Teks tersebut membahas tentang istri yang bersikap nusyuz atau tidak taat kepada suami, dan tanggapan kaum feminis terhadap ayat Al-Quran yang dianggap mendukung kekerasan terhadap perempuan. Tulisan tersebut menjelaskan bahwa istri akan bersikap nusyuz jika suami tidak memiliki sifat kepemimpinan atau qawwam, dan bahwa pemukulan hanya boleh dilakukan sebagai langkah terakhir set
1. SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com68
Yuk, Suami
dan Istri Saling
Menguatkan
usrah
Oleh Abdul Ghofar*
Sabar dan syukur menjadi
kunci kebahagiaan keluarga.
Dengannya keluarga bisa
mengggapai pintu surga
kelak.
S
elama ini Nani merasa sudah
menjadi istri yang banyak
bersabar. Ia dijodohkan oleh
orangtuanya dengan suami
berwajah pas-pasan dan gaji
yang juga pas-pasan. Pokoknya semua
serba tak ideal menurut cita-citanya
semasa gadis dulu.
Suatu ketika, sang suami pulang
tergesa-gesa. Ia membawa uang yang
lumayan banyak sebagai bonus dari
kantornya. Uang tersebut masih utuh.
Hanya disimpan dalam amplop dan
berbungkus plastik hitam. Rupanya
suami Nani harus berkemas kembali,
ada urusan di luar kota yang hendak
diselesaikan. Beberapa hari kemudian,
suaminya pulang dan menanyakan
uang yang diberikan dulu.
“Dik, di mana uang yang ayah titip
kemarin?”
“Uang yang mana?”
“Uang dalam plastik hitam yang
ayah titip sebelum pergi.”
Sontak Nani tersadar. Ia segera
mencari ke setiap sudut rumah.
Usai seharian mencari, ia malah
kian bingung dan penat. Tiba-
tiba ia teringat sesuatu. Ia pernah
membersihkan rumah dan membuang
sampah-sampah dalam plastik.
“Ayah, aku minta maaf. Uang yang
ayah titipkan ikut terbuang ke tempat
sampah.”
Suasana hening sejenak. Suami Nani
memilih diam. Meski tersentak kaget
tapi ternyata ia tidak marah. “Berarti
uang itu belum rezeki keluarga kita,”
ujarnya datar sambil tersenyum.
Sejak itu, jika selama ini Nani
merasa hanya bisa bersabar dengan
kondisi pas-pasan suaminya, kini
ia bersyukur memiliki suami yang
penyayang dan tidak mudah marah.
Nani sadar, ia merasa layak dimarahi
atas keteledoran sikapnya menyimpan
duit. Sebaliknya, suami Nani kini harus
bersabar atas istri yang pelupa dan
teledor. Selama ini ia hanya bersyukur
karena mempunyai istri cantik dan suka
merawat tubuhnya.
Minta yang Sesuai, Bukan
Sempurna
Imam al-Ghazali berkata, sabar itu
separuh keimanan dan setengahnya
lagi adalah syukur. Keimanan seseorang
berbanding lurus dengan ujian
yang Allah Ta’ala berikan. Ujian bisa
berwujud kenikmatan yang sejalan
dengan kemauan, bisa pula berupa
musibah atau hal yang tidak disukai.
Inilah keajaiban orang beriman yang
mesti mampu mengelola dua “kepang
sayap”: bersyukur dan bersabar.
Nabi bersabda, “Sungguh ajaib
urusan orang beriman. Sesungguhnya
pada setiap urusannya, baginya
ada kebaikan dan perkara ini tidak
berlaku melainkan kepada orang
mukmin. Sekiranya dia diberi dengan
sesuatu yang menggembirakan lalu
dia bersyukur maka kebaikan baginya.
Dan sekiranya apabila dia ditimpa
kesusahan lalu dia bersabar maka
kebaikan baginya.” (Riwayat Muslim).
Dalam suatu anekdot, seorang
santri sedang berkonsultasi kepada
sang ustadz. Ia minta dicarikan jodoh
yang ideal menurut sangkaannya:
cantik, kulit putih, postur tinggi,
keturunan orang baik, dan hafizhah 30
juz (penghafal al-Qur’an).
Ustadz itu lalu menjawab,
“Alhamdulillah, ada seorang santri
putri yang persis sama dengan
kriteria idamanmu. Cuma satu saja
kekurangannya.”
“Apa satu kekurangan itu, Ustadz?”
“Eh, tapi jangan tersinggung ya!”
“Tidak Ustadz, insya Allah saya siap
menerima satu kekurangan tersebut.”
“Kekurangannya, santri putri itu
belum mau menerima kamu.”
“Kenapa Ustadz?” santri itu mulai
menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Karena kamu sendiri belum
seideal dia, sebagai penghafal 30 juz.”
Manusia cenderung mengejar
sesuatu yang disenangi dan bersyukur
jika hal itu sesuai dengan keinginannya.
Termasuk dalam perkara mencari calon
2. AGUSTUS 2015/SYAWAL 1436 69
Jendela keluarga
ketika ia beruntai dengan ragam
warna. Ada kalanya sang suami yang
mencintai istrinya dengan sepenuh hati
justru tiba-tiba jengkel dan tak suka
dengan perbuatan istrinya. Ada masa
ketika perbedaan bahkan konflik itu
menyeruak dalam keluarga. Tiba-tiba
something is error dan miss komunikasi
terjadi begitu saja tanpa ada yang
menginginkannya.
Dibanding yang lain, manusia
adalah makhluk Allah yang
paling sempurna. Namun tak seorang
pun yang sempurna perbuatannya,
kecuali Rasulullah yang telah
dijaga oleh Allah dari perbuatan dosa.
Kekurangan yang ada bukan untuk
dikeluhkan atau sebagai alasan tak mau
bersyukur kepada Allah. Ia adalah lahan
untuk menyempurnakan keimanan
dengan kesabaran. Sebab, terkadang
kekurangan itu bersifat bawaan
yang tak mudah mengubah atau
menghilangkannya.
Sabar dan syukur adalah sekepang
sayap yang memberi energi keteguhan,
optimisme dan keyakinan dalam
menghadapi berbagai persoalan hidup.
Keduanya menjadi kunci kebahagiaan
keluarga. Dengannya keluarga tersebut
bisa menggapai pintu surga kelak.
Sebaliknya, tanpa dua sayap tersebut,
keluarga itu hanya mampu mengeluh
dan mengeluh. Mereka merasa seolah
hidup ini hanya untuk mengeluh saja.
Ketua Lembaga Pendidikan dan
Pengkaderan Hidayatullah Balikpapan
suami atau istri. Selalu berharap yang
ideal terhadap pasangan hidupnya.
Bagi seorang Muslim, membangun
keluarga bermula dari doa dan harapan
terhadap jodoh yang diinginkan.
Sebenarnya, harapan di atas
terbilang wajar. Namun, itu belum
tentu ada atau mungkin tersedia tapi
tidak sesuai dengan kondisi kita sendiri.
Untuk itu, seorang Muslim harus selalu
membenahi diri, dan tidak melulu
menuntut hal yang sempurna dari
pasangan sedangkan dirinya luput dari
usaha menjadi sosok yang sempurna.
Sejatinya, pasangan yang ideal
adalah pasangan yang mampu
mensyukuri kelebihan pasangannya
dan sanggup menyabari kekurangan
pasangannya. Sebab, dua insan
bisa berpasangan ketika ada
simbiosis mutualisme atau saling
menguntungkan, kerja sama,
melengkapi dan memahami. Sehingga
ada harmonisasi dalam menjalin
hubungan dalam rumah tangga.
Sekepang Sayap
Ibarat seekor burung yang terbang
ke angkasa dengan nyaman dan indah,
karena dua sayapnya yang saling
menguatkan dan harmonis antara
sayap kanan dan kiri. Meski diterpa
angin kencang burung itu bisa bertahan
dengan kedua sayapnya yang kokoh.
Pun demikian bagi orang beriman,
sepatutnya “dua sayap”; sabar dan
syukur itu difungsikan secara maksimal
dalam mengarungi kehidupan di dunia,
khususnya di dalam sebuah keluarga.
Keseimbangan sayap burung di
atas menjadi pelajaran jalinan kerja
sama yang harmonis antara suami dan
istri. Pasangan suami atau istri bukan
malaikat atau bidadari yang sempurna
dan tidak memiliki cacat. Suami dan
istri adalah sepasang manusia biasa
yang masing-masing memiliki segudang
kelebihan dan kekurangan. Setali tiga
uang dengan kehidupan di dunia, ia
selalu menyisakan masalah dan ujian
yang tiada habisnya. Sebagaimana tak
ada keinginan yang langsung terkabul
semuanya. Sebab, kita semua masih di
dunia yang sarat dengan mujahadah
dan perjuangan.
Laksana pelangi yang indah,
kehidupan keluarga justru indah
foto:MUHABDUSSYAKUR/suarahidayatullah
Suami dan istri
adalah sepasang
manusia biasa
yang masing-
masing memiliki
segudang
kelebihan dan
kekurangan.
3. SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com70
Menjawab Gugatan
Kaum Feminis Soal
Nusyuz
mar’ah
Adanya istri yang nusyuz, karena
para suami tidak mempunyai
sifat qawwam (kepemimpinan).
A
n-Nisa, salah satu surat yang sering
digugat oleh kaum feminis. Lebih
spesifik lagi, mereka menggugat
salah satu ayat dalam surat ini, yaitu
ayat 34 (selain ayat tentang waris). Ayat ini,
kata mereka, mendukung kekerasan terhadap
perempuan, terutama pada ‘wadhribuu hunna’
(dan pukullah mereka) pada baris keempat.
Ibnu Katsir memaparkan dalam tafsirnya,
nusyuz dalam surat an-Nisa artinya tinggi
diri; wanita yang nusyuz, ialah wanita yang
bersikap sombong terhadap suaminya, tidak
mau melakukan perintah suaminya, berpaling
darinya, dan membenci suaminya.
Pada ayat 34 sebelum kata wadhribuu
hunna, Allah telah menyuruh para suami untuk
memperlakukan istrinya yang nusyuz dengan
menasihatinya secara baik-baik terlebih dulu,
“Kita harus utamakan nasihat,” jelas dosen
Fahmu Nusus Qur`an dan Sunnah Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Dr Abdul Kholiq
Hasan El-Qudsy yang merupakan alumni Islamic
Science University, Sudan, belum lama ini.
Kemudian, apa indikasi dari nusyuz tersebut?
Yaitu adanya ketidaktaatan atau meninggalkan
kewajiban sebagai istri. Menurut Hasan, adanya
istri yang nusyuz karena para suami tidak
mempunyai sifat qawwam (kepemimpinan),
“Jika laki-laki punya sifat qawwam, tidak ada
perempuan yang nusyuz,” terangnya lagi. Sifat
qawwam di sini dalam Miitsaq al-Usroh (Piagam
atau Tatanan Keluarga) yang ditulis oleh para
ulama di Timur Tengah dan Afrika, salah satunya
foto:MUHABDUSSYAKUR/suarahidayatullah
Oleh Sarah Larasati Mantovani*
4. AGUSTUS 2015/SYAWAL 1436 71
Jendela keluarga
memukul istrinya bagaikan unta,
yaitu dia memukulnya pada pagi hari,
tetapi kemudian pada malam harinya
mencampurinya.”
Apabila tujuan telah tercapai, tiga
tindakan tersebut harus dihentikan.
Karena tujuan yang berupa ketaatan
inilah yang memang diinginkan,
yaitu ketaatan yang positif, bukan
ketaatan karena tekanan. Karena
ketaatan semacam ini tidak layak
untuk membangun institusi rumah
tangga yang merupakan basis jamaah
masyarakat. Sayyid Quthb menafsirkan,
melakukan tiga tindakan tersebut
setelah terwujudnya ketaatan istri
kepada suami adalah perbuatan aniaya
dan melampaui batas, seperti mencari-
mencari cara untuk menyusahkan istri.
Harus Ada Pemimpin
Mengenai otoritas pemimpin
sendiri pun ada ketentuannya, yaitu
tidak merendahkan, tidak menzalimi,
dan tidak menyalahgunakan. Lebih
lanjut lagi dalam Miitsaq al-Usroh,
“Seorang laki-laki adalah pemimpin
dalam keluarga, karena keluarga
merupakan unit sosial (gambaran
kecil sebuah masyarakat) yang terdiri
dari beberapa orang. Maka harus
ada kepemimpinan agar keluarga
tidak rusak dan hancur. Seorang
laki-laki layak untuk bertanggung
jawab terhadap berbagai permasala
hannya karena fitrahnya, tabiat tubuh
dan jiwanya. Bukan kepemimpinan
yang menaklukan atau monopoli dan
pelampiasan, tapi ia adalah tanggung
jawab dan beban dalam memelihara
keluarga dan menjaganya.”
Sehingga laki-laki atau suami
yang saleh jika mendapati bidadari
dunianya berbuat ketaatan dan
dapat menyejukkan dirinya, ia akan
bersyukur. Namun jika ia mendapati
istrinya tidak melakukan ketaatan,
ia tidak akan berbuat zalim apalagi
sampai melakukan kekerasan yang
sesungguhnya sangat dilarang dalam
Islam. Peneliti Aliansi Cinta Keluarga
(AILA) Indonesia
bukanlah untuk meyakiti, menyiksa
apalagi memuaskan diri. Juga tidak
boleh dilakukan dengan keras dan
kasar. Pemukulan yang dilakukan
haruslah dalam rangka mendidik,
yang harus disertai dengan rasa kasih
sayang seorang pendidik, sebagaimana
yang dilakukan seorang ayah terhadap
anak-anaknya dan yang dilakukan guru
terhadap muridnya. Semua tindakan ini
juga tidak boleh dilakukan jika kedua
pasangan berada dalam kondisi rumah
tangga yang harmonis.
Begitu pun Ibnu Katsir dalam
tafsirnya, para suami boleh memukul
istri dengan pukulan yang tidak
melukai. Sebagaimana disebutkan di
dalam Kitab Shahih Muslim, Nabi
bersabda saat haji wada.
“Bertakwalah kepada Allah dalam
urusan wanita, karena sesungguhnya
mereka di sisi kalian merupakan
penolong, dan bagi kalian ada hak atas
diri mereka, yaitu mereka tidak boleh
mempersilakan seseorang yang tidak
kalian sukai menginjak hamparan
kalian. Dan jika mereka melakukannya,
maka pukullah mereka dengan pukulan
yang tidak melukakan, dan bagi mereka
ada hak mendapat rezeki (nafkah) dan
pakaiannya dengan cara yang makruf.”
Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah
meriwayatkan bahwa Rasulullah
bersabda, “Janganlah kamu memukul
hamba-hamba wanita Allah.” Lalu
datanglah Umar kepada Rasulullah
seraya berkata, “Kaum wanita
sudah berani menentang suaminya.”
Rasulullah kemudian memberikan
izin untuk memukul mereka. Setelah
itu, banyak wanita yang mengelilingi
keluarga Rasulullah dengan
mengeluhkan tindakan suami mereka.
Kemudian Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya keluarga Muhammad
telah dikelilingi oleh kaum wanita yang
banyak, yang mengeluhkan tindakan
suami mereka.” Maka, mereka (suami-
suami semacam itu) bukanlah orang-
orang yang baik di antara kamu.”
Rasulullah juga bersabda,
“Janganlah seseorang di antara kamu
Syaikh Yusuf Qaradhawi, menyebutkan
empat unsur sifat kepemimpinan,
yaitu syura (musyawarah), perawatan,
perlindungan, dan nafkah.
Ada Tiga Tahapan
Memberi nasihat kepada istri,
terang Sayyid Quthb dalam tafsirnya
Fii Zhilalil Qur`an merupakan tindakan
pertama yang harus dilakukan oleh
pemimpin dan kepala rumah tangga.
Nasihat adalah bagian dari pendidikan,
yang memang senantiasa dituntut
kepada suami dalam semua hal. Tetapi
dalam kondisi khusus ini, ia harus
memberikan pengarahan tertentu
untuk sasaran tertentu pula, yaitu
mengobati gejala-gejala nusyuz sebelum
menjadi genting dan berakibat fatal.
Namun jika nasihat yang diberikan
tidak mempan juga, maka dalam
kondisi seperti ini ditangani dengan
tindakan kedua dengan memisahkan
tempat tidur mereka. Menurut Sayyid
Quthb, ada syarat-syarat tertentu yang
harus dipenuhi suami apabila ingin
memisahkan tempat tidur istrinya.
Pertama, pemisahan tidak dilakukan
secara terang-terangan di luar tempat
pasangan suami-istri tersebut biasa
berduaan.
Kedua, tidak melakukan pemisahan
di depan anak-anak karena akan
menimbulkan dampak negatif bagi
mereka. Ketiga, tidak melakukan
pemisahan dengan pindah ke orang
lain, menghinakan istri atau menjelek-
jelekkan kehormatannya dan harga diri
nya karena yang seperti itu akan me
nambah konflik. Tujuan dari pemisahan
tempat tidur ialah untuk mengobati
nusyuz, bukan untuk merendahkan istri
dan merusak anak-anak.
Jika tindakan kedua ini tidak ber
hasil juga, masih ada tindakan terakhir
yang sering disalahpahami maksudnya.
Tindakan terakhir ini, terang Sayyid
Quthb, walaupun lebih keras tapi lebih
kecil dampaknya dibandingkan dengan
kehancuran institusi rumah tangga
yang disebabkan oleh nusyuz.
Pemukulan yang dilakukan
5. AGUSTUS 2015/SYAWAL 1436 67
Jendela
Keluarga
celah
kepercayaan diri anak, juga membangun keterampilan
sosialnya.
Apa yang perlu dilakukan jika akan kedatangan
tamu? Jika tamunya sudah memberi tahu, penting mem
beri informasi pada anak bahwa akan kedatangan tamu.
Akan lebih baik lagi jika kita dapat memberi gambaran
tentang sosok tamu yang akan datang. Jika kita mampu
memancing rasa ingin tahu anak maka anak bukan saja
lebih siap namun juga lebih bersemangat menghadapi
tamu.
Sampaikan pada anak jika tamu datang maka ia akan
diperkenalkan, lalu ibu atau ayah akan memerlukan wak
tu untuk berbicara dengan tamu. Jika perlu sesuatu bisa
menunggu atau berbicara baik-baik.
Menarik apa yang diceritakan Anas yang mendam
pingi Rasulullah sejak ia berusia sepuluh tahun. Dari
Anas, “Rasulullah mengunjungi sahabat-sahabat Anshar,
mengucapkan salam kepada anak-anak mereka dan
mengusap-usap kepala mereka.”
Rasulullah mencontohkan saat bertamu seha
rusnya anak mendapatkan perhatian dan sentuhan ter
lebih dahulu. Dengan demikian anak merasa bahwa diri
nya juga orang yang penting dan layak dihormati. Jika
anak merasakan pengalaman berkesan saat kedatangan
tamu, maka perilaku mereka akan baik selama ke
da
tangan tamu. Penulis buku serial catatan parenting
Mendidik Karakter dengan Karakter
foto:MUHABDUSSYAKUR/suarahidayatullah
“Bu,kenapa ya anak saya kalau sedang
ada tamu suka berulah. Yang biasa
nya tidak naik-naik, tiba-tiba sudah
menggelantung di teralis jendela. Mereka bolak-balik
ambil kue buat tamu. Kadang minuman buat tamu di
minumnya. Atau mereka merengek meminta uang jajan.
Semakin dilarang semakin menjadi-jadi. Mengapa demi
kian ya? Saya suka bingung dan rasanya malu sekali pada
tamu.”
Pertanyaan seperti itu seringkali muncul dari para
ibu. Lebih berbahaya lagi jika orangtua berkata pada
tamunya, “Aduh maaf Bu, anak saya ini kalau ada tamu
memang suka berperilaku aneh, tidak seperti biasanya.”
Keluhan semacam ini jika disampaikan di depan anak
akan semakin membuat anak menjadi-jadi dan me
nganggap bahwa apa yang dilakukannya sebagai hal yang
wajar dan biasa.
Ada beberapa penyebab mengapa anak melakukan
aksinya saat ada tamu. Pertama, ia merasa diabaikan
sehingga ia mencari-cari perhatian. Ia tidak suka melihat
orangtuanya terlalu asik dengan orang lain, apalagi jika
tamu menyita waktu lama.
Kedua, ketika ditanyakan apakah sikap ibu pada anak
di depan tamu atau di belakang tamu sama? Ternyata
umumnya berbeda. Alasan orangtua kalau di depan
tamu biasanya malu bersikap tegas, takut dibilang ayah
atau ibu yang pemarah, tidak bersikap lembut pada
anak. Perbedaan sikap orangtua itulah sumbernya. Anak
adalah peneliti yang handal, ia sangat jeli. Ia memahami
perbedaan sikap orangtuanya. Ia tahu setiap ada tamu
maka ayah dan ibunya menjadi orangtua yang manis,
dan tak berdaya. Jangan sekali-kali menyuap anak untuk
berperilaku baik saat kedatangan tamu, hal ini akan jadi
pola. Setiap ada tamu anak akan menuntut imbalan.
Kehadiran tamu adalah hal positif bagi sebuah ke
luarga. Anak belajar berkenalan dengan orang lain se
lain anggota keluarganya. Iapun belajar mengenai adab
menerima tamu. Kehadiran tamu merupakan kesempa
tan emas untuk meningkatkan ikatan emosional orang
tua dengan anak, membangun konsep diri positif, dan
Ketika Ada Tamu
Oleh Ida S. Widayanti*
6. SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com72
Maka mereka mengingkari Rasulullah
Muhammad meskipun mereka
tahu betul dan sangat yakin dengan
tanda-tanda kenabian yang ada pada
diri Muhammad . Mereka yakin, tapi
tidak beriman.
Salah satu aspek penting iman
adalah kesediaan untuk mengakui,
menerima dan berserah diri kepada
Allah Ta’ala yang dinyatakan secara
lisan. Meyakini kebaikan Islam tanpa
bersedia mengucapkan kalimat syaha
datain, maka keyakinan tersebut tidak
ada nilainya di hadapan Allah Ta’ala.
Aspek lainnya adalah mengikatkan diri
dengan Islam dan memiliki komitmen
kepadanya. Ini membawa konsekuensi
bahwa kita dituntut untuk memiliki
komitmen (iltizam) kepada al-Qur`an
dan as-Sunnah.
Apakah mungkin seseorang
memahami Islam tapi tidak
mengimaninya? Bukan hanya mungkin,
tapi bahkan telah banyak contohnya.
Kita pun mengingat sabda Rasulullah
dengan derajat hasan, “Kebanyakan
orang munafik dari umatku adalah
qurra’uha (penghafal al-Qur`an).”
(Riwayat Ahmad).
Siapakah yang dimaksud dengan
para penghafal al-Qur`an? Yang
Oleh Mohammad fauzil adhim
kolom parenting
dimaksud ialah orang-orang yang
menghafal tanpa memiliki komitmen
kepada al-Qur`an, tidak mengkaji
kandungannya, tidak menjaga adabnya
sebagai penghafal al-Qur`an dan lebih
parah lagi jika sedari awal niatnya
memang telah salah. Dari sinilah kita
perlu merenungi peringatan Ibnu
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tentang
tanda-tanda zaman fitnah yang
salah satunya adalah “wa katsurat
qurra’ukum wa qallat fuqaha’ukum.
Dan banyak penghafal al-Qur`an kalian,
tetapi sedikit fuqaha kalian (orang yang
sangat matang ilmu agamanya).”
Contoh mengenaskan di zaman
kita adalah Dr Salah Rashed, seorang
qurra’ (penghafal al-Qur`an) asal
Kuwait dan pernah menjadi imam di
sana, tetapi sekarang justru tenggelam
dalam berbagai cabang New Age
Movement, suatu gerakan paganisme
baru yang antara lain berpusat di
Esalen, California. Ia hafal al-Qur`an,
tetapi rusak imannya. Ini merupakan
tragedi yang memilukan sekaligus ada
pelajaran besar yang patut kita renungi.
Berkaitan dengan mendidik anak,
pelajaran pentingnya adalah betapa
perlu kita menanamkan iman serta
iltizam kepada al-Qur`an dan as-
A
da sebuah buku
menarik bertajuk
Nurturing Eeman in
Children karya Dr Aisha
Hamdan terbitan IIPH,
Riyadh (2011). Terjemahan bebasnya
kurang-lebih Mendidikkan Iman Pada
Anak-anak. Dr Aisha Hamdan—begitu
penulisannya menurut transliterasi
kita—menggunakan kata iman
dan bukan faith, sebab iman dalam
pemahaman Islam tidak sepenuhnya
terwakili oleh kata faith maupun
belief (keyakinan, kepercayaan). Kita
mengenal kata tsiqah yang berarti
percaya, yaqin yang kita terjemahkan
dengan kata yakin, tetapi keduanya
tidak mencakup kedalaman dan
keluasan makna iman.
Orang-orang Yahudi bukan
hanya percaya, mereka bahkan
sangat yakin dengan apa yang Allah
Ta’ala firmankan. Mereka mengenali
Muhammad sebagai utusan Allah
Ta’ala sebagaimana mereka mengenali
anak kandungnya sendiri, tetapi
mereka mengingkarinya karena tidak
sesuai harapan. Mereka berharap
rasul terakhir dari kalangan mereka
(Bani Israil), tetapi yang diutus Allah
Ta’ala ternyata dari kaum Quraisy.
Karena Iman
Bukan Sekadar
Pengetahuan
7. AGUSTUS 2015/SYAWAL 1436 73
Jendela keluarga
73
Sunnah. Pengetahuan dan hafalan me
mang sangat penting, tetapi jika iman
tidak kita tanamkan dengan sungguh-
sungguh sehingga mendorong anak
untuk belajar mengikatkan diri (or
ganizing values) kepada agama, maka
pengetahuan dan hafalan tersebut
justru menjadi hujjah atas pemiliknya.
Yang dimaksud hujjah atas pemiliknya
ialah, pengetahuan tersebut justru
menjauhkan seseorang dari agama.
Berkenaan dengan al-Qur`an, mari
sejenak kita ingat perkataan Jundub
ibn Abdillah radhiyallahu ‘anhu tatkala
menegur seseorang dari generasi
tabi’in. Kata Jundub ibn Abdillah RA,
“Kami belajar iman sebelum belajar
al-Qur`an, kemudian belajar al-Qur`an
sehingga dengannya bertambahlah
iman kami.”
Berapa banyak madrasah berdiri,
yang baik. Sekadar memperoleh
pembiasaan tanpa meyakini serta
merasa bangga dengan kebiasaan
baik tersebut, justru menjadikan anak
semakin berusaha menjauh.
Lalu apa yang perlu kita lakukan?
Mari kita pegangi sabda Nabi
bahwa sebaik-baik perkataan adalah
kitabullah dan sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Rasulullah . Maka
berkenaan dengan menanamkan
iman ini, mari kita menelusuri kembali
bagaimana Allah Ta’ala menurunkan
ayat-ayat untuk menanamkan iman
serta bagaimana Rasulullah me
nanamkannya di dada para sahabat
radhiyallahu ‘anhum ajma’in.
Gunakan Cara yang Tepat
Sesungguhnya ayat-ayat yang
memegang peranan penting
ke dalam hati jika caranya tepat.
Dan sebaik-baik pelajaran adalah
al-Qur`anul Kariim. Inilah perkataan
yang lebih menumbuhkan keyakinan
dan menggerakkan hati. Jika iman
sudah tertanam maka bertambahnya
pengetahuan tentang iman akan me
nambah kuatnya iman. Tetapi jika iman
tidak ada, bertambahnya ilmu agama
justru menjadi anak dan bahkan orang
dewasa semakin menjauh dari agama.
Bagaimana dengan pendapat
sebagian orang yang mengatakan
perintah dan larangan tidak tepat
bagi anak? Jawaban saya sederhana:
marilah kita tidak menyibukkan
dengan berbagai pendapat yang masih
bersifat asumsi. Kita memegangi apa
yang Allah Ta’ala tuturkan dalam
al-Qur`anul Kariim. Kita mendapati
perintah maupun larangan banyak
memenuhi halaman al-Qur`an. Bahkan
nasihat terbaik yang Allah Ta’ala
abadikan dalam kitabullah pun, yakni
nasihat dari Luqman kepada putranya,
menggunakan larangan yang tegas
maupun perintah.
Kalimat yang bersifat berita hanya
memberikan informasi secara kognitif.
Bukan menghunjamkan keyakinan
dan membangkitkan perasaan, kecuali
bagi orang yang sudah ada iman
atau pun keyakinan dalam dirinya.
Kita perhatikan, kalimat bersifat
berita (narasi) ini ada pada ayat-ayat
Madaniyah. Itu pun diakhiri dengan
pertanyaan retoris maupun peringatan.
Jadi bukan semata naratif.
Pertanyaannya, sudahkah kita
mengakrabi tuntunan al-Qur`an
tentang bagaimana memerintah dan
melarang anak-anak kita? Sudahkah
kita mengambil pelajaran tentang
bagaimana berkomunikasi dengan
anak-anak dan keluarga kita?
Terakhir, yang harus kita tanamkan
pada diri anak sesudah iman adalah
adab. Inilah yang menjadi perhatian
besar Imam Malik rahimahullah ta’ala
maupun para ulama salaf lainnya.
Sesungguhnya iman dan adab itu
mendahului ilmu. Wallahu a’lam bish-
shawab.
tetapi murid-muridnya tidak bangga
kepada Islam dan tidak pula tampak
keyakinan yang kuat pada diri mereka.
Justru sebaliknya, kita mendapati
kenyataan betapa anak-anak itu
bahkan berusaha lari dari kebiasaan
yang ditanamkan oleh gurunya, baik
yang ditanamkan semata-mata karena
memang diharuskan oleh peraturan
sekolah atau karena guru sungguh-
sungguh ingin menanamkan kebiasaan
menanamkan iman adalah ayat-ayat
Makiyah, yakni ayat yang turun pada
periode Makkah. Di antara cirri-ciri
ayat Makiyyah ialah, kalimatnya
ringkas, banyak memuat peringatan
dan menggunakan ungkapan yang
menggugah berupa perintah dan
larangan tegas.
Kalimat yang bersifat imperatif,
baik berupa perintah maupun
larangan, akan lebih menghunjam
8. SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com74 SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com74 SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com74
Diasuh oleh : Ustadz Hamim Thohari
konsultasi keluarga
SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com74
Mengeraskan Zikir
di Masjid Setelah Shalat
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Disebagianmasjid,zikirsetelahshalatwajibadayang
dilakukan secara berjamaah dan dengan mengeraskan
suara, sedangkan di sebagian masjid yang lain dilakukan
sendiri-sendiri dan tidak mengeraskan suara, mana
yang lebih sesuai dengan sunnah? Atas perhatian dan
jawabannya, saya ucapkan terima kasih.
SH
Bogor
Jawab:
Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.
Berdoa dan berzikir sebaiknya dilakukan dengan
khusyuk dan tidak mengganggu orang lain. Cukuplah
berdoa dan berzikir itu dilakukan merendahkan suara,
bukan dengan mengeraskannya. Terdapat banyak dalil,
baik dari al-Qur`an, Hadits, dan qaul para salafus salih
yang menjelaskan hal tersebut. Di antaranya firman
Allah , “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan beren
dah hati dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
(Al-A’raf [7]: 55).
Ayat senada juga terdapat dalam surat yang sama.
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hati dengan
merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak me
ngeraskan suara…” (Al-A’raf [7]: 205).
Pada ayat ini terdapat perintah dan larangan. Allah
memerintahkankitauntukberdoadengantadharru’
(merendahkan diri) dan rasa takut. Sebaliknya, Dia me
larang kita untuk mengeraskan suara ketika berdo dan
ber
zikir.
Lalu bagaimana praktiknya di zaman Rasulullah
? Dalam kaitan ini terdapat sebuah Hadits yang ter
dapat dalam kitab Jawahirul Bukhari. Dari Abu Musa
Al-Asy’ari beliau berkata, “Kami bersama Rasulullah
manakala melihat sebuah lembah di antara dua
gunung, kami membaca tahlil dan takbir dengan
suara yang keras. Nabi bersabda, ‘Wahai sekalian
manusia, rendahkanlah suaramu, karena kamu bu
kan memanggil yang tuli dan bukan pula memanggil
yang ghaib. Sesungguhnya Ia bersama kamu, se
sungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha dekat.”
(Riwayat Imam Bukhari).
Mengomentari Hadits di atas, Imam Syihabuddin
Al-Qasthalani berkata, “Dalam Hadits itu dapat
dipahami berdoa dan berzkir dengan mengeraskan
suara itu hukumnya makruh.”
Meskipun demikian, terdapat juga beberapa
Hadits yang kuat dan shahih yang membolehkan
jamaah untuk menjaharkan zikir dan doanya seusai
melaksanakan shalat wajib.
Dari Ibnu Abbas, berkata, “Sesungguhnya me
ngeraskan suara dikala berzikir seusai melaksanakan
shalat wajib pernah dilakukan pada masa Nabi .”
SelanjutnyaIbnuAbbasberkata,“Akumengetahuinya
dan mendengarnya apabila mereka (para sahabat)
telah selesai shalatnya dan hendak meninggalkan
masjid.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Terhadap Hadits ini, Imam Syafi’i dalam fatwanya
bahwa berzikir dengan suara jahar hukumnya sunnah
jika ada motif mengajarkan kepada makmum. Jika
bukan karena motif tersebut, sunnah dibaca dengan
suara pelan (sirr). Imam Syafi’i menjelaskan dalam
kitab Al-Umm, “Saya memilih imam dan makmum
agar berzikir setelah shalat dan merendahkan sua
ranya, kecuali bagi imam yang hendak mengajarkan
zikir hendaknya mengeraskan suara sehingga ia me
nganggap cukup mengajarkannya. Setelah itu, hen
daknya dibaca secara sirr.”
Dengan demikian, sesekali menjaharkan doa
dan zikir itu boleh, bahkan hukumnya sunnah jika
diniatkan untuk mengajarkan kepada makmum agar
mereka juga tahu materi dan cara berzikir dan ber
doa yang benar. Wallahu a’lam.