Novel "Laskar Pelangi" menggambarkan kondisi pendidikan di daerah Belitong pada tahun 1970-an yang sangat buruk. Film yang diangkat dari novel ini menuai sambutan positif karena mampu memperlihatkan kisah inspiratif para siswa sekolah miskin yang gigih belajar meski dalam keterbatasan. Kajian resepsi sastra menunjukkan bahwa gambaran kemiskinan dan ketidakadilan pendidikan yang ditonjolkan dalam film masih
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
RESEPSI FILM LASKAR PELANGI
1. RESEPSI SASTRA FILM “LASKAR PELANGI”
SEBUAH KAJIAN RESEPSI SASTRA SINKRONIK PADA MASA
BANGKITNYA PERFILMAN INDONESIA (TAHUN 2001 – 2009)
Oleh: Marlina
A. Pendahuluan
Pemunculan film-film yang diangkat dari karya sastra belakangan ini
semakin marak. Para pembaca karya sastra kini tak harus bersusah payah
untuk menghabiskan waktu berjam-jam, berhari-hari bahkan berminggu-
minggu untuk dapat melahap sebuah karya sastra sepeeti novel. Para sineas
Indonesia dengan kemampuan dan kreativitasnya telah dapat
mengembangkan dan memperkaya khasanah sastra Indonesia dengan cara
menyajikan sebuah karya sastra dalam bentuk bacaan-dalam hal ini novel-
menjadi sebuah film yang dikemas apik dan menarik bagi semua kalangan.
Dalam sejarah perfilman di Indonesia tahun 2001 hingga saat ini,
masyarakat Indonesia telah merasakan kebangkitan perfilman Indonesia
dengan hadirnya film-film layar lebar yang tak henti diproduksi dan diputar
di sinema-sinema. Namun demikian, tak banyak film yang secara langsung
diangkat dari sebuah novel, khususnya untuk novel-novel Indonesia di masa
sekarang ini. Sebut saja novel Ayat-Ayat Cinta karangan Habiburahman El-
Shirazy yang sempat booming dan dikenal seantero masyarakat Indonesia,
setelah sebelumnya beberapa novel remaja seperti Eifel I’m In Love dan
novel-novel dengan tema percintaan remaja diangkat menjadi sebuah film.
Di antara novel-novel tersebut yang tak dapat dipungkiri sebagai
novel fenomenal sehingga diangkat menjadi film layer lebar adalah novel
“Laskar Pelangi” karangan Andrea Hirata, seorang pengarang pendatang
baru yang menggebrak dunia sastra Indonesia. Andrea Hirata sebagai
penulis baru menyajikan sebuah cerita dengan latar belakang kisah nyata
menjadi sebuah bacaan yang apik dan menggugah para pembacanya.
2. Pendapat demi pendapat positif dari berbagai profesi dapat dilihat dalam
bagian depan novel Laskar Pelangi.
Demikian pula halnya ketika novel tersebut diangkat menjadi sebuah
film, respons masyarakat saat itu bernada amat positif. Para penikmat film
Indonesia lebih banyak menyuarakan kepuasan dengan film yang diangkat
dari novel tersebut dan menjadikan Andrea Hirata sebagai novelis populer
Indonesia yang tidak bisa dipandang sebelah mata lagi keberadaannya.
Larisnya film Laskar Pelangi di pasaran menjadi daya tarik tersendiri
bagi penulis untuk memberikan reaksi sebagai salah satu penikmat karya
sastra terhadap film tersebut. Mengingat selanjutnya setelah atau sebelum
Laskar Pelangi dipertontonkan kepada masyarakat, film-film dengan tema
yang sama sepanjang kebangkitan perfilman Indonesia, baik yang diangkat
dari novel maupun yang memang murni berasal dari naskah film belum
ditemukan lagi hingga saat ini.
B. Pembahasan
1) Resepsi Sastra
Secara harfiah, resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin) dan
reception (Inggris) yang berarti penerimaan. (Kutha Ratna, 2008: 165)
Resepsi atau penerimaan terhadap sebuah teks sastra merupakan
reaksi dari pihak pembaca terhadap sebuah karya sastra, baik dalam bentuk
reaksi langsung maupun reaksi tidak langsung dengan menyelaraskan
dengan pengertian, pengalaman, serta penghayatannya (Luxemburg, 1992:
62)
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa yang
dimaksud dengan resepsi sastra adalah reaksi yang diberikan oleh pembaca
terhadap sebuah karya berdasarkan adanya pengertian-pengetahuan atau
wawasan pembaca- dan menghubungkannya dengan pengalaman dan apa
yang dihayati oleh pembaca tersebut.
Dinyatakan juga oleh Luxemburg bahwa kegiatan resepsi sastra
merupakan kegiatan pembaca dalam mengkonkretkan sebuah teks sastra-
3. dalam hal ini bacaan- menjadi sebuah teks yang dpat dimengerti dan
dihayatinya. Hal ini seperti membuat sebuah laporan setelah pembaca
menikmati karya sastra.(Luxemburg, 1992: 79)
Resepsi sastra mengkaji hubungan antara sastra dengan pembaca,
khususnya dalam kehidupan praktis. Diibaratkan sebagai retorika dalam
khotbah atau pidato yang memberikan perhatian pada sarana-sarana bahasa,
resepsi sastra memberikan perhatian pada tanggapan-tanggapan pembaca.
(Kutha Ratna, 2008:164)
Namun demikian, resepsi sastra sendiri dalam artian yang luas
tidaklah sekadar pemberian respons pembaca terhadap karya sastra
melainkan pembaca dalam konteks ini dilihat sebagai sebuah proses sejarah,
yakni pembaca dalam periode tertentu. (Kutha Ratna, 2008:165)
Berdasarkan pernyataan ersebut dapat dikatakan bahwa dalam proses
resepsi sastra, pembaca yang memberi respons atau reaksi terhadap suatu
karya sastra akan selalu menghubungkan responsnya dengan kondisi ketika
resepsi iu dilakukan. Sudah barang tentu itu akan berhubungan dengan
bidang kehidupan, baik dari sosiologis, budaya, maupun psikologis
masyarakat dalam suatu masa.
Dalam penelitian sastra, resepsi sastra mengenal dua bentuk, yakni
resepsi sinkronik dan resepsi diakronik. Bila dalam resepsi sinkronik karya
sastra diteliti dalam hubungannya dengan pembaca pada suatu masa tertentu
(satu zaman-, maka dalam resepsi sastra diakronik yang melibatkan pembaca
sepanjang sejarah waktu. (Kutha Ratna, 2008: 167)
Dalam hal ini dijelaskan juga bahwa dalam resepsi sinkronik,
sekelompok pembaca memberikan tanggapan-misalnya secara sosiologis
maupun psikologis- terhadap sebuah karya sastra.
Tanggapan terhadap karya sastra melalui pendekatan sosiologis
adalah mengkaji hubungan yang hakiki antara karya sastra dengan
kehidupan sosial masyarakat. (Kutha Ratna, 2008:60). Hal ini merupakan
4. sebuah pernyataan yang menggambarkan bahwa sebuah karya sastra dalam
penciptaannya memiliki hubungan social dengan masyarakat pembaca.
Sementara itu, istilah psikologi sastra menurut Wellek dan Waren
memiliki empat kemungkinan pengertian antara lain: (1) studi psikologi
pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi, (2) studi proses kreatif, (3) studi
hukum dan tipe-tipe psikologi yang diterapkan pada karya sastra, dan (4)
mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca). Keempat hal
tersebut merupakan kemungkinan yang dimungkinkan menjadi pembahasan
dalam psikologi sastra. (Wellek dan Waren, 1995:90)
2) Sinopsis Film ”Laskar Pelangi”
Tokoh aku dalam film ini adalah Ikal. Ikal memulai ceritanya dengan
menampilkan latar tahun 1974 di daerah Bangka Belitong (Salah satu daerah
di Indonesia). Bangka Belitong pada latar tahun tersebut adalah sebuah
daerah yang kaya di Indonesia. Daerah tersebut terkenal dengan
pertambangan timahnya. Namun demikian, di tengah pandangan masyarakat
yang menganggap daerah tersebut sebagai daerah yang kaya, kehidupan
masyarakatnya tidaklah baik seperti seharusnya penduduk yang hidup di
daerah yang kaya.
Cerita berawal dari sebuah sekolah SDN Muhammadiyah Gintong
yang merupakan sekolah muhamaddiyah satu-satunya di daerah Belitong.
Sekolah itu terancam ditutup pemerintah bila pada tahun ajaran tersebut
tidak mendapatkan sepuluh orang siswa. Para orang tua yang
menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut adalah orang tua yang kondisi
perekonomiannya miskin. Rata-rata orang tua bekerja sebagai buruh PT PN
Timah atau nelayan.
Diceritakanlah seorang guru wanita bernama Ibu Muslimah dan Bapak
Harpan yang bersikukuh untuk mempertahankan sekolah tersebut. Meski di
awalnya kedua guru tersebut sudah hampir putus asa menunggu kedatangan
5. murid ke sepuluh, akhirnya sekolah tersebut dapat memenuhi angka sepuluh
untuk jumlah murid dan itu berarti sekolah tersebut akan terus dibuka.
Berlanjut pada waktu lima tahun kemudian (tahun 1979), sekolah
tersebut tetap berjalan dengan sepuluh orang siswa yang tak bertambah dari
tahun ke tahun. Kondisi sekolah sangat buruk, baik dari bangunan, fasilitas
sekolah, maupun dari keuangannya. Para guru yang mengajar, tidak
mendapatkan penghasilan yang layak, selayaknya guru-guru di sekolah lain.
Sekolah lain yang menjadi pembanding adalah sekolah milik PN
Timah yang kondisinya sangat bertolak belakang dengan SDN
Muhammadiyah Gintong. Sekolah PN Timah memiliki fasilitas yang bagus
dan ditonjolkan sebagai sekolah bagi kaum-kaum menengah ke atas di
Belitong.
Namun demikian, siswa-siswa yang belajar di SDN Muhammadiyah
tak pernah kehilangan semangat untuk belajar, meskipun mereka dalam
keterbatasan. Sepuluh siswa dalam asuhan Ibu Muslimah tumbuh dengan
kemampuan yang bervariasi. Tokoh Lintang yang berasal dari keluarga
miskin di pesisir pantai adalah anak yang memiliki kecerdasan matematika
sangat bagus. Sementara itu, Mahar adalah anak yang mmeiliki kecerdasan
musikal yang sangat bagus. Demikian juga dengan siswa-siswa lainnya selain
mereka seperti Ikal, Kucai, Samson, Zahara, Akiong, dan Harun salah satu
siswa yang memiliki keterbelakangan mental.
Siswa-siswa di SDN Muhammadiyah yang dididik dalam kemiskinan
dan kesulitan belajar menunjukkan kemampuan mereka di hadapan
masyarakat Belitong yang beranggapan bahwa anak miskin tak perlu
mengecap bangku sekolah. Mereka cukup menjadi buruh membantu orang
tua mereka bekerja. Dengan kreativitas mereka, para siswa akhirnya dapat
memenangkan karnaval yang diadakan untuk sekolah-sekolah di Belitong.
Mereka berhasil mengalahkan juara bertahan SD PN Timah.
Pada bagian selanjutnya konflik pun terjadi dalam diri Ibu Muslimah.
Ibu Muslimah yang sempat kecewa setelah ditinggal oleh rekan kerjanya Pak
Bakrie yang memilih mengajar di sekolah lain karena penghasilan yang
6. didapatkannya tidak menentu. Sementara itu, goncangan lain pun datang,
rekan Ibu Muslimah yang lain bapak Harpan, yang selama ini menjadi teman
seperjuangan Ibu Muslimah untuk mempertahankan keberadaan SDN
Muhammadiyah Gintong dipanggil sang Khalik. Hal tersebut menyebabkan
Ibu Muslimah goncang dan sedih karena merasa ak berdaya jika harus
berjuang sendirian.
Namun demikian, Ibu Muslimah tidak menyerah. Tawaran yang selalu
diajukan oleh Pak Mahmud (salah satu guru di SD PN Timah) untuk
mengajar di SD PN Timah tetap konsisiten ditolaknya karena rasa cintanya
yang mendalam terhadap SDN Muhammadiyah dan siswa-siswanya.
Eksistensi SDN Muhammadiyah Gintong ditunjukkan dengan kemenangan
mereka dalam lomba cerdas cermat.
Kesuksesan siswa-siswa SDN Muhammadiyah dengan menunjukkan
eksistensi mereka di mata masyarakat Belitong menjadikan sekolah tersebut
diingat oleh masyarakat. Namun begitu, di akhir cerita, tokoh Lintang sebagai
anak yang cerdas tak dapat melanjutkan sekolah hingga tamat karena harus
menggantikan ayahnya sebagai kepala keluarga setelah kematian ayahnya.
Lintang tak dapat menyelesaikan studinya di SDN Muhammadiyah Gintong
bersama rekan-rekannya yang lain. Sementara tokoh aku (Ikal) diceritakan
kembali ke kampung halamannya untuk bertemu sahabat-sahabatnya. Ikal
berencana untuk merantau di Paris, kota yang menjadi mimpi di masa kanak-
kanaknya. Kota yang menjadi impian Ikal untuk dapat mengenang Ah Ling,
gadis pujaannya sejak kecil. Pertemuan Lintang dan Ikal saat telah menjadi
dewasa menjadi akhir dari cerita film tersebut. Lintang merasa bangga
kepada Ikal dan berpesan agar anak-anaknya mengikuti jejak Ikal sahabatnya.
3) Kajian Resepsi Sastra Sinkronik Film “Laskar Pelangi”
Tahun 2001 hingga saat ini, jika dilihat dari kondisi masyarakat dan
pendidikan di Indonesia, dapat dikatakan tak jauh beda dengan yang
digambarkan dalam film Laskar Pelangi. Meskipun gambaran tersebut tidak
terjadi di kota-kota besar, kondisi tersebut masih dapat ditemukan di
7. beberapa daerah terpencil di Indonesia. Secara umum, kondisi tersebut
memang bukan pemandangan nyata yang dapat dilihat oleh setiap orang.
Namun, cobalah melihat kondisi di beberapa daerah terbelakang di
Indonesia, kondisi seperti itu masih dapat ditemukan.
Gambaran pendidikan Indonesia khususnya di daerah Belitong yang
disajikan dalam film Laskar Pelangi tentu akan sangat memperihatinkan bagi
para penontonnya. Kondisi anak-anak miskin yang ingin mengecap
pendidikan dalam keterbatasan ekonomi menjadi sebuah pemandangan yang
dapat disaksikan hingga abad ini. Kemiskinan dan keterpurukan memaksa
para orang tua untuk mempekerjakan anak di bawah umur demi membantu
pemenuhan kebutuhan hidup keluarga. Pemandangan itu pula yang
ditonjolkan secara gamblang dalam film Laskar Pelangi.
Kondisi kemiskinan masyarakat di Belitong yang kaya
menggambarkan ketidakmampuan pemerintah untuk mengolah segala
sumber daya yang dimiliki oleh bangsa ini. Gambaran tersebut merupakan
cerminan dari kondisi yang terjadi saat ini, bahwa kemiskinan masih
dirasakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, padahal Indonesia
adalah negara yang mempunyai kekayaan sumber daya yang dapat
dimanfaatkan. Sayangnya, ketidakmampuan pemerintah dalam
mengelolanya menjadikan bangsa ini senantiasa menjadi bangsa yang
terbelakang dan terpuruk dalam kemiskinan turun temurun.
Pembandingan antara sekolah PN Timah dengan segala fasilitas yang
memadai di zamannya dengan sekolah SDN Muhammadiyah Gintong yang
terbatas merupakan gambaran nyata bahwa siswa-siswa yang dididik dengan
fasilitas yang lebih baik menjamin akan memiliki kemampuan yang lebih
pula. Bila dalam film tersebut tokoh Lintang menjadi siswa yang
dibandingkan, maka dalam dunia nyata, mari lihat siswa-siswa yang berasal
dari sekolah-sekolah di desa dengan fasilitas yang terbatas, banyak yang
mampu menghasilkan karya-karya inovatifnya dalam bidang sains dan
teknologi.
8. Demikian pula dengan pendidikan agama yang diterapkan begitu
ketat di sekolah Muhammadiyah Gintong. Penerapan kaidah agama seperti
itu pada saat ini sangat dibutuhkan oleh para siswa di masa perkembangan
mereka. Siswa-siswa yang kurang mendapat pendidikan agama baik di
sekolah maupun di rumah akan tumbuh sebagai manusia yang rapuh dan
mudah terpengaruh. Dalam berita-berita di televisi maupun di sura kabar,
saat ini banyak siswa atau pelajar-pelajar sudah berani melakukan tindak
kriminal. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya didikan agama yang
dibekalkan kepada mereka sehingga mereka tidak terkontrol. Sementara
fungsi agama adalah sebagai kontrol diri dan benteng pengendalian diri dari
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Tuhan.
Tokoh Pak Harpan yang mengabdi di SDN Muhammadiyah hingga
akhir hayatnya dan tokoh Ibu Muslimah yang tak menyerah dengan segala
halangan dan rintangan dalam mempertahankan sekolah SDN
Muhammadiyah merupakan suatu gambaran idealisme manusia yang masih
kokoh dengan pengabdiannya sebagai guru. Sosok kedua tokoh dalam film
tersebut menunjukkan betapa tingginya cita-cita para pendidik demi anak-
anak didiknya. Penghasilan yang tidak memadai dan adanya tawaran-
tawaran yang menggiurkan yang diberikan tak menjadikan kedua tokoh
tersebut berpaling dari niat awal mereka. Kekokohan hati Ibu Muslimah dan
Pak Harpan pada saat ini merupakan sebuah pemandangan yang akan sulit
ditemukan. Namun demikian, bukan berarti tidak ada. Meskipun saat ini,
dunia pendidikan tak lagi murni menjadi dunia pengabdian bagi para guru,
meskipun idealisme-idealisme tersebut telah banyak terkikis, sosok-sosok
seperti Ibu Muslimah dan Pak Harpan masih bisa dijumpai.
Sementara tokoh Pak Bakri sebagai rekan Ibu Muslimah dan Pak
Harpan yang memilih meninggalkan sekolah Muhammadiyah dan mengajar
di tempat lain yang lebih menjanjikan secara materi merupakan gambaran
sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini. Materi dan jaminan kehidupan
menjadi landasan utama bagi banyak orang untuk bekerja. Secara manusiawi,
kondisi tersebut tentu sangat wajar dengan tuntutan kehidupan di saat ini.
9. Siswa-siswa di SDN Muhammadiyah yang memiliki perbedaan
kecerdasan, merupakan gambaran yang sesuai dengan teori kecerdasan
jamak yang dikemukakan oleh Howard Gardner. Ibu Muslimah sebagai guru,
menunjukkan perhatiannya terhadap kecerdasan masing-masing siswanya
sehingga tokoh Ibu Muslimah memberikan ruang bagi para siswa untuk
mengembangkan kecerdasan mereka. Untuk saat ini, metode pembelajaran
berbasis kecerdasan jamak pun sudah banyak dikembangkan di Indonesia,
sehingga siswa-siswa dapat memiliki kesempatan untuk mengembangkan
bakatnya masing-masing.
Gambaran seorang Lintang yang tidak dapat melanjutkan sekolah
karena harus menjadi pengganti orang tua yang mencari nafkah bagi adik-
adiknya merupakan gambaran perjuangan seorang anak yang memang tegar
dan kuat. Pada saat ini, kondisi tersebut banyak juga terjadi pada anak-anak
miskin di Indonesia yang harus menggantikan orang tuanya yang telah tiada
atau orang tuanya yang tidak memiliki penghasilan yang mencukupi untuk
membiayai kehidupan keluarganya. Namun demikian, Lintang tak
kehilangan mimpinya. Meskipun dia tidak sempat menyelesaikan
pendidikannya, dia tetap bermimpi untuk memberikan kesempatan pada
anak-anaknya mencapai impiannya. Demikian pula dengan para orang tua
yang ada di masyarakat kita saat ini. Impian para orang tua yang tak tercapai,
kadang banyak dibebankan kepada anak-anak mereka untuk
mewujudkannya.
Terakhir adalah tokoh Ikal sebagai tokoh aku yang kembali ke
kampung halaman untuk menmui sahabatnya dan mengatakan bahwa
dirinya akan pergi ke Paris untuk mengejar mimpi di masa kanak-kanaknya.
Melalui tokoh Ikal, dapat dilihat bahwa mimpi masa kanak-kanak ada
kalanya bahkan banyak menjadi impian indah yang terwujud di masa
dewasa.
C. Kesimpulan dan Saran
10. Berdasarkan pengkajian di atas dapat disimpulkan bahwa penulis sebagai
penonton film Laskar Pelangi memberikan respons atau reaksi penerimaan
setelah menonton film Laskar Pelangi. Bagi penulis, film Laskar Pelangi
merupakan gambaran yang masih sama dengan kondisi kehidupan saat ini.
Baik dari situasi sosial masyarakat maupun dari segi budaya. Kisah yang
disajikan dalam film Laskar Pelangi adalah penggambaran yang masih dapat
ditemukan hingga saat ini. Dengan demikian, film Laskar Pelangi dapat
dijadikan sebagai cermin yang dapat menjadi alat untuk semua orang
bercermin tentang kehidupan dan pencarian solusi untuk mengatasi segala
keadaan yang dirasa perlu diperbaiki. Selain itu, film ini dapat juga dijadikan
kritik bagi idealisme-idealisme manusia yang mulai terkikis untuk mengabdi
sebagai para pendidik.
Daftar Pustaka
Hirata, Andrea. 2008. Laskar Pelangi. Jakarta: Bentang.
Luxemburg, Jan Van. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta:PT Gramedia.
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Wellek, Rene dan Austin Waren. 1995. Teori Kesusasteraan. Diterjemahkan oleh
Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.