesering lelaki
lain mengucapkan kalimat ini untuk kekasihnya. Tetapi kau pasti tahu kalau aku selalu mencintaimu,
bukan?” ucapku.
Saat itu, hujan mulai turun. Aku tersenyum.
—END—
7. Sekarang aku sedang berdiri di depan pusara Chorong. Tepatnya, hari ini adalah hari
peringatan kematian Chorong. Aku membawa satu buket bunga liar kesukaannya. Aku memberi
hormat lalu terdiam sesaat. Memutar kembali beberapa kenangan kami. Memutar kembali
kenangan yang sangat berharga bersama Chorong di pertemuan terakhir kami.
"Aku datang, Park Chorong." sapaku. "Aku mengingatnya. Aku mengingat pengalaman 'after-life' itu.
Saat terakhir aku bisa bersamamu. Saat yang indah dan berharga, bukan?" Aku tertawa kecil.
"Aku yakin kau baik-baik saja di sana. Aku mencintaimu, Park Chorong. Maaf aku tak sesering lelaki
lain mengucapkan kalimat ini untuk kekasihnya. Tetapi kau pasti tahu kalau aku selalu mencintaimu,
bukan?” ucapku.
Saat itu, hujan mulai turun. Aku tersenyum.
—END—