1. MAKALAH OLAHRAGA MEMBENTUK KARAKTER
Disusun oleh :
Imam Haris Utomo
20060484055
2020B
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
JURUSAN PENDIDIKAN KESEHATAN DAN REKREASI
TAHUN AKADEMIK2020/2021
2. i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “MAKALAH OLAHRAGA
MEMBENTUK KARAKTER” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas FILSAFAT DAN
SEJARAH OLAHRAGA Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang [topik makalah] bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak/Ibu Dosenselaku dosen pengampu mata kuliah
fisiologi olahraga yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.Saya juga mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah ini. Saya menyadari,
makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Nganjuk, 11 Maret 2021
IMAM HARIS UTOMO
NIM.20060484055
3. ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................................................ii
BAB 1...................................................................................................................................................1
PEMBUKA ............................................................................................................................................1
1. PENGANTAR .............................................................................................................................1
2. MASALAH DAN TUJUAN ...........................................................................................................1
BAB 2...................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN .....................................................................................................................................2
1. Tinjauan dari Perspektif Psikologis...........................................................................................2
2. Olahraga dan Karakter .............................................................................................................3
BAB 3...................................................................................................................................................9
PENUTUP .............................................................................................................................................9
1. KESIMPULAN ............................................................................................................................9
DAFTAR PUTSAKA..............................................................................................................................10
4. 1
BAB 1
PEMBUKA
1. PENGANTAR
Sebagai insan olahraga, saya merasa sangat sedih menyaksikan sepakbola Indonesia yang
sering diwarnai dengan perkelahian antar pemain, pemukulan wasit, dan kerusuhan suporter.
Lihatlah bagaimana sejumlah insiden terjadi dalam putaran kedua Liga Djarum Indonesia
belakangan ini. Kasus pengeroyokan wasit yang terjadi ketika PSPS Pekanbaru menjamu PSIS
Semarang di Stadion Rumbai. Perkelahian antar pemain Persipura Jayapura dengan Persijap
Jepara yang terjadi di Stadion Mandala Jayapura. Adu jotos antara pemain Persija Jakarta
dengan pemain Persela Lamongandi Stadion Lebak Bulus Jakarta. Dan, yang masih segar dalam
ingatan kita bagaimana Deltamania yang notabene merupakan suporter Deltras Sidoarjo
menampilkan perkelahian massal dengan Sakeramania yang merupakan suporter kesebelasan
Pasuruhan.
Pada sisi yang lain, aksi pemalsuan umur dan atau ijazah hampir terjadi di semua cabang
olahraga seperti tenis, renang, atletik, sepakbola, bulutangkis, bolavoli, dan sebagainya. Belum
lagi aksi suap-menyuap dan penggunaan obat terlarang yang juga mewarnai atmosfir
keolahragaan kita. Memperhatikan kondisi yang demikian, pertanyaan mendasar yang kemudian
perlu diajukan adalah: Apakah klaim yang menyatakan bahwa olahraga membentuk karakter
masih relevan untuk dikemukakan?
Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Klaim bahwa “olahraga membagun
karakter” telah menjadi keyakinan sejarah yang mendalam dari para pelatih, pendidik, politisi,
dan rohaniawan sejak jaman Yunani kuno. Karena kuatnya keyakinan tersebut, ungkapan “sport
builds character” memiliki tempat sebagai adagium budaya masyarakat dari waktu ke waktu,
termasuk kita yang di Indonesia. Ia seolah menjadi sebuah kredo yang abadi. Apakah klaim
tersebut didukung oleh fakta-fakta empirik? Inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini
2. MASALAH DAN TUJUAN
Olahraga tidak dengan sendirinya akan membentuk karakter dari mereka yang berpartisipasi di
dalamnya. Apalagi jika olahraga direduksi menjadi sekadar persoalan menang-kalah, maka yang
terwujud adalah perilaku kebrutalan, kerusuhan, ketidak-jujuran, dan perilaku a-moral lainnya.
Sebagai kumpulan nilai- nilai moral, ia harus diorganisasi, dikonstruksi, dan ditransformasikan ke
dalam struktur dasar penalaran individu yang berpartisipasi di dalamnya. Tanpa itu, sulit rasanya
kita mengharapkan olahraga sebagai instrumen untuk membentuk karakter.
5. 2
BAB 2
PEMBAHASAN
1. Tinjauan dari Perspektif Psikologis
Karakter adalah sebuah terminologi yang sering digunakan secara sinonim dengan istilah
kepribadian. Para ahli psikologi dari Eropa lebih senang menggunakan istilah karakter,
sementara para ahli psikologi dari Amerika lebih suka menggunakan istilah kepribadian. Sebagai
contoh Freud sering menggunakan istilah character dalam berbagai tulisannya, dan jarang
menggunakan istilah personality. Istilah karakterologi juga umum digunakan di Eropa, tapi
sangat jarang di Amerika. Demikian juga banyak ahli psikologi Amerika menulis buku dengan
judul personality, tetapi amat jarang yang menggunakan judul character. Dari sini nampak bahwa
penggunakan kedua terminologi tersebut terkait dengan preferensi yang bersifat kewilayahan.
Jika ditelusuri lebih jauh, secara etimologi karakter berasal dari bahasa latin, sementara
itu kepribadian berasal dari bahasa Yunani. Keduanya mengandung pengertian mengukir
(engraving). Menurut pengertian kamus character is qualities that make somebody different from
others (Oxford, 1991). Demikian juga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa
karakter mengandung pengertian sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dari yang lain (Balai Pustaka, 1995: 445). Baik pengertian secara etimologis maupun
pengertian berdasarkan kamus tentulah belum cukup, sebab keduanya belum menggambarkan
konsepsi yang paripurna. Oleh karenanya, masih diperlukan uraian dan justifikasi berdasarkan
bidang keilmuan.
Dalam ilmu psikologi, konsep “karakter” pada dasarnya merujuk pada struktur
kepribadian, tetapi dalam perkembangannya makna tersebut telah mengalami perubahan. The
term was subsequently modified to reflect culturally valued attributes that
6. 3
reflect morality as defined by society (Allport, 1961). Selanjutnya, Allport lebih suka
mendefinisikan karakter sebagai kepribadian yang dinilai (personality evaluated). Artinya,
tinggi-rendah atau baik-buruknya suatu kepribadian akan sangat tergantung pada penilaian
masyarakat tertentu. Sebagai contoh, ciri kepribadian“dominan” bagi masyarakat timur sering
dianggap sebagai perilaku “serakah” yang perlu dihindari. Namun bagi masyarakat barat, ciri
kepribadian yang demikian dianggap positip terutama bila dikaitkan dengan sebuah kesuksesan.
Lebih jauh tentang pengertian karakter, mari kita simak sejumlah definisi berikut.
“Character is the degree of ethically effective organization of all the forces of the
individual (Taylor, 1926).”
“Character is an enduring psychophysical disposition to inhibit impulses inaccordance
with a regulative principle (Roback, 1927).”
“Character primarily in terms of interpersonal qualities such as cooperation, self- control,
and sociability (Blanchard, 1946).”
Dari beberapa pengertian di atas, setidaknya ada benang merah yang bisa dijadikan
pegangan dalam kita memahami karakter. Pada prinsipnya karakter berintikan pada nilai-nilai
moral sosial yang berlaku di masyarakat seperti kejujuran, sportivitas, kerjasama, kesatria, dan
sebagainya.
2. Olahraga dan Karakter
Dalam sejarah perkembangannya, olahraga memiliki arti yang berbeda pada setiap masa,
kebudayaan, dan bahkan pada setiap orang. Dalam sejarah Olimpiade kuno olahraga dijadikan
sebagai instrumen ritual pemujaan dewa Zeus di kaki pegunungan Olympus. Pada awal
Olimpiade modern olahraga merupakan media mempromosikan semangat perdamaian dan
persahabatan. Kini, olahraga tidak lagi menjadi kegiatan ritual ataupun mempromosikan
perdamaian, tetapi lebih merupakan agen mencari uang, nama besar, dan popularitas. Sedangkan
pada tataran individual, bisa jadi olahraga diartikan sebagai pemuasan keinginan manusia akan
kesenangan, kegembiraan, dan identitias ketika kebutuhan dasar akan makanan, perumahan, dan
kesehatan telah terpenuhi.
Coles & Jones (1997) mendefinisikan olahraga sebagai aktivitas fisik berupa permainan
yang berisikan perjuangan melawan unsur-unsur alam, orang lain, ataupun diri sendiri dan
memiliki kompleksitas organisasi. Dari definisi tersebut, terdapat tiga
7. 4
unsur penting dalam olahraga yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Ketiga unsur
tersebut adalah aktivitas fisik, permainan, dan kompleksitas organisasi. Aktivitas fisik dalam
konteks olahraga dimaksudkan sebagai aktivitas fisik yang memerlukan kecakapan jasmani dan
bukan aktivitas fisik biasa. Dengan kriteria tersebut, pertandingan seperti catur dan bridge yang
tidak memerlukan kecakapan jasmani tidak dianggap sebagai olahraga, meskipun keduanya
memiliki kompetisi dan organisasi tingkat tinggi. Dengan pengertian yang demikian, maka
olahraga dimaksudkan sebagai jenis olahraga yang dipertandingkan atau dilombakan pada event-
event resmi seperti Olimpiade, SEA Games, PON, dan sebagainya.
Secara sosio-psikologis, olahraga dapat dianggap sebagai bagian dari pranata- pranata
sosial yang ada di masyarakat. Ini tercermin dalam sistem, norma, aturan main yang telah
menjadi kesepakatan bersama. Selain sistem aturan yang melingkupinya, kegiatan olahraga juga
melibatkan emosi orang yang berpartisipasi di dalamnya secara intens dan merupakan pertalian
antara keterampilan, kognitif, sikap, dan nilai-nilai. Huizinga, seorang tokoh antropologi
olahraga, mendeskripsikan permainan yang merupakan inti dari olahraga sebagai sebuah
kehidupan nyata yang di tempatkan dalam situasi kegiatan temporer dengan segala karakteristik
yang ada di dalamnya. Terkait dengan makna penting suatu permainan, Vaughan juga
menyatakan:
Play is generally perceived as an important component of the socialization and
developmental process of children with spontaneity, creativity, and informal structure
forming some of its essential elements. (Vaughan, 1984:144)
Dengan pemahaman yang demikian, permainan dalam olahraga dapat memberikan
pengalaman individu dalam konteks hubungan interpersonal. Olahraga tidak hanya merupakan
aktivitas fisik, tetapi juga sebagai agen pembentukan karakter. Pendek kata, dalam banyak hal
olahraga berpotensi mempengaruhi pembentukan karakter individu yang berpartisipasi di
dalamnya.
Marilah kita ingat kembali bagaimana seorang Eugenio Monti, atlet kereta luncur
(bobsled) menunjukkan perilaku sebagai kompetitor sejati. Ketika itu, tahun 1964
diselenggarakan Olympiade musim dingin di Austria. Monti telah selesai melakukan giliran
luncuran yang terakhir dengan catatan waktu yang menakjubkan. Ia dipastikan akan menjadi
juara andaisaja lawan terakhirnya, Tony Nash, tidak berhasil melampaui catatan waktu yang
dibuatnya. Menjelang tampilnya Nash, tersiar kabar bahwa ada
8. 5
bagian ‘onderdil’ dari kereta Nash yang rusak yang bisa jadi akan berpengaruh terhadap
prestasinya. Mendengar kabar itu, Monti mencopot bagian tersebut dari keretanya dan kemudian
mengirimkannya kepada Nash. Nash kemudian melakukan gilirannya dan sampai ke garis finish
dengan menciptakan rekor baru serta memenangkan medali emas.
Perilaku yang ditunjukkan Monti jelas memperlihatkan semangat kompetitor sejati.
Andaisaja ia hanya berorientasi kepada kemenangan, bisa jadi ia tidak akan memberikan
‘onderdil’ tersebut, dan ia tahu betul resikonya. Tapi, atlet dari Italia tersebut berpendirian bahwa
tidak ingin menang diatas ketidakberdayaan lawan dan lebih memilih memberi kesempatan yang
sama kepada lawannya. Ia tidak menginginkan kemenangan yang ‘murahan’. Perbuatan Monti
tersebut jelas menunjukkan betapa pun kita bersaing – berkompetisi – semuanya perlu dilakukan
secara fair. Karena itu, tak heran bila Monti dianugerahi International Fair Play untuk pertama
kalinya.
Contoh lain:
Pada tanggal 2 Nopember 1969 berlangsung pertandingan sepakbola babak final liga
Spanyol antara Real Madrid vs. Sabadell. Walaupun pertandingan sudah berlangsung selama 50’
belum juga terjadi gol. Pedro Zaballa, sayap kanan Sabadell ketika itu mendapat peluang untuk
mencetak gol ke gawang Real Madrid, tapi pada saat yang bersamaan terjadi benturan yang
sangat keras di antara pemain belakang Real Madrid sendiri, yaitu antara kiper dan back yang
menyebabkan cedera berat hingga pingsan. Dengan satu sontekan kaki saja, gol dipastikan terjadi,
tapi itu tidak dilakukan oleh Zaballa. Ia memilih memberikan bola itu kepada pemain lawan
dengan tendangan pelan. Setelah pertandingan berakhir, dan dimenangkan oleh Real Madrid 1- 0,
penonton sejumlah 80.000 orang ketika itu memberikan sorak penghormatan kepada Zaballa.
Zaballa sendiri menyatakan bahwa ia hanya menuruti kata hatinya untuk tidak membuat gol
dalam suasana ketidakberdayaan lawan. Maka juga tidak heran, bila perbuatan yang mulia
tersebut membawa Zaballa dianugerahi International Fair Play.
Meskipun olahraga dapat dijadikan sebagai agen pembentukan moral, tidak berarti
seseorang yang berpartisipasi di dalamnya memiliki tingkat perkembangan moral yang lebih
tinggi dibanding seseorang yang lain. Dalam olahraga tidak melekat secara otomatis makna
nilai-nilai. Marten (1978 dalam Gould & Weinberg, 1995)
9. 6
berpendapat bahwa keikutsertaan dalam kegiatan dan organisasi olahraga tidak otomatis
bermanfaat bagi pembentukan pribadi anak. Pengembangan karakter, kepemimpinan,
sportmanship, dan orientasi berprestasi tidak terjadi dengan sendirinya melalui keikutsertaannya.
Apa yang telah dipaparkan di awal tulisan ini, kiranya merupakan ilustrasi daari pernyataan ini.
Selanjutnya, saya ingin membahas lebih dalam bagaimana pandangan teoretis dan
sejumlah studi dilakukan dalam kaitannya dengan olahraga-karakter. Studi tentang karakter
dalam konteks olahraga secara garis besar terbagi dalam dua pandangan. Pertama, mereka yang
memahami karakter sebagai konsep perilaku prososial (prosocial behavior) dan kedua mereka
yang memahami karakter sebagai konsep moral (Shields & Bredemeier, 1994). Menurut
pandangan yang pertama, karakter dilihat sebagai proses pembelajaran perilaku melalui transmisi
nilai-nilai yang secara sosial dapat diterima. Perkembangan karakter terjadi seiring dengan
perkembangan anak dalam menginternalisasikan aturan-aturan dan norma-norma sosial. Selain
itu, dalam proses internalisasi juga diperlukan agen sosial sebagai transmisi norma-norma
budaya. Dengan demikian menurut pandangan yang pertama, individu yang berpartisipasi dalam
kegiatan olahraga akan menginternalisasikan nilai- nilai yang ditransmisikan melalui kegiatan
olahraga. Olahraga dianggap sebagai agen pembentukan karakter. Sehingga, dengan
berpartisipasi dalam kegiatan olahraga karakter akan terbentuk dengan sendirinya.
Sementara itu, teori konstruktivist memiliki pandangan yang berbeda. Menurut Kohlberg
dan Haan, perkembangan moral merupakan hasil dari interaksi antara kecenderungan diri
individu mengorganisasikan pengalamannya ke dalam pola interpretasi yang bermakna dan
pengalaman lingkungan dalam memberikan informasi mengenai realitas sosial. Perkembangan
moral dilihat sebagai sebuah proses reorganisasi dan transformasi struktur dasar penalaran
individu. Perkembangan moral bukanlah suatu proses menemukan berbagai macam peraturan
dan sifat-sifat baik, melainkan suatu proses yang membutuhkan perubahan struktur kognitip dan
rangsangan dari lingkungan sosial. Jadi, berpartisipasi dalam kegiatan olahraga tidak dengan
sendirinya membentuk karakter atau moral individu sebagaimana pandangan teori internalisasi,
tetapi apa yang dianggap sebagai nilai-nilai moral tersebut harus
10. 7
SportActivities
diorganisasi, dikonstruksi, dan ditransformasikan ke dalam struktur dasar penalaran individu yang
berpartisipasi di dalamnya.
Penelitian mengenai keterkaitan olahraga dengan karakter memang menunjukkan
kesimpulan yang tidak konsisten. Sebagai contoh, Kleiber dan Robert (1981) melakukan studi
tentang pengaruh olahraga, khususnya olahraga kompetitif, terhadap perilaku prososial. Hasil
penelitian membuktikan bahwa anak-anak yang berpartisipasi dalam kegiatan olahraga
kompetitif menunjukkan penurunan dalam perilaku prososialnya. Demikian pula penelitian yang
dilakukan oleh Hall (1981), Bredemeier & Shields (1986) menyatakan bahwa kedewasaan
penalaran moral atlet lebih rendah dibanding dengan kedewasaan penalaran moral bukan atlet
pada tingkatan usia yang sama. Sementara itu penelitian lain membuktikan hal yang berbeda,
seperti yang telah dilakukan oleh Orlick (1981). Ia menyatakan bahwa kegiatan olahraga
memberikan dampak positip terhadap perilaku kerjasama dari individu yang berpartisipasi di
dalamnya.
Apapun perdebatan yang muncul, sebagai insan olahraga tentu kita sangat berharap
bahwa olahraga mampu menjadi instrumen pembentukan karakter. Bagaimana olahraga dapat
merupakan instrumen (agen) pembentukan nilai dan karakter yang akhirnya berujung pada
perilaku? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita simak model konseptual berikut.
Gambar 1: Model konseptual hunbungan olahraga-nilai-karakter
Dari gambar tersebut jelas menunjukkan bagaimana aktivitas olahraga yang syarat dengan
nilai-nilai mempengaruhi sistem nilai yang dimiliki individu. Sistem nilai yang dimiliki individu
mempengaruhi karakter, dan karakter selanjutnya mempengaruhi perilaku. Gambar di atas
tidaklah lengkap, tapi dari gambar tersebut setidaknya dapat menjelaskan mengapa olahraga
menjadi sesuatu yang penting dalam mempengaruhi
SportValues
Individual
Values Behavior
Character
11. 8
terbentuknya nilai dan karakter. Jika harapan di atas dapat terjadi, maka ini akan sejalan
dengan pemikiran Bung Karno pada saat memberikan amanat kepada para olahragawan yang
akan ikut Ganefo pada tanggal 8 Nopember 1963, bahwa harga diri seseorang bukan dari
keturunan, kasta atau yang lain tetapi dari budi pekerti atau karakter yang luhur dan mulia.
12. 9
BAB 3
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Sebagai catatan akhir dari tulisan ini, saya ingin mengutip salah satu pasal dari
International Charter of Physical Education and Sport (UNESCO): “Physical education
and sport programs must be designed to suit requirements and personal characteristics of
those practicing them, as well as the institutional, cultural, socioeconomic and climatic
conditions of each country.” Kesimpulannya, jika olahraga digunakan sebagai instrument
pembentukan karakter, maka olahraga harus diciptakan lingkungan yang memungkinkan
karakter individu yang berpartisipasi di dalamnya terbentuk. Apakah dalam olahraga
yang selama ini kita geluti sudah diciptakan kondisi tersebut? Inilah barangkali yang perlu
menjadi bahan pemikiran kita semua
13. 10
DAFTAR PUTSAKA
Allport, G.W. (1963). Pattern and growth in personality. London: Renehart & Winston.
Allport, G.W. (1960). Personality: A psychological interpretation. New York: Henry Holt &
Company.
Bandura, A., Barbaranelli, C, Caprara, G.V., & Pastorelli, C. (1996). Mechanism of moral
disengagement in the exercise of moral agency. Journal of Personality and Social
Psychology, Vol. 71, No. 2, 364-374.
Batson, D.C., Thompson, E.R, Seuferling, G., Whitney, H., & Strongman, J.A. (1999). Moral
hypocrisy: Appearing moral to oneself without being so. Journal of Personality and
Social Psychology, Vol. 77, No. 3, 525-537.
Beding, B. (2000). Membangun karakter bangsa melalui olahraga. Jakarta: PT. Grasindo.
Bredemeier, B.J. & Shields, D.L. (1985). Values and violence in sport. Psychology Today,
19, 22-32.
Bredemeier, B.J. & Shields D.L. (1987). Moral growth through physical activity: A
structural/developmental approach. In Gould, D. & Weiss. M.R., Advances in pediatric
sport sciences, Vol. 2 behavioral issues. Champaign, Illinois: Human Kinetics
Publisher, Inc.
Bredemeier, B.J. & Shields D.L. (1993). Moral psychology in the context of sport. In Singer,
RN., Murphey, M., & Tennant, L.K., (Eds.), Handbook of research on sport
psychology. New York: Macmillan Publishing Company.
Coles, A. & Jones, D. (1997). A plan for the development of sport in Indonesia. Jakarta:
Australia Indonesia Institute – Australian Sports Commission.
Depdikbud, (1995). Kamus besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua (Cetakan ke 4).
Depdikbud: Balai Pustaka.
Shields, D.L. & Bredemeier, B.J. (1994). Character development and physical activity.
Champaign, IL: Human Kinetics.
Haan, N. (1978). Two moralities in actions contexs: Relationship to thought, ego
regulation, and development. Journal of Personality and Social Psychology, 36, 286- 305