Tulisan ini membahas tentang keresahan seseorang bernama Andi Rizki Putra terhadap sistem pendidikan di Indonesia yang dianggap tidak adil, serta bagaimana keresahan tersebut memotivasi dirinya untuk mendirikan yayasan pendidikan gratis bernama Yayasan Pemimpin Anak Bangsa untuk membantu mereka yang putus sekolah melanjutkan pendidikan.
1. Ruang Bicara Saya
( Bicara Tentang Sosial Media )
Di suatu sabtu malam, setelah saya mencoba-coba menonton vlognya
orang-orang , yang katanya sedang digandrungi anak muda zaman sekarang. Dari
sana saya membaca bahwa di zaman seperti sekarang ini yang segala sesuatunya
dapat diakses dengan mudah lewat media yang sangat berkembang pesat ini.
Bahkan dampak yang dihasilkan bagi pemikiran dan juga gaya hidup yang
ditampilkan para artis sosial media, youtubers, ataupun vlogers berpengaruh
sekali bagi kehidupan remaja sekarang ini.
Bukan! Bukan maksud saya menyalahkan orang-orang yang bermain di dalam
industri media sosial, justru saya mengapresiasi sekali dengan kemajuan yang
terjadi pada generasi sekarang ini. Yang disayangkan di sini sebenarnya adalah
konten yang mereka tampilkan terkadang banyak konten yang menurut saya tidak
terlalu bermanfaat bagi perbaikan moral dan kualitas hidup remaja sekarang.
Padahal jikalau dipikirkan kembali ini bisa menjadi peluang bagi kita yang
katanya agent of change untuk memanfaatkan media dengan sebaik-baiknya,
dengan sekreatif-kreatifnya memberikan contoh dan pemahaman yang baik.
Saya melihat memang ada beberapa vlog, youtube, dll. Yang kontennya positif
tapi terlihat dinamis, kreatif, kekinian dan tidak kaku. Namun perbandingannya
sangat jauh jikalau ingin dinominalkan dengan angka youtube atau vlog yang
berisi konten negatif.
Dan ini ternyata perlu kita analisa secara mendalam. Bagaimana sebegitu besarnya
pengaruh yang ditampilkan oleh para vlogers, youtubers, instagramers, dll. Bagi
kehidupan remaja kita saat ini, mulai dari gaya hidup yang hedonis mungkin, atau
pergaulan bebas yang dipamerkan oleh beberapa vlogers dalam akun sosial
medianya, bahkan bisa jadi habbits atau kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh
para vlogers, youtubers, dll. Ditiru oleh remaja kita dalam kehidupan sehari-hari
mereka juga.
Waw! Luar biasa sekali bukan. Inilah yang dinamakan cyber war. Selama ini
penjajahan barat yang katanya dianggap selesai ini ternyata masih berlanjut,
namun dengan umpan dan senjata yang berbeda, namun lebih mematikan dari
sekedar peluru atau pun bom. Ini adalah perang pemikiran yang mencoba
menghancurkan generasi dengan menanamkan norma dan kebiasaan yang
melenakan generasi kita, mereka membungkusnya dengan rapih dan strategi
teratur.
Lalu apakah kita sudah terlambat? Jawabannya ada diri kita sendiri. Jikalau kita
mau merubahnya maka kata terlambat akan terkikis dan perlahan kita bisa
merubah generasi kita menjadi generasi yang membawa perbaikan pada bangsa.
2. Stop burning our self, our generation, our nation, and the last our relegion.
Dengan saya Laila Shabrina, dalam ruang bicara saya. Melaporkan dari sudut
kamar.
Jakarta, 7 Januari 2017.
( Bicara Tentang Keresahan )
Sebenarnya saya ingin sekali menanyakan satu hal ini terhadap banyak
orang sih, tentang keresahan. Kira-kira keresahan apa saja sih yang mereka
rasakan saat ini atau dekat-dekat ini?
Nah, saya sering berdiskusi dengan teman-teman yang saya anggap jikalau saya
ngomong berbagai hal bersama dia tuh rasanya nyambung terus ada saja gitu
topik yang bisa kita bahas dan gagas dari awal pembicaraan sampai akhir atau
bahkan sampai kebabalasan, emang gitu kan kalau sudah asik?
Karena sebenarnya dalam hidup, kita harus memilah-milih kan ya? Mana temen
yang kalau diajak ngomong tuh nyambung dan bisa memberi manfaat buat kita?
Mana yang Cuma menghabiskan waktu kita dengan sia-sia, ya walaupun tidak ada
salahnya juga sih kalau sekali-kali kita membicarakan hal-hal yang krang
berfaedah, perlu lah sedikit hiburan.
Tapi gini lho, ketika kita menghabiskan waktu, energi dan pikiran kita dengan
seseorang yang tidak memberikan sama sekali manfaat, rasanya percuma dong?
Itu menurut saya. Saya tidak mencoba menginterferensi pemikiran saya terhadap
kalian yang membaca tulisan saya ini.
Back to the topic, masalah keresahan. Kebanyakan solusi perubahan besar itu
berangkat dari keresahan, iya enggak sih? Iya aja lah ya... gini ketika kita resah
dengan keadaan sekitar kita yang misalnya anak muda sekitar komplek atau
daerah tempat tinggal tuh kurang produktif. Kerjaannya Cuma nongkrong, terus
hidupnya kaya kalong gitu, pagi sampai maghrib tidur terus pas isya sampe subuh
bangun. Dan yang dikerjakan mereka malam harinya tuh Cuma ngegitar,
ngerokok, atau pun Cuma main game enggak jelas gitu. Rusak banget kan
pastinya? Yang katanya pemuda adalah agent dari perubahan, pemuda hari ini
adalah pemimpin masa depan. Ya miris aja gitu melihat sosokpemimpin masa
depan yang kerjaannya Cuma gitu. Miris kan ya?
Nah, dari keresahan itu biasanya timbulah sebuah ide atau gagasan, kenapa kita
enggak buat aja nih suatu komunitas atau apalah itu yayasan mungkin dalam
3. bidang yang positif pastinya. Dan kenapa hari ini saya sangat tertarik sekali
membicarakan tentang keresahan ini. saya terinspirasi dari seorang anak muda,
walaupun bukan hanya dia yang bisa dijadikan inspirator sih sebenarnya, tapi saya
tertarik saja gitu membahas tentang hal sederhana bisa merubah sesuatu menjadi
luar biasa.
Anak muda ini bernama Andi Rizki Putra, dia ini lebih konsern di dunia
pendidikan sih walalupun ya dia lulusan FH UI, agak enggak nyambung
sebenarnya ya? Kan biasanya orang yang harusnya lebih konsern tentang
pendidikan ya yang kuliahnya jurusan pendidikan.
Dia mendirikan sebuah yayasan YPAB ( Yayasan Pemimpin Anak Bangsa)
kenapa dia bisa mendirikan yayasan tersebut? Nah, di sini kita bakal bahas
tentang keresahan tersebut. Jadi begini Pertengahan 2006 adalah masa penting
dalam hidup Rizki, saat itu dia duduk di bangku SMP kelas 3 dan sedang
menjalani Ujian Nasional. Rizki mendapati bahwa sistem ujian nasional di
sekolah buruk, para guru seperti sengaja menutup mata terhadap anak-anak yang
menyontek dan malah ada yang memberikan kunci jawaban lewat SMS.
Keinginannya untuk melapor pada Kepala Sekolah dihalang-halangi oleh
beberapa guru, dan keinginannya untuk melaporkan ke Indonesia Corruption
Watch (ICW) serta mengekspos ke media dicegah oleh orang-orang terdekatnya.
Rizki sangat kecewa hingga mengurung diri di kamar dan enggan keluar rumah.
Rizki lalu diterima di SMA unggulan, mendapat beasiswa prestasi, dan mencetak
nilai tertinggi. Tapi dia sudah terlanjur merasa kecewa dengan sistem pendidikan
formal di Indonesia dan memutuskan untuk berhenti di bulan kedua masuk SMA.
Menurutnya, pendidikan adalah media untuk membentuk karakter manusia
menjadi lebih baik. Jika pendidikan didasarkan oleh praktik kecurangan dan
ketidakjujuran, maka makna pendidikan itu sudah tidak ada artinya lagi.
Rizki putus sekolah formal pada jenjang SMA dikarenakan rasa marahnya atas
penyelenggaran ujian nasional yang penuh praktik kebocoran. Sewaktu putus
sekolah, Rizki memutuskan belajar otodidak dan mengikuti pendidikan kesetaraan
Paket C atau setara SMA. Dengan metode pendidikan yang dipilihnya, Rizki
berhasil menyelesaikan pendidikan setara SMA nya dalam waktu satu tahun
(akselerasi).
Nah, Rizki juga yang tadi sempat saya bahas di atas, dia merupakan pendiri dari
Yayasan Pemimpin Anak Bangsa (YPAB), sebuah yayasan berbasis swadaya
masyarakat untuk mereka yang putus sekolah dan ingin melanjutkan
pendidikannya tanpa batas usia, dan pekerjaan secara gratis untuk siapa pun.
Pengalaman panjangnya dalam bersekolah itu memicu Rizki untuk membuat
sekolah gratis. Tak sekadar gratis, dia membantu murid-muridnya mendapatkan
ijazah paket A, B, dan C. Yayasan pertama yang dia dirikan adalah
4. masjidschooling. Dia menamai masjidschooling karena proses pembelajarannya
bertempat di teras Masjid Baiturrahman di bilangan Bintaro.
Rizki pun menjadi guru bagi puluhan muridnya yang putus sekolah. Selain itu, dia
dibantu mengajar oleh ibu-ibu rumah tangga dan para mahasiswa STAN (Sekolah
Tinggi Akuntansi Negara). Hingga kini masjidschooling berjalan empat tahun.
Selain samping itu, Rizki yang saat ini menjadi konsultan di firma hukum Baker
and MzKenzie juga menjadi founder Yayasan Pemimpin Anak Bangsa (YPAB)
pada 2012. Berbeda dengan masjidschooling yang cenderung segmented untuk
warga muslim karena dikelola ibu-ibu pengajian, YPAB lebih plural. Konsep
pendidikan di YPAB juga fleksibel. Sebab, tutor di YPAB merupakan anak-anak
muda berusia 20–30 tahun dengan berbagai latar belakang pendidikan dan
profesional. Mereka menjadi relawan setia yang mengajar tanpa bayaran.
Terkadang Rizki juga menjalin kerja sama dengan relasinya di luar negeri seperti
Meksiko dan Malaysia untuk mengajar di YPAB. Tidak pelak, murid-murid putus
sekolah yang selama ini dipandang sebelah mata oleh masyarakat akhirnya mau
tidak mau belajar ngomong Inggris. Yang membanggakan, sudah banyak murid
”schooling” Rizki yang ”naik kelas”. Dari tukang jual koran menjadi pegawai
admin di media. Dari pembantu rumah tangga (PRT) menjadi admin di
perkantoran.
Bahkan, Prihatin, salah seorang murid yang sehari-hari berjualan pisang goreng di
Tanah Abang, menjadi peraih nilai ujian nasional paket B tertinggi nasional. Kini
Prihatin melanjutkan paket C. Dua murid lainnya yang bekerja sebagai PRT akan
melanjutkan kuliah.
Kendati demikian, mengembangkan YPAB hingga memiliki ratusan murid dari
hanya dua murid bukan hal mudah. Banyak pula tekanan dari masyarakat.
Misalnya, warga pernah memprotes Rizki karena mengira yayasannya adalah
tempat berbuat mesum. Sebab, awal-awal berdiri, proses pembelajaran YPAB di
dalam kamar dan garasi.[11]
Namun, semua itu dilalui dengan baik. YPAB kini memiliki beberapa cabang.
Selain di Tanah Abang, juga di Bintaro, kantor Badan Koordinasi Penanaman
Modal, dan Medan. Rencananya Rizki juga mendirikan YPAB di luar Jawa. Dari
sisi kurikulum, selain menggenjot kemampuan bahasa, dia akan menambahkan
praktik entrepreneurship.
Melalui YPAB, Rizki dan segenap relawan berusaha menanamkan pendidikan
kesetaraan gratis yang berkualitas dan menanamkan prinsip kejujuran dan
keberagaman. “Kami tidak butuh murid yang pintar, tapi jujur dan berintegritas”
Jadi intinya seperti ini, “perubahan besar itu berangkat dari keresahan kita
terhadap masalah.”
5. So, mulailah peka dari sekarang, mulai membaca sekitar, karena mungkin dari
sana akan lahir keresahan dalam diri kita akan suatu masalah dan kita pun bisa
merubah permasalahan itu menjadi lebih baik.
Saya Laila Shabrina melaporkan dari sudut kamar.
Jakarta, 8 Januari 2017.