1. 1
Sang Togog
“Pribadi yang Terkebiri dan Terpinggirkan”
Dalam jagad pakeliran wayang purwa, nama Togog sudah cukup
dikenal. Dia digambarkan sebagai sosok bermata juling, hidung pesek, mulut
lebar dan ndower, tak bergigi, kepala botak, rambut hanya sedikit di tengkuk,
bergelang, berkeris, bersuara bass. Pada setiap lakon, dia “ditakdirkan” untuk
mendampingi majikan berhati congkak, keras kepala, mau menang sendiri,
hipokrit, otoriter, dan antidemokrasi. Suara-suara bijak dan pesan-pesan
moralnya (nyaris) tak pernah didengar, sehingga dia ikut tercitrakan sebagai
tokoh berwatak jahat. Nasib Togog memang tak seberuntung Semar meski
sama-sama merupakan cucu Sanghyang Wenang.
Konon, pada zaman kadewatan diceritakan Sanghyang Wenang
mengadakan sayembara untuk memilih penguasa kahyangan dari ketiga
cucunya, yaitu Bathara Antaga (Togog), Bathara Ismaya (Semar), dan Bathara
Manikmaya (Bathara Guru). Barang siapa yang dapat menelan bulat-bulat dan
sanggup memuntahkan kembali gunung Jamurdipa, dialah yang akan terpilih
menjadi penguasa Kahyangan.
Sayembara pun digelar. Pada giliran pertama, Bathara Antaga
(Togog) mencoba untuk melakukannya, tetapi apa yang terjadi? Togog gagal
menelan gunung Jamurdipa. Mulutnya pun robek sehingga jadi dower. Giliran
berikutnya adalah Bathara Ismaya (Semar). Gunung Jamurdipa memang dapat
ditelan bulat-bulat, tetapi gagal dimuntahkan, sehingga perut Semar
membuncit karena ada gunung di dalamnya. Karena sarana sayembara sudah
musnah ditelan semar, maka yang berhak memenangkan sayembara dan
diangkat menjadi penguasa kadewatan adalah Sang Hyang Manikmaya atau
Bathara Guru, cucu bungsu dari Sang Hyang Wenang. Adapun Bathara Antaga
(Togog) dan Bathara Ismaya (Semar) akhirnya diutus turun ke marcapada
(dunia manusia) untuk menjadi penasihat dan pamong pembisik makna sejati
kehidupan dan kebajikan pada manusia. Syahdan, Semar dipilih sebagai
pamong untuk para ksatria berwatak baik (pandawa), sedangkan Togog diutus
sebagai pamong untuk para ksatria dengan watak buruk.
Begitulah “takdir” yang mesti dijalani Togog. Dari masa ke masa, dia
terus mendampingi kaum aristokrat berwatak culas dan berhati busuk.
Namun, kehadirannya hanya sekadar jadi pelengkap penderita. Dia selalu gagal
membisikkan suara-suara kebajikan ke dalam gendang nurani junjungannya.
Angkara murka jalan terus, watak ber budi bawa laksana pun hanya terapung-
apung dalam bentangan jargon dan slogan. Togog merasa telah gagal
2. 2
mewujudkan sosok ksatria pinunjul, arif, santun, bersih, dan berwibawa.
***
Haruskah Sang Togog kita jadikan sebagai analogi dalam kehidupan
Indonesia kontemporer ketika banyak suara kebajikan dan kearifan yang
terpinggirkan? Kalau memang benar, apakah suara-suara kearifan dan
kebijakan yang terpinggirkan itu harus dimaknai sebagai “takdir” yang mesti
dijalani bangsa dan negeri ini?
Hmmm …. Kalau kita mau jujur, togogisasi –istilah untuk
menggambarkan pembungkaman suara-suara kritis– itu sesungguhnya sudah
lama muncul sebagai gejala sosial akut di negeri ini. Lihat saja pemasungan
hak-hak bersuara dan berpendapat yang berlangsung sejak rezim Orde Baru
bertahta. Pemasungan hak-hak publik semacam itu tak jarang ditingkah ulah
represif dengan berusaha menyingkirkan orang-orang yang dianggap kritis
itu. Mungkin sudah tak terhitung sosok-sosok kritis yang harus mendekam di
penjara, diculik, dan disakiti, hingga akhirnya suara kritis mereka benar-benar
hilang dan tak bergema lagi.
Togogisasi itu pun ditengarai juga masih berlangsung hingga kini
meski kran kebebasan bersuara dan berpendapat dibuka lebar-lebar setelah era
reformasi bergulir. Konon yang jadi sasaran adalah kaum kelas menengah
yang dinilai memiliki peran besar dalam menggerakkan “bandul” demokrasi.
Kaum kelas menengah ini bisa berasal dari kalangan mahasiswa, organisasi
kepemudaan, kaum intelektual, pakar, pengamat, atau organisasi-organisasi
sosial yang lain. Peran mereka sengaja dikebiri dan diabaikan agar suara-suara
kritis yang muncul gagal menembus jantung nurani rakyat. Maka, yang terjadi
kemudian adalah otoritarianisme berselubung reformasi. Demokrasi tampak
dipuja dan diagung-agungkan, tetapi sesungguhnya konon yang terjadi adalah
pembunuhan secara sistemik dan terencana agar nilai-nilai demokrasi tak lagi
membumi. Isu mutakhir yang muncul adalah penghilangan hak suara rakyat
dalam Pileg beberapa waktu yang lalu. Berdasarkan catatan Kompas (29 Mei
2009), ada 49.677.076 orang (29,01% dari DPT) yang kehilangan hak
suaranya.
Berdasarkan fenomena ini agaknya sulit untuk tidak menjadikan Sang
Togog sebagai analogi untuk menggambarkan buramnya potret demokrasi di
negeri ini. Meski demikian, kita tetap berharap bahwa Sang Togog yang
terpinggirkan dan terabaikan itu bukan sebagai “takdir” yang mesti dijalani
bangsa dan negeri ini. Nah, bagaimana? ***
3. 3
(Dikutip dan diselaraskan dari http://sawali.info/2009/05/30/sang-togog-yang-terkebiri-
dan-terpinggirkan/)