1. NUR HADIJAH
21907079
LAPORAN PENDAHULUAN SIROSIS HEPATIS
DI RUANGAN LONTARA 1 ATAS BELAKANG
RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAKASSAR
MAKASSAR
2020
2. TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
1. Sirosis hepatis adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan difus dan
menahun pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi dan
regenerasi sel-sel hati, sehingga timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati.
2. Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya
pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses
peradangan nekrosis sel hati yang luas. Pembentukan jaringan ikat dan usaha
regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi
mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul
tersebut.
3. Sirosis hepatis adalah penyakit hati kronis yang tidak diketahui penyebabnya
dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium akhir dari
penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati (Sujono, 2002).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa sirosis hati adalah
penyakit hati kronis yang ditandai oleh adanya peradangan difus pada hati, diikuti
dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi dan regenerasi sel hati disertai nodul dan
merupakan stadium akhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati.
3. B. Anatomi dan Fisiologi
Gambar 2.1 Anatomi hati Sumber: www.google.com
Hati merupakan organ terbesar didalam tubuh, beratnya sekitar 1500 gram.
Letaknya dikuadaran kanan atas abdomen, dibawah diafragma dan terlindungi oleh
tulang rusuk (costae). Hati dibagi menjadi 4 lobus dan setiap lobus hati terbungkus oleh
lapisan tipis jaringan ikat yang membentang kedalam lobus itu sendiri dan membagi
massa hati menjadi unit-unit kecil, yang disebut lobulus.
Sirkulasi darah ke dalam dan keluar hati sangat penting dalam penyelenggaraan
fungsi hati. Hati menerima suplai darahnya dari dua sumber yang berbeda. Sebagian
besar suplai darah datang dari vena porta yang mengalirkan darah yang kaya akan zat-
zat gizi dari traktus gastrointestinal. Bagian lain suplai darah tersebut masuk ke dalam
hati lewat arteri hepatika dan banyak mengandung oksigen. Kedua sumber darah
tersebut mengalir ke dalam kapiler hati yang disebut sinusoid hepatik. Dengan
demikian, sel-sel hati (hepatosit) akan terendam oleh campuran darah vena dan arterial.
Dari sinusoid darah mengalir ke vena sentralis di setiap lobulus, dan dari semua lobulus
ke vena hepatika. Vena hepatika mengalirkan isinya ke dalam vena kava
4. inferior. Jadi terdapat dua sumber yang mengalirkan darah masuk ke dalam hati dan
hanya terdapat satu lintasan keluarnya.
Disamping hepatosit, sel-sel fagositosis yang termasuk dalam sistem
retikuloendotelial juga terdapat dalam hati. Organ lain yang mengandung sel-sel
retikuloendotelial adalah limpa, sumsum tulang, kelenjar limfe dan paru-paru. Dalam
hati, sel-sel ini dinamakan sel kupfer. Fungsi utama sel kupfer adalah memakan benda
partikel (seperti bakteri) yang masuk ke dalam hati lewat darah portal.
Fungsi metabolik hati:
1. Metabolisme glukosa
Setelah makan glukosa diambil dari darah vena porta oleh hati dan diubah
menjadi glikogen yang disimpan dalam hepatosit. Selanjutnya glikogen diubah kembali
menjadi glukosa dan jika diperlukan dilepaskan ke dalam aliran darah untuk
mempertahankan kadar glukosa yang normal. Glukosa tambahan dapat disintesis oleh
hati lewat proses yang dinamakan glukoneogenesis. Untuk proses ini hati menggunakan
asam-asam amino hasil pemecahan protein atau laktat yang diproduksi oleh otot yang
bekerja.
2. Konversi amonia
Penggunaan asam-asam amino untuk glukoneogenesis akan membentuk amonia
sebagai hasil sampingan. Hati mengubah amonia yang dihasilkan oleh proses metabolik
ini menjadi ureum. Amonia yang diproduksi oleh bakteri dalam intestinum juga akan
dikeluarkan dari dalam darah portal untuk sintesis ureum. Dengan cara ini hati
mengubah amonia yang merupakan toksin berbahaya menjadi ureum yaitu senyawa
yang dapat diekskresikan ke dalam urin.
3. Metabolisme protein
Organ ini mensintesis hampir seluruh plasma protein termasuk albumin, faktor-
faktor pembekuan darah protein transport
5. yang spesifik dan sebagian besar lipoprotein plasma. Vitamin K diperlukan hati untuk
mensintesis protombin dan sebagian faktor pembekuan lainnya. Asam-asam amino
berfungsi sebagai unsur pembangun bagi sintesis protein.
4. Metabolisme lemak
Asam-asam lemak dapat dipecah untuk memproduksi energi dan benda keton.
Benda keton merupakan senyawa-senyawa kecil yang dapat masuk ke dalam aliran
darah dan menjadi sumber energi bagi otot serta jaringan tubuh lainnya. Pemecahan
asam lemak menjadi bahan keton terutama terjadi ketika ketersediaan glukosa untuk
metabolisme sangat terbatas seperti pada kelaparan atau diabetes yang tidak terkontrol.
5. Penyimpanan vitamin dan zat besi
6. Metabolisme obat
Metabolisme umumnya menghilangkan aktivitas obat tersebut meskipun pada
sebagian kasus, aktivasi obat dapat terjadi. Salah satu lintasan penting untuk
metabolisme obat meliputi konjugasi (pengikatan) obat tersebut dengan sejumlah
senyawa, untuk membentuk substansi yang lebih larut. Hasil konjugasi tersebut dapat
diekskresikan ke dalam feses atau urin seperti ekskresi bilirubin.
7. Pembentukan empedu
Empedu dibentuk oleh hepatosit dan dikumpulkan dalam kanalikulus serta
saluran empedu. Fungsi empedu adalah ekskretorik seperti ekskresi bilirubin dan
sebagai pembantu proses pencernaan melalui emulsifikasi lemak oleh garam-garam
empedu.
8. Ekskresi bilirubin
Bilirubin adalah pigmen yang berasal dari pemecahan hemoglobin oleh sel-sel
pada sistem retikuloendotelial yang mencakup sel-sel kupfer dari hati. Hepatosit
mengeluarkan bilirubin dari dalam darah dan melalui reaksi kimia mengubahnya
6. lewat konjugasi menjadi asam glukuronat yang membuat bilirubin lebih dapat larut
didalam larutan yang encer. Bilirubin terkonjugasi diekskresikan oleh hepatosit ke
dalam kanalikulus empedu didekatnya dan akhirnya dibawa dalam empedu ke
duodenum.
Konsentrasi bilirubin dalam darah dapat meningkat jika terdapat penyakit hati,
bila aliran empedu terhalang atau bila terjadi penghancuran sel-sel darah merah yang
berlebihan. Pada obstruksi saluran empedu, bilirubin tidak memasuki intestinum dan
sebagai akibatnya, urobilinogen tidak terdapat dalam urin.
(Smeltzer & Bare, 2001)
C. Etiologi
Menurut FKUI (2001), penyebab sirosis hepatis antara lain :
1. Malnutrisi
2. Alkoholisme
3. Virus hepatitis
4. Kegagalan jantung yang menyebabkan bendungan vena hepatika
5. Penyakit Wilson (penumpukan tembaga yang berlebihan bawaan)
6. Hemokromatosis (kelebihan zat besi)
7. Zat toksik
Ada 3 tipe sirosis atau pembetukan parut dalam hati :
1. Sirosis Laennec (alkoholik, nutrisional), dimana jaringan parut secara khas mengelilingi
daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis.
2. Sirosis pascanekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akibat
lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
3. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati disekitar saluran
empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi (kolangitis).
7. D. Patofisiologi
Meskipun ada beberapa faktor yang terlibat dalam etiologi sirosis, konsumsi
minuman beralkohol dianggap sebagai faktor penyebab yang utama. Sirosis terjadi
dengan frekuensi paling tinggi pada peminum minuman keras. Meskipun defisiensi gizi
dengan penurunan asupan protein turut menimbulkan kerusakan hati pada sirosis,
namun asupan alkohol yang berlebihan merupakan faktor penyebab yang utama pada
perlemakan hati dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Namun demikian, sirosis juga
pernah terjadi pada individu yang tidak memiliki kebiasaan minum minuman keras dan
pada individu yang dietnya normal tetapi dengan konsumsi alkohol yang tinggi
(Smeltzer & Bare, 2001).
Sebagian individu tampaknya lebih rentan terhadap penyakit ini dibanding individu
lain tanpa ditentukan apakah individu tersebut memiliki kebiasaan meminum minuman
keras ataukah menderita malnutrisi. Faktor lainnya dapat memainkan peranan, termasuk
pajanan dengan zat kimia tertentu (karbon tetraklorida, naftalen terklorinasi, asen atau
fosfor) atau infeksi skistosomiasis yang menular. Jumlah laki-laki penderita sirosis
adalah dua kali lebih banyak daripada wanita, dan mayoritas pasien sirosis berusia 40-
60 tahun (Smeltzer & Bare, 2001).
Sirosis alkoholik atau secara historis disebut sirosis Laennec ditandai oleh
pembentukan jaringan parut yang difus, kehilangan sel- sel hati yang uniform, dan
sedikit nodul regeneratif. Sehingga kadang- kadang disebut sirosis mikronodular.
Sirosis mikronodular dapat pula diakibatkan oleh cedera hati lainnya. Tiga lesi utama
akibat induksi alkohol adalah perlemakan hati alkoholik, hepatitis alkoholik, dan sirosis
alkoholik (Tarigan, 2001).
8. E. Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer & Bare (2001) manifestasi klinis dari sirosis hepatis antara lain:
1. Pembesaran Hati
Pada awal perjalanan sirosis hati, hati cenderung membesar dan sel-selnya
dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat
diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran
hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan pada selubung
fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati
akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila
dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba berbenjol-benjol (noduler).
2. Obstruksi Portal dan Asites
Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang kronis
dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari organ-organ digestif
praktis akan berkumpul dalam vena porta dan dibawa ke hati. Karena hati yang sirotik
tidak memungkinkan perlintasan darah yang bebas, maka aliran darah tersebut akan
kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal dengan konsekuensi
bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif
yang kronis; dengan kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan
dengan demikian tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam
ini cenderung menderita dyspepsia kronis dan konstipasi atau diare. Berat badan pasien
secara berangsur-angsur mengalami penurunan. Cairan yang kaya
protein dan menumpuk dirongga peritoneal akan
menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting
dullness atau gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangiektasis,
atau dilatasi
9. arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang sering dapat
dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan tubuh.
3. Varises Gastrointestinal
Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrotik juga
mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral dalam sistem gastrointestinal
dan pemintasan (shunting) darah dari pembuluh portal ke dalam pembuluh darah
dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita sirosis sering
memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok serta terlihat pada
inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah diseluruh traktus
gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan daerah yang
sering mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral. Distensi pembuluh darah ini
akan membentuk varises atau hemoroid tergantung pada lokasinya.
Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan tekanan yang
tinggi akibat sirosis, maka pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan
menimbulkan perdarahan. Karena itu, pengkajian harus mencakup observasi untuk
mengetahui perdarahan yang nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal.
Kurang lebih 25% pasien akan mengalami hematemesis ringan; sisanya akan
mengalami hemoragi masif dari ruptur varises pada lambung dan esofagus.
4. Edema
Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang
kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk
terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi
natrium serta air dan ekskresi kalium.
10. 5. Defisiensi Vitamin dan Anemia
Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin tertentu yang tidak
memadai (terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-tanda defisiensi vitamin tersebut
sering dijumpai, khususnya sebagai fenomena hemoragik yang berkaitan dengan
defisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan gangguan fungsi gastrointestinal bersama-
sama asupan diet yang tidak adekuat dan gangguan fungsi hati turut menimbulkan
anemia yang sering menyertai sirosis hepatis. Gejala anemia dan status nutrisi serta
kesehatan pasien yang buruk akan mengakibatkan kelelahan hebat yang mengganggu
kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin sehari-hari.
6. Kemunduran Mental
Manifestasi klinis lainnya adalah kemunduran fungsi mental dengan
ensefalopati dan koma hepatik yang membakat. Karena itu, pemeriksaan neurologi
perlu dilakukan pada sirosis hepatis dan mencakup perilaku umum pasien, kemampuan
kognitif, orientasi terhadap waktu serta tempat, dan pola bicara.
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan menurut Tarigan (2001) adalah:
1. Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang baik cukup dilakukan kontrol yang teratur,
istirahat yang cukup, susunan diet tinggi kalori tinggi protein, lemak secukupnya.
2. Pasien sirosis dengan penyebab yang diketahui seperti :
a. Alkohol dan obat-obatan dianjurkan menghentikan penggunaannya. Alkohol akan
mengurangi pemasukan protein ke dalam tubuh. Dengan diet tinggi kalori (300 kalori),
kandungan protein makanan sekitar 70-90 gr sehari untuk menghambat perkembangan
kolagenik dapat dicoba dengan pemberian D penicilamine dan Cochicine.
11. b. Hemokromatis
Dihentikan pemakaian preparat yang mengandung besi/ terapi kelasi (desferioxamine).
Dilakukan vena seksi 2x seminggu sebanyak 500cc selama setahun.
c. Pada hepatitis kronik autoimun diberikan kortikosteroid.
3. Terapi terhadap komplikasi yang timbul
a. Asites
Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2 gram/ hari.
Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diuretik. Awalnya dengan
pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari. Respons diuretik bisa
dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/ hari, tanpa adanya edema kaki atau 1
kg/ hari dengan adanya edema kaki. Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat
bisa dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg/ hari. Pemberian furosemid
bisa ditambah dosisnya bila tidak ada respons, maksimal dosisnya 160 mg/ hari.
Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 liter
dan dilindungi dengan pemberian albumin.
b. Perdarahan varises esofagus (hematemesis, hematemesis dengan melena atau melena
saja)
1) Lakukan aspirasi cairan lambung yang berisi darah untuk mengetahui apakah
perdarahan sudah berhenti atau masih berlangsung.
2) Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik dibawah 100 mmHg, nadi diatas 100 x/menit
atau Hb dibawah 99% dilakukan pemberian IVFD dengan pemberian dextrose/ salin
dan tranfusi darah secukupnya.
3) Diberikan vasopresin 2 amp 0,1 gr dalam 500cc D5% atau normal salin pemberian
selama 4 jam dapat diulang 3 kali.
12. c. Ensefalopati
1) Dilakukan koreksi faktor pencetus seperti pemberian KCL pada hipokalemia.
2) Mengurangi pemasukan protein makanan dengan memberi diet sesuai.
3) Aspirasi cairan lambung bagi pasien yang mengalami perdarahan pada varises.
4) Pemberian antibiotik campisilin/ sefalosporin pada keadaan infeksi sistemik.
5) Transplantasi hati.
d. Peritonitis bakterial spontan
Diberikan antibiotik pilihan seperti cefotaksim, amoxicillin, aminoglikosida.
e. Sindrom hepatorenal/ nefropatik hepatik Mengatur keseimbangan cairan dan garam.
G. Komplikasi
Komplikasi sirosis hepatis menurut Tarigan (2001) adalah:
1. Hipertensi portal
2. Coma/ ensefalopaty hepatikum
3. Hepatoma
4. Asites
5. Peritonitis bakterial spontan
6. Kegagalan hati (hepatoselular)
7. Sindrom hepatorenal
H. Pengkajian
Pengkajian pada pasien sirosis hepatis menurut Doenges (2000) sebagai berikut:
1. Demografi
a. Usia : diatas 30 tahun
13. b. Laki-laki beresiko lebih besar daripada perempuan
c. Pekerjaan : riwayat terpapar toksin
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat hepatitis kronis
b. Penyakit gangguan metabolisme : DM
c. Obstruksi kronis ductus coleducus
d. Gagal jantung kongestif berat dan kronis
e. Penyakit autoimun
f. Riwayat malnutrisi kronis terutama KEP
3. Pola Fungsional
a. Aktivitas/ istirahat
Gejala : Kelemahan, kelelahan.
Tanda : Letargi, penurunan massa otot/ tonus.
b. Sirkulasi
Gejala : Riwayat Gagal Jantung Kongestif (GJK) kronis, perikarditis, penyakit jantung
rematik, kanker (malfungsi hati menimbulkan gagal hati), disritmia, bunyi jantung
ekstra, DVJ; vena abdomen distensi.
c. Eliminasi Gejala : Flatus.
Tanda : Distensi abdomen (hepatomegali, splenomegali, asites), penurunan/ tak adanya
bising usus, feses warna tanah liat, melena, urine gelap, pekat.
d. Makanan/ cairan
Gejala : Anoreksia, tidak toleran terhadap makanan/ tak dapat mencerna, mual/ muntah.
Tanda : Penurunan berat badan/ peningkatan (cairan), kulit kering, turgor buruk, ikterik
: angioma spider, napas berbau/ fetor hepatikus, perdarahan gusi.
14. e. Neurosensori
Gejala : Orang terdekat dapat melaporkan perubahan
kepribadian, penurunan mental.
Tanda : Perubahan mental, bingung halusinasi, koma, bicara lambat/ tak jelas.
f. Nyeri/ kenyamanan
Gejala : Nyeri tekan abdomen/ nyeri kuadran kanan atas. Tanda : Perilaku berhati-hati/
distraksi, fokus pada diri sendiri.
g. Pernapasan Gejala : Dispnea.
Tanda : Takipnea, pernapasan dangkal, bunyi napas tambahan, ekspansi paru terbatas
(asites), hipoksia.
h. Keamanan Gejala : Pruritus.
Tanda : Demam (lebih umum pada sirosis alkohlik), ikterik, ekimosis, petekie.
i. Seksualitas
Gejala : Gangguan menstruasi, impoten.
Tanda : Atrofi testis, ginekomastia, kehilangan rambut (dada, bawah lengan, pubis)
Pemeriksaan Fisik
Tampak lemah
b. Peningkatan suhu, peningkatan tekanan darah (bila ada
kelebihan cairan)
c. Sclera ikterik, konjungtiva anemis
d. Distensi vena jugularis dileher
e. Dada :
1) Ginekomastia (pembesaran payudara pada laki-laki)
2) Penurunan ekspansi paru
3) Penggunaan otot-otot asesoris pernapasan
4) Disritmia, gallop
15. 5) Suara abnormal paru (rales)
f. Abdomen :
1) Perut membuncit, peningkatan lingkar abdomen
2) Penurunan bunyi usus
3) Ascites/ tegang pada perut kanan atas, hati teraba keras
4) Nyeri tekan ulu hati
g. Urogenital :
1) Atropi testis
2) Hemoroid (pelebaran vena sekitar rektum)
h. Integumen :
Ikterus, palmar eritema, spider naevi, alopesia, ekimosis
i. Ekstremitas :
Edema, penurunan kekuatan otot
5. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Menurut Smeltzer & Bare (2001) yaitu:
1) Darah lengkap
Hb/ Ht dan SDM mungkin menurun karena perdarahan. Kerusakan SDM dan anemia
terlihat dengan hipersplenisme dan defisiensi besi. Leukopenia mungkin ada sebagai
akibat hiperplenisme.
2) Kenaikan kadar SGOT, SGPT
3) Albumin serum menurun
4) Pemeriksaan kadar elektrolit : hipokalemia
5) Pemanjangan masa protombin
6) Glukosa serum : hipoglikemi
7) Fibrinogen menurun
8) BUN meningkat
16. b. Pemeriksaan diagnostik
Menurut smeltzer & Bare (2001) yaitu:
1) Radiologi
Dapat dilihat adanya varises esofagus untuk konfirmasi hipertensi portal.
2) Esofagoskopi
Dapat menunjukkan adanya varises esofagus.
3) USG
4) Angiografi
Untuk mengukur tekanan vena porta.
5) Skan/ biopsi hati
Mendeteksi infiltrat lemak, fibrosis, kerusakan jaringan hati.
6) Partografi transhepatik perkutaneus Memperlihatkan sirkulasi sistem vena portal.
17.
18. J. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat ditemukan pada klien sirosis hepatis menurut
Doenges (2000) antara lain:
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru, asites.
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake inadekuat.
3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan ascites, edema.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
5. Gangguan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu pada kulit.
6. Resiko perdarahan berhubungan dengan gangguan metabolisme protein.
7. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan pertahanan tubuh.
8. Resiko perubahan proses pikir berhubungan dengan peningkatan amonia dalam darah.
K. Intervensi dan Rasional
Menurut Doenges (2000) pada klien sirosis hepatis ditemukan diagnosa keperawatan
dengan intervensi dan rasional sebagai berikut:
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru, asites.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam pola nafas
menjadi efektif.
Kriteria hasil :
a. Melaporkan pengurangan gejala sesak nafas.
b. Memperlihatkan frekuensi respirasi yang normal (12-18 x/ menit) tanpa
terdengarnya suara pernapasan tambahan.
c. Memperlihatkan pengembangan toraks yang penuh tanpa gejala pernapasan
dangkal.
d. Tidak mengalami gejala sianosis.
19. Intervensi :
1) Awasi frekuensi, kedalaman dan upaya pernapasan.
Rasional : Pernapasan dangkal cepat/ dispnea mungkin ada hubungan dengan
akumulasi cairan dalam abdomen.
2) Pertahankan kepala tempat tidur tinggi, posisi miring.
Rasional : Memudahkan pernapasan dengan menurunkan tekanan pada
diafragma.
3) Ubah posisi dengan sering, dorong latihan nafas dalam, dan batuk.
Rasional : Membantu ekspansi paru dan memobilisasi sekret.
4) Berikan tambahan oksigen sesuai indikasi. Rasional : Untuk mencegah
hipoksia.
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake inadekuat.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam kebutuhan
nutrisi tubuh terpenuhi.
Kriteria hasil :
a. Menunjukkan peningkatan berat badan secara progresif.
b. Tidak mengalami tanda malnutrisi lebih lanjut.
Intervensi :
1) Ukur masukan diet harian dengan jumlah kalori.
Rasiona : Memberikan informasi tentang kebutuhan pemasukan.
2) Berikan makan sedikit tapi sering.
Rasional : Buruknya toleransi terhadap makanan banyak mungkin
berhubungan dengan peningkatan tekanan intraabdomen/ asites.
3) Berikan perawatan mulut sering dan sebelum makan.
20. Rasional : Klien cenderung mengalami luka dan perdarahan gusi dan rasa
tidak enak pada mulut dimana menambah anoreksia.
4) Timbang berat badan sesuai indikasi.
Rasional : Mungkin sulit untuk menggunakan berat badan sebagai indikator
langsung status nutrisi karena ada gambaran edema/ asites.
5) Awasi pemeriksaan laboratorium, contoh glukosa serum, albumin, total
protein dan amonia.
Rasional : Glukosa menurun karena gangguan glukogenesis, penurunan
simpanan glikogen, atau masukan tidak adekuat.
3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan ascites, edema. Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam terjadi balance cairan.
Kriteria hasil :
a. Menunjukkan volume cairan stabil dengan keseimbangan pemasukan dan
pengeluaran.
b. Berat badan stabil.
c. Tanda vital dalam rentang normal dan tidak ada edema.
Intervensi :
1) Ukur masukan dan haluaran, catat keseimbangan positif. Rasional :
Menunjukkan status volume sirkulasi.
2) Auskultasi paru, catat penurunan/ tidak adanya bunyi napas dan terjadinya
bunyi tambahan.
Rasional : Peningkatan kongesti pulmonal dapat mengakibatkan konsolidasi,
gangguan pertukaran gas, dan komplikasi.
3) Dorong untuk tirah baring bila ada asites.
Rasional : Dapat meningkatkan posisi rekumben untuk diuresis.
21. 4) Awasi TD dan CVP.
Rasional : Peningkatan TD biasanya berhubungan dengan kelebihan volume
cairan.
5) Awasi albumin serum dan elektrolit.
Rasional : Penurunan albumin serum mempengaruhi tekanan osmotik koloid
plasma, mengakibatkan edema.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan selama 1x24 jam klien toleran terhadap
aktivitas.
Kriteria hasil :
a. Melaporkan peningkatan kekuatan dan kesehatan klien.
b. Merencanakan aktivitas untuk memberikan kesempatan
istirahat yang cukup.
c. Meningkatkan aktivitas dan latihan bersamaan dengan
bertambahnya kekuatan.
Intervensi :
1) Tawarkan diet tinggi kalori, tinggi protein (TKTP).
Rasional : Memberikan kalori bagi tenaga dan protein bagi proses
penyembuhan.
2) Berikan suplemen vitamin (A, B kompleks, C dan K) Rasional : Memberikan
nutrien tambahan.
3) Motivasi klien untuk melakukan latihan yang diselingi istirahat. Rasional :
Menghemat tenaga klien sambil mendorong klien untuk melakukan latihan
dalam batas toleransi klien.
4) Motivasi dan bantu klien untuk melakukan latihan dengan periode waktu
yang ditingkatkan secara bertahap.
Rasional : Memperbaiki perasaan sehat secara umum dan percaya diri.
22. 5. Gangguan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu pada
kulit.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam integritas kulit
terjaga.
Kriteria hasil :
a. Memperlihatkan turgor kulit yang normal pada ekstremitas dan batang tubuh.
b. Tidak memperlihatkan luka pada tubuh.
c. Memperlihatkan jaringan yang normal tanpa gejala eritema, perubahan warna
atau peningkatan suhu didaerah tonjolan tulang.
Intervensi :
1) Batasi natrium seperti yang diresepkan. Rasional : Meminimalkan
pembentukan edema.
2) Berikan perhatian dan perawatan yang cermat pada kulit.
Rasional : Jaringan dan kulit yang edematous mengganggu suplai nutrien dan
sangat rentan terhadap tekanan serta trauma.
3) Balik dan ubah posisi klien dengan sering.
Rasional : Meminimalkan tekanan yang lama dan meningkatkan mobilisasi
edema.
4) Lakukan latihan gerak secara pasif, tinggikan ekstremitas edematous.
Rasional : Meningkatkan mobilisasi edema.
5) Letakkan bantalan busa yang kecil dibawah tumit, dan tonjolan tulang lain.
Rasional : Melindungi tonjolan tulang dan meminimalkan trauma jika
dilakukan dengan benar.
23. 6. Resiko perdarahan berhubungan dengan gangguan metabolisme protein.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam tidak terjadi
perdarahan.
Kriteria hasil :
a. Mempertahankan homeostasis dengan tanpa perdarahan.
b. Menunjukkan perilaku penurunan resiko perdarahan.
Intervensi :
1) Kaji adanya tanda-tanda dan gejala perdarahan gastrointestinal. Rasional :
Traktus GI paling bisa untuk sumber perdarahan sehubungan dengan
mukosa yang mudah rusak dan
gangguan dalam homeostasis karena sirosis.
2) Observasi adanya ptekie, ekimosis, perdarahan dari satu atau lebih sumber.
Rasional : Adanya gangguan faktor pembekuan.
3) Awasi nadi, TD, dan CVP bila ada.
Rasional : Peningkatan nadi dengan penurunan TD dan CVP dapat
menunjukkan kehilangan volume darah sirkulasi, memerlukan evaluasi
lanjut.
4) Awasi Hb/ Ht dan faktor pembekuan. Rasional : Indikator anemia,
perdarahan aktif.
5) Catat perubahan mental/ tingkat kesadaran.
Rasional : Perubahan dapat menunjukkan penurunan perfusi jaringan serebral
sekunder terhadap hipovolemia, hipoksemia.