Tulisan ini membahas tentang hubungan antara agama Islam dengan negara sekular di Indonesia. Tulisan mengklaim bahwa negara hanya akan mendukung aspek-aspek agama Islam yang menguntungkan negara secara ekonomi, seperti zakat dan haji, tetapi tidak untuk hal-hal yang tidak menguntungkan negara seperti penerapan syariah Islam secara komprehensif. Tulisan ini juga mengkritik ulama di Indonesia yang dianggap terpengaruh oleh sistem
1. 3/4/2014 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » ‘Islam Kapitalis’
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/04/03/islam-kapitalis/ 1/3
‘Islam Kapitalis’
April 3rd, 2014 by solihan
Agama tak perlu mengurusi negara. Negara pun tak boleh ikut mencampuri urusan agama.
Begitu kira-kira jargon kaum sekular terkait hubungan agama dan negara.
Namun, bukan sekular namanya kalau tak pandai bersilat lidah dan melanggar prinsipnya
sendiri. Pasalnya, manfaat-madarat atau untung-rugi tetaplah tolok-ukurnya. Karena itu prinsip
di atas tak harus diterapkan secara rigid. Negara bisa saja mengurusi agama jika di sana ada
keuntungan bagi negara. Zakat, misalnya, diurusi negara. Bahkan negara pun berkepentingan
membuat UU Zakat. Itu karena zakat berkaitan dengan potensi uang puluhan triliun warga
negaranya yang Muslim. Negara perlu mendukung program ini karena bisa membantu
mengentaskan kemiskinan sebagian besar warganya yang tak pernah sukses diatasi negara.
Dukungan negara terhadap program zakat juga tentu bermanfaat untuk sedikit mengalihkan
perhatian masyarakat dari kemiskinan struktural yang diciptakan oleh negara.
Demikian pula haji. Haji pun diurus negara. Jelas karena di sana ada potensi uang umat yang
juga puluhan triliun setiap tahunnya, yang sebagiannya masuk ke kas negara. Negara perlu
menerbitkan UU Perbankan Syariah karena memang berkaitan dengan potensi uang umat
yang juga berlimpah. Belakangan negara pun berhasrat mengurusi sertifikasi halal, juga karena
di situ ada potensi pendapatan ratusan miliaran rupiah yang tentu menguntungan negara.
Bagaimana dengan masalah warga negaranya yang Muslim yang tidak shalat? Bagaimana
dengan urusan warga negaranya yang Muslimah yang ingin memakai jilbab? Bagaimana
dengan urusan warga negaranya yang menolak tempat-tempat hiburan malam dan pelacuran
yang memang bertentangan dengan ajaran agama mereka? Bagaimana dengan masalah
pemurtadan (kristenisasi), Ahmadiyah dan aliran sesat lainnya? Bagaimana pula dengan
keinginan mayoritas Muslim untuk menerapkan syariah Islam secara formal oleh negara?
Nah, di situ baru negara harus diam; tak boleh mencampuri urusan agama warganya.
Alasannya jelas, tak ada hal yang menguntungkan jika negara memaksa orang yang tak shalat
agar mereka shalat; tak juga menguntungkan jika negara melegalkan jilbab bagi kaum
Muslimah yang sangat ingin berjilbab. Bahkan jika tempat-tempat hiburan dan pelacuran
(lokalisasi) dihapuskan oleh negara, itu bisa mengurangi potensi pendapatan negara—melalui
pajak dari tempat-tempat tersebut—yang berarti merugikan negara. Tak ada untungnya bagi
negara mengurusi masalah kristenisasi, Ahmadiyah atau ragam aliran sesat lainnya yang
merusak akidah umat Islam. Tak ada untungnya pula negara meluluskan keinginan warga
negaranya yang Muslim untuk memformalisasikan syariah melalui institusi negara. Dalam
semua itu, prinsip “negara tak boleh mencampuri urusan agama” harus benar-benar
ditegakkan.
2. 3/4/2014 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » ‘Islam Kapitalis’
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/04/03/islam-kapitalis/ 2/3
*****
Demikian pula sebaliknya. Agama tak perlu mencampuri urusan negara. Bahkan agama tak
boleh dibawa-bawa ke ranah politik. “Politik jangan bawa-bawa agama.” Begitu kira-kira.
Namun, prinsip ini pun tak mutlak. Itu hanya berlaku jika agama tak memberikan keuntungan
atau tidak menghasilkan manfaat secara politik. Menjelang Pemilu, sah-sah saja orang
membawa-bawa agama. Ayat-ayat al-Quran boleh dikutip sebagai “bumbu” saat kampanye.
Baju koko, kopiah, kerudung dan jilbab pun sah-sah saja dikenakan oleh para calon wakil
rakyat dalam kampanye mereka untuk pencitraan atau menciptakan kesan islami.
Negara pun boleh membawa-bawa agama saat dibutuhkan. Dengan menggunakan lisan
ulama, negara sah-sah saja mengharamkan golput dan mewajibkan warga negara
menggunakan hak pilihnya. Dengan meminjam fatwa ulama, negara menguatkan kebijakannya
untuk menerima tamu penguasa negara kafir penjajah, seperti Presiden AS Obama.
Ditegaskanlah bahwa menerima dan menghormati tamu adalah bagian dari kewajiban dalam
Islam. Padahal sang tamu yang kafir dan penjajah itu telah menumpahkan darah umat Islam di
mana-mana, merampas kekayaan umat di berbagai negeri Muslim serta membiarkan
penindasan umat Islam di negeri-negeri yang mayoritas penduduknya kafir. Dengan
menggunakan lisan ulama pula, ditegaskan kewajiban warga negara untuk selalu taat kepada
ulil amri (pemerintah). Padahal negara sendiri tidak tunduk dan taat kepada Allah SWT dan
Rasul-Nya karena menolak penerapan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan warganya.
Kita tentu khawatir jika sikap negara yang sekular dan sangat kapitalistik ini menular kepada
para ulamanya. Kita tentu tidak ingin ulama—khususnya yang terhimpun dalam MUI—amat
fokus mengurusi sertifikasi halal, tetapi tidak terlalu fokus untuk terus menekan negara agar
melegalkan Polwan (juga para wanita Muslimah di institusi negara maupun yang lain) untuk
berjilbab. Kita tentu tak ingin ulama dan MUI hanya sibuk mendorong umat agar rajin membayar
zakat tetapi tidak sibuk mendesak negara untuk meninggalkan utang luar negeri ribawi,
merebut kembali kekayaan umat yang terlanjur diserahkan kepada perusahaan-perusahaan
asing, dlsb. Kita tentu tak ingin ulama dan MUI amat keras memfatwakan keharaman golput
dalam Pemilu daripada secara tegas memfatwakan kembali keharaman sekularisme (yang
melahirkan sistem demokrasi yang bobrok dan busuk serta sistem kapitalisme yang jahat dan
merusak), pluralisme dan liberalisme. Kita pun tak ingin ulama dan MUI begitu ‘gagah’
memfatwakan agar warga negara harus taat kepada ulil amri, tetapi ‘loyo’ dan tak punya nyali
untuk memfatwakan bahwa negara wajib taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya dengan
menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam intitusi negara sekaligus mencampakkan
sekularisme.
Adanya oknum ulama/kiai petinggi MUI di salah satu daerah yang diduga terlibat dalam
perzinaan dengan dua wanita—sekaligus terlibat dalam pembuatan video perzinaannya—
sudah seharusnya menjadi pelajaran amat berharga, bahwa siapapun (termasuk ulama, kiai,
3. 3/4/2014 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » ‘Islam Kapitalis’
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/04/03/islam-kapitalis/ 3/3
da’i, ustadz) bisa tergilas oleh keganasan mesin sekularisme dengan seluruh sistemnya
(demokrasi, kapitalisme, liberalisme, pluralisme, dll) yang rusak dan merusak.
Haruskah kita menunggu korban lebih banyak lagi? Tak cukupkah kerusakan di semua lini
kehidupan akibat sistem sekular ini mendorong kita untuk memaksa negara mencampakkan
sekularisme dan menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam institusi Khilafah? Ataukah
kita tetap hanya akan mempraktikkan Islam ritual bercampur aroma sekularisme dan
kapitalisme yang amat menjijikkan? Silakan saja jika Anda kuat menghadapi azab Allah di
akhirat nanti!
Wa ma tawfiqi illa bilLah. [Arief B. Iskandar]
Baca juga :
1. Ganti Sistem Ekonomi Kapitalis dengan Syariah, Delegasi HTI Temui DPRD
Jombang
2. Mesir: Umat Kristen Menuntut Penerapan Syariah Islam Dalam Konstitusi
3. KUII V: Pemerintah Jangan Buka Pintu untuk Ekonomi Kapitalis
4. Umat Islam Sekarang tidak Menjadi Khoiru Ummah
5. Serikat Pekerja Nasional Semarang: Tolak UU Produk Kapitalis