2. PENDAHULUAN
Pengelolaan obat merupakan salah satu segi manajemen rumah sakit yang
sangat penting dalam penyediaan pelayanan kesehatan secara keseluruhan,
karena ketidakefisienan dan ketidaklancaran pengelolaan obat akan memberi
dampak negatif terhadap rumah sakit, baik secara medik, sosial maupun secara
ekonomi.
Instalasi farmasi rumah sakit adalah unit di rumah sakit yang bertugas dan
bertanggung jawab sepenuhnya pada pengelolaan semua aspek yang berkaitan
dengan obat/perbekalan kesehatan yang beredar dan digunakan di rumah sakit
2
Siregar, C.J.P., dan Amalia, L., 2004, Farmasi Rumah Sakit: Teori dan Penerapan,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
3. DASAR HUKUM
UU RI No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Pasal 15 ayat 3 menyebutkan
bahwa pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan habis pakai di
Rumah Sakit harus dilakukan oleh instalasi farmasi sistem satu pintu.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 068/Menkes/Per/I/2010
Bab II Pasal 5, Instalasi Farmasi Rumah Sakit berkewajiban mengelola obat rumah
sakit secara berdaya guna dan berhasil guna serta membuat prosedur
perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, dan pemantauan obat
yang digunakan rumah sakit
3
4. KASUS
Sebuah Rumah Sakit (RS) Swasta kelas C dengan jumlah tempat tidur 70 buah, BOR 75% dan pasien
rawat jalan per hari 150 pasien. Tingkat keterjaringan resep 80%. RS ini memiliki IFRS, dengan 2
Apoteker dan 5 tenaga teknis kefarmasian. Pengelolaan obat di IFRS ini sudah dilakukan analisis,
yang hasilnya sebagai berikut:
1. Tahap Seleksi: kesesuaian item obat dengan DOEN 11,46%
2.Tahap Pengadaan:
a) Persentasi dana yang tersedia untuk pengadaan obat 75,37%,
b) Anggaran obat untuk seluruh anggaran RS 30,38%,
c) Jumlah item obat yang dipakai dibandingkan yang direncanakan 102,91%.
d) Frekuensi pengadaan obat 9,25 kali dalam setahun, dianalisis dengan EOQ 12,57 kali.
e) Frekuensi kesalahan faktur/ketidakcocokan faktur 0,36%.
f) Rata-rata tertundanya pembayaran 6 hari
4
5. KASUS
3.Tahap Distribusi:
a) Kecocokan antara obat dan kartu stok 43,71%
b) ITOR (InventoryTurn Over Ratio) 13,76 kali/tahun
c) Nilai obat yang kadaluwarsa dan rusak 0,25%
d) Persentasi obat yang mati 3,13%
4.Tahap Penggunaan:
a) Rata-rata waktu untuk melayani resep 24,15 menit (racikan) dan 19,54 (non racikan)
b) Persentasi resep obat dengan generik 12,06%
c) Presentasi obat yang tidak dilayani 2,0% untuk rawat inap, rawat jalan 1,22%
d) Jumlah item obat per lembar resep untuk rawat inap dan 4,3 item untuk rawat jalan.
e) Persentase kesesuaian dengan formularium RS 86,6%
5
6. KASUS
Dari uraian hasil analisis pengelolaan obat di atas, jawablah pertanyaan di bawah ini:
1. Jelaskan permasalahan pengelolaan obat di IFRS di atas!
2. Upaya apa yang harus dilakukan IFRS untuk meningkatkan keterjaringan pasien?
3. Faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja IFRS di atas?
4. Bagaimana pengendalian obat yang harus diterapkan di IFRS?
5. Bagaimana kinerja pengelolaan obat pada masing-masing tahap IFRS di atas?
6. Bagaimana upaya perbaikan yang akan anda lakukan untuk IFRS di atas?
6
7. PEMBAHASAN
1. Permasalahan pengelolaan obat di IFRS tersebut adalah:
- Kesesuaian item obat dengan DOEN 11,46% berarti banyak obat-obat esensial yang
tidak disediakan oleh IFRS tersebut, padahal DOEN merupakan acuan dalam
membuat formularium RS.
- Persentase dana yang tersedia untuk pengadaan obat 75,37% sehingga pengadaan
obat belum optimal.
- Item obat yang dipakai lebih besar dari yang direncanakan artinya banyak obat yang
di luar formularium diresepkan sehingga jumlah item obat menjadi lebih banyak.
7
8. PEMBAHASAN
- Adanya masalah penggunaan dana, ditunjukkan dengan tertundanya pembayaran yang rata-rata
6 hari.
- Frekuensi pengadaan obat 9,25 kali dalam setahun, dianalisis dengan EOQ 12,57 kali berarti ada
dua kemungkinan, kemungkinan pertama IFRS tersebut melakukan order dalam jumlah banyak
sehingga persediaan yang seharusnya diorder 12 kali tetapi diorder dalam 9 kali sehingga
meningkatkan biaya inventory, kemungkinan kedua adalah terjadi keterlambatan order, harusnya
sudah order sebanyak 12 kali masih order sebanyak 9 kali sehingga kemungkinan banyaknya obat
yang tidak tersedia besar.
8
9. PEMBAHASAN
- Kecocokan antara obat dan kartu stok 43,71%, berarti banyak pemasukan maupun pengeluaran
obat yang tidak tercatat, sehingga kemungkinan obat hilang besar. Di samping itu,
ketidakcocokan antara obat dan kartu stok dapat mempengaruhi pengadaan yang akan berakibat
pada terjadinya kekosongan atau menumpuknya obat tertentu. Terlihat dari jumlah obat yang
kadaluarsa 0,25% dan obat yang mati 3,13%
- Persentase kesesuaian dengan formularium RS 86,6%, seharusnya kesesuaian resep dengan
formularium adalah 100%. Ketidak sesuaian dengan formularium akan berhubungan dengan
masalah ketersediaan obat dan penggunaan obat yang tersedia. Ketika peresepan tidak sesuai
formularium kemungkinan obat yang diresepkan tidak tersedia di IFRS, di lain pihak obat yang
tersedia di IFRS tidak diresepkan sehingga terjadi penumpukan obat tertentu atau bahkan obat
mati yang pada akhirnya meningkatkan jumlah obat yang kadaluarsa.
9
10. PEMBAHASAN
2. Upaya yang harus dilakukan IFRS untuk meningkatkan keterjaringan pasien
- Menerapkan sistem pelayanan satu pintu
- Menerapkan e-prescribing
- Lokasi IFRS mendekati pelayanan medik seperti Instalasi Rawat Jalan dan Instalasi Rawat Inap
3. Faktor yang mempengaruhi kinerja IFRS:
- Ketersediaan dana untuk pengadaan obat.
- Letak lokasi IFRS di RS tersebut apakah mendekati pusat pelayanan medik sehingga mudah terjangkau oleh
pasien.
- Sumber Daya Manusia, apakah jumlah apoteker dan tenaga teknis kefarmasian lain cukup untuk melayani
seluruh pasien sehingga tidak over load, apakah mereka merasakan kepuasan kerja.
- Sistem Informasi Manajemen (SIM), dengan adanya SIM masalah pengelolaan obat berkaitan dengan
ketersediaan obat, stok, obat kadaluarsa, dan obat mati dapat segera diketahui sehingga dapat segera diatasi
atau diminimalkan.
10
11. PEMBAHASAN
4. Pengendalian obat yang harus diterapkan di IFRS
- Ketersediaan obat dalam jumlah cukup
- Inventory, jangan sampai berlebih
- Tidak ada obat kadaluarsa
- Tidak ada obat mati
11
17. KESIMPULAN
1. Membentuk PFT untuk menyusun formularium dan fungsi PFT didalam memilih obat
yang memenuhi standar efficacy, safety serta berbagai kriteria dalam seleksi obat.
Selain itu pemberdayaan PFT dalam rangka evaluasi dan monitoring terhadap
pengelolaan dan penggunaan obat.
2. Perlu adanya SIM berbasis di dalam mengawasi dan menjamin kualitas obat dan kondisi
stock sehingga terhindar dari kerusakan, kehilangan, kekurangan dan kelebihan. SIM
juga dapat berguna untuk menyediakan jumlah persediaan, data persediaan sehingga
dapat memberikan masukan berbasis data kepada manajemen untuk melibatkan IFRS
dalam proses pengadaan sehingga proses pengadaan obat menjadi bagian integral.
17
18. KESIMPULAN
3. Rumah Sakit harus merealisasikan anggaran pengadaan obat sesuai
dengan perencanaan agar ketersediaan obat dapat berjalan optimal.
4. Menggunakan data sisa persediaan tahun lalu dan data penggunaan
periode yang lalu sebagai dasar perencanaan.
5. Pemantauan dan pengawasan terhadap stock setiap bulan agar dapat
diketahui adanya obat yang merupakan stock mati dan obat-obat yang
mendekati tanggal kadaluwarsa.
6. Melakukan perencanaan obat dengan selektif yang mengacu pada
prinsip efektif, aman, ekonomis dan rasional dan diadakan koreksi
dengan metode ABCVEN. Akan lebih baik jika dapat dikombinasi
dengan menggunakan data 10 penyakit teratas di dalam proses seleksi
dan perencanaan.
7. Mengadakan/mengikutsertakan tenaga instalasi farmasi di dalam
kegiatan pelatihan mengenai inventory control management.
18
19. KESIMPULAN
8. Melakukan kebijakan sistem penerapan satu pintu disertai dengan sarana dan
prasarana serta SDM yang menunjang serta mengevaluasi dan melakukan sistem
perencanaan dan pengadaan obat dengan selektif disesuaikan dengan kebutuhan
rumah sakit serta mengacu pada prinsip efektif, aman, ekonomis dan rasional.
9. Melakukan koordinasi rutin kepada supplier atau distributor dan bekerjasama dengan
beberapa apotek di luar rumah sakit di dalam penyediaan obat-obatan cito. Pemilihan
supplier harus dilakukan secara selektif (pabrikan, distributor) yang memenuhi aspek
mutu produk yang terjamin, aspek legal dan harga yang sesuai.
10. Peran PIO dalam memberikan informasi obat sehingga peresepan obat lebih rasional,
efektif dan efisien.
11. Menetapkan SOP dan waktu pengadaan dengan berbagai kondisi (pembelian langsung,
kontrak, dan tender).
19
20. DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI., 2002, Pedoman Supervisi Dan Evaluasi Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan, Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. 8-15
Depkes RI., 2010, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
340/MENKES/PER/III/2010 Tentang Klasifikasi Rumah Sakit, Kementrian
Kesehatan RI., Jakarta.
Depkes, 2009, Undang - Undang No. 44 tentang Rumah Sakit, Departemen
Kesehatan RI, Jakarta.
Fakhriadi, A., Marchaban, Pudjaningsih, D., 2011, Analisis Pengelolaan Obat
Di Instalasi Farmasi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Temanggung Tahun
2006, 2007 Dan 2008, Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi, Vol. 1 No.
2 / Juni 2011, Fakultas Farmasi UGM,Yogyakarta.
20
21. DAFTAR PUSTAKA
Lilihata R.N., 2011, Analisis Manajemen Obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum
Daerah Masohi Kabupaten Maluku Tengah (Tesis). Jogjakarta : Fakultas Farmasi.
Universitas Gadjah Mada
Siregar, C.J.P., dan Amalia, L., 2004, Farmasi Rumah Sakit: Teori dan Penerapan, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Siregar,C.J.P., dan Amalia, L., 2003, Farmasi Rumah Sakit, Teori dan Penerapan, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
WHO, 1993., How to Investigate Drug Use in Health Facillities, Selected Drug Use Indicator,
Action Program on Essential Drug,WHO, Geneve
21