KONSEP DASAR KEGAWATDARURATAN MATERNAL NEONATAL.pptx
SIFILIS DAN MORFOLOGI TREPONEMA
1. 11
BAB III
SIFILIS
A. Definisi
Sifilis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri
Treponema pallidum yang bersifat akut dan kronis ditandai dengan lesi
primer diikuti dengan erupsi sekunder pada kulit dan selaput lendir
kemudian masuk ke dalam periode laten diikuti dengan lesi pada kulit,
lesi pada tulang, saluran pencernaan, sistem saraf pusat dan sistem
kardiovaskuler. Hutapea NO,2009
Menurut Centre of Disease Conrol (CDC) pada tahun 2010
mendefinisikan sifilis sebagai penyakit sistemik yang disebabkan oleh
Treponema pallidum. Berdasarkan temuan klinis, penyakit dibagi ke
dalam serangkaian kumpulan staging yang digunakan untuk membantu
dalam panduan pengobatan dan tindak lanjut. CDC, 2015
B. Sejarah
Nama Treponema diambil dari bahasa Yunani yaitu trepo dan
nema yang artinya turning thread (benang bergulung). Treponema
pallidum subspesies (sekarang disebut dengan Treponema pallidum)
merupakan salah satu bakteri Spirochetes patogen dominan. Treponema
pallidum sudah dikenal selama 500 tahun sebagai penyebab penyakit
menular seksual yaitu sifilis. Sejarah sifilis sudah banyak dipelajari namun
asal mula sifilis belum diketahui secara pasti. Winn W, et al, 2006 Ada dua
hipotesis utama, yang pertama menyebutkan bahwa sifilis dibawa dari
Amerika ke Eropa oleh awak kapal Christopher Columbus, hipotesis
kedua mengatakan bahwa sifilis sebenarnya sudah ada di Eropa tetapi
belum diketahui. Hipotesis ini dikenal dengan hipotesis Columbia dan pre-
Columbia. Hasil penelitian yang diterbitkan tahun 2008 oleh Harper dan
2. 12
Armelagos mengatakan bahwa hipotesis yang mendekati adalah
hipotesis Columbia. Farhi D, Dupin N, 2010
Sifilis pertama kali dikenal di Eropa pada abad ke-15, ketika
penyakit ini muncul pertama kalinya di daerah Meditarian dan secara
cepat menjadi endemik pada saat itu. Winn W, et al, 2006 Awalnya sifilis disebut
dengan Italian disease (penyakit Italia), French disease (penyakit
Perancis), dan great fox membedakannya dengan Smallpox. Sampai
abad ke- 18 baru diketahui bahwa penyakit ini merupakan penyakit
menular seksual. Penggambaran karakteristik sifilis terhalangi karena
menyamai gejala gonorrhea. Tahun 1767, John Hunter, ahli biologis
ternama dari Inggris menginokulasi eksudat dari urethera pasien
gonorrhea, yang kebetulan juga mengidap penyakit sifilis. Penemuan oleh
John Hunter ini juga diyakinkan oleh dua ahli kedoteran lainnya.
Pemisahan sifat dasar gonorrhea dan sifilis dilakukan pada tahun 1838
oleh Ricord, yang melaporkan hasil observasinya dengan lebih dari 2500
sampel inokulasi pasien. Pengenalan stadium sifilis dilanjutkan sampai
pada tahun 1905 Fritz Schaudinn seorang ahli zologi dari Jerman dan
Erich Hoffman seorang ahli kulit menemukan sumber penyebabnya,
diberi nama Treponema pallidum (Spirochaeta pallida), ordo
Spirochaetales merupakan bakteri gram negatif, tipis, motil, bentuk spiral.
Tahun berikutnya (1906) August von Wasserman pertama kali
memperkenalkan uji diagnostik serologi. Franzen C, 2008
C. Etiologi
Treponema pallidum merupakan salah satu bakteri spirochaeta.
Bakteri ini berbentuk spiral. Terdapat empat subspesies, yaitu Treponema
pallidum pallidum, yang menyebabkan sifilis, Treponema pallidum
pertenue, yang menyebabkan yaws, Treponema pallidum carateum,yang
menyebabkan pinta dan Treponema pallidum endemicum yang
menyebabkan sifilis endemik (juga disebut bejel). Klasifikasi bakteri
penyebab sifilis adalah; Kingdom: Eubacteria, Filum: Spirochaetes, Kelas:
3. 13
Spirochaetes, Ordo: Spirochaetales, Familia: Treponemataceae, Genus:
Treponema, Spesies: Treponema pallidum, Subspesies: Treponema
pallidum pallidum. Jaw etz, et al, 2004
D. Epidemiologi
Treponema pallidum merupakan bakteri patogen pada manusia.
Kebanyakan kasus infeksi didapat dari kontak seksual langsung dengan
orang yang menderita sifilis aktif baik primer ataupun sekunder. Penelitian
mengenai penyakit ini mengatakan bahwa lebih dari 50% penularan sifilis
melalui kontak seksual. Biasanya hanya sedikit penularan melalui kontak
nongenital (contohnya bibir), pemakaian jarum suntik intravena, atau
penularan melalui transplasenta dari ibu yang mengidap sifilis tiga tahun
pertama ke janinnya. Prosedur skrining transfusi darah yang modern telah
mencegah terjadinya penularan sifilis. Ryan KJ, 2004
Angka sifilis di Amerika Serikat terus menurun sejak tahun 1990,
jumlahnya dibawah 40.000 kasus per-tahun. Sekitar 20% kasus adalah
sifilis primer atau sekunder dan sisanya adalah laten dan tertier.4 Center
for Disease Control (CDC) melaporkan hanya 11,2 kasus sifilis per
100.000 populasi pada tahun 2000 dan kasus-kasus ini terpusat di kota-
kota besar dan wilayah tertentu. Angka kejadian ini merupakan hasil
laporan terendah sejak pelaporan kasus sifilis dimulai (1941). Terjadi
peningkatan kasus setiap tahun dari 2001-2009, meskipun angka sifilis di
Amerika Serikat menurun 89,7% dari tahun 1990-2000, kemudian terjadi
penurunan kasus pada tahun 2010. Angka kejadian sifilis tidak banyak
berubah ditahun 2011 (gambar 1). Terjadi peningkatan kasus sifilis pada
pria dari 3,0 menjadi 8,2 kasus per 100.000 populasi (2001-2011),
sedangkan pada perempuan terjadi peningkatan kasus dari 0,8 menjadi
1,5 kasus per 100.000 populasi (2004-2008), menurun menjadi 1,1 kasus
per 100.000 populasi pada tahun 2010 dan 1,0 kasus per 100.000
populasi di tahun 2011. Berdasarkan umur, angka kejadian tertinggi terjadi
4. 14
pada usia 20-24 tahun yaitu 13,8 kasus per 100.000 populasi dan 25-29
tahun dengan 12,1 kasus per 100.000 populasi pada tahun 2011. CDC, 2015
Gambar 1. Laporan Kasus Sifilis di Amerika Serikat, 1941-2011. CDC, 2015
Pada wanita di Amerika Serikat tahun 2012, angka sifilis primer dan
sekunder adalah 0,9 kasus per 100.000 populasi, menunjukkan
penurunan 9 persen dari tahun 2010. Angka sifilis kongenital adalah 8,5
per 100.000 kelahiran hidup. Cunningham FG, et al, 2014
Integrated Behavioral and Biological Survey (IBBS) / Survey
Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) tahun 2011 di Indonesia
melaporkan prevalensi sifilis pada populasi WPS yang terinfeksi HIV
sebesar 16,7%; sedangkan pada mereka yang tidak terinfeksi HIV 9,47%.
Prevalensi sifilis pada populasi LSL HIV positif 23,8% sedangkan pada
mereka yang HIV negatif 16,67%. Pada kedua populasi tersebut, secara
statistik terbukti bahwa prevalensi sifilis berkorelasi positif dengan
prevalensi HIV. Korelasi tersebut ditunjukkan dengan odds ratio sebesar
1,91 dan 3,63. Makna odds ratio tersebut adalah WPS yang terinfeksi
sifilis 1,91 kali lebih mudah tertular HIV dibandingkan WPS yang tidak
terinfeksi sifilis; dan LSL terinfeksi sifilis 3,63 kali lebih mudah terinfeksi
HIV dibandingkan LSL yang tidak terinfeksi sifilis. Kemenkes RI, 2013
5. 15
STBP 2011 di Indonesia juga melaporkan prevalensi sifilis masih
cukup tinggi. Pada populasi waria, prevalensi sifilis sebesar 25%, WPSL
(wanita penjaja seks langsung) 10%, LSL (lelaki yang berhubungan seks
dengan lelaki) 9%, warga binaan lembaga pemasyarakatan 5%, pria
berisiko tinggi 4%, WPSTL (wanita penjaja seks tidak langsung) 3% dan
penasun (pengguna narkoba suntik) 3%. Jika dibandingkan dengan
laporan STBP tahun 2007, prevalensi sifilis pada populasi waria tetap
tinggi. Pada populasi LSL dan penasun, prevalensi sifilis bahkan
meningkat 3 kali lipat (gambar 2). Hal-hal tersebut di atas menunjukkan
bahwa penggunaan kondom masih sangat rendah dan praktik
tatalaksana IMS di Puskesmas di berbagai daerah di Indonesia masih
perlu diperkuat. Jika tidak diperkuat, prevalensi sifilis pada berbagai
populasi kunci akan terus meningkat, dan risiko penularan HIV juga
makin meningkat. Kemenkes RI, 2013
*Data 2007 dan 2011 membandingkan di lokasi yang sama
Gambar 2. Prevalensi Sifilis pada Waria, LSL dan Penasun di Indonesia,
2007 dan 2011 Kemenkes RI, 2013
Hasil penelitian Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian
Hukum dan HAM, dari 24 lapas dan rutan di Indonesia dari 900
narapidana laki-laki dan 402 narapidana perempuan di tahun 2010,
didapatkan prevalensi sifilis 8,5% pada responden perempuan dan 5,1%
pada responden laki-laki. Aman M, 2010
6. 16
Sifilis pada ibu hamil akan menyebabkan sifilis kongenital. Di
Asia-Pasifik sifilis kongenital dapat menyebabkan kematian janin dan
neonatus pada 69% dari kehamilan dengan sifilis. Setiap tahun
diperkirakan 600.000 ibu hamil seropositif sifilis. Data WHO (2003),
termasuk hasil serosurvei di Indonesia, menunjukkan 0,8% dari 395 ibu
hamil yang diperiksa terinfeksi sifilis. Kemenkes RI, 2014
Penyakit sifilis masih menjadi masalah kesehatan dunia dengan
perkiraan 12 juta orang terinfeksi setiap tahunnya. Pada orang yang
menderita sifilis, risiko HIV meningkat 2-3 kali lipat. Diperkirakan
terdapat 2 juta kehamilan dengan sifilis setiap tahun, dimana 25%
ibu hamil akan berakhir dengan kematian janin atau abortus
spontan dan 25% ibu hamil yang lain akan mengalami bayi dengan berat
lahir rendah (BBLR) atau dengan infeksi berat. Kedua hal tersebut terkait
dengan kematian perinatal, yang sebenarnya dapat dicegah. Kemenkes RI,
2014
E. Morfologi, Struktur, dan Fisiologi
Treponema pallidum merupakan bakteri gram negatif, berbentuk
spiral yang ramping dengan lebar kira-kira 0,2 µm dan panjang 5-15 µm.
Lengkung spiralnya/gelombang secara teratur terpisah satu dengan
lainnya dengan jarak 1 µm, dan rata-rata setiap kuman terdiri dari 8-14
gelombang. Organisme ini aktif bergerak, berotasi hingga 900 dengan
cepat di sekitar endoflagelnya bahkan setelah menempel pada sel melalui
ujungnya yang lancip. Aksis panjang spiral biasanya lurus tetapi kadang-
kadang melingkar, yang membuat organisme tersebut dapat membuat
lingkaran penuh dan kemudian akan kembali lurus ke posisi semula.
Spiralnya sangat tipis sehingga tidak dapat dilihat secara langsung
kecuali menggunakan pewarnaan imunofluoresensi atau iluminasi
lapangan gelap dan mikroskop elektron (gambar 3). Jaw etz, et al, 2004
7. 17
Gambar 3. Treponema pallidum Menggunakan Mikroskop Elektron. Jaw etz,
et al, 2004
Struktur Treponema pallidum terdiri dari membran sel bagian
dalam, dinding selnya dilapisi oleh peptidoglikan yang tipis, dan membran
sel bagian luar. Flagel periplasmik (biasa disebut dengan endoflagel)
ditemukan didalam ruang periplasmik, antara dua membran (gambar 4).
Organel ini yang menyebabkan gerakan tersendiri bagi Treponema
pallidum seperti alat pembuka tutup botol (Corkscrew). Lafond RE, Lukehart SA,
2006 Filamen flagel memiliki sarung/ selubung dan struktur inti yang terdiri
dari sedikitnya empat polipeptida utama. Genus Treponema juga memiliki
filamen sitoplasmik, disebut juga dengan fibril sitoplasmik. Filamen
bentuknya seperti pita, lebarnya 7-7,5 nm. Partikel protein intramembran
membran bagian luar Treponema pallidum sedikit. Konsentrasi protein
yang rendah ini diduga menyebabkan Treponema pallidum dapat
menghindar dari respons imun pejamu. Norris SJ, 1993
Gambar 4. Struktur Sel Treponema pallidum. Liu J, et al, 2010
8. 18
Treponema pallidum merupakan salah satu bakteri yang patogen
terhadap manusia (parasit obligat intraselular) dan sampai saat ini tidak
dapat dikultur secara invitro. Dahulu Treponema pallidum dianggap
sebagai bakteri anaerob obligat, sekarang telah diketahui bahwa
Treponema pallidum merupakan organisme mikroaerofilik, membutuhkan
oksigen hanya dalam konsentrasi rendah (20%). Kuman ini dapat mati
jika terpapar dengan oksigen, antiseptik, sabun, pemanasan,
pengeringan sinar matahari dan penyimpanan di refrigerator. Liu J, et al, 2010
Bakteri ini berkembang biak dengan pembelahan melintang dan
menjadi sangat invasif, patogen persisten dengan aktivitas toksigenik
yang kecil dan tidak mampu bertahan hidup diluar tubuh host mamalia.
Mekanisme biosintesis lipopolisakarida dan lipid Treponema pallidum
sedikit. Kemampuan metabolisme dan adaptasinya minimal dan
cenderung kurang, hal ini dapat dilihat dari banyak jalur seperti siklus
asam trikarboksilik, komponen fosforilasi oksidatif dan banyak jalur
biosintesis lainnya. Keseimbangan penggunaan dan toksisitas oksigen
adalah kunci pertumbuhan dan ketahanan Treponema pallidum.
Organisme ini juga tergantung pada sel host untuk melindunginya dari
radikal oksigen, karena Treponema pallidum membutuhkan oksigen untuk
metabolisme tetapi sangat sensitif terhadap efek toksik oksigen.
Treponema pallidum akan mati dalam 4 jam bila terpapar oksigen dengan
tekanan atmosfer 21%. Keadaan sensitivitas tersebut dikarenakan bakteri
ini kekurangan superoksida dismutase, katalase, dan oxygen radical
scavengers. Superoksida dismutase yang mengkatalisis perubahan anion
superoksida menjadi hidrogen peroksida dan air, tidak ditemukan pada
kuman ini. Norris SJ, et al, 2001
Treponema pallidum tidak dapat menular melalui benda mati
seperti bangku, tempat duduk toilet, handuk, gelas, atau benda-benda
lain yang bekas digunakan/dipakai oleh pengindap, karena pengaruh
suhu dan rentang pH. Suhu yang cocok untuk organisme ini adalah 30-
370C dan rentang pH adalah 7,2-7,4. Norris SJ, et al, 2001
9. 19
F. Patogenesis
Penularan bakteri ini biasanya melalui hubungan seksual
(membran mukosa vagina dan uretra), kontak langsung dengan lesi/luka
yang terinfeksi atau dari ibu yang menderita sifilis ke janinnya melalui
plasenta pada stadium akhir kehamilan. Treponema pallidum masuk
dengan cepat melalui membran mukosa yang utuh dan kulit yang lecet,
kemudian kedalam kelenjar getah bening, masuk aliran darah, kemudian
menyebar ke seluruh organ tubuh. Bergerak masuk keruang intersisial
jaringan dengan cara gerakan cork-screw (seperti membuka tutup botol).
Beberapa jam setelah terpapar terjadi infeksi sistemik meskipun gejala
klinis dan serologi belum kelihatan pada saat itu. Darah dari pasien yang
baru terkena sifilis ataupun yang masih dalam masa inkubasi bersifat
infeksius. Waktu berkembang biak Treponema pallidum selama masa
aktif penyakit secara invivo 30-33 jam. Lesi primer muncul di tempat
kuman pertama kali masuk, biasa-nya bertahan selama 4-6 minggu dan
kemudian sembuh secara spontan. Pada tempat masuknya, kuman
mengadakan multifikasi dan tubuh akan bereaksi dengan timbulnya
infiltrat yang terdiri atas limfosit, makrofag dan sel plasma yang secara
klinis dapat dilihat sebagai papul. Reaksi radang tersebut tidak hanya
terbatas di tempat masuknya kuman tetapi juga di daerah perivaskuler
(Treponema pallidum berada diantara endotel kapiler dan sekitar
jaringan), hal ini mengakibatkan hipertrofi endotel yang dapat
menimbulkan obliterasi lumen kapiler (endarteritis obliterans). Kerusakan
vaskular ini mengakibatkan aliran darah pada daerah papula tersebut
berkurang sehingga terjadi erosi atau ulkus dan keadaan ini disebut
chancre. Lukehart SA, 2005
Informasi mengenai patogenesis sifilis lebih banyak didapatkan
dari percobaan hewan karena keterbatasan informasi yang dapat diambil
dari penelitian pada manusia. Penelitian yang dilakukan pada kelinci
percobaan, dimana dua Treponema pallidum diinjeksikan secara
intrakutan, menyebabkan lesi positif lapangan gelap pada 47% kasus.
10. 20
Peningkatan kasus mencapai 71% dan 100% ketika 20 dan 200.000
Treponema pallidum diinokulasikan secara intrakutan pada kelinci
percobaan. Periode inkubasi bervariasi tergantung banyaknya inokulum,
sebagai contoh 10 Treponema pallidum akan menimbulkan chancre
dalam waktu 5-7 hari. Organisme ini akan muncul dalam waktu menit di
dalam kelenjar limfe dan menyebar luas dalam beberapa jam, meskipun
mekanisme Treponema pallidum masuk sel masih belum diketahui secara
pasti.8 Thomas dkk, menyatakan bahwa perlekatan Treponema pallidum
dengan sel host melalui spesifik ligan yaitu molekul fibronektin. Lukehart SA,
2005
Sifat yang mendasari virulensi Treponema pallidum belum
dipahami selengkapnya, tidak ada tanda-tanda bahwa kuman ini bersifat
toksigenik karena didalam dinding selnya tidak ditemukan eksotoksin
ataupun endotoksin. Meskipun didalam lesi primer dijumpai banyak
kuman namun tidak ditemukan kerusakan jaringan yang cukup luas
karena kebanyakan kuman yang berada diluar sel akan terbunuh oleh
fagosit tetapi ada sejumlah kecil Treponema yang dapat tetap dapat
bertahan di dalam sel makrofag dan di dalam sel lainnya yang bukan
fagosit misalnya sel endotel dan fibroblas. Keadaan tersebut dapat
menjadi petunjuk mengapa Treponema pallidum dapat hidup dalam tubuh
manusia dalam jangka waktu yang lama, yaitu selama masa asimtomatik
yang merupakan ciri khas dari penyakit sifilis. Sifat invasif Treponema
sangat membantu memperpanjang daya tahan kuman di dalam tubuh
manusia. Singh AE, Romanow ski B, 1999
G. Klasifikasi
Pembagian penyakit Sifilis menurut WHO terdiri dari sifilis dini dan
sifilis lanjut dengan waktu diantaranya 2-4 tahun. Sifilis Dini dapat
menularkan penyakit karena terdapat Treponema pallidum pada lesi
kulitnya, sedangkan Sifilis Lanjut tidak dapat menular karena Treponema
pallidum tidak ada. CDC, 2015
11. 21
1. Sifilis Dini dikelompokkan menjadi 3 yaitu :
a. Sifilis primer (Stadium I)
b. Sifilis sekunder (Stadium II)
c. Sifilis laten dini
2. Sifilis Lanjut dikelompokkan menjadi 4 yaitu :
a. Sifilis laten lanjut
b. Sifilis tersier (Stadium III)
c. Sifilis kardiovaskuler
d. Neurosifilis
Secara klinis ada beberapa stadium sifilis yaitu stadium primer,
sekunder, laten dan tersier. Stadium primer dan sekunder termasuk
dalam sifilis dini, sementara stadium tersier termasuk dalam sifilis laten
atau stadium laten lanjut. CDC, 2015
H. Manifestasi Klinis
Treponema dapat masuk (porte d’entrée) ke tubuh calon penderita
melalui selaput lendir yang utuh atau kulit dengan lesi. Kemudian masuk
ke peredaran darah dari semua organ dalam tubuh. Penularan terjadi
setelah kontak langsung dengan lesi yang mengandung treponema. 3-4
minggu terjadi infeksi, pada tempat masuk Treponema pallidum timbul
lesi primer (chancre primer) yang bertahan 1-5 minggu dan sembuh
sendiri. CDC, 2015
Tes serologik klasik positif setelah 1-4 minggu. Kurang lebih 6
minggu (2-6 minggu) setelah lesi primer terdapat kelainan selaput lendir
dan kulit yang pada awalnya menyeluruh kemudian mengadakan
konfluensi dan berbentuk khas. CDC, 2015
Penyembuhan sendiri biasanya terjadi dalam 2–6 minggu.
Keadaan tidak timbul kelainan kulit dan selaput dengan tes serologik
sifilis positif disebut Sifilis Laten. Pada seperempat kasus sifilis akan
12. 22
relaps. Penderita tanpa pengobatan akan mengalami sifilis lanjut (Sifilis III
17%, kordiovaskular 10%, Neurosifilis 8%). CDC, 2015
Banyak orang terinfeksi sifilis tidak memiliki gejala selama
bertahun- tahun, namun tetap berisiko untuk terjadinya komplikasi akhir
jika tidak dirawat. Gejala-gejala yang timbul jika terkena penyakit ini
adalah benjolan-benjolan di sekitar alat kelamin. Timbulnya benjolan
sering pula disertai pusing-pusing dan rasa nyeri pada tulang, mirip
seperti gejala flu. Anehnya, gejala-gejala yang timbul ini dapat
menghilang dengan sendirinya tanpa pengobatan. CDC, 2015
Sifilis dapat dikatakan sebagai musuh dalam selimut karena
selama jangka waktu 2-3 tahun pertama tidak akan menampakkan gejala
mengkhawatirkan. Namun, setelah 5-10 tahun sifilis baru akan
memperlihatkan keganasannya dengan menyerang sistem saraf,
pembuluh darah, dan jantung. CDC, 2015
Gejala klinis penyakit sifilis menurut klasifikasi WHO sebagai berikut :
CDC, 2015
1. Sifilis Dini
a. Sifilis Primer
Manifestasi klinis awal sifilis adalah papul kecil soliter, kemudian
dalam satu sampai beberapa minggu, papul ini berkembang
menjadi ulkus. Lesi klasik dari sifilis primer disebut dengan
chancre, ulkus yang keras dengan dasar yang bersih, tunggal,
tidak nyeri, merah, berbatas tegas, dipenuhi oleh spirokaeta dan
berlokasi pada sisi Treponema pallidum pertama kali masuk.
Chancre dapat ditemukan dimana saja tetapi paling sering di penis,
servik, dinding vagina rektum dan anus. Dasar chancre banyak
mengandung spirokaeta yang dapat dilihat dengan mikroskop
lapangan gelap atau imunofluresen pada sediaan kerokan
chancre. Prince SA, Wilson LM, 2006
13. 23
Gambar 5. Perjalanan Penyakit Sifilis. Ho KK, 2002
Gambar 6. Chancre genital. Ho KK, 2002
Ada juga morfologi lain dari variasi lesi pada stadium primer yang
menyebabkan kesulitan dalam mendiagnosis. Sensitivitas gejala
klasik ini hanya 31% tetapi spesifisitasnya 98%. Ukuran chancre
bervariasi dari 0,3-3,0 cm, terkadang terdapat lesi multipel pada
pasien dengan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Winn
W, et al, 2006 Pada sifilis primer sering dijumpai limfadenopati regional,
tidak nyeri dan ipsilateral terhadap chancre, muncul pada 80%
pasien dan sering berhubungan dengan lesi genital. Chancre
14. 24
ekstragenital paling sering ditemukan di rongga mulut, jari tangan
dan payudara. Masa inkubasi chancre bervariasi dari 3-90 hari dan
sembuh spontan dalam 4 sampai 6 minggu. Prince SA, Wilson LM, 2006
Gambar 7. Chancre Ekstragenital. Prince SA, Wilson LM, 2006
b. Sifilis Sekunder (S II)
Apabila tidak diobati, gejala sifilis sekunder akan mulai timbul
dalam 2 sampai 6 bulan setelah pajanan, 2 sampai 8 minggu
setelah chancre muncul. Sifilis sekunder adalah penyakit sistemik
dengan spirokaeta yang menyebar dari chancre dan kelenjar limfe
ke dalam aliran darah dan ke seluruh tubuh, dan menimbulkan
beragam gejala yang jauh dari lokasi infeksi semula. Sistem yang
paling sering terkena adalah kulit, limfe, saluran cerna, tulang,
ginjal, mata, dan susunan saraf pusat. Winn W, et al, 2006 Tanda
tersering pada sifilis sekunder adalah ruam kulit makulopapula
yang terjadi pada 50% - 70% kasus, papula 12% kasus, makula
10% kasus, dan papula anula 6% - 14% kasus. Lesi biasanya
simetrik, tidak gatal dan mungkin meluas. Prince SA, Wilson LM, 2006
Gambar 8. Makulopapula Pada Telapak Tangan. Prince SA, Wilson LM,
2006
15. 25
Kasus yang jarang, lesi dapat menjadi nekrotik, keadaan ini
disebut dengan lues maligna. Lesi di telapak tangan dan kaki
merupakan gambaran yang paling khas pada 4% sampai 11%
pasien. Treponema pallidum dapat menginfeksi folikel rambut yang
menyebabkan alopesia pada kulit kepala. Bersamaan dengan
munculnya lesi sekunder, sekitar 10% pasien mengidap
kondilomata. Lesinya berukuran besar, muncul di daerah yang
hangat dan lembab termasuk di perineum dan anus. Inflamasi lokal
dapat terjadi di daerah membran mukosa mulut, lidah dan genital.
Pada kasus yang jarang bisa ditemukan sifilis sekunder disertai
dengan kelainan lambung, ginjal dan hepatitis. Treponema
pallidum telah ditemukan pada sampel biopsi hati yang diambil dari
pasien dengan sifilis sekunder. Glomerulonefritis terjadi karena
kompleks antigen treponema-imunoglobulin yang berada pada
glomeruli yang menyebabkan kerusakan ginjal. Sindroma nefrotik
juga dapat terjadi. Sekitar 5% pasien dengan sifilis sekunder
memperlihatkan gejala neurosifilis termasuk meningitis dan
penyakit mata. Lafond RE, Lukehart SA, 2006
c. Sifilis Laten
Sifilis laten atau asimtomatik adalah periode hilangnya gejala klinis
sifilis sekunder sampai diberikan terapi atau gejala klinik tersier
muncul. Sifilis laten dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu sifilis laten
dini dan lanjut. Pembagian berdasarkan waktu relaps infeksi
mukokutaneus secara spontan pada pasien yang tidak diobati.
Sekitar 90% infeksi berulang muncul dalam satu tahun, 94%
muncul dalam dua tahun dan dorman selama empat tahun. Sifilis
laten dini terjadi kurang satu tahun setelah infeksi sifilis sekunder,
25% diantaranya mengalami relaps sifilis sekunder yang menular,
sedangkan sifilis laten lanjut muncul setelah satu tahun. Relaps ini
dapat terus timbul sampai 5 tahun. Pasien dengan sifilis laten dini
dianggap lebih menular dari sifilis laten lanjut. Pemeriksaaan
16. 26
serologi pada stadium laten lanjut adalah positif, tetapi penularan
secara seksual tidak. Prince SA, Wilson LM, 2006
Diagnosis sifilis laten hanya dapat ditegakkan secara presumtif.
Diagnosis berdasarkan hasil uji serologis treponemal dan non
treponemal yang reaktif, namun tidak ditemukan keluhan dan
gejala-gejala abnormal pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan
radiologis jantung dan aorta, serta pemeriksaan cairan sebrospinal.
Sifilis laten biasanya terdeteksi pada saat penapisan rutin, seperti
di klinik Infeksi Menular Seksual (IMS), klinik antenatal, dan donor
darah.
Diagnosis sifilis laten dini ditegakkan apabila dalam satu tahun
terakhir ditemukan :
1) Terdapat serokonversi atau peningkatan titer uji non
treponemal sebanyak empat kali atau lebih setelah 2
minggu.
2) Gejala yang jelas dari sifilis primer atau sekunder
3) Bila memiliki pasangan seksual yang menderita sifilis
primer, sekunder, atau sifilis laten dini. Uji secara serologis
non treponemal dan juga treponema reaktif pada seseorang
dengan kemungkinan pajanan terjadi dalam 12 bulan
terakhir, diasumsikan sebagai sifilis laten dini. CDC, 2015
2. Sifilis Lanjut
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan sikatrik bekas S I pada
genitalia atau makula atrofi bekas papul-papul S II. Pemeriksaan tes
serologi sifilis positif.
a. Sifilis Laten Lanjut
Biasanya tidak menular, diagnosis ditegakkan dengan
pemeriksaan tes serologik. Lama masa laten beberapa tahun
hingga bertahun-tahun, bahkan dapat seumur hidup. Pommerville JC,
2010
17. 27
b. Sifilis Tersier (S III)
Sifilis tersier dapat muncul sekitar 3-15 tahun setelah infeksi awal
dan dapat dibagi dalam tiga bentuk yaitu; sifilis gumatous
sebanyak 15%, neurosifilis lanjut (6,5%) dan sifilis kardiovaskular
sebanyak 10%. Sepertiga pasien berkembang menjadi sifilis tersier
tanpa pengobatan. Pasien dengan sifilis tersier tidak menular.
Sifilis gumatous atau sifilis benigna lanjut biasanya muncul 1-46
tahun setelah infeksi awal, dengan rerata 15 tahun. Karakteristik
pada stadium ini ditandai dengan adanya guma kronik, lembut,
seperti tumor yang inflamasi dengan ukuran yang berbeda-beda.
Guma ini biasanya mengenai kulit, tulang dan hati tetapi dapat
juga muncul dibahagian lain. Pommerville JC, 2010
Gambar 9. Guma Sifilis yang Ulser dan Soliter. Andrade P,et al, 2010
Guma merupakan lesi yang granulomatous, nodular dengan
nekrosis sentral, muncul paling cepat setelah dua tahun infeksi
awal, meskipun guma bisa juga muncul lebih lambat. Lesi ini
bersifat merusak biasanya mengenai kulit dan tulang, meskipun
bisa juga muncul di hati, jantung, otak, lambung dan traktus
respiratorius atas. Lesi jarang yang sembuh spontan tetapi dapat
sembuh secara cepat dengan terapi antibiotik yang tepat. Guma
biasanya tidak menyebabkan komplikasi yang serius, disebut
dengan sifilis benigna lanjut (late benign syphilis). Lafond RE, Lukehart SA,
2006
c. Sifilis Kardiovaskuler
Timbul 10-40 tahun setelah infeksi primer dan terdapat pada
sekitar 10% kasus lanjut dan 40% dapat bersama neurosifilis.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan berdasar gejala klinis, foto sinar
X dan pemerikasaan pembantu lainnya. Sifilis kardiovaskuler dapat
18. 28
dibagi dalam 3 tipe: Sifilis pada jantung, pada pembuluh darah,
pada pembuluh darah sedang. Sifilis pada jantung jarang
ditemukan dan dapat menimbulkan miokarditis difus atau guma
pada jantung. Pada pembuluh darah besar, lesi dapat timbul di
aorta, arteri pulmonalis dan pembuluh darah besar yang berasal
dari aorta. Aneurisma umumnya terdapat pada aorta asendens,
selain itu juga pada aorta torakalis dan abdominalis. Pembuluh
darah sedang, misalnya aorta serebralis dan aorta medulla spinalis
paling sering terkena. Selain itu aorta hepatitis dan aorta femoralis
juga dapat diserang. Lafond RE, Lukehart SA, 2006
d. Neurosifilis
Pada perjalanan penyakit neurosifilis bersifat asimtomatik pada
semua jenis neurosifilis terjadi perubahan berupa endarteritis
obliterans pada ujung pembuluh darah disertai degenerasi
parenkimatosa yang mungkin sudah atau belum menunjukkan
gejala pada saat pemeriksaan. Neurosifilis dibagi menjadi empat
macam. Natahusada, 2010
1) Neurosifilis asimtomatik
Diagnosis berdasarkan kelainan pada likuor serebrospinalis.
Kelainan tersebut belum cukup memberi gejala klinis. Hutapea
NO, 2009
2) Sifilis meningovaskular
Terjadi inflamasi vaskular dan perivaskular. Pembuluh darah
di otak dan medula spinalis mengalami endarteritis
proliferatif dan infiltrasi perivaskular berupa limfosit, sel
plasma, dan fibroblas. Pembentukan jaringan fibrotik
menyebab¬kan terjadinya fibrosis sehingga perdarahannya
berkurang akibat mengecilnya lumen. Selain itu jugs dapat
terjadi trombosis akibat nekrosis jaring¬an karena
terbentuknya guma kecil multipel. Hutapea NO, 2009
Bentuk ini terjadi beberapa bulan hingga lima tahun sejak
Stadium I. Gejalanya bermacam-macam ber¬gantung pada
19. 29
letak lesi. Gejala yang sering terdapat ialah: nyeri kepala,
konvulsi fokal atau umum, papil nervus optikus sembab,
gangguan mental, gejala-gejala meningitis basalis dengan
kelumpuhan saraf-saraf otak, atrofi nervus optikus,
gangguan hipotalamus, gangguan pira¬midal, gangguan
miksi dan defekasi, stupor, atau koma. Bentuk yang sering
dijumpai ialah endarteritis sifilitika dengan hemiparesis
karena penyumbatan arteri otak. Hutapea NO, 2009
3) Neurosifilis Parenkim
Termasuk golongan ini ialah tabes dorsalis dan demensia
paralitika.
a) Tabes dorsalis
Timbulnya antara delapan sampai dua betas tahun
setelah infeksi pertama. Kira-kira seperem¬pat kasus
neurosifilis berupa tabes dorsalis. Kerusakan
terutama pada radiks posterior dan funikulus dorsalis
daerah torako-lumbalis. Selain itu beberapa saraf
otak dapat terkena, misalnya nervus optikus, nervus
trigeminus, dan nervus oktavus. Gejala klinis di
antaranya ialah gangguan sensibilitas berupa ataksia,
arefleksia, gangguan virus, gangguan rasa nyeri pada
kulit, dan jaring¬an dalam. Gejala lain ialah retensi
dan inkontinen¬sia urin. Gejala tersebut terjadi
berangsur-angsur terutama akibat demielinisasi dan
degenerasi funikulus dorsalis. Natahusada, 2010
b) Demensia paralitika
Penyakit ini biasanya timbul delapan sampai sepuluh
tahun sejak infeksi primer, umumnya pada umur
antara tiga puluh sampai lima puluh tahun. Sejumlah
10-15% dari seluruh kasus neurosifilis berupa
demensia paralitika. Natahusada, 2010
20. 30
Prosesnya ialah meningoensefalitis yang terutama
mengenai otak, ganglia basal, dan daerah
sekitarventrikel ketiga. Lambat laun terjadi atrofi pada
korteks dan substansi alba sehingga korteks menipis
dan terjadi hidrosefalus. Natahusada, 2010
Gejala klinis yang utama ialah demensia yang terjadi
berangsur-angsur dan progresif. Mula-mula terjadi
kemunduran intelektual, kemudian kehilangan
dekorum, bersikap apatis, euforia, waham
megaloman, dan dapat terjadi depresif atau maniacal.
Gejala lain di antaranya ialah disartria, kejang-kejang
umum atau fokal, muka topeng, dan tremor terutama
otot-otot muka. Lambat laun terjadi kelemahan,
ataksia, gejala-gejala piramidal, inkontinensia urin,
dan akhirnya meninggal. Natahusada, 2010
4) Guma
Umumnya terdapat pada meninges, rupanya terjadi akibat
perluasan pada tulang tengkorak. Jika membesar akan
menyerang dan menekan paren¬kim otak. Guma dapat
solitar atau multipel pada verteks atau dasar otak.
Keluhannya nyeri kepala, mual, muntah, dan dapat terjadi
konvulsi dan gangguan visus. Gejalanya berupa udema
papil akibat peninggian tekanan intrakranial, paralisis nervus
kranial, atau hemiplegia. Natahusada, 2010
I. Diagnosis
Diagnosis penyakit sifilis biasanya secara tidak langsung
ditemukan pada pasien risiko tinggi seperti adanya penyakit menular
seksual dan pengguna narkotika. Karena T. Pallidum tidak dapat tumbuh
pada media kultur maka digunakan metode lain untuk mendiagnosis
penyakit sifilis. Seperti mikroskop lapangan gelap atau apusan cairan dari
kulit atau jaringan. Bahan pemeriksaan adalah transudat segar dari
chancre pada infeksi primer atau kondiloma lata pada infeksi sekunder.
21. 31
Hasil positif bila ditemukan spiroketa yang motil, membentuk kumparan
padat dan bergerak melengkung. Untuk penderita dengan suspek
neurosifilis, diagnosis ditegakkan dengan sampel dari cairan
cerebrospinal. Sacher R.A, McPerson 2004
Untuk menegakkan diagnosis sifilis, diagnosis klinis harus
dikonfirmasikan dengan pemeriksaan laboratorium berupa : Sacher R.A,
McPerson 2004
I. Pemeriksaan lapangan gelap dengan bahan pemeriksaan dari
bagian dalam lesi, untuk melihat adanya Treponema pallidum.
II. Pemeriksaan lapangan gelap (dark field).
Ruam sifilis primer dibersihkan dengan larutan NaCl fisiologis.
Serum diperoleh dari bagian dasar/dalam lesi dengan cara
menekan lesi dan serum akan keluar. Diperiksa dengan
mikroskop lapangan gelap menggunakan minyak imersi.
Treponema pallidum berbentuk ramping, erakan lambat, dan
angulasi.
III. Mikroskop fluoresen
Bahan apusan dari lesi dioleskan pada gelas objek, difiksasi
dengan aseton, sediaan diberi antibodi spesifik yang dilabel
fluorescein, kemudian diperiksa dengan mikroskop fluoresensi.
IV. Penentuan antibodi di dalam serum
Tes yang menentukan antibodi non spesifik.
a. Tes Wasserman
b. Tes Kahn
c. Tes VDRL (Venereal Diseases Research Laboratory)
d. Tes RPR (Rapid Plasma Reagin)
e. Tes Automated reagin
V. Antibodi terhadap kelompok antigen yaitu tes RPCF (Reiter
Protein Complement Fixation)
Yang menentukan antibodi spesifik yaitu :
a. Tes TPI (Treponema Pallidum Immobilization)
22. 32
b. Tes FTA-ABS (Fluorescent Treponema Absorbed)
c. Tes TPHA (Treponema Pallidum Haemagglutination
Asaay)
d. Tes Elisa (Enzyme linked immuno sorbent assay).
J. Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis sifilis dapat ditegakkan dengan cara melihat langsung
organisme dengan mikroskop lapangan gelap atau pewarnaan antibodi
fluoresen langsung dan kedua dengan mendeteksi adanya antibodi dalam
serum dan cairan serebrospinal. Tes serologis merupakan tes konfirmasi
untuk melihat adanya antibodi terhadap organisme penyebab sifilis. Tes
serologis juga diperlukan untuk menegakkan diagnosis infeksi sifilis pada
masa laten sifilis dimana tidak tampak adanya gejala-gejala penyakit. Ada
dua kelompok tes serologis yang dapat digunakan dalam mendiagnosis
penyakit sifilis yaitu tes serologis antibodi non treponema dan antibodi
treponema. Sacher R.A, McPerson 2004
Gambar 10. Algoritma Pemeriksaan Sifilis Primer. Sacher R.A, McPerson 2004
23. 33
I. Tes Serologis Antibodi Non Treponemal
Yaitu antibodi yang terbentuk akibat adanya infeksi oleh penyakit
sifilis atau penyakit infeksi lainnya. Antibodi ini terbentuk setelah
penyakit menyebar ke kelenjar limpe regional dan menyebabkan
kerusakan jaringan serta dapat menimbulkan reaksi silang dengan
beberapa antigen dari jaringan lain. Tes serologis non treponema
mendeteksi antibodi yang merupakan kompleks dari lecitin,
kolesterol dan kardiolipin dan digunakan untuk skrining adanya
infeksi oleh T. pallidum. Termasuk tes ini adalah Venereal Disease
Research Laboratory (VDRL) dan Rapid Plasma Reagen (RPR)
yang memberikan hasil positif setelah 4-6 minggu terinfeksi (positif
pada 70% pasien dengan lesi primer dan stadium lanjut). Tetapi
tes ini dapat memberikan positif palsu pada kondisi seperti
kehamilan, kecanduan obat, keganasan, penyakit autoimun dan
infeksi virus. Imunoasai ini menggunakan antibodi nontreponemal
dan lipoid sebagai antigen, termasuk pemeriksaan ini adalah :
Bockenstedt L.K, 2003; Handojo I, 2004
a. Veneral Disease Research Laboratory (VDRL)
Tes VDRL selain digunakan untuk skrining penyakit sifilis
juga dapat digunakan untuk monitoring respon terapi,
deteksi kelainan saraf dan membantu diagnosis pada sifilis
kongenital. Dasar tes adalah reaksi antibodi pasien dengan
difosfatidil gliserol. Tes VDRL dapat mendeteksi
antikardiolipin antibodi (IgG, IgM atau IgA). Beberapa
kondisi dapat memberikan hasil positif palsu seperti
penyakit hepatitis virus, kehamilan, demam rematik, leprosi
dan penyakit lupus. Tes VDRL semikuantitatif juga
digunakan untuk mengevaluasi kejadian neurosifilis di mana
hasil reaktif tes hampir selalu merupakan indikasi adanya
neurosifilis. Handojo I, 2004
24. 34
b. Rapid Plasma Reagin (RPR)
Tes Rapid Plasma Reagen, adalah tes untuk melihat
antibodi nonspesifik dalam darah penderita yang diduga
terinfeksi sifilis, terdiri dari uji kualitatif dan uji kuantitatif.
Handojo I, 2004
Gambar 11. Bagan Alur Tes Serologis Sifilis. Kemenkes RI, 2013
1) Uji RPR kualitatif adalah pemeriksaan penapisan dengan
serum pasien yang tidak diencerkan dicampur dengan
partikel arang berlapis kardiolipin di atas karton, setelah
rotasi mekanis beberapa waktu sedian diperiksa untuk
melihat ada tidaknya aglutinasi secara makroskopis.
Handojo I, 2004
2) Uji RPR kuantitatif menggunakan serum yang
diencerkan secara serial dan hasil pemeriksaan adalah
nilai akhir pengenceran dimana masih terjadi
penggumpalan partikel. Tes RPR efektif untuk skrining
25. 35
seseorang yang terinfeksi penyakit sifilis tetapi belum
menunjukkan gejala klinik. Handojo I, 2004
c. Cardiolipin Wassermann (CWR)
Tes Cardiolipin Wassermann (CWR) merupakan uji fiksasi
komplemen dimana reaksi antibodi dan antigen kardiolipin
akan membentuk kompleks yang akan mengikat
komplemen. Sebagai indikator terjadinya reaksi pengikatan
komplemen maka pada tes ditambahkan sel darah merah
(domba) dan zat hemolisin anti SDM. Disebut uji CWR
positif apabila tidak terjadi reaksi hemolisis yang
menunjukkan bahwa terjadi reaksi Ag-Ab yang mengikat
komplemen, sedang hasil negatif berarti tidak terjadi reaksi
Ag-Ab yang tidak mengikat komplemen. Sampel pasien
berasal dari darah atau cairan cerebrospinal yang reaksikan
dengan antigen kardiolipin dan intensitas reaksi sebanding
dengan beratnya kondisi pasien. Handojo I, 2004
d. Unheated Serum Reagin (USR)
USR adalah modifikasi dari tes VDRL menggunakan serum
tertentu, biasanya digunakan terutama untuk skrining
penyakit sifilis. Handojo I, 2004
e. Toulidone Red Unheated Serum Test (TRUST)
TRUST adalah pemeriksaan secara makroskopis yang
cepat, dan merupakan prosedur pengujian untuk deteksi
serologis sifilis. Antigen TRUST adalah modifikasi dari
antigen VDRL yang mengandung partikel pigmen merah
yang terlihat ketika mengaglutinasi, dan kemudian dicampur
dengan serum atau plasma yang mengandung antilipoidal
antibody yang disebut reagen, reagen tersebut dapat
26. 36
berupa serum atau plasma dari orang yang menderita sifilis
tersebut dan kadang-kadang dalam serum atau plasma dari
orang lain dalam kondisi akut atau kronik. Handojo I, 2004
f. Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Tes ELISA nontreponemal menilai terjadinya flokulasi dan
nilai absorban dihitung berdasarkan prinsip
spektrofotometer. Handojo I, 2004
Tes-tes seperti Veneral Disease Research Laboratory
(VDRL), Rapid Plasma Reagin (RPR), Unheated Serum
Reagin (USR) dan Toulidone Red Unheated Serum Test
(TRUST) mendeteksi adanya reaksi antigen-antibodi
dengan menilai presipitasi yang terbentuk baik secara
makroskopik (RPR dan TRUST) maupun mikroskpoik
(VDRL dan USR). Antibodi yang terdeteksi biasanya timbul
1-4 minggu setelah munculnya chancre primer. Handojo I, 2004
Pengambilan spesimen pada stadium primer akan
mempengaruhi sensitivitas tes dimana titer antibodi
meningkat selama tahun pertama dan selanjutnya menurun
secara nyata sehingga memberikan hasil negatif pada
pemeriksaan ulang. Dapat ditemukan hasil tes positif palsu
maupun negatif palsu. Positif palsu terjadi karena adanya
penyakit bersifat akut seperti hepatitis, infeksi virus,
kehamilan atau proses kronik seperti kerusakan pada
jaringan penyambung. Sedang hasil negatif palsu terjadi
karena tingginya titer antibodi (prozone phenomenon) yang
sering ditemukan pada sifilis sekunder. Handojo I, 2004
27. 37
II. Antibodi Treponemal
Bertujuan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap antigen
treponema dan sebagai konfirmasi dari hasil positif tes skrining
nontreponemal atau konfirmasi adanya proses infeksi pada hasil
negatif tes nontreponemal pada fase late atau laten disease dapat
dibedakan atas 2 jenis antibodi yaitu : Handojo I, 2004
a. grup treponemal antibodi, antibodi terhadap antigen somatik
yang terdapat pada semua jenis treponema. Imunoasai
berdasarkan pada penggunaan beberapa strain saprofitik dari
treponema, yaitu Reiter Protein Complement Fixation (RPCF).
Handojo I, 2004
b. Antibodi treponema spesifik, antibodi yang spesifik untuk
antigen dari T. pallidum beberapa tes yang termasuk
diantaranya adalah : Handojo I, 2004
1. Treponema pallidum Complement Fixation
Pada prinsipnya, merupakan tes yang sederhana. Virulen
T. pallidum yang diperoleh dari orang yang terinfeksi
dengan mengsentrifugasi diferensial treponema yang telah
disiapkan, kemudian fraksi lipid dihapus oleh aseton dan
eter ekstraksi berturut-turut, dan protein aktif yang seperti
antigen kemudian dihapus dari treponema kering dengan
0,2 persen larutan natrium desoxycholate. Antigen yang
dihasilkan digunakan dalam fiksasi komplemen-
konvensional untuk menguji. mirip dengan teknik Kolmer
volume kelima. Handojo I, 2004
2. Treponemal Wassermann (T-WR)
Secara teknik dan ekonomis, TWR dibandingkan dengan
TPI yang jelas adalah lebih praktis dan prosedur spesifik
28. 38
yang digunakan untuk serologis rutin diagnosis atau
pengecualian dari infeksi treponemal. Handojo I, 2004
3. Treponema pallidum Immobilization (TPI)
Sensitifitas tes rendah pada beberapa stadium penyakit
terutama stadium I, tetapi spesifisitasnya paling baik
dibanding tes serologis lain dan merupakan satu-satunya
tes yang hampir tidak memberi hasil positif semu. Tes
menggunakan serum penderita yang tidak aktif ditambah
dengan T. pallidum yang mobil dan komplemen, lalu
diinkubasi pada suhu 35° C selama 16 jam selanjutnya
dilihat di bawah mikroskop. Hasil positif terlihat dengan T.
pallidum yang tidak mobil. Handojo I, 2004
4. Fluorecense Treponemal Antibody (FTA-Abs)
Sebagai pengganti tes TPI digunakan tes FTA Abs sebagai
tes konfirmasi terhadap sifilis yang lebih luas
penggunaannya saat ini terutama bila tidak ada
persesuaian antara hasil pemeriksaan tes treponema
Pallidum Hemaglutination (TPHA) dan tes VDRL
dibutuhkan tes FTA Abs sebagai penentu dalam
menegakkan diagnosis. Hasil positif bila dijumpai kuman
yang bersinar pada pemeriksaan mikroskop flouresensi.
Tes ini sangat sensitive sedangkan spesifisitasnya pada
permulaan dianggap menyerupai tes TPI tetapi ternyata
kemudian dapat terjadi positif semu. Handojo I, 2004
Positif semu dapat dijumpai pada penyakit autoimmune
atau penyakit jaringan ikat seperti systemic lupus
erythematosus, rheumatoid arthritis, skleroderma, kadang-
kadang dijumpai pada wanita hamil, herpes genitalis,
setelah vaksinasi cacar dan pemakaian obat bius.
29. 39
Intensitas flouresensi pada positif semu ternyata lemah dan
tidak tetap. Baertschy dkk menjumpai 2 % dari 23000
serum yang diperiksa menunjukkan positif semu terhadap
pemeriksaan FTA Abs. Handojo I, 2004
5. Tes FTA Abs IgM
Pada mulanya penentuan antibodi IgM spesifik terhadap T.
Pallidum, dianjurkan untuk menunjang diagnosis sifilis
kongenital dini, untuk menunjukkan aktifitas penyakit dan
untuk dapat menentukan apakah diperlukan pengobatan
ulang. Antibodi IgM dapat ditentukan dengan modifikasi tes
FTA Abs sebagai FTA Abs IgM. Ternyata kadang-kadang
masih terjadi reaksi non-spesifik atau positif semu
maupun negatif semu, sehingga penggunaan tes ini untuk
menegakkan sifilis pada orang dewasa dan bayi masih
menimbulkan masalah. Handojo I, 2004
Positif semu mungkin terjadi pada serum yang
mengandung rheumatoid factor dan antibodi IgM anti IgG.
Pada bayi yang menderita sifilis kongenital ternyata
terbentuk sejumlah besar antibodi IgM anti IgG, sebab
pembentukan antibodi IgM terhadap Treponema pallidum
akibat infeksi yang terjadi tidak cukup. Handojo I, 2004
Negatif semu terutama terjadi akibat persaingan oleh IgG
untuk menghalangi IgM diikat oleh antigen. Dengan
demikian hasil pemeriksaan tes FTA Abs IgM yang
menunjukkan positif maupun negative harus
dipertimbangkan dengan hati-hati dan dengan demikian
penggunaan tes ini masih terbatas. Handojo I, 2004
30. 40
6. Tes FTA Abs IgM (19S)
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mencoba
menghindari agar jangan terjadi positif semu, maupun
negatif semu dengan cara memisahkan fraksi
immunoglobulin dari serum sebelum diperiksa dan dengan
memisahkan fraksi IgM (19S) dapat digunakan tes FTA Abs
IgM (19S). Dilakukan dengan cara imunoflouresensi yang
tidak langsung dengan conjugat U Chain specific (anti
human IgM) dengan menggunakan fraksi 19S yang diisolasi
dengan filtrasigel, sehingga fraksi 19S bebas dari IgG.
Handojo I, 2004
Tes FTA Abs IgM (19S) hanya dapat dilakukan oleh tenaga
terlatih dan berpengalaman dan hanya dilakukan di dalam
laboratorium yang besar dengan peralatan yang serba
lengkap. Cara melakukan tes ini agak lama dan masih
terbatas penggunaannya pada serum yang merupakan
masalah. Handojo I, 2004
7. Treponema pallidum Hemagglutination Assay (TPHA)
Tes ini merupakan tes hemaglutinasi indirek (pasif). Dalam
tes ini dipakai sel darah merah domba yang telah diolah
dengan antigen Treponema. Ada juga yang menggunakan
butir-butir darah ayam Belanda, tetapi kurang sensitif.
Antigen diperoleh dengan cara ultrasonikasi kuman.
Antigen ini akan diserap oleh permukaan sel darah
merah yang telah diobati dengan asam tanin. Selanjutnya
sel darah merah yang telah diolah dengan antigen ini
diteteskan pada sederetan serum penderita dengan
berbagai pengenceran (untuk penentuan titer serum). Handojo
I, 2004
31. 41
Hasil pertama dibaca setelah pengeraman 3-4 jam dan
hasil akhir diperoleh setelah 18 jam dalam suhu kamar.
Reaksi dinyatakan positif jika terlihat warna kemerahan
yang merata, sedangkan endapan merah tua dalam bentuk
titik atau cincin menunjukkan hasil reaksi negatif. Hasil tes
positif 3-4 minggu setelah infeksi. Handojo I, 2004
Pada sifilis dini dengan pengobatan yang efektif reaktivitas
TPHA kadang-kadang baru menghilang baru menghilang
beberapa tahun sesudahnya. False negative dapat terjadi
pada awal penyakit karena belum terbentuk antibodi. False
positive jarang dijumpai (dapat mencapai 0,07%) dan
biasanya disebabkan oleh autoantibodi. Tes ini cukup
mudah dan sensitif dapat dipakai untuk skrining penyakit
sifilis. Handojo I, 2004
Sensitifitas dan spesifisitas tes TPHA bergantung kepada
mutu antigen yang berasal dari berbagai produksi yang
dihasilkan dengan waktu yang berbeda, bila mencakup
sensitifitas dan spesifisitasnya. Handojo I, 2004
Untuk menopang diagnosis sifilis atau sebagai tes
konfirmasi tes TPHA dapat digunakan sebagai pengganti
tes FTA Abs karena penelitian yang telah dilakukan oleh
Hutapea NO membuktikan bahwa tes TPHA menunjukkan
sensitifitas yang hampir sama dengan FTA Abs dan
spesifisitas tes TPHA sama dengan FTA Abs. Cara
melakukan tes TPHA sangat sederhana bila dibandingkan
dengan FTA Abs dan hanya membutuhkan peralatan yang
sederhana, dengan demikian dapat dilakukan di dalam
laboratorium yang sederhana. Pembiayaan tes TPHA lebih
murah daripada tes FTA Abs dan dapat dilakukan
pemeriksaan secara massal. Handojo I, 2004
32. 42
Keuntungan penggunaan tes TPHA ialah mempunyai
spesifisitas terhadap Treponema dan dapat dilakukan cara
otomatisasi, reprodusibilitas yang baik dan sensitifitasnya
terhadap antibodi anti Treponema IgM (19S) spesifik. Handojo
I, 2004
Pada umumnya tes TPHA menjadi reaktif setelah sifilis
primer telah mapan dan bila telah reaktif akan tetap reaktif
di dalam waktu yang lama, walaupun terjadi penurunan
antibodi setelah pengobatan. Kemungkinan tes TPHA
menjadi negatif setelah pengobatan sifilis dini sangat
jarang. Handojo I, 2004
Gambar 12. Interpretasi Hasil Tes Serologis Sifilis dan
Tindakan. Kemenkes RI, 2013
33. 43
8. Tes Solid Phase Hemadsorption IgM Spesifik (SPHA IgM
spesifik)
Merupakan suatu cara yang dapat segera menunjukkan
antibodi IgM spesifik terhadap treponema pallidum. Dengan
imunoglobulin ini dapat dibedakan infeksi yang baru terjadi
atau yang sudah lama berjalan dan dapat menopang
kemungkinan penentuan apakah dibutuhkan atau tidak
dibutuhkan pengobatan ulang. Tes ini untuk diagnosis
sedini mungkin karena sudah positif pada minggu kedua.
Hasil pengenceran ¼ atau lebih tinggi menunjukkan reaksi
positif sedangkan pengenceran ½ dianggap batas reaksi
(borderline). Handojo I, 2004
Pada tes ini masih terjadi positif semu yang disebabkan
oleh autoantibodi, rheumatoid factor dan faktor lain yang
belum diketahui. Persesuaian dengan FTA Abs IgM (19S)
adalah sekitar 96,3%. Reaktifitas terjadi pada minggu
kedua setelah infeksi, kemudian menurun dan akhirnya
menghilang di dalam waktu 2-3 bulan setelah pemberian
pengobatan pada sifilis dini dan di dalam waktu 12 bulan
setelah pemberian pengobatan sifilis lanjut. Handojo I, 2004
9. Treponema pallidum Immune Adherence (TPIA)
Tes sederhana untuk dilakukan dan hasil yang sangat
spesifik untuk antibodi antitreponemal. Selain itu, suspensi
antigen bisa dipertahankan untuk waktu yang lama karena
pallidum telah dipanaskan. Handojo I, 2004
10.Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) T. pallidum
Saat ini telah dikembangkan tes treponemal berdasarkan
Enzym Immuno Assay (ELISA) yang baru berdasarkan
34. 44
antigen spesifik T.Pallidum rekombinant, dan telah
dievaluasi sebagai tes treponemal untuk sifilis. Serodia
Treponema Pallidum Particle Agglutination (TPPA) dari
Fujirebio Tokyo, adalah alternatif terhadap TPHA,
menggunakan gelatin sebagai pembawa partikel yang
disensitisasi dengan T. Pallidum patogen untuk mendeteksi
antibodi terhadap T.Pallidum di serum. Handojo I, 2004
Murex Syphilis ICE adalah sebuah ELISA yang
menggunakan tiga antigen T.Pallidum rekombinan (TpN15,
TpN17, TpN47) dan mendeteksi IgG dan IgM. Tes ini
menunjukkan sebagai tes treponemal yang paling sensitif
dengan spesifisitas yang tinggi, membutuhkan waktu 2,5-3
jam untuk pemeriksaan. Handojo I, 2004
Enzywell TP adalah jenis ELISA baru yang lebih cepat,
dengan menggunakan 2 antigen rekombinan dan
mendeteksi IgG dan IgM, hanya membutuhkan waktu
sekitar 1 jam. Aktas dkk melakukan evaluasi Serodia TPPA,
Murex Syphilis ICE dan Enzywell TP. Hasil penelitian
menunjukkan untuk Syphilis ICE mempunyai spesifisitas
99,9% dan sensitifitas 99,4%. Enzywell TP mempunyai
spesifisitas 99,7% dan sensitifitas 100%. Sedangkan untuk
TPPA sensitifitas dan spesifisitasnya 99,4%. Kesamaan
hasil dengan TPHA pada Serodia TPPA mencapai 96,7%,
Murex Syphilis ICE 100% dan Enzywell TP mencapai
99,1%. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa salah
satu dari ketiga tes tersebut bisa digunakan sebagai
skrining untuk sifilis. Handojo I, 2004
Keuntungan utama dari tes ELISA ini adalah kemampuan
untuk memeriksa sampel dalam jumlah besar dan dapat
dibaca secara otomatis dengan spektrofotometric
35. 45
sedangkan TPHA dan FTA Abs dievaluasi secara subjektif.
Handojo I, 2004
K. Penatalaksanaan
I. Sifilis stadium primer, sekunder, dan laten dini
a. Terapi Pilihan
Benzatin penisilin G 1,8 gr (2,4 juta unit) intramuskular
sebagai dosis tunggal. CDC, 2015
b. Terapi Alternatif
1. Doksisiklin 2 x 100 mg/hari per oral selama 14 hari
2. Tetrasiklin 4 x 500 mg/hari per oral selama 14 hari CDC,
2015
II. Sifilis stadium laten (lanjut) atau dengan durasi tidak diketahui
a. Terapi Pilihan
Benzatin penisilin G 5,4 gr (7,2 juta unit) intramuskular 3 x
2,4 juta unit, interval 1 minggu
b. Terapi Alternatif
1. Doksisiklin 2 x 100 mg/hari per oral selama 28 hari
2. Tetrasiklin 4 x 500 mg/hari per oral selama 28 hari CDC,
2015
Sebelum pasien diberikan antibiotik, harus dilakukan uji pada kulit
terlebih dahulu sebagai suatu prosedur yang harus dilakukan ketika akan
memberikan semua jenis antibiotik, tanpa melihat ada atau tidaknya
riwayat alergi sebelumnya. Pasien dengan hasil tes negatif dapat
menerima pengobatan konvensional dengan Penisilin. Jika hasil tes
positif, maka hal ini harus benar-benar dipastikan, karena pasien nantinya
akan diberikan pengobatan alternatif yang sampai saat ini masih
dipertanyakan keefektifannya dalam semua tahap sifilis. Banyak
kegagalan terapi yang telah dilaporkan. CDC, 2015
36. 46
Menurut CDC STD Treatment Guidelines (2015) disebutkan bahwa
Benzatin penisilin G, Bicillin adalah obat pilihan terbaik untuk pengobatan
semua tahap sifilis dan merupakan satu-satunya pengobatan dengan
keberhasilan yang digunakan untuk sifilis pada masa kehamilan. Penisilin
memang tetap merupakan obat pilihan utama karena murah dan efektif.
Berbeda dengan gonokokus, belum ditemukan resistensi treponema
terhadap penisilin. Konsentrasi dalam serum sejumlah 0,03 UI/ml sudah
bersifat treponemasidal namun menetap dalam darah selama 10-14 hari
pada sifilis menular, 21 hari pada semua sifilis lanjut dan laten. CDC, 2015
Tetrasiklin, Eritromisin, dan Ceftriaxone telah menunjukkan
aktivitas antitreponemal dalam uji klinis, namun, ketiganya saat ini
direkomendasikan hanya sebagai regimen pengobatan alternatif pada
pasien yang alergi terhadap Penisilin meskipun dosis optimal dan durasi
belum ditetapkan. Azitromisin juga telah dipelajari. Sebuah studi pada
tahun 2010 oleh Kait et al menunjukkan dosis tunggal Azitromisin (2 g
PO) setara dengan pengobatan pilihan Benzatin penisilin G (2,4 juta unit
IM) pada pasien dengan sifilis tahap awal, namun setelah itu ditemukan
kasus kegagalan pengobatan akibat Azitromisin-tahan mutasi pada
Treponema pallidum di beberapa wilayah Amerika Serikat. Oleh karena
itu, Azitromisin dapat digunakan hanya ketika penggunaan Penisilin tidak
dapat diberikan. CDC, 2015
Setelah pengobatan diberikan, Treponema melepaskan molekul
inflamasi yang memicu kaskade sitokin dan mengarah pada respon yang
dikenal sebagai reaksi Jarisch-Herxheimer. Gejala yang dirasakan antara
lain mialgia, demam, sakit kepala, dan takikardi, dan terkadang dengan
eksaserbasi lesi sifilis seperti ruam atau lesi yang lainnya. Reaksi
tersebut umum dirasakan, berkembang dalam beberapa jam setelah
dimulainya pengobatan antibiotik, dan biasanya akan hilang dalam waktu
24 jam setelah onset. Etiologi terhadap gejala-gejala tersebut belum
ditemukan secara jelas, namun diperkirakan terjadi karena reaksi
imunologis terhadap pecahnya spirochetes. CDC, 2015
37. 47
Pengelolaan terhadap reaksi ini diantaranya dengan melibatkan
pengobatan simtomatik (misalnya, dengan antipiretik dan analgesik) dan
observasi. Pada wanita hamil, pengobatan dapat menginduksi persalinan
dini atau menyebabkan gawat janin. Oleh karena itu, pasien harus
diberikan informasi mengenai kemungkinan terjadinya reaksi ini sebelum
menjalani terapi antibiotik. Wanita dalam masa kehamilan disarankan
untuk mendapatkan perawatan obstetri setelah pengobatan berjalan jika
mereka merasa demam, kontraksi pada rahim, atau penurunan aktivitas
janin. Beberapa pasien mengalami kecemasan berat dan gangguan
psikologis lain setelah pemberian Prokain penisilin. Resusitasi dan
perawatan diperlukan pada kasus yang berat, namun sebagian besar
yang dirasakan pasien adalah reaksi ringan, yang hanya membutuhkan
pengobatan simtomatik untuk mengurangi gejala. Gejala biasanya hilang
dalam waktu 30 menit. CDC, 2015
L. Evaluasi Terapi dan Monitoring
Pasien dengan sifilis dini dan telah diterapi dengan adekuat harus
dievaluasi secara klinis dan serologis tiap 3 bulan selama satu tahun
pertama (bulan ke 3, 6, 9, 12) dan setiap 6 bulan di tahun kedua (bulan
ke 18, dan 24). Semua pasangan seks pasien sifilis perlu diskrining sifilis.
Kemenkes RI, 2013
Tes TPHA dan titer RPR harus dilakukan pada : Kemenkes RI, 2013
1. Tiga bulan setelah terapi untuk sifilis primer dan sekunder, titer
RPR diperlukan untuk mengevaluasi keberhasilan terapi dan
mendeteksi infeksi ulang (reinfeksi).
Terapi dianggap berhasil jika titer RPR turun. Jika titer tidak turun
atau malah naik, kemungkinan terjadi reinfeksi dan ulangi terapi.
2. Pada 3, 6, 9, 12, 18 dan 24 bulan setelah terapi :
a. Jika titer RPR tetap sama atau bahkan turun, terapi
dianggap berhasil dan pasien cukup diobservasi.
38. 48
b. Jika titer RPR meningkat, obati pasien sebagai infeksi baru
dan ulangi terapi.
3. Jika RPR non reaktif atau reaktif lemah (serofast) maka pasien
dianggap sembuh
Pada semua stadium, ulangi terapi jika : Kemenkes RI, 2013
1. Terdapat gejala klinis sifilis.
2. Terdapat peningkatan titer RPR (misal dari 1:4 menjadi 1:8).
M. Pencegahan
Pada prinsipnya pencegahan dapat dilakukan dengan cara
mencegah penularan sifilis melalui pencegahan primer, sekunder, dan
tersier. Adapun bentuk pencegahan yang dapa dilakukan sebagai berikut
:
I. Pencegahan Primer
Sasaran pencegahan terutama ditujukan kepada kelompok orang
yang memiliki resiko tinggi tertular sifilis. Bentuk pencegahan primer
yang dilakukan adalah dengan prinsip ABC yaitu :
a. A (Abstinensia), tidak melakukan Pengaruh seks secara
bebas dan berganti-ganti pasangan.
b. B (Be Faithful), bersikap saling setia dengan pasangan
dalam Pengaruh perkawinan atau Pengaruh perkawinan
atau Pengaruh jangka panjang tetap.
c. C (Condom), cegah dengan memakai kondom yang benar
dan konsisten untuk orang yang tidak mampu
melaksanakan A dan B.
d. D (Drug), tidak menggunakan narkoba/napza.
39. 49
e. E (Education), pemberian informasi kepada kelompok yang
memiliki resiko tinggi untuk tertular sifilis dengan
memberikan leaflet,brosur, dan stiker. CDC, 2015
II. Pencegahan Sekunder
Sasaran pencegahan terutama ditujukan pada mereka yang
menderita (dianggap suspect) atau terancam akan menderita.
Diagnosis dini dan pengobatan yang tepat dapat dilakukan dengan
cara mencari penderita sifilis, meningkatkan usaha surveilans, dan
melakukan pemeriksaan berkala kepada kelompok orang yang
memilik resiko untuk terinfeksi sifilis. Bentuk pencegahan sekunder
dapat dilakukan dengan cara :
a. Melakukan cek darah untuk mengetahui infeksi sifilis.
b. Pengobatan injeksi antibiotik benzatin benzil penicilin untuk
menyembuhkan infeksi sifilis. CDC, 2015
III. Pencegahan Tersier
Sasaran tingkat ketiga ditujukan kepada penderita tertentu dengan
tujuan mencegah jangan sampai mengalami cacat/kelainan
permanen, mencegah agar jangan bertambah parah/ mencegah
kematian karena penyakit tersebut. Bentuk pencegahan tersier
yang dapat dilakukan adalah :
a. Melakukan pengobatan (injeksi antibiotik) yang bertujuan
untuk menurunkan kadar titer sifilis dalam darah.
b. Melakukan tes HIVuntuk mengetahui status kemungkinan
terkena HIV. Cara paling pasti untuk menghindari penularan
penyakit menular seksual, termasuk sifilis, adalah untuk
menjauhkan diri dari kontak seksual atau berada dalam
Pengaruh jangka panjang yang saling monogami dengan
pasangan yang telah diuji dan diketahui tidak terinfeksi.
Menghindari penggunaan alkohol dan obat juga dapat
membantu mencegah penularan sifilis karena kegiatan ini
dapat menyebabkan perilaku seksual berisiko. Adalah
penting bahwa pasangan seks berbicara satu sama lain
40. 50
tentang status HIV mereka dan sejarah PMS lainnya
sehingga tindakan pencegahan dapat diambil. CDC, 2015
Dalam Guidelines pengobatan CDC (2015) salah satu cara yang
dilakukan untuk upaya pencegahan dan pengobatan adalah melalui suatu
program yang disebut “Management of Sex Partners” atau dikenal
dengan istilah “Manajemen Mitra Seks”. Penularan Treponema pallidum
diperkirakan terjadi hanya ketika lesi sifilis mukokutan yang hadir.
Meskipun manifestasi tersebut jarang terjadi setelah tahun pertama
infeksi, orang yang terkena seksual kepada pasien yang memiliki sifilis
pada setiap tahap harus dievaluasi klinis dan serologis dan diobati
dengan rejimen yang disarankan, sesuai dengan rekomendasi berikut:
1. Orang yang terpapar dalam waktu 90 hari sebelum diagnosis
primer, sifilis laten sekunder, atau awal pasangan seks mungkin
terinfeksi bahkan jika seronegatif, karena itu, orang tersebut harus
dianggap sebagai suspect.
2. Orang yang terkena lebih dari 90 hari sebelum diagnosis primer,
sekunder sifilis laten, atau pagi-pasangan seks harus diperlakukan
sebagai suspect apabila hasil tes serologis tidak tersedia segera
dan kesempatan untuk tindak lanjut
3. Sebagai informasi bagi mitra dan pengobatan terhadap suspect
atau dugaan dari pasangan seks yang diduga memiliki risiko,
pasien dengan sifilis yang tidak diketahui statusnya dan dengan
disertai uji serologi nontreponemal dengan titer yang tinggi (yaitu
diatas titer 1:32) dapat diasumsikan memiliki sifilis awal. Namun
demikian untuk tujuan menentukan rejimen pengobatan, titer
serologi hendaknya tidak boleh digunakan untuk membedakan
sifilis awal dari sifilis laten melainkan membutuhkan uji serologis
lain yaitu pemeriksaan antibodi treponemal.
4. Pasangan seks jangka panjang dari pasien dengan sifilis laten
harus dievaluasi secara klinis dan serologis segera untuk diobati
berdasarkan temuan evaluasi.
41. 51
5. Pasangan seksual dari pasien yang terinfeksi harus
dipertimbangkan telah memiliki risiko dan segera diberikan
pengobatan jika mereka memiliki kontak seksual dengan pasien
dalam waktu 3 bulan plus durasi gejala untuk pasien yang
didiagnosis dengan sifilis primer, durasi 6 bulan plus gejala bagi
mereka dengan sifilis sekunder dan 1 tahun untuk pasien dengan
sifilis laten dini serta dalam waktu 3 bulan plus durasi gejala untuk
pasien yang didiagnosis dengan sifilis primer. CDC, 2015
Penyakit ulkus kelamin, seperti sifilis, dapat terjadi di kedua daerah
kelamin laki-laki dan perempuan yang ditutupi atau dilindungi oleh
kondom lateks. Penggunaan kondom lateks dapat mengurangi risiko
sifilis, serta herpes genital dan chancroid, hanya bila daerah yang
terinfeksi atau situs paparan potensi dilindungi. WHO (2011) juga
menyebutkan bahwa konsistensi penggunaan kondom dapat mengurangi
transmisi HIV sebesar 64% dan IMS sebesar 42%. CDC, 2015
N. Prognosis
Dengan ditemukannya penisilin, prognosis sifilis menjadi lebih baik.
Penyembuhan secara mikrobiologik (semua T. pallidum mati) tidak
memungkinkan. Sembuh sifilis berarti sembuh klinis seumur hidup, tidak
menular ke orang lain, tes serologik sifilis dan cairan serebrospinal selalu
negatif. Angka kesembuhan sifilis yang diobati mencapai 95%. Kelainan
kulit akan sembuh dalam 7-14 hari. Pembesaran kelenjar getah bening
akan menetap selama beberapa pekan. Natahusada, 2010
Kegagalan terapi pada SI dan SII hanya 5%. Kambuh klinis jarang
terjadi, umumnya muncul setahun setelah terapi, berupa lesi menular
pada mulut, tenggorok, dan region perianal. Kambuh serologis (tes
serologi negatif menjadi positif atau tes serologi positif menjadi semakin
positif) lebih sering terjadi. Natahusada, 2010