adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
PERENCANAAN PENDIDIKAN BERBASIS SEKOLAH
1. Bab I
Pendahuluan
Segala sesuatu dalam kehidupan ini mesti
direncanakan. Apa lagi kelembagaan seperti
sekolah, haruslah direncanakan sebelum
melakukan aktivitasnya. Sebagai sebuah institusi,
lembaga atau organisasi, sekolah haruslah
direncanakan oleh manajernya, dalam hal ini adalah kepala sekolah. Dengan
demikian, segala kegiatan yang dilaksanakan di sekolah tersebut, tidak bisa lepas
dan perencanaan. Di era otonomi daerah, desentralisasi pengelolaan pendidikan
dan school based management seperti sekarang, manajer pendidikan harus bahu
membahu dengan komite sekolah dan stake holders guna merumuskan rencana
pendidikan di sekolah.
Perencanaan sekolah adalah proses merumuskan terlebih dahulu terhadap
segala sesuatu yang dilakukan sekolah di masa yang akan datang. Perencanaan
menduduki posisi strategis dan senantiasa ditanyakan oleh seseorang kepada
orang lain sebelum yang bersangkutan menjabat sebagai pemimpin atau manajer.
Visi ke depan seorang calon pemimpin atau manajer, antara lain dapat dilihat dari
program yang telah dipunyai.
Maka sekolah yang baik haruslah mempunyai program yang baik.
Tingkatan kualitas dan keunggulan suatu sekolah, antara lain dapat dilihat dari
seberapa baik perencanaan yang dimilikinya. Pada era otonomi daerah seperti
sekarang, perencanaan pendidikan yang patut dipilih adalah perencanaan
pendidikan berbasis sekolah.
2. Bab II
Pembahasan
A. Konsep Perencanaan Pendidikan Berbasis Sekolah
Pendidikan adalah suatu proses sosialisasi bagi seseorang untuk memperolah
kemampuan fisik, moral dan sosial yang dituntut daripadanya oleh kelompok tempat
ia dilahirkan dan harus berfungsi. Jika ingin merubah kualitas kehidupan suatu bangsa
maka pendidikan adalah kunci dasar dari segalanya. Tidak ada yang dapat berubah,
jika menginginkan perubahan ke arah perbaikan mulailah dari pendidikan
karena pendidikan adalah tangga untuk dapat melakukan mobilitas sosial.
Artinya, melalui pendidikan seseorang dapat memperbaiki kualitas
kehidupannya. Proses pendidikan merupakan suatu proses yang bertujuan. Disana
terjadi proses membuat peserta didik dari yang tidak tahu menjadi tahu, dan dari yang
tidak bisa menjadi bisa, dari yang tidak mampu menjadi mampu. Proses itu harus
terarah, sistematis dan berkesinambungan.
Oleh karenanya pendidikan yang berkualitas harus melalui serangkaian
perencanaan yang yang berkesinambungan dan adaptif karena perubahan dan
kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi terus berkembang diikuti dengan
banyaknya tantangan permasalahan yang ditimbulkan oleh peran sosial , ekonomi,
bahkan politik. Perencanaan mempunyai banyak definisi, secara sederhana
perencanan dapat dijelaskan sebagai suatu proses mempersiapkan hal-hal yang akana
dikerjakan pada waktu yang akan datang untuk mencapai tujuan yang sudah
ditetapkan terlebih dahulu (Enoch, 1992). Menurut Conyers & Hills dalam Arsyad
(1999) perencanaan adalah suatu proses yang berkesinambungan yang mencakup
keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan berbagai alternatif penggunaan sumberdaya
untuk mencapai tujuan tertentu pada masa yang akan datang. Friedman dalam
Glasson (1974) menyatakan bahwa perencanaan adalah cara berfikir mengatasi
permasalahan sosial dan ekonomi, untuk menghasilkan sesuatu dimasa depan.
Sasaran yang dituju adalah keinginan kolektif dan mengusahakan keterpaduan dalam
kebijakan dan program. Pendidikan itu sendiri telah diamanatkan melalui
3. pembukaaan Undang – Undang Dasar 1945 yaitu untuk mencedaskan kehidupan
bangsa. Melalui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003
dikatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan nasional adalah
pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD RI tahun 1945 yang berakar pada
nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman.
Dengan menggaris bawahi kalimat usaha sadar dan terencana pada pasal 1 UU
No. 23 Tahun 2003 , jelas bahwa pendidikan harus direncanakan sehingga melalui
pendidikan yang direncanakan dengan baik akan dihasilkan kualitas lulusan yang
merupakan aset sumberdaya manusia yang tangguh sebagai bagian dari agen
pembangunan nasional. Perencanaan pendidikan itu sendiri akan terus mengikuti
perkembangan zaman serta serta tantangan kehidupan yang semakin kompetitif.
Perencanaan pendidikan itu sendiri tidak dapat berdiri sendiri tanpa dukungan sektor
lain, artinya secara komprehensip pendidikan direncanakan dengan melibatkan
berbagai disiplin ilmu dan berbagai macam aspek baik pemerintah, masyarakat atau
stakeholder lain misalnya dunia usaha dan dunia industri. Peran masing-masing dapat
secara langsung ataupun tidak.
B. Syarat-syarat Perencanaan Sekolah
Agar perencanaan sekolah dapat dilakukan dengan baik, ada bebarapa
persyaratan yang harus dipenuhi. Perencanaan sekolah tersbut harus :
1. Terarah pada pencapaian tertentu
2. Berangkat dari data
3. Dilakukan oleh orang-orang yang mampu membuat rencana
4. Melibatkan semua komponen sekolah
5. Jelas/realistis
6. Akomodatif/memungkinkan menampung perkembangan baru
7. Berorientasi pada masalah
4. C. Proses Perencanaan Pendidikan Berbasis Sekolah
Kepala sekolah adalah orang yang bertanggung jawab dalam perencanaan
pendidikan di sekolah. Sebagai manajer pendidikan di sekolah, ia harus
melaksanakan fungsi manajemen yang pertama, ialah merencanakan sekolah.
Oleh karena itu, baik atau kurang baiknya perencanaan di sekolah, banyak
ditentukan oleh kapabilitas Kepala Sekolah. Meskipun guru, komite sekolah dan
stake holder turut serta dalam proses perumusan, tetapi benar-benar bisa menjadi
rumusan yang baik atau tidak tetap bergantung kepada kepala sekolahnya.
Ada sejumlah langkah perencanaan pendidikan berbasis sekolah yang
harus dilakukan oleh Kepala Sekolah. Langkah-langkah tersebut meliputi:
forcasting, objectives, policy, procedure, programming, schedule dan budgeting.
1. Forcasting
Forcasting adalah membuat prakiraan dengan mengantisipasi ke depan.
Prakiraan tersebut didasarkan atas faktor-faktor organisasi pendidikan baik yang
bersifat kondisional maupun situasional. Dimensi waktu yang harus dilibatkan
ialah dimensi kelampauan, dimensi kekinian dan dimensi keakanan.
Berarti, masa lampau dan masa kini organisasi pendidikan, dengan segala
faktor kondisional dan situasionalnya, dikaji terlebih dahulu sebelum hal-hal yang
akan dilakukan tersebut dirumuskan. Dengan demikian, apa yang pada masa
lampau dan masa kini berhasil dapat diulangi dan bahkan ditingkatkan, sedangkan
yang gagal dapat dijadikan sebagai pelajaran. Dengan mengkaji masa lampau dan
masa kini organisasi pendidikan, hal-hal yang akan dilakukan tersebut dapat
dirumuskan secermat mungkin, dan ada kesinambungannya dengan apa yang
dilakukan pada masa lampau.
Faktor kondisional dan situasional organisasi pendidikan harus juga
dipertimbangkan dalam forcasting, karena apa-apa yang akan dilakukan tersebut,
tidak sekadar untuk kepentingan perumusan saja, melainkan nantinya untuk
dilaksanakan. Data tentang masa lampau sekolah (baik mengenai guru/pendidik,
peserta didik, sarana dan prasarana, dana, partisipasi masyarakat serta substansi
manajemen sekolah yang lain) haruslah digali. Demikian juga potensi-potensi
5. sekolah di masa sekarang, haruslah diketahui dengan jelas. Sedangkan prakiraan
ke depan dapat dipergunakan analisis regresi dan analisis kecenderungan. Analisis
regresi dan kecenderungan sangat bermanfaat untuk melakukan ramalan (estimasi,
prediksi) ke depan, berdasarkan data masa lalu dan data yang ada pada masa
sekarang ini.
Di era informasi seperti sekarang ini, beberapa data tentang faktor kondisional
dan situasional sekolah akan dengan mudah diakses oleh pihak-pihak yang
berkepentingan dengan pembesaran kelembagaan sekolah, manakala sekolah
tersebut mau memasukkan ke dalam sebuah Website. Dengan demikian, para
calon pelanggan pun akan dengan mudah mengetahui tentang keadaaan sekolah
yang sebenamya, yang diharapkan juga bisa memberikan kontribusi bagi
kebesaran kelembagaan sekolah.
2. Objectives
Objectives adalah perumusan tujuan. Berdasarkan perkiraan dengan antisipasi
ke depan sebagaimana pada langkah forcasting, barulah dapat dirumuskan tujuan-
tujuan yang hendak dicapai. Penggolongan tujuan tersebut bermacam-macam
sesuai dengan sudut kepentingan, lingkup/ cakupan dan tingkatan lembaga
pendidikan. Tujuan ini snatiasa harus dirumuskan, agar segala kegiatan yang akan
dilakukan tersebut betul-betul mengarah pada tujuan yang sama atau mengarah ke
arah yang sama
Dalam skala nasional, penggolongan tujuan tersebut menjadi: tujuan jangka
panjang dan tujuan jangka pendek. Di antara kedua tujuan tersebut dijembatani
dengan tujuan jangka menengah. Ada juga yang menggolongkan menjadi tujuan
akhir dan tujuan sernentara. Ada yang menggolongkan menjadi tujuan umum dan
tujuan khusus. Penggolongan tujuan ini terus berkembang, karena sekarang ini
juga muncul istilah tujuan utama dan tujuan sampingan, tujuan strategis dan
tujuan operasional atau taktis. Mana yang dipilih, tentu bergantung kepada sudut
kepentingan sekolah masing-masing. Yang jelas, di era otonomi sekolah dan
desentralisasi seperti sekarang, masing-masing sekolah makin mempunyai
kebebasan untuk mengekspresikan kekhasannya masing-masing, termasuk dalam
hal perumusan tujuannya.
3. Policy
6. Policy berarti kebijakan. Kebijakan di sini berarti mengidentifikasi berbagai
macam jenis kegiatan yang diperhitungkan dapat mencapai tujuan. Bisa terjadi,
satu tujuan mencakup satu kegiatan atau lebih. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan
yang diidentifikasi pada langkah ini diakumulasi sebanyak mungkin, dengan
maksud mendapatkan gambaran yang luas mengenai kegiatan yang dapat
dilaksanakan. Pelaku kegiatan tersebut bisa terdiri atas ketua yayasan, kepala
sekolah, guru, staf, peserta didik, pengurus dewan sekolah/majelis madrasah atau
komite sekolah. Yang pasti, kegiatan tersebut diperhitungkan dapat mencapai
tujuan sekolah.
Perlunya mengoleksi jenis kegiatan ini, selain akan memberikan banyak
pilihan pada langkah-langkah perencanaan berikutnya, juga sekaligus memberikan
peluang bagi cermatnya pilihan atas kegiatan yang diperhitungkan dapat mencapai
tujuan tersebut. Banyaknya kegiatan yang diidentifikasi, juga sekaligus akan dapat
mengakomodasi sebanyak mungkin para pelaksana kegiatan di sekolah tersebut.
lni sangat penting karena, jangan sampai di suatu sekolah terjadi vakum kegiatan.
4. Programming
Programming adalah seleksi atas kegiatan-kegiatan yang sudah dirumuskan
pada langkah policy. Kegiatan-kegiatan yang telah diidentifikasi perlu diseleksi,
agar dapat dicarikan jawaban atas pertanyaan berikut: (1) mengapa kegiatan-
kegiatan tersebut perlu dilakukan?, (2) apakah kegiatan tersebut memang benar-
benar perlu dilakukan, berdasarkan faktor kondisional dan situasional organisasi
atau lembaga pendidikan?
Suatu kegiatan, yang meskipun ideal serta berdampak positif bagi lembaga
pendidikan, bisa tidak dilaksanakan manakala faktor kondisional dan situasional
lembaga pendidikan tidak mendukung. Dengan perkataan lain, aktivitas
programming sesungguhnya bersubstansikan pemrograman terhadap berbagai
jenis kegiatan yang dinilai feasible. Feasibelitas di sini, selain dari aspek
ketenagaan, prasarana dan sarana, ketersediaan dana, dan bahkan dukungan
seluruh stoke holders sekolah. Ada semacam rationale choice, ketika menentukan
pilihan terhadap berbagai jenis kegiatan tersebut.
Selain itu aspek sustainabelitas (kebersambungan) juga perlu diperhitungkan.
Sebab, aktivitas pendidikan termasuk berjangka panjang. Kegiatan yang
7. bersinambung relatif lebih mempunyai makna dibandingkan dengan kegiatan
yang tidak ada kesinambungannya.
5. Procedure
Procedure adalah merumuskan langkah-langkah secara berurut. Oleh karena
itu, procedure juga bisa diartikan sebagai penentuan sekuen. Yang berarti bahwa
kegiatan-kegiatan yang telah diseleksi pada langkah programming tersebut
diurutkan, mana yang harus didahulukan dan mana yang harus dikemudiankan.
Dengan perkataan lain, seorang perencana direkomendasikan untuk menentukan
mana jenis kegiatan yang menjadi skala prioritas dan mana yang tidak menjadi
skala prioritas.
Ada beberapa sekuen yang dapat dipilih baik secara sendiri-sendiri maupun
secara kombinasi, ialah sekuen kronologis, sekuen kausal, sekuen struktural dan
sekuen logis. Yang dimaksud dengan sekuen kronologis adalah urutan kegiatan
yang memang secara kronologis tidak bisa dibolak-balik, karena berkenaan
dengan suatu peristiwa. Sekuen kausal adalah urutan yang menunjuk kepada
hubungan yang bersifat sebab akibat. Sekuen struktural adalah urutan yang
didasarkan atas struktur kegiatan. Di mana pun, termasuk di lembaga pendidikan,
pasti terdapat kegiatan yang mempunyai struktur atas banyak kegiatan. Dengan
demikian, ada kegiatan yang menjadi payungnya, dan ada kegiatan yang menjadi
sub atau elemennya. Sekuen logis adalah urutan kegiatan yang didasarkan atas
nalar. Bahwa satu kegiatan mesti harus diprioritaskan sementara kegiatan lain
tidak, bisa dengan menggunakan pertimbangan nalar. Pertimbangan membuat
skala prioritas antara lembaga pendidikan satu dengan lembaga pendidikan lain
tentulah tidak sama. Sebab, masing-masing lembaga pendidikan tersebut,
mempunyai karakteristik, kepentingan, faktor kondisional dan situasional yang
berbeda.
Pertimbangan dalam menentukan prioritas dilihat dari: tingkat kemendesakan
kegiatan tersebut, kemungkinan dampaknya bagi anggota organisasi pendidikan,
ada tidaknya pendukung baik berupa infra struktur maupun supra struktur
lembaga pendidikan. Jika langkah ini diimplementasikan pada sekolah-sekolah
kita, maka rumusan-rumusan kegiatan sekolah yang sudah terseleksi pada langkah
programming tadi diurutkan dari yang paling lebih dapat dilaksanakan sampai
8. yang paling kurang bisa dilaksanakan. Kegiatan yang lebih mendapatkan prioritas,
dirumuskan dulu; sementara kegiatan yang mendapatkan prioritas lebih kemudian,
dikemudiankan rumusannya.
6. Schedule
Schedule adalah penjadwalan terhadap kegiatan-kegiatan yang sudah
diprioritaskan sebagaimana pada langkah programming. Jadwal tersebut perlu
dibuat, agar kegiatan-kegiatan yang telah diurutkan pelaksanaannya menjadi
konkret kapan dilaksanakan dan siapa saja yang bertanggung jawab dan terlibat di
dalamnya. Ini sangat penting agar jauh hari sebelum kegiatan tersebut benar-benar
dilaksanakan, telah diambil ancang-ancangnya oleh mereka yang bertanggung
jawab untuk melaksanakan.
Pihak yang bertanggung jawab untuk melaksanakan ini bisa berupa
perorangan, unit kerja, bagian atau seseorang yang sedang memikul kapasitas atau
jabatan tertentu dalam organisasi pendidikan. Dalam membuat jadwal kegiatan
pada sekolah, haruslah jelas jenis kegiatannya, kapan waktu pelaksanaannya, dan
siapa saja yang menjadi pelaksananya. Dengan demikian, sejak berada dalam
rumusan jadwal tersebut, pelaksana nanti akan jelas deskripsi masing-masing
tugas, wewenang dan tanggungjawabnya; tanpa banyak lagi bertanya.
7. Budgeting
Budgeting adalah pembiayaan. Dalam kegiatan ini, ada dua kegiatan yang
dilaksanakan. Pertama, mengalokasikan anggaran dan kedua, penentuan sumber
anggaran. Alokasi anggaran dibuat berdasarkan kegiatan-kegiatan yang telah
dilakukan dan disusun serealistis mungkin. Sumber anggaran yang dapat digali
harus disebutkan dalam membuat rumusan. Jika langkah ini diimplementasikan di
sekolah, maka pertama hal yang harus dilakukan adalah mengalokasikan anggaran
berdasarkan rumusan-rumusan kegiatan yang ada pada langkah penjadwalan.
Alokasi anggaran ini hendaknya dibuat serealistik mungkin.
Aspek pemerataan juga harus dipertimbangkan dalam merencanakan
anggaran. Jangan sampai, ada kegiatan yang sama sekali tidak mendapatkan
anggaran, sementara yang lainnya banyak menyedot anggaran. Terkecuali jika
memang kegiatan tersebut sarna sekali tidak membutuhkan anggaran.
Ketidakmerataan dalam merumuskan anggaran dapat dibenarkan, selama tetap
9. ditempatkan dalam koridor skala prioritas dan atau terhadap kegiatan yang
sengaja diunggulkan oleh sekolah tersebut, serta telah mendapatkan kesepakatan
dari komponen sekolah, komite sekolah dan stake holders yang lainnya. Setelah
anggaran dialokasikan, sumber-sumber anggaran juga perlu ditetapkan.
D. Langkah-Langkah Perumusan Operasional Rencana Sekolah
Untuk mengoperasionalkan langkah-langkah perumusan rencana sekolah,
kita dapat menggunakan pendekatan pemecahan masalah (problem solving).
Perencanaan sekolah sekaligus juga akan memecahkan masalah-masalah yang
mungkin akan dihadapi oleh sekolah. Adapun langkah-langkah operasional
perencanaan sekolah yang menggunakan pendekatan pemecahan masalah adalah:
1. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah dilakukan oleh suatu tim yang dibentuk oleh yayasan
atau kepala sekolah, yang menyangkut substansi manajemen sekolah yaitu:
(a) Kegiatan belajar mengajar, (b) Kegiatan peserta didik, (c) Kegiatan tenaga
kependidikan sekolah, (d) Prasarana dan sarana sekolah, (e) Pendanaan sekolah,
(f) Partisipasi masyarakat, (g) Layanan khusus, dan (h) Ketatausahaan sekolah.
Identifikasi masalah ini dilakukan dengan cara mengeksplorasi dan
mengkonfirmasikan permasalahan yang dihadapi oleh sekolah kepada: pengurus
yayasan, kepala sekolah, tenaga kependidikan (guru dan staf), anak didik, orang
tua, masyarakat, dewan sekolah, kepala sekolah yang menjadi kelanjutan sekolah
tersebut, dan sebagainya.
Masalah-masalah yang diidentifikasi hendaknya yang seobjektif mungkin
dan seriil mungkin, dan bukan terkaan sumber data. Masalah-masalah tersebut
dapat digali dengan penyebaran angket, pengamatan, penggalian data dokumenter
dan wawancara. Dari kegiatan identifikasi masalah ini akan didapatkan banyak
masalah yang dapat diangkat guna dicarikan alternatif pemecahannya.
2. Identifikasi Alternatif Penyebab
Berdasarkan permasalahan yang diidentifikasi di atas, kemudian digali
juga alternatif penyebab munculnya masalah. Satu permasalahan dimungkinkan
oleh lebih dari satu alternatif penyebab. Alternatif penyebab masing-masing
masalah tersebut, hendaknya yang seriil mungkin, ialah yang dialami oleh sekolah
10. tersebut beserta komponen-komponennya. Sebab, jika alternatif penyebab dan
yang dikemukakan di sini bukan yang rill, maka alternatif pemecahan yang akan
dipecahkan juga menjadi tidak rill.
3. Identifikasi Alternatif Pemecahan Masalah
Dalam mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah, haruslah
dipertimbangkan masalah dan alternatif pemecahannya. Suatu masalah yang
sama, dengan alternatif penyebab yang berbeda, bisa membutuhkan alternatif
pemecahan masalah yang berbeda, dan bisa juga membutuhkan alternatif
pemecahan masalah yang sama. Suatu masalah yang berbeda, dengan alternatif
penyebab yang sama, bisa membutuhkan alternatif pemecahan masalah yang sama
atau berbeda. Semakin banyak alternatif pemecahan masalah yang diajukan, akan
semakin mudah didapatkan alternatif pemecahan masalah yang lebih tepat.
4. Identifikasi Faktor Pendukung
Guna menentukan alternatif pemecahan masalah yang tertepat, diperlukan
faktor pendukung yang berupa sumber-sumber potensial di sekolah tersebut.
Sehingga faktor-faktor pendukung bagi altematif pemecahan masalah yang ada
patut diidentifikasi. Ada kalanya faktor pendukung ini berasal dari dalam sekolah
sendiri, dan ada kalanya berasal dan luar. Keduanya perlu diidentifikasi.
5. Identifikasi Faktor Penghambat
Selain faktor-faktor pendukung bagi altematif pemecahan masalah,
diidentifikasi juga faktor-faktor yang diduga sebagai penghambatnya agar dapat
dijadikan sebagai pertimbangan dalam menentukan altematif yang paling tepat.
Faktor-faktor penghambat demikian ini, ada kalanya bersumber dari dalam
sekolah sendiri, tetapi tidak jarang juga berasal dari luar. Baik yang berasal dari
dalam maupun yang berasal dari luar, patut diidentifikasi.
6. Penentuan Altematif Terpilih
Setelah diperhatikan dengan seksama, serta berdasarkan banyaknya faktor
pendukung dan faktor penghambat, alternatif-alternatif pemecahan masalah yang
telah diajukan, dapat dipilih. Alternatif pemecahan yang dipilih inilah yang
dikenal dengan alternatif terpilih.
Setelah pendekatan pemecahan masalah ini ditempuh, perencana sekolah
perlu membahasakan alternatif pemecahan masalah yang telah diambil ke dalam
11. bahasa perencanaan/program. Alternatif pemecahan masalah yang telah dipilih
(altematif terpilih), ini dibahasakan dengan bahasa program. Dan bahasa program
ini, kemudian ditentukan kapan waktu pelaksanaannya, berapa biayanya, dan
siapa pelaksananya.
E. Rapat Kerja Perumusan Rencana Berbasis Sekolah
Salah satu karakteristik perencanaan pendidikan berbasis sekolah adalah selain
tinggi muatan bottom-up-nya, juga banyak melibatkan guru/karyawan, wakil
orang tua, komite sekolah, masyarakat dan stake holders yang lainnya.Agar
tingkat keterlibatan mereka sangat tinggi, maka perlu disediakan arenanya. Salah
satu arena yang tepat adalah rapat kerja (raker) dengan agenda tunggal perumusan
rencana.
Langkah-Langkah Perumusan Operasional Rencana Sekolah
1. Identifikasi Masalah; PBM, Peserta didik, Keuangan, Hub.masyarakat.
2. Identifikasi alternatif penyebab
3. -Identifikasi alternatif pemecahan masalah
4. Identifikasi faktor pendukung
5. Identifikasi faktor penghambat
6. Penentuan alternatif terpilih.
12. Bab III
Penutup
Pada era otonomi daerah dengan seiring berkembangnya wacana
desentralisasi pemerintahan dan school based management ini, perencanaan
pendidikan di sekolah sepatutnya menggunakan pendekatan yang bersifat bottom
up, atau perencanaan pendidikan berbasis sekolah. Proses perencanaan pendidikan
berbasis sekolah mengggunakan langkah-langkah perencanaan pendidikan yang
selama ini ditempuh. Hanya saja dalam setiap proses tersebut, hendaknya
melibatkan seluruh komponen sekolah, komite sekolah/dewan sekolah/majelis
madarasah dan stake holders sekolah yang lainnya.
Langkah-langkah perencanaan sekolah adalah: forecasting, objective,
policy, programming, procedure, schedule dan budgeting. Sedangkan langkah-
langkah operasionalnya dengan menggunakan pendekatan pemecahan masalah,
yaitu: identifikasi masalah, identifikasi alternatif pemecahan masalah, identifikasi
faktor pendukung dan faktor penghambat, dan penentuan alternatif terbaik.
Setelah pendekatan pemecahan masalah ini ditempuh, dilanjutkan dengan
pembahasaan alternatif terpilih ke dalam bahasa program. Selanjutnya, ditentukan
kapan waktu pelaksanaannya, berapa anggarannya, dan siapa yang menjadi
pelaksanaannya.
Agar seluruh komponen sekolah, komite sekolah/ dewan sekolah/ majelis
madarasah dan stake holders lainnya terlibat secara aktif, patut disediakan arena
yang bernama rapat kerja dengan agenda tunggal penyusunan rencana sekolah.
Agar data yang digali tersebut memberikan nuansa bottom up, desentralisasi,
maka teknik eksploratory hendaknya dipilih; dan jangan sampai menggunakan
teknik konfirmatory. Begitu juga pengesahan akhirnya bukanlah hanya oleh
kepala sekolah melainkan yang lebih utama adalah oleh komite sekolah/ dewan
sekolah/ majelis madarasah.
13. DAFTAR PUSTAKA
Coombs, P.H. 1984. Apakah Perencanaan Pendidikan itu? (Terjemahan A.R.
Effendi). Malang: FIP IKIP Malang.
Depdiknas. 2002. Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas.
Gorton, R.A., and Schneider, G.T. 1991. School Based Leadership: Challenges
and Opportunities. Third Edition. New York: WCB Publishers.
Hoy, W.K. and Miskel. C.G. 1987. Educational Administration: Theory, Research
and Practice. New York: Random House.
Indar, M.D. 1995. Perencanaan Pendidikan: Strategi dan Implementasinya.
Surabaya: Karya Abditama.
Imron, A. 2002. Perencanaan Sekolah. Dalam Burhanuddin, Imron, A., dan
Maisyaroh (Eds.), Manajemen Pendidikan: Wacana, Proses, dan
Aplikasinya di Sekolah (hlm. 35-48). Malang: Penerbit UM.
Nawawi, H. 1988. Administrasi Pendidikan. Jakarta: CV Haji Mas Agung.
Sergiovanni, T. J. 1991. The Principalship: A Reflective Practice Perspective.
Boston: Allyn and Bacon Inc.
Siagian, S.P. 1990. Filsafat Aministrasi. Jakarta: PT Toko Gunung Agung.
Stoops, E. et. al. 1981. Handbook of Educational Administration: A Guide for The
Practitioner. Second Edition. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Vembrianto, St. 1982. Pengantar Perencanaan Pendidikan (Educational
Planning). Yogyakarta: Yayasan Pendidikan Paramita.