3. PENGANTAR
Perkembangan teknologi dan perusahaan, serta
perubahan dalam ilmu sosial dan perdagangan,
mendorong perlunya pelatihan dan pengembangan
berkelanjutan agar perusahaan dapat bersaing di dalam
dan di luar negeri. Pelatihan dan pengembangan
dapat terjadi di dalam atau di luar
perusahaan, termasuk pelatihan on-the-job dan off-the-
job. Bab ini membahas konsep pelatihan, teori
pembelajaran, prinsip pembelajaran, penyusunan
program pelatihan, dan model penilaian program
pelatihan.
4. PENGERTIAN
Pelatihan adalah proses pendidikan singkat
dengan
prosedu
r
terorganisir
pengetahua
n
untuk tenaga kerja nonmanajerial, fokus
pada dan keterampilan
Pengembangan, sebaliknya,
adalah
teknis untuk tujuan
jangk
a
tertentu.
panjan
g
dengan prosedur terorganisir untuk
pendidikan
tenaga kerja manajerial,
berkaitan dengan pengetahuan konseptual dan teoritis untuk
tujuan umum. Meskipun berbeda, istilah "pelatihan"
digunakan untuk melatih pengetahuan dan keterampilan
tertentu, termasuk keterampilan manajerial, dalam jangka
waktu singkat untuk tenaga kerja manajerial dan nonmanajerial.
6. TEORI
PEMBELAJA
RAN
Proses pembelajaran terjadi saat tenaga kerja mulai bekerja
dan mengembangkan pengetahuan serta keterampilan yang
diperlukan oleh pekerjaannya. Pembelajaran, menurut
Chisnall (1995), adalah perubahan perilaku yang lebih
atau kurang permanen yang terjadi sebagai hasil dari
praktik. Pembelajaran merupakan variabel yang tidak dapat
diamati, tetapi hasil akhirnya, seperti perubahan pola
perilaku, dapat diamati. Ini mencakup perubahan
yang relatif permanen dalam perilaku yang timbul dari
pengalaman, pemahaman, dan latihan.
7. TEORICONNECTIONIST’
Teori connectionist atau teori keterkaitan didasarkan
pada asosiasi antara rangsang dan respons, di mana
pembelajaran adalah proses pengembangan perilaku sebagai
hasil dari paparan stimulus tertentu. Dalam teori ini,
persepsi dan pemahaman (insight) tidak dianggap
sebagai faktor yang signifikan dalam pembelajaran.
Beberapa konsep yang termasuk dalam teori ini melibatkan
pengaitan klasik (classical conditioning) oleh Pavlov, teori
pengukuhan kembali (reinforcement theory) oleh Thorndike
dan Hull, serta teori pengkondisian dalam
kelangsungan (operant conditioning) oleh Skinner.
8. Pavlov mengamati respons refleks anjing terhadap rangsang
yang
tidak
dipelajari. Thorndike mengembangkan hukum akibat (law of
effect) dalam
eksperimen dengan kucing yang mencoba-coba untuk melepaskan diri dari
kotak yang terkunci. Hull memperluas hukum akibat dengan
mengaitkannya dengan faktor motivasi, mengatakan bahwa pembelajaran
hanya terjadi jika memuaskan kebutuhan.
Selanjutnya, Skinner mengembangkan konsep operant conditioning, di
mana perilaku dipengaruhi oleh pemberian hadiah dan hukuman serta
pengukuhan kembali yang positif. Ada berbagai jenis
pengukuh-kembali, termasuk pengukuhan kembali yang positif,
pembelajaran dengan upaya penghindaran, dan penghapusan (extinction).
9. Dalam operant conditioning, ada empat cara
penjadwalan penggunaan pengukuh-kembaliyang
dapat digunakan yaitu:
variable ratio reinforcement
fixed ratio reinforcement
variable interval reinforcement
fixed interval reinforcement.
Setiap jenis pengukuh-kembali ini memiliki dampak
yang
berbeda pada efektivitas pembelajaran.
10. TEORICOGNITIVE
Teori kognitif pembelajaran menitikberatkan pada proses
pemahaman, kesadaran, dan penalaran dalam pembelajaran.
Orang dianggap sebagai pemecah masalah aktif yang dipengaruhi
oleh lingkungannya. Pandangan gestalt tentang pembelajaran,
yang berdasarkan psikologi gestalt, menganggap bahwa
rangsang individual dalam lapangan pengamatan dapat dipisahkan
dari keseluruhan lapangan. Teori ini menekankan bahwa
hasilnya lebih dari sekadar jumlah bagian-bagiannya.Tolman
mencoba menggabungkan teori connectionist dengan teori kognitif
melalui model S - O-R (stimulus-organism-response), dengan
memasukkan unsur keyakinan (beliefs) yang mempengaruhi
pemilihan respons terhadap rangsangan. Penyusunan program
pelatihan dan pengembangan harus didasarkan pada konsep dan
prinsip pembelajaran dari teori ini agar program tersebut efektif.
11. KONSEP PEMBELAJARAN
yang dihubungkan
dengan
Positif: Berdasarkan hukum
hadia
h
efe
k
ata
u
cenderung dipelajari dan diulang.
Pengukuha
n
Thorndike,
memenuhi
Pengukuha
n
Kembal
i perilaku
kebutuha
n
kembali
positif diperlukan untuk
mendorong
perilaku yang diharapkan dari proses
pembelajaran.
Miner (1992) mengusulkan lima konsep penting untuk
pembelajaran yang efektif:
Motivasi: Pembelajaran efektif terjadi ketika individu
memiliki motivasi untuk belajar, seperti berpartisipasi
dalam kursus komputer untuk meningkatkan peluang
pekerjaan.
12. Pengetahuan Tentang Hasil: Memberikan umpan balik
kepada peserta pembelajaran memungkinkan mereka
menilai kemajuan mereka dan apa yang perlu ditingkatkan.
Praktek Aktif dan Pembelajaran Melalui Penghayatan:
Pembelajaran efektif melibatkan praktek aktif dan pemahaman
mendalam melalui pengalaman langsung, sehingga
peserta dapat menguasai pengetahuan dan keterampilan.
Pemindahan dari Pelatihan: Penting untuk memastikan bahwa
apa yang dipelajari dalam program pelatihan dapat
diterapkan dalam situasi pekerjaan nyata. Diskusi
dengan peserta tentang implementasi pengetahuan dan
keterampilan yang mereka peroleh dalam pelatihan dalam
konteks pekerjaan mereka dapat membantu memastikan
pemindahan yang efektif.
13. PRINSIP BELAJAR
Prinsip-prinsip pembelajaran yang diuraikan
oleh Maier dan
termasuk proses pembelajaran
asosiatif,
Verser (1982) melibatkan berbagai aspek
pembelajaran,
pembelajaran
selektif (operant conditioning), pembedaan
pengindraan, pemerolehan keterampilan, pemahaman
dan insight, serta perubahan sikap. Aturan-
aturan untuk pembentukan asosiasi termasuk
pentingnya pengulangan, perhatian, pengulangan
yang didistribusikan,
pembelajaran keseluruhan, pengulangan
aktif, dan lainnya.
14. Pembelajaran
selektif
melibatkanmotivasi,
seperti penggunaan
pemberian ganjaran dan
hukuman untuk
mendorongatau
menghindarirespons
tertentu. Pembedaan
pengindraan
memerlukan
pengetahuan untuk
menentukanalat bantu
pembelajaran yang
sesuai.
Untuk
pemerolehan
keterampilanmotorik,
diperlukan metode pelatihan
yangberbeda daripada
untuk pengetahuan.
Prinsip-prinsip
pembelajaran
dengan pemahaman
ditekankan karena
memungkinkan
pengetahuanyang lebih
baik dankemampuan
untuk mengalihkan
pembelajaran ke
situasi baru, berbeda
dengan pembelajaran
hafalan.
15. PENYUSUNAN PROGRAM
PELATIHAN/PENGEMBANGAN
Proses penyusunan program pelatihan terdiri dari berbagai tahap,
termasuk identifikasi kebutuhan pelatihan, penetapan sasaran pelatihan,
penetapan kriteria keberhasilan, penetapan metode pelatihan, pencobaan dan
revisi, serta implementasi dan evaluasi.
Identifikasi kebutuhan pelatihan mencakup
dikenalkan oleh Miner, yaitu knowledge-
based
empat jenis keterampilan
skills, singular behavior
yan
g
skills
,
limited interpersonal skills, dan social interactive skills. Program pelatihan
dapat disusun untuk tenaga kerja baru atau yang telah lama
bekerja dalam perusahaan.
16. Penetapan sasaran pelatihan dapat berfokus pada sasaran
kognitif, afektif, atau psikomotor, tergantung
perilaku yang ingin dicapai. Metode pelatihan di
pada
kelas
mencakup kuliah, konferensi, studi kasus, bermain peran,
bimbingan berencana, metode simulasi, dan lainnya. Setiap
metode memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri.
17. MODEL PENILAIAN KEEFEKTIFAN
PROGRAM PELATIHAN DAN
PENGEMBANGAN
Kraiger, Ford, Salas membedakan antara penilaian
program pelatihan dan efektivitas program pelatihan.
Penilaian
pencapaian
pelatihan berkaitan dengan pengukuran
sasaran pembelajaran oleh para peserta
pelatihan, sedangkan efektivitas pelatihan mencakup
sejauh mana sasaran yang telah direncanakan tercapai,
termasuk pembelajaran dan pengalihan pelatihan.
18. Sackett dan Mullen membagi tujuan penilaian program
pelatihan menjadi aspek perubahan (hasil pembelajaran) dan
tingkat unjuk kerja yang tercapai (sejauh mana sasaran
program tercapai). Rothwell mengutip Kirkpatrick dalam
menyebut empat tingkat penilaian program pelatihan, yaitu
reaksi peserta, pembelajaran peserta, perubahan perilaku
peserta di pekerjaan, dan dampak pada organisasi. Setiap
tingkat memberikan pemahaman yang lebih mendalam
tentang efektivitas pelatihan.
19. Model penilaian ini
mengandalkan penilaian diri
peserta pelatihan untuk
menentukan apakah mereka telah
mengalami proses pembelajaran.
Kelemahannya termasuk peserta
cenderung memberikan penilaian
secara cepat, umum, kurang
cermat, dan positif. Selain itu,
sulit untuk memastikan apakah
apa yang mereka klaim tentang
pembelajaran sesuai dengan
kenyataan atau tidak.
Model reaksi dari trainee Model ‘after-only’ dan
model ‘before-after’
Kedua model penilaian ini
mencakup program pelatihan /
pendidikan tingkat dua, yaitu
perubahan perilaku pada akhir
program pra tihan sebagai
hasil belajar dan tingkat tiga,
yaitu perubahan perilaku yang
ditujukan dalam pekerjaan
sebagai hasil adanya proses
mengalihan pelatihan
20. ModelHanyaSesudah
Model penilaian ini hanya menggunakan tes pada akhir program pelatihan
(pos tes) untuk menilai apakah sasaran pembelajaran tercapai. Keuntungan
model ini adalah menghindari dampak kepekaan pre-test, tetapi kurang
cocok jika tujuan penilaian adalah untuk melihat perubahan atau proses
pembelajaran, terutama jika peserta telah menguasai materi pelatihan
sebelumnya. Pada penilaian pelatihan tingkat tiga, pos tes digunakan untuk
mengukur unjuk kerja setelah pelatihan, dengan asumsi bahwa terjadi
perubahan perilaku dalam pekerjaan mereka setelah pelatihan. Kelemahan
termasuk asumsi bahwa peningkatan unjuk kerja terutama disebabkan oleh
latihan dan kesulitan mencari dua kelompok identik untuk kelompok
eksperimen dan kontrol.
21. ModelSebelumdanSesudah
Model penilaian ini menggunakan tes pada akhir program pelatihan (pos tes)
yang mencerminkan sasaran pembelajaran. Keuntungannya adalah menghindari
dampak kepekaan pre-test, tetapi kurang cocok jika tujuan penilaian adalah
melihat perubahan atau proses pembelajaran, terutama jika peserta sudah
memiliki pemahaman sebelumnya. Dalam penilaian tingkat tiga, pos tes
digunakan untuk mengukur unjuk kerja setelah pelatihan, dengan asumsi
bahwa pelatihan telah mengubah perilaku peserta dalam pekerjaan mereka.
Namun, model ini memiliki kelemahan karena mengasumsikan bahwa
peningkatan unjuk kerja terutama disebabkan oleh latihan dan kesulitan dalam
mencari dua kelompok yang identik untuk kelompok eksperimen dan kontrol.
22. Pertanyaan utama adalah seberapa
besar dampak pelatihan terhadap
organisasi mengingat biayanya.
ROI digunakan untuk mengukur
efektivitas pelatihan, dengan
harapan bahwa pendapatan yang
dihasilkan melebihi biaya
investasi. Ada banyak model
evaluasi pelatihan, tetapi Holton
mengembangkan Model Penilaian
Penelitian dan Pengukuran Sumber
Daya Manusia (HRD Evaluation
Research and Measurement Model)
karena melihat kekurangan dalam
model-model yang ada.
Model Penilaian Program
Pelatihan/Pendidikan Tingkat 4