1. 1
Benarkah Mayat Disiksa Karena Tangisan?
Ada satu pertanyaan yang sampai saat ini belum ‘ada’ tanda-tanda
bahwa umat Islam sudah memahami jawabnya dengan tepat, karena dalam
beberapa kesempatan pengajian, pertanyaan ini masih disampaikan oleh
para jamaah. Pertanyaan itu adalah: “Benarkah seseorang yang meninggal
akan mendapatkan siksa dari Allah karena tangisan keluarganya, karena ada
beberapa hadits yang – secara zhahir (tekstual) --bisa dipahami seperti itu?”
Salah satunya adalah hadits berikut ini:
“Dari 'Amrah binti Abdurrahman, ia mengabarkan kepadanya, bahwa ia
mendengar ‘Aisyah – Ummul Mu’minin -- ketika disebutkan kepadanya, bahwa
Abdullah bin Umar mengatakan 'Mayat itu disiksa karena tangisan yang masih
hidup.' Aisyah berkata, "Semoga Allah mengampuni Abu Abdurrahman.
Sesungguhnya dia tidak berbohong, tapi dia lupa atau salah. Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam melewati jenazah seorang wanita Yahudi yang ditangisi oleh
keluarganya, lantas beliau bersabda: 'Kalian menangisinya. Dia disiksa dalam
kuburnya'." (Hadits Riwayat Malik bin Anas dari ‘Amrah binti
Abdurrahman, Al-Muwaththa’, juz I, hal. 234, hadits no. 555)
Penjelasan
Kadang-kadang kita tidak bisa memahami dan bisa salah
memahami jika hanya meninjau satu dua hadits saja. Bahkan tidak jarang
‘kita’ juga bisa salah sangka dengan maksud sabda Rasulullah SAW karena
sesungguhnya kita tidak tahu konteks (kaitan) peristiwa yang
melatarbelakangi mengapa Rasulullah SAW bersabda demikian itu. Maka
jalan terbaik adalah merujuk pada penjelasan para sahabat yang hadir dan
mengetahui pangkal masalahnya.
Seperti halnya kita jumpai banyak hadits yang menyatakan bahwa
mayat disiksa atau diazab karena tangisan keluarga yang ditinggalkannya.
2. 2
Secara zhahir atau tekstual kita akan langsung menangkap bahwa mayat
tersebut disiksa di alam kuburnya karena tangisan kita.
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Khalil telah
menceritakan kepada kami ‘Ali bin Mushir telah menceritakan kepada kami
Abu Ishaq dia adalah dari suku Asy-Syaibaniy dari Abu Burdah dari
bapaknya berkata; Ketika ‘Umar r.a. terbunuh Shuhaib berkata, sambil
menangis:
“Wahai saudaraku”. Maka ‘Umar r.a. berkata,: Bukankah kamu mengetahui
bahwa Nabi SAW telah bersabda “Sesungguhnya mayat pasti akan disiksa
disebabkan tangisan orang yang masih hidup“. (Hadits Riwayat al-Bukhari,
Shahîh al-Bukhâriy, juz II, hal. 102, hadits no. 1290)
“Sesungguhnya Rasulullah bersabda: “mayat itu diazab karena ratapan
keluarganya”. (Hadits Riwayat Muslim dari Abdullah bin Abu Mulaikah,
Shahîh Muslim, juz III, hal. 42, hadits no. 2188)
Secara zhahir (tekstual) dan sepintas lalu, bunyi hadits di atas
mengesankan bahwa mayit akan disiksa akibat keluarga atau kerabat nya
yang menangisi kematiannya. Namun pertanyaannya apa salah si mayit?
Apakah si mayit itu ketika hidupnya dulu menyuruh kerabatnya agar
menangisinya jika kelak ia sudah meninggal? Bagaimana ia harus
bertanggung jawab terhadap apa yang tidak ia lakukan? Bukankah seseorang
tidak memikul dosa orang lain? Mengapa orang disiksa akibat kesalahan
yang dilakukan orang lain? Padahal Allah telah berfirman:
...
“… orang tidak menanggung dosa orang lain yang berdosa ...” (QS al-An’âm/6:
164)
Sebagian ulama menjelaskan bahwa salahnya si mayit adalah
karena ia meminta keluarganya untuk menangisinya seperti dijelaskan pada
wanita yahudi ini :
3. 3
Telah menceritakan kepada kami Ishaq, dia berkata; telah
menceritakan kepadaku Malik, dari Abdullah bin Abi Bakar, dari ayahnya,
dari Amrah bahwasanya dia telah mengabarkan kepadanya bahwa dia
mendengar Aisyah dan diceritakan kepadanya bahwa Abdullah bin Umar
berkata:
“Sesungguhnya mayat akan disiksa karena tangisan orang yang masih hidup.”
Maka Aisyah berkata; “Semoga Allah mengampuni Abu Abdurrahman.
Sesungguhnya dia tidak berdusta hanya saja kemungkinan dia lupa atau salah,
bahwasanya Rasulullah SAW pernah melewati seorang wanita yahudi yang minta
ditangisi, maka Rasulullah bersabda: “Mereka menangisinya, padahal dia (wanita
yahudi) betul-betul tengah di siksa dikuburnya.” (Hadits Riwayat Ahmad bin
Hanbal dari ‘Amrah binti Abdurrahman, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz VI,
hal. 107, hadits no. 23802). Wanita Yahudi itu dikatakan minta ditangisi,
maka ia disiksa karenanya
Ada ulama lain yang menjelaskan bahwa di masa hidupnya sang
mayit tidak berpesan atau berwasiat kepada keluarganya agar jangan
menangisinya. Si mayit disiksa karena ia tidak mengajarkan aqidah kepada
keluarganya. Salah satu yang menjelaskan seperti ini adalah Syaikh
Muhammad Nashiruddin al-Albani.
Sedangkan Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa maksud “disiksa” di
sini bukanlah azab kubur atau azab akhirat, melainkan sang mayit menjadi
tersiksa atau bertambah sedih mengetahui keluarga yang ditinggalkannya
menangisi atau meratapi kematiannya.
Senada dengan itu Ibnul Qayyim al-Jauziyah menjelaskan bahwa
maksud disiksa di sini bukanlah disiksa sebagaimana jika ia berbuat salah.
Melainkan si mayit merasa susah dan tersiksa karena sedih mengetahui
keluarganya meratapinya atau tidak mengikhlashkan kepergiannya. Hal ini
sebagaimana hadits Rasulullah s.a.w yang bermakna: “Perjalanan jauh
adalah sebagian dari siksaan” Orang yang bepergian tidak benar-benar
disiksa melainkan ia tersiksa memendam rindu karena jauh dari keluarga (Ar
Rûh li Ibn al-Qayyim, hal. 166)
4. 4
Apa yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyah ini berdasarkan
penjelasan Aisyah r.a. ketika ditanya oleh Ibnu Abbas r.a. mengenai hadits
“mayat disiksa karena tangisan” ini.
Ibnu Abbas r.a. berkata, ‘Pada waktu Umar sudah wafat, aku
menyebutkan hal itu kepada Aisyah r.a., lalu ia berkata:
“Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada Umar. Demi Allah, Rasulullah tidak
bersabda bahwa Allah menyiksa orang-orang mukmin karena ditangisi keluarganya.
Akan tetapi, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya orang kafir itu semakin bertambah
siksanya karena ditangisi keluarganya.’ Cukup bagimu al-Qur’an (QS al-Fâthir/35:
18) yang mengatakan, ‘Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang
lain.' Ibnu 'Abbas berkata seketika itu pula: Dan Allahlah yang menjadikan
seseorang tertawa dan menangis". Berkata Ibnu Abu Mulaikah: "Demi Allah, setelah
itu Ibnu 'Umar tidak mengucapkan sepatah kata pun.” (Hadits Riwayat al-
Bukhari dari Abdullah bin Abbas, Shahîh al-Bukhâriy, juz II, hal. 101, hadits
no. 1288)
Lalu bagaimana jika ia sudah berpesan dan sudah mengajari
keluarga agar jangan menangisinya namun keluarganya tetap menangisinya?
Bagaimana jika ia telah mengajari keluarganya dengan agama yang benar,
namun tetap saja keluarganya meratapinya, apakah ia tetap disiksa? Tentu
saja penjelasan seperti ini kurang memuaskan.
Rasulullah SAW Menjelaskan Bahwa Mayat Tidak Disiksa Karena Air
Mata
Penjelasan mengenai maksud hadits di atas bahwa mayat disiksa
karena tangis keluarganya maksudnya bukanlah karena tangisannya itu
sendiri melainkan karena lisan yang mengumpat, meratap, dan
mengucapkan perkataan kekufuran yang mengingkari takdir atau
mempertanyakan keadilan Allah akibat ditinggal oleh orang yang
dicintainya:
5. 5
“Ketika Saad bin Ubadah sedang sakit, Nabi SAW menjenguknya bersama
‘Abdurrahman bin ‘Auf, Saad bin Abu Waqqash dan ‘Abdullah bin Mas’ud r.a.
Ketika Beliau menemuinya, Beliau mendapatinya sedang dikerumuni keluarganya,
Beliau bertanya: “Apakah ia sudah meninggal?”. Mereka menjawab: “Belum, wahai
Rasulullah”. Lalu Nabi SAW menangis. Ketika orang-orang melihat Nabi SAW
menangis, mereka pun turut menangis, maka Beliau bersabda: “Tidakkah kalian
mendengar bahwa Allah tidak mengazab dengan tangisan air mata, tidak dengan
hati yang bersedih, namun Dia mengazab dengan ini, ” lalu Beliau menunjuk
lidahnya, atau dirahmati (karena lisan itu) dan sesungguhnya mayat itu diazab
disebabkan tangisan keluarganya kepadanya", seraya 'Umar r.a. memukul tanah
dengan tongkat, melempar batu dan menumpahkan tanah.” (Hadits Riwayat al-
Bukhari dari Abdullah bin Umar r.a., Shahîh al-Bukhâriy, juz II, hal. 106,
hadits no. 1304)
Pada hadits di atas, ‘jelas’ bahwa menangis dan hati yang sedih itu
adalah sesuatu yang manusiawi, maka Rasulullah SAW pun menangisi
orang yang meninggal. Namun tidak boleh rasa sedih itu hingga
menyebabkan keluar perkataan yang kufur seperti mencerca Allah,
menyangkal adanya takdir kematian, menuduh Allah tidak adil dan lain
sebagainya.
Kalaupun keluarganya meratap dan menjerit jerit menangisi
kepergian mayat hingga keluar kata-kata kekufuran hal itu tidak
menyebabkan mayat disiksa melainkan maksudnya ialah: “mayat tersebut
6. 6
semakin tersiksa (sedih) mendengar keluarganya sampai mengeluarkan kata-
kata yang sedemikian rupa”.
Rasulullah SAW Mendiamkan Orang Yang Menangis
Terbukti di saat yang lain Rasulullah SAW mendiamkan saja orang
yang menangisi mayat orang yang meninggal,
“Jabir bin ‘Abdullah r.a. berkata: Ketika bapakku meninggal dunia aku
menyingkap kain penutup wajahnya, maka aku menangis namun orang-orang
melarangku menangis sedangkan Nabi SAW tidak melarangku. Hal ini membuat
bibiku Fathimah ikut menangis. Maka Nabi SAW bersabda: “Dia menangis atau
tidak menangis, malaikat senantiasa akan tetap menaunginya sampai kalian
mengangkatnya“. (Hadits Riwayat al-Bukhari dari Jabir bin Abdullah, Shahîh
al-Bukhâriy, juz II, hal. 91, hadits no. 1124)
Rasulullah SAW pun Menangis
Bahkan Nabi pun menangis ketika meninggalnya Ibrahim anak laki-
laki beliau dari Maria Qibthiyyah
7. 7
“Dari Anas bin Malik r.a. (dia berkata): “Kami masuk bersama Nabi pada Abu
Saif al-Qain (si pandai besi), suami wanita yang menyusui Ibrahim (anak laki-laki
Rasulullah dari hasil perkawainan Beliau dengan Maria Qibtihiyah). Lalu,
Rasulullah mengambil Ibrahim dan menciumnya. Sesudah itu kami masuk
kepadanya dan Ibrahim mengembuskan napas yang penghabisan. Maka, air mata
Rasulullah mengucur. Lalu Abdurrahman bin Auf berkata kepada beliau, ‘Engkau
(menangis) wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Wahai putra Auf, sesungguhnya
air mata itu (tanda) kasih sayang.’ Kemudian air mata beliau terus mengucur. Lalu
beliau bersabda, ‘Sesungguhnya air mata mengalir, dan hati pun bersedih. Namun,
kami hanya mengucapkan perkataan yang diridhai oleh Tuhan kami. Sungguh kami
bersedih karena berpisah denganmu wahai Ibrahim.‘” (Hadits Riwayat al-Bukhari
dari Anas bin Malik, Shahîh al-Bukhâriy, juz II, hal. 105, hadits no. 1303)
Demikian pula Beliau (Nabi Muhammad) SAW menangis ketika
meninggalnya puteri kecil beliau.
“Dari Anas bin Malik r.a. (dia berkata), “Kami menyaksikan puteri Rasulullah. Ia
berkata, ‘Rasulullah duduk di atas kubur. Lalu aku melihat kedua mata beliau
berlinang. Dia (Anas bin Malik radliallahu 'anhu) berkata, maka beliau bertanya:
"Siapakah di antara kalian yang malam tadi tidak berhubungan (dengan
isterinya)?". Berkata Abu Thalhah: "Aku". Beliau berkata: "Turunlah engkau ke
lahad!". Dia (Anas bin Malik r.a.) berkata,: "Maka beliau pun ikut turun kedalam
kuburnya." (Hadits Riwayat al-Bukhari dari Anas bin Malik, Shahîh al-
Bukhâriy, juz II, hal. 100, hadits no. 1285)
8. 8
“Dari Usamah bin Zaid (dia berkata), “Puteri Nabi mengirimkan utusan kepada
beliau. (Dalam satu riwayat: Aku berada di sisi Nabi, tiba-tiba datang utusan salah
seorang puteri beliau dengan membawa pesan) bahwa anaknya meninggal (dalam
satu riwayat: menghembuskan napas yang penghabisan), maka datanglah kepadanya
(jenazah puteri Beliau). Maka, beliau mengirimkan utusan untuk menyampaikan
salam dan pesan, “Sesungguhnya bagi Allah apa yang diambil-Nya dan bagi-Nya
apa yang diberikan-Nya. Segala sesuatu di sisi-Nya dengan waktu yang tertentu,
maka bersabarlah dan mengharapkan pahala.” Kemudian ia (puterinya) mengutus
kepada beliau seraya bersumpah agar beliau mendatanginya. Lalu, Nabi SAW
berdiri bersama Sa’d bin Ubadah, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin
Tsabit, (Ubadah bin Shamit), dan beberapa orang lagi. Lalu dibawalah anak itu
kepada Nabi (kemudian beliau dudukkan dia (jenazah itu) dipangkuan Beliau),
sedang napasnya tersengal-sengal (menahan sedih) seolah-olah girbah ‘tempat air’
dari kain usang yang kering, lalu kedua mata Beliau berlinang. Sa’ad berkata kepada
beliau, “Wahai Rasulullah, apakah ini?” Beliau bersabda, “Ini adalah kasih sayang
yang dijadikan oleh Allah dalam hati hamba-hamba Nya (yang dikehendaki-Nya),
dan Allah hanya menyayangi hamba-hamba-Nya yang penyayang.” (Hadits
Riwayat al-Bukhari dari Usamah bin Zaid, Shahîh al-Bukhâriy, juz VII, hal.
152, hadits no. 5655)
Begitu pula Beliau menangis ketika meninggalnya kerabat Beliau
atau Sahabat Beliau,
9. 9
“Abdullah bin Umar r.a. (dia berkata), “Sa’ad bin Ubadah mengeluhkan sakitnya.
Lalu Nabi datang menjenguknya bersama Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi
Waqqash, dan Abdullah bin Mas’ud. Ketika beliau masuk kepadanya, ia sedang
dikerumuni keluarganya. Nabi SAW bertanya, ‘Sudah meninggal?’ Mereka
menjawab, ‘Belum wahai Rasulullah.’ Lalu Nabi menangis. Ketika orang-orang
melihat beliau menangis, mereka pun menangis pula. Beliau bersabda, ‘Tidakkah
kalian mendengar bahwa Allah tidak menyiksa karena air mata dan hati yang sedih,
tetapi Allah menyiksa atau mengasihani karena ini.’ Seraya menunjuk ke lidah
beliau, atau dirahmati (karena lisan itu) dan sesungguhnya mayat itu diazab
disebabkan tangisan keluarganya kepadanya" Seraya 'Umar r.a. memukul tanah
dengan tongkat, melempar batu dan menumpahkan tanah.“ (Hadits Riwayat al-
Bukhari dari Abdullah bin Umar, Shahîh al-Bukhâriy, hadits Shahîh al-
Bukhâriy, hadits no. 1221)
“Umar bin Khattab r.a. berkata, “Biarkanlah mereka menangisi Abu Sulaiman,
asalkan tidak menaburkan tanah di atas kepala dan tidak berteriak-teriak’” (Hadits
Mauquf, Riwayat al-Bukhari dari Abu Buraidah dari Ayahnya, Shahîh al-
Bukhâriy, juz II, hal. 102, hadits no. 1290)
Menangis Boleh Tapi Yang Dilarang Adalah Meratapi dan Meraung
10. 10
Jadi sebenarnya yang dilarang bukanlah menangis karena sedih
melainkan meraung-raung dan meratapi sehingga mengeluarkan kata-kata
yang tidak diridhai Allah.
Nabi SAW bersabda:
“Sesungguhnya air mata mengalir, dan hati pun bersedih. Namun, kami hanya
mengucapkan perkataan yang diridhai oleh Tuhan kami. Dan kami dengan
perpisahan ini wahai Ibrahim pastilah bersedih.” (Hadits Riwayat al-Bukhari dari
Anas bin Malik, Shahîh al-Bukhâriy, juz II, 105, hadits no. 1303)
“Dari Abdullah (bin Mas’ud) r.a. (dia berkata): Nabi s.a.w bersabda, “Bukan dari
golongan kami orang yang menampar-nampar pipi, merobek leher baju, dan berseru
dengan seruan jahiliyah.” (Hadits Riwayat al-Bukhari dari Abdullah bin
Mas’ud, Shahîh al-Bukhâriy, juz II, hal. 103, hadits no. 1295)
“Umar bin Khattab r.a. berkata: “Biarkanlah mereka menangisi Abu Sulaiman,
asalkan tidak menaburkan tanah di atas kepala dan tidak berteriak-teriak.” (Hadits
Mauquf, Riwayat Bukhari dari Abu Burdah dari Ayahnya, Shahîh al-
Bukhâriy, II, 102, no, 1290)
Maka Rasulullah SAW pun mengijinkan menangis seperlunya
namun melarang meratapi mayat terlebih jika sampai memukul dada dan
merobek pakaian atau melukai diri. Hal ini sering dilakukan wanita Arab
sejak jaman dulu. Jika ini terjadi, maka Nabi menyuruh untuk menghardik
bahkan melempar batu atau melempar pasir kepada orang yang meratap.
11. 11
“’Aisyah r.a. berkata, “Ketika berita terbunuhnya Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abu
Thalib, dan Abdullah Ibnu Rawahah sampai kepada Nabi, beliau duduk dan
tampak sedih, dan aku melihat dari balik pintu. Lalu, datanglah seorang laki-laki
seraya mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteri Ja’far meratapi
kematian suaminya. Lalu, beliau menyuruh untuk melarang mereka, maka laki-laki
itu pergi. Kemudian datanglah ia (untuk kedua kalinya) seraya berkata, ‘Aku telah
melarang tetapi mereka tidak menaatinya.’ Beliau menyuruhnya lagi untuk
melarangnya. Kemudian lelaki itu pergi (untuk melarangnya). Lalu, ia datang lagi
(untuk ketiga kalinya) seraya berkata, ‘Demi Allah, mereka mengalahkanku. Maka,
aku menduga bahwa Beliau bersabda, ‘Taburkanlah debu ke dalam mulut mereka.’.
Aku berkata kepada laki-laki itu: "Semoga Allah menyumpal hidungmu karena
belum melaksanakan apa yang Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam perintahkan,
serta kamu (membiarkan) tidak meninggalkan Rasulullah SAW dari kondisinya
yang lelah dan kesusahan". (Hadits Riwayat al-Bukhari dari ‘Aisyah r.a.,
Shahîh al-Bukhâriy, II, 106, hadits no. 1305)
Dalam sebuah hadits shahih riwayat Muslim, Rasulullah SAW
justru menyatakan bahwa Allah tidak mengazab mayit disebabkan tangisan
atau perasaan sedih dari orang yang ditinggalkannya.
12. 12
“Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: Sa’ad bin Ubadah pernah mengeluhkan rasa
sakit yang dideritanya, sehingga Rasulullah bersama Abdur Rahman bin ‘Auf,
Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Mas’ud menjenguknya. Ketika beliau
hendak masuk ternyata ia sedang dikerumuni keluarganya, maka beliau pun
bertanya: “Apakah ia telah meninggal dunia?” Para sahabat menjawab, “Belum
wahai Rasulullah.” Maka Rasulullah SAW meneteskan air mata. Melihat beliau
menangis, para sahabatpun ikut menangis. Lalu Rasulullah SAW bersabda:
“Dengarkanlah oleh kalian, sesungguhnya Allah tidak mengazab seseorang karena
disebabkan tangisan atau perasaan sedih (dari orang yang ditinggalkannya) akan
tetapi Dia mengazab karena disebabkan oleh ini (beliau memberi isyarat pada
lisannya), atau Dia akan mengasihinya.” (Hadits Riwayat Muslim dari, Shahîh
Muslim, juz III, hal. 40, hadits no. 2176)
“Diceritakan di hadapan ‘Aisyah r.a. bahwa Ibnu ‘Umar r.a. menganggap bahwa
Nabi SAW telah bersabda: “Bahwa orang yang telah mati akan disiksa di dalam
kuburnya disebabkan tangisan keluarganya”. Maka ‘Aisyah r.a. berkata; “Tidak
begitu. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya seseorang disiksa
karena kesalahan dan dosanya dan sesungguhnya keluarganya menangisinya
sekarang.“ (Hadits Riwayat al-Bukhari dari ‘Urwah bin Zubair, Shahîh al-
Bukhâriy, juz V, hal. 98, hadits no. 3978)
13. 13
“Ketika Rafi’ bin Khudaij meninggal dia mendengar Ibnu Umar telah menjelaskan
bahwa tangisan ratapan terhadap mayit adalah siksa bagi mayit. Lalu saya
mendatangi Amrah dan menceritakan hal itu kepadanya. Maka Aisyah berkata; “Oh
kok begitu, hanyasanya Rasulullah SAW pernah berkomentar saat kematian wanita
yahudi ‘ Sungguh kalian akan menangisi wanita yahudi itu, padahal ia tengah
disiksa.’ Lalu (Aisyah) membaca; wa lâ taziru wâziratuwwizra ukhrâ (Seorang yang
berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain)”. (Hadits Riwayat Ahmad bin
Hanbal dari Amrah binti 'Abdur Rahman, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz VI,
hal. 39, hadits no. 24161). Semua perawi hadits ini tsiqah (bisa dipercaya)
Maka dalam versi hadits di atas, duduk masalah nya adalah seolah
salah dengar atau salah tangkap terhadap sabda Rasulullah SAW sedangkan
sabda yang benar bahwa sang mayat sedang disiksa kubur sementara
keluarganya menangisinya jadi bukan ditambah siksanya karena tangisan
keluarganya.
14. 14
“’Abdullah bin ‘Ubaidullah bin Abu Mulaikah berkata; “Telah wafat isteri ‘Utsman
r.a. di Makkah lalu kami datang menyaksikan (pemakamannya). Hadir pula Ibnu
‘Umar dan Ibnu ‘Abbas r.a. saat itu aku duduk di antara keduanya”. Atau katanya:
“Aku duduk dekat salah satu dari keduanya”. Kemudian datang orang lain lalu
duduk di sampingku. Berkata Ibnu ‘Umar r.a. kepada ‘Amru bin ‘Utsman:
“Bukankan dilarang menangis dan sungguh Rasulullah SAW telah bersabda:
“Sesungguhnya mayat pasti akan disiksa disebabkan tangisan keluarganya
kepadanya?”. Maka Ibnu ‘Abbas r.a. berkata,: “Sungguh ‘Umar r.a. pernah
mengatakan sebagiannya dari hal tadi”. Kemudian dia menceritakan, katanya:
“Aku pernah bersama ‘Umar r.a. dari kota Makkah hingga kami sampai di Al-
Baida, di tempat itu dia melihat ada orang yang menunggang hewan tunggangannya
di bawah pohon. Lalu dia berkata,: “Pergi dan lihatlah siapa mereka yang
menunggang hewan tunggangannya itu!”. Maka aku datang melihatnya yang
ternyata dia adalah Shuhaib. Lalu aku kabarkan kepadanya. Dia (“Umar) berkata,:
“Panggillah dia kemari!”. Aku kembali menemui Shuhaib lalu aku berkata: “Pergi
dan temuilah Amirul Mu’minin”. Kemudian hari ‘Umar mendapat musibah
15. 15
dibunuh orang, Shuhaib mendatanginya sambil menangis sambil terisak berkata,:
Wahai saudaraku, wahai sahabat”. Maka ‘Umar berkata,: “Wahai Shuhaib,
mengapa kamu menangis untukku padahal Nabi s,a,w, telah bersabda:
“Sesungguhnya mayat pasti akan disiksa disebabkan sebagian tangisan
keluarganya“. Berkata, Ibnu ‘Abbas r.a.: “Ketika ‘Umar sudah wafat aku tanyakan
masalah ini kepada ‘Aisyah r.a., maka dia berkata,: “Semoga Allah merahmati
‘Umar. Demi Allah, tidaklah Rasulullah SAW pernah berkata seperti itu, bahwa
Allah pasti akan menyiksa orang beriman disebabkan tangisan keluarganya
kepadanya, akan tetapi yang benar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya
Allah pasti akan menambah siksaan buat orang kafir disebabkan tangisan
keluarganya kepadanya”. Dan cukuplah buat kalian firman Allah) dalam al-Qur’an
(QS al-An’âm/6: 164) yang artinya: “Dan tidaklah seseorang memikul dosa orang
lain”. Ibnu ‘Abbas r.a. berkata seketika itu pula: Dan Allahlah yang menjadikan
seseorang tertawa dan menangis” (QS al-An’âm/6: 164). Berkata Ibnu Abu
Mulaikah: “Demi Allah, setelah itu Ibnu ‘Umar r.a. tidak mengucapkan sepatah
kata pun“. (Hadits Riwayat al-Bukhari dari Abdulllah bin Ubaidillah bin Abu
Mulaikah, Shahîh al-Bukhâriy, juz II, hal. 101, hadits no. 1286-1288)
Maka jelaslah di sini bahwa menangis karena kematian keluarga
atau kerabat atau sahabat itu adalah sesuatu yang ‘manusiawi’; yang
dilarang adalah meratapi dan mengucapkan kalimat yang tidak semestinya
kepada Allah. Misalnya mengatakan bahwa Allah tidak adil, mengapa dia
yang diambil bukan aku saja, atau kalimat lain yang mengingkari ‘takdir’,
atau – dengan kata lain – menunjukkan ketidak-relaan.
Wallâhu A’lamu bish-Shawâb.