2. Pendahuluan
Rasional pemerintahan daerah
dikembangkan di Indonesia menurut catatan
para ahli terutama karena (1) adanya fakta
sejarah dan amanat peraturan perundangan,
(2) visi the founding fathers terhadap
demokratisasi penyelenggaraan
pemerintahan, dan (3) adanya kebutuhan
sosial-ekonomi-politik berkaitan dengan luas
wilayah secara geografis dan demografis.
Menjadi suatu keniscayaan penyelenggaraan
pemerintahan daerah di Indonesia.
3. lanjutan
Dalam mempelajari eksistensi pemerintahan
daerah dalam sebuah penyelenggaraan
pemerintahan, para pakar telah membedah
secara cukup mendalam dan bervariasi.
Pakar-pakar yang dapat kita rujuk antara lain:
BC. Smith, Phillip Mawhood, Alderfer, Ali
Akbar Khan, Cochrane, Steve Leach, AF.
Leemans, Rondinelli, Cohen dan Peterson,
Henry Maddick, Gery Stoker, Alan Norton,
Devas, Devey, dan lain-lain.
6. lanjutan
MORE EFFICIENT AND EFFECTIVE
PROVISION OF PUBLIC SERVICES
AND INFRASTRUCTURE
OPTIMIZING HIERARCHY OF SERVICE
DELIVERY
TAILORING SERVICES TO LOCAL NEEDS
AND CONDITIONS
IMPROVING INFRASTRUCTURE
MAINTENANCE
RELIEVING CENTRAL GOVT. OF ROUTINE
FUNCTIONS TO CONCENTRATE ON
8. lanjutan
> EQUITY
PROVIDE RESOURCES AND
AUTHORITY FOR PURSUING
LOCAL PRIORITIES AND NEEDS
PROVIDE OPPORTUNITY FOR
ALL JURISDICTIONS TO MAKE
OWN DECISIONS
9. lanjutan
> CHANGING GLOBAL
REQUIREMENTS FOR LOCAL AND
REGIONAL ECONOMIC
DEVELOPMENT
GROWING IMPORTANCE OF GLOBAL
TRENDS IN SHAPING NATIONAL AND
SUB-NATIONAL ECONOMIC
DEVELOPMENT
IMPORTANCE OF “LOCATION-
SPECIFIC ASSETS” IN ATTRACTING
AND NURTURING ENTERPRISES
10. Lanjutan
Desentralisasi membawa implikasi
adanya otonomi bagi penyelenggaraan
pemerintahan dalam lingkup
kepentingan masyarakat di tingkat
lokal.
Di Indonesia dikenal adanya konsep
otonomi daerah dan daerah otonom.
11. Moh. Hatta (1957) dalam
“Otonomi dan Oto-Aktivitet’
“Dalam negara-negara otokrasi
dan totaliter semuanya disusun
dari atas. Rakyat hanya
menjalankan perintah. Dalam
negara-negara demokrasi, rakyat
ikut serta menentukan apa yang
baik dan buruk baginya, ikut serta
bertanggungjawab tentang
keadaannya.
12. lanjutan
“Dalam demokrasi segala yang penting
bagi penghidupan diputuskan oleh
banyak orang, dengan musyawarah di
dalam dewan yang ditentukan. Oleh
karena itu demokrasi besar biayanya.
Untuk mengimbangi biaya yang lebih
besar itu perlulah oto-aktivitet
diperbanyak, terutama di daerah besar
dan kecil.”
13. Moh Hatta (1957) dalam “Demokrasi dan
otonomi”
“Apabila demokrasi maksudnya melaksanakan
pemerintahand ari yang diperintah, maka
nyatalah bahwa demokrasi tidak sesuai
dengan dasar sentralisme, yang membuatkan
segala kekuasaan di tangan pemerintah Pusat
dan DPR. Semakin luas daerah negara,
semakin banyak differensiasi kepentingan
hidup, semakin banyak masalah khusus yang
mengenai daerah masing-masing yangs
emuanya itu tidak dapat diurus dari pusat
pemerintahan negara.
Di sebelah pemerintahan rakyat seluruhnya,
yang dilaksanakan oleh pemerintah bersama-
sama dengan DPR, mestilah ada pemerintahan
rakyat daerah, yang mengurus kepentingan
14. Dalam konsep otonomi terkandung
kebebasan untuk berprakarsa untuk
mengambil keputusan atas dasar
aspirasi masyarakat yang memiliki
status demikian tanpa kontrol
langsung oleh Pemerintah Pusat. Oleh
karena itu kaitannya dengan
demokrasi sangat erat (Hoessein:
2003)
15. Moh. Hatta berpendapat bahwa
otonomisasi tidak saja berarti
melaksanakan demokrasi, tetapi
mendorong berkembangnya prakarsa
sendiri untuk mengambil keputusan
mengenai kepentingan masyarakat
setempat. Dengan berkembangnya
prakarsa sendiri maka tercapailah apa
yang dimaksud demokrasi, yaitu
pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat.
Rakyat tidak saja menentukan nasibnya
sendiri, melainkan juga terutama
memperbaiki nasibnya sendiri.
16. Otonomi juga mengandung integritas sistem, dalam
arti memiliki batas-batas (boundaries). Oleh karena
itu, otonomi juga memiliki identitas. Dengan
perkataan lain, tidak terdapat otonomi apabila tidak
terdapat batas-batas. Penetapan batas-batas
tersebut mengingatkan pada suatu sistem
keseluruhan.
Dengan mengikuti pemikiran di atas, otonomi dalam
wadah daerah otonom yang merupakan
selfcontained memiliki batas-batas aktivitas yang
secara nyata dan fungsional disepakati dan
berinteraksi dengan suatu lingkungan yang
menerima outputs dan memberikan inputs.
(Hoessein: 2003)
17. M.A. Muthalib dan Mohd. Akbar Ali Khan
(1982) menyamakan otonomi dengan
demokrasi:
Conceptually, local autonomy tends to
become a synonym of the freedom of
locality for self-determination or local
democracy. No single body but the local
people and then the representatives
enjoy supreme power in regard to the
local sphere of action. Government
intervention can be justified when the
larger interest is involved. Therefore,
the people at large and their
representatives alone can override the
local people and their representatives.
18. Tentang Otonomi, Robert A. Dahl
dan Charles E. Lindblom (1953):
Controlled behavior may best be
thought of as lying at one end of
continuum of which the other end is
autonomous behavior. Autonomy is
the absence of immediate and
direct control.
19. Harold Alderfer (1964)
otonomi daerah merupakan :
An integral part of man’s aspiration for
freedom, basic in his quest for
democracy, essential for internal
stability, and a strong defence against
outside enemies. Local autonomy, in
one form or another, in some relative
degree, is a fundamental ingredient of a
successful nation.
21. Hoessein (2003)
“Pada hakekatnya desentralisasi adalah
mengotonomikan suatu masyarakat yang
berada dalam teritorial tertentu. Sesuai dengan
arahan konstitusi, pengotonomian tersebut
dilakukan dengan menjadikan masyarakat
tersebut sebagai provinsi, kabupaten dan kota.
Disamping itu desentralisasi juga merupakan
penyerahan atau pengakuan urusan
pemerintahan bagi provinsi, kabupaten dan
kota…. “
22. Otonomi, demokrasi, dan
partisipasi masyarakat
adalah tujuan-tujuan (nilai)
utama yang hendak dicapai
dalam pemerintahan daerah
dan desentralisasi
23. Karakteristik Local Government:
“First, local units of government are
autonomous, independent, and clearly
perceived as separate levels of government
over which central authorities exercise little or
no direct control. Second, the local
governments have clear and legally recognized
geographical boundaries within which they
exercise authority and perform public
functions. Third, local governments have
corporate status and power to secure
resources to perform their functions.
(Rondinelli, Nellis dan Cheema : 1983)
24. Burns, Hambleton dan Huggett
(1997)
“Recent debate about role, form and function of
local government have tended to focus on local
authorities as mechanisms for delivering services.
Yet we have argued for some years that while
local government does offer a range ways of
providing good quality services, it is about much
more than service delivery (Hambleton, 1988;
Hambleton and Hugget, 1990). If local government
stands for a notion of community, if it is
concerned to foster vigorous civic culture and to
improve the quality of life in the broadest sense,
then attention must focus on the welfare of the
local polity. Councilors and officers need to
devote energy, time and resources to strategies
designed to improve the quality of government, as
well as the quality of service.”
25. Secara konseptual, desentralisasi kerap kali
dipandang oleh pakar administrasi publik
sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu.
Tujuan-tujuan yang akan dicapai melalui
desentralisasi merupakan nilai-nilai dari
komunitas politik yang dapat berupa kesatuan
bangsa (national unity), pemerintahan
demokrasi (democratic government),
kemandirian sebagai penjelmaan dari otonomi,
efisiensi administrasi, dan pembangunan sosial
ekonomi. (Hoessein: 2003)
TUJUAN (NILAI-NILAI) DESENTRALISASI
26. Model Struktural efisiensi
dan Local democracy
Chris Aulich dan John Haligan mengatakan bahwa
sejumlah negara menganut dua kemungkinan
besar dalam menjalankan kebijakan desentralisasi
berkaitan dengan skala prioritas tujuan:
(1) Model Struktural efisiensi mengedepankan skala
prioritas tujuan desentralisasi kepada national
building (unity) dan tujuan efisiensi administrasi
katimbang otonomisasi dan demokratiasi
pemerintahan baru kemudian nilai pembangunan
sosial ekonomi; sedangkan
(2) Model demokrasi lokal mengedepankan
otonomisasi dan demokratisasi katimbang national
building (unity) dan efisiensi administrasi baru
kemudian pembangunan sosial ekonomi.
27. Hoessein (1995)
“Dilihat dari dimensi tujuan yang akan dicapai,
maka roda desentralisasi telah mengalami lima
kali putaran. Dari putaran kedua ke putaran
ketiga roda tersebut mengalami kerusakan di
masa pendudukan Jepang. Namun berkat the
founding fathers roda tersebut berhasil
diperbaiki, disempurnakan dan diperkuat
sehingga berputar dalam putaran ketiga dan
seterusnya. Putaran pertama dalam kurun waktu
tahun 1903-1922 menuju efisiensi.
28. lanjutan
Putaran kedua dalam kurun waktu 1922-1942
menuju ke efisiensi dan partisipasi. Putaran
ketiga dalam kurun waktu 1945-1959 menuju
demokrasi (kedaulatan rakyat). Putaran keempat
dalam kurun waktu 1959-1974 menuju stabilitas
dan efisiensi pemerintahan. Putaran kelima
dalam masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974
menuju ke efisiensi (dan efektivitas) layanan dan
pembangunan. Akan berputarkah roda tersebut
menuju ke demokrasi di masa yang akan datang?
Menurut saya, dalam putaran keenam kelak
tempat yang harus dituju berupa tempat yang
subur dengan demokrasi dan efisiensi. Kedua
nilai tersebut sangat diperlukan untuk
kelangsungan hidup bangsa Indonesia.”
29. Hoessein (2002):
“Dilihat dari tataran teori pemerintahan daerah,
UU No. 22 Tahun 1999 seperti UU No. 22 Tahun
1948 dan UU No. 1 Tahun 1957 menganut local
democracy model yang menekankan nilai
demokrasi dan keberagaman dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Oleh
karena itu, peran DPRD sangat besar dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Sebaliknya UU No. 18 Tahun 1965 dan UU No. 5
Tahun 1974 menganut structural efficiency model
yang menekankan efisiensi dan keseragaman
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. “
30. Lanjutan
“Seiring dengan pergeseran model tersebut
terjadi pula pergeseran dari pengutamaan
dekonsentrasi ke pengutamaan desentralisasi.
Dilakukan pula pemangkasan dan
pelangsingan struktur organisasi dalam rangka
menggeser model organisasi yang hirarkis dan
bengkak ke model organisasi yang datar dan
langsing. Hubungan antara Dati II dengan Dati
I yang semula ‘dependent’ dan ‘subordinate’
kini hubungan antara Kabupaten/Kota dengan
Provinsi menjadi ‘independent’ dan
‘coordinate’. “
31. Lanjutan
“Pola hubungan tersebut tercipta
sebagai konsekuensi perubahan dari
dianutnya ‘integrated prefectoral system’
yang utuh ke ‘integrated prefectoral
system’ yang parsial hanya pada
tataran provinsi. Dianutnya ‘integrated
prefectoral system’ pada propinsi
dengan peran ganda Gubernur sebagai
KDH dan Wakil Pemerintah dimaksudkan
untuk mengintegrasikan kembali daerah
otonom yang secara desentral memiliki
karakteristik keterpisahan.”
32. Lanjutan
“Distribusi urusan pemerintahan kepada
daerah otonom yang semula dianut ‘ultra-
vires doctrine’ dengan merinci urusan
pemerintahan yang menjadi kompetensi
daerah otonom diganti dengan ‘general
competence’ atau ‘open end arrangement’
yang merinci fungsi pemerintahan yang
menjadi kompetensi Pemerintah dan
Provinsi. "
33. lanjutan
“Pengawasan Pemerintah terhadap
daerah otonom yang semula
cenderung koersif bergeser ke
persuasif agar diskresi dan prakarsa
daerah otonom lebih tersalurkan.
Konsekuensinya, pengawasan
Pemerintah terhadap kebijakan Daerah
yang semula secara preventif dan
represif, kini hanya secara represif.
Dalam keuangan daerah otonom,
terjadi pergeseran dari pengutamaan
‘specific grant’ ke ‘block grant’.”
34. “Konsep Pemerintah Daerah yang
semula mencakup KDH dan DPRD
menurut UU No. 5 Tahun 1974 kini
konsep tersebut hanya merujuk
kepada KDH dan Perangkat Daerah,
sedangkan DPRD berada di luar
Pemerintah Daerah.”
LANJUTAN
35. “Perubahan yang dikehendaki oleh UU No. 22
Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 tergolong
perubahan yang radikal (radical change) atau
drastik (drastic change) dan bukan perubahan
yang gradual (gradual change). Oleh karena itu,
konflik, krisis dan goncangan yang menyertai
reformasi tersebut lebih besar daripada
serangkaian reformasi yang pernah terjadi
sebelumnya. Dibandingkan dengan reformasi
pemerintahan daerah di berbagai negara
berkembang lainnya pun reformasi pemerintahan
daerah di Indonesia masih tergolong sangat
besar. Reformasi pemerintahan daerah di
Indonesia tergolong big bang approach.”
Lanjutan
36. POTENTIAL DISADVANTAGES OF
DECENTRALIZATION (Rondinelli)
POSSIBLE MACROECONOMIC INSTABILITY
INEFFICIENCIES IN HIGHLY
STANDARDIZED FUNCTIONS
LOSS OF ECONOMIES OF SCALE
DETERIORATION IN SERVICE QUALITY
AND DELIVERY IF LOCAL
ADMINISTRATION WEAK
LOCAL ELITES OR INTEREST GROUPS
MAY CAPTURE CONTROL
REDUCES ABILITY OF CENTRAL
GOVERNMENT TO CONTROL OR
COORDINATE
NEW TYPES OF INEQUITIES