Siphilis adalah sebuah infeksi sistemik yang disebabkan oleh treponema pallidum 1 (autosaved)
1. 1
BAB I
PENDAHULUAN
Proses infeksi melibatkan interaksi antara dua organisme, yakni pejamu dan
penyerbu. Perubahan klinis terjadi akibat mekanisme yang terlibat dalam proses ini,
terutama mikroorganisme, virulensinya, dan pertahanan imunitas pasien. Lesi-lesi
yang ditimbulkan sering mempunyai tampilan yang sangat jelas, seperti impetigo atau
tinea cruris, naun perubahan yang terjadi bisa saja kurang spesifik. Sejumlah
gambaran klinis memungkinkan kita untuk mengenali bahwa infeksi merupakan
sebuah penyebab yang mungkin karena kondisi pasien. Infeksi bakteri akut umumnya
menghasilkan sejumlah atau semua ciri khas klasik inflamasi akut. Cardinal signs
pada infeksi berupa eritema, bengkak dan edema, panas atau hangat, nyeri dan
ketidaknyamanan.1
Syphilis telah dikenal sebagai sebuah penyakit yang suka hilang timbul.
Syphilis awal termasuk stadium primer (chancre), penyakit sekunder (lesi mukokutan
2. 2
dan/atau limfadenopati, dengan atau tanpa melibatkan organ), dan kekambuhan klinis
yang terjadi selanjutnya. Penyakit laten (tersembunyi) dibagi menjadi stadium awal
(kurang dari 1 tahun) dan lanjut (1 tahun atau lebih). Penyakit tersier (lanjut) dapat
hadir dengan keterlibatan kutan/kulit, kardiovaskular, atau neurologis (Tabel 1).2
Meski bahaya penularan langsung sangat rendah setelah 5 tahun terjadinya
infeksi, tercatat adanya inokulasi dari gumma. Syphilis latent mengikuti stadium
sekunder dan dapat bertahan seumur hidup dalam bentuk asimptomatis pada sekitar
dua pertiga pasien yang tidak diobati (tidak diobati karena berbagai faktor).
Selebihnya, terjangkit syphilis tersier, yang biasanya bermanifestasi sebagai penyakit
kulit (kutan) (16%), kardiovaskular (9,6%), atau sistem saraf pusat (6,5%) (lihat
Tabel 1). Syphilis merupakan penyebab kematian pada 11 persen pasien di penelitian
yang dilakukan di Oslo. Pada pria Amerika kulit hitam dengan syphilis yang tidak
diobati/terobati, mortalitas tampak lebih tinggi, yang mana penyakit kardiovaskular
ditemukan pada sekitar setengah otopsi dari orang-orang yang berpartisipasi dalam
eksperimen Tuskegee.3
Analisis yang lebih baru menyatakan bahwa 1 dari 25 orang yang tidak
terobati/diobati syphilisnya, menjadi lumpuh, 1 dari 44 menjadi gila, dan 1 dari 200
menjadi buta.3
3. 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Siphilis adalah sebuah infeksi sistemik yang disebabkan oleh Treponema
pallidum (ssp. Pallidum), sebuah spirochete (sebuah bakteri spiral berulir yang
fleksibel terutama yang menyebabkan syphilis) mikroaerofiik yang menginfeksi
manusia dan beberapa jenis primata lainnya. Organisme ini sangat rentan/sulit untuk
tumbuh in vitro, juga sangat agresif sehingga organisme ini menginvasi hampir setiap
organ di tubuh, dan juga begitu evasifnya sehingga dapat mengelak dari sistem imun
pada tubuh yang sehat dan terkadang terhadap dosis tinggi antibiotik. Infeksi yang
terjadi biasanya melalui kontak seksual dengan lesi-lesi yang terinfeksi atau cairan
tubuh, yang lebih jarang, melalui plasenta dari ibu ke jabang bayi. Dan yang lebih
jarang lagi, melalui transfusi darah,suntikan tidak tersengaja tersuntik, atau
penindikan dengan alat yang telah terkontaminasi. Penularan terjadi melalui oral seks
pada sekurangnya 13 % kasus dan pada seperlima hingga sepertiga pria yang
melakukan hubungan seks dengan pria.2
Para ahli kulit telah mencapai kemajuan yang sangat berarti dalam
mendiagnosa syphilis karena kemampuannya dalam mengevaluasi erupsi kulit.
Namun, infeksi ini bersifat sistemik, bahkan ketika tidak tampak gejala, meskipun
adanya fakta bahwa lesi-lesi mukokutan adalah tanda yang paling umum. Perjalanan
klinis yang bervariasi dan manifestasi yang berbeda telah ditemui jauh sebelum Sir
William Osler menyebut syphilis sebagai “peniru ulung,” namun masih banyak lagi
yang harus diteliti mengenai patogenesisnya, yang mana masih membingungkan
bahkan bagi klinisi, peneliti, dan ahli epidemiologi berpengalaman.2
4. 4
2.2 ETIOLOGI
Penyebab syphilis adalah T.pallidum, sebuah bakteri prokariotik, berbentuk
pencabut sumbat botol, dan motil, dengan dinding sel yang menggulung seperti
sekrup (Gambar 1).3
Gambar 1. Pewarnaan perak pada lesi syphilis, menunjukkan treponema berbentuk
pencabut sumbat botol.
Organisme ini secara mikroskopis dapat dibedakan dari treponema yang
menyebabkan pinta, patek (frambosia), atau syphilis endemik dan sangat mirip
dengan bakteri yang menyebabkan Lyme disease, borreliosis, dan leptospirosis.3
2.3 EPIDEMIOLOGI
World Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar 12 juta kasus
sifilis baru terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya, terutama di Asia Utara dan
Tenggara, Afrika sub-Sahara, Amerika Latin, dan Karibia. Pada kelompok pria
homoseksual di Amerika Serikat, Irlandia dan Inggris, angka kejadian sifilis diduga
kembali meningkat, sejalan dengan meningkatnya jumlah individu terinfeksi HIV
dalam beberapa tahun terakhir.4 Insidensi syphilis di AS pada tahun 2010 yaitu
5. 5
sebesar 4,5 per 100.000 penduduk.5 Dari data laporan morbiditas poliklinik Divisi
Infeksi Menular Seksual Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto
Mangunkusumo (RSCM) bulan Januari-Desember 2005, proporsi kepositifan kasus
baru sifilis stadium I (S I) sebesar 0.14%, sifilis stadium II (S II) 0.7%, dan sifilis
laten (S laten) 0.56%.5
2.4 GAMBARAN KLINIS
2.4.1 Syphilis Primer
Temuan kulit
Gambar 2 (kiri). Chancre stadium awal berupa papul tererosi yang datar dengan
batas tegas dan timbul, dan dasar bersih dan lembut.
Di titik penetrasi treponema, setelah inkubasi selama 10-90 hari (rata-rata 3
minggu), sebuah makula merah kehitaman muncul yang berkembang menjadi papul
dan menjadi chancre (luka ulserasi tanpa nyeri) dengan pengulserasian di tengahnya
(Gambar 2). Panjang periode inkubasi beragam dan berbanding terbalik dengan
jumlah treponema yang berinokulasi. Chancre berbentuk budar atau oval (bulat telur),
ukurannya kira-kira berdiameter 1 cm, mempunyai batas-batas tegas, kenyal, kokoh,
timbul, beraturan (Gambar 3). Dan tanpa trauma atau impetiginisasi, tidak perih.
Dasar tukak yang lunak berwarna daging mentah bisa ditutupi dengan krusta
6. 6
kekuningan atau kelupasan kulit berwarna kelabu. Namun, deviasi dari gambaran
klinis di atas sering terjadi, dan chancre “Hunterian” klasik terlihat pada sekitar 60%
3) 5)
4)
kasus. Pada sejumlah besar kasus, lesi tidak disadari. Banyak chancre (Gambar 4)
dapat hadir pada hingga 47% kasus, dan edema, fimosis, balanitis erosif, limfangitis,
dan tromboplebitis vena dorsal dapat saja ditemukan.6 Di negara-negara industri,
koinfeksi dengan herpes genitalis adalah alasan yang paling masuk akal akan
hadirnya multipel chancre. Pada pria, lokasi yang paling sering kena yaitu glandula,
sulkus koronal, dan kulup.7
Gambar 3. Chancre “Hunterian” klasik
dengan batas tegas dan timbul dan dengan
dasar sedikit nekrotik berdarah. Gambar 4.
Chancre multipel di basis penis dan pubis.
Chancre di lokasi ini berkaitan degan
penggunaan kondom. Gambar 5. Chancre
pada wanita. Sebuah ulkus dilapisi fibrin dan
kelupasan-kelupasan nekrotik di liang uretra.
7. 7
Pada wanita yang terkena dimulai dari yang paling sering yaitu labia,
frenulum, uretra (Gambar 5), dan perineum.7
Pada 70% hingga 80% semua kasus syphilis primer, kelenjar getah bening
yang membesar, kenyal, mobile, tidak nyeri, non-supuratif muncul selama minggu
pertama infeksi. Terkena biasanya pertama-tama unilateral dan paling sering
terpalpasi di area inguinal, meskipun, pada wanita kelenjargetah bening di femur
sering membesar.7
2.4.2 Syphilis Sekunder
a. Temuan kutan/kulit
Gambar 6. Syphilis makula (rosela syphilitica), dengan makula samar berwarna
pink berbentuk oval, tak bersisik dan terlekat di dada serta perut.
Lesi syphilis sekunder bererupsi 3 hingga 12 minggu setelah timbulnya
chancre, namun dapat muncul berbulan-bulan kemudian atau pada hingga 15% kasus,
sebelum chancre menghilang. Stadium sekunder biasanya menyurut dalam 2 hingga
12 minggu. Tidak semua pasien hadir dengan temuan dan gejala klasik. Temuan dan
gejala dapat saja samar, sementara, dan mudah luput untuk dikenali atau sebegitu
parahnya sehingga perlu rawat inap.7
Pasien dengan syphilis sekunder bisa mengalami gejala seperti malaise, hilang
nafsu makan, demam, sakit kepala, kaku kuduk, lakrimasi, mialgia, artralgia, nasal
8. 8
discharge, dan depresi. Namun, 95% kasus hadir dengan erupsi kulit, yang selalu
menyajikan gambaran diagnostik infeksi yang jelas.7
Gambar 7 (kiri). Syphilis menunjukkan sebuah kombinasi makula eritematosa dan
papul berwarna tembaga. Gambar 8 (kanan). Erupsi syphilis papulopustuler
general. Perhatikan corak tembaga pada papul-papul dan pengkrustaan sentral pada
sejumlah lesi pustuler.
Sebagian besar erupsi kulit adalah makula dan/atau papula. Nodula dan
pustula terjadi agak jarang, namun lesi vesiko-bulosa hanya terlihat pada syphilis
kongenital. Awalnya, lesi syphilis sekunder sering mempunyai pola simetris dan
menjadi polimorfik kemudian. Dengan atau tanpa terapi, lesi sekunder non-ulserasi
pulih tanpa parut setelah 2 hingga 12 minggu.7
Erupsi makula (roseola syphilitica) terdiri dari makula oval yang tidak
bersisik, menyebar, berwarna merah muda dengan ukuran 0,05-2,0 cm, yang secara
dominan melibatkan batang tubuh dan aspek fleksor ekstremitas atas (Gambar 6).
Daerah wajah biasanya tidak terkena, namun area apapun, termasuk tapak tangan dan
tapak kaki, bisa terkena.7
9. 9
Erupsi makula dan papula menggambarkan sebuah evolusi lesi makula
menjadi papul dan plak, sehingga sejumlah makula dapat teraba dan menimbulkan
warna tembaga gelap (Gambar 7 dan 8). Lesi sering muncul di genitalia, wajah,
telapak tangan, dan telapak kaki.7,8
Gambar 9 (kiri). Erupsi syphilis papuloskuamosa dengan plak-plak ceper berbatas
tegas eritematosa, yang dilapisi dengan sisik-sisik. Gambar 10 (kanan). Erupsi
syphilitik likenoid dengan papul-papul poligonal planar dari warna pink hingga
lembayung yang menyerupai lichen planus.
Erupsi papula termasuk papuloskuamosa, folikular, lentikuler, korimbosa
(selongsong bom), noduler, anuler, dan ragam folikuler. Mereka dapat menyebar ke
seluruh badan (Gambar 8) atau berkelompok, teragregasi, dan terlokalisasi ke titik
tertentu (Gambar 9 dan 10).8
Erupsi papuloskuamosa mempunyai papul mengeras yang oval atau bundar
berwarna tembaga atau eritematosa, seperti cakram atau plak-plak dengan permukaan
yang bersisik, berkilauan, dan datar (Gambar 9). Saat lesi gatal dan lichenoid
(penyakit pada kulit yang ditndai dengan kerusakan dan infiltrasi antara epidermis
10. 10
dan dermis), erupsi dapat sulit dibedakan dengan dari lichen planus (Gambar 10) dan,
bila terjadi hiperkeratosis, erupsi dapat menyerupai psoriasis. Cincin putih tipis
bersisik pada permukaan sebuah lesi sangat berarti namun bukan merupakan tanda
diagnostik patognomonik. Telapak tangan dan kaki sering terkena (Gambar 11). Pada
tapak kaki, lesi dapat menjadi hiperkeratosis dan bisa salah dikira sebagai callus
(clavi syphilitici) atau tinea pedis.8
Gambar 11 A & B. Lesi-lesi khas syphilis sekunder pada telapak tangan (A) dan
telapak kaki (B). Lesi palmo-plantar bisa jadi makula atau papula, soliter atau
menyebar, dan tidak bersisik, sedikit bersisik, atau hiperkeratitik (“syphilitic com”).
Erupsi lentikuler terdiri dari ukuran kepala peniti hingga lentil, papul coklat
hingga merah dengan permukaan lunak atau sisik halus. Wajah, terutama kening,
komisura mulut, lipatan nasolabia, dan genitalia, merupakan tempat yang sering
terjadi.8
Erupsi korimbosa jarang terjadi dan jarang tumbh sebelum 6 hingga 8 bulan
setelah infeksi. Khasnya, sebuah papul atau plak sentral besar dikelilingi oleh papul-
papul satelit yang lebih kecil (Gambar 12).8
Erupsi noduler terdiri dari nodul-nodul dermal, sering salah terdiagnosa
sebagai lymphoma atau sebuah penyakit granulomatosa (Gambar 13).8
11. 11
Erupsi anuler terdiri dari papul berbentuk cincin yang oval atau bundar dan
plak dengan perluasan ke wajah, area anogenital, lipatan tubuh, tapak tangan dan
kaki. Erupsi sering salah terdiagnosa sebagai sarkoid, anular granuloma, atau tinea
korporis.8
Erupsi filokuler terdiri dari papul eritematosa bundar akuminata, sebesar
jarum yang timbul bergerombol pada batang tubuh dan ekstremitas. Erupsi ini
tidaklah umum dan dilaporkan sering menimpa orang yang melemah seperti misalnya
alkoholik.8
Gambar 12 (kiri). Erupsi syphilitik korimbosa terjadi kemudian di stadium
sekunder, biasanya setelah 6 hingga 8 bulan setelah infeksi. Sebuah papul besar atau
plak dikelilingi oleh papul-papul satelit yang lebih kecil. Gambar 13 (kanan).
Syphilis sekunder noduler pada wajah seorang pria, sering disangka lymphoma atau
penyakit granulomatos, seperti sarcoidosis, leprosy, atau lupus vulgaris.
Erupsi pustular termasuk sejumlah varian morfologis. Pada erupsi pustular
milier, pustul akuminata kecil dan papul pulih dengan parut berpigmen ringan. Pada
acneiform, varioliform, atau erupsi obtuse, terdapat pustul-pustul perifolikuler
akuminata besar, sering dengan polimorfisme (Gambar 8).9
12. 12
Faringitis dengan tingkat keparahan yang beragam dapat terjadi pada hingga
seperempat kasus, meskipun rasa sakit jarang terjadi. Kemerahan yang menyebar di
faring, palatum, dan tonsil bisa saja sangat ringan atau berat dengan edema dan erosi.
Pseudomembran dan nekrosis ditemukan, dan jika laringeal terkena bisa
menimbulkan keparauan.9,10
Perubahan kuku pada syphilis sekunder bisa jadi merupakan akibat dari
keterlibatan matriks kuku atau lipatan kuku. Pada lempeng kuku, ditemukan
kerapuhan, pecah, onikolisis, pitting, elkoniksis lunuler dengan pembelahan, dan
distrofi. Lempeng kuku yang tumbuh selama periode infeksius bisa sempurna, kering,
tebal, dan gartis Beau atau onikomadesis (pemisahan) dapat terjadi. Paronikia lipatan
kuku lateral dan proksimal dapat terjadi. Dasar kuku dapat terulserasi, menghasilkan
eksudat yang dapat mengakibatkan pemisahan, penumpahan, dan bahkan deformitas
permanen lempeng kuku. Lempeng berwarna gading menyerupai kuku buatan
dianggap sebagai tanda khas syphilis sekunder lanjut.10
Rambut rontok mungkin merupakan satu-satunya tanda syphilis sekunder.
Telah ditemukan pada 3%-7% kasus, dan dapat saja sebagian, menyebar, atau malah
keduanya. Tipe yang lebih khas terdiri dari bopeng-bopeng ireguler kecil-kecil
alopesia non-parut di sepanjang kulit kepala namun dominan di regio oksipital dan
parietal. Sering digunakan istilah “dimakan ngengat” (Gambar 14). Kadang-kadang
Gambar 14. Alopesia “dimakan ngengat”
adalah bentuk kerontokan rambut yang
paling sering. Alopesia non-parut, sebagian,
tak beraturan hadir lebih sering pada kulit
kepala oksipital dan terkadang mengenai alis
dan janggut.
13. 13
lesi menyerupai trikotilomania atau alopesia areata. Terkadang alis, janggut, dan area
berambut lainnya juga terkena.10
b. Temuan Klinis Non-Kulit
Sistem Limforetikuler
Pembesaran kelenjar getah bening hadir pada 50%-80% kasus. Berikut ini
urutan dari yang paling sering terkena pembesaran : inguinal, aksila, servikal,
epitroklear, femoral, dan superklavikular. Khasnya, kelenjar getah bening mobile,
kokoh, kenyal, diskret, bilateral, simetris, dan tidak perih. Terkadang terjadi
splenomegali ringan.10
Oftalmologis
Iritis, komplikasi pada mata yang sering terjadi, pada perjalanan lanjut
syphilis sekunder, atau pada syphilis yang kambuh. Pasien hadir dengan injeksi sklera
dan nyeri, lakrimasi, dan fotophobia. Uveitis, korioretinitis, dan jarang-jarang, oklusi
vaskulitik vena dan arteri retina sentral. Pemakaian glukokortikoid tanpa antibiotik
dikontraindikasikan.11
Pendengaran
Ada sedikit laporan mengenai tuli sensorineural pada syphilis awal. Kondisi
dengan cepat memburuk dan cenderung bilateral. Keterlibatan vestibuler dengan
labirinitis agak jarang terjadi. Namun, 6 % dari semua kasus meniere disease
disebabkan oleh syphilis yang didapat maupun kongenital. Patogenesisnya biasanya
meningitis basiler dengan kerusakan terhadap nervus ke delapan.11
Muskuloskeletal
Gejala dasar yaitu nyeri lokal, eritema, tumefaction, dan hangat. Yang sering
terkena yaitu tulang panjang misalnya ekstremitas, terutama tibia, dan tengkorak,
dengan akibat sakit kepala persistent. Radiografi menunjukkan beragam kombinasi
14. 14
periostitis, osteomielitis, hancurnya tulang, dan sklerosis. Perubahan tampilan
radiografis mungkin perlu hingga 11 bulan untuk sembuh sempurna total setelah
terapi yang sesuai. Nyeri punggung, atralgia, artritis, tenosiovitis, dan bursitis bisa
berat dan bertahan selama beberapa bulan. Pasien dapat mengalami mialgia general
dan lemah otot yang menyerupai miopati inflamasif.11
Hematologis
Kelainan termasuk anemia, leukositosis, lymfopenia relatif, dan peningkatan
sedimentasi.11
Ginjal
Glomerulonefritis membranosa akut, biasanya berwujud sindrom nefrotik,
bisa pulih dengan terapi.11
Hepar
Meski biasanya subklinis, insidensi hepatitis luetik adalah 9,7%. Jaundice
jarang terlihat.11
Lambung
Nyeri epigastrik dan muntah setelah makan yang dapat disebabkan oleh lesi
perut polipoid atau tukak dan erosi, yang pulih dengan antibiotik. Gastritis syphilitik
erosif biasanya mengenai antrum perut.11
2.4.3 Syphilis Laten (tersembunyi)
Stadium sekunder kemudian diikuti dengan sebuah stadium asimptomatis
dengan tanpa temuan klinis. Satu-satunya bukti adanya penyakit adalah pengujian
serologis reaktif. Latensi tetap tidak dapat ditentukan, kapan diinterupsi oleh
kekambuhan syphilis sekunder, atau berkembang menjadi stadium tersier. Karena
15. 15
syphilis laten merupakan sebuah diagnosis dengan menyingkirkan diagnosis banding
lainnya, diperlukan pemeriksaan yang teliti pada lesi mukokutan dan korgan-organ
yang kira-kira terlibat. Selain itu, pemeriksaan ultrasound aorta untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya penyakit kardiovaskuler dan cairan serebrospinal akan
neurosyphilis harus dipertimbangkan jika riwayat atau temuan fisik mengindikasikan
adanya gangguan pada area tersebut.11
Untuk tujuan terapetik dan epidemiologik, stadium laten terbagi menjadi awal
(kurang dari satu tahun) dan lanjut (1 tahun atau lebih). Karena itu, durasi infeksi
harus ditentukan berdasarkan riwayat dan uji serologis sebelumnya. Namun,
penentuan ini tidak selalu memungkinkan, dan klinisi harus menentukan diagnosis
latensi yang belum dapat ditentukan tersebut (mengira-ngira), yang mana terapinya
sama dengan syphilis laten lanjut.11
2.4.4 Sypihlis Kambuh (relaps)
Sekitar 25% pasien yang tidak terterapi dengan tuntas (untreated), kambuh
meski tanpa infeksi berulang. Lebih dari dua pertiga kekambuhan terjadi dalam
jangka 6 bulan, 90% terjadi dalam tahun pertama, dan 95% terjadi dalam jangka dua
tahun.11
Kekambuhan dapat hadir dengan timbul kembalinya chancre atau, yang lebih
sering, erupsi syphilis sekunder, termasuk patch mukosa dan kondilomata lata. Lesi
syphilis yang kambuh cenderung kurang begitu luas dan sering terbatas pada
anogenital dan area mulut, namun tetap sangat infeksius. Karena pasien mungkin
tidak menyadari lesi adalah lesi syphilis kambuhan atau kurang memerhatikan lesi
tersebut untuk ditangani secara medis, syphilis yang kambuh terutama merupakan
permaslahan dari sudut pandang epidemiologis. Tanda-tanda lainnya termasuk
periostitis (biasanya tibial), iritis, dan hepatitis.12
16. 16
2.4.5 Syphilis Tersier
Sekitar sepertiga pasien dengan syphilis laten yang tidak sembuh tuntas
terjangkit syphilis tersier, sementara dua pertiga lainnya tetap masih dalam latensi.
Tiga presentasi utama stadium ini adalah syphilis jinak lanjut, penyakit
kardiovaskuler, dan neurosyphilis.12
Gambar 15 (kiri). Lesi syphilis tersier noduloulseratif yang sangat jelas dan nodul
datar berbentuk tak beraturan dengan warna merah pudar, konsistensi keras, dan
ulserasi superfisial. Gambar 16 (tengah). Plak syphilis tersier noduloulseratif
bersisik dan berkrusta dengan batas-batas dan parut yang khas. Gambar 17
(kanan). Plak syphilis tersier dapat berwarna merah bata, dilapisi dengan sisik, dan
bisa saja susah dibedakan dari psoriasis.
a. Syphilis (tersier) Jinak Lanjut
Syphilis jinak lanjut mencakup tiap manifestasi syphilis simptomatis setelah
stadium sekunder dan kekambuhan yang tidak mengenai kardiovaskuler atau sistem
saraf. Lesi-lesi disebabkan oleh sebuah respon inflamasi yang diperantarai sel
terhadap sejumlah kecil treponema yang ada di jaringan yang terkena. Organ yang
paling sering terkena adalah kulit (70%), membran mukosa (10,3%), dan tulang
(9,6%), namun gumma dapat muncul di tiap organ, termasuk kelenjar parotis, tiroid,
17. 17
esofagus, perut, liver, dada, pankreas, ginjal, kelenjar adrenal, limpa, kandung kemah,
dan serviks, serta otak dan jantung. Iritis kronis, korioretinitis, keratitis interstisial,
dan atrofi saraf optik jarang terjadi. 12
b. Syphilis kardiovaskuler
Pada syphilis tahap awal, penyakit kardivaskuler jarang terjadi dan terbatas
pada defek-defek konduksi, namun sering pada syphilis tersier. Gejala dan tanda
biasanya muncul 15 hingga 30 tahun setelah infeksi awal, dan hanya 7% pasien
dengan syphilis kardiovaskuler yang berwujud simptomatis dalam waktu 5 tahun
setelah infeksi.13
Kira-kira, selama stadim awal syphilis, treponema menginvasi dinding aorta,
di mana mereka dapat menetap dan berdiam.13
Treponema mempunyai predileksi terhadap vasa vasorum aorta dan
menyebabkan inflamasi grade rendah yang berujung pada endarteritis obliteratif
dengan nekrosis bertahap pada otot dan jaringan elastik dan pemarutan. Penebalan
fibrosa adventitia dan plak arterosklerotik di intima memberi gambaran kayu pohon
dan sangat dicurigai sebagai syphilis.14
Komplikasi syphilis kardiovaskuler yang paling umum adalah aortritis,
aneurisma aortik, inkompetensi katup aorta, stenosis ostial koroner, dan penyakit
gummatosa miokardial.14
c. Neurosyphilis14
Klasifikasi neurosyphilis
1. Asimptomatis
2. Meningeal
a. Meningitis akut (sakit kepala, demam, fotophobia, kaku kuduk,
kebingungan)
- Dengan hidrocephalus (sakit kepala berat, nausea, muntah, papil
edema)
18. 18
- Dengan keterlibatan verteks (kejang, afasia, hemiplegia)
- Dengan keterlibatan basiler (tinnitus, tuli, Bell’s palsy)
b. Pachymeningitis spinal (nyeri servikal, atrofi otot, sensory loss, paralegia
spastik)
3. Meningovaskuler
a. Serebral (gejala prodromal, hemiparesis, hemiplegia, afasia, kejang)
b. Spinal
- Meningomielitis (parentesia, spasme dan lemah kaki, sensory loss,
gangguan sfingter)
- Meningitis transversa akut (paraplegia flacid mendadak, hemiparesis,
sensory loss, retensi urin)
4. Parenkimatosa
a. Paresis general (penilaian terganggu, iritabilitas, delusi, disartria, tremor,
inkontinensia)
b. Tabes dorsalis (parestesia, nyeri kilat, ataksia, inkontinensia, impotensi,
gangguan papiler)
c. Atrofi optik (hilang pengligatan)
5. Gummatosa
a. Serebral
b. Spinal
2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Histopatologi15
b. Mikroskopi bidang gelap16
c. Tes antibodi fluoresence direct16
d. Serologi16
e. Tes nontreponema reagen16
f. Tes treponema spesifik17
g. Pemeriksaan cairan serebrospinal18
19. 19
2.6 DIAGNOSIS BANDING
2.6.1 Syphilis Primer7
Lebih mungkin :
a. Chancroid
b. Herpes simpleks
c. Granuloma inguinal
d. Erosi atau ulkus traumatis
Yang masuk pertimbangan :
a. Herpes simpleks
b. Limfogranuloma venereum tahap awal
c. Pioderma chancriform
d. Ukus aptous
e. Behcet disease
f. Karsinoma sel skuamosa
g. Karsinoma sel basal
h. Erupsi obat tetap
i. Vulvitis atau balantis kandidal erosif
2.6.2 Syphilis Sekunder11
Lebih mungkin :
a. Pitiriasis rosea
b. Kondiloma akuminata (kondiloma lata)
c. Erupsi obat
d. Erupsi virus
e. Psoriasis
f. Sindrom Reiter
Yang masuk pertimbangan :
a. Lichen planus (erupsi lichenoid, seperti tambalan/patch mukosa)
20. 20
b. Eksim
c. Sarkoid
d. Limphoma sel T kutan
e. Eritem multiform
f. Balanitis
g. Vulvitis
h. Granuloma annulare
i. Lupus eritematosus
2.6.3 Syphilis Tersier12
Yang masuk pertimbangan :
a. Sarkoid (khususnya yang ulseratif)
b. Karsinoma Metastatik
c. Sarkoma
d. Lymphoma
e. Granulomatosisi Wegener
f. Leishmaniasis
g. Vaskulitis
h. Infeksi jamur dalam
i. Lupus vulgaris
j. Psoriasis
2.7 TERAPI
Hadirnya penisilin memberi dampak besar dan cepat terhadap insidensi
syphilis infeksius awal di seluruh dunia pada akhir 1940-an. Di Inggris dan Wales,
jumlah kasus syphilis yang tampak pada klinik-klinik penyakit menular seksual
sangat berkurang semenjak puncaknya setelah perang dunia II. Sejak 1998, tingkat
syphilis infeksius telah sangat meningkat. Wabah berjangkit di Brighton, Manchester,
21. 21
dan London, sebagian besar akibat penularan homoseksual. Antara 1996 dan 2002,
kasus-kasus baru meningkat sepuluh kali lipat (122 ke 1.193 kasus).19
Penicillin parenteral adalah terapi pilihan untuk semua stadium syphilis.
Konsentrasi penisilin di atas 0,018 mg/L dianggap sebagai treponemicidal. Namun,
konsentrasi efektif maksimal pada level in vitro sebesar 0,36 mg/L direkomendasikan
untuk durasi minimal 7-10 hari pada syphilis awal/dini dan lebih lama pada syphilis
lanjut. Penisilin oral dapat menghasilkan kadar serum dan jaringan yang adekuat
namun tidak direkomendasikan karena adanya kemungkinan kurang bisa memenuhi
kebutuhan. Kegagalan terapi dengan penisilin jarang terjadi dan rutin merespon
terhadap pemberian pensilin yang ke dua kalinya baik pada dosis yang sama maupun
lebih tinggi.18,20
Penisilin parenteral adalah satu-satunya terapi dengan keefektifan yang
tercatat dengan baik pada neurosyphilis, infeksi HIV, dan kehamilan. Konsentrasi
penisilin di cairan serebrospinal (CSS) kurang dari 10% kadar serum. Namun, bahkan
injeksi tunggal benzathine penisilin menghasilkan kadar efektif pada area
perivaskular di mana treponema ditemukan CSS.20
Tetrasiklin, eritromicin, dan cephalosforin generasi ke tiga memiliki aktivitas
antitreponema yang kuat namun kurang efektif dibanding penisilin.20
Meski kurang diteliti dan lebih mahal dibanding tetrasiklin, doxisiklin dipilih
karena pemenuhan dan penyerapan yang lebih baik, yang mana kurang terpengaruh
oleh makanan.20
Eritromisin sedikit kurang efektif dibanding tetrasiklin. Hasil dengan
makrolida azitromisin, dalam sebuah dosis tunggal 2 gr sebanding dengan eritromisin
dan tidak direkomendasikan dipakai rutin dan pastinya tidak pada penderita HIV dan
wanita hamil.20
Ceftriaxone pada dosis 1 gr IM atau IV selama 8-10 hari tampak efektif pada
syphilis primer, sekunder, dan laten awal, meski pengalaman dengan terapi ini masih
terbatas. Selain itu, meskipun tidak direkomendasikan, obat ini dapat diberikan secara
aman selama kehamilan.20
22. 22
Serologi HIV direkomendasikan pada semua psien syphilis dan harus diulangi
dalam 3 bulan pada pasien yang tinggal di daerah dengan prevalensi HIV yang
tinggi.20
2.7.1 Syphilis Primer dan Sekunder20
Sebuah dosis tunggal benzathine penicilin G, 2,4 juta unit IM, adalah terapi
pilihannya.
Alergi Penisilin : Pasien dengan syphilis tanpa komplikasi dapat diterapi dengan
doxysiklin 100 mg per oral dua kali sehari selama 2 minggu. Pemenuhan kebutuhan
lebih baik dibanding dengan tetrasiklin, 500 mg oral empat kali sehari, atau
eritromisin 500 mg oral empat kali sehari. Ceftriaxone, 250 mg per hari atau 1 gr
setiap 2 hari IM atau IV selama 8-10 hari, adalah sebuah alternatif, dan sejumlah
pasien bisa saja alergi dengan agen ini. Jika azitromisin dosis tunggal 2 gr per oral
adalah satu-satunya pilihan yang ada, follow up ketat diperlukan karena resiko gagal
terapi.
Infeksi HIV : Terapinya sama, namun follow up nya lebih ketat lagi.
Anak-anak : Anak-anak harus dievaluasi akan syphilis kongenital melalui
pemeriksaan dan tinjauan catatan maternal dan prenatal. Jika sistem saraf pusat
abnormal, diindikasikan terapi untuk neurosyphilis. Jika infeksi didapat setelah lahir,
beri injeksi tunggal IM benzthine penisilin G, 50,000 unit/kg hingga 2,4 juta unit.
Follow up : Pasien harus diperiksa ulang secara kinis dan serologis pada 6 dan 12
bulan (jika HIV-seropositif, maka pada 3,6,9,12, dan 24 bulan)
Kegagalan terapi : ulangi pemeriksaan dan terapi lagi. Jika analisi CSS
mengindikasikan neurosyphilis, terapi dengan penisilin IV. Jika neurosyphilis tidak
23. 23
terbukti, terapi dengan benzthine penisilin G 2,4 juta unit IM untuk tiga dosis dengan
jarak seminggu, bahkan jika desensitifikasi diperlukan.
2.7.2 Syphilis Laten Awal20
Sebuah dosis tunggal benzthine penisilin G 2,4 juta unit IM, adalah terapi yang
direkomendasikan.
Alergi penisilin : Jika pasien tidak hamil atau terinfeksi HIV, terapi dengan
doxysiklin, 100 mg oral dua kali sehari selama 4 minggu.
Anak-anak : Terapi serupa dengan syphilis primer atau sekunder
Follow up : Seperti pada syphilis laten lanjut
2.7.3 Syphilis laten lanjut atau yang belum dapat ditentukan (Indeterminate
syphilis)20,21
Benzethine penisilin G 2,4 juta unit IM sebanyak 3 dosis dengan jarak
seminggu, adalah terapi pilihannya. Jika pasien melewatkan satu dosis, terapi masih
dapat dilanjutkan paling lama interval antar injeksi tidak melebihi 2 minggu.
Rejimen tidak perlu diulangi pada pasien yang telat diterapi sepanjang interval antar
dua injeksi kurang dari dua minggu, dengan pengecualian terhadap wanita hamil.
Alergi penisilin : Doxysiklin 100 mg per oral dua klai sehari, atau dapat diberikan
tetrasiklin 500 mg per oral empat kali sehari selama 28 hari.
Kehamilan : terapi dengan penisilin sesuai dengan yang dibahas di topik kehamilan
Infeksi HIV : Terapi dengan penisilin.
24. 24
Anak-anak : Setelah evaluasi dengan menyingkirkan kemungkinan syphilis
kongenital dan tindak kekerasan seksual, terapi dengan injeksi IM tiga mingguan
benzathine penisislin G 50.000 unit/kg (hingga 2,4 juta unit).
Kegagalan terapi : pasien dengan pemeriksaan CSS normal harus diterapi ulang
sesuai dengan syphilis laten jika tanda dan gejala syphilis berkembang.
2.7.4 Syphilis tersier (syphilis jinak lanjut, kardiovaskular)21
Benzathine penisilin G 2,4 juta unit dengan jarak 1 minggu tiap dosisnya,
merupaka terapi yang direkomendasikan.
Alergi Penisilin : Jika pasien tidak terinfeksi HIV dan CSS negatif, terapi dengan
doxysiklin 100 mg per oral dua kali selama 2 minggu.
Prognosis : Setelah terapi syphilis jinak lanjut, gumma perlahan pulih selama
beberapa bulan, tergantung pada luasnya kerusakan jaringan. Gumma di otak atau
spinal cord mungkin memerlukan eksisi bedah. Karena penyakit simptomatis yang
telah lanjut pada syphilis kardiovaskular berkaitan dengan prognosis yang buruk
bahkan dengan dosis rekomendasi benzathine penisilin, sejumlah ahli memilih untuk
menterapi penyakit kardiovaskular dengan penisilin IV dosis tinggi.
2.7.5 Neurosyphilis21
Terapi pilihan yaitu aqua kristaline penisilin G, 18 hingga 24 juta unit
diberikan per hari sebanyak 3,5-4 juta unit IV setiap 4 jam selama 10-14 hari.
Alternatifnya, terapi dengan sebuah injeksi tunggal procaine penisilin G, 2,4
juta unit IM per hari, dan probenecid, 500 mg per oral setiap 6 jam selama 10 hingga
14 days, dapat dimulai pada pasien yang pemenuhan kebutuhan dosisnya dapat
25. 25
diketahui. Terapi neurosyphilis dengan ceftriaxone (1 g IV per hari selama 14 hari)
tidaklah seefektif penisilian.
Alergi Penisilin : Desensitisasi dan terapi dengan penisilin
Follow up : periksa ulang CSS setiap 6 bulan dan VDRL CSS dan kadar protein
selama 2 tahun. Kalau tidak, terapi ulang dengan penisilin IV.
Prognosis : Pada sebuah penelitian, penisilin menyembuhkan, meringankan, atau
menstabilkan penyakit ini pada 91% pasien dengan neurosyphilis asimptomatis, 81 %
dengan penyakit meningovaskular atau meningitis (78% sembuh), 75% dengan
paresis general (48% sembuh), 72% dengan tabes dorsalis (47% sembuh), dan 88%
dengan beragam kelainan neurologis. Jika gejala memburuk selama terapi, naikkan
dosis.
Kekambuhan : Kekambuhan neurosyphilis biasanya dalam merespon pemberian
tambahan penisilin IV dalam dosis yang sama atau lebih tinggi
2.7.6 Terapi pada saat hamil21,22
Rejimen penisilin cocok untuk stadium infeksi. Pada syphilis primer,
sekunder, dan laten awal, injeksi ke dua benzathine penisilin seminggu kemudian
direkomendasikan oleh sejumlah ahli.
Alergi penisilin : Desensitisasi dan terapi dengan penisilin. Kemampuan Eritromisin
untuk menembus plasenta adalah dari cukup hingga kurang. Bayi yang lahir dari ibu
yang mendapat eritromisin untuk terapi syphilis selama kehamilan harus dengan
seksama dievaluasi untuk mendekteksi adanya penyakit aktif, diterapi dengan
penisilin, dan difollow up ketat. Tetrasiklin dihindari karena bisa mewarnai gigi
akibat deposisi enamel.
26. 26
Evaluasi selama kehamilan : Pertimbangkan pemeriksaan sonografis untuk tanda-
tanda syphilis fetal (hepatomegali, asites, hidrop) atau plasenta yang menebal. Jika
ada, rujuk setelah terapi awal.
Komplikasi : Efek samping potensial terapi penisilin adalah reaksi Jarisch-
Herxheimer, yang dapat memicu kelahiran prematur (syok palsenta). Namun, kaitan
aborsi spontan dengan fenomena ini masih dalam perdebatan dan tidak boleh
menunda terapi.
Prognosis : Pada 414 wanita hamil dengan syphilis awal yang diterapi dengan
beragam dosas penisilin, hanya 5 % bayi yang mereka lahirkan terkena syphilis.
27. 27
BAB III
KESIMPULAN
Syphilis telah dikenal sebagai sebuah penyakit yang suka hilang timbul.
Syphilis awal termasuk stadium primer (chancre), penyakit sekunder (lesi mukokutan
dan/atau limfadenopati, dengan atau tanpa melibatkan organ), dan kekambuhan klinis
yang terjadi selanjutnya. Penyakit laten (tersembunyi) dibagi menjadi stadium awal
(kurang dari 1 tahun) dan lanjut (1 tahun atau lebih). Penyakit tersier (lanjut) dapat
hadir dengan keterlibatan kutan/kulit, kardiovaskular, atau neurologis (Tabel 1).2
Meski bahaya penularan langsung sangat rendah setelah 5 tahun terjadinya
infeksi, tercatat adanya inokulasi dari gumma. Syphilis latent mengikuti stadium
sekunder dan dapat bertahan seumur hidup dalam bentuk asimptomatis pada sekitar
dua pertiga pasien yang tidak diobati (tidak diobati karena berbagai faktor).
Selebihnya, terjangkit syphilis tersier, yang biasanya bermanifestasi sebagai penyakit
kulit (kutan) (16%), kardiovaskular (9,6%), atau sistem saraf pusat (6,5%) (lihat
Tabel 1). Syphilis merupakan penyebab kematian pada 11 persen pasien di penelitian
yang dilakukan di Oslo.
Para ahli kulit telah mencapai kemajuan yang sangat berarti dalam
mendiagnosa syphilis karena kemampuannya dalam mengevaluasi erupsi kulit.
Namun, infeksi ini bersifat sistemik, bahkan ketika tidak tampak gejala, meskipun
adanya fakta bahwa lesi-lesi mukokutan adalah tanda yang paling umum. Perjalanan
klinis yang bervariasi dan manifestasi yang berbeda telah ditemui jauh sebelum Sir
William Osler menyebut syphilis sebagai “peniru ulung,” namun masih banyak lagi
yang harus diteliti mengenai patogenesisnya, yang mana masih membingungkan
bahkan bagi klinisi, peneliti, dan ahli epidemiologi berpengalaman.2
Hadirnya penisilin memberi dampak besar dan cepat terhadap insidensi
syphilis infeksius awal di seluruh dunia pada akhir 1940-an. Di Inggris dan Wales,
jumlah kasus syphilis yang tampak pada klinik-klinik penyakit menular seksual
28. 28
sangat berkurang semenjak puncaknya setelah perang dunia II. Sejak 1998, tingkat
syphilis infeksius telah sangat meningkat. Wabah berjangkit di Brighton, Manchester,
dan London, sebagian besar akibat penularan homoseksual. Antara 1996 dan 2002,
kasus-kasus baru meningkat sepuluh kali lipat (122 ke 1.193 kasus).19
Penicillin parenteral adalah terapi pilihan untuk semua stadium syphilis.
Konsentrasi penisilin di atas 0,018 mg/L dianggap sebagai treponemicidal. Namun,
konsentrasi efektif maksimal pada level in vitro sebesar 0,36 mg/L direkomendasikan
untuk durasi minimal 7-10 hari pada syphilis awal/dini dan lebih lama pada syphilis
lanjut. Penisilin oral dapat menghasilkan kadar serum dan jaringan yang adekuat
namun tidak direkomendasikan karena adanya kemungkinan kurang bisa memenuhi
kebutuhan. Kegagalan terapi dengan penisilin jarang terjadi dan rutin merespon
terhadap pemberian pensilin yang ke dua kalinya baik pada dosis yang sama maupun
lebih tinggi.18,20
29. 29
DAFTAR PUSTAKA
1. Buxton, PK. Bacterial infection. ABC of Dermatology 4th Edition. 2003 : page
87. BMJ Publishing Group Ltd, BMA House, Tavistock Square, London
WC1H 9JR
2. Klauss W, Goldsmith, LA, Katz, SI, et al. Syphilis. Sexual Transmitted
Diseases. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th Edition. 2008. S
32 ; C 200, page 1.955
3. Klauss W, Goldsmith, LA, Katz, SI, et al. Syphilis. Sexual Transmitted
Diseases. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th Edition. 2008. S
32 ; C 200, page 1.956
4. Agustina F, Legiawati L, Rihatmadja R, et al. Sifilis pada Infeksi Human
Innunodeficiency Virus. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK
Universitas Indonesia/RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo – Jakarta
5. Stoner B, Rother D. Current Epidemiology of Selected STDs. Presented at St.
Louis STD/HIV Prevention Training Center for STD 101, March 12, 2012.
Division of STD Prevention. National Center for HIV/AIDS, Viral Hepatitis,
STD, and TB Prevention.
6. Klauss W, Goldsmith, LA, Katz, SI, et al. Syphilis. Sexual Transmitted
Diseases. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th Edition. 2008. S
32 ; C 200, page 1.957
7. Klauss W, Goldsmith, LA, Katz, SI, et al. Syphilis. Sexual Transmitted
Diseases. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th Edition. 2008. S
32 ; C 200, page 1.958
8. Klauss W, Goldsmith, LA, Katz, SI, et al. Syphilis. Sexual Transmitted
Diseases. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th Edition. 2008. S
32 ; C 200, page 1.959
30. 30
9. Klauss W, Goldsmith, LA, Katz, SI, et al. Syphilis. Sexual Transmitted
Diseases. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th Edition. 2008. S
32 ; C 200, page 1.960
10. Klauss W, Goldsmith, LA, Katz, SI, et al. Syphilis. Sexual Transmitted
Diseases. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th Edition. 2008. S
32 ; C 200, page 1.961
11. Klauss W, Goldsmith, LA, Katz, SI, et al. Syphilis. Sexual Transmitted
Diseases. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th Edition. 2008. S
32 ; C 200, page 1.962
12. Klauss W, Goldsmith, LA, Katz, SI, et al. Syphilis. Sexual Transmitted
Diseases. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th Edition. 2008. S
32 ; C 200, page 1.963
13. Klauss W, Goldsmith, LA, Katz, SI, et al. Syphilis. Sexual Transmitted
Diseases. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th Edition. 2008. S
32 ; C 200, page 1.964
14. Klauss W, Goldsmith, LA, Katz, SI, et al. Syphilis. Sexual Transmitted
Diseases. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th Edition. 2008. S
32 ; C 200, page 1.965
15. Klauss W, Goldsmith, LA, Katz, SI, et al. Syphilis. Sexual Transmitted
Diseases. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th Edition. 2008. S
32 ; C 200, page 1.970
16. Klauss W, Goldsmith, LA, Katz, SI, et al. Syphilis. Sexual Transmitted
Diseases. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th Edition. 2008. S
32 ; C 200, page 1.971
17. Klauss W, Goldsmith, LA, Katz, SI, et al. Syphilis. Sexual Transmitted
Diseases. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th Edition. 2008. S
32 ; C 200, page 1.972
31. 31
18. Klauss W, Goldsmith, LA, Katz, SI, et al. Syphilis. Sexual Transmitted
Diseases. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th Edition. 2008. S
32 ; C 200, page 1.973
19. Adler M, Cowan F, French P, et al. Syphilis. ABC of Sexually Transmitted
Infections, Fifth Edition. 2004. p 49. BMJ Publishing Group Ltd, BMA House
Tavistock Square, London WC1H 9JR
20. Klauss W, Goldsmith, LA, Katz, SI, et al. Syphilis. Sexual Transmitted
Diseases. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th Edition. 2008. S
32 ; C 200, page 1.974
21. Klauss W, Goldsmith, LA, Katz, SI, et al. Syphilis. Sexual Transmitted
Diseases. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th Edition. 2008. S
32 ; C 200, page 1.975
22. Klauss W, Goldsmith, LA, Katz, SI, et al. Syphilis. Sexual Transmitted
Diseases. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th Edition. 2008. S
32 ; C 200, page 1.976