1. 1/2/2014
Fanatik! - Islampos
Fanatik!
Selasa 20 Syawal 1434 / 27 Agustus 2013 14:16
Oleh: Beggy
Penggiat Jejak Islam untuk
Bangsa
Fanatik! Sudah kenyang
telinga kita mendengar
kata fanatik. Itu bukan lagi
hal yang menggelitik. Tak
sekedar kritik. Namun
menjadi sidang
penghakiman sebuah
‘kejahatan’ bernama
ghirah. Fanatik menjadi
ketok vonis untuk
menyudutkan umat Islam.
Nabi dihina, kita marah,
dicap fanatik.
Ada pemurtadan ditengah
saudara-saudara seiman,
tak boleh kita bersuara.
Bersuara berarti fanatik.
Malah kata Buya Hamka,
ada yang berani berkata,
“jangan disebut-sebut juga
hukum Islam itu disini,
negeri ini bukan negeri
Islam. Negeri ini negeri
Pancasila.” Kalau sebut-sebut hukum Islam, itu juga fanatik.
Semburan tuduhan fanatik itu bukan barang baru. Itu lagu usang yang diputar berulang-ulang. Tuduhan fanatik,
kata KH Wahid Hasyim, “…timbulnya perkataan ta’asshub (fanatisme) di dalam kalangan Islam ialah setelah
orang Barat,merasa tidak dapat menembus keteguhan pendirian umat Islam dengan cara hujjah, lalu menuduh
ummat Islam adalah fanatik. “ Buya Hamka pun sejalan dengan beliau.
Ia katakan, “Orang Barat menimbulkan kata fanatik, karena setelah mereka menancapkan penjajahan di negerinegeri Islam, orang Islam itu melawan. Bergelimpangan bangkai mereka terhantar ditengah medan
pertempuran, namun mereka masih tetap melawan. Dan meskipun telah beratus-ratus yang syahid , namun
http://www.islampos.com/fanatik-75676/
1/3
2. 1/2/2014
Fanatik! - Islampos
yang tinggal masih meneruskan perlawanan.”
Tuduhan fanatik oleh Barat, yang dikenakan pada orang Islam itu hanyalah akal-akalan, tipuan semata. “Bukan
mereka sendirikah yang fanatik terhadap kebiasaan, kepercayaan, untuk mempertahankan kepentingankepentingan mereka sungguh luar biasa sekali?
Jadi tuduhan orang Barat melemparkan kata-kata fanatik kepada umat Islam semata-mata seperti siasat perang,
mengadakan tembakan-tembakan pancingan, dan dengan demikian dapat diketahui mana-mana yang lemah,”
tukas KH Wahid Hasyim.
Sayang, justru saat ini sebagian orang Islam suka memakan pancingan ini. Suka mewarisi pusaka tuduhan
bernama fanatik ini. Mereka orang-orang yang tak lain menggadaikan imannya. Menukar akidahnya dengan
gelar modern, progressif, toleran, atau semacamnya. Menggeser kiblatnya pada Barat.
“…golongan modern ini ma’mum pada orang-orang Barat. dengan pendirian yang teguh pula. Sebenarnya
mereka ini juga fanatik, akan tetapi tidak pada Islam, hanya kepada orang-orang Barat. Akan tetapi mereka juga
tidak suka dinamakan fanatik, dan menamakan dirinya,’ modern’, ‘progressif.” Begitulah sindir KH Wahid Hasyim.
Senada dengan Wahid Hasyim, menurut Buya Hamka, orang-orang ini adalah, “…orang yang ghirah agamnya
sudah berkurang, yang tidak usah menyebut-nyebut lagi perbedaan halal dengan haram; lalu dia sudah
sanggup berdiam diri saja melihat yang munkar menurut ajaran agamanya, dan dia pandai menyesuaiakan diri,
barulah orang ini dapat pujian karena pandai menyesuaikan diri.”
Padahal, menurut KH Wahid Hasyim, orang yang memegang teguh pendirian dengan pengertian, bukanlah
ta’assub (fanatik). “Tetapi yang demikian itu adalah kesatriaan dan memegang dengan perasaan tanggung
jawab yang penuh. “
Lantas apakah kita sekarang masih mau menjadi kerbau yang dicocok hidungnya karena takut dituduh fanatik?
Masih bangga menjadi pewaris pusaka penjajah dengan turut melemparkan kata fanatik? Masih gamang
terombang-ambing di lautan tuduhan fanatik?
“Bagaimana sekarang, wahai mereka yang disudut jiwanya masih ada sisa rasa tanggung jawab agama?
Takutkah kalian dituduh fanatik? Kalau takut lebih baik berhenti jadi orang Islam. Lalu terima saja segala yang
ada dalam kenyataan, dan jangan mulut mengatakan halal-haram.” Tegas Buya Hamka.
Buya Hamka bahkan menyitir perintah Allah kepada Nabi Muhammad, “Katakanlah : Jikalau kamu memang
mencintai Allah, hendaklah ikut aku,niscaya kamu akan dicintai Allah pula.” Selama kita mengikuti jalan Allah,
pasti kita akan bersimpangan dengan mereka yang menentangnya. Mutlak akan bersinggungan dengan vonis
fanatik.
“Sebab alat penuduh yang bernama fanatik itu masih tinggal dinegeri ini, untuk mengemplang kepala kita,
(dengan) pusaka penjajah,” tukas Buya Hamka. Buya Hamka kemudian menegaskan, “Tuanku Imam Bonjol
melawan Belanda adalah karena fanatik. Tengku Cik Ditiro melawan Belanda adalah karena fanatik, Pangeran
Diponegoro melawan Belanda adalah karena fanatik. Semuanya adalah karena fanatik. Yang habis mati
bertimbun mayat, menegakkan kemerdekaan adalah orang-orang fanatik. Kalau tak ada lagi orang-orang
fanatik di negeri ini, maka segala sampah, segala kurap akan masuk kemari, tidak dapat ditahan-tahan.
Sayangnya orang-orang yang mempertahankan yang munkar itulah sekarang yang dengan fanatik menantang
tiap orang yang ingin menegakkan kebenaran dan keadilan.
“ Maka kita amini doa beliau, “Ya Allah! Kalau lantaran karena cinta kepada-Mu dan Rasul-Mu, dan bercita-cita
http://www.islampos.com/fanatik-75676/
2/3
3. 1/2/2014
Fanatik! - Islampos
agar hukum-Mu, jalan dalam dunia ini; Kalau lantaran berani menentang segala yang bathil, kalau itu yang
dikatakan fanatik, perdalamlah Ya Allah rasa fanatik itu dalam jiwa kami. Dan matikanlah kami dalam
membuktikan cinta kepada Engkau!”
Pustaka : Hamka. Dari Hal Fanatik. Dari Hal Fanatik dalam Dari Hati ke Hati. Pustaka Panjimas. 2000 Jakarta.
KH. A. Wahid Hasyim. Fanatisme dan Fanatisme dalam Mengapa Saya Memilih NU? 1985. Inti Sarana Aksara.
Jakarta.
http://www.islampos.com/fanatik-75676/
3/3