1) Dokumen tersebut membahas tentang faktor-faktor penyebab kehadiran dan lenyapnya hidayah Allah, diantaranya adalah berdoa memohon hidayah kepada Allah, mengikuti agama Allah, dan membaca al-Quran.
Dakwah merupakan kewajiban setiap muslim. Merekrut orang lain untuk lebih baik, lebih dekat dengan Sang pencipta merupakan satu nilai yang besar di sisi Allah SWT. Inilah motivasinya....
Dakwah merupakan kewajiban setiap muslim. Merekrut orang lain untuk lebih baik, lebih dekat dengan Sang pencipta merupakan satu nilai yang besar di sisi Allah SWT. Inilah motivasinya....
4 ciri taqwa adalah 1)takut kepada Allah yang bersifat Jalal, dan 2)beramal dengan dasar al-Qur’an (at-tanzil) dan 3)menerima (qona’ah) terhadap yang sedikit, dan 4)bersiap-siap menghadapi hari akhir perlihan (hari akhir)
KEPRIBADIAN DA’I
Sejak awal dakwahnya, Rasulullah saw. selalu berpesan kepada orang-orang yang baru masuk Islam dan menerima berbagai ilmu dari beliau untuk mengajarkan dan menyampaikan ilmu itu kepada orang lain, terutama keluarga.
“Agama dan kekuasaan (Imamah atau Khilafah) adalah dua saudara kembar.” “Agama merupakan pondasi, sementara kekuasan (Imamah atau Khilafah) adalah penjaga. Sesuatu yang tidak mempunyai pondasi, pasti akan roboh. Demikian juga sesuatu yang tidak mempunyai penjaga, juga pasti akan hilang.” (Imam al-Ghazali)
bagaimana menjadi leader..? leader yang memiliki visi nyata dalam membawa perrubahan, seorang leadre yang kontribusinya dinanti nanti umat..
ppt ini akan membantu menemukan arti leader of change yang sebenarnya..
by: Eko Purnomo
Menjadi diri sendiri mungkin selama ini dimaknai sebagai menerima diri sendiri apa adanya tanpa mau mendengar kritik dan saran dari orang lain. Menerima diri sendiri dengan cara seperti ini hampir sama seperti mencintai seseorang secara buta. Mencintai diri sendiri itu berarti kita menerima diri kita yang sekarang dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kemudian tetap berusaha untuk meningkatkan kualitas.
4 ciri taqwa adalah 1)takut kepada Allah yang bersifat Jalal, dan 2)beramal dengan dasar al-Qur’an (at-tanzil) dan 3)menerima (qona’ah) terhadap yang sedikit, dan 4)bersiap-siap menghadapi hari akhir perlihan (hari akhir)
KEPRIBADIAN DA’I
Sejak awal dakwahnya, Rasulullah saw. selalu berpesan kepada orang-orang yang baru masuk Islam dan menerima berbagai ilmu dari beliau untuk mengajarkan dan menyampaikan ilmu itu kepada orang lain, terutama keluarga.
“Agama dan kekuasaan (Imamah atau Khilafah) adalah dua saudara kembar.” “Agama merupakan pondasi, sementara kekuasan (Imamah atau Khilafah) adalah penjaga. Sesuatu yang tidak mempunyai pondasi, pasti akan roboh. Demikian juga sesuatu yang tidak mempunyai penjaga, juga pasti akan hilang.” (Imam al-Ghazali)
bagaimana menjadi leader..? leader yang memiliki visi nyata dalam membawa perrubahan, seorang leadre yang kontribusinya dinanti nanti umat..
ppt ini akan membantu menemukan arti leader of change yang sebenarnya..
by: Eko Purnomo
Menjadi diri sendiri mungkin selama ini dimaknai sebagai menerima diri sendiri apa adanya tanpa mau mendengar kritik dan saran dari orang lain. Menerima diri sendiri dengan cara seperti ini hampir sama seperti mencintai seseorang secara buta. Mencintai diri sendiri itu berarti kita menerima diri kita yang sekarang dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kemudian tetap berusaha untuk meningkatkan kualitas.
Nama : Gusnanda Dipta Galih Surasa
Prodi : Desain Komunikasi Visual
Fakultas : Sains dan Teknologi
NIM : 161270000123
Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara '16
Melalui Postingan ini, sekarang kalian sudah tahu sekilas akan personal branding itu apa, dan begitu banyak manfaat apabila kita membangun personal branding diri kita sendiri dengan baik.
Saya ucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya karena sudah menyempatkan waktunya untuk membaca postingan saya ini, semoga apa yang ada pada postingan ini bisa bermanfaat bagi kita semua.. :) jangan lupa like, share, dan follow yaa
Mengedepankan wacana tentang Edmund Husserl tidak boleh tidak harus menyentuh core ideanya tentang filsafat, yaitu “Fenomenologi”, sebab dialah yang – paling tidak hingga saat ini – dianggap sebagai pendiri aliran pemikiran ini. Bertens, dalam salah satu tulisannya, menyatakan bahwa selaku pendiri aliran fenomenologi, Husserl telah mempengaruhi filsafat abad kita ini secara amat mendalam.[1] Sebegitu mendalamnya pengaruh pemikiran Edmund Husserl terhadap pemikiran filsafat abad ini, Delfgaauw, seorang filosof Belanda, bahkan dengan tegas menyatakan bahwa filsafat jaman kita (ini) dipengaruhi secara mendalam oleh fenomenologi yang diajarkan oleh Edmund Husserl (1859-1938).[2]
Bahagia dalam kehidupan dunia adalah dambaan setiap insan. Jika dia orang yang beriman, maka dia juga berharap bisa meraih kebahagiaan abadi di akhirat. Namun, tidak semua orang yang berkeinginan baik bisa meraih impiannya. Salah satu dari sekian banyak orang yang bisa meraih kebahagiaan abadi di akhirat adalah al-Mukhbitûn. Siapakah mereka? Apakah kriteria-kriteria mereka?
Ibrahim ibn Adham, ketika menjawab pertanyaan penduduk Basrah, “kenapa doa-doa kami tak pernah dikabulkan oleh Allah?” Beliau menyatakan bahwa ada sepuluh persoalan yang menjadi penyebab tidak terkabulnya serangkain doa, salah satu di antaranya yang terpenting adalah: “banyak memakan nikmat Tuhanmu, akan tetapi tidak mensyukurinya”.
TAWAKKAL adalah sebuah sikap yang – seharusnya – dipilih oleh setiap muslim, di mana pun, kapan pun dan dalam situasi dan kondisi apa pun. Tetapi, ternyata untuk memilihnya tidak semudah yang kita katakan. Selalu saja ada kendala yang menjadikan diri kita tak mampu bersikap tawakkal. Bahkan, karena kesalahfahaman kita terhadap makna tawakkal, bukan tidak mungkin ‘kita’ akan terjebak pada sikap yang salah.
Pada bulan Muharram ada satu hari yang dikenal dengan sebutan hari ‘Asyura. Orang-orang jahiliyah pada masa pra Islam dan bangsa Yahudi sangat memuliakan hari ini. Hal tersebut karena pada hari ini Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ menyelamatkan Nabi Musa ’alaihis salâm dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya. Bersyukur atas karunia Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ kepadanya, Nabi Musa ’alaihis salâm akhirnya berpuasa pada hari ini. Tatkala sampai berita ini kepada Nabi kita (Muhammad) shallallâhu ‘alaihi wa sallam, melalui orang-orang Yahudi yang tinggal di Madinah beliau bersabda, فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ (Saya lebih berhak mengikuti Musa dari kalian [kaum Yahudi]).
Pesan moral dari kisah ashhabul kahfi.pdf (muhsin hariyanto)Muhsin Hariyanto
Kisah-kisah dalam al-Quran, dalam pandangan para mufassir, selalu mengisyaratkan ‘ibrah yang sarat makna. Setiap pembaca kisah ini, bahkan mungkin akan menangkap isyarat yang berbeda-beda, karena kemampuan mereka yang tidak sama, atau karena mereka memiliki sudut-pandang yang berbeda terhadap kisah-kisah itu. Tak terkecuali terhadap kisah Ash-hâbul Kahfi. Kisah ini, menurut para mufassir sangat sarat dengan pesan moral. Dan siapa pun yang bisa membaca isyarat pesan moral di dalamnya akan mampu bercerita kembali dengan berbagai perspektif.
1. 1
UNIVERSITY RESIDENCE - UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
KARASIBAZHU
(Kajian Rabu Siang Ba’da Zhuhur)
Memahami Faktor-faktor Penyebab
Kehadiran dan Lenyapnya Hidayah Allah
Hidayah Allah merupakan karunia Allah yang diberikan olehNya
kepada siapa pun yang dikehendaki olehNya. Dan, menurut pandangan
para ulama, dikarenakan inti dan hakikat hidayah (petunjuk) adalah
(karena) taufiq (bimbingan) dari Allah Ta’âlâ, maka berdoa dan memohon
hidayah kepada Allah Ta’âlâ merupakan sebab yang paling utama untuk
mendapatkan hidayahNya.
Dalam hadits qudsi (yang shahih), Allah Ta’âlâ berfirman:
2. 2
"Hai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan diri-Ku untuk berbuat zalim
dan perbuatan zalim itu pun Aku haramkan di antara kamu. Oleh karena itu, janganlah
kamu saling berbuat zalim! Hai hamba-Ku, kamu sekalian berada dalam kesesatan,
kecuali orang yang telah Aku beri petunjuk. Oleh karena itu, mohonlah petunjuk
kepada-Ku, niscaya Aku akan memberikannya kepadamu! Hai hamba-Ku, kamu
sekalian berada dalam kelaparan, kecuali orang yang telah Aku beri makan. Oleh karena
itu, mintalah makan kepada-Ku, niscaya Aku akan memberimu makan! Hai hamba-
Ku, kamu sekalian telanjang dan tidak mengenakan sehelai pakaian, kecuali orang yang
Aku beri pakaian. Oleh karena itu, mintalah pakaian kepada-Ku, niscaya Aku akan
memberimu pakaian! Hai hamba-Ku, kamu sekalian senantiasa berbuat salah pada
malam dan siang hari, sementara Aku akan mengampuni segala dosa dan kesalahan.
Oleh karena itu, mohonlah ampunan kepada-Ku, niscaya aku akan mengampunimu!
Hai hamba-Ku, kamu sekalian tidak akan dapat menimpakan mara bahaya sedikitpun
kepada-Ku, tetapi kamu merasa dapat melakukannya. Selain itu, kamu sekalian tidak
akan dapat memberikan manfaat sedikitpun kepada-Ku, tetapi kamu merasa dapat
melakukannya. Hai hamba-Ku, seandainya orang-orang yang terdahulu dan orang-
orang yang belakangan serta manusia dan jin, semuanya berada pada tingkat ketakwaan
yang paling tinggi, maka hal itu sedikit pun tidak akan menambahkan kekuasaan-Ku.
Hai hamba-Ku, seandainya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang
belakangan serta jin dan manusia semuanya berada pada tingkat kedurhakaan yang
paling buruk, maka hal itu sedikit pun tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku. Hai
hamba-Ku, seandainya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang belakangan
serta semua jin dan manusia berdiri di atas bukit untuk memohon kepada-Ku, kemudian
masing-masing Aku penuh permintaannya, maka hal itu tidak akan mengurangi
kekuasaan yang ada di sisi-Ku, melainkan hanya seperti benang yang menyerap air
ketika dimasukkan ke dalam lautan. Hai hamba-Ku. Sesungguhnya amal perbuatan
kalian senantiasa akan Aku hisab (adakan perhitungan) untuk kalian sendiri dan
kemudian Aku akan berikan balasannya. Barangsiapa mendapatkan kebaikan, maka
3. 3
hendaklah ia memuji Allah Subhânahu wa Ta'âlâ. Dan barangsiapa yang
mendapatkan selain itu (kebaikan), maka janganlah ia mencela kecuali dirinya sendiri."1
Oleh karena itu, Allah Subhânahu wa Ta'âlâ yang maha sempurna
rahmat dan kebaikannya, memerintahkan kepada hamba-hambaNya untuk
selalu berdoa memohon hidayah dan taufiq kepadaNya, sebagaimana
tersebut dalam kitab suci al-Quran,
“Berikanlah kepada kami hidayah ke jalan yang lurus”.2
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Doa (dalam ayat ini)
termasuk doa yang paling menyeluruh dan bermanfaat bagi manusia, oleh
karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk berdoa kepadaNya dengan doa
ini di setiap rakaat dalam shalatnya, karena kebutuhannya yang sangat
besar terhadap hal tersebut.”3
Dalam banyak hadits yang shahih, Rasulullah shallallâhu’alaihi wa
sallam mengajarkan kepada kita doa untuk memohon hidayah kepada Allah
Subhânahu wa Ta'âlâ. Misalnya doa yang dibaca dalam qunut shalat:
“Ya Allah, berilah aku petunjuk seperti orang-orang yang telah Engkau beri
petunjuk. Berilah aku kesehatan seperti orang yang telah Engkau beri kesehatan.
Pimpinlah aku bersama-sama orang-orang yang telah Engkau pimpin. Berilah
berkah pada segala apa yang telah Engkau pimpin. Berilah berkah pada segala apa
1
Hadits Riwayat Muslim dari Abu Dzar al-Ghiffari, Shahîh Muslim, juz VIII,
hal. 16, hadits no. 6737.
2
QS al-Fatihah/1: 6
3
Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah as-Sa’di, Taisîr al-Karîm ar-Rahmân Fî
Tafsîr Kalâm al-Mannân, juz I, hal. 39
4. 4
yang telah Engkau berikan kepadaku. Dan peliharalah aku dari kejahatan yang
Engkau pastikan. Karena, sesungguhnya Engkaulah yang menentukan dan tidak
ada yang menghukum (menentukan) atas Engkau. Sesungguhnya tidaklah akan
hina orang-orang yang telah Engkau beri kekuasaan. Dan tidaklah akan mulia orang
yang Engkau musuhi. Maha berkahlah Engkau dan Maha Luhurlah Engkau.”4
Juga doa beliau (Rasulullah) Shallallâhu’alaihi wa sallam:
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, penjagaan diri (dari
segala keburukan) dan kekayaan hati (selalu merasa cukup dengan pemberian-
Mu).”5
Sebaliknya, keengganan atau ketidaksungguhan untuk berdoa
kepada Allah Ta’âlâ memohon hidayahNya merupakan sebab besar yang
menjadikan seorang manusia terhalangi dari hidayahNya.
Oleh karena itu, Allah Subhânahu wa Ta'âlâ sangat murka terhadap
orang yang enggan berdoa dan memohon kepadaNya, sebagaimana sabda
Rasulullah shallallâhu’alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya barangsiapa yang enggan untuk memohon kepada Allah maka Dia
akan murka kepadanya.”6
Hal-hal lain yang menjadi sebab datangnya hidayah Allah
Subhânahu wa Ta'âlâ selain yang dijelaskan di atas adalah sebagai berikut:
4
Hadits Riwayat Abu Dawud, Sunan Abî Dâwud, juz I, hal. 536, hadits no.
1427; Hadits Riwayat an-Nasa-i, Sunan an-Nasâiy, juz III, hal. 248, hadits no. 1745;
Hadits Riwayat Ibnu Majah, Sunan ibn Mâjah, juz II, hal. 252, hadits no. 1178 dan
Hadits Riwayat Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz I, hal. 199, hadits no.
1718, dari Al-Hasan bin Ali
5
Hadits Riwayat Muslim dari Abdullah bin Mas’ud, Shahîh Muslim, juz VII, hal.
81, hadits no. 7079.
6
Hadits Riwayat at-Tirmidzi dari Abu Hurairah, Sunan at-Tirmidzi, juz V, hal.
456, hadits no. 3373.
5. 5
1. Tidak bersandar kepada diri sendiri dalam melakukan semua kebaikan
dan meninggalkan segala keburukan
Makna kalimat di atas, artinya selalu bergantung dan bersandar
kepada Allah Ta’âlâ dalam segala sesuatu yang dilakukan atau ditinggalkan
oleh seorang hamba, serta tidak bergantung kepada kemampuan diri
sendiri.
Ini merupakan sebab utama untuk meraih taufiq dari Allah
Subhânahu wa Ta'âlâ yang merupakan hidayah yang sempurna, bahkan
inilah makna taufiq yang sesungguhnya sebagaimana yang dijelaskan oleh
para ulama Ahlus Sunnah.
Coba renungkan pemaparan Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah:
“Kunci pokok segala kebaikan adalah dengan kita mengetahui (meyakini)
bahwa apa yang Allah kehendaki (pasti) akan terjadi dan apa yang Dia tidak
kehendaki maka tidak akan terjadi. Karena pada saat itulah kita yakin
bahwa semua kebaikan (amal shaleh yang kita lakukan) adalah termasuk
nikmat Allah (karena Dia-lah yang memberi kemudahan kepada kita untuk
bisa melakukannya), sehingga kita akan selalu mensyukuri nikmat tersebut
dan bersungguh-sungguh merendahkan diri serta memohon kepada Allah
agar Dia tidak memutuskan nikmat tersebut dari diri kita. Sebagaimana (kita
yakin) bahwa semua keburukan (amal jelek yang kita lakukan) adalah
karena hukuman dan berpalingnya Allah dari kita, sehingga kita akan
memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah agar menghindarkan diri
kita dari semua perbuatan buruk tersebut, dan agar Dia tidak
menyandarkan (urusan) kita dalam melakukan kebaikan dan meninggalkan
keburukan kepada diri kita sendiri.
Telah bersepakat Al-‘Ârifûn (orang-orang yang memiliki
pengetahuan yang dalam tentang Allah dan sifat-sifatNya) bahwa asal
semua kebaikan adalah taufiq dari Allah Subhânahu wa Ta'âlâ kepada
hambaNya, sebagaimana asal semua keburukan adalah khidzlân
(berpalingnya) Allah Subhânahu wa Ta'âlâ dari hambaNya. Mereka juga
bersepakat bahwa (makna) taufiq itu adalah dengan Allah tidak
menyandarkan (urusan kebaikan/keburukan) kita kepada diri kita sendiri,
dan (sebaliknya arti) al-khidzlân (berpalingnya Allah Subhânahu wa Ta'âlâ dari
6. 6
hamba) adalah dengan Allah membiarkan diri kita (bersandar) kepada diri
kita sendiri (tidak bersandar kepada Allah Subhânahu wa Ta'âlâ).”7
Inilah yang terungkap dalam doa yang diucapkan oleh Rasulullah
shallallâhu’alaihi wa sallam:
“ Wahai Dzat yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri Sendiri dengan rahmat-Mu aku
meminta pertolongan, jadikanlah baik semua urusanku dan janganlah Engkau
membiarkan diriku bersandar kepada diriku sendiri (meskipun cuma) sekejap
mata.”8
Oleh karena inilah makna dan hakikat taufiq, maka kunci untuk
mendapatkannya adalah dengan selalu bersandar dan bergantung kepada
Allah Subhânahu wa Ta'âlâ dalam meraihnya dan bukan bersandar kepada
kemampuan diri sendiri.
Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah berkata: “Kalau semua kebaikan
asalnya (dengan) taufiq yang itu adanya di tangan Allah (semata) dan bukan
di tangan manusia, maka kunci (untuk membuka pintu) taufiq adalah
(selalu) berdoa, menampakkan rasa butuh, sungguh-sungguh dalam
bersandar, (selalu) berharap dan takut (kepadaNya). Maka ketika Allah
telah memberikan kunci (taufiq) ini kepada seorang hamba, berarti Dia ingin
membukakan (pintu taufiq) kepadanya.Dan ketika Allah memalingkan
kunci (taufiq) ini dari seorang hamba, berarti pintu kebaikan (taufiq) akan
selalu tertutup baginya.”9
2. Selalu mengikuti dan berpegang teguh dengan agama Allah Subhânahu
wa Ta'âlâ
7
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Al-Fawâ-id”, juz I (Beirut: Dâr al-Kitâb al-
‘Ilmiyyah, 1393 H./1973 M.), hal. 97.
8
Hadits Riwayat an-Nasa-i dari Anas bin Malik, Sunan an-Nasâiy, juz IX, hal.
212, hadits no. 10330
9
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Al-Fawâid, … hal. 97.
7. 7
Allah Subhânahu wa Ta'âlâ berfirman:
“Maka jika datang kepadamu (wahai manuia) petunjuk daripada-Ku, lalu
barangsiapa yang mengikuti petunjukKu, maka dia tidak akan tersesat dan tidak
akan sengsara (dalam hidupnya).”10
Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa orang yang mengikuti
dan berpegang teguh dengan petunjuk Allah Subhânahu wa Ta'âlâ yang
diturunkanNya kepada RasulNya (Muhammad) Shallalâhu ‘alaihi wa sallam,
dengan mengikuti semua perintahNya dan menjauhi segala laranganNya,
maka dia tidak akan tersesat dan sengsara di dunia dan akhirat, bahkan dia
selalu mendapat bimbingan petunjukNya, kebahagiaan dan ketenteraman di
dunia dan akhirat.9
Dalam ayat lain, Allah Subhânahu wa Ta'âlâ berfirman:
“Dan orang-orang yang selalu mengikuti petunjuk (agama Allah Ta’âlâ) maka
Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan)
ketaqwaannya.”11
3. Membaca al-Qur-an dan merenungkan kandungan maknanya
Allah Subhânahu wa Ta'âlâ berfirman:
10
QS Thâhâ/20: 123
11
QS Muhammad/47: 17
8. 8
“Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang paling
lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan
amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.”12
Imam Ibnu Katsir berkata: “(Dalam ayat ini) Allah Subhânahu wa
Ta'âlâ memuji kitabNya yang mulia yang diturunkannya kepada RasulNya
(Muhammad) Shallalâhu ‘alaihi wa sallam, yaitu al-Qur-an, bahwa kitab ini
memberikan petunjuk kepada jalan yang paling lurus dan jelas.”13
Maksudnya: yang paling lurus dalam tuntunan berkeyakinan,
beramal dan bertingkah laku, maka orang yang selalu membaca dan
mengikuti petunjuk al-Qur-an, dialah yang paling sempurna kebaikannya
dan paling lurus petunjukNya dalam semua keadaannya.14
4. Menaati dan meneladani sunnah Rasulullah shallallâhu’alaihi wa
sallam
Allah Subhânahu wa Ta'âlâ menamakan wahyu yang
diturunkankannya kepada Rasulullah shallallâhu’alaihi wa sallam sebagai al-
hudâ (petunjuk) dan dîn al-haq (agama yang benar) dalam firmanNya:
“Dialah (Allah Subhânahu wa Ta'âlâ) yang mengutus RasulNya dengan membawa
petunjuk dan agama yang benar agar dimenangkanNya terhadap semua agama, dan
cukuplah Allah sebagai saksi.”15
Para ulama Ahli Tafsir menafsirkan al-huda (petunjuk) dalam ayat
ini dengan ilmu yang bermanfaat dan dîn al-haq (agama yang benar)
dengan amal saleh.16
12
QS al-Isrâ’/17: 9
13
Lihat, Ibnu Katsir, Tafsir al-Qurân al-‘Azhîm, juz IV, hal. 209 dan as-Sa’di,
Taisîr al-Karîm ar-Rahmân, hal. 335.
14
Lihat As-Sa’di, Taisîr al-Karîm ar-Rahmân…, hal. 454.
15
QS al-Fath/48: 28
16
Lihat, Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, juz IV, hal. 209 dan As-Sa’di,
Taisîr al-Karîm ar-Rahmân, hal. 335.
9. 9
Ini menunjukkan bahwa sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi
Wasallam adalah sebaik-baik petunjuk yang akan selalu membimbing
manusia untuk menetapi jalan yang lurus dalam ilmu dan amal.
Dalam hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda:
“Sesungguhnya sebenar-benar ucapan adalah kitab Allah (al-Qurân), sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallâhu’alaihi wa sallam, dan seburuk-
buruk perkara adalah perkara-perkara yang diada-adakan (baru dalam agama).”17
Inilah makna firman Allah Subhânahu wa Ta'âlâ:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”18
5. Mengikuti pemahaman dan pengamalan para Shahabat Radhiyallâhu
’anhum dalam beragama
Allah Subhânahu wa Ta'âlâ berfirman:
17
Hadits Riwayat an-Nasa-i dari Jabir bin Abdullah, Sunan an-Nasâiy, juz II, hal.
308, hadits no. 1799.
18
QS al-Ahzâb/33: 21.
10. 10
“Jika mereka beriman seperti keimanan yang kalian miliki, maka sungguh mereka
telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada
dalam perpecahan.”19
Ayat ini menunjukkan kewajiban mengikuti pemahaman para
Shahabat radhiyallâhu ’anhum dalam keimanan, ibadah, akhlak dan semua
perkara agama lainnya, karena inilah sebab untuk mendapatkan petunjuk
dari Allah Ta’âlâ. Para Shahabat radhiyallâhu ’anhum adalah yang pertama
kali masuk dalam makna ayat ini, karena merekalah orang-orang yang
pertama kali memiliki keimanan yang sempurna setelah Rasulullah
shallallâhu’alaihi wa sallam.20
6. Meneladani tingkah laku dan akhlak orang-orang yang shalih sebelum
kita
Allah Subhânahu wa Ta'âlâ berfirman:
“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah
petunjuk mereka.”21
Dalam ayat ini Allah Subhânahu wa Ta'âlâ memerintahkan kepada
Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam untuk meneladani petunjuk
para Nabi ‘alaihimus salâm yang diutus sebelum beliau (Muhammad)
shallalâhu ‘alaihi wa sallam, dan ini juga berlaku bagi umat Nabi Muhammad
shallalâhu ‘alaihi wa sallam.22
7. Mengimani takdir Allah Subhânahu wa Ta'âlâ dengan benar
19
QS al-Baqarah/2: 137.
20
Demikian makna penjelasan yang penulis pernah dengar dari salah seorang
syaikh di kota Madinah, Arab Saudi.
21
QS al-An’âm/6: 90.
22
Lihat, Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, juz II, hal. 208.
11. 11
“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang) kecuali denga izin
Allah; Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi
petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”23
Ibnu Katsir berkata: “Makna ayat ini: seseorang yang ditimpa
musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan
dan takdir Allah, sehingga dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala
dari Allah Subhânahu wa Ta'âlâ), disertai (perasaan) tunduk berserah diri
kepada ketentuan Allah tersebut, maka Allah akan memberikan petunjuk ke
(dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya
dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi
Dia akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan yang lebih baik
baginya.”24
8. Berlapang dada menerima keindahan Islam serta meyakini kebutuhan
manusia lahir dan batin terhadap petunjukNya yang sempurna
Allah Subhânahu wa Ta'âlâ berfirman:
“Barangsiapa yang Allah kehendaki untuk Allah berikan petunjuk kepadanya,
niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (menerima agama) Islam. Dan
barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan
23
QS at-Taghâbun/64:11.
24
Lihat, Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, juz VIII, hal. 137.
12. 12
dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki kelangit. Begitulah Allah
menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.”25
Ayat ini menunjukkan bahwa tanda kebaikan dan petunjuk Allah
Ta’âlâ bagi seorang hamba adalah dengan Allah Subhânahu wa Ta'âlâ
menjadikan dadanya lapang dan lega menerima Islam, maka hatinya akan
diterangi cahaya iman, hidup dengan sinar keyakinan, sehingga jiwanya
akan tenteram, hatinya akan mencintai amal shaleh dan jiwanya akan
senang mengamalkan ketaatan, bahkan merasakan kelezatannya dan tidak
merasakannya sebagai beban yang memberatkan.26
9. Bersungguh-sungguh dalam menempuh jalan Allah Subhânahu wa
Ta'âlâ dan selalu berusaha mengamalkan sebab-sebab yang
mendatangkan dan meneguhkan hidayah Allah Subhânahu wa Ta'âlâ
Allah Subhânahu wa Ta'âlâ berfirman:
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat kebaikan.”27
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata: “(Dalam ayat ini) Allah
Subhânahu wa Ta'âlâ menggandengkan hidayah (dariNya) dengan
perjuangan dan kesungguhan (manusia). Maka orang yang paling sempurna
(mendapatkan) hidayah (dari Allah Subhânahu wa Ta'âlâ) adalah orang yang
paling besar perjuangan dan kesungguhannya.”28
Demikianlah pemaparan ringkas tentang sebab-sebab datangnya
hidayah Allah Subhânahu wa Ta'âlâ, dan tentu saja kebalikan dari hal-hal
tersebut di atas itulah yang merupakan sebab-sebab hilangnya/tercabutnya
hidayah Allah Subhânahu wa Ta'âlâ, semoga Allah Subhânahu wa Ta'âlâ
melindungi kita dari segala keburukan dan fitnah.
25
QS al-An’âm/6: 125.
26
Lihat, As-Sa’di, Taisîr al-Karîm ar-Rahmân, hal. 272.
27
QS al-’Ankabût/29: 69.
28
Lihat, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Al-Fawâ-id, hal. 59.
13. 13
Penutup
Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi bagi kita
semua untuk lebih semangat mengusahakan sebab-sebab datangnya
hidayah dari Allah Subhânahu wa Ta'âlâ.
Akhirnya kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah
Subhânahu wa Ta'âlâ dengan semua namaNya yang Maha Indah dan sifatNya
yang Maha Sempurna, agar Dia (Allah) Subhânahu wa Ta'âlâ senantiasa
melimpahkan, menyempurnakan dan menjaga taufiqNya kepada kita
semua sampai kita berjumpa dengan-Nya di surgaNya kelak, sesungguhnya
Dia (Allah) Subhânahu wa Ta'âlâ Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan
Doa.
Semoga Allah Subhânahu wa Ta’âlâ senantiasa berkenan memberikan
shalawat, salam dan barakahNya kepada Nabi kita, Muhammad shallallâhu
‘alaihi wa sallam.
Akhîrul kalâm, segala puji hanyalah bagi Allah seru sekalian alam.