TINJAUAN HUKUM ISLAM DALAM MENYIKAPI WABAH COVID 19
1. TINJAUAN HUKUM ISLAM DALAM MENYIKAPI WABAH COVID 19
DENGAN PENDEKATAN ILMU HADITS
(Penjelasan Hukum Syariat Serta Fikih Ibadah Di Masa Pandemi Covid 19)
Nabila Zalva Audhistya (2000027010)
Nadia Alma Saphira (2000027017)
Yoga Budi Prabowo (2000027002)
Mahasiswa dan Mahasiswi S1 Program Studi Ilmu Hadits Fakultas Agama Islam
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Email: nabilazalvaaudhistya@gmail.com
nadiaalmasapphira@gmail.com
yogabudiprabowo029@gmail.com
Abstract
This research is motivated by an emergency condition in the form of a corona
virus which requires everyone not to do activities outside the home, so that it
develops towards congregational worship activities in mosques. The view of
people who demand to think about whether to worship in congregational mosques
even though the virus continues to develop or leave worship in mosques because
they are worried about the virus or worship in mosques using masks. In the
context of a globalized epidemic, a pandemic fiqh is needed to regulate the
worship of Muslims during an outbreak like this. Islamic law is always present in
any situation, so that Muslims remain calm in carrying out their religious
activities. Currently, people are still sami'na wa atha'na against the decision of
MUI and the government or accept other views to continue to worship by
avoiding social / physical distance (maintain social or physical distance). The
purpose of this study was to determine the fiqh of worship during a pandemic with
the views of several Indonesian scholars, in order to maintain safe and
2. comfortable worship. This research method is descriptive through library
research by tracing the views of Indonesian scholars..
Keywords: Fiqh Covid-19, Indonesian Ulama, Pandemic
Abstrak
Penelitan ini dilatarbelakangi oleh kondisi darurat berupa virus corona yang
menuntut setiap orang untuk tidak melakukan aktivitas di luar rumah, sehingga
berkembang terhadap aktivitas ibadah berjamaah di masjid. Pandangan orang
yang menuntut berpikir haruskah ibadah di masjid berjamaah meskipun virus
terus berkembang ataukah meninggalkan ibadah di masjid karena khawatir
terhadap virus ataupun beribadah di masjid dengan menggunakan masker. Dalam
konteks wabah yang mengglobal, dibutuhkan sebuah fikih pandemi yang
mengatur ibadah umat islam di masa wabah seperti ini. Hukum Islam selalu hadir
di tiap situasi apapun, agar umat Islam tetap tenang dalam menjalankan aktivitas
agamanya. Saat ini masyarakat untuk tetap sami’na wa atha’na terhadap
keputusan MUI dan pemerintah atau menerima pandangan lain untuk tetap ibadah
dengan menghindari social/physical distance (jaga jarak secara social ataupun
fisik). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui Fikih ibadah saat pandemi dengan
pandangan beberapa ulama Indonesia, agar tetap terciptantya ibadah secara aman
dan nyaman. Metode penelitian ini adalah deskriptif melalui library research
dengan menelusuri pandangan ulama Indonesia.
Kata kunci : Fikih Covid-19, Ulama Indonesia, Pandemi
PENDAHULUAN
Memasuki tahun 2020 ini dunia dikagetkan dengan virus yang dikenal
Covid-19 di seluruh penjuru dunia dimulai dari Wuhan Cina virus ini menyebar
dan bahkan ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Seperti yang kita ketahui,
khususnya Indonesia saat ini sedang berjuang untuk melawan Covid-19, banyak
sekali korban-korban yang terinfeksi Covid-19 di dunia mencapai ratusan ribu
3. korban. Namun virus ini menyadarkan umat manusia tentang urgensi kebersihan
dan hubungan sosial, ternyata tangan dengan fungsinya menuntut banyak untuk
dibersihkan sesering mungkin, tidak cukup setiap waktu shalat dan setiap makan
dan setelahnya, tetapi lebih dari itu, sebab dari tangan ini akan mengantarkan
suatu yang tidak diinginkan terjadi pada tubuh manusia seperti virus covid-19.
Permasalahan virus ini sangat berbahaya untuk publik, sehingga
pemerintah membentuk kebijakan publik untuk memutuskan rantai virus tersebut.
Kebijakan ini disusun oleh stakeholders dalam rangka menyelesaikan
permasalahan yang terjadi di negeri tercinta ini. Virus corona kemudian muncul
dan memberikan begitu banyak pengaruh dalam berbagai sector, terutama
ekonomi terjadi panic buying, sosial dan agama. Namun, virus corona
memberikan kesempatan untuk mengkajinya dari berbagai aspek keilmuan,
diantaranya kebijakan sosial maupun ibadah. Kebijakan harus disesuaikan
dengan kebutuhan dan keselamatan jiwa orang banyak. Kebijakan harus
memiliki dampak positif terhadap penyelesaian masalah masyarakat. Aspek
kebijakan pemerintah mencakup komunikasi, sumberdaya, disposisi, sikap
pelaksana dan struktur birokasi. Dari aspek tersebut mesti diperhatikan secara
matang, agar kebijakan pemerintah memberikan kemaslahatan dan kesalamatan
bagi masyarakat terutama pelaksanaan ibadah dan kebijakan lainnya.
Penanggulangan virus seperi lockdown sebagai upaya untuk meminimalisir
penyebaran penyakit tersebut.
Covid-19 ini Berdasarkan pandangan ahli dari dokter spesialis paru-paru
adalah virus yang sangat berbahaya, tidak ada yang kebal dari virus Covid-19.
Hanya saja dampak dari virus ini terhadap kesehatan bersifat variatif, sesuai
dengan kondisi kesehatan masing-masing. Covid-19 adalah virus yang tidak
terlihat, bahkan orang yg sudah terjangkit pun tidak langsung tampak gejalanya
sehingga bisa menularkan kemana- mana tanpa mengetahui dirinya sakit. Tidak
diketahui siapa yang sakit dan wabah ini bisa menyebar dengan sangat cepat
hanya dengan sentuhan. Karenanya, proses mitigasi (Pencegahan dan
Minimalisir) harus melibatkan semua masyarakat. Selain masing-masing harus
meningkatkan imun tubuh dngan asupan yang bergizi, social distancing juga
4. mutlak diperlukan untuk menjaga diri dan pencegahan penyebaran. Konsentrasi
massa dihindari sebisa mungkin, karena konsentrasi massa mengakibatkan
potensi penularan tanpa disadari.
Covid-19 juga mengajarkan hubungan sosial bagaimana menjaga etika
sosial dengan tidak membawa dan menyebarkan keburukan kepada saudaranya
apalagi menyebarkan penyakit yang membuat saudaranya sakit dan menderita
karena penularan. Meskipun tidak sengaja, penularan telah terjadi. Karena itu,
umat dituntut untuk sementara tidak melakukan hubungan sosial atau hubungan
fisik terhadap siapa pun sebab kita tidak tahu apakah akan penyebar atau
penerima virus.
Bahaya covid-19 dan percepatan penularan yang terus meningkat
membuat pemerintah mengambil kebijakan untuk menjaga kebersihan dan
sesering mungkin untuk mencuci tangan, tidak kontak secara fisik dan tidak
berhubungan sosial untuk sementara selama Covid-19 masih menghantui negeri
ini, sehingga keluar kebijakan untuk bekerja, belajar dan ibadah di rumah.
Pandangan terhadap fatwa pun beragam di masyarakat. Masjid-masjid
besar milik pemerintah pun ditutup bahkan masjid-masjid di daerah pun mulai
merespon dengan meniadakan sholat berjamaah dan sholat jumat serta aktivitas
keagamaan di masjid. Semua aktivitas mereka lakukan di rumah. Namun, ada
sekelompok lain yang menyikapi hal yang biasa, sehingga mereka mengatakan,
sama corona takut, tapi sama Tuhan yang menciptakan corona tidak takut.
Kalimat ini yang membuat masyarakat melakukan aktivitas seperti biasanya
seolah tidak pernah ada virus yang berbahaya.
Permasalahan yang terjadi dalam Pandemi Covid-19 ini bagi umat Islam
yang diutamakan adalah terpeliharanya agama, artinya kegiatan beribadah dengan
situasi apapun harus dilaksanakan. Maka Hukum Islam selalu hadir di tiap situasi
apapun, agar umat Islam tetap tenang dalam menjalankan aktifitas agamanya.
Dengan berbagai rujukan kesehatan tentang bahaya Covid-19 dan menjaga
keamanan stabilitas negara dengan keluarnya perpu No. 1 Tahun 2020 yang saat ini
menjadi Undang-undang, maka fatwa-fatwa ulama’ yang tergabung dalam MUI
5. maupun ormas keagamaan seperti Muhammadiyyah telah memberikan solusi
hukum yang cepat dan dan tepat. Inilah letak fleksibilitas Hukum Islam.
Secara garis besar, kebijakan hukum atau pembaruan hukum dalam Islam
sangat mempertimbangkan kemashlahatan umat/masyarakat. Kaidah ushul fiqih
menyatakan bahwa tasharruful imaam ‘alarra’iyyah manuthun bil-mashlahah,
yang berarti kebijakan pemimpin atas rakyatnya harus mempertimbangkan
kemashlahatan masyarakat secara luas. Kemaslahatan dalam hal ini mencakup
kesejahteraan rakyat, dan kesejahteraan rakyat akan tercapai dengan cara
menghilangkan kemudharatan/kerusakan. Hal ini bisa dipelajari dari contoh di
masa Nabi shalallahu `alaihi wa salam, pernah menegur seorang sahabat karena
membiarkan ontanya tidak tertambat dengan dalih tawakal kepada Allah
subhanahu wa ta`ala, sementara ia masuk masjid hendak shalat. Hadits lain juga
secara jelas mengatur lockdown ketika terjadi wabah tha’un; “Jika kalian
mendengar kabar tentang merebaknya wabah tha’un di sebuah wilayah, janganlah
kamu memasukinya. Dan jika kalian tengah berada di dalamnya, maka janganlah
kamu keluar darinya. (HR. Bukhari dan Muslim).
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode
deskriptif yakni dengan memberikan deskripsi materi berkenaan dengan topik dan
masalah yang dibahas. Hal ini karena pembahasan dalam artikel ini memerlukan
dalil-dalil serta bukti-bukti yang diperoleh dan di ambilkan dari Al-Qur`an dan
Sunnah juga dari perkataan atau fatwa para ulama yang terpercaya. Sumber-
sumber rujukan tersebut berbentuk dalam tulisan-tulisan yang telah terjaga dengan
baik sehingga dapat dipertanggung jawabkan kebenaran dan keilmiahannya.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Terkait Hukum Fikih saat berada di daerah terjadinya wabah
Pertama: Jika telah mendengar dan mengetahui tentang adanya wabah
penyakit yang terjadi di sebuah daerah maka orang-orang yang berada di
luar daerah tersebut tidak boleh masuk ke daerah tersebut.
6. Rasulullah shalallahu `alaihi wa salam bersabda :
ضْرَأِب ِهِب ُمتعِمَس فإذاُهِنم اًارَِرف ,واُجُرَْخت َالَف اَهِب ُمتنَأَو , ضْرَأِب َعَقَو اَذِإَو ,عليه تقدموا قال ,
“Jika kalian mendengar tentang thoun di suatu tempat maka janganlah
mendatanginya, dan jika mewabah di suatu tempat sementara kalian
berada di situ maka janganlah keluar karena lari dari thoun tersebut.”
(HR. Al-Bukhari 3473 dan Muslim 2218)
Adapun hikmah dari tidak mendatangi daerah yang terjadi wabah agar
tidak tertular, sebagaimana sabda Nabi shalallahu `alaihi wa salam:
ِدَسَالا َنِم َكَارَِرف ِومُذجَمال َنِم َِّرف
“Larilah dari orang yang kusta sebagaimana engkau lari dari singa”
(HR. Ahmad no 9722 dan dishahihkan oleh Al-Arnauth dan Al-Albani
dalam As-Shahihah no 783)
Hal ini menunjukkan bahwa kita diperintahkan untuk berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk menghindari atau mencegah dari berinteraksi
dengan orang yang sedang berpenyakit menular, karena Nabi shalallahu
`alaihi wa salam menyuruh untuk lari sebagaimana lari dari ganasnya
singa.
Kedua: Apabila sedang barada di daerah dimana terjadinya wabah maka
tidak boleh keluar dari daerah tersebut jika karena ingin menghindar. Dari
sabda nabi diatas ada beberapa hikmah yang disebutkan oleh para ulama
tentang sebab pelarangan ini, diantaranya:
Agar wabah penyakit tersebut tidak meluas penyebarannya. Jikalau semua
orang sepakat untuk keluar dari lokasi tersebut maka orang yang tidak
7. mampu (karena sudah sakit parah) tidak akan ada yang mengurusi dan
merawat mereka. Jika dibolehkan keluar maka orang-orang yang lebih
kuat akan berlomba untuk lebih dahulu pergi, tentu ini menambah beban
bagi hati orang-orang yang lemah dimana mereka ditinggalkan oleh
saudara-saudaranya.
Yang dimaksud mendapat larangan lari dari daerah wabah adalah karena
ingin terhindar dari wabah. Adapun jika seseorang keluar pergi dari daerah
wabah karena ada keperluan lain maka hal ini tidaklah mengapa. Misalnya
seseorang yang keluar pergi dari daerah wabah dikarenakan ada tugas,
pekerjaan, menjenguk orang tua, dan hal-hal lainnya yang menyangkut
kewajibannya. Tentu hanya Allah yang mengetahui niat yang
sesungguhnya.
Imam An Nawawi rahimahullah berkata,
ِارَِرفال ِيرَغ ضَرَغَو ُغلشِب ِوجُرُخال ازَوَج على واُقَفَّتَِ...وهب َبأس فال ض ِارَعِل ُجوُرُخال اَّمأ
“Adapun keluar dari lokasi wabah karena ada keperluan (bukan untuk
menghindari wabah) maka tidak mengapa. Dan para ulama sepakat akan
bolehnya keluar karena pekerjaan atau tujuan lain selain menghindar dari
wabah” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim 14/205-207)
Kemudian Ibnu Hajar Al Asqolani juga berkata,
َلَب مِن ِلي ِحَِّلرل َأَّيَهَت ْنَمِيف َكِلاَذ ُرََّصوتُيَو ًالصَأ ِارَِرفال ِدصَقِل َال ٌَةض ِحَمَتُم ةَجاَحِل َجَرَخ نَمَواَهِب ََانك د
ِدَلَب الىفي ُهُعوُقُو َقَفَّتاَف َعَقَو ُنُوعاَّطال ُنكَي مَلو ًالَثَم ِهِتَماَقِإِهي ِزِهْجَت ِاءَنْثأَارَرِفال ِد ِقصَي ْمَل َاذَهَف
ِيهَّنال ِيف ُلُخدَي َالَف ًالْصَأ
“Barangsiapa yang keluar karena murni kebutuhan bukan sama sekali
karena hendak menghindar dari wabah dan kondisi ini bisa tergambar
8. pada orang yang hendak bersiap bersafar dari suatu negeri yang
ditinggalinya menuju negeri tempat menetapnya misalnya, dan wabah
thoun belum mewabah, lalu tiba-tiba bertepatan munculnya wabah
dengan kondisinya yang hendak bersafar, maka orang ini sama sekali
tidak bermaksud untuk menghindar dari wabah, maka ia tidak termasuk
dalam larangan.” (Fathul Baari 10/188)
Namun tetap saja seseorang yang merasa dirinya sehat ketika harus
meninggalkan daerah terjadinya wabah karena ada keperluan maka ia
hendaknya wajib untuk memperhatikan segala kemungkinan, jangan
sampai ia justru memindahkan virus atau penyakit yang ia bawa dalam
dirinya ke daerah-daerah yang masih belum terjangkiti penyakit tersebut.
Kemudian bagi oang-orang yang bersabar untuk tidak keluar dari lokasi
wabah karena mengharapkan pahala dan mencari wajah allah maka orang
seperti ini baginya akan di catatkan pahala mati syahid meskipun dirinya
selamat dan bahkan tidak terkena wabah penyakit tersebut, dengan syarat
ia bersabar dan tidak mengeluh.
Ibnu Hajar Al Haitami berkata,
َّنَأالىَعَتَو ُهانَحسب هللا َابَوَث ًاد ِاصَق َماَقَأَو ,ُِونعاَطال ِدَلَب ِنم ْجُرخَي مَل نَمل َُبتكُي اَمَّنِإ ِديَِّهشال َرْجَأ
ِهِب ر َِجضَتُم َْريَغ هللا ِْريِدْقَتِب َوُهَف ُهَنع ُهَفََرص ْوَأ ُهَل َعَقَو ْنِإ ُهَّنَأ ًاف َِارع ِهِدْعَو َقد ِص ًاي ِاجَرْنِإِهِب َعَقَو
“Pahala mati syahid hanyalah tercatat bagi orang-orang yang tidak
keluar dari daerah wabah thoun, dan ia menetap karena mencari pahala
ddari Allah, berharap janji Allah, menyadari bahwa jika wabah tersebut
menimpanya atau terhindar darinya semuanya dengan takdir Allah, dan ia
tidak mengeluh apabila menimpanya.” (Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubro
4/14)
9. Ketiga: Jika ternyata wabah penyakit telah menyebar dan kasusnya sama
antara daerah satu dengan lainnya, atau negeri satu dengan lainnya, maka
tidaklah mengapa seseorang masuk dan keluar dari daerah-daerah tersebut
karena sama hukumnya yakni sama-sama dalam daerah terjadinya wabah.
Ibnu Hajar Al Haitami berkata,
ُجوُرُخال ُمُرْحَي مَل اًمِيلْقِإ َّمَع لوََّةتَبلَأ ِذئَني ِح َارَرِف َال ُهَّنَأل,بعض لىِإ ُهاَرُق ِعضَب ِنم
“Jika wabah telah meliputi suatu negara maka tidak mengapa keluar dari
satu daerahnya ke daerah yang lain, karena pada kondisi demikian tidak
ada bentuk lari lagi.” (Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubro 4/11)
B. Terkait pelaksanaan peribadahan sehari-hari
Pertama: Dibolehkan untuk meninggalkan shalat berjamaah dan shalat
jum`at.
Hal ini karena di antara hal yang bisa menjadikan udzur untuk sholat
berjamaah adalah hujan, takut, sakit, angin kencang, dan semisalnya, maka
terlebih lagi dengan virus yang dapat menimbulkan kematian dan tersebar
begitu cepatnya.
Kaidah pertama, semua udzur yang dibolehkan untuk dapat meninggalkan
sholat berjamaah maka itu pula dapat menjadikan udzur untuk
meninggalkan sholat jum`at.
أو ِهِسنف على ِفئاَخ على ُةَعمُجال ُب َِجت َفال ُالجمعة ِترك في ٌراَذأع َِيه ,ِةَعاَمَجال ِركَت في ٌارَذعَأ
,ِهِلاَمُهَعاَيَض ُافَخَي ٌيض ِرَم ُهَل نَم ىَلَع َالَو ,ٌرَطم ِهطريق ِيف نَم ىَلَع َالَو
“Udzur-udzur yang membolehkan meninggalkan sholat berjamaah itulah
udzur untuk meninggalkan sholat jum`at. Maka tidak wajib bagi orang
yang takut atas (keburukan menimpa) dirinya, atau menimpa hartanya,
10. demikian pula orang yang kehujanan dalam perjalanannya (menuju
masjid), demikian orang yang sedang mengurusi orang sakit yang di
khawatirkan akan terlalaikan (jika ia meninggalkannya untuk sholat
jum`at).” (Al Bayaan Fi Madzhab Al Imam Asy Syafii 2/545)
Kaidah kedua, udzur-udzur tersebut bersifat umum yaitu semua hal yang
menimbulkan kesulitan. Imam An Nawawi berkata,
َوُهَف ٌةَدِيدَش ٌةَّقَشَم ِهِب َق ِحَل اَم ُّلُك لَب ًاُوصصخَم َيسَل ِةَعاَمَجالَو ِةالجمع ِركَت ِيف ِارَذعَألا َابَب َّنَأ
اَذَه ِنم ُلَحَالوَو ٌُذرع
“Sesungguhnya permasalahan udzur-udzur yang membolehkan
meninggalkan sholat jum`at dan sholat berjamaah bukanlah udzur khusus,
akan tetapi semua yang mendatangkan kesulitan yang berat maka
termasuk udzur” (Al Majmuu` Syarh Al Muhadzzab 4/384)
Apabila becek dan hujan deras saja bisa menjadi udzur meninggalkan
sholat jum`at dan sholat berjamaah maka terlebih lagi karena suatu
penyakit yang dapat merenggut nyawa. Demikian juga orang yang sakit
atau khawatir terkena penyakit maka boleh meninggalkan sholat
berjamaah dan sholat jum`at.
Kedua: terkait shalat memakai masker.
Hukum sholat dengan mengenakan penutup mulut pada asalnya adalah
makruh menurut 4 madzhab (lihat: Badai` Ash Shanai` 1/216, Syarh Al
Mukhtashor Al Kholil 1/250, Al Majmuu` 3/179, dan Al Mughnu 1/419).
Hal ini karena menyerupai orang-orang majusi tatkala beribadah atau
karena bentuk berlebihan dalam beribadah. Berdasar pada hadits Abu
Hurairah radhiyallahu `anhu bahwasanya Nabi shalallahu `alaihi wa salam
melarang di dalam shalat “seseorang menutup mulutnya” (HR. Abu Daud
11. no 643 dan Ibnu Majjah no 966, dihasankan oleh Al Arnauuth dan Al
Albani dalam Al Misykaah no 764)
Namun perlu diketahui bahwa hukum ini dapat berubah jika ada
kebutuhan seperti jika seorang mnguap maka ia bisa menutup mulutnya
(lihat: Ma`aalim As Sunan, Al Khottobi 1/179, demikian juga jika karena
pekerjaanya (lihat Mawahibul Jalil 1/503), atau karena penyakit (lihat
Majmuu Fatawa Ibn Baaz 11/114), maka demikian pula jika khawatir
tertular penyakit yang sedang mewabah atau khawatir jika menularkannya
kepada orang lain.
Dalam keadaan tertentu jika suatu daerah memungkinkan untuk
mengadakan sholat berjamaah maka tidak mengapa mendirikan sholat
dengan menggunakan masker.
Ketiga: terkait dengan sholat merenggangkan shaff saat berjamaah
Diantara kesempurnaan sholat adalah dengan merapatkan dan meluruskan
shaff, akan tetapi apabila kondisinya darurat maka tidak mengapa sebagian
kewajiban ditinggalkan apalagi perkara yang sunnah untuk ditinggalkan.
Rapatnya shaff adalah kesempurnaan shalat yang di perintahkan oleh nabi
shalallahu `alaihi wa salam. Nabi bersabda,
ُّواصاََرتَو
“Dan rapatkanlah shaff” (HR. Al Bukhari no 719)
Nabi juga menyuruh untuk menutup celah dan kerenggangan, beliau
shalallahu `alaihi wa salam bersabda:
12. نَمَو هللا ُهَلَصَو ََّفص َلَصَو نَمَو انَطَّيشلل اتَجُرُف واُرَذت َالَو ُمكِناَخوِإ ِيديَأِب واُنِيلَو َلَلَخال ُّوادٌسَو
هللا طعهَق ُهَعَطَق
“Tutuplah celah, lembutlah kepada tangan-tangan saudara-saudara kalian
dan janganlah kalian menyisakan celah-celah bagi syaitan. Barangsiapa
yang menyambung shaff maka Allah menyambungnya, dan barangsiapa
yang memutuskan shaff maka Allah akan memutuskannya” (HR. Abu
Daud no 672 dan di shahihkan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah no
743)
Namun dikarenakan kondisi yang mengkhawatirkan maka sebagian
saudara-saudara kita ketika shalat dengan jarak lebih dari semeter tentu
merekapun tidak mau melakukan demikian, akan tetapi keadaan
mengharuskan demikian karena khawatir penularan virus.
Jikalau memang sholat berjamaah masih di selenggarakan di daerah yang
terjadi wabah maka tidak mengapa bagi jamaah untuk memberi dan
menjaga jarak ketika sholat di karenakan khawatir akan penularan akibat
dari kontak fisik.
Jika kerenggangan tersebut tidak mengeluarkan dari hukum shaff, dalam
artian meski renggang akan tetapi masih dianggap shaff maka berarti
makmum hanya meninggalkan perkara yang disepakati tidak membatalkan
sholat. Hal ini karena mayoritas ulama berpendapat bahwa merapatkan
shaff hukumnya adalah sunnah dan tidak wajib.
KESIMPULAN
Terkait hukum fiqih saat berada di daerah terjadinya wabah ada 3:
Pertama, larangan untuk memasuki daerah terjadinya wabah agar tidak
tertular sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam dalam riwayat
Ahmad.
13. Kedua, larangan untuk keluar dari daerah terjadinya wabah agar wabah
penyakit tersebut tidak menyebar luas. Adapun jika seseorang ingin keluar dari
daerah wabah karena ada keperluan lain yang menyangkut kewajiban maka hal ini
tidaklah mengapa. Namun tetap dengan memperhatikan segala kemungkinan,
jangan sampai ia justru memindahkan virus atau penyakit yang ia bawa dalam
dirinya ke daerah-daerah yang masih belum terjangkiti penyakit tersebut.
Ketiga, jika wabah telah menyebar dan kasusnya sama antara daerah satu
dengan yang lain, maka tidaklah mengapa seseorang masuk dan keluar dari
daerah-daerah tersebut.
Terkait pelaksanaan peribadahan sehari-hari. Maka dibolehkan untuk
meninggalkan shalat berjamaah dan shalat jum’at. Hal ini karena diantara hal
yang bisa menjadikan udzur untuk shalat berjamaah adalah hujan, takut, sakit,
angin kencang dan semisalnya, maka terlebih lagi dengan virus yang dapat
menimbulkan kematian dan tersebar begitu cepatnya.
Kemudian, terkait sholat memakai masker. Hukum asalnya adalah makruh
menurut 4 madzhab. Namun perlu diketahui bahwa hukum ini bisa berubah jika
ada kebutuhan seperti karena penyakit, maka demikian pula jika khawatir tertular
penyakit yang sedang mewabah atau khawatir jika menularkannya kepada orang
lain. Begitu pula terkait sholat dengan merenggangkan shaf saat berjamaah.
Rapatnya shaf adalah kesempurnaan shalat yang diperintahkan oleh Nabi
shalallahu ‘alaihi wa salam. Namun dikarenakan kondisi yang mengkhawatirkan
maka tidaklah mengapa menjaga jarak ketika shalat
DAFTAR PUSTAKA
Andirja, Firanda, Hukum seputar covid dalam tinjauan syariah, Jakarta: Firanda
Andirja, 2020
Al Minhaj Syarh Shahih Muslim
Fathul Baari
Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubro
Al Bayaan Fi Madzhab Al Imam Asy Syafii
Al Majmuu` Syarh Al Muhadzzab
14. Majmuu Fatawa Ibn Baaz
https://islamqa.info/id/answers/333514/hukum-menghadiri-shalat-jumah-dan-
jamaah-dalam-kondisi-tersebarnya-wabah-atau-takut-terjadi-penyebarannya
https://islamqa.info/id/answers/115117/apakah-orang-yang-sedang-flu-dilarang-
ikut-shalat-berjamaah-karena-khawatir-menular