1. - 1 -
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya,sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata
kuliah Filsafat Umum dengan judul Eksistensialisme.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tak lepas dari bantuan beberapa pihak yang
dengan tulus memberikan doa,saran dan kritik sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman
dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu kami mengharapkan berbagai macam bentuk saran
maupun kritik yang membangun dari berbagai pihak.Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.
Kencong, 22 -November - 2021
2. - 2 -
DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………………………………………………….1
Daftar isi.……………………………………………………………………………………………..2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................................................3
B. Rumusah Masalah ...................................................................................................................3
C. Tujuan Penulisan .....................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian eksistensialisme......................................................................................................4
B. Sejarah kemunculan filsafat eksistensialisme..........................................................................4
C. Tokoh pemikir filsafat eksistensialisme...................................................................................5
D. Aliran di dalam filsafat eksistensialisme adalah……………...……………………………...6
E. Ciri-ciri aliran filsafat eksistensialisme………………………………………………………8
F. Eksistensialisme dalam pendidikan …………………………………...……………………..8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ..............................................................................................................................9
Daftar Pustaka ........................................................................................................................10
3. - 3 -
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebagai salah satu aliran besar dalam filsafat, secara khususnya dalam periodisasi filsafat barat yang
juga pernah menjadi salah satu aliran sangat penting di abad ke-20. Eksistensialisme merupakan filsafat
yang memandang segala gejala dengan berpangkal pada eksistensi, yang secara umum diartikan
sebagai keberadaan.
Paham ini memusatkan perhatiannya kepada manusia, maka kerena itulah filsafat ini bersifat
humanitis, yang mempersoalkan seputar keber-Ada-an manusia dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat
kebebasan.
Eksistensi adalah cara manusia berada dalam dunia, yang mana cara berada manusia di dunia ini
amatlah berbeda dengan cara berada benda-benda yang tidak sadar akan keberadaannya, juga benda
yang satu berada di samping lainnya, tanpa hubungan.
Namun, disamping itu semua manusia berada bersama-sama dengan sesama manusia. Maka, untuk
membedakan antara benda dengan manusia dapat kita katakan bahwa benda “berada” dan manusia
“bereksistensi”. Sehubungan dengan itu semua, maka dalam makalah ini kami ingin membahas tentang
Eksistensialisme.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian eksistensialisme ?
2. Bagaimana sejarah kemunculan filsafat eksistensialisme ?
3. Siapa saja tokoh pemikir filsafat eksistensialisme ?
4. Apa saja aliran filsafat eksistensialisme ?
5. Apa saja ciri-ciri filsafat eksistensialisme ?
6. Bagaimana eksistensialisme dalam pendidikan ?
C. TUJUAN
1. Mengetahui pengertian eksistensialisme
2. Mengetahui sejarah kemunculan aliran filsafat eksistensialisme
3. Mengetahui tokoh pemikir filsafat eksistensialisme
4. Mengetahui aliran filsafat eksistensialisme
5. Mengetahui ciri-ciri dari filsafat eksistensialisme
6. Mengetahui eksistensialisme dalam pendidikan
4. - 4 -
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Eksistensialisme
Eksistensialisme secara etimologi berasal dari kata eksistensi yang dalam bahasa Latin adalah
existere (ex: keluar, dan sistere: tampil, muncul) yang berarti ada, muncul, atau memiliki keberadaan
aktual.
Eksistensialisme, secara terminologi ialah aliran filsafat yang memandang segala gejala dengan
berpangkal kepada eksistensi, atau tentang adanya sesuatu. Akan tetapi eksistensi di sini tidaklah cukup
jika hanya diartikan dengan ada, mengada, atau berada, karena ungkapan eksistensi ini mempunyai arti
yang lebih khusus, yaitu cara manusia berada di dalam dunia, di mana cara berada manusia berbeda
dengan cara berada benda-benda.
Benda-benda tidak sadar akan keberadaannya, dan benda-benda yang berdampingan pun berada
tanpa ada hubungan, dalam arti tidak saling berinteraksi. Manusia tidaklah demikian, manusia
menyadari keberadaannya dan karena manusialah bendabenda menjadi bermakna. Dari kedua cara
berada yang berbeda tersebut, filsafat eksistensialisme menegaskan bahwa untuk benda-benda disebut
“berada”, sedangkan manusia disebut “bereksistensi”.
Manusia bereksistensi berarti manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan seolah-olah keluar dari
dirinya, dan segala sesuatu yang berada disekitarnya dihubungkan dengan dirinya. Manusia menyadari
bahwa dirinya ada, dan menentukan keadaannya dengan segala perbuatannya di dunia.Hal ini
menjelaskan bahwa manusia akan menemukan dirinya sebagai pribadi dengan cara keluar dari dirinya
sendiri, serta menyibukkan diri dengan segala sesuatu yang berada di luar dirinya.
B. Sejarah Kemunculan Aliran Filsafat Eksistensialisme
Eksistensialisme muncul merupakan reaksi terhadap pandangan materialisme dan idealisme.
Materialisme, terutama konsepnya Marx, mengatakan bahwa yang nyata adalah materi. Materi
merupakan faktor penentu dari tingkah laku (kesadaran) manusia, gerak sejarah, dan perubahan sosial.
Di samping itu materialisme juga menganggap bahwa manusia muncul dalam sejarah sebagai hasil
suatu evolusi fisiologis dan biologis. Manusia hanya merupakan suatu momen dalam kerangka evolusi
kosmos, yang pada suatu ketika dalam evolusi kosmos tersebut muncul “benda yang berpikir”.
Pandangan ini menandakan bahwa segala aktivitas batin seperti berpikir, bahagia, sedih, kecewa, dan
sebagainya, telah dianggap sebagai suatu proses fisik saja.
Manusia bagi eksistensialisme haruslah dipahami sebagai manusia yang utuh atau konkret yaitu
sebagai eksistensi yang berkesadaran (subjek), bukan sekedar dipikirkan secara objektif, akan tetapi
5. - 5 -
dihayati. Eksistensialisme juga berpendapat bahwa sifat khusus tentang cara manusia berada disangkal
dan dilalaikan oleh materialisme, dan manusia hanya diposisikan sebagai objek, padahal manusia juga
merupakan subjek yang berhadapan dengan objek. Materialisme menganggap keberadaan manusia
sama saja dengan benda-benda lainnya. Eksistensialisme menolak pandangan ini, karena cara berada
manusia dengan benda-benda tidaklah sama. Manusia menyadari dirinya ada di dunia, sedangkan
benda-benda tidak. Manusia yang dimaksud materialisme, dalam istilah Sartre, hanyalah sebagai
being-in-itself (ada-dalam- diri) saja, bukan being-for-itself (ada-untuk-diri).
Idealisme berpangkal pada kenyataan bahwa manusia adalah subjek yang berpikir, kesadaran atau
pikiran merupakan segala-galanya bagi manusia. Pandangan ini ditentang oleh eksistensialisme karena
idealisme tampak menghapus dunia sebagai suatu kenyataan, akan tetapi menganggap manusia sebagai
kesadaran atau subjek, padahal tidak ada subjek tanpa dunia. Manusia “melekat” pada dunia, dan dunia
“melekat” pada manusia. Manusia disebut subjek karena menghadapi objek. Hal ini terlihat jelas dalam
perkembangan ontologi Sartre terutama pada dikotomi “being-for-it-self” dan “being-in-it-self”.
Eksistensialisme, selain muncul sebagai reaksi terhadap pandangan materialisme dan idealisme,
juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman
industri modern atau zaman teknologi, serta pemberontakan terhadap gerakan massa pada zaman
sekarang. Eksistensialisme beranggapan bahwa masyarakat industri lebih condong untuk menundukan
manusia kepada mesin, dengan demikian manusia dijadikan sebagai alat atau objek. Eksistensialisme
sangat menentang objektivitas (cenderung menganggap manusia sebagai nomor dua sesudah benda)
dan impersonalitas, karena apabila kahidupan manusia diberi interpretasi-interpretasi secara objektif
dan impersonal, maka dapat mengakibatkan kehidupan menjadi dangkal dan tidak bermakna.
Penekanan terhadap pentingnya eksistensi pribadi dan subjektifitas telah membawa penekanan
terhadap pentingnya kemerdekaan dan rasa tanggung jawab. Eksistensialisme memunculkan kembali
persoalan- persoalan tentang individualitas dan personalitas manusia. Oleh karena itu, manusia harus
memiliki kesadaran yang langsung dan subjektif, karena seseorang yang diakui sebagai subjek akan
menemukan arti dalam kehidupannya. Inilah yang ditekankan eksistensialisme.
Dapat disimpulkan bahwa eksistensialisme muncul tidak hanya sebagai jalan keluar karena bertolak
dari cara berada manusia yang utuh, yaitu disatu pihak bukan hanya sebagai objek material seperti kata
materialisme, dan di lain pihak bukan hanya kesadaran seperti pandangan idealisme, tetapi juga sebagai
subjek yang menghadapi dunia, sadar akan dirinya sendiri dan segala sesuatu yang dihadapinya.
C. Tokoh Pemikir Eksistensialisme
1. Jean Paul Sartre
Merupakan seorang pencetus aliran eksistensialisme yang lebih menekankan pada kebebasan
manusia. Ia mengatakan kebenaran itu bersifat relatif, bahwa manusia diciptakan mempunyai
6. - 6 -
kebebasan untuk mengatur dan menentukan dirinya. Karena masing-masing manusia bebas
untuk melakukan sesuatu yang menurutnya benar.
2. Soren Kierkegaard
Eksistensi manusia adalah suatu eksistensi yang dipilih melalui kebebasan. Menurutnya,
eksistensi manusia bukan sesuatu yang diam tetapi manusia itu senantiasa bergerak menuju
kemungkinan. Ia menekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang
dimungkinkan.
3. Martin Buber
Eksistensialisme adalah nilai eksistensi manusia itu tidaklah murni dari manusia. Pendapatnya
ini memang berbeda dari tokoh sebelumnya, tetapi masih dalam lingkungan eksistensialisme.
Menurutnya eksistensi dapat dipengaruhi oleh hubungan sesamanya.
4. Martin Heidegger
Menurut pemikirannya keberadaan manusia adalah segala sesuatu yang berada diluar kendala
manusia yang dikaitkan dengan manusia itu sendiri. Pemikirannya berhubungan dengan
humanisme dimana sikap manusia yang memanusiakan manusia.
5. Karl Jasper
Ia mempunyai pemikiran bahwa manusia itu mempunyai kebebasan,tapi pada pada ujungnya
manusia juga mempunyai keterbatasan, yaitu keterbatasan penderitaan, perjuangan, kesalahan,
dan kematian. Ia memandang filsafat ini bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya
sendiri, yang ditandai dengan pemikiran menggunakan ilmu pengetahuan.
6. Paul Tilich
Paul megartikan eksistensialisme menjadi tiga kategori yaitu sebagai pandangan hidup, gerakan
protes, ungkapan. Dari ketiganya dapat diartikan bahwa eksistensi ini bersifat universal atau
meyeluruh.
D. Aliran Filsafat Eksistensialisme
1. Eksistensialisme Teistis
Eksistensialisme teistis diwakili oleh Soren Kierkegaard (1813-1855). Seorang tokoh yang
dianggap sebagai Bapak eksistensialisme. Ia berasal dari Denmark. Ajarannya mengandung harapan
(optimistis) untuk hidup di dunia ini. Ia percaya bahwa ada cahaya dalam kegelapan. Ia juga
berpendapat bahwa eksistensi manusia ialah manusia merasa bersalah terhadap Tuhan. Adapun
7. - 7 -
eksistensialisme manusia adalah hidup, ketakutan, harapan, putus asa, dan mati, yang kesemuanya
itu menjadi pemikiran Kierkegaard.Akan tetapi, dalam situasi demikian, percaya kepada Tuhan
dapat menolong mengatasi ketakutan dan putus asa yang disebabkan oleh kedosaan. Di samping
adanya kepercayaan demikian, harus pula disertai segala kesungguhan sebagai eksistensi yang harus
menghadapi realitas. Manusia harus berbuat, bertindak dan bereksistensi demi kebebasan dalam
keterbatasan dengan adanya mati. Kierkegaard berpendapat pula bahwa hanya manusia yang
bereksistensi; yang bereksistensi setiap saat. Bereksistensi ialah bertindak. Manusia bukan saja
individu di hadapan dirinya, tetapi juga individu di hadapan Tuhan. Dari ajaran tersebut sehingga
dikatakan bahwa Kierkegaard memandang manusia dalam gerak vertikal yang pada akhirnya ke
Tuhan.
2. Eksistensialisme Ateistis
Jean Paul Sartre dianggap sebagai tokoh eksistensialisme ateistis. Ia seorang filsuf Perancis
yang lahir pada tahun 1905. Azas pertama ajarannya ialah eksistensi adalah keterbukaan. Manusia
tidak lain cara ia menjadikan dirinya. Ini berarti manusia harus dihadapi sebagai subjek, artinya
manusia tidak akan selesai dengan ikhtiarnya. Manusia tidak lain adalah tindakannya sendiri.
Menurut Sartre, apapun eksistensi manusia, ia sendiri yang bertanggung jawab karena ia dapat
memilih yang baik dan yang kurang baik baginya. Oleh sebab itu, ia tidak dapat mempermasalahkan
orang lain, apalagi akan menggantungkan diri kepada Tuhan. Pertanggungjawaban tersebut
didasarkan atas suatu perhitungan bahwa apa yang dilakukan manusia akan diperbuat pula oleh
orang lain. Perbuatan manusia yang telah dipertimbangkan masak-masak merupakan gambaran
manusia yang sebenarnya. Dengan demikian, dapat digambarkan betapa besar beban manusia
terhadap seluruh manusia pada umumnya. Sartre memandang bahwa apa saja yang dibuat manusia
mempunyai tujuan dan arti tertentu. Manusia hidup dalam buatan manusia sendiri. Manusia
menjalankan eksistensi manusia dalam alam buatan manusia sendiri. Manusia dapat menembus
konstruksi dan mendobrak alam konstruksi. Ia berpandangan bahwa dalam hidup ini tidak ada
norma, semua serba tidak menentu. Oleh karena itu, manusia mengalami kesepian yang dapat
membawa kepada keputusasaan. Sartre mengajarkan pula tentang kesadaran. Sadar, berarti sadar
terhadap sesuatu, sesuatu di luar dirinya. Di sini berarti antara bahwa diri seseorang dengan sesuatu
yang lain, ada hubungan dan ada komunikasi. Pendapat Sartre lebih lanjut bahwa adanya hubungan
dengan sesuatu yang di luar, berarti meniadakan sesuatu. Maknanya, orang yang sadar tidak identik
dengan dirinya sendiri, dia bukanlah ia. Dia yang sadar tentang dirinya selalu berbuat terus untuk
mengubah dirinya. Dia selalu dalam peralihan dan peniadaan itu berjalan terus-menerus. Ajaran
sentral Sartre ialah kemerdekaan karena kemerdekaan itu sendiri milik manusia yang azasi. Tanpa
kemerdekaan, manusia tidak ada artinya lagi. Hal itu menurut Sartre tidak ada determinasi.
Sekalipun orang dipaksa, didorong atau ditarik umpamanya, manusia tetap mempunyai sikap, mau
8. - 8 -
atau tidak mau, maka kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya tetap ada. Manusia mempunyai
kemerdekaan untuk bertindak dan berbuat. Kemerdekaan adalah mutlak. Kemerdekaan tidak dapat
disempitkan maknanya bagi manusia, sekalipun maut merupakan batas dari kebebasan. Menurut
Sartre, batas itu di luar eksistensi manusia. Maut tidak mempunyai arti apa-apa dalam hubungannya
dengan eksistensi manusia.
E. Ciri-ciri Aliran Filsafat Eksistensialisme
Eksistensialisme berkembang dan terbagi ke dalam dua aliran. Pertama adalah eksistensialisme
teistis, seperti Soren Kierkegaard, Jaspers, dan Marcel yang bergerak menuju Tuhan. Kedua adalah
eksistensialisme ateistis yaitu Heidegger, Jean Paul Sartre, dan beberapa filsuf Prancis lainnya.
Eksistensialisme tersebut meskipun telah terbagi ke dalam dua aliran, keduanya memiliki ciri-ciri yang
sama, diantaranya:
1. Motif pokoknya adalah eksistensi, yaitu cara khas manusia berada. Bersifat humanistis, karena
yang menjadi pusat perhatian adalah manusia.
2. Bereksistensi diartikan secara dinamis, yaitu menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi,
dan merencanakan. Manusia, setiap saat, selalu berubah kurang atau lebih dari keadaan
sebelumnya.
3. Manusia dipandang terbuka, sebagai realitas yang belum selesai. Manusia pada hakikatnya
terikat dengan dunia sekitar, terutama dengan sesama manusia.
4. Eksistensialisme memberikan tekanan pada pengalaman eksistensial kongkrit manusia,
misalnya kematian, penderitaan, kesalahan, perjuangan, dan lain-lain.
F. Eksistensialisme Dalam Pendidikan
Dalam dunia pendidikan yang menganut filsafat pendidikan eksistensialisme, pendidikan dapat
dimanfaatkan sebagai sarana untuk pemenuhan pribadi. Pendidikan menurut eksistensialisme
hendaknya menekankan pada kualitas peserta didik. Eksistensi dan pendidikan sangat berkaitan erat.
Dengan pendidikan manusia dapat mendapat sarana menunjukkan eksistensinya. Pendidikan dan
eksistensi, keduanya saling melengkapi. Pusat perhatian dari aliran filsafat eksistensialisme adalah
manusia, karena menurut eksistensialisme satu-satunya yang mampu bereksistensi dalah manusia,
sedangkan pendidikan hanya mampu dilakukan oleh manusia.
Eksistensialisme tidak terlalu setuju dengan model pembelajaran behavioristik yang menakankan
pada reward dan punishment. Tidak ada metode pendidikan yang baku dalam pendidikan menurut
eksistensialisme. Fokusnya hanyalah membimbing peserta didik menemukan potensi, mengasah dan
menggunakan bakat minat yang dimiliki.
9. - 9 -
Model pendidikan eksistensialisme ini terwujud dalam model pembelajaran dengan cara diskusi
yang melibatkan semua peserta didik, dengan membagi menjadi kelompok-kelompok kecil.
Eksistensialisme mengajarkan peserta didik untuk mampu berpikir kritis dan tidak sekedar mengikuti
arus. Adapun implementasi filsafat pendidikan eksistensialisme terhadap pendidikan di indoneisa
adalah tujuan dari suatu pendidikan didesain untuk memberi bekal pengalaman kepada peserta didik
secara luas dan komperhensif dalam semua bentuk kehidupan. Kurikulum didesain dengan bentuk
liberal dimana mengutamakan kebebasan bagi siswa untuk mengasah kemampuan sendiri, namun tetap
diimbangi dengan materi pengajaran sosial dan mengajari siswa untuk tetap menghormati guru,
walaupun guru disini dianggap sebagai fasilitator, bukan lagi seorang pembimbing. Sistem pendidikan
yang menganut eksistensialisme akan memasukkan kesenian dan humaniora sebagai materi
pembelajarannya sebagai antisipasi bila ada siswa yang berminat pada bidang-bidang tersebut. Juga
ada kegiatan ekstrakurikuler seperti olahraga, teater, drum band, agar dari kegiatan tersebut peserta
didik mampu menggali, mengenali dan kemudian mengembangkan potensi yang dimiliki.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Eksistensialisme secara etimologi berasal dari kata eksistensi yang dalam bahasa Latin adalah
existere (ex: keluar, dan sistere: tampil, muncul) yang berarti ada, muncul, atau memiliki keberadaan
aktual. Eksistensialisme, secara terminologi ialah aliran filsafat yang memandang segala gejala dengan
berpangkal kepada eksistensi, atau tentang adanya sesuatu. Akan tetapi eksistensi di sini tidaklah cukup
jika hanya diartikan dengan ada, mengada, atau berada, karena ungkapan eksistensi ini mempunyai arti
yang lebih khusus, yaitu cara manusia berada di dalam dunia, di mana cara berada manusia berbeda
dengan cara berada benda-benda.
Dalam dunia pendidikan yang menganut filsafat pendidikan eksistensialisme, pendidikan dapat
dimanfaatkan sebagai sarana untuk pemenuhan pribadi. Pendidikan menurut eksistensialisme
hendaknya menekankan pada kualitas peserta didik. Eksistensi dan pendidikan sangat berkaitan erat.
Dengan pendidikan manusia dapat mendapat sarana menunjukkan eksistensinya. Pendidikan dan
eksistensi, keduanya saling melengkapi. Pusat perhatian dari aliran filsafat eksistensialisme adalah
manusia, karena menurut eksistensialisme satu-satunya yang mampu bereksistensi dalah manusia,
sedangkan pendidikan hanya mampu dilakukan oleh manusia.
10. - 10 -
DAFTAR PUSTAKA
Dra. Mahmudah M.Pd.I,.2009. Filsafat Eksistensialisme : Telaah Ajaran dan Relevansinya dengan
Tujuan Pendidikan di Indonesia. Jurnal pemikiran alternative kependidikan.
Yunus,Firdaus M..2011. Kebebasan dalam filsafat Eksistensialisme jean paul sartre. Jurnal Al-ulum.
Agustini,Dewi.2016.” implementasi-filsafat-pendidikan”
https://www.kompasiana.com/wasiatusshodariyah/5eab0c5d097f3608f944a602/eksistensialisme-serta-
para-pemikir-eksistensialisme.Diakses 20 November 2021.
Mella Yussafina,Diana.2015. Eksistensialisme jean paul sartre dan
Relevansinya dengan moral manusia. Skripsi. Semarang : Universitas Negeri Semarang.
Amalia, Popi. 2015. Eksistensialisme. Makalah.