SlideShare a Scribd company logo
1 of 11
1
Nama : Rahmat Hidayat Haqiqi
NIM : 20060484053
Kelas : 2020B
Matkul : Fisiologi Olahraga
Olahraga Membentuk Karakter
Abstrak
Olahraga tidak dengan sendirinya akan membentuk karakter dari mereka
yang berpartisipasi di dalamnya. Apalagi jika olahraga direduksi menjadi
sekadar persoalan menang-kalah, maka yang terwujud adalah perilaku
kebrutalan, kerusuhan, ketidak-jujuran, dan perilaku a-moral lainnya.
Sebagai kumpulan nilai-nilai moral, iaharus diorganisasi, dikonstruksi, dan
ditransformasikan ke dalam struktur dasar penalaran individu yang
berpartisipasi di dalamnya. Tanpa itu, sulit rasanya kita mengharapkan
olahraga sebagai instrumen untuk membentuk karakter.
Pengantar
Sebagai insan olahraga, saya merasa sangat sedih menyaksikan sepakbola Indonesia
yang sering diwarnai dengan perkelahian antar pemain, pemukulan wasit, dan kerusuhan suporter.
Lihatlah bagaimana sejumlah insiden terjadi dalam putaran kedua Liga Djarum Indonesia
belakangan ini. Kasus pengeroyokan wasit yang terjadi ketika PSPS Pekanbaru menjamu PSIS
Semarang di Stadion Rumbai. Perkelahian antar pemain Persipura Jayapura dengan Persijap Jepara
yang terjadi di Stadion Mandala Jayapura. Adu jotos antara pemain Persija Jakarta dengan
pemain Persela Lamongan di Stadion Lebak Bulus Jakarta. Dan, yang masih segar dalam ingatan
kita bagaimana Deltamania yang notabene merupakan suporter Deltras Sidoarjo menampilkan
perkelahian massal dengan Sakeramania yang merupakan suporter kesebelasan Pasuruhan.
Pada sisi yang lain, aksi pemalsuan umur dan atau ijazah hampir terjadi di semua cabang
olahraga seperti tenis, renang, atletik, sepakbola, bulutangkis, bolavoli, dan sebagainya. Belum
lagi aksi suap-menyuap dan penggunaan obat terlarang yang juga mewarnai atmosfir keolahragaan
kita. Memperhatikan kondisi yang demikian, pertanyaan mendasar yang kemudian perlu diajukan
adalah: Apakah klaim yang menyatakan bahwa olahraga membentuk karakter masih relevan untuk
2
dikemukakan?
3
Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Klaim bahwa “olahraga membagun
karakter” telah menjadi keyakinan sejarah yang mendalam dari para pelatih, pendidik, politisi, dan
rohaniawan sejak jaman Yunani kuno. Karena kuatnya keyakinan tersebut, ungkapan “sport builds
character” memiliki tempat sebagai adagium budaya masyarakat dari waktu ke waktu, termasuk
kita yang di Indonesia. Ia seolah menjadi sebuah kredo yang abadi. Apakah klaim tersebut
didukung oleh fakta-fakta empirik? Inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini.
1. Tinjauan dari Perspektif Psikologis
Karakter adalah sebuah terminologi yang sering digunakan secara sinonim dengan istilah
kepribadian. Para ahli psikologi dari Eropa lebih senang menggunakan istilah karakter, sementara
para ahli psikologi dari Amerika lebih suka menggunakan istilah kepribadian. Sebagai contoh
Freud sering menggunakan istilah character dalam berbagai tulisannya, dan jarang menggunakan
istilah personality. Istilah karakterologi juga umum digunakan di Eropa, tapi sangat jarang di
Amerika. Demikian juga banyak ahli psikologi Amerika menulis buku dengan judul personality,
tetapi amat jarang yang menggunakan judul character. Dari sini nampak bahwa penggunakan
kedua terminologi tersebut terkait dengan preferensi yang bersifat kewilayahan.
Jika ditelusuri lebih jauh, secara etimologi karakter berasal dari bahasa latin, sementara itu
kepribadian berasal dari bahasa Yunani. Keduanya mengandung pengertian mengukir (engraving).
Menurut pengertian kamus character is qualities that make somebody different from others
(Oxford, 1991). Demikian juga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa karakter
mengandung pengertian sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang
dari yang lain (Balai Pustaka, 1995: 445). Baik pengertian secara etimologis maupun pengertian
berdasarkan kamus tentulah belum cukup, sebab keduanya belum menggambarkan konsepsi yang
paripurna. Oleh karenanya, masih diperlukan uraian dan justifikasi berdasarkan bidang keilmuan.
Dalam ilmu psikologi, konsep “karakter” pada dasarnya merujuk pada struktur
kepribadian, tetapi dalam perkembangannya makna tersebut telah mengalami perubahan. The
term was subsequently modified to reflect culturally valued attributes that
4
reflect morality as defined by society (Allport, 1961). Selanjutnya, Allport lebih suka
mendefinisikan karakter sebagai kepribadian yang dinilai (personality evaluated).Artinya, tinggi-
rendah atau baik-buruknya suatu kepribadian akan sangat tergantung pada penilaian masyarakat
tertentu. Sebagai contoh, ciri kepribadian“dominan” bagi masyarakat timur sering dianggap
sebagai perilaku “serakah” yang perlu dihindari. Namun bagi masyarakat barat, ciri kepribadian
yang demikian dianggap positip terutama bila dikaitkan dengan sebuah kesuksesan. Lebih jauh
tentang pengertian karakter, mari kita simak sejumlah definisi berikut.
“Character is the degree of ethically effective organization of all the forces of the
individual (Taylor, 1926).”
“Character is an enduring psychophysical disposition to inhibit impulses inaccordance
with a regulative principle (Roback, 1927).”
“Character primarily in terms of interpersonal qualities such as cooperation, self- control,
and sociability (Blanchard, 1946).”
Dari beberapa pengertian di atas, setidaknya ada benang merah yang bisa dijadikan
pegangan dalam kita memahami karakter. Pada prinsipnya karakter berintikan pada nilai-nilai
moral sosial yang berlaku di masyarakat seperti kejujuran, sportivitas, kerjasama, kesatria, dan
sebagainya.
2. Olahraga dan Karakter
Dalam sejarah perkembangannya, olahraga memiliki arti yang berbeda pada setiap masa,
kebudayaan, dan bahkan pada setiap orang. Dalam sejarah Olimpiade kuno olahraga dijadikan
sebagai instrumen ritual pemujaan dewa Zeus di kaki pegunungan Olympus. Pada awal Olimpiade
modern olahraga merupakan media mempromosikan semangat perdamaian dan persahabatan.
Kini, olahraga tidak lagi menjadi kegiatan ritual ataupun mempromosikan perdamaian, tetapi lebih
merupakan agen mencari uang, nama besar, dan popularitas. Sedangkan pada tataran individual,
bisa jadi olahraga diartikan sebagai pemuasan keinginan manusia akan kesenangan, kegembiraan,
dan identitias ketika kebutuhan dasar akan makanan, perumahan, dan kesehatan telah terpenuhi.
Coles & Jones (1997) mendefinisikan olahraga sebagai aktivitas fisik berupa permainan
yang berisikan perjuangan melawan unsur-unsur alam, orang lain, ataupun diri sendiri dan
memiliki kompleksitas organisasi. Dari definisi tersebut, terdapat tiga
5
unsur penting dalam olahraga yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Ketiga unsur tersebut
adalah aktivitas fisik, permainan, dan kompleksitas organisasi. Aktivitas fisik dalam konteks
olahraga dimaksudkan sebagai aktivitas fisik yang memerlukan kecakapan jasmani dan bukan
aktivitas fisik biasa. Dengan kriteria tersebut, pertandingan seperti catur dan bridge yang tidak
memerlukan kecakapan jasmani tidak dianggap sebagai olahraga, meskipun keduanya memiliki
kompetisi dan organisasi tingkat tinggi. Dengan pengertian yang demikian, maka olahraga
dimaksudkan sebagai jenis olahraga yang dipertandingkan atau dilombakan pada event-event resmi
seperti Olimpiade, SEA Games, PON, dan sebagainya.
Secara sosio-psikologis, olahraga dapat dianggap sebagai bagian dari pranata- pranata
sosial yang ada di masyarakat. Ini tercermin dalam sistem, norma, aturan main yang telah menjadi
kesepakatan bersama. Selain sistem aturan yang melingkupinya, kegiatan olahraga juga
melibatkan emosi orang yang berpartisipasi di dalamnya secara intens dan merupakan pertalian
antara keterampilan, kognitif, sikap, dan nilai-nilai. Huizinga, seorang tokoh antropologi olahraga,
mendeskripsikan permainan yang merupakan inti dari olahraga sebagai sebuah kehidupan nyata
yang di tempatkan dalam situasi kegiatan temporer dengan segala karakteristik yang ada di
dalamnya. Terkait dengan makna penting suatu permainan, Vaughan juga menyatakan:
Play is generally perceived as an important component of the socialization and
developmental process of children with spontaneity, creativity, and informal structure
forming some of its essential elements. (Vaughan, 1984:144)
Dengan pemahaman yang demikian, permainan dalam olahraga dapat memberikan
pengalaman individu dalam konteks hubungan interpersonal. Olahraga tidak hanya merupakan
aktivitas fisik, tetapi juga sebagai agen pembentukan karakter. Pendek kata, dalam banyak hal
olahraga berpotensi mempengaruhi pembentukan karakter individu yang berpartisipasi di
dalamnya.
Marilah kita ingat kembali bagaimana seorang Eugenio Monti, atlet kereta luncur
(bobsled) menunjukkan perilaku sebagai kompetitor sejati. Ketika itu, tahun 1964 diselenggarakan
Olympiade musim dingin di Austria. Monti telah selesai melakukan giliran luncuran yang terakhir
dengan catatan waktu yang menakjubkan. Ia dipastikan akan menjadi juara andaisaja lawan
terakhirnya, Tony Nash, tidak berhasil melampaui catatan waktu yang dibuatnya. Menjelang
tampilnya Nash, tersiar kabar bahwa ada
6
bagian ‘onderdil’ dari kereta Nash yang rusak yang bisa jadi akan berpengaruh terhadap
prestasinya. Mendengar kabar itu, Monti mencopot bagian tersebut dari keretanya dan kemudian
mengirimkannya kepada Nash. Nash kemudian melakukan gilirannya dan sampai ke garis finish
dengan menciptakan rekor baru serta memenangkan medali emas.
Perilaku yang ditunjukkan Monti jelas memperlihatkan semangat kompetitor sejati.
Andaisaja ia hanya berorientasi kepada kemenangan, bisa jadi ia tidak akanmemberikan
‘onderdil’ tersebut, dan ia tahu betul resikonya. Tapi, atlet dari Italia tersebut berpendirian bahwa
tidak ingin menang diatas ketidakberdayaan lawan dan lebih memilih memberi kesempatan yang
sama kepada lawannya. Ia tidak menginginkan kemenangan yang ‘murahan’. Perbuatan Monti
tersebut jelasmenunjukkan betapa pun kita bersaing – berkompetisi – semuanya perlu dilakukan
secara fair. Karena itu, tak heran bila Monti dianugerahi International Fair Play untuk pertama
kalinya.
Contoh lain:
Pada tanggal 2 Nopember 1969 berlangsung pertandingan sepakbola babak final liga
Spanyol antara Real Madrid vs. Sabadell. Walaupun pertandingan sudah berlangsung selama 50’
belum juga terjadi gol. Pedro Zaballa, sayap kanan Sabadell ketika itu mendapat peluang untuk
mencetak gol ke gawang Real Madrid, tapi pada saat yang bersamaan terjadi benturan yang sangat
keras di antara pemain belakang Real Madrid sendiri, yaitu antara kiper dan back yang
menyebabkan cedera berathingga pingsan. Dengan satu sontekan kaki saja, gol dipastikan terjadi,
tapi itu tidak dilakukan oleh Zaballa. Ia memilih memberikan bola itu kepada pemain lawan
dengan tendangan pelan. Setelah pertandingan berakhir, dan dimenangkan oleh Real Madrid 1-0,
penonton sejumlah 80.000 orang ketika itu memberikan sorak penghormatan kepada Zaballa.
Zaballa sendiri menyatakan bahwa ia hanya menuruti kata hatinya untuk tidak membuat gol dalam
suasana ketidakberdayaan lawan. Maka juga tidak heran, bila perbuatan yang mulia tersebut
membawa Zaballa dianugerahi International Fair Play.
Meskipun olahraga dapat dijadikan sebagai agen pembentukan moral, tidak berarti
seseorang yang berpartisipasi di dalamnya memiliki tingkat perkembangan moral yang lebih tinggi
dibanding seseorang yang lain. Dalam olahraga tidak melekat secara otomatis makna nilai-nilai.
Marten (1978 dalam Gould & Weinberg, 1995)
7
berpendapat bahwa keikutsertaan dalam kegiatan dan organisasi olahraga tidak otomatis
bermanfaat bagi pembentukan pribadi anak. Pengembangan karakter, kepemimpinan,
sportmanship, dan orientasi berprestasi tidak terjadi dengan sendirinya melalui keikutsertaannya.
Apa yang telah dipaparkan di awal tulisan ini, kiranya merupakan ilustrasi daari pernyataan ini.
Selanjutnya, saya ingin membahas lebih dalam bagaimana pandangan teoretis dan
sejumlah studi dilakukan dalam kaitannya dengan olahraga-karakter. Studi tentang karakter dalam
konteks olahraga secara garis besar terbagi dalam dua pandangan. Pertama, mereka yang
memahami karakter sebagai konsep perilaku prososial (prosocial behavior) dan kedua mereka
yang memahami karakter sebagai konsep moral (Shields & Bredemeier, 1994). Menurut
pandangan yang pertama, karakter dilihat sebagai proses pembelajaran perilaku melalui transmisi
nilai-nilai yang secara sosial dapat diterima. Perkembangan karakter terjadi seiring dengan
perkembangan anak dalam menginternalisasikan aturan-aturan dan norma-norma sosial. Selain itu,
dalam proses internalisasi juga diperlukan agen sosial sebagai transmisi norma-norma budaya.
Dengan demikian menurut pandangan yang pertama, individu yang berpartisipasi dalam kegiatan
olahraga akan menginternalisasikan nilai- nilai yang ditransmisikan melalui kegiatan olahraga.
Olahraga dianggap sebagai agen pembentukan karakter. Sehingga, dengan berpartisipasi dalam
kegiatan olahraga karakter akan terbentuk dengan sendirinya.
Sementara itu, teori konstruktivist memiliki pandangan yang berbeda. Menurut Kohlberg
dan Haan, perkembangan moral merupakan hasil dari interaksi antara kecenderungan diri individu
mengorganisasikan pengalamannya ke dalam pola interpretasi yang bermakna dan pengalaman
lingkungan dalam memberikan informasi mengenai realitas sosial. Perkembangan moral dilihat
sebagai sebuah proses reorganisasi dan transformasi struktur dasar penalaran individu.
Perkembangan moral bukanlah suatu proses menemukan berbagai macam peraturan dan sifat-sifat
baik,melainkan suatu proses yang membutuhkan perubahan struktur kognitip dan rangsangan dari
lingkungan sosial. Jadi, berpartisipasi dalam kegiatan olahraga tidak dengan sendirinya
membentuk karakter atau moral individu sebagaimana pandangan teori internalisasi, tetapi apa
yang dianggap sebagai nilai-nilai moral tersebut harus
8
diorganisasi, dikonstruksi, dan ditransformasikan ke dalam struktur dasar penalaran individu yang
berpartisipasi di dalamnya.
Penelitian mengenai keterkaitan olahraga dengan karakter memang menunjukkan
kesimpulan yang tidak konsisten. Sebagai contoh, Kleiber dan Robert (1981) melakukan studi
tentang pengaruh olahraga, khususnya olahraga kompetitif, terhadap perilaku prososial. Hasil
penelitian membuktikan bahwa anak-anak yang berpartisipasi dalam kegiatan olahraga kompetitif
menunjukkan penurunan dalam perilaku prososialnya. Demikian pula penelitian yang dilakukan
oleh Hall (1981), Bredemeier & Shields (1986) menyatakan bahwa kedewasaan penalaran moral
atlet lebih rendah dibanding dengan kedewasaan penalaran moral bukan atlet pada tingkatan usia
yang sama. Sementara itu penelitian lain membuktikan hal yang berbeda, seperti yang telah
dilakukan oleh Orlick (1981). Ia menyatakan bahwa kegiatan olahraga memberikan dampak
positip terhadap perilaku kerjasama dari individu yang berpartisipasi di dalamnya.
Apapun perdebatan yang muncul, sebagai insan olahraga tentu kita sangat berharap bahwa
olahraga mampu menjadi instrumen pembentukan karakter. Bagaimana olahraga dapat merupakan
instrumen (agen) pembentukan nilai dan karakter yang akhirnya berujung pada perilaku? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita simak model konseptual berikut.
Gambar 1: Model konseptual hunbungan olahraga-nilai-karakter
Dari gambar tersebut jelas menunjukkan bagaimana aktivitas olahraga yang syarat dengan
nilai-nilai mempengaruhi sistem nilai yang dimiliki individu. Sistem nilai yang dimiliki individu
mempengaruhi karakter, dan karakter selanjutnya mempengaruhi perilaku. Gambar di atas tidaklah
lengkap, tapi dari gambar tersebut setidaknya dapat menjelaskan mengapa olahraga menjadi
sesuatu yang penting dalam mempengaruhi
Sport Values
Individual
Values Behavior
Character
Sport Activities
9
terbentuknya nilai dan karakter. Jika harapan di atas dapat terjadi, maka ini akansejalan dengan
pemikiran Bung Karno pada saat memberikan amanat kepada para olahragawan yang akan ikut
Ganefo pada tanggal 8 Nopember 1963, bahwa harga diri seseorang bukan dari keturunan, kasta
atau yang lain tetapi dari budi pekerti atau karakter yang luhur dan mulia.
3. Catatan Akhir
Sebagai catatan akhir dari tulisan ini, saya ingin mengutip salah satu pasal dari
International Charter of Physical Education and Sport (UNESCO): “Physical education and sport
programs must be designed to suit requirements and personal characteristics of those practicing
them, as well as the institutional, cultural, socioeconomic and climatic conditions of each
country.” Kesimpulannya, jika olahraga digunakan sebagai instrument pembentukan karakter,
maka olahraga harus diciptakan lingkungan yang memungkinkan karakter individu yang
berpartisipasi di dalamnya terbentuk. Apakah dalam olahraga yang selama ini kita geluti sudah
diciptakan kondisi tersebut? Inilah barangkali yang perlu menjadi bahan pemikiran kita semua
1
0
Daftar Pustaka
Allport, G.W. (1963). Pattern and growth in personality. London: Renehart & Winston. Allport,
G.W. (1960). Personality: A psychological interpretation. New York: Henry Holt &
Company.
Bandura, A., Barbaranelli, C, Caprara, G.V., & Pastorelli, C. (1996). Mechanism of moral
disengagement in the exercise of moral agency. Journal of Personality and Social
Psychology, Vol. 71, No. 2, 364-374.
Batson, D.C., Thompson, E.R, Seuferling, G., Whitney, H., & Strongman, J.A. (1999). Moral
hypocrisy: Appearing moral to oneself without being so. Journal of Personality and Social
Psychology, Vol. 77, No. 3, 525-537.
Beding, B. (2000). Membangun karakter bangsa melalui olahraga. Jakarta: PT. Grasindo.
Bredemeier, B.J. & Shields, D.L. (1985). Values and violence in sport. Psychology Today,
19, 22-32.
Bredemeier, B.J. & Shields D.L. (1987). Moral growth through physical activity: A
structural/developmental approach. In Gould, D. & Weiss. M.R., Advances in pediatric
sport sciences, Vol. 2 behavioral issues. Champaign, Illinois: Human Kinetics Publisher,
Inc.
Bredemeier, B.J. & Shields D.L. (1993). Moral psychology in the context of sport. In Singer, RN.,
Murphey, M., & Tennant, L.K., (Eds.), Handbook of research on sport psychology. New
York: Macmillan Publishing Company.
Coles, A. & Jones, D. (1997). A plan for the development of sport in Indonesia. Jakarta: Australia
Indonesia Institute – Australian Sports Commission.
Depdikbud, (1995). Kamus besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua (Cetakan ke 4).
Depdikbud: Balai Pustaka.
Shields, D.L. & Bredemeier, B.J. (1994). Character development and physical activity.
Champaign, IL: Human Kinetics.
Haan, N. (1978). Two moralities in actions contexs: Relationship to thought, ego regulation, and
development. Journal of Personality and Social Psychology, 36, 286- 305.
11
View publication stats
Haan, N. (1985). Processes of moral development: Cognitive or social disequilibrium?
Developmental Psychology, 21, 996-1006.
Haan, N. (1986). Systematic variability in the quality of moral action as defined by two
formulations. Journal of Personality and Social Psychology, 50, 1271-1284.
Haste, H.W. & Locke, D. (Eds.) (1983). Morality in the makingthought,action, and social context.
New York: John Wiley & Sons LTD.
Kleiber, D.A. & Roberts, G.C. (1981). The effect of sport experience in the development of social
character: An exploratory investigation. Journal of Sport Psychology, 3, 114-122.
Langford, P.E. (1995). Approaches to the development of moral reasoning. Hilsdale (USA):
Lawrence Erlbaum Associates, Publisher.
Moltmann, J. (1989). Olympia between politics and relegion. Dalam Baum, G. & Coleman, J.
(Eds.), Concilium 205 special culumn: sport. Eidenburgh: T & T Clark.
Ogilvie, B.C. & Tutko, T.A. (1971). Sport: If you want to build charater, try something else.
Psychology Today, 5 (5), 61-63.
Rudd, A.K. (1998). Sport’s perceived ability to build character. Dissertation Abstracts
International Section A: Humanities and Social Sciences, 59 (5-A), 1507.
Steinberg, L. (1999). Adolescence (5th Edition). USA: McGraw-Hill Companies, Inc. Vealey, R.
(1992). Personality in sport: A comprehensive view. In T. Horn (Ed.),
Advances in sport psychology. Champaign, IL: Human Kinetics.
Voughan, L.K. (1984). Pediatric and adolescent sports medicine. Boston: Brown and Company
Weiss, M.R. & Bredemeier, B.J. (1990). Moral development in sport. Exercise and Sport Science
Reviews, 18, 331-378.
Williams, J.M. (1980). Personality characteristics of the successful female athlete. In W.F.Straub
(Ed.), Sport psychology: An analysis of athlete behavior. Ithaca, NY:Mouvement.

More Related Content

What's hot (12)

Review 5 jurnal 2020 b_077_hesty olivia nur safitri
Review 5 jurnal 2020 b_077_hesty olivia nur safitriReview 5 jurnal 2020 b_077_hesty olivia nur safitri
Review 5 jurnal 2020 b_077_hesty olivia nur safitri
 
Kata pengantar filsafat
Kata pengantar filsafatKata pengantar filsafat
Kata pengantar filsafat
 
Personaliti sukan
Personaliti sukanPersonaliti sukan
Personaliti sukan
 
HESTY OLIVIA NUR SAFITRI_BLIBIOGRAPHY
HESTY OLIVIA NUR SAFITRI_BLIBIOGRAPHYHESTY OLIVIA NUR SAFITRI_BLIBIOGRAPHY
HESTY OLIVIA NUR SAFITRI_BLIBIOGRAPHY
 
Review jurnal 3
Review jurnal 3Review jurnal 3
Review jurnal 3
 
Riviw jurnal 1 filosofi olahraga
Riviw jurnal 1 filosofi olahragaRiviw jurnal 1 filosofi olahraga
Riviw jurnal 1 filosofi olahraga
 
5.1 psikologi sukan
5.1 psikologi sukan5.1 psikologi sukan
5.1 psikologi sukan
 
Review Jurnal
Review JurnalReview Jurnal
Review Jurnal
 
Filsafat olahraga
Filsafat olahragaFilsafat olahraga
Filsafat olahraga
 
21 yudis annotated bibliography
21 yudis  annotated bibliography21 yudis  annotated bibliography
21 yudis annotated bibliography
 
Review Jurnal
Review Jurnal Review Jurnal
Review Jurnal
 
Psikologi Olahraga
Psikologi OlahragaPsikologi Olahraga
Psikologi Olahraga
 

Similar to Rahmat hidayat haqiqi 053 2020_b_riview jurnal 1

Review jurnal 1 olahraga membentuk karakter
Review jurnal 1 olahraga membentuk karakterReview jurnal 1 olahraga membentuk karakter
Review jurnal 1 olahraga membentuk karakterIMAMHARISUTOMO
 
Adi sanjaya 2020 b_061_riview jurnal
Adi sanjaya 2020 b_061_riview jurnalAdi sanjaya 2020 b_061_riview jurnal
Adi sanjaya 2020 b_061_riview jurnalAdiSanjaya18
 
Ilham Putra - Tugas Review Jurnal Filosofi Olahraga
Ilham Putra - Tugas Review Jurnal Filosofi OlahragaIlham Putra - Tugas Review Jurnal Filosofi Olahraga
Ilham Putra - Tugas Review Jurnal Filosofi OlahragaIlhamPutra61
 
Makalah (filsafat olga)
Makalah (filsafat olga)Makalah (filsafat olga)
Makalah (filsafat olga)Tobi Dwi
 
Riviw jurnal 1 filosofi olahraga
Riviw jurnal 1 filosofi olahragaRiviw jurnal 1 filosofi olahraga
Riviw jurnal 1 filosofi olahragaalfinNugraha3
 
Makalah Filsafat Olahraga M Rifqi Agytya Wibowo.docx
Makalah Filsafat Olahraga M Rifqi Agytya Wibowo.docxMakalah Filsafat Olahraga M Rifqi Agytya Wibowo.docx
Makalah Filsafat Olahraga M Rifqi Agytya Wibowo.docxYanuarAndiPratama
 
Riview Jurnal Psikologi Olahraga dan Filsafat
Riview Jurnal  Psikologi Olahraga dan FilsafatRiview Jurnal  Psikologi Olahraga dan Filsafat
Riview Jurnal Psikologi Olahraga dan FilsafatArdhinw
 
Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...
Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...
Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...IndraSaputra107
 
REVIEW JURNAL_A Hermeneutical Analysis of the InternalistApproachin the Philo...
REVIEW JURNAL_A Hermeneutical Analysis of the InternalistApproachin the Philo...REVIEW JURNAL_A Hermeneutical Analysis of the InternalistApproachin the Philo...
REVIEW JURNAL_A Hermeneutical Analysis of the InternalistApproachin the Philo...MuhammadFarhanKholid
 
power point mereview artikel tentang sport philosophy
power point mereview artikel tentang sport philosophypower point mereview artikel tentang sport philosophy
power point mereview artikel tentang sport philosophydalva23031
 
Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...
Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...
Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...HestyOliviaSafitri
 
FILSAFAT FILSAFAT ILMU dan FILSAFAT OLAHRAGA kelompok 5.pptx
FILSAFAT FILSAFAT ILMU dan FILSAFAT OLAHRAGA kelompok 5.pptxFILSAFAT FILSAFAT ILMU dan FILSAFAT OLAHRAGA kelompok 5.pptx
FILSAFAT FILSAFAT ILMU dan FILSAFAT OLAHRAGA kelompok 5.pptxtegarn-3
 
Filosofis olahraga
Filosofis olahragaFilosofis olahraga
Filosofis olahragaSefiaArnetta
 
PUM1 - 10Kepribadian
PUM1 - 10KepribadianPUM1 - 10Kepribadian
PUM1 - 10Kepribadianmfrids
 
Hand_Out___MK___Filsafat__Olahraga__By__sulistiyono.pdf
Hand_Out___MK___Filsafat__Olahraga__By__sulistiyono.pdfHand_Out___MK___Filsafat__Olahraga__By__sulistiyono.pdf
Hand_Out___MK___Filsafat__Olahraga__By__sulistiyono.pdfPrimaJr1
 

Similar to Rahmat hidayat haqiqi 053 2020_b_riview jurnal 1 (20)

Review jurnal 1 olahraga membentuk karakter
Review jurnal 1 olahraga membentuk karakterReview jurnal 1 olahraga membentuk karakter
Review jurnal 1 olahraga membentuk karakter
 
Adi sanjaya 2020 b_061_riview jurnal
Adi sanjaya 2020 b_061_riview jurnalAdi sanjaya 2020 b_061_riview jurnal
Adi sanjaya 2020 b_061_riview jurnal
 
Ilham Putra - Tugas Review Jurnal Filosofi Olahraga
Ilham Putra - Tugas Review Jurnal Filosofi OlahragaIlham Putra - Tugas Review Jurnal Filosofi Olahraga
Ilham Putra - Tugas Review Jurnal Filosofi Olahraga
 
Kata pengantar filsafat
Kata pengantar filsafatKata pengantar filsafat
Kata pengantar filsafat
 
Makalah (filsafat olga)
Makalah (filsafat olga)Makalah (filsafat olga)
Makalah (filsafat olga)
 
Riviw jurnal 1 filosofi olahraga
Riviw jurnal 1 filosofi olahragaRiviw jurnal 1 filosofi olahraga
Riviw jurnal 1 filosofi olahraga
 
Makalah Filsafat Olahraga M Rifqi Agytya Wibowo.docx
Makalah Filsafat Olahraga M Rifqi Agytya Wibowo.docxMakalah Filsafat Olahraga M Rifqi Agytya Wibowo.docx
Makalah Filsafat Olahraga M Rifqi Agytya Wibowo.docx
 
Ppt filsafat
Ppt filsafatPpt filsafat
Ppt filsafat
 
Riview Jurnal Psikologi Olahraga dan Filsafat
Riview Jurnal  Psikologi Olahraga dan FilsafatRiview Jurnal  Psikologi Olahraga dan Filsafat
Riview Jurnal Psikologi Olahraga dan Filsafat
 
filsafat olahraga
filsafat olahraga filsafat olahraga
filsafat olahraga
 
Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...
Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...
Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...
 
REVIEW JURNAL_A Hermeneutical Analysis of the InternalistApproachin the Philo...
REVIEW JURNAL_A Hermeneutical Analysis of the InternalistApproachin the Philo...REVIEW JURNAL_A Hermeneutical Analysis of the InternalistApproachin the Philo...
REVIEW JURNAL_A Hermeneutical Analysis of the InternalistApproachin the Philo...
 
power point mereview artikel tentang sport philosophy
power point mereview artikel tentang sport philosophypower point mereview artikel tentang sport philosophy
power point mereview artikel tentang sport philosophy
 
Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...
Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...
Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...
 
Peranan olahraga nilai sosial
Peranan olahraga nilai sosialPeranan olahraga nilai sosial
Peranan olahraga nilai sosial
 
FILSAFAT FILSAFAT ILMU dan FILSAFAT OLAHRAGA kelompok 5.pptx
FILSAFAT FILSAFAT ILMU dan FILSAFAT OLAHRAGA kelompok 5.pptxFILSAFAT FILSAFAT ILMU dan FILSAFAT OLAHRAGA kelompok 5.pptx
FILSAFAT FILSAFAT ILMU dan FILSAFAT OLAHRAGA kelompok 5.pptx
 
Review Sport Journal
Review Sport JournalReview Sport Journal
Review Sport Journal
 
Filosofis olahraga
Filosofis olahragaFilosofis olahraga
Filosofis olahraga
 
PUM1 - 10Kepribadian
PUM1 - 10KepribadianPUM1 - 10Kepribadian
PUM1 - 10Kepribadian
 
Hand_Out___MK___Filsafat__Olahraga__By__sulistiyono.pdf
Hand_Out___MK___Filsafat__Olahraga__By__sulistiyono.pdfHand_Out___MK___Filsafat__Olahraga__By__sulistiyono.pdf
Hand_Out___MK___Filsafat__Olahraga__By__sulistiyono.pdf
 

Rahmat hidayat haqiqi 053 2020_b_riview jurnal 1

  • 1. 1 Nama : Rahmat Hidayat Haqiqi NIM : 20060484053 Kelas : 2020B Matkul : Fisiologi Olahraga Olahraga Membentuk Karakter Abstrak Olahraga tidak dengan sendirinya akan membentuk karakter dari mereka yang berpartisipasi di dalamnya. Apalagi jika olahraga direduksi menjadi sekadar persoalan menang-kalah, maka yang terwujud adalah perilaku kebrutalan, kerusuhan, ketidak-jujuran, dan perilaku a-moral lainnya. Sebagai kumpulan nilai-nilai moral, iaharus diorganisasi, dikonstruksi, dan ditransformasikan ke dalam struktur dasar penalaran individu yang berpartisipasi di dalamnya. Tanpa itu, sulit rasanya kita mengharapkan olahraga sebagai instrumen untuk membentuk karakter. Pengantar Sebagai insan olahraga, saya merasa sangat sedih menyaksikan sepakbola Indonesia yang sering diwarnai dengan perkelahian antar pemain, pemukulan wasit, dan kerusuhan suporter. Lihatlah bagaimana sejumlah insiden terjadi dalam putaran kedua Liga Djarum Indonesia belakangan ini. Kasus pengeroyokan wasit yang terjadi ketika PSPS Pekanbaru menjamu PSIS Semarang di Stadion Rumbai. Perkelahian antar pemain Persipura Jayapura dengan Persijap Jepara yang terjadi di Stadion Mandala Jayapura. Adu jotos antara pemain Persija Jakarta dengan pemain Persela Lamongan di Stadion Lebak Bulus Jakarta. Dan, yang masih segar dalam ingatan kita bagaimana Deltamania yang notabene merupakan suporter Deltras Sidoarjo menampilkan perkelahian massal dengan Sakeramania yang merupakan suporter kesebelasan Pasuruhan. Pada sisi yang lain, aksi pemalsuan umur dan atau ijazah hampir terjadi di semua cabang olahraga seperti tenis, renang, atletik, sepakbola, bulutangkis, bolavoli, dan sebagainya. Belum lagi aksi suap-menyuap dan penggunaan obat terlarang yang juga mewarnai atmosfir keolahragaan kita. Memperhatikan kondisi yang demikian, pertanyaan mendasar yang kemudian perlu diajukan adalah: Apakah klaim yang menyatakan bahwa olahraga membentuk karakter masih relevan untuk
  • 3. 3 Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Klaim bahwa “olahraga membagun karakter” telah menjadi keyakinan sejarah yang mendalam dari para pelatih, pendidik, politisi, dan rohaniawan sejak jaman Yunani kuno. Karena kuatnya keyakinan tersebut, ungkapan “sport builds character” memiliki tempat sebagai adagium budaya masyarakat dari waktu ke waktu, termasuk kita yang di Indonesia. Ia seolah menjadi sebuah kredo yang abadi. Apakah klaim tersebut didukung oleh fakta-fakta empirik? Inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini. 1. Tinjauan dari Perspektif Psikologis Karakter adalah sebuah terminologi yang sering digunakan secara sinonim dengan istilah kepribadian. Para ahli psikologi dari Eropa lebih senang menggunakan istilah karakter, sementara para ahli psikologi dari Amerika lebih suka menggunakan istilah kepribadian. Sebagai contoh Freud sering menggunakan istilah character dalam berbagai tulisannya, dan jarang menggunakan istilah personality. Istilah karakterologi juga umum digunakan di Eropa, tapi sangat jarang di Amerika. Demikian juga banyak ahli psikologi Amerika menulis buku dengan judul personality, tetapi amat jarang yang menggunakan judul character. Dari sini nampak bahwa penggunakan kedua terminologi tersebut terkait dengan preferensi yang bersifat kewilayahan. Jika ditelusuri lebih jauh, secara etimologi karakter berasal dari bahasa latin, sementara itu kepribadian berasal dari bahasa Yunani. Keduanya mengandung pengertian mengukir (engraving). Menurut pengertian kamus character is qualities that make somebody different from others (Oxford, 1991). Demikian juga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa karakter mengandung pengertian sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain (Balai Pustaka, 1995: 445). Baik pengertian secara etimologis maupun pengertian berdasarkan kamus tentulah belum cukup, sebab keduanya belum menggambarkan konsepsi yang paripurna. Oleh karenanya, masih diperlukan uraian dan justifikasi berdasarkan bidang keilmuan. Dalam ilmu psikologi, konsep “karakter” pada dasarnya merujuk pada struktur kepribadian, tetapi dalam perkembangannya makna tersebut telah mengalami perubahan. The term was subsequently modified to reflect culturally valued attributes that
  • 4. 4 reflect morality as defined by society (Allport, 1961). Selanjutnya, Allport lebih suka mendefinisikan karakter sebagai kepribadian yang dinilai (personality evaluated).Artinya, tinggi- rendah atau baik-buruknya suatu kepribadian akan sangat tergantung pada penilaian masyarakat tertentu. Sebagai contoh, ciri kepribadian“dominan” bagi masyarakat timur sering dianggap sebagai perilaku “serakah” yang perlu dihindari. Namun bagi masyarakat barat, ciri kepribadian yang demikian dianggap positip terutama bila dikaitkan dengan sebuah kesuksesan. Lebih jauh tentang pengertian karakter, mari kita simak sejumlah definisi berikut. “Character is the degree of ethically effective organization of all the forces of the individual (Taylor, 1926).” “Character is an enduring psychophysical disposition to inhibit impulses inaccordance with a regulative principle (Roback, 1927).” “Character primarily in terms of interpersonal qualities such as cooperation, self- control, and sociability (Blanchard, 1946).” Dari beberapa pengertian di atas, setidaknya ada benang merah yang bisa dijadikan pegangan dalam kita memahami karakter. Pada prinsipnya karakter berintikan pada nilai-nilai moral sosial yang berlaku di masyarakat seperti kejujuran, sportivitas, kerjasama, kesatria, dan sebagainya. 2. Olahraga dan Karakter Dalam sejarah perkembangannya, olahraga memiliki arti yang berbeda pada setiap masa, kebudayaan, dan bahkan pada setiap orang. Dalam sejarah Olimpiade kuno olahraga dijadikan sebagai instrumen ritual pemujaan dewa Zeus di kaki pegunungan Olympus. Pada awal Olimpiade modern olahraga merupakan media mempromosikan semangat perdamaian dan persahabatan. Kini, olahraga tidak lagi menjadi kegiatan ritual ataupun mempromosikan perdamaian, tetapi lebih merupakan agen mencari uang, nama besar, dan popularitas. Sedangkan pada tataran individual, bisa jadi olahraga diartikan sebagai pemuasan keinginan manusia akan kesenangan, kegembiraan, dan identitias ketika kebutuhan dasar akan makanan, perumahan, dan kesehatan telah terpenuhi. Coles & Jones (1997) mendefinisikan olahraga sebagai aktivitas fisik berupa permainan yang berisikan perjuangan melawan unsur-unsur alam, orang lain, ataupun diri sendiri dan memiliki kompleksitas organisasi. Dari definisi tersebut, terdapat tiga
  • 5. 5 unsur penting dalam olahraga yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Ketiga unsur tersebut adalah aktivitas fisik, permainan, dan kompleksitas organisasi. Aktivitas fisik dalam konteks olahraga dimaksudkan sebagai aktivitas fisik yang memerlukan kecakapan jasmani dan bukan aktivitas fisik biasa. Dengan kriteria tersebut, pertandingan seperti catur dan bridge yang tidak memerlukan kecakapan jasmani tidak dianggap sebagai olahraga, meskipun keduanya memiliki kompetisi dan organisasi tingkat tinggi. Dengan pengertian yang demikian, maka olahraga dimaksudkan sebagai jenis olahraga yang dipertandingkan atau dilombakan pada event-event resmi seperti Olimpiade, SEA Games, PON, dan sebagainya. Secara sosio-psikologis, olahraga dapat dianggap sebagai bagian dari pranata- pranata sosial yang ada di masyarakat. Ini tercermin dalam sistem, norma, aturan main yang telah menjadi kesepakatan bersama. Selain sistem aturan yang melingkupinya, kegiatan olahraga juga melibatkan emosi orang yang berpartisipasi di dalamnya secara intens dan merupakan pertalian antara keterampilan, kognitif, sikap, dan nilai-nilai. Huizinga, seorang tokoh antropologi olahraga, mendeskripsikan permainan yang merupakan inti dari olahraga sebagai sebuah kehidupan nyata yang di tempatkan dalam situasi kegiatan temporer dengan segala karakteristik yang ada di dalamnya. Terkait dengan makna penting suatu permainan, Vaughan juga menyatakan: Play is generally perceived as an important component of the socialization and developmental process of children with spontaneity, creativity, and informal structure forming some of its essential elements. (Vaughan, 1984:144) Dengan pemahaman yang demikian, permainan dalam olahraga dapat memberikan pengalaman individu dalam konteks hubungan interpersonal. Olahraga tidak hanya merupakan aktivitas fisik, tetapi juga sebagai agen pembentukan karakter. Pendek kata, dalam banyak hal olahraga berpotensi mempengaruhi pembentukan karakter individu yang berpartisipasi di dalamnya. Marilah kita ingat kembali bagaimana seorang Eugenio Monti, atlet kereta luncur (bobsled) menunjukkan perilaku sebagai kompetitor sejati. Ketika itu, tahun 1964 diselenggarakan Olympiade musim dingin di Austria. Monti telah selesai melakukan giliran luncuran yang terakhir dengan catatan waktu yang menakjubkan. Ia dipastikan akan menjadi juara andaisaja lawan terakhirnya, Tony Nash, tidak berhasil melampaui catatan waktu yang dibuatnya. Menjelang tampilnya Nash, tersiar kabar bahwa ada
  • 6. 6 bagian ‘onderdil’ dari kereta Nash yang rusak yang bisa jadi akan berpengaruh terhadap prestasinya. Mendengar kabar itu, Monti mencopot bagian tersebut dari keretanya dan kemudian mengirimkannya kepada Nash. Nash kemudian melakukan gilirannya dan sampai ke garis finish dengan menciptakan rekor baru serta memenangkan medali emas. Perilaku yang ditunjukkan Monti jelas memperlihatkan semangat kompetitor sejati. Andaisaja ia hanya berorientasi kepada kemenangan, bisa jadi ia tidak akanmemberikan ‘onderdil’ tersebut, dan ia tahu betul resikonya. Tapi, atlet dari Italia tersebut berpendirian bahwa tidak ingin menang diatas ketidakberdayaan lawan dan lebih memilih memberi kesempatan yang sama kepada lawannya. Ia tidak menginginkan kemenangan yang ‘murahan’. Perbuatan Monti tersebut jelasmenunjukkan betapa pun kita bersaing – berkompetisi – semuanya perlu dilakukan secara fair. Karena itu, tak heran bila Monti dianugerahi International Fair Play untuk pertama kalinya. Contoh lain: Pada tanggal 2 Nopember 1969 berlangsung pertandingan sepakbola babak final liga Spanyol antara Real Madrid vs. Sabadell. Walaupun pertandingan sudah berlangsung selama 50’ belum juga terjadi gol. Pedro Zaballa, sayap kanan Sabadell ketika itu mendapat peluang untuk mencetak gol ke gawang Real Madrid, tapi pada saat yang bersamaan terjadi benturan yang sangat keras di antara pemain belakang Real Madrid sendiri, yaitu antara kiper dan back yang menyebabkan cedera berathingga pingsan. Dengan satu sontekan kaki saja, gol dipastikan terjadi, tapi itu tidak dilakukan oleh Zaballa. Ia memilih memberikan bola itu kepada pemain lawan dengan tendangan pelan. Setelah pertandingan berakhir, dan dimenangkan oleh Real Madrid 1-0, penonton sejumlah 80.000 orang ketika itu memberikan sorak penghormatan kepada Zaballa. Zaballa sendiri menyatakan bahwa ia hanya menuruti kata hatinya untuk tidak membuat gol dalam suasana ketidakberdayaan lawan. Maka juga tidak heran, bila perbuatan yang mulia tersebut membawa Zaballa dianugerahi International Fair Play. Meskipun olahraga dapat dijadikan sebagai agen pembentukan moral, tidak berarti seseorang yang berpartisipasi di dalamnya memiliki tingkat perkembangan moral yang lebih tinggi dibanding seseorang yang lain. Dalam olahraga tidak melekat secara otomatis makna nilai-nilai. Marten (1978 dalam Gould & Weinberg, 1995)
  • 7. 7 berpendapat bahwa keikutsertaan dalam kegiatan dan organisasi olahraga tidak otomatis bermanfaat bagi pembentukan pribadi anak. Pengembangan karakter, kepemimpinan, sportmanship, dan orientasi berprestasi tidak terjadi dengan sendirinya melalui keikutsertaannya. Apa yang telah dipaparkan di awal tulisan ini, kiranya merupakan ilustrasi daari pernyataan ini. Selanjutnya, saya ingin membahas lebih dalam bagaimana pandangan teoretis dan sejumlah studi dilakukan dalam kaitannya dengan olahraga-karakter. Studi tentang karakter dalam konteks olahraga secara garis besar terbagi dalam dua pandangan. Pertama, mereka yang memahami karakter sebagai konsep perilaku prososial (prosocial behavior) dan kedua mereka yang memahami karakter sebagai konsep moral (Shields & Bredemeier, 1994). Menurut pandangan yang pertama, karakter dilihat sebagai proses pembelajaran perilaku melalui transmisi nilai-nilai yang secara sosial dapat diterima. Perkembangan karakter terjadi seiring dengan perkembangan anak dalam menginternalisasikan aturan-aturan dan norma-norma sosial. Selain itu, dalam proses internalisasi juga diperlukan agen sosial sebagai transmisi norma-norma budaya. Dengan demikian menurut pandangan yang pertama, individu yang berpartisipasi dalam kegiatan olahraga akan menginternalisasikan nilai- nilai yang ditransmisikan melalui kegiatan olahraga. Olahraga dianggap sebagai agen pembentukan karakter. Sehingga, dengan berpartisipasi dalam kegiatan olahraga karakter akan terbentuk dengan sendirinya. Sementara itu, teori konstruktivist memiliki pandangan yang berbeda. Menurut Kohlberg dan Haan, perkembangan moral merupakan hasil dari interaksi antara kecenderungan diri individu mengorganisasikan pengalamannya ke dalam pola interpretasi yang bermakna dan pengalaman lingkungan dalam memberikan informasi mengenai realitas sosial. Perkembangan moral dilihat sebagai sebuah proses reorganisasi dan transformasi struktur dasar penalaran individu. Perkembangan moral bukanlah suatu proses menemukan berbagai macam peraturan dan sifat-sifat baik,melainkan suatu proses yang membutuhkan perubahan struktur kognitip dan rangsangan dari lingkungan sosial. Jadi, berpartisipasi dalam kegiatan olahraga tidak dengan sendirinya membentuk karakter atau moral individu sebagaimana pandangan teori internalisasi, tetapi apa yang dianggap sebagai nilai-nilai moral tersebut harus
  • 8. 8 diorganisasi, dikonstruksi, dan ditransformasikan ke dalam struktur dasar penalaran individu yang berpartisipasi di dalamnya. Penelitian mengenai keterkaitan olahraga dengan karakter memang menunjukkan kesimpulan yang tidak konsisten. Sebagai contoh, Kleiber dan Robert (1981) melakukan studi tentang pengaruh olahraga, khususnya olahraga kompetitif, terhadap perilaku prososial. Hasil penelitian membuktikan bahwa anak-anak yang berpartisipasi dalam kegiatan olahraga kompetitif menunjukkan penurunan dalam perilaku prososialnya. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Hall (1981), Bredemeier & Shields (1986) menyatakan bahwa kedewasaan penalaran moral atlet lebih rendah dibanding dengan kedewasaan penalaran moral bukan atlet pada tingkatan usia yang sama. Sementara itu penelitian lain membuktikan hal yang berbeda, seperti yang telah dilakukan oleh Orlick (1981). Ia menyatakan bahwa kegiatan olahraga memberikan dampak positip terhadap perilaku kerjasama dari individu yang berpartisipasi di dalamnya. Apapun perdebatan yang muncul, sebagai insan olahraga tentu kita sangat berharap bahwa olahraga mampu menjadi instrumen pembentukan karakter. Bagaimana olahraga dapat merupakan instrumen (agen) pembentukan nilai dan karakter yang akhirnya berujung pada perilaku? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita simak model konseptual berikut. Gambar 1: Model konseptual hunbungan olahraga-nilai-karakter Dari gambar tersebut jelas menunjukkan bagaimana aktivitas olahraga yang syarat dengan nilai-nilai mempengaruhi sistem nilai yang dimiliki individu. Sistem nilai yang dimiliki individu mempengaruhi karakter, dan karakter selanjutnya mempengaruhi perilaku. Gambar di atas tidaklah lengkap, tapi dari gambar tersebut setidaknya dapat menjelaskan mengapa olahraga menjadi sesuatu yang penting dalam mempengaruhi Sport Values Individual Values Behavior Character Sport Activities
  • 9. 9 terbentuknya nilai dan karakter. Jika harapan di atas dapat terjadi, maka ini akansejalan dengan pemikiran Bung Karno pada saat memberikan amanat kepada para olahragawan yang akan ikut Ganefo pada tanggal 8 Nopember 1963, bahwa harga diri seseorang bukan dari keturunan, kasta atau yang lain tetapi dari budi pekerti atau karakter yang luhur dan mulia. 3. Catatan Akhir Sebagai catatan akhir dari tulisan ini, saya ingin mengutip salah satu pasal dari International Charter of Physical Education and Sport (UNESCO): “Physical education and sport programs must be designed to suit requirements and personal characteristics of those practicing them, as well as the institutional, cultural, socioeconomic and climatic conditions of each country.” Kesimpulannya, jika olahraga digunakan sebagai instrument pembentukan karakter, maka olahraga harus diciptakan lingkungan yang memungkinkan karakter individu yang berpartisipasi di dalamnya terbentuk. Apakah dalam olahraga yang selama ini kita geluti sudah diciptakan kondisi tersebut? Inilah barangkali yang perlu menjadi bahan pemikiran kita semua
  • 10. 1 0 Daftar Pustaka Allport, G.W. (1963). Pattern and growth in personality. London: Renehart & Winston. Allport, G.W. (1960). Personality: A psychological interpretation. New York: Henry Holt & Company. Bandura, A., Barbaranelli, C, Caprara, G.V., & Pastorelli, C. (1996). Mechanism of moral disengagement in the exercise of moral agency. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 71, No. 2, 364-374. Batson, D.C., Thompson, E.R, Seuferling, G., Whitney, H., & Strongman, J.A. (1999). Moral hypocrisy: Appearing moral to oneself without being so. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 77, No. 3, 525-537. Beding, B. (2000). Membangun karakter bangsa melalui olahraga. Jakarta: PT. Grasindo. Bredemeier, B.J. & Shields, D.L. (1985). Values and violence in sport. Psychology Today, 19, 22-32. Bredemeier, B.J. & Shields D.L. (1987). Moral growth through physical activity: A structural/developmental approach. In Gould, D. & Weiss. M.R., Advances in pediatric sport sciences, Vol. 2 behavioral issues. Champaign, Illinois: Human Kinetics Publisher, Inc. Bredemeier, B.J. & Shields D.L. (1993). Moral psychology in the context of sport. In Singer, RN., Murphey, M., & Tennant, L.K., (Eds.), Handbook of research on sport psychology. New York: Macmillan Publishing Company. Coles, A. & Jones, D. (1997). A plan for the development of sport in Indonesia. Jakarta: Australia Indonesia Institute – Australian Sports Commission. Depdikbud, (1995). Kamus besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua (Cetakan ke 4). Depdikbud: Balai Pustaka. Shields, D.L. & Bredemeier, B.J. (1994). Character development and physical activity. Champaign, IL: Human Kinetics. Haan, N. (1978). Two moralities in actions contexs: Relationship to thought, ego regulation, and development. Journal of Personality and Social Psychology, 36, 286- 305.
  • 11. 11 View publication stats Haan, N. (1985). Processes of moral development: Cognitive or social disequilibrium? Developmental Psychology, 21, 996-1006. Haan, N. (1986). Systematic variability in the quality of moral action as defined by two formulations. Journal of Personality and Social Psychology, 50, 1271-1284. Haste, H.W. & Locke, D. (Eds.) (1983). Morality in the makingthought,action, and social context. New York: John Wiley & Sons LTD. Kleiber, D.A. & Roberts, G.C. (1981). The effect of sport experience in the development of social character: An exploratory investigation. Journal of Sport Psychology, 3, 114-122. Langford, P.E. (1995). Approaches to the development of moral reasoning. Hilsdale (USA): Lawrence Erlbaum Associates, Publisher. Moltmann, J. (1989). Olympia between politics and relegion. Dalam Baum, G. & Coleman, J. (Eds.), Concilium 205 special culumn: sport. Eidenburgh: T & T Clark. Ogilvie, B.C. & Tutko, T.A. (1971). Sport: If you want to build charater, try something else. Psychology Today, 5 (5), 61-63. Rudd, A.K. (1998). Sport’s perceived ability to build character. Dissertation Abstracts International Section A: Humanities and Social Sciences, 59 (5-A), 1507. Steinberg, L. (1999). Adolescence (5th Edition). USA: McGraw-Hill Companies, Inc. Vealey, R. (1992). Personality in sport: A comprehensive view. In T. Horn (Ed.), Advances in sport psychology. Champaign, IL: Human Kinetics. Voughan, L.K. (1984). Pediatric and adolescent sports medicine. Boston: Brown and Company Weiss, M.R. & Bredemeier, B.J. (1990). Moral development in sport. Exercise and Sport Science Reviews, 18, 331-378. Williams, J.M. (1980). Personality characteristics of the successful female athlete. In W.F.Straub (Ed.), Sport psychology: An analysis of athlete behavior. Ithaca, NY:Mouvement.