1. Akhir Sebuah Penantian
gelisah dalam penantian, resah yang mengganggu jiwa, dan khawatir yang
menggerogoti hati, kini telah diusir pergi oleh pelukan cowok berperawakan
tinggi, putih, dengan rambut tertata rapi dan hidung mancung serta kemeja putih
dan jas warna hitam yang ia kenakan bak pangeran harry yang gagah dan juga
menawan.
Larut dalam kebahagiaan tak menyadarkan ku bahwa matahari mulai
bersembunyi di ufuk barat, pancaran cahayanya mulai tak pijar dan redup.
Sekali lagi aku bertanya kepada Abel yang saat ini memelukku,
“oh, benarkah ini semua… Atau ini hanya ilusi ku saja”
Perlahan cowok tampan bernama Abel itu melepaskan pulukannya dan
kemudian menatapku dalam dalam, pancaran sinar matanya begitu kuat
membuat siapa saja yang ditatapnya akan merasakan hawa kedamaian. Emtah
malaikat mana yang berdiam diri di mata Abel, yang jelas sorot matanya begitu
indah, bahkan lebih indah dari beribu mata bidadari bidadari surga. Betapa
beruntungnya aku.. Meluluhkan hatinya yang keras.
Dengan lembut Abel menggenggam kedua tanganku
“Gita sayang, ilusimu itu sudah jadi kenyataan sekarang, lihatlah cincin yang
singgah di masing masing jari manis kita, serta 2 buah kitab kecil satu untukku
dan satu lagi untukmu, lihat juga orang orang di sekeliling kita, mereka semua
di sini untuk kita untuk menghadiri sebuah ritual suci yang dipimpin oleh
2. seorang penghulu, satu lagi Gita ku sayang pesta kecil ini telah kita rancang
dengan susah payah dengan segala macam rintangan”.
Lalu Abel mengembangkan senyum menawannya yang begitu manis namun
penuh harapan.
Air mataku tak tertahankan ketika semua orang bersorak sorai mengiringi
alunan kebahagiaan yang baru beberapa menit yang lalu disahkan oleh
penghulu.
Air mata bercampur haru membentuk sebuah harapan akan keharmonisan
rumah tanggaku dengan pangeran pujaan ku Abel.
Dan untuk kesekian kalinya Abel memelukku kembali.
3. Amnesia
Gorden putih yang menutupi setengah dari ventilasi yang terbuka itu, membuat
cahaya matahari pagi masuk memancarkan sinarnya, hingga meronakan
wajahku yang kuning langsat ini. Kehangatannya terlalu dalam untuk dihayati,
lalu terbersit dalam hati untuk memejamkan mata sambil berusaha menerka-nerka.
Hujan memang baru saja berakhir, lalu pelangi secara beriringan
memadu warna di langit dan ditambah dengan pemandangan danau di tepian
taman yang bisa kulihat dibalik ventilasi yang setengah terbuka ini. Sungguh
membuatku merasa sangat nyaman, betul-betul nyaman. Namun semua
kenyamanan itu sirna, ketika aku tersadar, hari itu aku hanya bisa berbaring
menyelimuti diri dan terkadang meringis sakit karena bekas luka yang ada di
dahiku. Entah apa yang terjadi. Dua hari yang lalu aku baru tersadar, aku sudah
dalam keadaan yang tidak layak untuk dikatakan sehat di Rumah Sakit yang
menurutku mewah dan aku pun lupa. Lupa, lupa semuanya. Memori yang
teringat hanyalah ilmu-ilmu pasti yang sepertinya pernah kupelajari. Bahkan,
aku lupa namaku dan dimana alamatku sekarang.
“Nabila, sayang.” Lagi-lagi perempuan paruh baya yang mengaku ibuku itu
memanggilku dengan sapaan itu. Seperti biasa, setelah Ia memanggilku, Ia
membantu tubuhku yang lemas ini untuk terbangun atau lebih tepatnya duduk
lalu mengusap-usap pipiku. Aku hanya bisa termangu melihatnya yang selalu
tersenyum syahdu kepadaku, namun Ia tak bisa menyembunyikan gurat
kesedihan di wajahnya yang keriput itu. Tapi ada hal yang ingin aku ketahui
darinya, karena sepertinya ada sesuatu hal yang sedang disembunyikan dariku.
“Nabila, ayo makan.. Mama belikan bubur kesukaan kamu.” Ucapnya dengan
senyum sumringah. “Bubur kesukaanku? Bubur ini lagi..”
“Iya, ini bubur kesukaanmu, ayo makan lagi.”
“Hmm ma.. Aku tidak merasakan kenikmatan memakan bubur ini lagi semenjak
4. kemarin. Aku rasa indra perasaku sudah mulai tidak peka dengan makanan
enak. Entahlah.. ma.”
Wajahnya langsung tertunduk kaku dengan penuh kebingungan. Lalu ia
merogoh-rogoh tas belanjaannya dan mencari-cari sesuatu yang hendak ia
ambil. Ah, sebenarnya apa yang terjadi dengan semua ini. Apakah aku bukan
anaknya? Lalu mengapa ia sangat menyayangiku? Apa yang sedang ia
sembunyikan? Aku mengalihkan pandanganku kembali pada ventilasi yang
setengah terbuka itu dan kembali menerka-nerka. Ada satu keinginan yang tiba-tiba
saja muncul, yaitu keinginan untuk bertemu dengan seseorang. Aku tidak
tau dia siapa, tetapi entah mengapa aku sangat merindukannya. Apakah ayahku?
Sepertinya kurang tepat.
“Oh ini nabila, ada apel, kamu suka kan?” Tegur ibuku kembali dengan
sumringah sambil menyuguhkannya tepat di depan wajahku. Seketika
pandanganku langsung tertuju padanya. Apel merah itu terlihat sangat segar
namun aku seperti tak ada gairah untuk memakannya. “Aku mau pulang saja
ma, bertemu ayah, dan siapapun yang bisa kutemui” jawabku dengan menatap
mata ibuku dengan lekat-lekat. “Tok tok tok” bunyi ketukan pintu kamar ini,
mengalihkan perhatian kami berdua. Ibuku langsung berdiri dan dengan cepat
melangkah perlahan-lahan ke arah pintu dan membukanya, lalu menutupnya
kembali. Dari kaca buram pintu itu, aku melihat ibuku bersama dengan seorang
pria. Tidak terlalu jelas, mereka seperti membicangkan banyak hal. “Mungkin
dokter atau petuagas kebersihan di Rumah Sakit ini.” Pikirku. Tak beberapa
lama kemudian ibuku kemudian masuk kembali, lalu membuat segumpalan
plastik berisi di sudut kamar ini.
“Itu apa ma?” Tanyaku penasaran.
“Sampah nak, tadi ada di depan kamar, mama buang saja. Petugas
kebersihannya gak becus.”
“Oh begitu..” kataku dengan nada datar dan sedikit mengangguk. Setelah
berjam-jam aku berbincang-bincang dengan Ibu, Ia berniat untuk pulang,
5. dengan alasan masih banyak kerjaan rumahnya yang menumpuk. Lalu ia
langsung memalingkan tubuhnya dariku. “Kapan-kapan ajak papa ya ma, aku
mau melihatnya.” Ia memberhentikan langkahnya, dan berkata “Iya nak..”
dengan tanpa menoleh ke arahku sedikitpun dan Ia langsung bergegas pergi.
Setelah ia pulang, hawa sepi kembali menggerogotiku. Walaupun kehadiran
Ibuku tak serta merta membuatku nyaman, namun setidaknya Ia selalu berusaha
menemani hari-hariku. Aku mendongakkan kepalaku seraya memejamkan mata.
Lalu aku tiba-tiba tersentak dengan pikiran sampah yang tadi Ibuku buang. Aku
mengalihkan perhatianku pada tempat sampah itu. Karena rasa penasaran itu,
aku berusaha bangun, bukan hanya duduk tetapi berdiri bahkan berjalan dengan
tertatih menuju tempat sampah itu. Ketika kubuka tutup tempat sampah itu,
ternyata buntelan plastik itu masih ada dan utuh. Aku mengambilnya dan
membukanya, tak kusangka itu adalah sebuah nasi bungkus. Kubuka karetnya,
lalu bungkus kertas nasinya. Ternyata, itu sebuah nasi uduk dengan iringan lauk
ayam goreng dan lalapan yang wangi sekali. Entah mengapa aku berniat untuk
mencicipinya. Aku mengambil sesuap nasi itu dengan tanganku, dan menyuapi
sendiri ke mulutku. Sungguh enak, aku seperti pernah memakanya, aku sangat
menyukainya. Tak sadar aku sudah menghabiskan semua isi di bungkusan itu.
Setelah habis, aku buang kertas nasi bekas dan plastik itu ke tempat sampah.
Ketika plastik itu terbuang, tiba-tiba ada secarik kertas terlipat yang terjatuh ke
lantai. Tanpa pikir panjang aku langsung mengambilnya lalu membuka
lipatannya. Aku melihat sebuah tulisan, “Selamat makan, sayang.. ini makanan
kesukaanmu.” Apakah ini dari ibu? Tapi tidak mungkin, ibu bilang makanan
kesukaanku bubur. Oh tapi bisa jadi ia mempunya banyak pilihan makanan
untukku yang Ia pikir aku tak suka.
Seminggu telah berlalu dan aku juga belum pernah menemui ayahku. Ibu
mengajakku untuk pulang dan berjanji akan mempertemukan aku dengan
ayahku. Di dalam mobil, aku hanya terdiam menunggu-nunggu untuk sampai ke
rumah. Aku hanya ingin mencari tau siapa orang yang sebenarnya ingin
6. kutemui. Ayahku atau orang lain. Ketika sampai, aku melihat sekeliling
perkebunan dan rumah yang sepertinya sudah familiar, namun sepertinya aku
tak menjamin kenyamanannya. “Itu papamu nak”. Aku melihat seorang laki-laki
tua di depan rumahku dan langsung memelukku erat. Aku senang, namun
sepertinya perhatianku tidak tertuju padanya. Aku kembali frustasi dengan
keingintahuanku itu.
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Hujan belum juga berhenti. Aku
duduk di ruang tamu, sambil menonton tv. Kusenderkan bahuku ke sofa, lalu
kualihkan kembali perhatianku pada jendela yang setengah terbuka di samping
pintu masuk. Aku melihat sosok seorang pemuda, berdiri di depan pagar
rumahku, berbolak balik dan keliatan agaknya mencurigakan. Karena aku takut,
kuurungkan niatku untuk memenuhi rasa penasaranku. Aku langsung berlari
masuk ke kamar dan menutup diri dengan selimut yang ada di tempat tidurku.
Ketika kurebahkan tubuhku ke tempat tidur, di samping bantalku terdapat
sebuah tas jinjing yang kotor seperti sehabis terlindas ban mobil besar. Di
dalamnya terdapat handphone, dan dompet. Aku buka dompet itu dan berusaha
mencari tau. Foto yang tertera di dompet itu adalah jelas fotoku dan berarti tas
ini adalah milikku. Ada juga gumpalan kertas yang seperti habis diremas-remas.
Kubuka perlahan-lahan kertas itu dan tertera tulisan “SURAT PHK” dan ada
nama “Hadi Purnama.” Ah mengapa aku memiliki perasaan cemas, kepalaku
langsung sakiit dan tak kuasa menahan air mata. Terlintas bayangan samar-samar
seorang laki-laki, ia tersenyum. Oh tiba-tiba terbayang wajah ibu dan
ayah yang sedang bertengkar. Ah, ada apa ini?!! Tangisanku langsung pecah.
Sepanjang malam aku hanya menangis memeluk tas kotorku itu.
Jam sudah menunjukkan jam 12 malam dan hujan masih awet, masih nyaman
untuk terus jatuh lalu menggenangi jalanan. Aku tak mengerti jalan hidupku,
aku ingin pergi dari rumah ini karena yang ada di pikiranku adalah agar aku bisa
bertemu dengan orang yang bernama Hadi Purnama. Aku pergi diam-diam dari
rumahku tanpa arah dan tujuan lalu menangis tersedu-sedu di jalan seperti orang
7. tak waras. Tiba-tiba aku lemas tak berdaya lalu terbaring begitu saja di jalanan,
dibaluti oleh guyuran hujan dan genangan air.
Suara kicauan burung membangunkan tidurku. Tiba-tiba aku sudah berada di
tempat tidur dan ada suguhan nasi uduk dan ayam serta lalapan wangi di
samping tempat tidurku. Aku hampir mengingat susana ini, kamar yang ada
sekarang. Kembali aku dikagetkan dengan pintu kamar yang terbuka oleh
seorang pemuda. Ya, pemuda itu adalah yang orang yang kulihat bolak-balik
malam kemarin di rumahku. Dia… dia adalah… dia adalah.. aku berusaha
mengingatnya. Ia menatapku lekat-lekat dan mengusap-usap pipiku. Tangisku
kembali pecah dan aku langsung memeluknya erat. “I love you Hadi, maafkan
aku..” itu yang aku ucapkan pertama kali padanya karena tak lain Ia adalah
suamiku. Aku ingat, bagaimana Ia begitu menyayangiku selama setahun ini.
Dan aku juga ingat bagaimana keadaan pada saat suamiku diPHK oleh
kantornya. Ketika aku tahu kabar PHK itu, aku langsung meremas kertas itu dan
memeluknya sambil mengatakan bahwa jangan pernah takut karena aku akan
selalu bersamanya. Namun, agaknya tak seperti itu yang dipikiran ibuku. Ia
menyuruhku untuk menceraikan suamiku, dan melarang aku untuk kembali
tinggal bersamanya. Aku juga ingat, bagaimana keadaan keluargaku pada saat-saat
ibu dan ayahku bercerai 2 tahun yang lalu. Ibu sangat membenci Ayahku.
“Makasih ya sayang, kamu masih mengingatnya..” ucapnya lalu mengecup
kenigku.
“Sayang, mengapa tak kau jenguk aku selama di rumah sakit?”
“Mamamu.. mamamu yang tak memperbolehkan aku untuk..” Ia berhenti
berucap, seperti menahan pedihnya sesuatu yang tertancap di hatinya.
“Aku tahu aku tahu sayang..” ucapku seraya kembali menenangkannya, dan
merebahkan dirinya di pangkuanku. Aku kembali memeluknya erat, aku sangat
menyayangi suamiku dan aku takkan pernah meninggalkannya dalam keadaan
apapun.
8. “Aku pikir kamu mati dalam kecelakaan itu nabila..” Aku hanya terdiam dalam
dekapannya sambil terus menangis mendengar ucapannya itu.
Ternyata orang yang kucari itu adalah suamiku. Mungkin karena aku sangat
mencintainya, dalam keadaan amnesia pun aku tetap merindukan keberadaanya.