CVST adalah trombosis sinus vena serebral yang merupakan komplikasi neuro-oftalmologis COVID-19. Gejalanya bervariasi namun seringkali meliputi sakit kepala dan penurunan penglihatan. Diagnosanya didukung hasil MRI dan MRA. Risikonya dipengaruhi oleh infeksi dan faktor trombogenik seperti yang ditimbulkan COVID-19. Penanganannya meliputi stabilisasi, antikoagulasi, dan tindakan bedah jika diperluk
2. ABSTRAK
▪ Latar Belakang: Studi terbaru telah mencatat kekhawatiran akan peningkatan
kejadian tromboemboli pada Penyakit Coronavirus 2019 (COVID-19). Trombosis
sinus vena serebral (CVST) adalah bentuk tromboemboli yang telah diamati
sebagai komplikasi neuro-oftalmologis COVID-19.
▪ Metode: Tinjauan literatur ilmiah.
▪ Hasil: artikel ini melaporkan overview epidemiologi CVST, presentasi klinis,
diagnostik, patofisiologi penyakit, dan manajemen dalam situasi COVID-19.
▪ Kesimpulan: CVST adalah kejadian tromboemboli yang jarang terjadi dengan
fenotipe variabel dan etiologi multipel. Komplikasi neurologis bisa parah,
termasuk defisit visual yang signifikan dan kematian. Pengamatan saat ini
menunjukkan bahwa risiko CVST dapat sangat dipengaruhi oleh pandemi COVID-
19 yang baru ini, sehingga mendorong peningkatan perhatian terhadap presentasi
penyakit, patogenesis, dan manajemen.
3. Epidemiology
Setiap tahunnya kurang lebih 3-4 juta pada dewasa dan kurang lebih 7 juta pada anak-anak
Pada penelitian yang lebih lanjut, dengan adanya peningkatan untuk diagnosis ( Imaging
techniques yang digabung kan ) kurang lebih 15 juta
3x perempuan di banding laki laki (FR : Kehamilan, keadaan post partum dan penggunakan obat
kontraseptif oral
Rata rata umur pasien terkena dari CVST adalah 37-49 years
CVST salah satu dari banyak mekanisme untuk terjadinya stroke dengan prevalensi 0,5 % dan
mortality rate 4 %
4. Clinical Presentation
Gejala dari CVST berdasarkan lokasi, sampai mana dari oklusinya terjadi, waktu terjadinya, umur pasien dan faktor resiko dari pasien
tersebut
Median waktu dari onset gejala hingga diagnosis adalah sekitar 7 hari
Sakit kepala 90 %, papilledema 25% pasien dengan umur >50 tahun sering terjadi infark
Penurunan kesadaran, mual muntah, kejang, abnormalitas dari cranial nerve, aphasia, paresis dan paraesthesias
Penurunan dari pengelihatan bisa terjadi karena peningkatan intracranial pressure yang disebabkan oleh papilledema, iskemik yang
menyebabkan dari cederanya intracranial visual pathways dan/atau direct injury pada cranial nerve yang berfungsi sebagai motilitas
ocular dan fungsi pupil
Berdasarkan International Study on Cerebral Vein dan Dural Sinus Thrombosis ( ISCVT )
- Papila edema (28 % )
- Kehilangan pengelihatan (13%)
- Diplopia (13%)
Semua symtomps yang di sebutkan biasanya dari parese cranial nerve 6
Papiledema terdapat pada 85% pasien pada fase akut, sub akut dan semua pasien pada fase kronik
Pada semua fase kronik bisa terdapat 65 % gangguan pengelihatan sekunder dari papiledem dan postpapiledema optic atrophy
5. Diagnosis
Anamnesis
- Tanda dan gejala dari pasien
CT SCAN wiwhout & with contrast (10-30% normal pada CT-Scan)
MRI + MRV Magnetic Resonance Imaging with magnetic resonance venography
DSA (digital subtraction angiography) (Gold Standard)
CTV (Computed tomography venography)
6. Diagnosis
Direct sign 1/3 kasus termasuk visualisasi trombus
(dense triangle sign, dense vessel sign, or cord
sign), contrast filling defect (empty delta sign), atau
lack of flow signal
Indirect sign meliputi edema vena, infark,
perdarahan parenkim, atau perdarahan subaraknoid
Lokasi oklusi yang paling umum adalah sinus
sagital superior (62%), diikuti oleh sinus lateral kiri
(45%) dan sinus lateral kanan (41%). Lebih dari
50% pasien memiliki banyak sinus yang terlibat.
Infark hadir pada pencitraan di sekitar 47% pasien,
dengan infark hemoragik terjadi pada 20% -30%
7. Etiology
Semua ini secara klasik terkait dengan trias trombogenesis Virchow: hiperkoagulabilitas, hemostasis, dan cedera dinding
pembuluh darah
faktor resiko : (acquired & trombofilia kongenital)
acquired :
- kehamilan,
- keadaan postpartum,
- penggunaan kontrasepsi oral, dan
- terapi penggantian hormon
- antibodi antifosfolipid,
- keganasan,
- malformasi arteriovenosa, dan
- cedera kepala mekanis .
Trombofilia kongenital,
- faktor V Leiden,
- mutasi protrombin G20210A, dan
- defisiensi protein C, protein S, dan antitrombin III
8. cont
Infeksi aktif → faktor risiko umum lainnya CVST.
Infeksi mencapai sekitar 10% dari kasus dewasa dengan CVST, terutama di negara
berkembang Ini termasuk :
- infeksi sistem saraf pusat, terutama, (abses, empiema, dan meningitis,)
- infeksi parameningeal lokal (mastoiditis, sinusitis, otitis, selulitis wajah,
tonsilitis, dan osteomyelitis)
- infeksi sistemik : Endokarditis, tuberkulosis, campak, herpes, HIV,
sitomegalovirus, malaria, aspergillus, dan kriptokokus
9. therapeutic
pasien datang dengan erdarahan intraserebral, edema serebral, peningkatan TIK
dengan peningkatan risiko herniasi, perubahan tingkat kesadaran, dan gangguan
pernapasan → stabilisasi
● masuk unit perawatan intensif → terapi hiperosmolar dan hiperventilasi
● Intervensi bedah darurat → trombolisis/trombektomi dan kraniektomi
dekompresi (DC) (jika manajemen medis gagal) (Meskipun kualitas bukti untuk
DC juga buruk, DC direkomendasikan untuk pasien dengan komplikasi CVST
akut dengan lesi parenkim dan herniasi)
● Pada kasus non-darurat, → inisiasi awal antikoagulan (masih kontroversial
sebagian besar karena adanya infark vena dengan komplikasi hemoragik pada
40% kasus.)
10. eviden base
▪ Sebuah meta-analisis dari 2 studi mencatat prognosis yang lebih baik,
meskipun tidak signifikan secara statistik, tanpa memburuknya lesi hemoragik
ketika diobati dengan antikoagulan unfractionated heparin (UFH) atau heparin
berat molekul rendah (LMWH).
- UFH digunakan dalam kasus di mana intervensi bedah memerlukan pembalikan
antikoagulan cepat.
- Studi kecil telah menunjukkan bahwa LMWH sebanding dengan UFH, tetapi
signifikansi statistik tidak tercapai karena underpower.
11. TERAPI
Rekomendasi mengenai keamanan dan kemanjuran rejimen antikoagulan oral langsung untuk mencegah CVST berulang saat ini
terbatas pada studi observasi kecil pada rivaroxaban dan dabigatran (25,36-39). Meskipun satu percobaan acak yang lebih besar
telah menunjukkan keamanan dan kemanjuran dabigatran yang serupa dengan warfarin, diperlukan lebih banyak penelitian
berkualitas tinggi (40,41). Mengingat kesamaan antara VTE ekstraserebral dan CVST, mungkin masuk akal untuk mengadopsi
pedoman VTE dengan memperhatikan profil risiko trombotik dan perdarahan setiap pasien ketika mempertimbangkan
antikoagulan terbatas waktu untuk pencegahan sekunder (3).
Perawatan tambahan harus dipertimbangkan untuk pasien dengan kompromi visual sekunder akibat papilledema dari peningkatan
ICP. Pungsi lumbal (LP) diperlukan sebelum memulai antikoagulan pada pasien dengan ICP yang meningkat terisolasi, tidak adanya
infark serebral atau perdarahan, dan tidak ada faktor risiko lain untuk herniasi. Tujuan dari LP adalah untuk secara akut
menurunkan TIK dan mencegah kehilangan penglihatan lebih lanjut sambil membiarkan antikoagulan memiliki efek terapeutik.
Acet-azolamide juga dapat digunakan, meskipun ini memiliki peran yang lebih terbatas dalam pengelolaan akut kasus papilledema
yang parah. Kortikosteroid dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk pada CVST dan harus dihindari. Penatalaksanaan bedah,
dengan shunt cairan serebrospinal atau fenestrasi saraf optik, mungkin diperlukan pada kasus berat atau refrakter dari peningkatan
TIK dan kehilangan penglihatan. Diskusi tentang manfaat dan risiko dari intervensi ini diperlukan, terutama pada fase akut, karena
penghentian sementara antikoagulan untuk setiap intervensi bedah dapat menyebabkan pembentukan trombus lebih lanjut.
Meskipun TIK menjadi normal pada sebagian besar kasus setelah pengobatan CVST, pasien jarang mengalami peningkatan TIK dan
papilledema kronis, yang memerlukan penanganan jangka panjang (25,42).
12. Impact of Covid-19 On Cerebral Venous Sinus
Thrombosis
Angka kejadian pasien COVID-19 yang mengalami CVST dilaporkan sedikit pada paruh
pertama 2020. Beberapa penelitian secara global menunjukan penurunan hospitalisasi pasien
COVID-19 dengan kelainan neurologis, hal ini terjadi karena adanya peningkatan social
distancing, ketakutan terkena virus, peraturan stay at home, peningkatan triase telehealth
masalah klinis. Selain itu, hal ini bisa terjadi juga karena CVST tidak terdiagnosa saat pandemi.
Didapatkan bahwa banyak infeksi virus yang berhubungan dengan koagulopati, seperti
H1N1 Influenza A Virus, MERS Coronavirus, dan SARS yang dapat menyebabkan dessiminated
intravascular coagulopathy (DIC), deep vein thrombosis, dan pulmonary thromboemboli. Diduga
bahwa infeksi virus ini menyebabkan disregulasi antara prokoagulan bawaan dan mekanisme
antikoagulan. Mekanisme yang dapat terjadi termasuk disfungsi endotel, inhibisi terhadap
fibrinolisis, meningkatnya viskositas darah, dan koagulopati yang berhubungan dnegan sepsis.
Pada COVID-19 dapat terjadi diregulasi koagulan natural menyebabkan meningkatnya
kadar D-dimer dan disfungsi platelet dengan potensi hiperaktivasi melalui kaskade inflamasi,
dengan thromboelastogram seluruh darah menunjukkan parameter koagulasi yang meningkat.
Walaupun mirip dengan DIC dan mikroangiopati, daoat dibedakan dari meningkatnya
fibrinogen, D-dimer yang sangat tinggi, dan tidak terdapatnya trombositopenia.
13. Conclusion
CVST adalah kejadian tromboemboli yang tidak biasa dengan fenotipe
beragam dan banyak etiologi. Komplikasi neurologis bisa parah, termasuk defisit
visual yang signifikan, stroke, dan kematian. Pengamatan saat ini menunjukkan
bahwa risiko CVST dapat sangat dipengaruhi oleh pandemi COVID-19, sehingga
mendorong peningkatan perhatian terhadap presentasi penyakit, patogenesis, dan
manajemen.