Dokumen tersebut membahas empat bagian ilmu yang saling terkait yaitu Syariat, Thoriqat, Hakikat dan Ma'rifat. Syariat mengatur tata hukum ibadah, Thoriqat menunjukkan jalan untuk mencapai Hakikat yang sebenarnya, sedangkan Ma'rifat adalah mengenal diri dan Allah secara mendalam. Keempat bagian ilmu tersebut harus diterapkan secara bersamaan dalam beribadah agar mencapai kesempurnaan
MENYATUKAN SYARIAT, THORIQAT, HAKIKAT DAN MA'RIFAT
1. ILMU SYARIAT, THORIQAT, HAKIKAT dan MARIFAT
Ke-empat bagian ilmu ini (Syariat, Thorikat, Hakikat dan Ma’rifat) adalah sudah merupakan suatu
kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Apabila gugur salah satunya berarti gugur pula keseluruhannya.
Atau dengan kata lain apabila kita hanya bersyari'at saja tanpa berHakikat dalam ber'amal/Ibadah, maka
ibadah kita itu Kosong, atau ibarat kulit tanpa isi/sia-sia (Fasik). Akan tetapi kalau kita beribadah itu
Hanya BerHakikat saja tanpa terlebih dahulu berSyari'at, maka ibadah kita itu diTolak/Bathal. Sehingga
dengan Thoriqatlah maka Syari’at dan Hakikat bisa disatukan/diikat, karena Syari’at dan Hakikat tersebut
selalu berlawanan/bertentangan tidak pernah sejalan, oleh karena itu harus disatukan/diikat dengan
Pengamalan Thoriqat yang BENAR. Oleh karena itu di dalam kita ber'amal/beribadah haruslah kita
gabungkan sekaligus antara Syari'at, Thoriqat, Hakikat dan Ma’rifat agar 'amalan ibadah kita tersebut
Tahkek/Sempurna di sisi Allah SWT.
1. SYARI’AT
Dari segi bahasa artinya : “Tata-Hukum”. Disadari bahwa dalam alam semesta ini tidak ada yang terlepas
dari apa yang dinamakan “Hukum”. Termasuk untuk manusia sebagai makhluk sosial dan sebagai
hamba Allah SWT, perlu diatur dan ditata, sehingga tercipta keteraturan yang menyangkut hubungan
antar manusia, manusia dengan alam, serta hubungan manusia dengan Allah SWT Sang Maha Pencipta.
Pembahasan mengenai materi hukum, dimana manusia sebagai objeknya, tercakup dalam beberapa
disiplin ilmu; seperti Ilmu Fiqih, Ilmu Adab, dll. Dalam ajaran Islam, melaksanakan aturan dan ketentuan
hukum tanpa memahami dan menghayati “apa tujuan hukum”, maka pelaksanaannya tidaklah memiliki
nilai yang sempurna. Orang tua-tua dahulu biasa menyebutnya “kulit tanpa isi”. Tujuan hukum adalah
kebenaran, atau dalam istilah Kitab Kuning “yang sebenar-benarnya” (hakikat). Untuk mencapai tujuan
tentu memerlukan “J a l a n” dan “c a r a”. Tanpa mengetahui jalannya, tentu sulit untuk mencapai tujuan.
Hal itu dinamakan “T h o r i q a t”.
2. THORIQAT
Persamaan katanya menurut segi bahasa ; “Madzhab” yang artinya : “J a l a n”. Mengetahui adanya
Jalan, perlu pula mengetahui “cara” melintasi jalan agar tujuan tidak kesasar. Tujuan adalah kebenaran,
maka cara untuk melintasi jalan harus dengan benar pula. Untuk itu harus sudah ada persiapan bathin,
yakni sikap yang benar. Sikap hati yang demikian tidak akan tampil dengan sendirinya, sehingga perlu
adanya latihan-latihan (riyadha) tertentu dengan cara-cara tertentu pula. Sekitar abad ke-2 dan ke-3
Hijriah lahirlah kelompok perthoriqatan yang beraliran sufi, dengan metode latihannya berintikan ajaran”
DZIKIRULLAH”. Sumber pegangannya tidak terlepas dari Ajaran Rasulullah S.A.W. Kelompok ini
menamakan dirinya dengan nama “ THORIQAT NAQSYABANDIYAH, THORIQAT QODIRIYYAH,
THORIQAT SYADZILIYYAH. Sejalan dengan apa yang difirmankan oleh Allah SWT :
و أَنلو َاأْت قَاأاو َاَا طََّ طَِْ َل ََْ نَلَتأَماََل طنْ قا﴾٦١ن
Artinya : "Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-
benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak)". (Q.S.Al-Jin, ayat :
16)
Seseorang yang memasuki Thoriqat, dinamakan S a l i k (orang yang berjalan), sedangkan cara yang
2. mereka tempuh menurut cara-cara tertentu dinamakan S u l u k. Banyak hal-hal yang harus dilakukang
oleh seorang salik bila ingin sampai kepada Tujuan, diantara caranya sebagai berikut ;
a. khalwat (bersunyi/semedi). Diwaktu khalwat ini diperlukan muraqabah (mengintip perilaku diri);
b. muhasabah (menghitung-hitung/merenungi diri mana yang baik dan mana yang jelek serta mana pula
yang tercela);
c. mujahadah (tekun/rajin/sungguh-sungguh) dan banyak lagi istilah-istilah dengan Riyadhoh lahir bathin,
dll, sesuai dengan petunjuk dari Syekh/Mursid yang ‘Alim, yakni Mursyid yang mengetahui tentang ahwal-
ahwal nafsu, Syekh tersebut orang yang telah Sah/Benar Zuqnya/Ma’rifatnya dan telah sampai kepada
tingkatan Fana Billah. Inilah seorang Guru yang sebenarnya yang wajar menjadi Pemimpin Thoriqat.
3. HAKIKAT
Istilah ini sudah merupakan Bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Arab “Haqiqat” yang berarti;
“kebenaran”, “kenyataan asal” atau “yang sebenar-benarnya”. Kebenaran dalam hidup dan kehidupan
inilah yang dicari dan ini pulalah yang dituju. Hakikat Alam, Hakikat Diri saling berkait “diri mencari
sebenar-benarnya diri”, “diri terperi, diri yang diperikan, diri tajali”. Identik dengan pengertian “Jasad, hati,
nyawa, dan rasa/zuq”.
Kebenaran bukan hanyak terletak pada akal pikir dan hati, tetapi juga pada “rasa”, yakni rasa-jasmani
yang dapat dirasakan dengan rasa pahit, manis, asam, asin, dan sebagainya. Ada yang disebut rasa-
rohani; yang dapat merasakan gembira, sedih, bingung, kecewa, ceria, dan sebagainya. Dan selanjutnya
terdapat pula pada diri manusia yang disebut “Zuq/Rasa-Nurani”, rasa yang penuh cahaya. Tidak terasa
pahit atau manis dan tidak pula seperti rasa gembira dan sedih. Di sinilah kebenaran dan di sini pula
istana kebebasan, cinta kasih hakiki.
4. MA’RIFAT
Kata “ma’rifat” (bisa ditulis dalam Bahasa Indonesia “makrifat”) berasal dari kata ‘a r a f a yang artinya :
mengenal.
“Siapa yang mengenal dirinya, sesungguhnya dia dapat mengenal Tuhannya”.
Diri ini penuh dengan serba ketergantungan, kekurangan, kelemahan, f a n a, dibanding dengan Allah
SWT., yang memiliki Kebesaran, Kekuasaan, Keperkasaan, dan Kekalan serta memiliki seluruh sifat-sifat
Kesempurnaan. Tidak ada seorang manusiapun yang sanggup dan mampu mengenal-Nya dalam arti
Hakiki, kecuali dengan Dia.
Yakni dengan Sinar-Nya, hidayah-Nya, Qudrat dan Iradat-Nya. Sebagaimana Firman Allah SWT :
(Al-Qur’an,Surat: Al-Ankabut, ayat : 69) “Orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, benar-benar
akan Kami berikan petunjuk semua jalan Kami”
Menurut para Arif Billah, bahwa seseorang yang bersungguh-sungguh di jalan Allah SWT, mereka adalah
laksana jarum dengan gumpalan besi berani.
Karena getaran magnit itulah, bukan kemampuan si jarum, dia mengejar besi berani. Akhirnya si Jarum
tiada sadarkan diri, laksana Nabi Musa ‘alaihis-salam di Bukit Thursina :
(Q.S. Al-‘Araf, ayat :143) Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah
Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku,
nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau." Tuhan berfirman: "Kamu
sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai
3. sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku." Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung
itu[565], dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar
kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-
tama beriman."
[565]. Para mufassirin ada yang mengartikan yang nampak oleh gunung itu ialah kebesaran dan
kekuasaan Allah SWT, dan ada pula yang menafsirkan bahwa yang nampak itu hanyalah cahaya Allah
SWT. Bagaimanapun juga nampaknya ط َْله swt itu bukanlah nampak makhluk, hanyalah nampak yang
sesuai sifat-sifat ط َْله swt yang tidak dapat diukur dengan ukuran manusia.
Wallahu A’lam Bissawaaf….