Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
Dinamika Politik Lokal dan Pemerintahan Daerah
1. DINAMIKA POLITIK DAN
PEMERINTAHAN LOKAL
Dr. Frans Dione
IPDN - KEMENDAGRI
0813199906898
fransdionesa@gmail.com
fransdionesa.staff.ipdn.ac.id
2. Model Sistem Fungsional Pemerintahan
Transformation
Process
Structural System
(Bureaucratic Expectations)
Cultural
System
(Shared
Orientations)
Political
System
(Power
Relations)
Individual System
(Cognition and Motivation)
Outputs
Inputs
Environmenta
l constraints
Human and
capital
resources
Mission and
board policy
Materials and
methods
Government Policy
Government Service
Behaviour
Discrepancy between
Actual and Expected
Performance
Environment
6. KRISIS 1998 SEBUAH TITIK
PEMBERANGKATAN
Krisis moneter global
Presiden Soeharto “lengser”
32 tahun stabilitas semu: disparitas pusat vs daerah, jawa
dan sekitarnya vs Indonesia bagian timur
Orde baru berakhir, proses demokratisasi di daerah dimulai
Pemilu 1999 “demokratis kedua” digelar
Desentralisasi (UU Pemerintah Daerah No. 22/1999
dirubah menjadi UU Pemerintah Daerah No. 32/2004)
Structural Adjustment Programs (SAPs), IMF dan
Decentralization, World Bank
Pilkada langsung
Instabilitas lokal (chaos)
7. Pola Pergeseran Politik Lokal
Masa
Setelah
1998
Masa
Sebelum
1998
Titik
Perubahan
1998
Transisi Demokrasi
Desentralisasi
Politik Lokal Centris
Demokrasi “Thin”
Otoriter
Sentralistis
Politik Penjajah/Pusat
Centris
Konsolidasi Demokrasi
Desentralisasi
Politik Lokal-Pusat
Demokrasi “Thick”
8. Tantangan Global
Perkembangan teknologi, terutama Teknologi
Informasi dan Komunikasi merubah metode dan
jangkauan pembelajaran
Internasionalisasi & Globalisasi:
Perdagangan barang dan jasa lintas negara
Mobilitas mahasiswa dan dosen lintas negara
Meningkatnya kompetisi antar negara dan antar institusi
Perkembangan ekonomi berbasis pengetahuan,
masyarakat berbasis pengetahuan
9. Tantangan Global
Internasionalisasi dan globaslisasi juga merubah
lingkungan kerja: dibutuhkan ketrampilan baru,
multi-bahasa, kemampuan komunikasi, negosiasi,
pemahaman budaya dan aturan antar negara
global citizen
Standar kualifikasi dan kompatibilitas kualifikasi
lintas negara
Kualitas tenaga kerja (ditentukan oleh kualitas
pendidikan dan pelatihan) menentukan daya saing
negara
10. Tantangan Global
Kebutuhan akan kualifikasi yang makin tinggi untuk
memasuki lapangan kerja modern meningkatnya
kebutuhan akan pendidikan tinggi
Perubahan lapangan kerja yang sangat dinamis baik
di dalam negeri terlebih lintas negara kebutuhan
retraining/continuous learning/life-long learning
(new skills, new technology, new business
environment)
11. Tantangan Dalam Negeri
Transformasi demokrasi dan reformasi di segala
bidang
Desentralisasi dan otonomi daerah
Persatuan dan kesatuan bangsa
Pengikisan karakter, jati-diri, budaya bangsa akibat
pengaruh global dan bias informasi
Harapan publik pada perguruan tinggi sebagai
kekuatan moral
Harapan publik pada perguruan tinggi sebagai kunci
kemajuan dan mobilitas sosial
12. Tantangan Dalam Negeri
Tuntutan masyarakat akan kualitas dan relevansi
pendidikan tinggi, serta ketersediaan, kesetaraan
akses memperoleh pendidikan tinggi
Pendanaan publik (pemerintah) yang terbatas dan
harus bersaing dengan sektor lain maupun
pendidikan dasar dan menengah
Tingkat sarjana pengangguran yang tinggi
Peran PT bagi pembangunan daerah, pembanguan
nasional, pembangunan ekonomi dan sosial
13. Tantangan Dalam Negeri
Tantangan pembangunan manusia dan pencapaian
MDGs
Perguruan tinggi sebagai ujung tombak daya saing
bangsa dalam masyarakat berbasis pengetahuan
Kesenjangan geografis, sosial, akses, mutu
Pemanfaatan sumberdaya berwawasan ramah
lingkungan
Pemanfaatan posisi geologis dan geografis yang unik.
Dst.
14. Thin vs. Thick Democracy
Benjamin Barber (2004) di dalam bukunya
Strong Democracy: Participatory Politics for
a New Age, mengatakan bahwa istilah Thin
democracy, merupakan model demokrasi
dengan mengutamakan partisipasi
masyarakat dalam pemilu.
Thin berlawanan dengan thick atau strong
democracy yaitu mengutamakan jenis
partisipasi masyarakat berdasarkan ikatan-
ikatan sosial kuat di antara mereka, sehingga
kesepakatan timbul atas dasar kesadaran
kolektif, mengatasi hasil pemilu semata.
15. Thick Democracy Menuju Demokrasi
Konsosiasional
Arend Lijphart (1999) dalam Patterns of Democracy,
memberikan 6 klasifikasi demokrasi dimana demokrasi
berdasarkan konsensus atau dikenal sebagai
consociationalism akan menciptakan budaya demokrasi
tanpa kebrutalan, ramah lingkungan, pembagian
kekuasaan secara damai, mengutamakan kesejahteraan,
terbuka bagi bantuan asing
Thick democracy akan mengantarkan masyarakat lokal
lebih stabil menuju ke arah demokrasi konsosiasional.
16. AGENDA PERUBAHAN POLITIK LOKAL
Transisi pemerintahan otoriter menuju sistem
pemerintahan lebih demokratis
Perubahan segi ekonomis dan politis
Proses desentralisasi di Indonesia sama dengan proses
demokratisasi dan kebangkitan masyarakat sipil (Antlov
2003; Aspinall dan Fealy 2003; Sahikhu Usman 2002)
Desentralisasi sebagai pengaturan kembali lapangan-
lapangan kekuatan yang ada
17. PERUBAHAN POLITIK LOKAL DENGAN
DESENTRALISASI
Sebagai delegasi tugas-tugas tertentu sementara pusat
masih menguasai tanggung jawab keseluruhan;
Dekonsentrasi, yang mengacu pada penggeseran
decision-making dalam negara tersentralisasi, dan
Devolusi, yang menyangkut transfer kekuasaan secara
aktual ke tingkat-tingkat pemerintahan yang lebih
rendah
(Diolah dari sumber: Nordholt dan Klinken, 2007, hal. 14)
18. KENDALA
Pergeseran dari pemerintahan sentralistis ke
pemerintahan desentralisasi tidak sinonim
dengan pergeseran pemerintahan otoriter ke
pemerintahan demokratis, tidak juga
mengisyaratkan pergeseran negara kuat ke
negara masyarakat kuat
Melemahnya negara pusat tidak secara otomatis
membuahkan demokrasi lokal lebih kuat
Desentralisasi di bawah kondisi-kondisi tertentu
bisa dibarengi dengan bentuk-bentuk
pemerintahan otoriter
19. PEMILU KADA memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pemilu
Legislatif dan Pilpres, yang dapat dilihat dari indikator:
• Tingkat kompetisi dan kontestasi antar pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah sangat besar. Hal ini disebabkan karena terjadinya kristalisasi
kepentingan dan dukungan politik kepada 2 (dua) hingga 10 (sepuluh) pasangan
calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
• Besarnya potensi konflik antar pendukungan pasangan calon Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah, yang dipicu oleh dekatnya jarak dan ikatan kepentingan dan
ikatan emosional pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dengan
pendukung mereka.
• Besarnya potensi ketidaknetralan dan parsialitas penyelenggara PemiluKada
maupun pengawas PemiluKada, mengingat pengalaman empiric selama ini
menunjukkan bahwa arena kompetisi antar pasangan calon Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah juga merambah kepada wilayah pemasangan “orang” mereka
dalam institusi penyelenggara PemiluKada.
• Tingginya potensi pelanggaran terutama menyangkut isu-isu spesifik, antara lain
politik uang, abuse of power, dan manipulasi dana kampanye.
20. PERSPEKTIF KERAWANAN PEMILU
LEGAL COMPLIANCE
Pidana
Pemilu
BUKAN
PELANGGARA
N
SECURITY /
CONFLICT
Konflik antar Peserta
Pemilu / antar
pendukung (horizontal
conflict)
Konflik antara peserta
pemilu dengan
Penyelenggara Pemilu
(KPU / Pengawas)
vertical conflict
Konflik peserta
pemilu/masyarak
at dengan
Pemerintah
Administra
si
Pemilu
Kode Etik
Penyelenggar
a Pemilu
Sengketa
Pemilu
Sengketa
Hasil
Pemilu
PELANGGARAN
tidak terhadap UU
Pemilu, tetapi
berkaitan dengan
proses pemilu
PELANGGARA
N
21. KARAKTERISTIK PELANGGARAN PEMILU
PELANGGARAN
BERDAYA RUSAK
TINGGI
PELANGGARAN
BERDAYA RUSAK
RENDAH
Daya rusak terhadap
integritas pemilu
(fairness, accountability)
Daya rusak tatanan
demokrasi dan good &
cleand governance
Daya rusak terhadap
moralitas
bangsa
Mengganggu keindahan
kota
Mengganggu
ketentraman
masyarakat
Manipulasi
dana
kampanye,
manipulasi
hasil
penghitungan
suara
Korupsi politik
(bansos),
abuse of power
Money
politik, isu
sara
Pemasang
an atribut
Kampany e
pawai
22. S E B U A H R E F L E K S I
TANTANGAN
PEMERINTAHAN LOKAL
23. OPTIMALISASI MODAL SOSIAL
Pemerintah lokal bersama masyarakat DITUNTUT
menggali serangkaian norma, jaringan dan
organisasi dimana masyarakat mendapat akses pada
kekuasaan dan sumber daya, serta dimana
pembuatan keputusan formulasi kebijakan terjadi.
(Grootaert, 1998).
24. PENGUATAN BASIS LOKAL
Memperkuat sistem politik yang mendasari
seluruh proses pembuatan dan implementasi
kebijakan
Menciptakan ruang bagi partisipasi masyarakat
Mengembangkan nilai-nilai lokal demokrasi
komunitarian dalam wadah forum-forum asli desa:
rembug desa, paguyuban, asosiasi sosial, dan
sebagainya
Mendorong terwujudnya masyarakat lokal yang
otonom
25. KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH PRO-LOKAL
Menuntut penyertaan aspirasi lokal dan pelibatan
struktur lokal pada proses pembuatan kebijakan
otonomi daerah
Mendorong pemerintah pusat memformulasikan
UU Otonomi Daerah yang lebih konkret dan tegas,
bersifat umum
Mendorong formulasi aturan teknis di tingkat
pemerintahan lokal di daerah dan desa
26. PENGUATAN INFRASTRUKTUR DEMOKRASI
LOKAL
(1) partai politik lokal (Local political parties);
(2) Ornop local (Local NGOs);
(3) Pers local (Local press);
(4) Universitas lokal (Local universities); dan
(5) Polisi daerah (local police).
27. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT LOKAL
1. pembukaan akses bagi rakyat ke berbagai
sumberdaya strategis yang ada di suatu daerah;
2. pemberian kesempatan bagi rakyat lokal untuk
turut memiliki sumberdaya strategis yang ada;
dan
3. dibukanya kesempatan bagi rakyat lokal untuk
turut mengontrol sumberdaya-sumberdaya
strategis yang dimiliki daerah.
28. 28Jika Anda berpikir Anda bisa,
maka Anda bisa! (Henry
Ford).
Kegagalan ... bukanlah pada
bintang-bintang melainkan pada
diri kita sendiri. (Shakespeare).
Bukanlah bintang-bintang
yang memegang cita-cita kita,
melainkan diri kita sendiri.
(Shakespeare)