1. 1
Ketika Kresna Menghormat Gatotkaca
Dalam ‘kisah’ pewayangan, ‘Gatotkaca ’dipersonifikasikan’ selalu
bersedia — dengan tulus – untuk menghormati uaknya, Prabu Kresna, Raja
Dwarawati yang amat sakti dan sesepuh Pandawa yang amat berpengaruh.
Namun, kalau suatu saat Gatotkaca palsu bertemu dengan Kresna yang juga
palsu, ‘bisa’ sebaliknyalah yang terjadi: “Gatotkaca meminta Kresna untuk
menyembahnya dan Kresna palsu itu pun bersedia melakukannya.”
Lakon ”Kresna Gatotkaca Kembar” memang bukan cerita ‘arus
utama’ dalam Mahabarata yang memayungi cerita pewayangan
sebagaimana Ramayana. Namun, sebagaimana halnya cerita-cerita carangan
(gubahan) lain, lakon-lakon seperti ini bisa memerkaya bangunan utama
pewayangan, dengan variasi hingga para pencinta atau connoisseur
(pemerhati) wayang tidak bosan, karena mendapat variasi cerita baru yang
lebih segar.
Penggubah cerita ini tentu amat memahami kisah pewayangan,
karena meski carangan, logikanya banyak yang kena meski ada juga yang
kurang masuk akal. Prabu Donolayu menyaru sebagai Prabu Kresna dan
adiknya, Dewi Sri Danuretno, menyaru sebagai Gatotkaca. Aksi pencurian
mereka berlangsung mulus, Kresna bisa memboyong Sembodro karena para
staf dan pengawal Madukoro tak bisa menghalangi Prabu Kresna mengajak
Sembodro, adiknya sendiri, ke Dwarawati guna mengobati rasa rindu
istrinya kepada Sembodro. Upaya Larasati dan pengawal lain untuk
mencegah aksi Kresna palsu tidak berhasil.
Sementara itu, penyamaran Gatotkaca palsu untuk mencuri pusaka
Jamus Kalimasada juga mulus karena Gatotkaca mengaku diutus oleh
sesepuh Pandawa (yang saat itu sedang di luar istana untuk membangun
Candi Sapta Argo) untuk meminjam pusaka itu dari Dewi Drupadi.
Untunglah, Kresna asli selalu ‘tanggap waskita’, hingga ia bersama
dengan Gatotkaca asli dapat mengungkap kasus pencurian ganda di atas
setelah diberi tenggat oleh Bima.
Sebelum berhadapan dengan tokoh yang dipalsukan, Kresna dan
Gatotkaca palsu terlibat adu mulut sebelum mencapai kesepakatan (deal), di
mana ”Kresna” menjadi saudara muda ”Gatotkaca” hingga manakala di
depan umum ia harus menghaturkann sembah kepada ”Gatotkaca”.
Kelucuan muncul saat masing-masing bertemu dengan tokoh asli.
”Gatotkaca” menagih kesanggupan Kresna untuk menyembah dirinya saat
bertemu, tetapi tentu saja Kresna (asli) menolak, dan justru inilah kunci
untuk mengetahui bahwa ”Gatotkaca” yang ia hadapi adalah ‘Gatotkaca
Palsu’. Demikian pula saat Gatotkaca (asli) menemui ”Kresna” (palsu). Saat
2. 2
ia ingin menghaturkann sembah, karena demikian lazimnya, ”Kresna”
(palsu) justru merunduk karena—mengikuti kesepakatan—ia justru yang
harus menyembah. Gatotkaca pun merunduk lebih rendah lagi dan diikuti
oleh ”Kresna” hingga akhirnya kedua wayang ini sama-sama menelungkup
(ndelosor) di panggung. Namun, akhirnya justru dari sinilah Gatotkaca (asli)
tahu bahwa yang ia hadapi adalah ”Kresna” palsu.
Dari kisah ini, kita bisa mengambil sebuah pelajaran. ‘Kemunafikan’,
pada akhirnya akan terkuak. Apa pun topeng yang digunakan oleh orang-
orang munafik, pada akhirnya akan mereka terlepas, baik dengan sengaja
atau tidak. Karena, pada dasarnya setiap orang memiliki ‘hati nurani’ yang
tak akan pernah bersahabat dengan ‘kebohohongan’, di mana pun dan kapan
pun.
Simaklah makna firman Allah:
ا
ً
وق
ُ
هَز
َ
ّن
َ
َك
َ
لِاطَ ْ
اْل
َ
ّنِإ
ُ
لِاطَ ْ
اْل َّق
َ
هَزَو ُّقَْ
اْل اءَج
ْ
ل
ُ
قَو
“Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”.
Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. (QS al-Isrâ/17: 81)
Masihkah kita ragu dengan jaminan Allah itu?