1. Perencanaan kebutuhan obat untuk pelayanan kesehatan dasar disusun secara terpadu berdasarkan sistem bottom up dan mempertimbangkan pola konsumsi serta epidemiologi.
2. Pengadaan obat dilakukan secara elektronik melalui e-catalog untuk mencapai efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas.
3. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bertanggung jawab atas perencanaan, pendistribusian, dan jaminan
2. Pendahuluan
Ketersediaan Obat yang Mendukung Sistem Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN)
Kemandirian Obat Nasional
Manajemen Obat di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
Peningkatan Pelayanan Kefarmasian
Kajian kebijakan tentang informasi dan pelayanan obat
yang mendukung pengobatan sendiri di masyarakat
Standar Pembiayaan Pelayanan Kesehatan BPJS
3. Akses masyarakat terhadap obat erat
hubungannya dengan kebijakan harga obat.
Kebijakan harga obat di Indonesia sampai saat ini
masih mengacu kepada mekanisme pasar
Perbandingan harga antara satu nama dagang
dengan nama dagang yang lain untuk obat yang
sama, berkisar 1 : 2 sampai 1 : 5
“struktur harga obat tidak transparan”
Akses masyarakat terhadap obat berkaitan dengan
pelayanan kuratif, yang bertujuan untuk
mengobati dan mengurangi tingkat kesakitan
4. Akses obat esensial bagi masyarakat secara garis
besar dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu
penggunaan obat yang rasional penetapan
obat esensial
harga yang terjangkau kemandirian obat
nasional
pendanaan yang berkelanjutan, dan
sistem kesehatan serta sistem penyediaan obat
yang dapat diandalkan JKN
5. Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016
Dalam mewujudkan kemandirian dan meningkatkan daya saing industri
farmasi dan alat kesehatan dalam
negeri melalui percepatan pengembangan industri farmasi dan alat
kesehatan, dengan ini menginstruksikan:
Kepada:
1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;
2. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan;
3. Menteri Kesehatan;
4. Menteri Keuangan;
5. Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi;
6. Menteri Perindustrian;
7. Menteri Perdagangan;
8. Menteri Pertanian;
9. Menteri Badan Usaha Milik Negara;
10. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal;
11. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan; dan
12. Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
6. menyusun dan menetapkan rencana aksi pengembangan industri farmasi
dan alat kesehatan;
memfasilitasi pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan terutama
pengembangan ke arah biopharmaceutical, vaksin, natural, dan Active
Pharmaceutical Ingredients (API) kimia;
mendorong dan mengembangkan penyelenggaraan riset dan
pengembangan sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam rangka
kemandirian industri farmasi dan alat kesehatan;
memprioritaskan penggunaan produk sediaan farmasi dan alat kesehatan
dalam negeri melalui e-tendering dan e-purchasing berbasis e-catalogue;
mengembangkan sistem data dan informasi secara terintegrasi yang
berkaitan dengan kebutuhan, produksi dan distribusi sediaan farmasi dan
alat kesehatan, pelayanan kesehatan serta industri farmasi dan alat
kesehatan;
menyederhanakan sistem dan proses perizinan dalam pengembangan
industri farmasi dan alat kesehatan; dan
melakukan koordinasi dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan untuk meningkatkan kapasitas BPJS sebagai payer dan
memperluas kontrak dengan fasilitas pelayanan kesehatan sesuai
kebutuhan
7. memfasilitasi pengembangan obat dalam rangka
mendukung akses dan ketersediaan obat untuk
masyarakat sebagai upaya peningkatan pelayanan
kesehatan dalam rangka Jaminan Kesehatan
Nasional;
mendukung investasi pada sektor industri farmasi
dan alat kesehatan melalui fasilitasi dalam proses
sertifikasi fasilitas produksi dan penilaian atau
evaluasi obat; dan
mendorong pelaku usaha untuk meningkatkan
kepatuhan terhadap regulasi dan standar dalam
rangka menjamin keamanan, mutu dan khasiat serta
peningkatan daya saing industri farmasi.
8. Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2015 tentang perubahan keempat atas Peraturan
Presiden no. 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa Pemerintah.
Pemilihan pengadaan obat dilakukan melalui pembelian secara epurchasing
dengan sistem e-catalgue. Prinsip pemilihan penyedia barang/jasa secara
elektronik bertujuan untuk efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing,
adil/tidak diskriminatif dan akuntabel.
Pengadaaan Obat dibawah tanggung jawab Seksi Kefarmasian, Alkes dan PKRT --
> perencanaan obat dan pemilihan kebutuhan obat menggunakan metode
konsumsi didasarkan pada obat generik yang tercantum dalam DOEN dan Fornas.
Pembelian obat secara elektronik (E-Purchasing) berdasarkan sistem Katalog
Elektronik (E-Catalogue) obat dilaksanakan oleh Pejabat Pembuat Komitmen
(PPK) dan Kelompok Kerja (Pokja) Unit Layanan Pengadaan (ULP) atau Pejabat
Pengadaan melalui aplikasi E-Purchasing pada website Layanan Pengadaan Secara
Elektronik (LPSE), sesuai Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah No. 14 Tahun 2015 tentang E-Purchasing. Untuk dapat
menggunakan aplikasi E-Purchasing, PPK dan Pokja ULP atau Pejabat Pengadaan
harus memiliki kode akses (user ID dan password) dengan cara melakukan
pendaftaran sebagai pengguna kepada LPSE setempat.
9.
10. 1. Perencanaan kebutuhan obat untuk pelayanan kesehatan dasar disusun oleh tim
perencanaan obat terpadu berdasarkan system“bottom up”
2. Perhitungan rencana kebutuhan obat untuk satu tahun anggaran disusun dengan
menggunakan pola konsumsi dan atau epidemiologi
3. Mengkoordinasikan perencanaan kebutuhan obat dari beberapa sumber dana, agar
jenis dan jumlah obat yang disediakan sesuai dengan kebutuhan dan tidak tumpang
tindih
4. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mengajukan rencana kebutuhan obat
kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, Pusat, Provinsi dan sumber lainnya.
5. Melakukan Pelatihan Petugas Pengelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan untuk
Puskesmas
6. Melakukan Bimbingan Teknis, Monitoring dan Evaluasi Ketersediaan Obat Publik dan
Perbekalan Kesehatan ke Puskesmas
7. Melaksanakan Advokasi Penyediaan Anggaran Kepada Pemerintah Kabupaten/Kota
8. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bertanggungjawab terhadap pendistribusian obat
kepada unit pelayanan kesehatan dasar
9. Dinas Kesehatan Kab/Kota bertanggungjawab terhadap penanganan obat dan
perbekalan kesehatan yang rusak dan kadaluwarsa
10. Dinas Kesehatan Kab/Kota bertanggungjawab terhadap jaminan mutu obat yang ada
di UPOPPK dan UPK.
11. Perencanaan Pengadaan
• hindari duplikasi dan kesamaan jenis
• analisis data konsumsi obat tahun
sebelumnya
Pemilihan pengadaan obat dilakukan
melalui pembelian secara epurchasing
dengan sistem e-catalgue. Prinsip
pemilihan penyedia barang/jasa secara
elektronik bertujuan untuk efisien,
efektif, transparan, terbuka, bersaing,
adil/tidak diskriminatif dan akuntabel.
Penyimpanan Pendistribusian
1. Mempertahankan mutu obat dari
kerusakan akibat penyimpanan yang
tidak baik
2. Mempermudah pencarian di
gudang/kamar penyimpanan
3. Mencegah kehilangan
4. Mempermudah stok opname dan
pengawasan
5. Mencegah bahaya penyimpanan
yang salah
• Terlaksananya pengiriman obat secara
merata dan teratur sehingga dapat
diperoleh pada saat dibutuhkan.
• Terjaminnya mutu obat dan
perbekalan kesehatan pada saat
pendistribusian
• Terjaminnya kecukupan dan
terpeliharanya penggunaan obat di
unit pelayanan kesehatan.
• Terlaksananya pemerataan kecukupan
obat sesuai kebutuhan pelayanan dan
program kesehatan
12. Melaksanakan Pembekalan Edukasi Gerakan
Masyarakat Cerdas menggunakan Obat (Gema
Cermat) di Kabupaten/kota
Pengunaan Obat Rasional Dalam Rangka
Gerakan Cerdas Menggunakan Obat (Gema
Cermat) untuk meningkatkan pemahaman
stakeholder tentang teknis pelaksanaan kegiatan
GeMa CerMat. Dengan demikian diharapkan
setiap pemangku kepentingan dapat ikut serta
melaksanakan GeMa CerMat.
13. Pembekalan Tenaga Kefarmasian dalam
Melaksanakan Pelayanan Kefarmasian Sesuai
Standard an Penggunaan Obat Rasional di
Apotek
- Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 Tahun
2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek
- Permenkes No. 9 tahun 2017 tentang Apotek.
Sedangkan ketentuan mengenai perizinan dan
penyelenggaraan Toko Obat
Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1331/MENKES/SK/X/2002
14. Salah satu bentuk pelayanan yang perlu
dipantau yaitu Pemberian Informasi Obat
(PIO) oleh Apoteker di Apotek yang
memungkinkan masyarakat menerima
informasi obat yang benar dan lengkap
sehingga dapat mencapai penggunaan obat
yang rasional.
15. Pengobatan sendiri dapat diartikan sebagai
penggunaan obat untuk menangulangi keluhan
sakit tanpa nasihat atau resep dokter.
Keuntungan pengobatan sendiri antara lain
adalah aman apabila digunakan secara rasional,
efektif untuk menghilangkan keluhan, hemat
biaya, hemat waktu, kepuasan diri ikut berperan
dalam pengambilan keputusan pengobatan, dan
mengurangi angka kunjungan ke sarana
pelayanan kesehatan
16. Aspek kebijakan merujuk pada Undang-
Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan yang menyatakan bahwa setiap
orang berhak secara mandiri dan
bertanggungjawab menentukan sendiri
pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi
dirinya
17. Pengobatan sendiri disebut rasional apabila
mencakup empat kriteria berikut
tepat golongan, yaitu menggunakan golongan
obat bebas atau obat bebas terbatas
tepat obat, yaitu menggunakan kelas terapi
obat yang sesuai dengan keluhannya
tepat dosis, yaitu menggunakan dosis obat
yang sesuai dengan aturan pakai
tepat lama pengobatan
18. Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009
Setiap orang berhak secara mandiri dan
bertanggung jawab menentukan sendiri
pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi
dirinya “pengobatan sendiri
19. Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan RI
No. 919/Menkes/Per/ X/1993 tentang Kriteria
Obat yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep
Menimbang: bahwa peningkatan pengobatan
sendiri secara tepat, aman dan rasional dapat
dicapai melalui peningkatan penyediaan obat
yang dibutuhkan untuk pengobatan sendiri
yang sekaligus menjamin penggunaan obat
yang secara tepat, aman dan rasional”.
“bahwa oleh karena itu perlu ditetapkan
kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa
resep dengan Peraturan Menteri Kesehatan
20. PERATURAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN
2014 TENTANG STANDAR TARIF
PELAYANAN KESEHATAN DALAM
PENYELENGGARAAN PROGRAM
JAMINAN KESEHATAN
Pasal 6 ayat (6)
Harga Obat Program Rujuk Balik yang
ditagihkan kepada BPJS Kesehatan mengacu
pada harga dasar obat sesuai E-Catalogue
ditambah biaya pelayanan kefarmasian
21. Pasal 1
1. Tarif Kapitasi adalah besaran pembayaran per-bulan yang
dibayar dimuka oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa
memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang
diberikan.
2. Tarif Non Kapitasi adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS
Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
berdasarkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang
diberikan.
3. Tarif Indonesian - Case Based Groups yang selanjutnya disebut
Tarif INA-CBG’s adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS
Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan
atas paket layanan yang didasarkan kepada pengelompokan
diagnosis penyakit dan prosedur.
22. Departement of Health RI. (2006). Kebijakan Obat Nasional (National
Drug Policy).
Instruksi Presiden. (2016). Instruksi Presiden Nomor 16 Tahun 2006.
Kementrian PPN/Bappenas. (2020). Bedah Anggaran Kesehatan.
Raharni, R., Supardi, S., & Sari, I. D. (2018). Kemandirian dan
Ketersediaan Obat Era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN):
Kebijakan, Harga, dan Produksi Obat. Media Penelitian Dan
Pengembangan Kesehatan, 28(4), 219–228.
https://doi.org/10.22435/mpk.v28i4.269
Siahaan, S. (2012). Kebijakan Harga Obat Di Indonesia Dan
Perbandingannya Dengan Negara-Negara Lain. Buletin Penelitian
Sistem Kesehatan, 12(3). https://doi.org/10.22435/bpsk.v12i3
https://setkab.go.id/kebijakan-pemerintah-dalam-rangka-
menciptakan-obat-murah-dan-berkualitas-instruksi-presiden-
nomor-6-tahun-2016/
23. WHO. The Role of the pharmacist in selfcare and self-medication.
Geneva: World Health Organization; 2001.
Holt GA, Edwin LHl. The pros and cons of selfmedication. Journal of
Pharmacy Technology. 1986 September/October;213-218.
Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan. Jakarta; 2009.
Irish Pharmaceutial Healthcare Association. A Policy on Self-Medication
and Switching. Tersedia pada : https://www.ipha.ie/
Bradley C. Blenkinsopp A. Over the counter drugs: the future for self
medication. BMJ. 1996 Mar 30;312(7034):835-7.
World Self-Medication Industry (WSMI). Guiding principles in self-
medication. Tersedia pada : www.wsmi.org.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Kompendia obat bebas.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan; 1996.
Supardi S, Raharni. Penggunaan obat yang sesuai dengan aturan dalam
pengobatan sendiri keluhan demam-sakit kepala, batuk dan flu (hasil
analisis lanjut data SKRT 2001). J. Kedokteran YARSI. 2006;14(1):61-69.
24. Supardi S, Herman MJ, Susyanty AL. Pengobatan sendiri pada pasien
rawat jalan puskesmas di delapan kabupaten. Buletin Penelitian
Kesehatan. 2009;37(2):92-101.
Supardi S, Herman MJ, Raharni. Karakteristik penduduk sakit yang
memilih pengobatan rumah tangga di Indonesia (analisis Riskesdas 2007).
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 2010;13(1):163-168.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes Republik
Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013. Jakarta:
Kementerian Kesehatan; 2013.
Supardi S, Jamal S, Herman MJ. Peran warung dalam penyediaan obat
dan obat tradisional untuk pengobatan sendiri di kecamatan tanjung
bintang lampung selatan. Buletin Penelitian Kesehatan. 2000;27(2):254-
261.
Notoatmodjo. Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta: Rineka
Cipta; 2007.
Republik Indonesia. Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia. Nomor 919/ Menkes/Per/X/1993
tentang Kriteria Obat yang Dapat Diserahkan Tanpa resep. Jakarta :
Kementerian Kesehatan; 1993.