SlideShare a Scribd company logo
1 of 16
PENDIDIKAN BAGI ANAK
BERKEBUTUHAN KHUSUS ( ABK)
 Post author:admin
 Post published:16 Juli 2019
 Post category:Blog
 Post comments:0 Comments
Posted on 6 Maret 2010by IGPKhI JATENG
Mencoba memahami dunia pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus ( ABK) sebagai
upaya perluasan dan pemerataan pelayanan pendidikan di Indonesia.
SIAPA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ?
Persepsi atas layanan pendidikan bagi anak Indonesia tak berhenti pada sudut
persimpangan jalan, tetapi berjalan layaknya arah depan kita yang tak mengenal kata
buntu dalam hidup. Dari waktu ke waktu persepsi atau pemaknaan atas istilah Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) mengalir bagai air mencari tempat yang bemakna.
Semua persepsi itu benar pada zamannya. Anak berkebutuhan khusus adalah sebagai
pengganti istilah lama anak cacat atau penyandang cacat. Sebenarnya istilah Anak
Bekebutuhan Khusus adalah untuk menunjuk mereka yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial. Pemerintah memahami atas dasar kondisi
keterbatasannya sehingga berasumsi anak yang memiliki kekurangan dan kelebihan
kemampuan khususnya dalam bidang pendidikan memiliki kebutuhan pendidikan secara
khusus.
Atas dasar persepsi itulah akhirnya menempatkan status bagi anak yang memiliki
kekurangan dan kelebihan kemampuan sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
Pemerintah menempatkan keterbatasannya untuk mengukur kebutuhan layanan,
khususnya layanan pendidikan. Persepsi ini tidak salah, tetapi menurut hemat penulis,
sudah saatnya layanan pendidikan didasarkan pada potensi yang dimiliki anak.
PENDIDIKAN BAGI ABK
Anak Bekebutuhan Khusus pada awalnya dikenal sebagai Anak Luar Biasa (ALB)
sehingga pendidikannya juga dikenal sebagai Pendidikan Luar Biasa (PLB), lembaga
pendidikannya juga dikenal sebagai Sekolah Luar Biasa (SLB).
Perkembangan selanjutnya dalam bidang pendidikan pasal 5 ayat 2 UU No. 20 Tahun
2003 mengganti istilah Pendidikan Luar Biasa menjadi Pendidikan Khusus dengan
menjamin bahwa ” Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus “. Selain itu ayat 4
juga menjamin bahwa ” Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus “. Jadi kelainan ditinjau dari kekurangan
dan kelebihannya.
Selanjutnya lembaga pendidikan bagi ABK dapat kita pahami atas dasar UU No. 20
tahun 2003 Pasal 15 yakni Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan,
akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Sedangkan pasal 32 ayat 1 UU No.
20 Th 2003 menegaskan bahwa ” Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi
peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran
karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan
dan bakat istimewa “.
Oleh karena itu sebagai lembaga pendidikan jalur pendidikan formal jenjang PAUD,
Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, maka lembaga pendidikan dalam koridor
pendidikan khusus untuk semua jenjang harus berpedoman pada UU No. 20 Tahun 2003.
Dari segi lembaga dan jenjang Pendidikan Khusus meliputi Jenjang PAUD adalah
TKLB, Jenjang Pendidikan Dasar adalah SDLB dan SMPLB, sedang untuk jenjang
Pendidikan Menengah adalah SMALB.
Selanjutnya secara teknis operasional pendidikan khusus diatur dengan Permendiknas
No. 01 tahun 2008 tentang Standar Operasional Pendidikan Khusus yang secara
sederhana dapat dipahami sbb :
 Pengelompokan siswa adalah bagian A untuk siswa Tunanetra, bagian B untuk siswa
Tunarungu, bagian C untuk siswa Tuangrahiata ringan, Bagian C1 untuk siswa
Tunagrahita sedang, Bagian D untuk siswa Tunadaksa, bagian D1 untuk siswa
Tunadaksa sedang dan bagian E untuk anak Tunalaras.
 Pengelolaan kelas diatur untuk jenjang TKLB dan SDLB maksimum 5 anak per kelas,
dan untuk SMPLB dan SMALB 8 anak perkelas.
 Kurikulum yang diterapkan adalah KTSP dalam bentuk kurikulum jenjang TKLB,
SDLB, SMPLB dan SMALB masing-masing untuk bagian A, B, C, C1, D, D1 dan E
Pembelajaran bersifat indifidual.
 Pembagian tugas untuk jenjang TKLB dan SDLB adalah guru kelas, sedang untuk
SMPLB dan SMALB sebagai guru matapelajaran.
 Persyaratan untuk menjadi guru pada TKLB dan SDLB diharuskan berijazah S1
(sarjana) Pendidikan Khusus (PK) atau Pendidikan Luar Biasa (PLB), sedang untuk
guru SMPLB dan SMALB dapat S1 PK / PLB atau S1 matapelajaran yang diajarkan
di SMPLB dan SMALB.
PEMBINAAN
Pada saat Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 masih berlaku, pembinaan SLB
berada di Pemerintah Provinsi. Kewenangan penyelenggaraan SLB berada di Dinas
Pendidikan Provinsi. Atas kondisi ini ( pada saat itu) Pemerintah Kabupaten belum
menempatkan pembinaan SLB sebagai tanggungjawabnya. Pembinaan dititipkan pada
Pengaswas TK/SD. Bagi SDLB tak masalah, tetapi bagi SMPLB dan SMALB
adakalanya menemui situasi yang kurang menguntungkan. Hal ini berlangsung hingga
lahir PP No. 38 Tahun 2007.
Perkembangan selanjutnya pembinaan umum kelembagaan mengacu pada UU No. 32
tahun 1999 dan PP No. 38 Tahun 2007 dimana pada hakekatnya adalah sama dengan
pembinaan terhadap pendidikan jenjang PAUD, Pendidikan Dasar dan Pendidikan
Menengah pada umumnya. Hal yang membedakan adalah pembinaan teknis
pendidikannya. Atas dasar ketentuan ini selanjutnya SECARA
NORMATIF tanggungjawab pembinaan berada di pundak PEMERINTAH
KABUPATEN melalui dinas terkaitnya. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat
sifatnya memvasilitasi.
Oleh karena itu demi terselenggaranya pembinaan teknis, idealnya setiap Kabupaten
memiliki minimal seorang Pengawas Pendidikan Khusus, sehingga diharapkan
pembinaan teknis edukatif tidak terlewatkan.
KENDALA YANG DIHADAPI
 Kendala senantiasa kita temui dan kita hadapi dalam perjalanannya hingga sekarang,
walaupun kita sadar bahwa pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
pada hakekatnya sama dengan pelayanan pendidikan pada umumnya. Akan tetapi
inilah kenyataannya.
 Kendala dari sisi anak, belum semua anak dapat mengikuti program pendidikan khusus
karena berbagai sebab.
Kendala dari sisi tenaga guru, entah karena apa, dari dahulu hingga sekarang jumlah
tenaga guru belum mencukupi.
Masih minimnya publikasi dan sosialisasi, sehingga adakalanya masyarakat kurang
mengetahui keberadaan TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB di daerahnya, serta
minimnya dukungan stikholder yang ada.
 Kendala dari sisi pembinaan ( menurut hemat penulis) ada beberapa sebab antara lain :
Belum tercipta kesamaan persepsi di jajaran pendidikan khusus ( SDLB, SMPLB, dan
SMALB) sehingga ada yang belum bisa menerima kenyataan bahwa aturan normatif
nya pembinaan adalah PP No. 38 Tahun 2007. Ada sebagian sekolah (khususnya
swasta) yang masih berbeda persepsi dengan pembina di tingkat kabupaten.
 Demikian pula di jajaran pembina pendidikan kabupaten, masih ada sebagian pembina
tingkat Pemerintah Kabupaten yang belum berkenan menempatkan pendidikan khusus
sebagai bagian dari tanggungjawabnya. Hal ini berdampak pada terbatasnya
pembinaan dalam segala aspeknya. Mudahan ini kerliru !
 Apabila telah tercipta kesepaham di tingkat Pembina Kabupaten, belum semua
Kabupaten memiliki seorang pengawas Pendidikan Khusus sebagai pembina
teknisnya.
 Belum tercipta kesamaan persepsi bentuk pembinaan terhadap pendidikan khusus
antara jajaran Pembina tingkat Provinsi, Tingkat kabupaten dasn kalangan sekolah
sendiri. Ini sebuah kenyataan
https://www.slbpelitanusa.sch.id/pendidikan-bagi-anak-berkebutuhan-khusus-abk/
Anak berkebutuhan khusus (Heward/disabilitas) adalah anak dengan karakteristik khusus yang
berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau
fisik. Yang termasuk kedalam ABK antara
lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak
berbakat, anak dengan gangguan kesehatan, dan kesulitan bersosialisasi. Istilah lain bagi anak
berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Karena karakteristik dan hambatan yang
dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan
potensi mereka, contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan
Braille (tulisan timbul) dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat (bahasa tubuh).[1][2]
Menurut pasal 15 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas,[3] bahwa jenis pendidikan bagi Anak
berkebutuan khusus adalah Pendidikan Khusus. Pasal 32 (1) UU No. 20 tahun 2003 memberikan batasan
bahwa Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam
mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa. Teknis layanan pendidikan jenis Pendidikan Khusus untuk peserta didik
yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa dapat diselenggarakan secara
inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Jadi
Pendidikan Khusus hanya ada pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Untuk jenjang pendidikan
tinggi secara khusus belum tersedia.
PP No. 17 Tahun 2010 Pasal 129 ayat (3) menetapkan bahwa Peserta didik berkelainan terdiri atas
peserta didik yang: a. tunanetra; b. tunarungu; c. tunawicara; d. tunagrahita; e. tunadaksa; f. tunalaras; g.
berkesulitan belajar; h. lamban belajar; i. autis; j. memiliki gangguan motorik; k. menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat adiktif lain; dan l. memiliki kelainan lain.
Menurut pasal 130 (1) PP No. 17 Tahun 2010 Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan dapat
diselenggarakan pada semua jalur dan jenis pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. (2)
Penyelenggaraan pendidikan khusus dapat dilakukan melalui satuan pendidikan khusus, satuan
pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan, dan/atau satuan pendidikan keagamaan. Pasal 133 ayat
(4)menetapkan bahwa Penyelenggaraan satuan pendidikan khusus dapat dilaksanakan secara terintegrasi
antarjenjang pendidikan dan/atau antarjenis kelainan. Permendiknas No. 70 tahun 2009 Pasal 3 ayat (1)
Setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan
tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. (2) Peserta didik yang memiliki kelainan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (10 terdiri atas: a. tunanetra; b. tunarungu; c. tunawicara; d.
tunagrahita; e. tunadaksa; f. tunalaras; g. berkesulitan belajar; h. lamban belajar; i. autis; j. memiliki
gangguan motorik; k. menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya; l.
memiliki kelainan lainnya; m. tunaganda Integrasi antar jenjang dalam bentuk Sekolah Luar Biasa (SLB)
satu atap, yakni satu lembaga penyelenggara mengelola jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB
dengan seorang Kepala Sekolah. Sedangkan Integrasi antar jenis kelainan, maka dalam satu jenjang
pendidikan khusus diselenggarakan layanan pendidikan bagi beberapa jenis ketunaan. Bentuknya terdiri
dari TKLB; SDLB, SMPLB, dan SMALB masing-masing sebagai satuan pendidikan yang berdiri sendiri
masing-masing dengan seorang kepala sekolah.
Altenatif layanan yang paling baik untuk kepentingan mutu layanan adalah INTEGRASI ANTAR JENIS.
Keuntungan bagi penyelenggara (sekolah) dapat memberikan layanan yang tervokus sesuai kebutuhan
anak seirama perkembangan psikologis anak. Keuntungan bagi anak, anak menerima layanan sesuai
kebutuhan yang sebenarnya karena sekolah mampu membedakan perlakuan karena memiliki fokus atas
dasar kepentingan anak pada jenjang TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMALB.
Penyelenggaran pendidikan khusus saat ini masih banyak yang menggunakan Integrasi antar jenjang (satu
atap) bahkan digabung juga dengan integrasi antar jenis. Pola ini hanya didasarkan pada effisiensi
ekonomi padahal sebenarnya sangat merugikan anak karena dalam praktiknya seorang guru yang
mengajar di SDLB juga mengajar di SMPLB dan SMALB. Jadi perlakuan yang diberikan kadang sama
antara kepada siswa SDLB, SMPLB dan SMALB. Secara kualitas materi pelajaran juga kurang berkualitas
apalagi secara psikologis karena tidak menghargai perbedaan karakteristik rentang usia.
Adapun bentuk satuan pendidikan / lembaga sesuai dengan kekhususannya di Indonesia dikenal SLB
bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D
untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda.
Pemerintah sebenarnya ada kesempatan memberikan perlakuan yang sama kepada Anak Indonesia tanpa
diskriminasi. Coba renungkan kalau bisa mendirikan SD Negeri, SMP Negeri, SMA Negeri untuk anak
bukan ABK, mengapa tidak bisa mendirikan SDLB Negeri, SMPLB Negeri, dan SMALB Negeri bagi ABK.
Hingga Juni tahun 2013 di Provinsi Jawa Tengah dan DIY baru Pemerintah Kabupaten Cilacap yang
berkenan mendirikan SDLB Negeri, SMPLB Negeri, dan SMALB Negeri masing-masing berdiri sendiri
sebagai satuan pendidikan formal. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Cilacap tidak mempermasalahkan
kewenangan siapa pengelolaan satuan pendidikan khusus, akan tetapi semata-mata didasari oleh
kebutuhan masyarakat sebagai warga negara yang berdomisili di wilayahnya.
Tunanetra
Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. tunanetra dapat diklasifikasikan
kedalam dua golongan yaitu: buta total (Blind) dan low vision. Definisi Tunanetra menurut Kaufman &
Hallahan adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60
setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Karena tunanetra memiliki keterbataan dalam indra
penglihatan maka proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan indra
pendengaran. Oleh karena itu prinsip yang harus diperhatikan dalam memberikan pengajaran kepada
individu tunanetra adalah media yang digunakan harus bersifat taktual dan bersuara, contohnya adalah
penggunaan tulisan braille, gambar timbul, benda model dan benda nyata. sedangkan media yang
bersuara adalah perekam suara dan peranti lunak JAWS. Untuk membantu tunanetra beraktivitas di
sekolah luar biasa mereka belajar mengenai Orientasi dan Mobilitas. Orientasi dan Mobilitas diantaranya
mempelajari bagaimana tunanetra mengetahui tempat dan arah serta bagaimana menggunakan tongkat
putih (tongkat khusus tunanetra yang terbuat dari alumunium)
Tunarungu
Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak
permanen. Klasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat gangguan pendengaran adalah:
1. Gangguan pendengaran sangat ringan(27-40 dB),
2. Gangguan pendengaran ringan(41-55 dB),
3. Gangguan pendengaran sedang(56-70 dB),
4. Gangguan pendengaran berat(71-90 dB),
5. Gangguan pendengaran ekstrem/tuli(di atas 91 dB).
Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara
sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Cara berkomunikasi dengan individu menggunakan bahasa
isyarat, untuk abjad jari telah dipatenkan secara internasional sedangkan untuk isyarat bahasa berbeda-
beda di setiap negara. saat ini dibeberapa sekolah sedang dikembangkan komunikasi total yaitu cara
berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat dan bahasa tubuh. Individu tunarungu
cenderung kesulitan dalam memahami konsep dari sesuatu yang abstrak.
Tunagrahita
Tunagrahita adalah individu yang memiliki intelegensi yang signifikan berada dibawah rata-rata dan disertai
dengan ketidakmampuan dalam adaptasi prilaku yang muncul dalam masa perkembangan. klasifikasi
tunagrahita berdasarkan pada tingkatan IQ.
1. Tunagrahita ringan (IQ: 51-70),
2. Tunagrahita sedang (IQ: 36-51),
3. Tunagrahita berat (IQ: 20-35),
4. Tunagrahita sangat berat (IQ dibawah 20).
Pembelajaran bagi individu tunagrahita lebih di titik beratkan pada kemampuan bina diri dan sosialisasi.
Tunadaksa
Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-
muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral
palsy, amputasi, polio, dan lumpuh. Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah ringan yaitu memiliki
keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik tetap masih dapat ditingkatkan melalui terapi, sedang yaitu
memilki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik, berat yaitu memiliki
keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik.
Tunalaras
Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial.
individu tunalaras biasanya menunjukan prilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan
yang berlaku disekitarnya. Tunalaras dapat disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal yaitu
pengaruh dari lingkungan sekitar.
Kesulitan belajar
Adalah gangguan pada satu atau lebih kemampuan dasar psikologis yang mencakup pemahaman dan
penggunaan bahasa, berbicara dan menulis yang dapat memengaruhi kemampuan berpikir,
membaca, berhitung, berbicara yang disebabkan karena gangguan persepsi, brain injury, disfungsi minimal
otak, dislexia, dan afasia perkembangan. individu kesulitan belajar memiliki IQ rata-rata atau diatas rata-
rata, mengalami gangguan motorik persepsi-motorik, gangguan koordinasi gerak, gangguan orientasi arah
dan ruang dan keterlambatan perkembangan konsep.
Model layanan Pendidikan ABK
1) Bentuk Layanan Pendidikan Segregasi
Sistem layanan pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan yang terpisah dari
sistem pendidikan anak normal. Pendidikan anak berkebutuhan khusus melalui
sistem segregasi maksudnya adalah penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan
secara khusus dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal.
Dengan kata lain anak berkebutuhan kusus diberikan layanan pendidikan pada pada
lembaga pendidikan khusus untuk anak berkebutuhan khusus, seperti Sekolah Luar
Biasa atau Sekolah Dasar Luar Bias, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa,
Sekolah Menengah Atas Luar Biasa.
Sistem pendidikan segregasi merupakan sistem pendidikan yang paling tua. Pada
awal pelaksanaan, sistem ini diselenggarakan karena adanya kekhawatiran atau
keragaman terhadap kemampuan anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama
dengan anak normal. Selain itu, adanya kelainan fungsi tertentu pada anak
berkebutuhan khusus memerlukan layanan pendidikan dengan menggunakan metode
yang sesuai dengan kebutuhan khusus mereka. Misalnya, untuk anak tuna netra,
mereka memerlukan layanan khusus berupa braille, orientasi mobilitas. Anak tuna
rungu memerlukan komunikasi total, bina persepsi bunyi: anak tuna daksa
memerlukan layanan mobilisasi dan aksesilbilitas, dan layanan terapi untuk
mendukung fungsi fisiknya.
Ada empat bentuk pelayanan pendidikan dengan sistem segregasi yaitu:
a) Sekolah Luar Biasa (SLB)
Bentuk Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk sekolah yang paling tua.
Bentuk SLB merupakan bentuk unit pendidikan. Artinya, penyelenggaraan
sekolah mulai dari tingkat persiapan sampai dengan tingkat lanjutan
diselenggarakan dalam satu unit sekolah dengan satu kepala sekolah. Pada
awalnya penyelenggaraan sekolah dalam bentuk unit ini berkembang sesuai
dengan kelainan yang ada (satu kelainan saja) sehingga ada SLB untuk tuna
netra (SLB-A), SLB untuk tuna rungu (SLB-B), SLB untuk tuna grahita (SLB-
C), SLB untuk tuna daksa (SLB-D), dan SLB untuk tuna laras (SLB-E). Di
setiap SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar dan tingkat lanjut.
Sistem pengajarannya lebih mengarah ke sistem individualisasi.
Selain ada SLB yang hanya mendidik satu kelainan saja, ada pula yang
mendidik lebih dari satu kelainan, sehingga muncul SLB-BC yaitu SLB untuk
Anak tuna rungu dan tuna grahita. SLB-ABCD, yaitu SLB untuk anak tuna
netra, tuna rungu, tuna grahita, dan tuna daksa. Hal ini terjadi karena jjumlah
anak yang ada di unit tersebut sedikit dan fasilitas sekolah terbatas.
b) Sekolah Luar Biasa Berasrama
Sekolah Luar Biasa Berasrama merupakan bentuk sekolah luar biasa yang
dilengkapi dengan fasilitas asrama. Peserta didik SLB bersrama tinggal di
asrama. Pengelolaan asrama menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan sekolah,
sehingga di SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut,
serta unit asrama. Bentuk satuan pendidikannya pun juga sama dengan bentuk
SLB di atas, sehingga ada SLB-A untuk tuna netra, SLB untuk tuna rungu
(SLB-B), SLB untuk tuna grahita (SLB-C), SLB untuk tuna daksa (SLB-D), dan
SLB untuk tuna laras (SLB-E), serta SLB AB untuk anak tuna netra dan tuna
rungu.
Pada SLB berasrama terdapat kesinambungan program pembelajaran
yang ada di sekolah dengan di asrama, sehingga asrama merupakan empat
pembinaan setelah anak di sekolah. Selain itu, SLB berasrama merupakan
pilihan sekolah yang sesuai bagi peserta didik yang berasal dari luar daerah,
karena mereka terbatas fasilitas antar jemput.
c) Kelas Jauh / Kelas Kunjung
Kelas jauh atau kelas kunjung adalah lembaga yang disediakan untuk
memeeberi layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal
jauh dari SLB atau SDLB. Penyelenggaraan kelas jauh /kelas kunjung
merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar
serta pemerataan kesempatan belajar.
Anak berkebutuhan khusus tersebar di seluruh pelosok tanah air,
sedangkan sekolah-sekolah yang khusus mendidik mereka masih sangat terbatas
di kota/kabupaten. Oleh karena itu, dengan adanya kelas jauh/kelas kunjung
menjadi tanggung jawab SLB terdekatnya. Tenaga guru yang bertugas di kelas
tersebut berasal dari guru SLB-SLB di dekatnya. Mereka berfungsi sebagai guru
kunjung (itenerant teacher). Kegiatan admistrasinya dilaksanakan di SLB
terdekat tersebut.
d) Sekolah Dasar Luar Biasa
Dalam rangka menuntaskan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan
khusus, pemerintah mulai Pelita II menyelenggarakan Sekolah Dasar Luar Biasa
(SDLB). Di SDLB merupakan unit sekolah yang terdiri dari berbagai kelainan
yang dididik dalam satu atap. Dalam SDLB terdapat anak tuna netra, tuna
rungu, tuna grahita, dan tuna daksa.
Tenaga kependidikan di SDLB terdiri dari kepala sekolah, guru untuk
tuna netra, guru untuk tuna rungu, guru untuk tuna grahita, guru untuk tuna
daksa, guru agama, dan guru olah raga. Selain tenga kependidikan, di SDLB
dilengkapi dengan tenaga ahli.yang berkaitan dengan kelainan mereka, antara
lain dokter umum, dokter spesialis, fisioterapis, psikolog, speech therapish,
audiolog. Selian itu ada tenaga administrasi dan penjaga sekolah.
Kurikulum yang digunakan di SDLB adalah kurikululum yang digunakan
di SLB untuk tingkat dasar yang disesuaikan dengan kekhususannya. Kegiatan
belajat dilakukan secara individual, kelompok dan klasikal sesuai dengan
ketunaan masing-masing.pendekatan yang dipakai juga lebih ke pendekatan
individualisasi. Selain kegiatan pembelajaran, dalam rangka rehabilitasi di
SDLB juga diselenggarakan pelayanan khusus sesuai dengan ketunaan anak.
Anak tuna netra memperoleh latihan menulis dan membaca braille dan orientasi
moobilitas; anak tuna rungu memperoleh latihan membaca ujaran, komunikasi
total bina persepsi bunyi dan irama; tuna grahita memperoleh layanan mengurus
diri sendiri; anak tuna daksa memperoleh layanan fisioterapi dan latihan
koordinasi motorik.
Lama pendidikan di SDLB sama dengan lama pendidikan di SLB
konvensional uuntuk tingkat dasar, yaitu anak tuna netra, tuna grahita, dan tuna
daksa selama 6 tahun, dan anak tuna rungu 8 tahun.
Sejalan dengan perbaikan istem perundangan di RI yaitu UU RI no.2 tahun 1989 dan
PPNo.72 Tahun 1991, dalam pasal 4 PP No.72 Tahun 1991 satuan pendidikan luar
biasa terdiri dari:
a) Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dengan lama pendidikan minimal 6 tahun.
b) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB) minimal 3 tahun.
c) Seklah Menengah Luar Biasa (SMALB) minimal 3 tahun.
Selain itu, pasal 6 PP No.72 Tahun 1991 juga dimungkinkan penyelenggaraaan
Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB) dengan lama pendidikan satu sampai tiga
tahun.
2) Bentuk Layanan Pendidikan Terpadu / Integrasi
Bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi adalah sistem pendidikan yang
memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-
sama dengan anak normal belajar dalam satu atap.
Sistem pendidikan integrasi disebut juga sistem pendidikan terpadu yakni sistem
pendidikan yang membawa anak berkebutuhan khusus kepada suasana keterpaduan
dengan anak normal. Keterpaduan tersebut dapat bersifat menyeluruh, sebagian,
keterpaduan dalam rangka sosialisasi.
Pada sistem keterpaduan secara penuh dan sebagian, jumlah anak berkebutuhan
khusus dalam satu kelas maksimal 10% dari jumlah siswa keseluruhan. Selain itu
dalam satu kelas hanya satu jenis kelainan. Hal ini untuk menjaga beban guru kelas
tidak terlalu berat, dibanding jika guru harus melyani berbagai macam kelainan.
Untuk membantu kesulitan yang dialami oleh anak berkenutuhan khusus, di
sekolah terpadu disediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat berfungsi
sebagai konsultan bagi guru kelas, kepala sekolah atau anak berkebutuhan khusus itu
sendiri. Selain itu GPK juga berfungsi sebagai pembimbing di ruang bimbingan
khusus tau guru kelas pada kelas khusus.
Ada 3 bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus menurut Depdiknas (1986), ketiga bentuk tersebut adalah:
a) Bentuk Kelas Biasa
Dalam bentuk keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus belajar di kelas
biasa secara penuh dengan menggunakan kurikulum biasa. Oleh karena itu,
sangat diharapkan adanya pelayanan dan bantuan guru kelas atau guru bidang
studi semaksimal mungkin dengan memeperhatikan petunjuk-petunjuk khusus
dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di kelas biasa. Bentuk
keterpaduan ini sering juga disebut dengan keterpaduan penuh.
Dalam keterpaduan ini, guru pembimbing khusus hanya berfungsi sebagai
konsultan bagi kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau orang tua anak
berkebutuhan khusus. Sebagai konsultan, guru pembimbing khusus berfungsi
sebagai penasehat kurikulum, maupun permasalahan dalam mengajar
anakcberkebutuhan khusus. Oleh karena itu perlu disediakan ruang konsultasi
untuk guru pembimbing khusus.
Pendekatan, metode, cara penilaian yang digunakan pada kelas biasa
ini tidak berbeda dengan yang digunakan dalam seolah umum. Tetapi, untuk
beberapa mata pelajaran yang disesuaikan dengan ketunaan anak. Misalnya,
untuk anak tuna netra untuk pelajaran menggambar, matematika, menulis,
membaca, perlu disesuaikan dengan kondisi anak. Untuk anak tuna rungu mata
pelajaran kesenian, bhasa asing/bahasa Indonesia ( lisan) perlu disesuaikan
dengan kemampuan wicara anak.
b) Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus
Pada keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus, belajar di kelas biasa
dengan menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti pelayanan khusus untuk
mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus
bersama dengan anak noormal. Pelayanan khusus tersebut diberikan di ruang
bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusus (GPK) dengan menggunakan
pendekatan individu dan metode peragaan yang sesuai. Untuk keperluan
teersebut di ruang bimbingan khusus dilengkai dengan peralatan khusus untuk
memberikan latihan dan bimbingan khusus. Misalnya untuk anak tuna netra, di
ruang bimbingan khusus disediakan alat tulis braille, peralatan orientasi
mobilitas. Keterpaduan pada tingkat ini sering disebut juga keterpaduan sebagian.
c) Bentuk Kelas Khusus
Dalam keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan
sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada sekolah
umum yang melaksanakan program pendidikan tepadu. Keterpaduan ini disebut
juga dengan keterpaduan lokal/bangunan atau keterpaduan yang bersifat
sosialisasi.
Pada tingkat keterpaduan ini, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai
pelaksana program di kelas khusus. Pendekatan, metode, dan cara penilaian yang
digunakan adalah pendekatan, metode, dan cara penilaian yang digunakan di
SLB. Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat fisik dan sosial, yang artinya
anak berkebutuhan khusus yang dipadukan untuk kegiatan yang bersifat non
akademik, seperti olah raga, ketrampilan, juga sosialisasi pada waktu jam-jam
istirahatatau acara lain yang diadakan oleh sekolah.
https://sites.google.com/a/students.unnes.ac.id/pus/page/model-layanan-pendidikan-abk
ABK: Pendidikan untuk Anak
Berkebutuhan Khusus
BERITA TERKINI, MATERI PAUD25 April 2021 Nurul Arifiyanti
ABK merupakan anak yang memilii ciri berbeda dengan anak yang lainnya. Umumnya mereka
mengalami hambatan dan pertumbuhan dan perkembangan. Jumlah anak ABK di Indonesia mencapai
1,4 juta pada tahun 2014. ABK dapat terjadi pada siapa saja sejak dini. Diperlukan identifikasi khusus
agar dapat diberikan penanganan sedini mungkin. Ketika orangtua menemukan perilaku yang berbeda
pada anaknya maka ia dapat langsung menghubungi konselor psikolog. Kebutuhan keluarga dan anak
ABK masih banyak yang terabaikan. Masyarakat memandang sebelah mereka yang memiliki anak
ABK, sehingga apa yang dirasakan keluarga semakin menjadi berat. Pemasalahan anak ABK adalah
memenuhi kebutuhannya sendiri dan lingkungan yang sering tidak memberikan kesempatan pada
mereka untuk tumbuh dan berkembang.
Pendidikan untuk ABK
SLB.
 Mendidik anak dengan kebutuhan yang sama. Contoh: SLB Tunarungu, SLB Tunadaksa
SDLB
 Mendidik anak dengan kebutuhan yang beragam
Pendidikan Terpadu
 Disebut juga sekolah inklusi meskipun belum banyak sekolah yang dapat menerima ABK
UU RI NO 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa sistem pendidikan nasional memberikan warna lain
dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Pasal 15 – Pendidikan khusus
merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkebutuhan khusus atau pesserta didik yang
memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif pada pendidikan tingkat dasar
dan menengah.
Pendidikan Inklusif
Pendidikan yang melibatkan anak berkebutuhan khusus dalam pembelajaran anak biasa. Dasarnya
adalah pada kenyataannya di dunia mereka hidup berdampingan. Hasil observasi lapangan
menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus yang ditempatkan di SLB tidak mengalami
peningkatan sama sekali. anak berkebutuhan khusus yang telah mengenyam pendidikan selama 12
tahun di SLB ternyata belum bisa mandiri, belum terampil melakukan kegiatan sehari-hari, dan
ketergantungan pada oranglain cukup tinggi. Terjadi kesenjangan antara harapan orangtua dan
lembaga. Orangtua berharap anak mereka mandiri sesuai dengan potensi yang mereka miliki.
Lembaga mengajarkan bahan ajar akademik secara klasikal tanpa memperhatikan keragaman
kebutuhan khususnya. Dua Keterampilan yang Harus Dikuasai anak berkebutuhan khusus adalah
Keterampilan dasar membaca, menulis, berhitung, dan komunikasi lisna dan Keterampilan perilaku
adaptif.
UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan. Pasal ini mengamanatkan bahwa semua warga negara, termasuk anak-anak yang
memiliki keterbatasan atau yang berada dalam kondisi kurang beruntung, berhak mendapatkan
pendidikan, terutama pendidikan Sekolah Dasar.
Dalam kegiatan Webinar Education for All: Semua Anak Berhak Mendapatkan Pendidikan yang
diselenggarakan Direktorat Sekolah Dasar, Dra. Sri Wahyuningsih, M.Pd., Direktur Sekolah Dasar
Kemendikbud menegaskan, jika satuan pendidikan Sekolah Dasar merupakan tanggung jawab pihak
pemerintah daerah. Oleh karena itu, pemda setempat harus dipastikan sudah memberikan hak
pendidikan bagi anak-anak.
“Tidak hanya itu, Pemda juga harus dipastikan memberikan segala upaya untuk kelangsungan
pendidikan anak-anak di Sekolah Dasar. Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah terhadap satuan
pendidikan Sekolah Dasar itu terintegrasi dan terlaksana dengan baik,” ujar Sri Wahyuningsih secara
daring, Senin (9/8/21).
Sri menyampaikan, Direktorat Sekolah Dasar selalu berupaya semaksimal mungkin untuk
menyampaikan kebijakan yang telah disiapkan pemerintah pusat hingga betul-betul sampai dan
terlaksana ke satuan pendidikan.
“Kami yakin kawan-kawan di daerah, khususnya di Dinas Pendidikan Kabupaten Kota, sedang
melaksanakan sosialisasi, memberikan bimbingan teknis kepada satuan pendidikan dan kepada
masyarakat. Ini untuk memberikan layanan pendidikan yang terbaik bagi masyarakat sebagai
pemenuhan hak anak-anak, tidak terkecuali anak penyandang disabilitas,” ujarnya.
Dr. Ngadirin, M.Ed., Perwakilan Direktorat PMPK, Kemendikbud Ristek mengemukakan, salah satu
pemenuhan pendidikan anak khususnya bagi penyandang disabilitas adalah melalui pendidikan
inklusif sesuai yang tertuang dalam pasal 1 Permen Nomor 70 tahun 2009.
Pendidikan inklusif sendiri adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan. Ini juga memberi kesempatan
untuk peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa. Semua berhak untuk
mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama,
dengan peserta didik pada umumnya.
Dalam pendidikan inklusif ini, seluruh anak perempuan dan laki-laki harus menyelesaikan pendidikan
dasar dan menengah secara gratis setara dan berkualitas sehingga berjuang pada hasil pembelajaran
yang relevan dan efektif.
“Jadi edukasi 2030 ke bawah ini tidak ada lagi anak-anak yang tidak sekolah. Tidak ada lagi anak-
anak yang tidak mendapatkan pendidikan. Dan sangat ditekankan menghapus kualitas gender dan
akses yang setara untuk pendidikan tingkat sekolah termasuk para penyandang disabilitas,” papar
Ngadirin.
Hak penyandang disabilitas dijamin oleh undang-undang nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang
disabilitas yang mencantumkan hak-hak penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas punya hak
memperoleh pendidikan inklusif untuk mengakses pembelajaran bermutu di seluruh tingkatan dan
jenis fasilitas pendidikan.
“Akomodasi yang layak bagi anak-anak penyandang disabilitas juga tertuang dengan PP nomor 13
tahun 2020. Modifikasi dan penyesuaian yang tepat dan diperlukan untuk menjamin pelaksanaan
semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental untuk penyandang disabilitas berdasarkan
kesetaraan,” ujarnya.
Sementara itu, Dinas Pendidikan Kota Surakarta Drs. Hasto Daryanto, M.Pd., menambahkan, untuk
membersamai pendidikan inklusif di Kota Surakarta, pertama yang dilakukan adalah semua pihak
yang terlibat harus konsisten pada komitmen terhadap pendidikan inklusif. Komitmen ini, lanjutnya,
adalah pendidikan inklusif itu memiliki cara pandang yang jernih tentang hakikat anak sebagai
individu yang unik dan yang humanis.
“Oleh karena itu, komitmen pertama kami adalah pada keunikan individu anak yang harus kita
perlakukan sesuai kebutuhan dan keberminatan,” tuturnya.
Maka nilai-nilai dasar yang dianut di Kota Surakarta untuk menguatkan komitmen tersebut adalah
sikap welas asih, empati, respek dan mau membersamai anak-anak dan membahagiakan anak-anak.
Hasto mengatakan, untuk menguatkan komitmen pendidikan inklusif di Kota Surakarta adalah
memandang anak sebagai individu yang terlahir beragam. Itu akan menjadi pedoman untuk
memperlakukan keberagaman tersebut sesuai konteks kebutuhan individunya.
“Jadi pada saat memperlakukan pendidikan inklusif mengawal dan membersamai ini kami bertolak
dari konsistensi pendekatan komitmen, bahwa setiap anak yang terlahir di dunia ini pasti beragam.
Harus kita perlakukan keunikannya itu dengan nilai-nilai welas asih, nilai-nilai empati, respect dan
membersamai mereka dan membahagiakan mereka,” ujar Hasto.
Lalu untuk menguatkan nilai-nilai tersebut kata Hasto, beberapa program dilakukan Dinas
Pendidikan Kota Surakarta. Di antaranya memperluas akses kebutuhan anak masuk ke sekolah
inklusif.
Oleh karena itu, di Kota Surakarta ada aturan bahwa setiap anak berkebutuhan khusus yang akan
memasuki satuan pendidikan di atasnya itu harus sudah mendapatkan tempat sebelum pendaftaran
online dimulai. Baik untuk jenjang PAUD, SD, SMP, di mana mekanismenya anak-anak harus di
asesmen di kantor UPT pusat pelayanan pendidikan inklusif. Sehingga nanti pada saat pendaftaran
online anak-anak sudah diarahkan oleh UPT.
“Anak-anak berkebutuhan khusus ini nanti akan mendapatkan akses ke jenjang sekolah yang di
atasnya. Dan nanti pengawalan akan menjadi tanggung jawab pusat pelayanan disabilitas dan
pendidikan inklusif,” tutupnya. (*)
https://ditpsd.kemdikbud.go.id/artikel/detail/penuhi-hak-pendidikan-anak-melalui-pendidikan-inklusif

More Related Content

Similar to pendidikan anak berkebutuhan khusus.docx

Masalah pendidikan di indonesia
Masalah pendidikan di indonesiaMasalah pendidikan di indonesia
Masalah pendidikan di indonesia
Fitria Hadri Yani
 
Pendidikan non formal
Pendidikan non formalPendidikan non formal
Pendidikan non formal
Iwan Rappang
 
Sharing Bimtek Guru Pembimbing Khusus Materi Hari ke-3 SMP Ibrahimy Sukorejo ...
Sharing Bimtek Guru Pembimbing Khusus Materi Hari ke-3 SMP Ibrahimy Sukorejo ...Sharing Bimtek Guru Pembimbing Khusus Materi Hari ke-3 SMP Ibrahimy Sukorejo ...
Sharing Bimtek Guru Pembimbing Khusus Materi Hari ke-3 SMP Ibrahimy Sukorejo ...
ZainulHasan13
 
Best practice
Best practiceBest practice
Best practice
Hati N
 

Similar to pendidikan anak berkebutuhan khusus.docx (20)

Masalah pendidikan di indonesia
Masalah pendidikan di indonesiaMasalah pendidikan di indonesia
Masalah pendidikan di indonesia
 
Pendidikan non formal
Pendidikan non formalPendidikan non formal
Pendidikan non formal
 
Sharing Bimtek Guru Pembimbing Khusus Materi Hari ke-3 SMP Ibrahimy Sukorejo ...
Sharing Bimtek Guru Pembimbing Khusus Materi Hari ke-3 SMP Ibrahimy Sukorejo ...Sharing Bimtek Guru Pembimbing Khusus Materi Hari ke-3 SMP Ibrahimy Sukorejo ...
Sharing Bimtek Guru Pembimbing Khusus Materi Hari ke-3 SMP Ibrahimy Sukorejo ...
 
Education for all
Education for allEducation for all
Education for all
 
Proposal penelitian
Proposal penelitianProposal penelitian
Proposal penelitian
 
topik 5
topik 5topik 5
topik 5
 
Kebijakan madrasah
Kebijakan madrasahKebijakan madrasah
Kebijakan madrasah
 
Kebijakan madrasah tugas sumardi KEBIJAKAN
Kebijakan madrasah tugas sumardi KEBIJAKANKebijakan madrasah tugas sumardi KEBIJAKAN
Kebijakan madrasah tugas sumardi KEBIJAKAN
 
FORMAT IDENTIFIKASI PDBK 2022.pdf
FORMAT IDENTIFIKASI PDBK 2022.pdfFORMAT IDENTIFIKASI PDBK 2022.pdf
FORMAT IDENTIFIKASI PDBK 2022.pdf
 
Assignment PKU
Assignment PKUAssignment PKU
Assignment PKU
 
Komitmen guru
Komitmen guruKomitmen guru
Komitmen guru
 
Istimewa pendidikan diy
Istimewa pendidikan diyIstimewa pendidikan diy
Istimewa pendidikan diy
 
Best practice kepala sekolah tahun 2014
Best practice kepala sekolah tahun 2014Best practice kepala sekolah tahun 2014
Best practice kepala sekolah tahun 2014
 
Best practice
Best practiceBest practice
Best practice
 
PPT PPABK KELOMPOK 1.pptx
PPT PPABK KELOMPOK 1.pptxPPT PPABK KELOMPOK 1.pptx
PPT PPABK KELOMPOK 1.pptx
 
Education for all
Education for allEducation for all
Education for all
 
MODUL 3 ABK.pptx
MODUL 3 ABK.pptxMODUL 3 ABK.pptx
MODUL 3 ABK.pptx
 
LANDASAN PENDIDIKAN
LANDASAN PENDIDIKANLANDASAN PENDIDIKAN
LANDASAN PENDIDIKAN
 
6. SISTEM DUKUNGAN.pdf
6. SISTEM DUKUNGAN.pdf6. SISTEM DUKUNGAN.pdf
6. SISTEM DUKUNGAN.pdf
 
Cheklist
CheklistCheklist
Cheklist
 

Recently uploaded

Power point materi IPA pada materi unsur
Power point materi IPA pada materi unsurPower point materi IPA pada materi unsur
Power point materi IPA pada materi unsur
DoddiKELAS7A
 
SK PANITIA PELAKSANA IHT SMPN 2 KEMPAS KECAMATAN KEMPAS
SK PANITIA PELAKSANA IHT SMPN 2 KEMPAS KECAMATAN KEMPASSK PANITIA PELAKSANA IHT SMPN 2 KEMPAS KECAMATAN KEMPAS
SK PANITIA PELAKSANA IHT SMPN 2 KEMPAS KECAMATAN KEMPAS
susilowati82
 

Recently uploaded (20)

UAS Matematika kelas IX 2024 HK_2024.pdf
UAS Matematika kelas IX 2024 HK_2024.pdfUAS Matematika kelas IX 2024 HK_2024.pdf
UAS Matematika kelas IX 2024 HK_2024.pdf
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 4 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 4 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 4 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 4 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
Variasi dan Gaya Mengajar, Mata Kuliah Strategi Belajar Mengajar
Variasi dan Gaya Mengajar, Mata Kuliah Strategi Belajar MengajarVariasi dan Gaya Mengajar, Mata Kuliah Strategi Belajar Mengajar
Variasi dan Gaya Mengajar, Mata Kuliah Strategi Belajar Mengajar
 
Obat pada masa kehamilan: uteretonik dan tokolitik
Obat pada masa kehamilan: uteretonik dan tokolitikObat pada masa kehamilan: uteretonik dan tokolitik
Obat pada masa kehamilan: uteretonik dan tokolitik
 
Materi E-modul Ekosistem kelas X SMA.docx
Materi E-modul Ekosistem kelas X SMA.docxMateri E-modul Ekosistem kelas X SMA.docx
Materi E-modul Ekosistem kelas X SMA.docx
 
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 4 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 4 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 4 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 4 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
Aksi Nyata Modul 1.3 Visi Guru penggerak
Aksi Nyata Modul 1.3 Visi Guru penggerakAksi Nyata Modul 1.3 Visi Guru penggerak
Aksi Nyata Modul 1.3 Visi Guru penggerak
 
MODUL AJAR PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 4 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 4 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 4 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 4 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
E-modul materi Ekosistem Kelas 10 SMA (Preview)
E-modul materi Ekosistem Kelas 10 SMA (Preview)E-modul materi Ekosistem Kelas 10 SMA (Preview)
E-modul materi Ekosistem Kelas 10 SMA (Preview)
 
Power point materi IPA pada materi unsur
Power point materi IPA pada materi unsurPower point materi IPA pada materi unsur
Power point materi IPA pada materi unsur
 
SK PANITIA PELAKSANA IHT SMPN 2 KEMPAS KECAMATAN KEMPAS
SK PANITIA PELAKSANA IHT SMPN 2 KEMPAS KECAMATAN KEMPASSK PANITIA PELAKSANA IHT SMPN 2 KEMPAS KECAMATAN KEMPAS
SK PANITIA PELAKSANA IHT SMPN 2 KEMPAS KECAMATAN KEMPAS
 
Analisis Regresi Analisis Regresi dan Korelasi.ppt
Analisis Regresi Analisis Regresi dan Korelasi.pptAnalisis Regresi Analisis Regresi dan Korelasi.ppt
Analisis Regresi Analisis Regresi dan Korelasi.ppt
 
AKUNTANSI INVESTASI PD SEKURITAS UTANG.pptx
AKUNTANSI INVESTASI PD SEKURITAS UTANG.pptxAKUNTANSI INVESTASI PD SEKURITAS UTANG.pptx
AKUNTANSI INVESTASI PD SEKURITAS UTANG.pptx
 
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
MODUL AJAR IPAS KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR IPAS KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR IPAS KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR IPAS KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
PWS KIA (Pemantauan Wilayah Setempat) Kesehatan Ibu dan Anak
PWS KIA (Pemantauan Wilayah Setempat) Kesehatan Ibu dan AnakPWS KIA (Pemantauan Wilayah Setempat) Kesehatan Ibu dan Anak
PWS KIA (Pemantauan Wilayah Setempat) Kesehatan Ibu dan Anak
 
MODUL AJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM & BUDI PEKERTI (PAIBP) KELAS 6.pdf
MODUL AJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM & BUDI PEKERTI (PAIBP) KELAS 6.pdfMODUL AJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM & BUDI PEKERTI (PAIBP) KELAS 6.pdf
MODUL AJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM & BUDI PEKERTI (PAIBP) KELAS 6.pdf
 
MODUL AJAR PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
PELAKSANAAN + Link2 MATERI Training_ "AUDIT INTERNAL + SISTEM MANAJEMEN MUTU ...
PELAKSANAAN + Link2 MATERI Training_ "AUDIT INTERNAL + SISTEM MANAJEMEN MUTU ...PELAKSANAAN + Link2 MATERI Training_ "AUDIT INTERNAL + SISTEM MANAJEMEN MUTU ...
PELAKSANAAN + Link2 MATERI Training_ "AUDIT INTERNAL + SISTEM MANAJEMEN MUTU ...
 

pendidikan anak berkebutuhan khusus.docx

  • 1. PENDIDIKAN BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ( ABK)  Post author:admin  Post published:16 Juli 2019  Post category:Blog  Post comments:0 Comments Posted on 6 Maret 2010by IGPKhI JATENG Mencoba memahami dunia pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus ( ABK) sebagai upaya perluasan dan pemerataan pelayanan pendidikan di Indonesia. SIAPA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ? Persepsi atas layanan pendidikan bagi anak Indonesia tak berhenti pada sudut persimpangan jalan, tetapi berjalan layaknya arah depan kita yang tak mengenal kata buntu dalam hidup. Dari waktu ke waktu persepsi atau pemaknaan atas istilah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) mengalir bagai air mencari tempat yang bemakna. Semua persepsi itu benar pada zamannya. Anak berkebutuhan khusus adalah sebagai pengganti istilah lama anak cacat atau penyandang cacat. Sebenarnya istilah Anak Bekebutuhan Khusus adalah untuk menunjuk mereka yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial. Pemerintah memahami atas dasar kondisi keterbatasannya sehingga berasumsi anak yang memiliki kekurangan dan kelebihan kemampuan khususnya dalam bidang pendidikan memiliki kebutuhan pendidikan secara khusus. Atas dasar persepsi itulah akhirnya menempatkan status bagi anak yang memiliki kekurangan dan kelebihan kemampuan sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Pemerintah menempatkan keterbatasannya untuk mengukur kebutuhan layanan, khususnya layanan pendidikan. Persepsi ini tidak salah, tetapi menurut hemat penulis, sudah saatnya layanan pendidikan didasarkan pada potensi yang dimiliki anak. PENDIDIKAN BAGI ABK Anak Bekebutuhan Khusus pada awalnya dikenal sebagai Anak Luar Biasa (ALB) sehingga pendidikannya juga dikenal sebagai Pendidikan Luar Biasa (PLB), lembaga pendidikannya juga dikenal sebagai Sekolah Luar Biasa (SLB). Perkembangan selanjutnya dalam bidang pendidikan pasal 5 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003 mengganti istilah Pendidikan Luar Biasa menjadi Pendidikan Khusus dengan menjamin bahwa ” Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus “. Selain itu ayat 4 juga menjamin bahwa ” Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus “. Jadi kelainan ditinjau dari kekurangan dan kelebihannya. Selanjutnya lembaga pendidikan bagi ABK dapat kita pahami atas dasar UU No. 20 tahun 2003 Pasal 15 yakni Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Sedangkan pasal 32 ayat 1 UU No. 20 Th 2003 menegaskan bahwa ” Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran
  • 2. karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa “. Oleh karena itu sebagai lembaga pendidikan jalur pendidikan formal jenjang PAUD, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, maka lembaga pendidikan dalam koridor pendidikan khusus untuk semua jenjang harus berpedoman pada UU No. 20 Tahun 2003. Dari segi lembaga dan jenjang Pendidikan Khusus meliputi Jenjang PAUD adalah TKLB, Jenjang Pendidikan Dasar adalah SDLB dan SMPLB, sedang untuk jenjang Pendidikan Menengah adalah SMALB. Selanjutnya secara teknis operasional pendidikan khusus diatur dengan Permendiknas No. 01 tahun 2008 tentang Standar Operasional Pendidikan Khusus yang secara sederhana dapat dipahami sbb :  Pengelompokan siswa adalah bagian A untuk siswa Tunanetra, bagian B untuk siswa Tunarungu, bagian C untuk siswa Tuangrahiata ringan, Bagian C1 untuk siswa Tunagrahita sedang, Bagian D untuk siswa Tunadaksa, bagian D1 untuk siswa Tunadaksa sedang dan bagian E untuk anak Tunalaras.  Pengelolaan kelas diatur untuk jenjang TKLB dan SDLB maksimum 5 anak per kelas, dan untuk SMPLB dan SMALB 8 anak perkelas.  Kurikulum yang diterapkan adalah KTSP dalam bentuk kurikulum jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB masing-masing untuk bagian A, B, C, C1, D, D1 dan E Pembelajaran bersifat indifidual.  Pembagian tugas untuk jenjang TKLB dan SDLB adalah guru kelas, sedang untuk SMPLB dan SMALB sebagai guru matapelajaran.  Persyaratan untuk menjadi guru pada TKLB dan SDLB diharuskan berijazah S1 (sarjana) Pendidikan Khusus (PK) atau Pendidikan Luar Biasa (PLB), sedang untuk guru SMPLB dan SMALB dapat S1 PK / PLB atau S1 matapelajaran yang diajarkan di SMPLB dan SMALB. PEMBINAAN Pada saat Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 masih berlaku, pembinaan SLB berada di Pemerintah Provinsi. Kewenangan penyelenggaraan SLB berada di Dinas Pendidikan Provinsi. Atas kondisi ini ( pada saat itu) Pemerintah Kabupaten belum menempatkan pembinaan SLB sebagai tanggungjawabnya. Pembinaan dititipkan pada Pengaswas TK/SD. Bagi SDLB tak masalah, tetapi bagi SMPLB dan SMALB adakalanya menemui situasi yang kurang menguntungkan. Hal ini berlangsung hingga lahir PP No. 38 Tahun 2007. Perkembangan selanjutnya pembinaan umum kelembagaan mengacu pada UU No. 32 tahun 1999 dan PP No. 38 Tahun 2007 dimana pada hakekatnya adalah sama dengan pembinaan terhadap pendidikan jenjang PAUD, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah pada umumnya. Hal yang membedakan adalah pembinaan teknis pendidikannya. Atas dasar ketentuan ini selanjutnya SECARA NORMATIF tanggungjawab pembinaan berada di pundak PEMERINTAH KABUPATEN melalui dinas terkaitnya. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat sifatnya memvasilitasi. Oleh karena itu demi terselenggaranya pembinaan teknis, idealnya setiap Kabupaten memiliki minimal seorang Pengawas Pendidikan Khusus, sehingga diharapkan pembinaan teknis edukatif tidak terlewatkan. KENDALA YANG DIHADAPI
  • 3.  Kendala senantiasa kita temui dan kita hadapi dalam perjalanannya hingga sekarang, walaupun kita sadar bahwa pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus pada hakekatnya sama dengan pelayanan pendidikan pada umumnya. Akan tetapi inilah kenyataannya.  Kendala dari sisi anak, belum semua anak dapat mengikuti program pendidikan khusus karena berbagai sebab. Kendala dari sisi tenaga guru, entah karena apa, dari dahulu hingga sekarang jumlah tenaga guru belum mencukupi. Masih minimnya publikasi dan sosialisasi, sehingga adakalanya masyarakat kurang mengetahui keberadaan TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB di daerahnya, serta minimnya dukungan stikholder yang ada.  Kendala dari sisi pembinaan ( menurut hemat penulis) ada beberapa sebab antara lain : Belum tercipta kesamaan persepsi di jajaran pendidikan khusus ( SDLB, SMPLB, dan SMALB) sehingga ada yang belum bisa menerima kenyataan bahwa aturan normatif nya pembinaan adalah PP No. 38 Tahun 2007. Ada sebagian sekolah (khususnya swasta) yang masih berbeda persepsi dengan pembina di tingkat kabupaten.  Demikian pula di jajaran pembina pendidikan kabupaten, masih ada sebagian pembina tingkat Pemerintah Kabupaten yang belum berkenan menempatkan pendidikan khusus sebagai bagian dari tanggungjawabnya. Hal ini berdampak pada terbatasnya pembinaan dalam segala aspeknya. Mudahan ini kerliru !  Apabila telah tercipta kesepaham di tingkat Pembina Kabupaten, belum semua Kabupaten memiliki seorang pengawas Pendidikan Khusus sebagai pembina teknisnya.  Belum tercipta kesamaan persepsi bentuk pembinaan terhadap pendidikan khusus antara jajaran Pembina tingkat Provinsi, Tingkat kabupaten dasn kalangan sekolah sendiri. Ini sebuah kenyataan https://www.slbpelitanusa.sch.id/pendidikan-bagi-anak-berkebutuhan-khusus-abk/
  • 4. Anak berkebutuhan khusus (Heward/disabilitas) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Yang termasuk kedalam ABK antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan, dan kesulitan bersosialisasi. Istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille (tulisan timbul) dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat (bahasa tubuh).[1][2] Menurut pasal 15 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas,[3] bahwa jenis pendidikan bagi Anak berkebutuan khusus adalah Pendidikan Khusus. Pasal 32 (1) UU No. 20 tahun 2003 memberikan batasan bahwa Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Teknis layanan pendidikan jenis Pendidikan Khusus untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa dapat diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Jadi Pendidikan Khusus hanya ada pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Untuk jenjang pendidikan tinggi secara khusus belum tersedia. PP No. 17 Tahun 2010 Pasal 129 ayat (3) menetapkan bahwa Peserta didik berkelainan terdiri atas peserta didik yang: a. tunanetra; b. tunarungu; c. tunawicara; d. tunagrahita; e. tunadaksa; f. tunalaras; g. berkesulitan belajar; h. lamban belajar; i. autis; j. memiliki gangguan motorik; k. menjadi korban penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat adiktif lain; dan l. memiliki kelainan lain. Menurut pasal 130 (1) PP No. 17 Tahun 2010 Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan dapat diselenggarakan pada semua jalur dan jenis pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. (2) Penyelenggaraan pendidikan khusus dapat dilakukan melalui satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan, dan/atau satuan pendidikan keagamaan. Pasal 133 ayat (4)menetapkan bahwa Penyelenggaraan satuan pendidikan khusus dapat dilaksanakan secara terintegrasi antarjenjang pendidikan dan/atau antarjenis kelainan. Permendiknas No. 70 tahun 2009 Pasal 3 ayat (1) Setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. (2) Peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud dalam ayat (10 terdiri atas: a. tunanetra; b. tunarungu; c. tunawicara; d. tunagrahita; e. tunadaksa; f. tunalaras; g. berkesulitan belajar; h. lamban belajar; i. autis; j. memiliki gangguan motorik; k. menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya; l. memiliki kelainan lainnya; m. tunaganda Integrasi antar jenjang dalam bentuk Sekolah Luar Biasa (SLB) satu atap, yakni satu lembaga penyelenggara mengelola jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB dengan seorang Kepala Sekolah. Sedangkan Integrasi antar jenis kelainan, maka dalam satu jenjang pendidikan khusus diselenggarakan layanan pendidikan bagi beberapa jenis ketunaan. Bentuknya terdiri dari TKLB; SDLB, SMPLB, dan SMALB masing-masing sebagai satuan pendidikan yang berdiri sendiri masing-masing dengan seorang kepala sekolah. Altenatif layanan yang paling baik untuk kepentingan mutu layanan adalah INTEGRASI ANTAR JENIS. Keuntungan bagi penyelenggara (sekolah) dapat memberikan layanan yang tervokus sesuai kebutuhan anak seirama perkembangan psikologis anak. Keuntungan bagi anak, anak menerima layanan sesuai kebutuhan yang sebenarnya karena sekolah mampu membedakan perlakuan karena memiliki fokus atas dasar kepentingan anak pada jenjang TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMALB. Penyelenggaran pendidikan khusus saat ini masih banyak yang menggunakan Integrasi antar jenjang (satu atap) bahkan digabung juga dengan integrasi antar jenis. Pola ini hanya didasarkan pada effisiensi ekonomi padahal sebenarnya sangat merugikan anak karena dalam praktiknya seorang guru yang mengajar di SDLB juga mengajar di SMPLB dan SMALB. Jadi perlakuan yang diberikan kadang sama antara kepada siswa SDLB, SMPLB dan SMALB. Secara kualitas materi pelajaran juga kurang berkualitas apalagi secara psikologis karena tidak menghargai perbedaan karakteristik rentang usia. Adapun bentuk satuan pendidikan / lembaga sesuai dengan kekhususannya di Indonesia dikenal SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda. Pemerintah sebenarnya ada kesempatan memberikan perlakuan yang sama kepada Anak Indonesia tanpa diskriminasi. Coba renungkan kalau bisa mendirikan SD Negeri, SMP Negeri, SMA Negeri untuk anak bukan ABK, mengapa tidak bisa mendirikan SDLB Negeri, SMPLB Negeri, dan SMALB Negeri bagi ABK. Hingga Juni tahun 2013 di Provinsi Jawa Tengah dan DIY baru Pemerintah Kabupaten Cilacap yang berkenan mendirikan SDLB Negeri, SMPLB Negeri, dan SMALB Negeri masing-masing berdiri sendiri sebagai satuan pendidikan formal. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Cilacap tidak mempermasalahkan
  • 5. kewenangan siapa pengelolaan satuan pendidikan khusus, akan tetapi semata-mata didasari oleh kebutuhan masyarakat sebagai warga negara yang berdomisili di wilayahnya. Tunanetra Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (Blind) dan low vision. Definisi Tunanetra menurut Kaufman & Hallahan adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Karena tunanetra memiliki keterbataan dalam indra penglihatan maka proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan indra pendengaran. Oleh karena itu prinsip yang harus diperhatikan dalam memberikan pengajaran kepada individu tunanetra adalah media yang digunakan harus bersifat taktual dan bersuara, contohnya adalah penggunaan tulisan braille, gambar timbul, benda model dan benda nyata. sedangkan media yang bersuara adalah perekam suara dan peranti lunak JAWS. Untuk membantu tunanetra beraktivitas di sekolah luar biasa mereka belajar mengenai Orientasi dan Mobilitas. Orientasi dan Mobilitas diantaranya mempelajari bagaimana tunanetra mengetahui tempat dan arah serta bagaimana menggunakan tongkat putih (tongkat khusus tunanetra yang terbuat dari alumunium) Tunarungu Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Klasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat gangguan pendengaran adalah: 1. Gangguan pendengaran sangat ringan(27-40 dB), 2. Gangguan pendengaran ringan(41-55 dB), 3. Gangguan pendengaran sedang(56-70 dB), 4. Gangguan pendengaran berat(71-90 dB), 5. Gangguan pendengaran ekstrem/tuli(di atas 91 dB). Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Cara berkomunikasi dengan individu menggunakan bahasa isyarat, untuk abjad jari telah dipatenkan secara internasional sedangkan untuk isyarat bahasa berbeda- beda di setiap negara. saat ini dibeberapa sekolah sedang dikembangkan komunikasi total yaitu cara berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat dan bahasa tubuh. Individu tunarungu cenderung kesulitan dalam memahami konsep dari sesuatu yang abstrak. Tunagrahita Tunagrahita adalah individu yang memiliki intelegensi yang signifikan berada dibawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi prilaku yang muncul dalam masa perkembangan. klasifikasi tunagrahita berdasarkan pada tingkatan IQ. 1. Tunagrahita ringan (IQ: 51-70), 2. Tunagrahita sedang (IQ: 36-51), 3. Tunagrahita berat (IQ: 20-35), 4. Tunagrahita sangat berat (IQ dibawah 20). Pembelajaran bagi individu tunagrahita lebih di titik beratkan pada kemampuan bina diri dan sosialisasi. Tunadaksa Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro- muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh. Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik tetap masih dapat ditingkatkan melalui terapi, sedang yaitu memilki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik, berat yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik. Tunalaras Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. individu tunalaras biasanya menunjukan prilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan
  • 6. yang berlaku disekitarnya. Tunalaras dapat disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal yaitu pengaruh dari lingkungan sekitar. Kesulitan belajar Adalah gangguan pada satu atau lebih kemampuan dasar psikologis yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa, berbicara dan menulis yang dapat memengaruhi kemampuan berpikir, membaca, berhitung, berbicara yang disebabkan karena gangguan persepsi, brain injury, disfungsi minimal otak, dislexia, dan afasia perkembangan. individu kesulitan belajar memiliki IQ rata-rata atau diatas rata- rata, mengalami gangguan motorik persepsi-motorik, gangguan koordinasi gerak, gangguan orientasi arah dan ruang dan keterlambatan perkembangan konsep. Model layanan Pendidikan ABK 1) Bentuk Layanan Pendidikan Segregasi Sistem layanan pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan yang terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Pendidikan anak berkebutuhan khusus melalui sistem segregasi maksudnya adalah penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal. Dengan kata lain anak berkebutuhan kusus diberikan layanan pendidikan pada pada lembaga pendidikan khusus untuk anak berkebutuhan khusus, seperti Sekolah Luar Biasa atau Sekolah Dasar Luar Bias, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, Sekolah Menengah Atas Luar Biasa. Sistem pendidikan segregasi merupakan sistem pendidikan yang paling tua. Pada awal pelaksanaan, sistem ini diselenggarakan karena adanya kekhawatiran atau keragaman terhadap kemampuan anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama dengan anak normal. Selain itu, adanya kelainan fungsi tertentu pada anak berkebutuhan khusus memerlukan layanan pendidikan dengan menggunakan metode yang sesuai dengan kebutuhan khusus mereka. Misalnya, untuk anak tuna netra, mereka memerlukan layanan khusus berupa braille, orientasi mobilitas. Anak tuna rungu memerlukan komunikasi total, bina persepsi bunyi: anak tuna daksa memerlukan layanan mobilisasi dan aksesilbilitas, dan layanan terapi untuk mendukung fungsi fisiknya. Ada empat bentuk pelayanan pendidikan dengan sistem segregasi yaitu: a) Sekolah Luar Biasa (SLB) Bentuk Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk sekolah yang paling tua. Bentuk SLB merupakan bentuk unit pendidikan. Artinya, penyelenggaraan sekolah mulai dari tingkat persiapan sampai dengan tingkat lanjutan diselenggarakan dalam satu unit sekolah dengan satu kepala sekolah. Pada awalnya penyelenggaraan sekolah dalam bentuk unit ini berkembang sesuai dengan kelainan yang ada (satu kelainan saja) sehingga ada SLB untuk tuna netra (SLB-A), SLB untuk tuna rungu (SLB-B), SLB untuk tuna grahita (SLB- C), SLB untuk tuna daksa (SLB-D), dan SLB untuk tuna laras (SLB-E). Di setiap SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar dan tingkat lanjut. Sistem pengajarannya lebih mengarah ke sistem individualisasi. Selain ada SLB yang hanya mendidik satu kelainan saja, ada pula yang mendidik lebih dari satu kelainan, sehingga muncul SLB-BC yaitu SLB untuk Anak tuna rungu dan tuna grahita. SLB-ABCD, yaitu SLB untuk anak tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, dan tuna daksa. Hal ini terjadi karena jjumlah anak yang ada di unit tersebut sedikit dan fasilitas sekolah terbatas. b) Sekolah Luar Biasa Berasrama
  • 7. Sekolah Luar Biasa Berasrama merupakan bentuk sekolah luar biasa yang dilengkapi dengan fasilitas asrama. Peserta didik SLB bersrama tinggal di asrama. Pengelolaan asrama menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan sekolah, sehingga di SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut, serta unit asrama. Bentuk satuan pendidikannya pun juga sama dengan bentuk SLB di atas, sehingga ada SLB-A untuk tuna netra, SLB untuk tuna rungu (SLB-B), SLB untuk tuna grahita (SLB-C), SLB untuk tuna daksa (SLB-D), dan SLB untuk tuna laras (SLB-E), serta SLB AB untuk anak tuna netra dan tuna rungu. Pada SLB berasrama terdapat kesinambungan program pembelajaran yang ada di sekolah dengan di asrama, sehingga asrama merupakan empat pembinaan setelah anak di sekolah. Selain itu, SLB berasrama merupakan pilihan sekolah yang sesuai bagi peserta didik yang berasal dari luar daerah, karena mereka terbatas fasilitas antar jemput. c) Kelas Jauh / Kelas Kunjung Kelas jauh atau kelas kunjung adalah lembaga yang disediakan untuk memeeberi layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB. Penyelenggaraan kelas jauh /kelas kunjung merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar serta pemerataan kesempatan belajar. Anak berkebutuhan khusus tersebar di seluruh pelosok tanah air, sedangkan sekolah-sekolah yang khusus mendidik mereka masih sangat terbatas di kota/kabupaten. Oleh karena itu, dengan adanya kelas jauh/kelas kunjung menjadi tanggung jawab SLB terdekatnya. Tenaga guru yang bertugas di kelas tersebut berasal dari guru SLB-SLB di dekatnya. Mereka berfungsi sebagai guru kunjung (itenerant teacher). Kegiatan admistrasinya dilaksanakan di SLB terdekat tersebut. d) Sekolah Dasar Luar Biasa Dalam rangka menuntaskan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus, pemerintah mulai Pelita II menyelenggarakan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Di SDLB merupakan unit sekolah yang terdiri dari berbagai kelainan yang dididik dalam satu atap. Dalam SDLB terdapat anak tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, dan tuna daksa. Tenaga kependidikan di SDLB terdiri dari kepala sekolah, guru untuk tuna netra, guru untuk tuna rungu, guru untuk tuna grahita, guru untuk tuna daksa, guru agama, dan guru olah raga. Selain tenga kependidikan, di SDLB dilengkapi dengan tenaga ahli.yang berkaitan dengan kelainan mereka, antara lain dokter umum, dokter spesialis, fisioterapis, psikolog, speech therapish, audiolog. Selian itu ada tenaga administrasi dan penjaga sekolah. Kurikulum yang digunakan di SDLB adalah kurikululum yang digunakan di SLB untuk tingkat dasar yang disesuaikan dengan kekhususannya. Kegiatan belajat dilakukan secara individual, kelompok dan klasikal sesuai dengan ketunaan masing-masing.pendekatan yang dipakai juga lebih ke pendekatan individualisasi. Selain kegiatan pembelajaran, dalam rangka rehabilitasi di SDLB juga diselenggarakan pelayanan khusus sesuai dengan ketunaan anak. Anak tuna netra memperoleh latihan menulis dan membaca braille dan orientasi moobilitas; anak tuna rungu memperoleh latihan membaca ujaran, komunikasi total bina persepsi bunyi dan irama; tuna grahita memperoleh layanan mengurus diri sendiri; anak tuna daksa memperoleh layanan fisioterapi dan latihan
  • 8. koordinasi motorik. Lama pendidikan di SDLB sama dengan lama pendidikan di SLB konvensional uuntuk tingkat dasar, yaitu anak tuna netra, tuna grahita, dan tuna daksa selama 6 tahun, dan anak tuna rungu 8 tahun. Sejalan dengan perbaikan istem perundangan di RI yaitu UU RI no.2 tahun 1989 dan PPNo.72 Tahun 1991, dalam pasal 4 PP No.72 Tahun 1991 satuan pendidikan luar biasa terdiri dari: a) Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dengan lama pendidikan minimal 6 tahun. b) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB) minimal 3 tahun. c) Seklah Menengah Luar Biasa (SMALB) minimal 3 tahun. Selain itu, pasal 6 PP No.72 Tahun 1991 juga dimungkinkan penyelenggaraaan Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB) dengan lama pendidikan satu sampai tiga tahun. 2) Bentuk Layanan Pendidikan Terpadu / Integrasi Bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi adalah sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama- sama dengan anak normal belajar dalam satu atap. Sistem pendidikan integrasi disebut juga sistem pendidikan terpadu yakni sistem pendidikan yang membawa anak berkebutuhan khusus kepada suasana keterpaduan dengan anak normal. Keterpaduan tersebut dapat bersifat menyeluruh, sebagian, keterpaduan dalam rangka sosialisasi. Pada sistem keterpaduan secara penuh dan sebagian, jumlah anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas maksimal 10% dari jumlah siswa keseluruhan. Selain itu dalam satu kelas hanya satu jenis kelainan. Hal ini untuk menjaga beban guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika guru harus melyani berbagai macam kelainan. Untuk membantu kesulitan yang dialami oleh anak berkenutuhan khusus, di sekolah terpadu disediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat berfungsi sebagai konsultan bagi guru kelas, kepala sekolah atau anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Selain itu GPK juga berfungsi sebagai pembimbing di ruang bimbingan khusus tau guru kelas pada kelas khusus. Ada 3 bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus menurut Depdiknas (1986), ketiga bentuk tersebut adalah: a) Bentuk Kelas Biasa Dalam bentuk keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa secara penuh dengan menggunakan kurikulum biasa. Oleh karena itu, sangat diharapkan adanya pelayanan dan bantuan guru kelas atau guru bidang studi semaksimal mungkin dengan memeperhatikan petunjuk-petunjuk khusus dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di kelas biasa. Bentuk keterpaduan ini sering juga disebut dengan keterpaduan penuh. Dalam keterpaduan ini, guru pembimbing khusus hanya berfungsi sebagai konsultan bagi kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau orang tua anak berkebutuhan khusus. Sebagai konsultan, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai penasehat kurikulum, maupun permasalahan dalam mengajar
  • 9. anakcberkebutuhan khusus. Oleh karena itu perlu disediakan ruang konsultasi untuk guru pembimbing khusus. Pendekatan, metode, cara penilaian yang digunakan pada kelas biasa ini tidak berbeda dengan yang digunakan dalam seolah umum. Tetapi, untuk beberapa mata pelajaran yang disesuaikan dengan ketunaan anak. Misalnya, untuk anak tuna netra untuk pelajaran menggambar, matematika, menulis, membaca, perlu disesuaikan dengan kondisi anak. Untuk anak tuna rungu mata pelajaran kesenian, bhasa asing/bahasa Indonesia ( lisan) perlu disesuaikan dengan kemampuan wicara anak. b) Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus Pada keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus, belajar di kelas biasa dengan menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti pelayanan khusus untuk mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus bersama dengan anak noormal. Pelayanan khusus tersebut diberikan di ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusus (GPK) dengan menggunakan pendekatan individu dan metode peragaan yang sesuai. Untuk keperluan teersebut di ruang bimbingan khusus dilengkai dengan peralatan khusus untuk memberikan latihan dan bimbingan khusus. Misalnya untuk anak tuna netra, di ruang bimbingan khusus disediakan alat tulis braille, peralatan orientasi mobilitas. Keterpaduan pada tingkat ini sering disebut juga keterpaduan sebagian. c) Bentuk Kelas Khusus Dalam keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan tepadu. Keterpaduan ini disebut juga dengan keterpaduan lokal/bangunan atau keterpaduan yang bersifat sosialisasi. Pada tingkat keterpaduan ini, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai pelaksana program di kelas khusus. Pendekatan, metode, dan cara penilaian yang digunakan adalah pendekatan, metode, dan cara penilaian yang digunakan di SLB. Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat fisik dan sosial, yang artinya anak berkebutuhan khusus yang dipadukan untuk kegiatan yang bersifat non akademik, seperti olah raga, ketrampilan, juga sosialisasi pada waktu jam-jam istirahatatau acara lain yang diadakan oleh sekolah. https://sites.google.com/a/students.unnes.ac.id/pus/page/model-layanan-pendidikan-abk ABK: Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus BERITA TERKINI, MATERI PAUD25 April 2021 Nurul Arifiyanti ABK merupakan anak yang memilii ciri berbeda dengan anak yang lainnya. Umumnya mereka mengalami hambatan dan pertumbuhan dan perkembangan. Jumlah anak ABK di Indonesia mencapai 1,4 juta pada tahun 2014. ABK dapat terjadi pada siapa saja sejak dini. Diperlukan identifikasi khusus agar dapat diberikan penanganan sedini mungkin. Ketika orangtua menemukan perilaku yang berbeda pada anaknya maka ia dapat langsung menghubungi konselor psikolog. Kebutuhan keluarga dan anak ABK masih banyak yang terabaikan. Masyarakat memandang sebelah mereka yang memiliki anak ABK, sehingga apa yang dirasakan keluarga semakin menjadi berat. Pemasalahan anak ABK adalah
  • 10. memenuhi kebutuhannya sendiri dan lingkungan yang sering tidak memberikan kesempatan pada mereka untuk tumbuh dan berkembang. Pendidikan untuk ABK SLB.  Mendidik anak dengan kebutuhan yang sama. Contoh: SLB Tunarungu, SLB Tunadaksa SDLB  Mendidik anak dengan kebutuhan yang beragam Pendidikan Terpadu  Disebut juga sekolah inklusi meskipun belum banyak sekolah yang dapat menerima ABK UU RI NO 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa sistem pendidikan nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Pasal 15 – Pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkebutuhan khusus atau pesserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif pada pendidikan tingkat dasar dan menengah. Pendidikan Inklusif Pendidikan yang melibatkan anak berkebutuhan khusus dalam pembelajaran anak biasa. Dasarnya adalah pada kenyataannya di dunia mereka hidup berdampingan. Hasil observasi lapangan menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus yang ditempatkan di SLB tidak mengalami peningkatan sama sekali. anak berkebutuhan khusus yang telah mengenyam pendidikan selama 12 tahun di SLB ternyata belum bisa mandiri, belum terampil melakukan kegiatan sehari-hari, dan ketergantungan pada oranglain cukup tinggi. Terjadi kesenjangan antara harapan orangtua dan lembaga. Orangtua berharap anak mereka mandiri sesuai dengan potensi yang mereka miliki. Lembaga mengajarkan bahan ajar akademik secara klasikal tanpa memperhatikan keragaman kebutuhan khususnya. Dua Keterampilan yang Harus Dikuasai anak berkebutuhan khusus adalah Keterampilan dasar membaca, menulis, berhitung, dan komunikasi lisna dan Keterampilan perilaku adaptif. UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Pasal ini mengamanatkan bahwa semua warga negara, termasuk anak-anak yang memiliki keterbatasan atau yang berada dalam kondisi kurang beruntung, berhak mendapatkan pendidikan, terutama pendidikan Sekolah Dasar. Dalam kegiatan Webinar Education for All: Semua Anak Berhak Mendapatkan Pendidikan yang diselenggarakan Direktorat Sekolah Dasar, Dra. Sri Wahyuningsih, M.Pd., Direktur Sekolah Dasar Kemendikbud menegaskan, jika satuan pendidikan Sekolah Dasar merupakan tanggung jawab pihak pemerintah daerah. Oleh karena itu, pemda setempat harus dipastikan sudah memberikan hak pendidikan bagi anak-anak. “Tidak hanya itu, Pemda juga harus dipastikan memberikan segala upaya untuk kelangsungan pendidikan anak-anak di Sekolah Dasar. Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah terhadap satuan pendidikan Sekolah Dasar itu terintegrasi dan terlaksana dengan baik,” ujar Sri Wahyuningsih secara daring, Senin (9/8/21).
  • 11. Sri menyampaikan, Direktorat Sekolah Dasar selalu berupaya semaksimal mungkin untuk menyampaikan kebijakan yang telah disiapkan pemerintah pusat hingga betul-betul sampai dan terlaksana ke satuan pendidikan. “Kami yakin kawan-kawan di daerah, khususnya di Dinas Pendidikan Kabupaten Kota, sedang melaksanakan sosialisasi, memberikan bimbingan teknis kepada satuan pendidikan dan kepada masyarakat. Ini untuk memberikan layanan pendidikan yang terbaik bagi masyarakat sebagai pemenuhan hak anak-anak, tidak terkecuali anak penyandang disabilitas,” ujarnya. Dr. Ngadirin, M.Ed., Perwakilan Direktorat PMPK, Kemendikbud Ristek mengemukakan, salah satu pemenuhan pendidikan anak khususnya bagi penyandang disabilitas adalah melalui pendidikan inklusif sesuai yang tertuang dalam pasal 1 Permen Nomor 70 tahun 2009.
  • 12. Pendidikan inklusif sendiri adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan. Ini juga memberi kesempatan untuk peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa. Semua berhak untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama, dengan peserta didik pada umumnya. Dalam pendidikan inklusif ini, seluruh anak perempuan dan laki-laki harus menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah secara gratis setara dan berkualitas sehingga berjuang pada hasil pembelajaran yang relevan dan efektif.
  • 13. “Jadi edukasi 2030 ke bawah ini tidak ada lagi anak-anak yang tidak sekolah. Tidak ada lagi anak- anak yang tidak mendapatkan pendidikan. Dan sangat ditekankan menghapus kualitas gender dan akses yang setara untuk pendidikan tingkat sekolah termasuk para penyandang disabilitas,” papar Ngadirin. Hak penyandang disabilitas dijamin oleh undang-undang nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas yang mencantumkan hak-hak penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas punya hak memperoleh pendidikan inklusif untuk mengakses pembelajaran bermutu di seluruh tingkatan dan jenis fasilitas pendidikan. “Akomodasi yang layak bagi anak-anak penyandang disabilitas juga tertuang dengan PP nomor 13 tahun 2020. Modifikasi dan penyesuaian yang tepat dan diperlukan untuk menjamin pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental untuk penyandang disabilitas berdasarkan kesetaraan,” ujarnya.
  • 14. Sementara itu, Dinas Pendidikan Kota Surakarta Drs. Hasto Daryanto, M.Pd., menambahkan, untuk membersamai pendidikan inklusif di Kota Surakarta, pertama yang dilakukan adalah semua pihak yang terlibat harus konsisten pada komitmen terhadap pendidikan inklusif. Komitmen ini, lanjutnya, adalah pendidikan inklusif itu memiliki cara pandang yang jernih tentang hakikat anak sebagai individu yang unik dan yang humanis. “Oleh karena itu, komitmen pertama kami adalah pada keunikan individu anak yang harus kita perlakukan sesuai kebutuhan dan keberminatan,” tuturnya. Maka nilai-nilai dasar yang dianut di Kota Surakarta untuk menguatkan komitmen tersebut adalah sikap welas asih, empati, respek dan mau membersamai anak-anak dan membahagiakan anak-anak.
  • 15. Hasto mengatakan, untuk menguatkan komitmen pendidikan inklusif di Kota Surakarta adalah memandang anak sebagai individu yang terlahir beragam. Itu akan menjadi pedoman untuk memperlakukan keberagaman tersebut sesuai konteks kebutuhan individunya. “Jadi pada saat memperlakukan pendidikan inklusif mengawal dan membersamai ini kami bertolak dari konsistensi pendekatan komitmen, bahwa setiap anak yang terlahir di dunia ini pasti beragam. Harus kita perlakukan keunikannya itu dengan nilai-nilai welas asih, nilai-nilai empati, respect dan membersamai mereka dan membahagiakan mereka,” ujar Hasto.
  • 16. Lalu untuk menguatkan nilai-nilai tersebut kata Hasto, beberapa program dilakukan Dinas Pendidikan Kota Surakarta. Di antaranya memperluas akses kebutuhan anak masuk ke sekolah inklusif. Oleh karena itu, di Kota Surakarta ada aturan bahwa setiap anak berkebutuhan khusus yang akan memasuki satuan pendidikan di atasnya itu harus sudah mendapatkan tempat sebelum pendaftaran online dimulai. Baik untuk jenjang PAUD, SD, SMP, di mana mekanismenya anak-anak harus di asesmen di kantor UPT pusat pelayanan pendidikan inklusif. Sehingga nanti pada saat pendaftaran online anak-anak sudah diarahkan oleh UPT. “Anak-anak berkebutuhan khusus ini nanti akan mendapatkan akses ke jenjang sekolah yang di atasnya. Dan nanti pengawalan akan menjadi tanggung jawab pusat pelayanan disabilitas dan pendidikan inklusif,” tutupnya. (*) https://ditpsd.kemdikbud.go.id/artikel/detail/penuhi-hak-pendidikan-anak-melalui-pendidikan-inklusif