Larangan bersikap curang dalam menimbang dan menakar
1. Tafsîr QS Al-Muthaffifîn/83: 1-6
Larangan Bersikap Curang
Dalam Menimbang dan Menakar
Teks Ayat al-Quran
وَيْلٌ لّلْمُطَفّفِينَ ﴿ ١﴾ الّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النّاسِ
يَسْتَوْفُونَ ﴿ ٢﴾ وَ إِذَا كَ الُوهُمْ أَو وّزَنُوهُمْ ي خْسِرُونَ ﴿
٣﴾ أ لَ ي ظُنّ أُولَـٰئِكَ أَنّهُم م بْعُوثُونَ ﴿ ٤﴾ لِيَوْمٍ عَ ظِيمٍ ﴿
٥﴾ يَوْمَ يَقُومُ النّاسُ لِرَبّ الْعَالَمِينَ ﴿ ٦ ﴾
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima
takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang
untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya
mereka akan dibangkitkan. Pada suatu hari yang besar. (Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri
menghadap Rabb semesta alam.” (QS al-Muthaffifîn/83: 1-6)
Tafsîr al-Mufradât
وَيْلٌ : Ungkapan yang bermakna ‘celaka’. Dalam pengertian, akan
mendapatkan balasan dari Allah berupa azab, mungkin (azab) di
dunia dan mungkin juga (azab) di akherat, atau (azab) kedua-duanya
(di dunia maupun di akherat).
لّلْمُطَفّفِ
ينَ
: Bagi siapa pun, baik perseorangan maupun kelompok, yang
melakukan kecurangan dalam bentuk apa pun.
Penjelasan
Makna Wail dan al-Muthaffifîn
1
2. Kata wail (æóíúáñ) artinya adzab yang dahsyat di akherat. Ibnu Abbâs
Radhiyallahu anhuma berkata, “Itu adalah satu jurang di Jahannam, tempat
mengalirnya nanah-nanah penghuni neraka.”1
Sementara kata ÇáÊøóØúÝöíÝõ (at-tathfîf) bermakna pengurangan. Kata
ini berasal dari kata ÇáØøóÝöíúÝõ yang artinya sesuatu yang sedikit.2[2]
(Pelakunya-red) disebut mutathaffif karena tidaklah ia mencuri (mengambil) milik
orang lain melalui proses penakaran dan penimbangan kecuali kadar yang sedikit.3
Menurut Ulama Lughah (Bahasa Arab), al-muthaffifûn adalah orang-orang
yang mengurangi takaran dan timbangan, tidak memenuhi dan
menyempurnakannya.4
Allâh ‘Azza wa Jalla langsung menafsirkan hakikat al-muthaffifîn (orang-orang
yang melakukan kecurangan) dalam ayat kedua dan berikutnya, dengan
berfirman5, ". (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka
minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka
mengurangi." (QS al-Muthaffifîn/83: 2-3)
Praktik kecurangan mereka seperti yang diterangkan Allâh Azza wa Jalla,
jika orang lain menimbangkan atau menakar bagi mereka sendiri, maka mereka
menuntut takaran dan timbangan yang penuh dan sekaligus meminta tambahan.
Mereka meminta hak mereka dipenuhi dengan sebaik-baiknya, bahkan minta
dilebihkan. Namun apabila mereka yang menakar atau menimbang untuk orang lain,
mereka mengurangi kadarnya sedikit, baik dengan cara menggunakan alat takar dan
timbangan yang sudah direkayasa, atau dengan tidak memenuhi takaran dan
timbangannya, atau dengan cara-cara curang lainnya.
Mereka tidak suka orang lain mendapatkan perlakuan yang sama dengan
perlakuan untuk dirinya (dengan dipenuhi timbangan dan takaran bila membeli).6
Orang-orang yang melakukan kecurangan ini terancam dengan siksa yang
dahsyat atau neraka Jahannam.
1Al-Qurthubi, Al-Jâmi li Ahkâm al-Qur`ân, juz XIX, hal 219.
2Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayâni fi Ta`wil Āyi al-Qur`ân, juz XV, hal.
114; Al-Qurthubi, Al-Jâmi li Ahkâm al-Qur`ân, juz XIX, hal 219, Muhammad
‘Athiyah Salim, Tatimmah Adhwâ al- Bayân, juz IX, ha. 91.
3Al-Qurthubi, Jâmi li Ahkâm al-Qur`ân, juz XIX, hal 219.
4Jâmi’ al-Bayâni fi Ta`wil Āyi al-Qur`ân, juz XIV, hal. 114; Ibnu
al-‘Arabi, Ahkâm al-Qur`ân , juz IV, hal. 274.
5Muhammad ‘Athiyah Salim, Tatimmah Adhwâ’ al-Bayân, IX, hal. 91,
As-Sa’di, Taisîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân, hal. 999.
6Lihat: Ibnu al-‘Arabi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, juz XIX, hal. 220.
2
3. Risiko Pegurangan Timbangan dan/atau Takaran
Kecurangan tersebut jelas merupakan satu bentuk praktik sariqah
(pencurian) terhadap milik orang lain dan tidak mau bersikap adil dengan sesama.7
Dengan demikian, bila mengambil milik orang lain melalui takaran dan timbangan
yang curang walaupun sedikit saja berakibat ancaman doa kecelakaan. Dan tentu
ancaman akan lebih besar bagi siapa saja yang merampas harta dan kekayaan orang
lain dalam jumlah yang lebih banyak.
‘Abdurrahmân as-Sa’di menyatakan, bahwa “jika demikian ancaman bagi
orang-orang yang mengurangi takaran dan timbangan orang lain, maka orang yang
mengambil kekayaan orang lain dengan paksa dan mencurinya, ia lebih pantas
terkena ancaman ini daripada al-muthaffifîn.8
Tentang bahaya kecurangan ini terhadap masyarakat, Syaikh ‘Athiyyah
Sâlim mengatakan, “Diawalinya pembukaan surat ini dengan doa kecelakaan bagi
para pelaku tindakan curang dalam takaran dan timbangan itu menandakan betapa
bahayanya perilaku buruk ini. Dan memang betul, hal itu merupakan perbuatan
berbahaya. Karena timbangan dan takaran menjadi tumpuan roda perekonomian
dunia dan asas dalam transaksi. Jika ada kecurangan di dalamnya, maka akan
menimbulkan khalâl (kekisruhan) dalam perekonomian, dan pada gilirannya akan
mengakibatkan ikhtilâl (kegoncangan) hubungan transaksi. Ini salah satu bentuk
kerusakan yang besar.”9
Perintah Untuk Menyempurnakan Takaran dan/atau Timbangan
Islam dengan kesempurnaan, kemuliaan dan keluhuran ajarannya,
memerintahkan umatnya untuk menjalin muamalah dengan sesama atas dasar
keadilan dan keridhaan. Di antaranya, dengan menyempurnakan timbangan dan
takaran. Allâh ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَ تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
“Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” [QS
ar-Rahmân/55: 9].
7As-Sa’di, Taisîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr al-Kalâm al-Mannân,
hal. 999.
8 Ibid., hal. 1001.
9Muhammad ‘Athiyah Salim, Tatimmah …, juz IX, hal. 91.
3
4. وَلَ تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلّ بِالّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتّىٰ يَبْلُغَ
أَشُدّهُۖ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِۖ لَ نُكَلّفُ نَفْسًا
إِلّ وُ سْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰۖ وَبِعَهْدِ
اللّهِ أ وْفُواۚ ذَٰلِكُمْ وَصّاكُم بِهِ لَعَلّكُمْ تَذَكّرُونَ
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat,
hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak
memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu
berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu)10, dan
penuhilah janji Allah11. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.”
(QS al-An’âm/6: 152).
Syaikh asy-Syinqîthi mengatakan, bahwa “melalui ayat ini, Allâh ‘Azza wa
Jalla memerintahkan penyempurnaan (isi) takaran dan timbangan dengan adil. Dan
menyatakan bahwa siapa saja yang tanpa kesengajaan terjadi kekurangan pada
takaran dan timbangannya, tidak mengapa karena tidak disengaja”.
Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan bahwa memenuhi
takaran dan timbangan lebih utama dan lebih baik manfaat. Allâh ‘Azza wa Jalla
berfirman:
وَأَوْفُوا الْكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِۚ
ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَ أَحْسَنُ تَأْوِيلً
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang
benar. Itulah yang lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” (QS al-Isrâ`/17: 35).
Dalam ayat lain, perintah menyempurnakan takaran mengiringi perintah
beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla . Sebab, pelaksanaan dua hal tersebut berarti
memberikan hak kepada pemiliknya yang tepat, tanpa ada pengurangan.12
10Maksudnya: “mengatakan yang sebenarnya meskipun merugikan
kerabat sendiri.”
11Maksudnya: “penuhilah segala perintah-perintah-Nya.”
12Muhammad ‘Athiyah Salim, Tatimmah …, juz IX, hal. 93.
4
5. Orang yang menyalahi ketentuan yang adil ini berarti telah menjerumuskan
dirinya sendiri dalam ancaman kebinasaan. Dan sampai sekarang, praktik ini masih
menjadi karakter sebagian orang yang melakukan jual-beli, baik pedagang maupun
pembeli. Dengan mendesak, pembeli meminta takaran dan timbangan dipenuhi, dan
ditambahi. Sementara sebagian pedagang melakukan hal sebaliknya, melakukan
segala tipu muslihat untuk mengurangi takaran dan timbangan guna meraup
keuntungan lebih dari kecurangannya ini.
Sejarah telah menyebutkan bahwa Allâh ‘Azza wa Jalla mengutus Nabi
Syu’aib ‘alaihis salâm kepada kaum yang melakukan kebiasaan buruk ini. Nabi
Syu’aib ‘alaihis salâm sudah menyeru kaumnya, suku Madyan (penduduk Aikah), agar
menjauhi kebiasaan buruk itu.
Allâh ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَإِلَىٰ مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًاۚ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللّهَ مَا
لَكُم مّنْ إِلَـٰهٍ غَيْرُهُۖ وَلَ تَنقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَۚ إِنّي
أَرَاكُم بِخَيْرٍ وَإِنّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ مّحِيطٍ ﴿
٨٤ ﴾ وَيَا قَوْمِ أَوْفُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ وَلَ
تَبْخَسُوا النّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَ تَعْثَوْا فِي الْرَْضِ
مُفْسِدِينَ ﴿ ٨٥ ﴾ بَقِيّتُ اللّهِ خَيْرٌ لّكُمْ إِن كُنتُم مّؤْمِنِينَۚ
﴾وَمَا أَنَا عَلَيْكُم بِحَفِيظٍ ﴿ ٨٦
“Dan kepada (penduduk) Madyan, (Kami utus saudara mereka), Syu’aib. Ia berkata, “Hai
kaumku, sembahlah Allâh, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu
kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan baik
(mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan
(Kiamat)”. Dan Syu’aib berkata, “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan
adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu
membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. Sisa keuntungan dari Allâh
5
6. adalah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang beriman. Dan aku bukanlah
seorang penjaga atas dirimu.” (QS [Hûd/11: 84-86)
Namun kaum Nabi Syu’aib ‘alaihis salâm menolak dan mengingkari dakwah
beliau. Allâh Azza wa Jalla mengisahkan mereka berkata,
قَالُوا يَا شُعَيْبُ أَصَلَتُكَ تَأْمُرُكَ أَن نّتْرُكَ مَا يَعْبُدُ آبَاؤُنَا
أَوْ أَن نّفْعَلَ فِي أَمْوَالِنَا مَا نَشَاءُ إِنّكَ لنَتَ الْحَلِيمُ
الرّشِيدُ
“Mereka berkata: "Hai Syu'aib, Apakah shalatmu menyuruh kamu agar Kami meninggalkan
apa yang disembah oleh bapak-bapak Kami atau melarang Kami melakukan apa yang Kami
kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi
berakal13." )QS Hûd/11: 87(
Beliau menjawab:
قَالَ يَا قَوْمِ أَرَأَيْتُمْ إِن كُنتُ عَلَىٰ بَيّنَةٍ مّن رّبّي وَرَزَقَنِي
مِنْهُ رِزْقًا حَسَنًاۚ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَىٰ مَا أَنْهَاكُمْ
عَنْهُۚ إِنْ أُرِيدُ إِلّ الِْصْلَحَ مَا اسْتَطَعْتُۚ وَمَا تَوْفِيقِي إِلّ
بِاللّهِۚ عَلَيْهِ ت وَكّلْتُ وَ إِلَيْهِ أ نِيبُ
“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu dengan mengerjakan apa yang aku larang. Aku
tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan
tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allâh aku
bertawakkal dan hanya kepada-Nyalah aku kembali” (QS Hûd/11: 88)
Akhirnya, Allâh ‘Azza wa Jalla menghancurkan mereka dengan siksa-Nya.
Allâh ‘Azza wa Jalla berfirman:
13Perkataan ini mereka ucapkan untuk mengejek Nabi Syu'aib a.s.
6
7. فَكَذّبُوهُ فَأَخَذَهُمْ عَذَابُ يَوْمِ الظّلّةِۚ إِنّهُ كَانَ عَذَابَ
يَوْمٍ عَ ظِيمٍ
“Kemudian mereka mendustakan Syu’aib, lalu mereka ditimpa azab pada hari mereka dinaungi
awan. Sesungguhnya azab itu adalah azab hari yang besar.” (QS asy-Syu’arâ/26: 189)
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَمّا جَاءَ أَمْرُنَا نَجّيْنَا شُعَيْبًا وَالّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ بِرَحْمَةٍ
مّنّا وَأَخَذَتِ الّذِينَ ظَلَمُوا الصّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا فِي
دِيَارِهِمْ جَاثِمِينَ ﴿ ٩٤ ﴾ كَأَن لّمْ يَغْنَوْا فِيهَا أَلَ بُعْدًا
﴾لّمَدْيَنَ كَمَا بَعِدَتْ ثَمُودُ ﴿ ٩٥
“Dan tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Syu'aib dan orang-orang yang beriman
bersama-sama dengan Dia dengan rahmat dari Kami, dan orang-orang yang zalim dibinasakan
oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpangan di rumahnya. Seolah-olah
mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, kebinasaanlah bagi penduduk Mad-yan
sebagaimana kaum Tsamud telah binasa.” (QS Hûd/11: 94-95]
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَأَخَذَتْهُمُ الرّجْفَةُ فَأَصْبَحُوا فِي د ارِهِمْ جاثِمِينَ
“Kemudian mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di
dalam rumah-rumah mereka.” (QS al-A’râf/7: 91)
Kurangnya pengetahuan (jahâlah) tentang tata cara berniaga dan
berdagang yang baik dan syar’i merupakan salah satu faktor yang melatarbelakangi
praktik kecurangan dalam takaran dan timbangan (serta perdagangan secara umum).
Maka, menjadi kewajiban orang yang terjun di dunia bisnis (perdagangan) untuk
mendalami fiqh al-buyû wa al-mu’âmalah fi al-Islâm (hukum-hukum jual-beli dan
muamalah Islam). Tujuannya, agar terhindar dari berbuat kecurangan, riba, dusta,
kezaliman dan kehilangan berkah.
7
8. Khalifah ‘Umar bin Khaththâb radhiyallâhu ‘anhu pernah memeringatkan,
(agar) “orang-orang yang belum belajar agama, sekali-kali jangan berdagang di pasar-pasar
kami”.
Sahabat ‘Ali bin Abi Thâlib radhiyallâhu ‘anhu pernah berkata, (agar) “para
pedagang (pelaku bisnis) bila (dirinya) tidak faqih (paham agama), maka berpeluang
(akan) terjerumus ke dalam riba, kemudian terjerumus dan terjerumus (secara terus-terus)”.
Penjelasan( tentang) QS al-Muthaffifîn/83: 4-6
Meskipun orang-orang yang curang dalam timbangan dan takaran itu,
telah diancam dengan siksa, kecurangan itu tetap saja mereka lakukan, Allâh ‘Azza
wa Jalla berfirman:
أَلَ يَظُنّ أُولَـٰئِكَ أَنّهُم مّبْعُوثُونَ ﴿ ٤﴾ لِيَوْمٍ عَظِيمٍ ﴿
٥﴾ يَوْمَ يَقُومُ النّاسُ لِرَبّ الْعَالَمِينَ ﴿ ٦ ﴾
“Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa Sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada
suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?”
(QS al-Muthaffifîn/83: 4-6)
Ibnu Jarîr ath-Thabari mengatakan, “Tidakkah orang-orang yang
mengurangi hak-hak manusia dalam timbangan dan takaran itu meyakini bahwa
mereka akan dibangkitkan dari kubur-kubur mereka setelah mereka mati, pada suatu
hari yang sangat penting, dahsyat lagi menakutkan?”14
Tidakkah mereka takut kepada hari kebangkitan dan saat berdiri di
hadapan (Allâh) Dzat Yang Maha Mengetahui segala yang tersembunyi dan tertutupi
pada hari yang sangat besar bahayanya, banyak menimbulkan kesedihan, dan agung
urusannya. Barangsiapa merugi, pasti akan dijerumuskan ke api yang menyala-nyala?
15
Kalaupun mereka tidak meyakini adanya hari pembalasan, bukankah lebih
baik menganggapnya ada, kemudian merenungkannya, mencari tahu tentangnya, dan
14Ath-Tahabari, Jâmi’ al-Bayân i fi Ta`wil Ayi al-Qur`ân, juz XV, hal.
115.
15Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al- ‘Azhîm, juz VIII, hal. 347.
8
9. akhirnya berhati-hati mengambil langkah selamat dengan tidak mengurangi hak
orang lain.16
Orang-orang yang melakukan praktik kecurangan (dan para pelaku dosa
lainnya) akan menghadapi hukuman Allâh ‘Azza wa Jalla pada hari itu. Hari yang
besar. Allâh telah menyebutkannya sebagai hari yang besar sehingga menunjukkan
keagungan dan pentingnya hari tersebut. Allâh Azza wa Jalla telah menyebutkan hari
itu sebagai hari yang menakutkan, menyengsarakan, meresahkan dan mengiris
perasaan.17
Semua orang akan menghadap Allah Rabbul ‘Ālamîn dari seluruh belahan
bumi Timur dan Barat, dibangkitkan di atas satu tempat yang lapang. Satu hari pada
masa itu sepanjang 50.000 (lima puluh ribu) tahun. Matahari sangat dekat dengan
mereka. Tidak ada pepohonan, bangunan atau apa saja yang bisa dijadikan tempat
berteduh, kecuali naungan dari Allâh ‘Azza wa Jalla yang diberikan kepada orang
yang dikehendaki-Nya. Pada hari yang besar ini, al-muthaffifûn akan merasakan
balasan hukuman. Hendaknya orang-orang yang curang dalam menakar dan
menimbang takut terhadap hari itu, dan bertakwa kepada Allâh ‘Azza wa Jalla serta
memberikan hak orang lain secara utuh (sempurna). Jika memberi tambahan, maka
itu lebih baik. Hendaknya mereka juga mengambil hak mereka secara utuh, namun
jika mau bertoleransi, maka itu lebih baik. Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan
taufik kepada kita.18
Di sini, as-Sa’di menyimpulkan bahwa yang mendorong mereka berani
berbuat kecurangan dalam menakar dan menimbang adalah karena mereka tidak
mengimani Hari Akhir. Jika mereka mengimaninya, dan yakin bahwa mereka akan
berdiri di hadapan Allâh k untuk memperhitungkan perbuatan mereka, yang besar
maupun yang kecil, niscaya akan menahan diri dari praktik curang itu dan kemudian
bertaubat darinya.”19
Pengaruh Ayat Pada Para Sahabat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam
Sahabat Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhu menceritakan, “Ketika pertama kali
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam datang ke (kota) Madinah, mereka (para
penduduknya) termasuk manusia paling buruk dalam menakar. Kemudian Allâh
‘Azza wa Jalla menurunkan (ayat). Selanjutnya mereka memerbaiki cara penakaran.”
(Riwayat Ibnu Mâjah dan Ibnu Hibbân dan dishahîhkan oleh al-Albâni).
16Al-Qurthubi, Al-Jâmi li Ahkâm al-Qur`ân, juz XIX, hal. 222.
17Lihat: QS at-Takwîr, al-Insyiqâq dan al-Infithâr.
18Al-‘Utsaimin, Syarh Riyâdh ash-Shâlihîn, juz II, hl. 1466.
19As-Sa’di, Taisîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr al-Kalâm al-Mannân,
hal. 1001.
9
10. Al-Farâ` mengatakan, “Mereka menjadi orang yang paling
menyempurnakan takaran (dan timbangan) sampai hari ini.”20 Sebagai catatan
penting, al-‘Utsaimîn mengingatkan, bahwa “ayat ini -- meskipun berhubungan erat
dengan takaran dan timbangan – bisa diperlakukan juga pada seorang pekerja.
Ketika seorang pekerja atau pegawai jika ia menginginkan hak (honor)-nya utuh,
namun ia dating terlambat dalam bekerja terlambat atau pulang terlebih dahulu
sebelum waktunya, ia termasuk dalam kategori al-muthaffifin yang mendapatkan
ancaman dari Allâh dengan kata ‘wail’ (kecelakaan). Sebab jika gajinya berkurang 1
riyal pun, pasti akan berkata: “mengapa gaji saya kurang?”. Ia sangat memahami
haknya, sementara itu (di sisi lain) ia tidak sadar terhadap kewajibannya sebagai
pekerja atau pegawai.
Al-‘Ibrah (Pelajaran Dari QS al-Muthaffifîn/83: 1-6)
Rangkaian ayat ini mengadung beberapa pelajaran yang sangat berharga.
Antara lain:
1. Allah memberikan ancaman berat bagi setiap yang melakukan kecurangan dalam
berujal-beli (bertransaksi bisnis).
2. Tindakan kecurangan dalam transaksi bisnis, berupa manipulasi takaran dan
timbangan yang berdampak kerugian bagi mitra bisnisnya, akan negatif bagi
para pelakunya. Karena opera pelakunya akan mendapatkan azab dari Allah,
sebagai akibat dari tindakan kecurangannya.
3. Kewajiban manusia adalah memberikan hak terhadap orang lain yang menjadi
tanggung jawabnya. Dan, sama sekali tidak diperkenankan untuk mengambil
haknya tanpa mengindahkan hak orang lain, dengan cara mengabaikan
kewajibanya.
4. Rangkaian ayat ini menegaskan tentang artipenting pemahaman agama bagi
setiap para pelaku bisnis.
5. Kewajiban menepati akad (menyempurnakan timbangan dan takaran) sudah ada
dalam syariat-syariat sebelumnya.
6. Semua orang harus memertanggungjawabkan semua perbuatannya di dunia di
hadapan Allâh ‘Azza wa Jalla.
7. Setiap orang harus berbuat adil dalam seluruh ucapan dan tindakannya.
20Al-Qurthubi, Al-Jâmi li Ahkâm al-Qur`ân, juz XIX, hal. 218.
10