SlideShare a Scribd company logo
1 of 211
Download to read offline
Halaman _ 1
Syarah Al Hikam
Sowong Fana
Belajar Ilmu Dunia dan Akhirat
https://sowongfana.blogspot.com/2018/09/wujud-allah-itu-jelas-dan-tidak.html
https://sowongfana.blogspot.com/search/label/Kitab%20Al-Hikam%20Terjemah%2FTasawuf%2FSurat-
surat%20Ibnu%20Atha%27illah%20al-Iskandari%20Untuk%20Sahabat-sahabatnya
Syari'at, Thariqat, Hakikat, Ma'rifat
Syari'at, Thariqat, Hakikat, Ma'rifat
Tahapan-Tahapan Tasawuf
Ada empat macam tahapan yang harus dilalui oleh hamba yang menekuni ajaran
Tasawuf untuk mencapai suatu tujuan yang disebutnya sebagai As-Sa’aadah
menurut Al-Ghazaliy dan Al-Insaanul Kaamil menurut Muhyddin Ibnu Arabiy.
Keempat tahapan itu terdiri dari Syari’at, Tarekat, Hakikat dan Marifat.
Dari tahapan-tahapan tersebut, dapat dikemukakan penjabarannya sebagai
berikut:
1.Syari’at
Istilah syari’at, dirumuskan definisinya oleh As-Sayyid Abu Bakar Al-Ma’ruf dengan
mengatakan: Syari’at adalah suruhan yang telah diperintahkan oleh Allah, dan
larangan yang telah dilarang oleh-Nya. Kemudian Asy-Syekh Muhammad Amin AL-
Kurdiy mengatakan: Syari’at adalah hukum-hukum yang telah diturunkan kepada
Rasulullah SAW., yang telah ditetapkan oleh Ulama (melalui) sumber nash Al-
Halaman _ 2
Qur’an dan Sunnah ataupun dengan (cara) istirahat: yaitu hukum-hukum yang
telah diternagkan dalam ilmu Tauhid, Ilmu Fiqh dan Ilmu Tasawuf. Hukum-hukum
yang dimaksud oleh Ulama Tauhid; meliputi keimanan kepada Allah, malaikat-
Nya, Kitab Suci-Nya, Rasul-Nya, Hari Akhirat, Qadha dan Qadar-Nya; dalam bentuk
ketaqwaan dengan dinyatakan dalam perbuatan Ma’ruf yang mengandung hukum
wajib, sunat dan mubah; dan meninggalkan mungkarat yang mengandung hukum
haram dan makruh. Dan hukum-hukum yang dimaksudkan oleh Fuqaha, meliputi
seluruh perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan-nya; yang disebut
ibadah mahdhah atau taqarrub (ibadah murni atau ibadah khusus) serta
hubungannya dengan sesama manusia dan makhluk lainnya, yang disebut ibadah
ghairu mahdhah atau ammah (ibadah umum).
Kemudian hukum-hukum yang dimaksudkan oleh Ulama Tasawuf, yang meliputi
sikap dan perilaku manusia, yang berusaha membersihkan dirinya dari hadats dan
najis serta maksiat yang nyata dengan istilah At-Takhali. Lalu berusaha melakukan
kebaikan yang nyata untuk menanamkan pada dirinya kebiasaan-kebiasaan
terpuji, dengan istilah At-Thalli.
Bila syari’at diartikan secara sempit, sebagaimana dimaksudkan dalam
pembahasan ini, maka hanya meliputi perbuatan yang nyata, karena perbuatan
yang tidak nyata (perbuatan hati), menjadi lingkup pembahasan Tarekat. Oleh
karena itu, penulis hanya mengemukakan perbuatan-perbuatan lahir, misalnya
perbuatan manusia yang merupakan penomena keimanan, yang telah dibahas
dalam Ilmu Tauhid. Penomena keimanan itu, terwujud dalam bentuk perbuatan
ma’ruf dan menjauhi yang mungkar.
2.Tarekat
Istilah Tarekat berasal dari kata Ath-Thariq (jalan) menuju kepada Hakika atau
dengan kata lain pengalaman Syari’at, yang disebut Al- Jaraa’ atau Al-Amal,
sehingga Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy mengemukakan tiga macam
definisi, yang berturut-turut disebutkan:
Halaman _ 3
1) Tarekat adalah pengamalan syari’at, melaksanakan beban ibadah (dengan
tekun) dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah (ibadah), yang
sebenarnya memang tidak boleh dipermudah.
2) Tarekat adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan sesuai
dengan kesanggupannya; baik larangan dan perintah yang nyata, maupun yang
tidak (batin).
3) Tarekat adalah meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal
mubah (yang sifatnya mengandung) fadhilat, menunaikan hal- hal yang
diwajibkan dan yang disunatkan, sesuai dengan kesanggupan (pelaksanaan) di
bawah bimbingan seorang Arif (Syekh) dari (Shufi) yang mencita-citakan suatu
tujuan.
Menurut L. Massignon, yang pernah mengadakan penelitian terhadap kehidupan
Tasawuf di beberapa negara Islam, menarik suatu kesimpulan bahwa istilah
Tarekat mempunyai dua macam pengertian.
 Tarekat yang diartikan sebagai pendidikan kerohanian yang sering
dilakukan oleh orang-orang yang menempuh kehidupan Tasawuf, untuk mencapai
suatu tingkatan kerohanian yang disebut Al-Maqamaat dan Al-Ahwaal.
 Tarekat yang diartikan sebagai perkumpulan yang didirikan menurut ajaran yang
telah dibuat seorang Syekh yang menganut suatu aliran Tarekat tertentu. Maka
dalam perkumpulan itulah seorang Syekh mengajarkan Ilmu Tasawuf menurut
aliran Tarekat yang dianutnya, lalu diamalkan bersama dengan murid-muridnya.
Dari pengertian diatas, maka Tarekat itu dapat dilihat dari dua sisi; yaitu amaliyah
dan perkumpulan (organisasi). Sisi amaliyah merupakan latihan
kejiwaan (kerohanian); baik yang dilakukan oleh seorang, maupun secara
bersama-sama, dengan melalui aturan-aturan tertentu untuk mencapai suatu
tingkatan kerohanian yang disebut Al-Maqaamaat dan Al- Akhwaal, meskipun
kedua istilah ini ada segi prbedaannya. Latihan kerohanian itu, sering juga disebut
Suluk, maka pengertian Tarekat dan Suluk adalah sama, bila dilihat dari sisi
amalannya (prakteknya). Tetapi kalau dilihat dari sisi organisasinya
(perkumpulannya), tentu saja pengertian Tarekat dan Suluk tidak sama.
Halaman _ 4
Kembali kepada masalah Al-Maqaamaat dan Al-Akhwaal, yang dapat dibedakan
dari dua segi:
> Tingkat kerohanian yang disebut maqam hanya dapat diperoleh dengan cara
pengamalan ajaran Tasawuf yang sungguh-sungguh. Sedangkan ahwaal, di
samping dapat diperoleh manusia yang mengamalkannya, dapat juga diperoleh
manusia hanya karena anugrah semata-mata dari Tuhan, meskipun ia tidak
pernah mengamalkan ajaran Tasawuf secara sungguh- sungguh.
> Tingkatan kerohanian yang disebut maqam sifatnya langgeng atau bertahan
lama, sedangkan ahwaal sifatnya sementara; sering ada pada diri manusia, dan
sering pula hilang. Meskipun ada pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan
bahwa maqam dan ahwaal sama pengertiannya, namun penulis mengikuti
pendapat yang membedakannya beserta alasan-alasannya.
Tentang jumlah tingkatan maqam dan ahwaal, tidak disepakati oleh Ulama
Tasawuf. Abu Nashr As-Sarraaj mengatakan bahwa tingkatan maqam ada tujuh,
sedangkan tingkatan ahwaal ada sepuluh.
Adapun tingkatan maqam menurut Abu Nashr As-Sarraj, dapat disebutkan
sebagai berikut:
a). Tingkatan Taubat (At-Taubah);
b) Tingkatan pemeliharaan diri dari perbuatan yang haram dan yang makruh,
serta yang syubhat (Al-Wara’);
c). Tingkatan meninggalkan kesenangan dunia (As-Zuhdu).
d) Tingkatan memfakirkan diri (Al-Faqru).
e). Tingkatan Sabar (Ash-Shabru).
f). Tingkatan Tawakkal (At-Tawakkul).
g). Tingkatan kerelaaan (Ar-Ridhaa).
Mengenai tingkatan hal (al-ahwaal) menurut Abu Nash As Sarraj, dapat
dikemukakan sebagai berikut;
a). Tingkatan Pengawasan diri (Al-Muraaqabah)
b). Tingkatan kedekatan/kehampiran diri (Al-Qurbu)
c). Tingkatan cinta (Al-Mahabbah)
Halaman _ 5
d). Tingkatan takut (Al-Khauf)
e). Tingkatan harapan (Ar-Rajaa)
f). Tingkatan kerinduan (Asy-Syauuq)
g). Tingkatan kejinakan atau senang mendekat kepada perintah Allah
(Al-Unsu).
h). Tingkatan ketengan jiwa (Al-Itmi’naan)
i). Tingkatan Perenungan (Al-Musyaahaah)
j). Tingkatan kepastian (Al-Yaqiin).
3.Hakikat
Istilah hakikat berasal dari kata Al-Haqq, yang berarti kebenaran. Kalau dikatakan
Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk mencari suatu
kebenaran. Kemudian beberapa ahli merumuskan definisinya sebagai berikut:
a. Asy-Syekh Abu Bakar Al-Ma’ruf mengatkan :
Hakikat adalah (suasana kejiwaan) seorang Saalik (Shufi) ketika ia mencapai
suatu tujuan sehingga ia dapat menyaksikan (tanda-tanda) ketuhanan dengan
mata hatinya.
b. Imam Al-Qasyairiy mengatakan:
Hakikat adalah menyaksikan sesuatu yang telah ditentukan, ditakdirkan,
disembunyikan (dirahasiakan) dan yang telah dinyatakan (oleh Allah kepada
hamba-Nya.
Hakikat yang didapatkan oleh Shufi setelah lama menempuh Tarekat dengan
selalu menekuni Suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dihadapinya.
Karena itu, Ulama Shufi sering mengalami tiga macam tingkatan keyakinan:
1) Ainul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pengamatan
indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan keyakinan tentang
kebenaran
Allah sebagai penciptanya;
2) Ilmul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh analisis
pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam semesta ini.
3) Haqqul Yaqqin; yaitu suatu keyakinan yang didominasi oleh hati nurani Shufi
Halaman _ 6
tanpa melalui ciptaan-Nya, sehingga segala ucapan dan tingkah lakunya
mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka kebenaran Allah langsung
disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan oleh keputusan akal. Pengalaman batin
yang sering dialami oleh Shufi, melukiskan bahwa betapa erat kaitan antara
hakikat dengan ma’rifat, dimana hakikat itu merupakan tujuan awal Tasawuf,
sedangkan ma’rifat merupakan tujuan akhirnya.
4.Ma’rifat
Istilah Ma’rifat berasal dari kata Al-Ma’rifah yang berarti mengetahui atau
mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka
istilah ma’rifat di sini berarti mengenal Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam
Tasawuf. Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama
Tasawuf; antara lain:
a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang
mengatakan: Ma’rifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya)
wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya.
b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat
Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan: Ma’rifat adalah hadirnya kebenaran
Allah (pada Shufi) dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi.
c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad
bin Abdillah yang mengatakan: Ma'rifat membuat ketenangan dalam hati,
sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran).
Barangsiapa yang meningkat ma’rifatnya, maka meningkat pula ketenangan
(hatinya). Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai
kepada tingkatan ma’rifat. Karena itu, Shufi yang sudah mendapatkan ma’rifat,
memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzuun Nuun Al- Mishriy
yang mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai
kepada tingkatan ma’rifat, antara lain:
a. Selalu memancar cahaya ma’rifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya.
Karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.
b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang
Halaman _ 7
bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu
benar.
c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu
bisa membawanya kepada perbuatan yang haram. Dari sinilah kita dapat melihat
bahwa seorang Shufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali
tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya
kepada Allah SWT., sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan
bahwa ma’rifat yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan
kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama- sama dengan Tuhan-
nya. Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai tingkat
ma’rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai berikut:
a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat,
bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya, pasti ia melihat Allah
di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut
(hulul) dalam Tuhan-nya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali
hanya Allah SWT saja.
b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan
ma’rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu menyerupai warna
gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya selalu
menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang
Shufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya
kepada Allah terputus meskipun hanya sekejap mata saja.
c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma’rifat itu adalah keadaan
yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan dengan
Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.
Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni ajaran
Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari Syariat, Tarekat,
Hakikat dan Ma’rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh secara terbalik dan tidk
pula secara terputus-putus.
Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba
tidak akan mengalami kegagalan dan tiak pula mengalami kesesatan.
wassalam...
Halaman _ 8
Diposting oleh fajri di 00.09 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat Email
Senin, 03 September 2018
Kitab al-Hikam (Pasal 1) : Sikap Orang 'Arif ketika Khilaf
Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 1)
1. Di antara tanda sikap mengandalkan amal ialah berkurangnya harap kepada Allah tatkala
khilaf.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
AMAL YANG DIMAKSUD disini ialah amal ibadah, seperti shalat dan dzikir. Ada dua
kelompok orang yang mengandalkan amal mereka atau menggantungkan keselamatan diri
mereka pada amal ibadah (bukan pada Allah secara murni). Mereka itu adalah 'abid (orang yang
tekun beribadah) dan para murid (orang yang menghendaki kedekatan dengan Allah). Golongan
pertama menganggap amal ibadah sebagai satu-satunya sarana untuk meraih surga dan
menghindari siksa Allah. Sementara itu, golongan kedua menganggap amal ibadah sebagai satu-
satunya cara yang bisa mendekatakan diri mereka kepada Allah, menyingkap tirai penghalang
hati, membersihkan keadaan batin, mendalami hakikat Ilahiah (mukasyafah), dan mengetahui
berbagai rahasia ketuhanan lainnya.
Kedua golongan ini sama-sama tercela, karena tindakan dan keinginan mereka itu terlahir dari
golongan nafsu dan sikap percaya diri berlebih. Mereka menganggap amal ibadah sebagai
perbuatan diri mereka sendiri dan yakin bahwa amal ibadah itu pasti akan membuahkan hasil
yang mereka inginkan.
Berbeda halnya dengan orang-orang yang mengenal Tuhan dengan baik ('arif). Mereka tidak
bergantung sedikit pun pada amal ibadah yang mereka lakukan. Menurut mereka, pelaku hakiki
dari semua amal ibadah itu ialah Allah SWT. semata, sedangkan mereka hanyalah objek
penampakan dari semua tindakan dan ketentuan Allah SWT.
Dalam hikmah diatas, Ibnu Atha'illah menyebut salah satu tanda orang-orang yang
menggantungkan keselamatan diri mereka pada amal ibadah yang mereka lakukan, bukan pada
Allah secara murni. Tujuannya, supaya setiap hamba bisa mengenali siapa dirinya dan termasuk
golongan mana ia. Apabila, di saat melakukan maksiat dan dosa, ia kehilangan harapan pada
Allah Yang Maha Rahmat yang akan memasukkannya ke surga, menyelamatkannya dari azab,
dan mewujudkan semua keinginannya, ia dianggap termasuk golongan 'abid atau murid. Namun,
apabila merasa dirinya nihil dan tak berdaya, ia termasuk golongan 'arif. Jika melakukan
kesalahan atau maksiat dan lalai, seseorang yang termasuk golongan 'arif akan melihat
perbuatannya itu sebagai ketetapan dan takdir Allah atas dirinya.
Halaman _ 9
Demikian pula saat melakukan ketaatan atau mengalami musyahadah (merasa melihat Tuhan),
golongan 'arif tidak memandang bahwa segala daya dan upayanyalah yang melakukan ketaatan
dan kebajikan itu. Baginya, tak ada beda saat benar ataupun salah, saat taat maupun khilaf,
karena ia telah tenggelam dalam lautan tauhid. Rasa takut dan harapnya dalam kondisi tetap dan
seimbang. Maksiat tak pernah mengurangi rasa takutnya kepada Allah, dan ketaatan pun tidak
menambah rasa harapnya kepada-Nya.
Maka dari itu, siapa yang tidak mendapati tanda seperti ini dalam dirinya, hendaknya ia berusaha
mencapai maqam (kedudukan) 'arif dengan banyak melakukan olah batin (riyadhah) dan wirid.
Melalui hikmah diatas, Ibnu Atha'illah ingin mendorong para salik (peniti jalan menuju Allah)
agar menghindari sikap bergantung pada sesuatu selain Allah; termasuk bergantung pada amal
ibadah.
(Ulasan Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati : Grand Syekh Universitas al-Azhar Mesir
dan Mufti Madzhab Syafi'i).
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
Senin, 03 September 2018
Kitab al-Hikam (Pasal 2) : Sikap Orang Arif ketika Dianugerahi Ahwal Tajrid
dan Ahwal Isytighal
Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 2)
1. Keinginanmu untuk lepas dari kesibukan urusan duniawi, padahal Allah telah
menempatkanmu di sana, termasuk syahwat yang tersamar. Dan keinginanmu untuk masuk ke
dalam kesibukan urusan duniawi, padahal Allah telah melepaskanmu dari itu, sama saja dengan
mundur dari tekad luhur.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
TAJRID ADALAH sebuah kondisi dimana seseorang tidak memiliki kesibukan duniawi.
Sebaliknya, isytighal adalah sebuah kondisi dimana seaeorang memiliki kesibukan duniawi. Dan
yang dimaksud kesibukan duniawi adalah kesibukan-kesibukan yang tujuan akhirnya bersifat
keduniaan, seperti bekerja atau berdagang.
Keinginanmu untuk menjauhi semua sarana penghidupan duniawi dan tidak mau berpayah-payah
dalam menjalaninya, padahal Allah telah menyediakan semua sarana itu untuk kau jalani, bahkan
saat menjalaninya pun agamamu tetap terjaga, sifat tamak tetap jauh darimu, ibadah lahir dan
keadaan batinmu juga tidak terganggu, maka keinginan semacam itu termasuk syahwat yang
tersamar.
Halaman _ 10
Dianggap "syahwat" karena kau tidak mau menjalani kehendak Tuhanmu dan lebih memilih
kehendakmu sendiri. Disebut "tersamar" karena sekalipun pada lahirnya keinginanmu ialah
menjauhi dunia dan mendekatkan diri kepada Allah, namun keinginan batinmu yang sebenarnya
ialah agar mendapatkan popularitas dengan ibadah dan kewalianmu supaya orang-orang
mendatangimu dan menjadikanmu panutan. Untuk itulah, kau pun rela meninggalkan apa yang
telah menjadi kebiasaanmu, yaitu mencari penghidupan duniawi.
Orang-orang 'arif menyatakan bahwa kedekatan manusia dengan seorang murid yang belum
mencapai kesempurnaan bisa menjadi racun pembunuh bagi diri murid itu. Karena bisa jadi,
murid itu akan terdorong untuk menjauhi kewajiban-kewajiban ibadah dan zikirnya karena ia
lebih suka mengharap apa yang akan diberikan oleh manusia.
Sebaliknya, keinginanmu untuk bekerja dan berusaha keras mencari pemghidupan duniawi,
padahal Allah telah menyediakannya untukmu dengan mudah tanpa harus bersusah payah,
misalnya dengan dipenuhinya semua sandang dan panganmu, dan kau pun tetap merasa tenang
dan damai meski kekurangan, bahkan kau tetap bisa terus beribadah dengan tekun, maka sikap
seperti itu sama saja dengan mundur dari tekad luhur. Karena, kau sekarang cenderung
bergantung kepada makhluk, padahal sebelumnya kau bergantung kepada Sang Khalik.
Sebenarnya, berbaur dengan orang-orang yang sibuk mengurusi dunia saja sudah cukup
membuat tekad luhurmu ternodai. Oleh karena itu, yang wajib bagi para salik (peniti jalan
menuju Allah) ialah tetap diam ditempat yang telah ditetapkan dan diridhai oleh Allah untuknya,
sampai Allah sendiri yanv akan mengeluarkannya dari tempat itu. Hendaknya ia tidak keluar
sendiri dari sana atas kehendak sendiri atau karena bisikan setan sehingga ia akan tercebur ke
lautan keterasingan dan jauh dari Allah, na'udzu billah.
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
Senin, 03 September 2018
Kitab al-Hikam (Pasal 3-5) : Orang Arif Tidak Mencampuri Urusan Allah
Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 3)
1. Tekad yang kuat takkan mampu menembus dinding takdir.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
TEKAD ADALAH kekuatan jiwa yang bisa mempengaruhi segala sesuatu. Orang-orang sufi
menyebutnya dengan himmah. Tekad ini takkan berpengaruh apa-apa, kecuali dengan takdit dan
ketentuan Allah.
Hikmah diatas menguatkan hikmah sebelum dan sesudahnya. Seakan Ibnu Atha'illah ingin
menyatakan bahwa keinginanmu tidak akan ada gunanya bila berbeda dengan keinginan
Tuhanmu. Jika tekad yang kuat saja tidak akan membuahkan hasil apa-apa, kecuali dengan takdir
Halaman _ 11
dan izin Allah, apalagi tekad yang lemah, seperti halnya tekadmu, wahai murid. Hikmah ini
ditujukan untuk mendinginkan api ketamakan yang menyala-nyala didalam hatimu yang selalu
yakin bahwa segala sesuatu itu bergantung pada usahamu sendiri dan pasti berhasil.
(Pasal 4)
2. Istirahatkan dirimu dari kesibukan mengurusi duniamu. Urusan yang telah diatur Allah tak
perlu kau sibuk ikut campur.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
SESEORANG KERAP merencanakan berbagai hal bagi dirinya sesuai keinginan nafsunya.
Kemudian, untuk menggapai rencana yang tekah ditetapkannya itu, ia melakukan berbagai
pekerjaan yang menyibukkan dirinya. Tentu saja, hal ini akan membuatnya lelah. Bahkan
mungkin pula kecewa, terutama bila sebagian besar perkara yang telah direncanakannya itu tidak
berhasil diwujudkan.
Dengan menggunakan lafal "istirahat", Ibnu Atha'illah ingin menjelaskan kepada para murid
bahwa mereka dituntut untuk meninggalkan segala perkara yang menyebabkan keletihan dan
penderitaan. Kecuali, jika perencanaan atau pengaturan tersebut ditujukan untuk sekedar
memenuhi tuntutan hidup dan tak sampai memberatkan. Tentu saja, hal ini tidak akan merugikan
diri. Bahkan, pepatah mengatakan, "Perencanaan adalah setengah dari kehidupan."
Urusan-urusan yang telah diatur Allah hendaknya dijauhi oleh seorang murid. Ia tidak perlu lagi
sibuk mengurusi apa yang telah ditangani Allah karena tindakan semacam itu termasuk sikap
"sok tahu" yang tak layak dilakukan oleh orang yang berakal. Lagi pula, tindakan itu
bertentangan dengan prinsip Rububiyyah (kepengaturan) dan takdir Allah, selain juga bisa
melalaikan ibadah.
Hikmah di atas ditujukan sebagai peringatan bagi para murid karena biasanya apabila seorang
murid sedang menghadap Tuhannya dan sibuk dengan dzikir-dzikir dan ibadah-ibadahnya,
seluruh sebab penghidupan duniawi akan terputus darinya. Saat itulah, setan datang dan mulai
membisikinya, mengiming-ngiminginya dengan berbagai hal yang sebagian besarnya tidak akan
pernah terwujud. Bisikan setan itu kemudian akan membuat si murid lalai, bahkan meninggalkan
kebiasaan dzikir dan ibadah. Tips untuk menghindari hal itu ialah banyak berdzikir dan riyadhah
(olah jiwa). Dengan dzikir dan riyadhah, seorang murid akan dijauhi setan dan terhindar dari
kesibukan menyusun rencana ini dan itu yang membuatnya letih.
(Pasal 5)
3. Kegigihanmu dalam mencari apa yang telah dijamin untukmu dan kekuranganmu dalam
melaksanakan apa yang diminta darimu menjadi bukti butanya mata hatimu.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
MAKSUD DARI "apa yang telah dijamin" ialah rezeki dan karunia Allah.
Halaman _ 12
Allah SWT. Berfirman, "Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus)
rezekinya sendiri. Allahlah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha
Mendengar dan Maha Mengetahui." (QS. al-'Ankabut [29]: 60).
Sementara itu, maksud dari "kekuranganmu dalam melaksanakan apa yang diminta darimu" ialah
kekurangan dalam melaksanakan amalan-amalan yang bisa membimbingmu menempuh jalan
menuju Tuhanmu, seperti dzikir, shalat, dan wirid. Allah SWT. Berdirman, "Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." (QS. adz-
Dzariyat [51]: 56).
Yang dituntut dari seorang murid ialah terus berusaha memberi makan ruh dengan dzikir-dzikir
kepada Allah dan melakukan amalan-amalan yang mendekatkan diri kepada-Nya; bukan
memberi makan yang lainnya karena itu sudah menjadi wewenang Tuhannya.
Buta mata hati maknanya, hati tidak bisa lagi melihat berbagai perkara maknawi, sebagaimana
mata dapat melihat perkara-perkara indrawi.
Dalam hikmah di atas, Ibnu Atha'illah menggunakan lafal "kegigihan" untuk menyatakan bahwa
mencari rezeki yang dilakukan sekadarnya dan tanpa kegigihan tidak dilarang bagi seorang
murid karena tidak menyebabkan buta mata hatinya.
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
Senin, 03 September 2018
Kitab al-Hikam (Pasal 6-7) : Ditundanya Pemberian Allah Jangan Melemahkan
Semangatmu untuk Meminta
Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 6)
1. Jangan sampai tertundanya karunia Tuhan kepadamu, setelah kau mengulang-ulang doamu,
membuatmu putus asa. Karena Dia menjamin pengabulan doa sesuai pilihan-Nya, bukan sesuai
pilihanmu; pada waktu yang diinginkan-Nya, bukan pada waktu yang kau inginkan.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
ALLAH SWT. MENEGASKAN bahwa Dia akan mengabulkan semua doa. Dia berfirman,
"Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan kuperkenankan bagimu." (QS. al-Mu'min [40]: 60).
Doa yang pengabulannya ditunda, mungkin, lebih baik bagi seorang murid daripada doa yang
pengabulannya disegerakan. Karena bisa jadi, penundaan doa itu ditujukan agar ia semakin
bersungguh-sungguh dalam beribadah dan semakin merasa takut kepada Allah. Dalam situasi ini,
Halaman _ 13
biasanya setan akan datang dan membisikinya, "Jika benar tekadmu kuat, Tuhanmu pasti sudah
mengabulkan doamu, menghilangkan sifat-sifat kemanusiaanmu yang buruk, dan mewujudkan
segala keinginanmu." Sehingga sang murid pun tidak sadar bahwa ditundanya pengabulan doa
itu adalah lebih baik baginya.
Bisa jadi pula, ditundanya pengabulan doa tersebut, disebabkan oleh sifat buruk sang murid yang
terlalu banyak dan tidak bisa dihilangkan kecuali dalam waktu yang lama, sehingga mujahadah
dan riyadhah yang dilakukannya masih belum berpengaruh pada pengabulan doa-doanya.
Orang-orang 'arif mengumpamakan alam ini dengan tanah yang dipenuhi tumbuhan berduri.
Kadang durinya besar-besar dan banyak sehingga sulit dilalui dan bisa melukai. Kadang durinya
kecil-kecil, sedikit, dan mudah dihilangkan. Demikian pula sifat-sifat jiwa, ada yang sangat
buruk dan berjumlah banyak sehingga untuk menghilangkannya membutuhkan waktu lama dan
perjuangan panjang. Terkadang sifat-sifat itu tidak terlalu buruk dan hanya sedikit sehingga tidak
perlu waktu lama dan perjuangan panjang untuk membersihkannya. Ketika tujuan utama seorang
murid adalah menghilangkan sifat buruk jiwa, meski itu memakan waktu lama dan berakhir di
ujung usia, semua penderitaan dan perjuangannya selama masa itu tidaklah seberapa
dibandingkan dengan tujuan utama itu.
(Pasal 7)
2. Janji yang tak dipenuhi Tuhanmu pada waktunya jangan sampai membuatmu ragu. Agar
keraguan itu tidak menjadi perusak pandanganmu dan pemadam cahaya kalbumu.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
JIKA ALLAH menjanjikanmu melalui mimpi, ilham, atau melalui perantaraan Malaikat-Nya
bahwa pada masa tertentu kelak kau akan mendapatkan kemenangan atau kesejahteraan,lalu janji
itu tak terwujud pada waktunya, hal itu jangan sampai membuatmu ragu akan kebenaran janji-
Nya. Bisa jadi pemenuhan janji itu bergantung pada beberapa sebab dan syarat, dan hanya Allah
yang tahu hikmah di balik itu.
Contohnya, yang terjadi pada beberapa wali Allah, yang dijanjikan bahwa kelak, di tahun sekian,
mereka akan meraih kemuliaan. Namun kemudian, pada tahun yang dijanjikan itu, orang-orang
justru banyak yang menghina dan menjatuhkan kehormatannya. Begitu juga yang terjadi pada
Rasulullah di tahun Perjanjian Hudaibiyah. Saat itu, Rasulullah dijanjikan Allah mendapat
kemenangan. Namun ternyata, kemenangan tersebut tidak terjadi pada tahun itu, tetapi di tahun
sesudahnya.
Jika seorang murid mendapat janji dari Tuhan Yang Maha Rahmat, tetapi janji itu belum
terwujud, ia tidak boleh meragukan janji tersebut. Ia harus tahu diri dan tetap bersikap sopan
terhadap Tuhannya serta tetap tenang menanti janji itu. Ia tidak patut sangsi dan goyah
keyakinan menghadapinya. Barang siapa melakukan hal itu, berarti ia telah mengenal Tuhannya
('arif), berpandangan sehat, dan berhati terang. Jika tidak, berarti sebaliknya, ia tidak mengenal
Tuhannya, memiliki pandangan yang rusak, dan berhati gelap.
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
Halaman _ 14
Senin, 03 September 2018
Kitab al-Hikam (Pasal 8) : Makrifat Allah Tidak Ada Kaitannya dengan
Amalmu
Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 8)
1. Jika Tuhan membukakan untukmu pintu makrifat, jangan kau pertanyakan amalmu yang
sedikit. Karena Dia tidak akan membukakan pintu makrifat, kecuali karena ingin
memperkenalkan Diri-Nya kepadamu. Tahukah kau bahwa makrifat merupakan anugerah-Nya
untukmu, sedangkan amalmu adalah persembahan untuk-Nya. Tentu, persembahanmu takkan
sebanding dengan anugerah-Nya.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
DALAM PERJALANAN menuju Tuhannya, seorang salik harus memperbanyak amal untuk
menekan dorongan-dorongan nafsu syahwat sehingga ia bisa sampai kepada Allah. Di sisi lain,
seorang salik dituntut juga untuk ber-mujahadah dalam waktu lama. Namun demikian, tidak
menutup kemungkinan di sela-sela itu ia merasa malas melakukan sebagian ibadah dan wirid
yang diharuskan. Sehingga ia pun diterpa kegalauan dan frustasi, bahkan mungkin pula tergerak
untuk meninggalkan semuanya. Padahal, di saat yang sama, ia telah sampai pada satu tahapan
makrifatullah.
Oleh karena itu, Ibnu Atha'illah menasihatinya bahwa jika Allah membukakan untuknya satu
dari sekian pintu makrifat seperti merasakan kehadiran dan pengawasan Allah atau menyadari
bahwa pelaku ibadah sesungguhnya adalah Allah dan menyadari dirinya hanyalah objek
penampakan perbuatan-Nya maka saat itu ia tidak perlu lagi merasa heran dan bertanya-tanya
mengapa itu bisa terjadi sementara amal yang dilakukannya baru sedikit? Karena tujuan dari
semua amal adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dibukakannya pintu makrifat adalah
bukti bahwa Allah memgasihi dan menyayanginya. Bisa jadi, seseorang sedikit melakukan amal
karena ia memang sedang sakit. Jika orang ini mendapatkan makrifat, misalnya dengan
mengetahui bahwa sakit baginya lebih baik ketimbang sehat dan bahwa Allah Maha Melakukan
apa yang dikehendaki-Nya, saat itu ia tidak perlu lagi mempertanyakan sedikit amalnya.
Allah membukakan untukmu pintu makrifat karena Dia ingin memperkenalkan Diri-Nya
kepadamu, memberimu karunia-Nya, mendekatimu, dan menampakkan sifat-sifat dan asma'-Nya
untukmu. Tentu saja makrifat adalah karunia yang lebih besar dan agung untukmu dibandingkan
amalan-amalan lahirmu untuk-Nya. Hadiah dari seorang budak, walaupun bernilai tinggi, tetap
hina dan kecil dibandingkan hadiah dari seorang tuan walaupun itu sedikit. Hadiah dari seorang
budak manfaatnya hanya akan dirasakan oleh dirinya sendiri, bukan tuannya.
Kesimpulannya, amal ibadah yang sedikit namun diiringi makrifat lebih baik daripada amal
ibadah yang banyak tanpa makrifat. Jika seorang salik mendapatkan makrifat, ia harus segera
menghadapkan hatinya kepada Tuhannya agar karunia makrifat dari Tuhannya itu ditambah. Ia
juga harus lebih memedulikan makrifat tersebut ketimbang amalan-amalan lahir yang
Halaman _ 15
dilakukannya. Oleh sebab itu, amalan lahir para 'arif yang dilakukan di akhir usia mereka
cenderung menurun. Mereka selalu merindukan masa-masa dahulu ketika mereka mendapat
banyak cahaya karena banyaknya amal yang mereka lakukan.
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
Senin, 03 September 2018
Kitab al-Hikam (Pasal 9-10) : Ruh Amal adalah Ikhlas
Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 9)
1. Jenis amal itu bermacam-macam karena asupan hati juga beragam.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
YANG DIMAKSUD asupan hati disini adalah makrifat Tuhan dan rahasia ruhani yang masuk ke
dalam relung hati. Asupan hati ini akan mendorong munculnya sifat-sifat dan ahwal (keadaan)
terpuji. Ada yang membuahkan karisma. Ada yang mendorong kelembutan. Ada pula yang
memupuk kedermawanan.
Kerap kali kau dapati sebagian murid yang rajin shalat, ada pula yang rajin puasa, dan
sebagainya. Sebabnya adalah perbedaan asupan Ilahi yang mengakibatkan perbedaan
kecenderungan seseorang. Setiap orang harus beramal sesuai kecenderungannya jika ia belum
mendapat bimbingan dari gurunya. Sebaliknya, apabila ia telah mendapat bimbingan guru, ia
tidak boleh beramal, kecuali dengan izin sang guru.
Kesimpulannya, beragamnya wirid dan zikir yang dilakukan para murid adalah akibat dari
beragamnya asupan yang masuk ke hati mereka. Setiap murid harus beramal sesuai asupan
hatinya atau sesuai bimbingan guru. Ia tidak boleh beramal berdasarkan asupan hati orang lain.
Orang lain pun tidak boleh menentangnya hanya karena tidak melakukan apa yang dilakukannya.
(Pasal 10)
2. Amal itu seumpama jasad, sedangkan keikhlasan adalah ruhnya.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
AMAL ITU ibarat jasad yang tak bernyawa, sedangkan keikhlasan laksana ruh yang menjadikan
jasad itu hidup. Keikhlasan setiap orang berbeda-beda. Keikhlasan para 'abid (ahli ibadah)
berbentuk bersihnya amal mereka dari sifat Riya' yang nyata maupun yang tersamar dan dari niat
yang didasari hawa nafsu. Mereka beramal karena Allah, mengharap pahala-Nya, serta ingin
selamat dari azab dan siksa-Nya. Namun demikian, mereka menisbatkan amal itu pada diri
mereka dan menjadikannya sebagai tempat bergantung untuk meraih apa yang mereka inginkan.
Halaman _ 16
Sementara itu, bentuk keikhlasan para muhibbin (pecinta Allah) tergambar dalam niat amal
mereka yang ditujukan sebagai wujud pengagungan dan penghormatan mereka tethadap Allah;
yang memang layak mendapatkannya. Dalam beramal, mereka tidak bertujuan mendapat pahala
atau takut dari siksa-Nya.
Oleh sebab itu, Rabi'ah al-Adawiyah berkata, "Aku tidak menyembah-Mu karena takut neraka-
Mu atau berharap surga-Mu."
Sementara itu, keikhlasan para 'arif berbentuk kesaksian dan pandangan mereka bahwa Allah
semata yang menggerakkan dan mendiamkan mereka. Mereka tidak merasa memiliki daya dan
upaya dalam hal itu. Oleh karena itu, mereka tidak beramal, kecuali dengan bantuan Allah,
bukan dengan daya dan kekuatan mereka. Tingkat keikhlasan para 'arif ini merupakan tingkat
keikhlasan tertinggi.
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
Selasa, 04 September 2018
Kitab al-Hikam (Pasal 11) : Kemasyhuran Sangat Membahayakan Seorang
Murid
Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 11)
1. Kuburlah dirimu di tanah kerendahan karena sesuatu yang tumbuh tanpa dikubur (ditanam)
hasilnya kurang sempurna.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
MAKSUD "TANAH KERENDAHAN" adalah tanah dimana popularitas tak tumbuh subur.
Maksud "kuburlah dirimu disana" adalah kau tidak usah menempuh sebab-sebab popularitas,
seperti menawarkan dirimu untuk sebuah jabatan yang membuatmu terkenal. Seandainya kau
terpaksa terkenal, kau harus merendah hati dan jangan mencari kedudukan tertentu. Jangan
memandang jabatan yang sedang kau sandang sebagai hal yang besar. Yakinlah bahwa kebaikan
akan kau dapatkan saat kau meninggalkan itu semua. Namun, jangan kau tinggalkan semua itu,
kecuali atas bimbingan gurumu atau izin Tuhanmu.
Ibnu Atha'illah memberi contoh tentang hal itu dengan ungkapan, "sesuatu yang tumbuh tanpa
dikubur (benihnya) hasilnya kurang sempurna." Maksudnya, benih yang ditanam dalam-dalam
hanya akan tumbuh lemah, kering, dan tidak bisa dimanfaatkan. Bahkan, mungkin benih itu akan
mudah dimakan oleh burung atau binatang lain sebelum tumbuh menjadi tanaman.
Demikian pula seorang salik, jika ia mencari-cari popularitas di awal, jarang yang berhasil di
akhir. Semakin ia merendahkan diri maka maqam ikhlas akan semakin cepat diraihnya. Bila
sejak awal ia mendasari segala urusannya atas sikap menjauh dari mahluk, tidak mau dikenang,
tidak suka popularitas, dan memilih untuk bersama Tuhannya, ia akan bersama Tuhannya. Jika
Halaman _ 17
Tuhan berkehendak, Dia akan memunculkannya dan menjadikannya terkenal. Jika tidak, Dia
akan menutupinya dan membuatnya tidak terkenal.
Abu al-Abbas rahimahullah berkata, "Siapa yang menginginkan popularitas, ia adalah budak
popularitas. Siapa yang mencintai para penguasa, ia akan menjadi budak penguasa. Siapa yang
menyembah Allah, baginya sama saja, terkenal ataupun tidak."
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
Selasa, 04 September 2018
Kitab al-Hikam (Pasal 12) : Manfaat 'Uzlah
Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 12)
1. Tiada yang lebih berguna bagi hati selain 'uzlah. Dengan 'uzlah, hati memasuki lapangan
tafakur.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
'UZLAH (menyendiri) merupakan cara terbaik bagi seorang murid untuk membersihkan hati dari
segala kelalaian dan mendekatkan diri kepada Tuhannya.
Tafakur itu umpama sebuah lapangan. Di sana, hati berputar-putar seperti seekor kuda yang
berpacu di sebuah arena pacuan.
Bila seorang murid terlalu banyak bergaul dengan manusia, pandangan dan hatinya akan tertuju
pada keduniaan sehingga yang kemudian tampak jelas di hadapannya hanyalah hal-hal yang
bersifat materi dan fana. Tidak demikian jika ia ber-'uzlah menjauhi pergaulan dengan manusia,
hatinya akan disibukkan dengan hal-hal gaib.
Dalam sebuah khabar disebutkan, "Bertafakur sesaat lebih baik daripada ibadah 70 tahun."
Ada seseorang yang bertanya kepada Ummu ad-Darda, "Amalan apa yang paling diutamakan
Abu Darda?", Ummu ad-Darda menjawab, "Tafakur."
Dengan bertafakur, seseorang bisa mendalami hakikat, mengagungkan Allah, dan
mengutamakan segala hal yang diridhai-Nya. Dengan bertafakur, ia bisa menganggap hina
semua hal yang dibenci Allah sehingga terdorong untuk meninggalkannya. Dengan bertafakur,
seseorang bisa mengetahui keburukan-keburukan jiwa yang terselubung, kejahatan musuh, dan
tipuan dunia. Ia juga bisa mengenali segala muslihat sehingga bisa dengan mudah
menghindarinya dan selamat dari bahaya-bahaya yang ditimbulkannya.
Halaman _ 18
Dengan menyendiri dan merenung, seorang murid melatih diri untuk berkhalwat, salah satu dari
empat rukun tarekat (tiga rukun lainnya adalah bersikap diam, berlapar-lapar, dan bangun tengah
malam). Ini, bagi murid yang menempuh jalan tarekat sendirian.
Adapun bagi murid yang berada di bawah bimbingan guru, tentu ia harus banyak bergaul dengan
gurunya, juga dengan saudara-saudara yang turut membantunya menempuh jalan tarekat. Jika ia
telah menjadi 'arif, tak masalah baginya bergaul dengan manusia manapun karena saat itu di
matanya hanya Allah yang terlihat. Perlu dicamkan bahwa yang menjadi tujuan utama adalah
tafakur, sedangkan 'uzlah (menyendiri) hanya sebagai media atau faktor pendukung.
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
elajar Ilmu Dunia dan Akhirat
Selasa, 04 September 2018
Kitab al-Hikam (Pasal 13) : Hati Tidak Mungkin Bersinar manakala Keduniaan
Menutupinya
Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 13)
1. Bagaimana mungkin kalbu akan bersinar, sedangkan bayang-bayang dunia masih
terpampang di cerminnya? Bagaimana mungkin akan pergi menyongsong Ilahi, sedangkan ia
masih terbelenggu nafsunya? Bagaimana mungkin akan bertamu ke hadirat-Nya, sedangkan ia
belum bersuci dari kotoran kelalaiannya? Bagaimana mungkin diharapkan dapat menyingkap
berbagai rahasia, sedangkan ia belum bertobat dari kekeliruannya?.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
BAGAIMANA MUNGKIN kalbu akan bersinar terang, sedangkan anasir keduniaan masih
menyelimutinya dan dianggap bisa mendatangkan manfaat serta bahaya? Bahkan, anasir
keduniaan itu begitu diandalkannya!.
Jika hati masih terbelenggu nafsu, bagaimana mungkin bisa berjalan menuju Allah? Orang yang
dibelenggu tentu tidak akan mampu berjalan. Bagaimana pula hati bisa melihat Allah, sedangkan
ia masih belum suci dari junub kelalaiannya?.
Di sini, Bin Atha'illah mengumpamakan kelalaian dengan junub. Dan seorang yang sedang junub
tidak diperbolehkan memasuki masjid. Seperti itu pula orang yang dikuasai kelalaian, ia tidak
akan diizinkan menemui Allah.
Bagaimana mungkin hati akan mewarisi ilmu kaum 'arif, sedangkan ia belum bertobat dari
kesalahan atau maksiat yang tidak disengaja dilakukannya?.
Halaman _ 19
Dalam hikmah di atas, Ibnu Atha'illah mengungkapkan kejanggalan yang dilihatnya.
Menurutnya, bagaimana mungkin seseorang bisa meraih sesuatu yang diinginkannya, sedangkan
ia masih melakukan hal-hal yang justru merintangi pencapaiannya. Hati yang bercahaya hanya
dapat diraih dengan cahaya iman dan keyakinan, bukan dengan harta dan hal-hal lain yang
bersifat duniawi. Keduniaan justru akan membuat hati menjadi gelap.
Perjalanan menuju Allah hanya bisa dilakukan dengan memutus belenggu nafsu dan syahwat,
bukan dengan menuruti nafsu dan syahwat. Pertemuan dengan Allah hanya bisa terjadi bila hati
telah suci. Hati yang masih belum suci atau masih dikotori oleh kelalaian akan menghalangi
pertemuan dengan Allah. Kemampuan menguasai ilmu dan mengetahui detail-detail rahasia
hanya bisa didapat melalui ketakwaan, bukan dengan keinginan yang besar untuk selalu
melakukan maksiat.
Allah SWT. Berfirman, "Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan mengajarimu; dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. al-Baqarah [2] : 282).
Dalam sebuah khabar disebutkan, "Siapa yang beramal dengan ilmunya, maka Allah akan
mewarisinya ilmu yang tidak diketahuinya."
Keempat hal di atas sebenarnya saling memengaruhi satu sama lain. Tampilnya gambaran
keduniaan di dalam cermin hati menjadi sebab terbelenggunya hati oleh syahwat.
Keterbelengguan hati dapat menyebabkan kelalaian. Kelalaian menjadi sebab kekeliruan, dan
kekeliruan menjadi sebab butanya hati.
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
Selasa, 04 September 2018
Kitab al-Hikam (Pasal 14-16) : Wujud Allah itu Jelas dan Tidak Terhalangi oleh
Sesuatu
Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 14)
1. Semesta itu seluruhnya gulita. Ia hanya akan diterangi oleh wujud Allah. Siapa yang melihat
semesta, namun tidak melihat-Nya di sana atau tidak melihat-Nya ketika, sebelum, atau sesudah
melihat semesta, berarti ia telah disilaukan oleh cahaya-cahaya lain dan terhalang dari surya
makrifat karena tertutup tebalnya awan dunia.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
DI MATA para ahli syuhud (orang yang menyaksikan kehadiran Allah dalam segala sesuatu),
dunia ini tidak berwujud. Yang membuat dunia ini nampak hanyalah wujud Allah semata, persis
seperti pancaran sinar matahari yang masuk ke dalam sebuah lentera berkaca. Tak ada wujud,
kecuali wujud Yang Maha Benar. Dengan kemunculan Allah pada segala sesuatu, semuanya
Halaman _ 20
menjadi ada, sesuai tabiatnya masing-masing. Aslinya, mereka tidak berwujud dengan
sendirinya.
Jika demikian, barang siapa yang melihat alam semesta ini tanpa merasakan kehadiran Allah di
sana, berarti ia telah kehilangan nur Ilahi (cahaya Allah) yang membuatnya mendapat
musyahadah. Di samping itu, ia juga tidak mungkin akan mendapat makrifat karena ia telah
disilaukan oleh semesta ini.
Di sini Ibnu Atha'illah menyinggung tentang bermacam-macam tingkatan ahli syuhud dalam
memandang Allah. Di antara mereka ada yang menyaksikan Sang Pencipta terlebih dahulu
sebelum menyaksikan ciptaan-Nya. Jika pandangannya jatuh pada suatu benda, ia akan
menyaksikan keberadaan Yang Maha Benar dan bahwa hanya Dia yang menggerakkan dan
mendiamkannya. Itu terjadi sebelum di benaknya terbersit apakah benda itu manusia ataukah
domba, tinggi ataukah pendek, dan sebagainya.
Ada juga yang menyaksikan Tuhan setelah tahu bahwa benda yang disaksikannya itu adalah
binatang. Ada yang menyaksikan Tuhan tepat di saat ia menyaksikan suatu benda. Ada pula yang
menyaksikan Tuhan pada benda itu.
Hikmah ini teramat sulit dijabarkan karena semua pengalaman di atas tidak bisa diungkapkan
melalui ucapan atau tulisan, namun hanya bisa dirasakan. Orang yang mengalami syuhud akan
kehilangan kata-kata untuk menjelaskannya.
(Pasal 15)
2. Di antara tanda kekuasaan Allah adalah Dia mampu menghalangimu dari melihat-Nya
dengan sesuatu yang tidak ada.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
PARA 'ARIF sepakat bahwa segala sesuatu selain Allah adalah tidak ada. Segala sesuatu selain
Allah dianggap tidak berwujud dibandingkan dengan wujud-Nya.
Seorang 'arif berkata, "Para muhaqqiq (peraih maqam makrifat) menolak untuk memandang
selain Allah karena mereka telah berhasil menyaksikan kuasa dan keabadian Allah dalam
mengatur dan meliputi segala sesuatu."
Semua hal selain Allah dianggap tidak ada, namun mengapa ia menjadi penghalang bagi manusia
untuk dapat menyaksikan Allah? Mengapa saat manusia menyaksikan alam semesta, mereka
hanya melihat wujud alam semesta tanpa melihat siapa yang mewujudkannya? Padahal alam itu
tidak berwujud sama sekali karena yang mewujudkannya hanyalah Allah SWT. Inilah yang amat
mengherankan.
Kemudian, pada hikmah di bawah ini, Ibnu Atha'illah menyebutkan dalil-dalil yang menegaskan
bahwa seorang 'arif tidak layak terhijab oleh semesta karena kondisi ini hanya dialami oleh
orang-orang awam.
Halaman _ 21
(Pasal 16)
3. Bagaimana bisa Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia yang menampakkan segala sesuatu?
Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak bersama segala sesuatu?
Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak pada segala sesuatu?
Bagaimana bisa Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak untuk segala sesuatu?
Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak sebelum keberadaan segala
sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia lebih tampak daripada
segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia Esa tanpa ada yang
bersama-Nya? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia lebih dekat
kepadamu dari segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal jika
bukan karena Dia, wujud segala sesuatu tidak akan ada? Sungguh aneh, bagaimana mungkin
keberadaan (wujud) bisa tampak dalam ketiadaan ('adam)?! Atau, bagaimana bisa sesuatu yang
baru bersanding dengan Yang Maha Dahulu?!.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
ALLAH MENAMPAKKAN segala sesuatu dengan cahaya wujud dari gelapnya ketiadaan.
Dengan kemunculan cahaya-Nya dalam segala sesuatu, semuanya menjadi tampak. Jika wujud
segala sesuatu bergantung pada cahaya-Nya, mustahil sesuatu itu menutupi-Nya sehingga
membuat-Nya terselubung dan tidak tampak. Tindakan "menampakkan" meniscayakan
penampakan Dzat yang melakukannya. Allahlah yang menampakkan segala sesuatu agar orang-
orang yang berakal menjadikannya sebagai bukti keberadaan-Nya.
Allah SWT. Berfirman, "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan)
Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-
Quran itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya
Dia menyaksikan segala sesuatu?." (QS. Fushshilat [41]: 53).
Menurut ahli syuhud, Allah tampak pada segala sesuatu dengan penampakan dzat-Nya.
Sementara itu, menurut ahli hijab, Dia tampak pada segala sesuatu dengan penampakan sifat dan
asma'-Nya. Segala sesuatu hanyalah objek penampakan dari makna-makna asma' dan sifat-Nya.
Pada benda atau orang yang mulia, tampaklah sifat Maha Mulia ('aziz) milik-Nya dan pada
benda atau orang yang hina, terlihat sifat Maha Menghinakan (Mudhill) milik-Nya.
Pada setiap mahluk hidup tampak jelas sifat Maha Menghidupkan (muhyi) milik-Nya. Saat Allah
mencabut nyawa, tampaklah sifat Maha Mematikan (mumit). Saat memberi, terlihatlah sifat
Maha Memberi (mu'thi). Saat memberi karunia, tampak sifat Maha Memberi Karunia (karim).
Saat mengabulkan doa, tampak sifat Maha Pengabul Doa (mujib). Saat menimpakan bahaya atau
mendatangkan manfaat, tampaklah sifat Maha Pemberi Bahaya (dharr) dan Maha Pemberi
Manfaat (nafi'), dan sebagainya.
Bagaimana bisa Allah terhalangi sesuatu, padahal Dia muncul atau tampak pada segala sesuatu
sehingga bisa dikenali. Karena itulah, seluruh semesta alam bersujud dan bertasbih kepada-Nya,
tetapi kita tidak mendengar dan memahami tasbih mereka. Semua mahluk di alam ini, baik yang
bernyawa maupun yang tidak, mengenali Allah, namun itu bergantung pada kadar penampakan
Allah yang dilihatnya. Jika ada mahluk yang tidak mengagungkan Allah sesuai kadar
Halaman _ 22
keagungan-Nya, maka hal itu disebabkan oleh lemahnya makrifat (pengenalan) tentang-Nya,
bukan karena ketiadaan makrifat sama sekali.
Bagaimana mungkin Tuhan terhalangi sesuatu, sedangkan Dia Zhahir sebelum wujud segala
sesuatu? Karena asma'-Nya sudah tampak sejak azali. Kemunculan Allah sendiri sudah
merupakan sifat asli-Nya (Zhahir), tidak didapat dari luar, tidak beralasan, dan tidak diserap dari
mana saja. Sementara itu, kemunculan alam semesta adalah akibat kemunculan Allah di sana
dengan sifat Zhahir-Nya. Jika demikian, bagaimana mungkin semesta dapat menghalangi-Nya?.
Bagaimana bisa Allah terhalangi sesuatu, padahal Dia lebih tampak daripada segala sesuatu?
Karena dalam setiap kondisi, wujud (keberadaan) lebih tampak daripada 'adam (ketiadaan), juga
karena kemunculan substansial lebih kuat daripada kemunculan aksidental. Kemunculan yang
bersumber dari diri sendiri lebih kuat daripada kemunculan yang diakibatkan faktor luar.
Kemunculan mutlak lebih kuat daripada kemunculan relatif. Kemunculan yang abadi lebih kuat
daripada kemunculan yang fana.
Wujud Tuhan tidak diketahui akal karena kemunculan-Nya amat dahsyat. Kemunculan dahsyat
itu tak akan bisa diketahui oleh orang-oranf lemah. Seperti halnya seekor kelelawar yang hanya
mampu melihat di kegelapan malam. Sedangkan di siang hari ia tidak mampu melihat apa-apa.
Hal itu dikarenakan kuatnya kemunculan siang. Sementara itu, penglihatan mata kelelawar amat
lemah. Ia tak sanggup melawan pancaran cahaya matahari. Kuatnya kemunculan siang dan
lemahnya penglihatan itulah yang menjadi sebab kelelawar tak mampu melihat di siang hari.
Seperti itulah akal, ia amat lemah di hadapan kemunculan Ilahi yang sinar dan cahaya-Nya
menyilaukan. Kuatnya kemunculan Ilahi inilah yang menjadi sebab ketersembunyian-Nya dari
segala sesuatu.
Bagaimana mungkin segala sesuatu akan menghalangi Allah, padahal Dia Yang Esa dan tak ada
sesuatu pun yang bersama-Nya? Karena segala sesuatu selain Allah tidak ada dan tidak
berwujud. Dengan demikian, tak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi-Nya karena semua
wujud hakiki hanya milik Allah, bukan milik selain-Nya.
Bagaimana mungkin Allah terhalangi sesuatu, padahal Dia lebih dekat kepadamu dari segala
sesuatu? Karena Dia mampu meliputi dan mengaturmu. Allah SWT. Berfirman, "Dan Kami
lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (QS. Qaf [50]: 16).
Menurut ahli syuhud, Dzat Allah amat dekat kepada kita. Adapun menurut ahli hijab, Tuhan
dekat kepada kita dalam pengertian dekat ilmu, kekuasaan, dan sifat-sifat-Nya yang lain.
Bagaimana bisa Allah terhalangi sesuatu, padahal tanpa Dia, segala sesuatu tidak akan ada?
Sampai-sampai para musyahidun (yang merasa menyaksikan Allah) menjadikan Allah sebagai
dalil untuk membuktikan keberadaan segala sesuatu.
Allah SWT. Berfirman, "Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya
Dia menyaksikan segala sesuatu?." (QS. Fushshilat [41]: 53).
Halaman _ 23
Sungguh aneh, bagaimana mungkin wujud (keberadaan) tidak tampak dalam 'adam (ketiadaan)?
'Adam adalah kegelapan, sedangkan wujud adalah cahaya. Keduanya mudah dibedakan.
Bagaimana bisa sesuatu yang baru (hadits) bersanding dengan Yang Maha Dahulu (qadim)?
Bagaimana mungkin sesuatu yang baru muncul bersamaan dengan yang memiliki sifat qidam.
Yang baru itu bathil, sedangkan Allah itu Haq (Maha Benar). Kebatilan akan sirna dengan
adanya kebenaran.
Allah SWT. Berfirman, "Dan katakanlah, 'Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.'
Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap." (QS. al-Isra' [17]: 81).
Sosok yang lahir (tampak) dan tsabit (tetap) itulah Tuhan Yang Maha Haq, Allah SWT., bukan
alam semesta. Tak ada yang berwujud, kecuali Allah karena Dia yang tampak dan
menampakkan, yang maujud dan berbeda dari segala penampakan lainnya.
Pertanyaan-pertanyaan yang bernada keheranan dalam hikmah ini pasti akan diajukan oleh
mereka yang pernah merasakan pengalaman syuhud. Oleh karena itu, semakin kuat pengalaman
syuhud yang dirasakan seseorang maka semakin sirnalah alam semesta ini dari pandangannya.
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
di September 04, 2018
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
lajar Ilmu Dunia dan Akhirat
Jumat, 07 September 2018
Kitab al-Hikam (Pasal 17-18) : Bodohnya Orang yang Ingin Mengubah
Kehendak Allah
Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 17)
1. Alangkah bodohnya orang yang menghendaki sesuatu terjadi pada waktu yang tidak
dikehendaki-Nya.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
JIKA HATI atau tubuh seorang murid sedang berada dalam satu keadaan (ahwal) tertentu, ia
harus tetap menjaga kesopanan dihadapan Allah dengan merelakan diri untuk tetap berada pada
keadaan tersebut sampai Allah sendiri yang memindahkannya dari sana. Dengan satu catatan :
keadaan tersebut tidak bertentangan dengan syariat.
Misalnya, jika ia sedang berada dalam keadaan terlepas dari keduniaan (tajrid), ia harus
menahan diri untuk terus berada dan rela dalam keadaan tersebut sampai Allah sendiri yang
Halaman _ 24
memindahkannya ke keadaan yang lain. Jika terbersit di hatinya keinginan untuk mencari
penghidupan (kasab), itu artinya ia tidak sopan kepada Tuhannya karena ia sudah menolak
keadaan yang dikehendaki-Nya untuknya. Demikian pula, seorang murid dianggap tidak sopan
terhadap Tuhannya, jika ia sedang berada dalam satu pekerjaan, namun ingin pindah ke
pekerjaan lain, atau sedang berada dalam keadaan miskin, namun ingin menjadi kaya.
Empat puluh tahun silam, seseorang berkata kepadaku, "Bila Allah menempatkanku pada satu
kondisi (ahwal), tidak pernah sedikit pun aku kesal. Bila Dia memindahkanku ke kondisi lain,
tidak pernah sekali pun aku menolaknya." Ungkapan ini adalah buah dari ilmu dan pengetahuan
(makrifat) tentang Allah dan ketuhanan-Nya.
Jika seseorang membenci keadaan dirinya saat ini, lalu ia bersikukuh ingin pindah dari keadaan
itu dan menghendaki keadaan lain yang berbeda dengan apa yang ditampakkan Allah kepadanya,
itu artinya, ia tidak mengenali Tuhannya sama sekali dan sudah bersikap tidak sopan terhadap-
Nya. Tentu ini adalah tindakan menentang "hukum waktu" yang diisyaratkan oleh kaum sufi.
Bagi kaum sufi, menentang "hukum waktu" merupakan dosa paling besar.
(Pasal 18)
2. Jangan meminta Allah untuk mengeluarkanmu dari satu kondisi agar kau bisa dipekerjakan-
Nya. Jika memang Dia menghendaki, niscaya Dia akan mempekerjakanmu tanpa harus
mengeluarkanmu dari kondisi itu.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
JIKA KAU MENGIRA bahwa keberadaanmu di satu kondisi telah menghambatmu untuk
mendekatkan diri kepada-Nya, jangan meminta-Nya mengeluarkanmu dari kondisi itu karena
jika Allah mencintaimu dan kau termasuk ahli iradah (yang dikehendaki Allah), Allah akan
mempekerjakanmu dengan penuh kasih sayang, membimbingmu melakukan amal-amal saleh,
dan menyibukkan hatimu dengan-Nya, tanpa harus mengeluarkanmu dari kondisi lamamu.
Jika seorang murid berada dalam satu kondisi yang tidak sesuai dengan tujuannya (namun dari
sudut pandang syariat, kondisi itu tidak terlarang), tak layak baginya untuk menghendaki keluar
dari kondisi itu dan menentang "hukum waktu" sebagaimana dijelaskan dalam hikmah di atas. Ia
juga tidak layak meminta Tuhannya segera mengeluarkannya dari sana agar bisa dipekerjakan-
Nya pada kondisi lain karena kondisi itu adalah pilihan Allah dan ia tidak perlu bingung dalam
hal ini.
Yang patut dilakukannya adalah tetap menjaga etika dan kesopanannya terhadap Tuhannya serta
mendahulukan kehendak-Nya atas pilihannya sendiri. Jika Tuhannya melihat sikap baiknya ini,
Dia akan mempekerjakannya tanpa perlu mengeluarkannya dari kondisi tersebut. Dengan
demikian, ia pun beramal sesuai kehendak Allah, bukan berdasarkan kehendaknya sendiri.
Tentu, itu lebih baik baginya daripada mengedepankan pilihannya sendiri. Akan lebih baik lagi
baginya bila ia juga meyakini bahwa ia akan mencapai tujuannya tanpa harus keluar dari kondisi
tersebut.
Halaman _ 25
Lain lagi halnya jika ia berada dalam kondisi yang tidak sesuai dengan syara'. Dalam hal ini, ia
harus segera keluar dari kondisi tersebut dan meminta Tuhannya agar memindahkannya ke
kondisi yang lebih diridhai-Nya.
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
Jumat, 07 September 2018
Kitab al-Hikam (Pasal 19) : Menunda Amal Saleh Termasuk Sikap Bodoh
Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 19)
1. Menunda amal karena menunggu waktu yang luang termasuk tanda kebodohan.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
JIKA SEORANG murid menunda-nunda amal yang bisa mendekatkannya kepada Tuhannya
karena merasa tidak memiliki waktu luang di sela-sela kesibukan dunianya, tindakan itu
merupakan tanda kebodohan jiwanya. Disebut bodoh karena ia telah menunda amalnya dengan
menunggu waktu luang. Padahal, bisa jadi, alih-alih mendapatkan waktu luang untuk beramal
ibadah, justru ajal yang menjemputnya tiba-tiba. Bisa jadi juga, justru kesibukannya semakin
bertambah karena kesibukan dunia pasti akan terus bertumpuk sebab satu sama lain saling
berkaitan.
Bahkan, andai kata ia mendapatkan waktu luang, tentu tekad dan niatnya pun sudah melemah.
Oleh karena itu, sepatutnya ia segera bangkit melakukan amal-amal yang mendekatkan dirinya
kepada Tuhannya sebelum terlambat. Pepatah mengatakan, "Waktu ibarat pedang. Jika kau tidak
bisa menggunakanya, niscaya ia akan menebasmu."
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
Jumat, 07 September 2018
Kitab al-Hikam (Pasal 20) : Rahasia Ilahi Bukanlah Tujuan Utama Orang 'Arif
Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 20)
1. Di saat tekad seorang salik ingin berhenti pada apa yang tersingkap baginya, suara-suara
hakikat pun memperingatkannya, "Yang kau cari ada di depanmu!" Dan di saat pesona alam
tampak menggoda, hakikat-hakikatnya pun berujar, "Kami hanyalah ujian maka jangan kau
kufur!."
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
Halaman _ 26
TEKAD SEORANG salik (peniti jalan menuju Allah) tidak akan berhenti setelah mendapatkan
makrifat, rahasia, dan cahaya-cahaya Ilahi. Ia tidak akan memandang bahwa makrifat, ahwal,
dan maqam yang telah diraihnya merupakan tujuan utama dan akhir dari perjalanannya. Bisikan-
bisikan hakikat Ilahi akan menyeru hatinya agar tidak berhenti sampai di situ, "Karena apa yang
kau cari ada di depanmu!." Apa yang dicari dan diinginkan seorang salik adalah "Sampai kepada
Tuhannya". Bukan sampai kepada sesuatu selain-Nya.
Saat dunia menebar pesonanya, ia akan berseru dengan suara yang tak kau dengar, "Kami hanya
ujian dan cobaan maka jangan kau tertipu oleh kami dan jangan berhenti sampai di sini. Jangan
jadikan dirimu budak kami sehingga kau akan terhalang dari Allah karena sikap semacam ini
sama saja dengan kufur terhadap nikmat Tuhan Pemberi nikmat."
Syukur atas nikmat Tuhan diwujudkan dengan cara menemui dan mendatangi Tuhan Yang
Memberi nikmat, sedangkan sikap berpaling dari nikmat, namun di saat yang sama tetap
menikmati nikmat tersebut, adalah cerminan sikap tidak tahu diri di hadapan Tuhan.
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
Jumat, 07 September 2018
Kitab al-Hikam (Pasal 21-23) : Empat Sikap Perilaku Hamba saat Berhubungan
dengan-Nya
Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 21)
1. Meminta kepada Allah berarti menuduh-Nya. Mencari Allah berarti menggibah-Nya. Mencari
selain Allah pertanda tak punya malu kepada-Nya dan meminta kepada selain Allah pertanda
jauh dari-Nya.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
DALAM PERJALANANNYA menuju Allah, seorang murid harus sibuk melakukan amal-amal
saleh yang diridhai Tuhannya. Hatinya tidak boleh sibuk mencari sesuatu yang lain karena itu
tercela dan bisa memutus jalannya menuju Allah.
Bila kau meminta kepada Allah agar Dia memberimu rezeki dan makanan yang dapat
membantumu berjalan atau agar Dia meluaskan rezekimu, sama dengan menuduh-Nya tidak
pernah memberimu rezeki. Jika kau percaya bahwa Dia Maha Mengetahui kebutuhanmu dan
Maha Kuasa memberimu tanpa kau minta, tentu kau tidak akan meminta sesuatu pun dari-Nya.
Bila kau mencari-cari Allah agar kau didekatkan kepada-Nya, dihilangkan hijab antara dirimu
dengan-Nya, dan dapat melihat-Nya dengan mata hatimu, tindakan ini sama saja dengan
melakukan gibah terhadap-Nya (membicarakan-Nya di belakang) karena Dzat Yang Maha Hadir
tidak perlu lagi dicari-cari.
Halaman _ 27
Bila kau mencari selain Tuhanmu, baik itu berupa harta, kedudukan, kehormatan, maupun yang
lainnya, itu membuktikan sedikitnya rasa malumu kepada-Nya. Jika kau malu kepada-Nya, tentu
kau tidak akan mencari selain-Nya.
Bila kau meminta kepada selain-Nya, seperti meminta kepada seorang manusia untuk mengatasi
persoalan-persoalanmu dan saat meminta itu kau lupa kepada Tuhanmu, itu menandakan bahwa
kau begitu jauh dari-Nya. Jika kau dekat dengan-Nya, pasti kau akan jauh dari selain-Nya.
Sekiranya kau menyadari kedekatan-Nya denganmu, niscaya kau akan menghindari mahluk-
mahluk-Nya. Namun, karena kejauhanmu dengan-Nya, kau merasa butuh kepada selain-Nya
untuk kau jadikan tempat berlindung dan meminta.
Bagi kalangan murid, meminta kepada Sang Khalik adalah hal yang lumrah. Bahkan, meminta
kepada mahluk pun adalah hal yang wajar, kecuali meminta dalam kerangka ibadah, etika,
mengikuti perintah, atau menyatakan kebutuhan. Sementara itu, orang-orang 'arif hanya
memandang kepada Allah. Permintaan mereka, walaupun secara lahir tampak kepada mahluk,
namun sebenarnya kepada Sang Khalik.
(Pasal 22)
2. Pada setiap desahan napas yang kau hembuskan terdapat takdir Allah yang telah ditetapkan.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
SETIAP NAPAS yang keluar darimu telah ditakdirkan Allah, baik yang terkandung di dalamnya
ketaatan, maksiat, nikmat, maupun petaka. Setiap napas yang keluar darimu adalah satu dari
sekian takdir Allah untukmu, siapapun dirimu. Oleh karena itu, kau harus tetap menjaga
kesopananmu di hadapan-Nya dan menyadari bahwa Dia selalu mengawasimu dalam setiap
desahan napasmu. Dengan begitu, di setiap napas, kau menjadi seorang salik yang ingin meniti
jalan menuju Allah. Inilah makna ungkapan "Jalan menuju Allah sebanyak desahan napas
seluruh mahluk."
(Pasal 23)
3. Jangan menanti-nanti hilangnya kecenderungan-kecenderungan kepada dunia. Karena hal itu
dapat membuatmu lupa akan adanya pengawasan Allah atas ahwal yang telah ditetapkan-Nya
untukmu.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
KECENDERUNGAN-KECENDERUNGAN kepada dunia memang merupakan kegelapan yang
dapat menghalangi hati dari melihat Tuhan. Namun demikian, jangan pula kau menanti-nanti dan
bertanya-tanya kapan kecenderungan-kecenderungan itu bisa hilang secara total dari hatimu.
Sebab, hal ini bisa membuatmu lupa bahwa kondisi (ahwal) yang telah ditetapkan untukmu saat
ini, yakni berupa amal-amal yang bisa mengantarkanmu kepada-Nya, adalah berada dalam
pengawasan-Nya.
Halaman _ 28
Yang dituntut dari dirimu ialah senantiasa istiqamah dalam menjalani kebiasaanmu dan tetap
merasa diawasi Allah. Jangan kau sibuk dengan segala hal yang masuk ke dalam hatimu, baik
berupa kegelapan maupun cahaya karena hal itu justru akan memutusmu dari kebiasaanmu.
Dianggap memutus karena jiwamu selalu dibayangi keraguan, "Kalau benar aku ini ahli iradah,
tentunya kecenderungan-kecenderungan kepada dunia ini tidak mungkin lagi masuk ke dalam
hatiku, apalagi dengan banyaknya ibadah yang sudah kulakukan selama ini." Sehingga hatimu
sibuk dengan bisikan dan gangguan ini. Mungkin ia terus membisikimu agar kau melupakan apa
yang menjadi tujuanmu atau agar kau meninggalkan amal saleh.
Biasanya, sebab kemunculan kecenderungan-kecenderungan kepada dunia ini adalah kotoran-
kotoran keduniaan yang menghampiri hatimu. Dan ini adalah persoalan yang mau tidak mau
harus kau hadapi.
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
Jumat, 07 September 2018
Kitab al-Hikam (Pasal 24) : Jangan Merasa Aneh dengan Kesuraman Hidup di
Dunia
Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 24)
1. Jangan merasa aneh dengan terjadinya penderitaan-penderitaan selama kau masih hidup di
dunia ini karena dunia hanya akan menampakkan apa yang mesti ditampakkannya.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
DI ANTARA hal yang lazim terjadi di dunia adalah derita dan kesulitan. Dunia ini diciptakan
sebagai tempat kebendaan dan gudang penderitaan agar kau menjauhkan dirimu dari sana.
Ja'far ash-Shadiq berkata, " Siapa yang mencari apa yang belum diciptakan berarti menyiksa
dirinya sendiri karena ia mencari sesuatu yang tak akan pernah didapatkannya."
Ia lalu ditanya, "Apa gerangan yang tak akan pernah didapatkannya?."
Ia memjawab, "Kenyamanan di dunia."
Oleh karena itu, seorang murid yang tulus tidak boleh melirik dunia. Ia harus terus semangat
dalam meniti jalannya agar mentari makrifat terbit kepadanya sehingga tipuan benda-benda
duniawi itu hilang dari pandangannya dan penderitaan akan sirna dengan kesempatannya melihat
Tuhan Yang Maha Mulia dan Pengampun.
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
Halaman _ 29
Sabtu, 08 September 2018
Kitab al-Hikam (Pasal 25-27) : Mintalah kepada Allah, Pasti Terkabul
Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 25)
1. Apa yang kau minta tak akan terhalang selama kau memintanya kepada Tuhanmu. Namun,
apa yang kau minta tak akan datang selama kau mengandalkan dirimu sendiri.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
PERMINTAAN YANG dimaksud pada hikmah ini bersifat umum, meliputi semua permintaan,
baik itu yang berkaitan dengan dunia maupun akhirat. Apa yang kau minta dan inginkan tidak
akan terhalang selama dalam mencarinya kau tetap memerhatikan Tuhanmu, menghadirkan-Nya
dalam hatimu, dan bersandar kepada-Nya agar memudahkan permintaan dan urusanmu. Namun,
permintaan itu sulit kau raih bila kau lalai dari-Nya dan bersandar kepada orang-orang sekitarmu
atau pada kekuatanmu sendiri.
Barang siapa menyerahkan segala kebutuhannya kepada Allah, berlindung dan bertawakal
kepada-Nya, Allah akan mencukupi kebutuhannya, mendekatkan yang jauh darinya, dan
memudahkan segala yang sulit baginya. Barang siapa yang mengandalkan ilmu dan akalnya serta
bersandar pada kekuatan dan kemampuannya, Allah akan mempersulitnya dan membuatnya
gagal. Apa yang diinginkan dan dibutuhkannya itu tidak akan mudah didapatkan dan sulit
diwujudkan.
(Pasal 26)
2. Di antara tanda keberhasilan di akhir adalah kembali kepada Allah di awal.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
LANGKAH AWAL seorang murid patut diperbaiki demi memperbesar kemungkinannya untuk
sampai hingga akhir perjalanannya. Siapa yang memperbaiki dan meluruskan langkah awalnya
dengan kembali kepada Allah dan tawakal kepada-Nya serta memohon pertolongan-Nya, bukan
bergantung pada amalnya yang kurang sempurna, pada akhirnya ia akan sukses dan berhasil. Ia
akan sampai pada tujuan akhirnya dan tidak akan goyah di perjalanannya. Barang siapa yang
tidak melakukan hal itu maka di tengah jalan ia akan berhenti dan pulang kembali ke tempat
pemberangkatannya semula.
Seorang 'Arif berkata, "Siapa yang mengira bahwa ia telah sampai kepada Allah tanpa bantuan-
Nya maka ia akan terhenti di jalan. Siapa yang memohon bantuan dirinya sendiri dalam
beribadah kepada Allah maka ia akan bergantung pada dirinya sendiri.
(Pasal 27)
3. Siapa yang bersinar di awal, akan bersinar pula di akhir.
Halaman _ 30
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
SIAPA YANG awalnya cerah dan bersinar, misalnya dengan mengisi waktu-waktunya dengan
bermacam ketaatan, wirid, dan bersabar sepenuh hati dalam menjalaninya, maka akhir
perjalanannya akan bersinar pula. Bersinar karena memancarnya berbagai nur dan makrifat
kepadanya dan hilangnya berbagai kekeruhan jiwa yang menjadi penghalang antara dirinya
dengan Tuhannya.
Demikian pula sebaliknya, siapa yang usahanya kurang di awal maka di akhir ia tidak akan
mendapatkan kegemilangan. Sekiranya ia diberikan keberhasilan, keberhasilan itu lebih lemah
daripada yang lain. Bisa jadi, pengertian "bersinar di awal" di sini ialah kembali kepada Allah
dan bertawakal kepada-Nya. Adapun makna "bersinar di akhir" ialah berhasil sampai kepada-
Nya. Ini sesuai dengan hikmah sebelumnya.
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
di September 08, 2018
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke Twitter
Sabtu, 08 September 2018
Kitab al-Hikam (Pasal 28) : Apa yang Disembunyikan Hati akan Terlihat
Jejaknya di Wajah
Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 28)
1. Apa yang tersimpan di kedalaman batin akan tampak pada penampilan lahir.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
MAKRIFAT DAN CAHAYA Ilahi yang ditetapkan Allah di dalam hati seseorang pasti akan
muncul pada penampilan lahirnya, pada wajah dan anggota tubuh lainnya. Ini adalah tanda untuk
mengenali keadaan seorang murid menuju Allah, karena tampilan lahir adalah cermin dari
keadaan batin. Bagi orang-orang yang ingin berteman dan berkumpul dengan seorang murid,
penampilan lahirnya ini bisa menjadi pertanda.
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
ajar Ilmu Dunia dan Akhirat
Sabtu, 08 September 2018
Halaman _ 31
Kitab al-Hikam (Pasal 29) : Perbedaan Orang yang Menjadikan Allah sebagai
Bukti Keberadaan Alam dan Orang yang Menjadikan Alam sebagai Bukti
Keberadaan Allah
Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 29)
1. Betapa jauh bedanya antara orang yang berdalil bahwa adanya Allah menunjukkan adanya
alam dan orang yang berdalil bahwa adanya alam menunjukkan adanya Allah. Orang yang
menyatakan 'adanya Allah menunjukkan adanya alam' adalah orang yang telah mengenal al-
Haqq (Allah) dengan kepatutan-Nya. Karena itulah, ia menetapkan keberadaan alam ini dari
keberadaan pangkal (Dzat) yang membuatnya ada. Sementara itu, yang berdalil "adanya alam
menunjukkan adanya Allah" adalah orang yang belum sampai kepada-Nya. Sebab, sejak kapan
Allah itu gaib sehingga Dia harus dibuktikan dengan wujud alam dan kapan Allah itu jauh
sehingga semesta ini harus menjadi pengantar menuju-Nya?.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
ORANG-ORANG yang dekat kepada Allah ada dua golongan, yaitu murad (yang dikehendaki
Allah) atau majdzub (yang ditarik Allah untuk didekatkan kepada-Nya) dan murid (yang
menghendaki Allah) atau salik (yang meniti jalan menuju Allah). Para murid atau majdzub
adalah ahli syuhud.
Adapun para murid atau salik, perjalanan mereka menuju Tuhan masih terhalang akibat
pandangan mereka terhadap dunia dan alam semesta. Di mata mereka, semesta teramat lahir,
sedangkan Allah itu gaib. Merek tidak melihat-Nya, karena itu mereka berdalil bahwa wujud
alam semesta ini membuktikan wujud Allah.
Sementara itu, para murid atau majdzub, mereka langsung didekati Allah dengan Wajah-Nya
Yang Mulia. Allah akan mengenalkan Diri-Nya kepada mereka. Karena itu, mereka pun akan
mengenali-Nya. Semua mahluk dan alam semesta akan hilang dari pandangan mereka karena
mereka berdalil bahwa wujud Allah adalah bukti dari wujud semesta. Mereka itulah kaum 'arif.
Mereka termasuk orang-orang yang didekatkan Allah kepada-Nya.
Namun, karena sikap istiqamah mereka terhadap kondisi mereka, tanda didekatkannya mereka
kepada Allah (jadzab) tidak tampak pada diri mereka. Oleh sebab itu, ada yang mengatakan,
"Akhir perjalanan seorang salik adalah awal perjalanan seorang majdzub."
Manusia yang paling kuat jadzab-nya adalah para nabi dan rasul. Inilah perbedaan antara dua
kelompok tersebut.
Orang yang menggunakan Allah sebagai dalil wujud alam akan mengenal Allah sebagai wujud
yang wajib. Dengan kata lain, wujud itu milik Allah semata. Adapun benda-benda yang hadits
(baru), aslinya tidak berwujud. Oleh karena itu, mereka menetapkan bahwa semua yang hadits
berasal dari wujud asal, yaitu Allah SWT. Mereka menganggap bahwa wujud makhluk
Halaman _ 32
bersumber dari wujud Khalik yang tampak pada diri makhluk. Jika tidak, makhluk itu tidak akan
ada. Demikian menurut pandangan ahli syuhud.
Berbeda halnya dengan orang yang menggunakan alam untuk membuktikan wujud Allah. Ia
menggunakan sesuatu yang tidak diketahui (majhul) sebagai dalil untuk membuktikan perkara
yang sudah diketahui (ma'lum), menggunakan ketiadaan ('adam) untuk membuktikan keberadaan
(wujud), atau menggunakan perkara yang tersembunyi (khafiy) untuk membuktikan hal yang
lahir dan nyata. Hal itu dikarenakan adanya hijab pada diri orang tersebut sehingga ia lebih suka
menelusuri sebab-sebab daripada mencari Sang Pembuat Sebab.
Sejak kapan Allah gaib sehingga Dia harus dibuktikan dengan sesuatu yang hadir? Sejak kapan
Allah jauh sehingga alam semesta inilah yang akan mendekatkan kita kepada-Nya, padahal alam
semesta ini tadinya tidak berwujud? Demikian pertanyaan yang diajukan para ahli syuhud.
Sementara itu, orang-orang mahjub (yang terhalang dari-Nya) menjadikan alam semesta sebagai
bukti wujud Allah. Mereka terbagi ke dalam dua golongan, yaitu kaum awam dan para salik
yang belum mencapai maqam ahli syuhud.
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
Sabtu, 08 September 2018
Kitab al-Hikam (Pasal 30-32) : Perbedaan Salik yang Diterangi Cahaya
Tawajjuh dan Washil yang Didatangi Cahaya-Cahaya Muwajahah
Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 30)
1. "Hendaklah orang yang diberi keluasan rezeki (yaitu orang yang telah sampai kepada Allah)
memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya (yaitu orang
yang tengah menuju Allah) hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya." (QS. ath-Thalaq [65]: 7).
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
"HENDAKLAH ORANG yang diberi keluasan rezeki memberi nafkah menurut
kemampuannya." ini adalah gambaran tentang kondisi orang-orang yang telah sampai kepada
Allah. Yakni orang-orang yang telah terbebas dari penjara pandangan keduniaan, dan telah
sampai kepada alam tauhid dan kesempurnaan mata batin. Karena itulah, mereka dianugerahi
rezeki berupa berbagi ilmu dan rahasia Ilahi serta pandangan yang luas dan jauh ke depan.
Sehingga, mereka pun dibebaskan untuk membantu orang lain, dengan mengajarkan ilmu dan
pemahaman mereka, sekehendak hati mereka.
Sementara itu, orang yang disempitkan rezekinya adalah orang-orang yang sedang menuju
kepada-Nya. Mereka tidak diberi keluasan rezeki berupa ilmu dan pemahaman. Mereka masih
terkungkung dalam ruang sempit khayalan dan imajinasi. Sekalipun demikian, mereka masih
Halaman _ 33
diperbolehkan menafkahkan karunia Allah berupa ilmu dan pemahaman yang sedikit itu kepada
orang lain. Namun dengan catatan: sebatas apa yang Allah ajarkan kepada mereka.
(Pasal 31)
2. "Orang-orang yang sedang menuju Allah mendapat petunjuk melalui cahaya perjalanan,
sedangkan orang-orang yang sudah sampai kepada-Nya mendapat petunjuk melalui cahaya
pertemuan dengan-Nya. Golongan pertama mendatangi cahaya, sedangkan golongan kedua
didatangi oleh cahaya. Allah SWT. Berfirman, "Katakanlah 'Allah', lalu biarkan mereka
bermain-main dalam kesibukannya"." (QS. al-An'am [6]: 92).
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
CAHAYA YANG DIDAPAT golongan pertama ialah cahaya yang didapat dari ibadah dan
riyadhah (olah batin) yang dijadikannya sebagai jalan menuju Allah karena biasanya perjuangan
akan membuahkan cahaya di dalam hati. Dengan cahaya itu, mereka akan berjalan menuju Allah.
Adapun untuk golongan kedua, justru cahaya Allahlah yang mendatangi mereka sehingga
mereka akan mudah mengenali Allah tanpa perjuangan dan susah payah.
Golongan pertama akan menjadi budak cahaya dan amat membutuhkannya untuk sampai kepada
tujuan dan keinginan mereka. Sementara itu, golongan kedua akan dengan sendirinya didatangi
cahaya itu sehingga ia tidak perlu bersusah payah dalam mendapatkannya.
Adapun maksud firman "Katakan Allah" ialah menghadaplah kepada-Nya semata dan jangan
cenderung kepada cahaya-cahaya atau hal-hal selian-Nya. Kemudian, maksud "biarkan mereka
bermain-main dalam kesibukannya" ialah bahwa tindakan memurnikan tauhid, setelah
menyingkirkan kebendaan, merupakan sikap yang didasari haqqul yaqin (keyakinan yang
kokoh), sedangkan melihat kepada selain Allah hanyalah permainan dan leha-leha. Tentu itu
adalah sifat orang-orang mahjub (terhalang).
(Pasal 32)
3. Usahamu untuk mencari-cari kekurangan yang tersembunyi di dalam dirimu lebih baik
daripada usahamu untuk menyibak tirai gaib yang terhijab bagimu.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
CONTOH KEKURANGAN diri ialah sifat Riya', tingkah laku tidak sopan, bermuka dua, suka
jabatan, dan haus akan kedudukan. Maknanya, kau harus mengarahkan tekadmu untuk
menghapus semua keburukan itu dengan riyadhah dan mujahadah, serta berusaha untuk terbebas
darinya. Upaya ini biasanya harus di bawah bimbingan seorang guru. Langkah di atas lebih baik
daripada usahamu dalam menelusuri takdir yang terselubung, pelajaran yang tersembunyi,
rahasia-rahasia Ilahi, ilmu laduni atau karamah. Biasanya, itu semua ditujukan demi kepuasan
dirimu, bukan demi mencari ridha Tuhanmu.
Halaman _ 34
Oleh karena itu, jangan kau cari semua itu dengan amalan-amalanmu. Jangan sibukkan hatimu
dengannya. Jangan pula berhenti di tempat munculnya karamah tersebut karena hal itu justru
akan mengurangi ibadahmu.
Oleh sebab itu, orang-orang berkata, "Jadilah pencari istiqamah, jangan menjadi pencari
karamah." Jiwamu selalu bergerak dan berkeinginan mencari karamah, padahal Tuhanmu
menuntutmu untuk istiqamah. Untuk itu, menunaikan hak Tuhanmu lebih baik ketimbang kau
menunaikan keinginanmu sendiri.
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
Senin, 10 September 2018
Kitab al-Hikam (Pasal 33) : Tidak Ada Sesuatu pun yang Menghijabi Allah,
Manusialah yang Terhijab dari Allah
Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 33)
1. Yang Maha Haq (Allah) tidaklah terhijab. Yang terhijab adalah pandanganmu sehingga kau
tak bisa melihat-Nya karena jika Dia dikatakan terhijab, itu artinya, sesuatu menutupi-Nya. Jika
Dia tertutupi sesuatu, itu artinya, wujud-Nya terbatas. Segala sesuatu yang terbatas adalah
lemah, padahal, "Dia adalah Maha Kuasa (qahir) atas segala sesuatu." (QS. al-An'am [6]: 18).
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
TERHIJAB BUKANLAH sifat Allah SWT. Yang memiliki sifat terhijab hanyalah dirimu
sendiri. Jika kau ingin sampai kepada-Nya, kau harus mencari dan mengobati semua
kekuranganmu, niscaya kau akan sampai kepada-Nya dan melihat-Nya dengan mata batinmu.
Hikmah di atas menepis anggapan yang menyatakan bahwa tidak mustahil Allah terhalang oleh
hijab karena hijab biasa digunakan oleh para pembesar atau raja untuk memperlihatkan
keagungan dan kemuliaannya. Jawaban terhadap anggapan ini adalah, sekiranya Allah terhijab
oleh sesuatu, seperti halnya para pembesar dan raja, niscaya Allah terkurung di dalam hijab itu,
terpenjara dan terbatas ruang geraknya. Tentu hal itu tidak mungkin terjadi pada Allah SWT.,
berdasarkan firman-Nya, "Dan dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya dan
Dialah Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui." (QS. al-An'am [6]: 18)
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
Selasa, 11 September 2018
Kitab al-Hikam (Pasal 34) : Perintah Agama tentang Sifat-sifat Manusia
Halaman _ 35
Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 34)
1. Keluarkanlah sifat-sifat kemanusiaanmu yang bertentangan dengan kehambaanmu agar kau
mudah menyambut panggilan Yang Haq (Allah) dan dekat dengan-Nya.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
KELUARKANLAH DARI DIRIMU sifat-sifat kemanusiaan yang tercela dengan riyadhah dan
mujahadah; baik itu sifat-sifat tercela yang lahir (seperti suka melakukan gibah, mengadu
domba, membunuh, dan merampas) maupun yang batin (seperti sombong, ujub, riya', sum'ah
[ingin terkenal], dengki, gila kehormatan, gila harta, dan sebagainya).
Jauhkan dirimu dari sifat-sifat yang bertentangan dari predikat kehambaanmu agar kau mudah
menjawab seruan Yang Haq. Ketika kau berhasil mengeluarkan sifat-sifat tercelamu dan
menyisakan sifat-sifat baikmu (seperti tawadhu' [rendah hati] karena Allah, khusyuk di hadapan-
Nya, mengagungkan perintah-Nya, menjaga hukum-hukum-Nya, takut kepada-Nya, dan ikhlas
dalam menyembah-Nya), maka di saat datang seruan kepadamu, "Wahai hambaku!" kau pun
akan dengan mudahnya menjawab, "Labbaik, Tuhanku!" kau pun akan tulus dan ikhlas dalam
menjawab seruan itu karena sifat-sifat yang bertentangan dengan kehambaanmu itu telah hilang
darimu. Kau pun akan dekat dengan-Nya sehingga Dia akan menjagamu dari dosa (mahfuzh) dan
memudahkan segala amalmu yang kelak akan kau nikmati hasilnya.
Ada perbedaan makna antara mahfuzh (terjaga dari dosa) dengan lafal ma'shum (terlindungi dari
dosa). Bedanya adalah, ma'shum sama sekali tidak pernah menyentuh dosa, sedangkan mahfuzh
terkadang melakukan kesalahan dan kekeliruan, tetapi tidak selamanya demikian. Saat keliru,
seorang yang mahfuzh akan langsung bertobat.
Ketahuilah, di mata ahli tarekat, menjauhi sifat buruk dan memiliki sifat mulia merupakan
hakikat dan tujuan dari suluk. Hal itu tidak akan bisa diraih, kecuali oleh orang yang diberi taufik
dan bimbingan Allah untuk mengenali dirinya sendiri dan mengetahui sifat-sifat buruknya.
Karena siapa yang sudah mengenali dirinya dan sifat-sifat buruknya, ia akan waspada dan
berusaha menghindari sifat-sifat buruknya. Jika tidak demikian, secara tidak disadarinya, ia akan
terjerumus ke dalam hal-hal yang dibenci Tuhannya.
Sumber : Kitab Al-Hikam Terjemah.
Minggu, 16 September 2018
Kitab al-Hikam (Pasal 35-39) : Pangkal Setiap Kelalaian dan Maksiat adalah
Merasa Puas Diri
Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 35)
1. Pangkal segala maksiat, kelalaian, dan syahwat adalah sikap puas terhadap diri sendiri.
Halaman _ 36
Pangkal segala ketaatan, kesadaran, dan kesucian adalah sikap tidak puas dengan keadaan diri
sendiri.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
MAKSIAT BERARTI menentang semua perintah dan larangan Allah. Kelalaian berarti hati
tidak waspada dan tidak sadar tentang kehadiran Allah. Adapun syahwat berarti ketergantungan
terhadap sesuatu yang menyibukkan diri dan membuat lupa dari Allah SWT.
Menurut orang-orang 'arif, sebab dari segala maksiat adalah sikap puas terhadap keadaan diri
sendiri. Sikap tersebut akan selalu mendorong seseorang berusaha menutup-nutupi aib dan
kesalahannya sehingga yang buruk akan dijadikannya baik. Siapa yang puas dengan keadaan
dirinya akan menganggap baik semua kondisi pribadinya dan merasa nyaman dengan semua
kondisi itu. Siapa yang menganggap baik semua kondisi pribadinya akan lalai dari Allah.
Sehingga, hatinya tidak lagi mampu mengawasi dan mengendalikan bisikan-bisikan syahwatnya.
Akibatnya, ia dikuasai oleh syahwat. Siapa yang dikuasai oleh syahwat, tentu akan mudah
terjerumus pada maksiat.
Adapun ketaatan berarti melaksanakan segala perintah dan larangan Allah. Kesadaran berarti
perasaan tentang kehadiran Tuhan dan hal-hal yang diridlai-Nya. Kesucian berarti ketinggian
tekad dan kebersihannya dari syahwat.
Pangkal dari segala ketaatan dan kesadaran adalah sikap tidak puas dengan keadaan diri sendiri,
ia tidak akan menganggap baik semua kondisinya dan tidak akan tenang dengan semua itu.
Barang siapa memiliki sifat seperti ini maka ia akan selalu sadar dan waspada terhadap segala
yang datang dan menyerang.
Dengan sikap waspada dan sadar ini, ia dapat menyelidiki dan mendeteksi secara dini bisikan-
bisikan hatinya. Saat itu, api syahwatnya akan padam sehingga tidak bisa menguasai dirinya.
Buahnya, ia akan menjadi suci. Dengan demikian, ia akan menjauhi semua larangan Allah dan
menaati semua perintah-Nya. Itulah makna taat kepada Allah.
Sikap puas terhadap keadaan diri sendiri adalah sikap orang-orang yang mempelajari ilmu lahir
yang tidak mau mengakui aib diri sendiri. Oleh karena itu, Ibnu Atha'illah melarang kita untuk
berteman dengan orang-orang semacam ini.
(Pasal 36)
2. Berteman dengan orang bodoh yang tidak puas dengan keadaan dirinya lebih baik bagimu
daripada berteman dengan orang berilmu yang puas dengan keadaan dirinya. Di mana letak
berilmunya orang berilmu yang puas dengan dirinya itu? Di mana pula letak bodohnya orang
bodoh yang tidak puas terhadap dirinya itu?.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
ORANG BODOH IALAH orang yang tidak memiliki ilmu lahir. Tidak puas dengan keadaan diri
sendiri, misalnya dengan menganggap dirinya hina atau menyadari kekurangannya.
Halaman _ 37
Tidaklah baik berteman dengan seorang yang puas dengan keadaan dirinya sendiri walaupun ia
seorang yang alim (orang berilmu). Bagaimanapun, pertemanan dapat mendatangkan pengaruh
yang besar padamu. Ketika kau berteman dengan alim yang sudah berpuas diri, kau bisa
mendapatkan sifat buruknya sehingga ilmunya tidak berguna bagimu dalam melembutkan
jiwamu. Kebodohan yang membuat orang alim puas diri itulah yang berbahaya bagimu. Seakan
ia bukan orang yang berilmu karena rela dengan aib yang dimiliki dirinya.
Sebaliknya, berteman dengan orang bodoh yang tidak puas dengan keadaan dirinya lebih baik
dan lebih bermanfaat bagimu. Biasanya, tabiat seseorang didapat dari tabiat orang lain; nafsu
selalu terdorong untuk mengikuti orang yang dianggap baik kondisinya. Oleh karena itu,
kebodohan orang bodoh tidak akan berbahaya bagimu. Namun, ilmunya yang membuatnya tidak
puas terhadap keadaan dirinya justru amat berguna bagimu. Seakan ia bukan orang bodoh karena
mengetahui kekurangan dirinya sampai tidak merasa puas terhadap dirinya. Dengan demikian,
orang bodoh yang tahu kekurangan dirinya bisa disebut orang yang memiliki ilmu. Oleh karena
itu, bergaul dengan orang bodoh seperti ini akan bermanfaat dan lebih baik bagimu.
(Pasal 37)
3. "Sinar mata hati" membuatmu menyaksikan kedekatan-Nya denganmu. "Penglihatan mata
hati" membuatmu menyaksikan ketiadaanmu karena keberadaan-Nya. "Hakikat mata hati"
membuatmu membuatmu menyaksikan keberadaan-Nya, bukan ketiadaanmu dan bukan pula
keberadaanmu.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
SINAR MATA HATI sering disebut dengan cahaya akal dan 'ilmul yaqin. Penglihatan mata hati
sering disebut dengan cahaya ilmu dan 'ainul yaqin. Hakikat mata hati sering disebut dengan
cahaya kebenaran dan haqqul yaqin.
Cahaya-cahaya Ilahi tersebut akan menyinari hati seorang salik. Setiap cahaya tersebut memiliki
buah dan manfaatnya sendiri-sendiri.
Seseorang berkata, "Seorang hamba tidak akan sampai pada hakikat tawadhu', kecuali saat
terpancarnya cahaya musyahadah dari hatinya." Saat itu, nafsunya akan larut dan tunduk pada
Sang Khalik dan bersikap rendah hati di hadapan makhluk.
Melalui hikmah ini, Ibnu Atha'illah menjelaskan bahwa orang yang terbuka dengan cahaya
pertama akan merasa kedekatan Allah. Ia akan selalu sadar pengawasan Allah dan malu kepada-
Nya. Ia merasa bahwa pandangan Allah tidak pernah luput darinya, baik itu di saat ia
melaksanakan perintah-Nya maupun di saat menjauhi larangan-Nya.
Orang yang terbuka dengan cahaya kedua akan merasa ketiadaan segala yang wujud karena
wujud Tuhan Yang Maha Haq. Ia akan melihat bahwa alam semesta ini tidak ada tidak
memedulikannya lagi karena wujud alam semesta ini hanyalah akibat dari wujud Yang Maha
Maujud. Wujud hakiki hanyalah milik Allah SWT. Dalam pandangannya, tak ada lagi yang
dijadikan sandaran atau tempat berkeluh kesah, kecuali Allah. Ia hanya akan bertwakal kepada-
Nya, ridla, dan memasrahkan diri kepada-Nya.
Halaman _ 38
Sementara itu, orang yang terbuka dengan cahaya ketiga akan memiliki dzat dan jiwa yang suci.
Ia akan merasa kefanaan secara total. Kefanaan yang abadi karena luluh dengan wujud
Tuhannya. Rahasia-rahasia Ilahi pun terkuak di hadapannya. Jika ia naik dari kefanaan total itu,
ia akan menempati maqam keabadian.
Penulis al-'Awarif berkata, "Orang yang abadi di satu maqam tidak akan dihalangi Allah dari
makhluk dan tidak akan dihalangi makhluk dari Allah, sedangkan orang yang fana akan
terhalangi oleh Yang Maha Haq dari makhluk."
(Pasal 38)
4. Allah telah ada dan tiada sesuatu pun di samping-Nya; kini Dia masih tetap sebagaimana
ada-Nya semula.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
INI ADALAH kondisi orang yang menduduki maqam kefanaan. Ia tidak lagi melihat selain
Tuhannya (musyahid). Dalam pandangannya, Tuhan masih tetap sebagaimana ada-Nya semula.
Seorang musyahid meyakini bahwa wujud hakiki hanya milik Allah SWT., sedangkan selain-
Nya tidak memiliki wujud. Sifat wujud itulah yang melekat pada Allah SWT. Sekarang dan
sebelum musyahid itu mengetahuinya. Ketidaktahuan musyahid tentang Tuhan sebelum itu tak
lain karena adanya hijab.
(Pasal 39)
5. Jangan sampai tekadmu tertuju kepada selain-Nya karena Tuhan Yang Maha Mulia (karim)
tidak mungkin akan terlampaui oleh harapan dan angan.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
JANGAN SAMPAI kau menuju kepada selain Allah dalam memenuhi kebutuhanmu. Akan
tetapi, ungkapkan hajatmu kepada-Nya dan mintalah dari-Nya. Tekad yang tinggi selalu mencari
pemenuhan kebutuhannya kepada sosok yang mulia; dan tak ada yang benar-benar mulia,
kecuali Allah SWT. Setiap orang yang mulia, jika sudah menetapkan sesuatu, pasti akan
memenuhinya; jika berjanji, akan menepatinya; jika memberi, akan menambahkan pemberiannya
melebihi harapan. Dia tidak peduli berapa banyak dan kepada siapa dia memberi. Dia tidak
mengurangi dan tidak pernah mengecewakan siapapun yang berlindung kepadanya. Dia akan
mencukupinya dengan segala pertolongan. Sifat-sifat ini tidak dimiliki selain oleh Allah SWT.
Karena itu, selayaknya harapan dan asa para pengharap tidak boleh melewatinya dan menuju
kepada selain-Nya.
Ketahuilah bahwa meminta kepada makhluk dianggap bertentangan dengan 'ubudiyyah
(penghambaan di hadapan-Nya) bila didasari oleh rasa bergantung pada makhluk dan lalai untuk
meminta kepada Allah. Lain halnya bila permintaan tersebut diiringi dengan keyakinan bahwa
makhluk yang dimintainya hanyalah wasilah (perantara), tetapi sebenarnya memberi adalah
Allah sebagai satu-satunya tempat bergantung. Ini tidak bertentangan dengan 'Ubudiyyah.
Halaman _ 39
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
Minggu, 16 September 2018
Kitab al-Hikam (Pasal 40) : Setiap Perkara yang Menimpa Manusia Ditujukan
agar Manusia Bersandar kepada Allah
Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 40)
1. Jangan mengadukan musibah kepada selain Allah. Karena Allah semata yang
menurunkannya. Bagaimana mungkin selain Allah dapat mengangkat musibah yang telah
ditetapkan-Nya? Bagaimana mungkin orang yang tidak bisa mengangkat musibah dari dirinya
sendiri bisa mengangkat musibah dari orang lain?.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
JIKA ADA musibah yang menimpamu, jangan kau meminta kepada selain Allah untuk
menghilangkannya karena yang menurunkan musibah itu adalah Allah. Ingat, Allahlah Yang
Unggul dan tak ada yang bisa mengalahkan-Nya.
Orang yang tak bisa mengangkat musibahnya sendiri mustahil mampu mengangkat musibah
yang menimpa orang lain.
Kesimpulannya, siapapun selain Allah, sekalipun itu seorang raja, tidak akan mampu
mengangkat musibah orang lain. Selain itu, ia pun tentu lebih mencintai dirinya sendiri daripada
orang lain. Demikian pula, jika memang benar ia mampu memberi manfaat kepada orang lain,
tentu ia akan mendatangkan manfaat kepada dirinya sendiri terlebih dahulu. Namun
kenyataannya, ia tidak mampu mendatangkan itu. Perlu diingat, tak ada kelemahan melebihi
kelemahan dalam memberi manfaat kepada diri sendiri.
Oleh karena itu, teramat sempit akalmu jika dalam hajat dan musibahmu kau bergantung pada
orang yang juga butuh pertolongan seperti dirimu.
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
di September 16, 2018
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Minggu, 16 September 2018
Kitab al-Hikam (Pasal 41-42) : Berbaik Sangka kepada Allah
Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
Halaman _ 40
(Pasal 41)
1. Jika kau tidak bisa berbaik sangka kepada Allah karena kebaikan sifat-sifat-Nya, berbaik
sangkalah kepada-Nya atas kebaikan perlakuan-Nya terhadapmu. Bukankah Dia selalu
memberimu yang baik-baik dan mengaruniamu berbagai kenikmatan?.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
DALAM HIKMAH INI, Ibnu Atha'illah mengisyaratkan bahwa dalam berbaik sangka kepada
Allah, manusia terbagi menjadi dua golongan: golongan khusus dan golongan awam.
Golongan khusus berbaik sangka kepada Allah atas sifat-sifat-Nya yang baik. Sementara itu,
golongan umum berbaik sangka kepada Allah atas perlakuan-Nya yang baik terhadap diri
mereka, berupa karunia dan nikmat yang telah diberikan-Nya kepada mereka.
Ada perbedaan yang mencolok antara dua maqam tersebut. Ibnu Atha'illah seakan berkata,
"Wahai murid, kau harus berbaik sangka kepada Allah secara mutlak, baik itu atas manfaat yang
telah diberikan-Nya maupun bahaya yang telah dijauhkan-Nya darimu. Kau tidak boleh
berpaling kepada selain-Nya. Jika kau tak sanggup berbaik sangka kepada-Nya menurut maqam
orang khusus, kau bisa berbaik sangka kepada-Nya menurut maqam orang awam. Sikap berbaik
sangkamu kepada Allah atas kebaikan sifat-sifat-Nya akan menumbuhkan cinta dan tawakal
yang benar kepada-Nya. Baik sangkamu kepada-Nya atas perlakuan-Nya yang baik terhadapmu
akan membuahkan syukur atas nikmat dan rahmat-Nya."
(Pasal 42)
2. Sungguh aneh! Orang menghindar dari sosok yang tak bisa dihindari, lalu mencari sesuatu
yang tidak kekal.
"Sesungguhnya, mata kepala itu tidak buta, tetapi yang buta adalah mata hati yang ada di dalam
dada." (QS. al-Hajj [22]: 46).
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
SUNGGUH MENGHERANKAN! Orang ingin menghindari Allah dengan tidak melakukan apa
yang sudah ditetapkan-Nya untuknya dan lebih suka mencari dunia dan perkara-perkara selain-
Nya karena mengikuti hawa nafsu.
Tindakan seperti ini bersumber dari kebutaan mata hati dan kebodohannya tentang Tuhannya
karena ia menukar sesuatu yang teramat baik dengan sesuatu yang hina. Ia juga lebih
mengutamakan yang fana daripada yang kekal dan tak bisa dihindarinya. Sekiranya ia memiliki
mata hati yang tajam, niscaya ia takkan melakukan hal itu.
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
Senin, 17 September 2018
Kitab al-Hikam (Pasal 43-44) : Beramal Demi Pahala adalah Berpindah dari
Alam ke Alam, dan Perpindahan Terbaik adalah dari Alam ke Pencipta Alam
Halaman _ 41
Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 43)
1. Jangan kau pergi dari satu alam ke alam lain sehingga kau menjadi seperti keledai
penggilingan yang berputar-putar; tempat yang ia tuju adalah tempat ia beranjak. Namun,
pergilah dari alam menuju Pencipta alam.
"Sesungguhnya kepada Tuhanmu puncak segala tujuan." (QS. an-Najm [53]: 42).
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
MAKSUDNYA ADALAH beramal disertai dengan sifat Riya' atau sifat-sifat tercela lainnya dan
tidak bernilai syar'i. Jika seorang murid ber-mujahadah, lalu berhasil menjauhi sifat-sifat tercela,
tetapi pada saat yang sama ia mengharapkan pahala dan ketinggian derajat atau maqam, ia masih
dianggap tercela di mata para 'arif. Yang terpuji adalah yang meniatkan setiap amalnya hanya
karena Allah semata.
Ibnu Atha'illah mengumpamakan kepergian dari satu alam ke alam lain dengan perjalanan
keledai penggilingan yang hanya berputar-putar di tempatnya. Demikian pula dengan amal yang
tidak ditujukan karena Allah. Orang yang beramal demi megharap pahala, misalnya, dianggap
sebagai orang yang bepergian dari satu alam, yakni alam Riya', menuju alam lain, yakni alam
pahala. Semua alam adalah sama; sama-sama materi.
Yang benar adalah kau harus pergi dari alam menuju Pencipta alam dengan cara mengikhlaskan
amalmu hanya untuk-Nya dan tidak berharap balasan, baik langsung maupun tak langsung. Siapa
yang beramal untuk mendapatkan kedudukan atau maqam tertentu maka dia akan menjadi budak
kedudukan itu. Siapa yang beramal karena Allah semata maka dia akan menjadi hamba Allah. Ini
sama dengan kepergiannya dari alam menuju Pencipta alam.
"Sesungguhnya, Tuhanmu adalah puncak segala tujuan." Maksudnya, perjalananmu akan
berakhir di hadirat-Nya sehingga keinginanmu terwujud. Sebaliknya, orang yang pergi dari satu
alam ke alam lain, perjalanannya tidak akan pernah berujung kepada Allah dan ia tidak pernah
akan sampai kepada-Nya.
(Pasal 44)
2. Dengarlah sabda Rasulullah, "Siapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya maka
hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin
diraihnya atau kepada perempuan yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang
ditujunya." Pahamilah sabda Rasulullah ini dan perhatikan hal tersebut jika kau memiliki
kecerdasan dan pemahaman.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
HADIS INI menegaskan makna hikmah sebelumnya. Hadis ini patut diperhatikan dan dicamkan
baik-baik, terutama pada bagian akhir, yaitu bahwa hijrah seseorang akan berakhir di tempat
yang menjadi tujuan hijrahnya. Maknanya, orang yang hijrahnya kepada dunia saja tidak akan
meraih pencapaian dan kedekatan yang diraih oleh orang-orang yang berhijrah kepada Allah dan
Halaman _ 42
rasul-Nya. Seakan Rasulullah memperingatkan kita tentang pengaruh buruk dunia dan
perempuan terhadap jiwa bila kita terlalu terobsesi pada dunia dan perempuan.
Sabda beliau, "Maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya" bermakna pergi dari alam menuju
Pencipta alam. Inilah yang dituntut dari seorang hamba. Adapun makna ungkapan, "Maka
hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya" adalah tetap berada di alam, tidaj kemana-mana, dan
hanya berputar-putar di tempat.
Kesimpulannya, kita dituntut untuk menguatkan tekad, menjauhkan keinginan dari makhluk, dan
menggantungkan diri kepada Yang Maha Haq. Tentu, faktor yang bisa memudahkan kita sampai
pada maqam ini ialah pergaulan dengan kaum 'arif yang mengenal Allah.
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
Senin, 17 September 2018
Kitab al-Hikam (Pasal 45-46) : Persahabatan dan Orang yang Pantas Dijadikan
Sahabat
Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 45)
1. Jangan kau temani orang yang keadaannya tidak membuatmu bersemangat dan ucapannya
tidak membimbingmu ke jalan Allah.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
SEORANG MURID dilarang berteman dengan orang semacam itu sekalipun orang itu adalah
ahli ibadah atau ahli zuhud karena dianggap tidak ada gunanya. Sebaliknya, kau disarankan
berteman dengan orang yang membuatmu bersemangat dan ucapannya membimbingmu ke jalan
Allah.
Misalnya, orang yang tekadnya tinggi yang senantiasa bergantung kepada Allah, jauh dari
makhluk, atau dalam setiap kebutuhannya tidak bertumpu kecuali kepada Allah dan dalam setiap
perkara tidak bertawakal kepada selain-Nya sehingga di matanya seluruh manusia tak berarti
apa-apa, tidak bisa mendatangkan bahaya ataupun manfaat. Bahkan, ia menganggap dirinya
sendiri rendah dan tak berguna, tidak mampu berbuat sesuatu, dan tidak bisa menentukan
nasibnya sendiri. Dalam setiap amalnya, ia tetap berjalan pada jalur syara', tanpa melebih-
lebihkannya atau menguranginya. Inilah sifat orang-orang 'arif yang mengenal Allah.
Menemani orang-orang seperti itu, walaupun ibadahnya sedikit dan amalan sunnahnya tidak
banyak, amat dianjurkan bagi seorang murid karena banyak mendatangkan manfaat, baik dari
sisi agama maupun dunia sebab manusia selalu mengikuti tabiat manusia lain.
Adapun orang-orang yang tidak memiliki sifat-sifat di atas, kita hanya diperbolehkan bergaul
dengan mereka secara lahir, tidak lebih, karena tidak ada gunanya bergaul dengan mereka. Jika
Halaman _ 43
mereka sederajat denganmu, pergaulanmu dengan mereka tidak akan mendatangkan bahaya apa-
apa bagimu. Namun, jika derajat mereka berada di bawahmu, Ibnu Atha'illah memberikan
nasihatnya melaui hikmah berikut.
(Pasal 46)
2. Bisa jadi, perbuatan burukmu tampak baik di matamu karena persahabatanmu dengan orang
yang lebih buruk daripada dirimu.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
ARTINYA, BERTEMAN dengan orang yang kualitas kebaikannya berada di bawahmu amat
berbahaya karena bisa menyamarkan aib dan kekuranganmu. Akibatnya, kau akan selalu berbaik
sangka terhadap dirimu sendiri. Kau bangga dengan amalmu dan merasa puas dengan kondisimu
sehingga kau rela hati dan selalu melihat kebaikan-kebaikanmu. Itu adalah pangkal segala
keburukan.
Boleh saja kau berteman dengan orang yang keadaannya tidak membuatmu bersemangat dan
ucapannya tidak membimbingmu ke jalan Allah asalkan orang itu sederajat denganmu agar
pertemananmu dengannya tidak membahayakanmu.
Di sini Ibnu Atha'illah ingin menjelaskan bahwa pertemanan dengan orang-orang 'arif terbagi
menjadi dua: pertemanan yang didasari keinginan dan pertemanan yang mengharap berkah.
Pertemanan yang didasari keinginan ialah pertemanan yang harus memenuhi syarat-syaratnya.
Kesimpulannya, keberadaan seorang murid dengan syekh atau gurunya seperti seonggok mayat
di tangan para pemandi mayat.
Adapun pertemanan untuk mengharap berkah ialah pertemanan yang tujuannya masuk ke satu
kaum dan berpakaian dengan pakaian mereka, serta tunduk pada peraturan mereka. Di sini tidak
perlu ada syarat-syarat pertemanan. Yang paling penting adalah ia berpegang pada batasan-
batasan syara'. Diharapkan dari pertemanannya dengan kaum itu, ia akan mendapatkan berkah
mereka dan bisa sampai ke maqam yang telah mereka raih.
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
Senin, 17 September 2018
Kitab al-Hikam (Pasal 49) : Zikir adalah Jalan Terdekat Menuju Allah
Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 49)
1. Janganlah kau meninggalkan zikir (mengingat Allah) hanya karena ketidakhadiran hatimu di
hadapan Allah saat berzikir! Kelalaianmu dari zikir kepada-Nya lebih buruk daripada
kelalaianmu di saat berzikir kepada-Nya. Semoga Allah berkenan mengangkatmu dari zikir yang
disertai kelalaian menuju zikir yang disertai kesadaran; dari zikir yang disertai kesadaran
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT
MENCAPAI_MA'RIFAT

More Related Content

What's hot

makalah teologi modern oleh wahyudin dompu UIN
makalah teologi modern oleh wahyudin dompu  UINmakalah teologi modern oleh wahyudin dompu  UIN
makalah teologi modern oleh wahyudin dompu UINabdul gonde
 
Psikologi kepribadian, perspektif psikologi kenabian by: Yulianti DA and team
Psikologi kepribadian, perspektif psikologi kenabian by: Yulianti DA and teamPsikologi kepribadian, perspektif psikologi kenabian by: Yulianti DA and team
Psikologi kepribadian, perspektif psikologi kenabian by: Yulianti DA and teamAddini Nurilma
 
Rpp fiqih MA kelas XI, 1 2
Rpp fiqih MA kelas XI, 1 2Rpp fiqih MA kelas XI, 1 2
Rpp fiqih MA kelas XI, 1 2Muhammad Idris
 
Rpp SKI Kelas XII Kurikulum 2013 Terbaru
Rpp SKI Kelas XII Kurikulum 2013 TerbaruRpp SKI Kelas XII Kurikulum 2013 Terbaru
Rpp SKI Kelas XII Kurikulum 2013 Terbarumiftah1984
 
Tasyri' istilah-istilah fiqh & manhaj 4 imam
Tasyri' istilah-istilah fiqh & manhaj 4 imamTasyri' istilah-istilah fiqh & manhaj 4 imam
Tasyri' istilah-istilah fiqh & manhaj 4 imamMarhamah Saleh
 
Silabus kurikulum 2013 smp kls 7 pai & budi pekerti
Silabus kurikulum 2013 smp kls 7 pai & budi pekertiSilabus kurikulum 2013 smp kls 7 pai & budi pekerti
Silabus kurikulum 2013 smp kls 7 pai & budi pekertiYunie Octavia
 
Tasawuf
TasawufTasawuf
Tasawufatiyu
 
Mengagungkan Ilmu dan Ahli Ilmu.pptx
Mengagungkan Ilmu dan Ahli Ilmu.pptxMengagungkan Ilmu dan Ahli Ilmu.pptx
Mengagungkan Ilmu dan Ahli Ilmu.pptxkesiswaan11
 
Makalah tentang Aliran Khawarij
Makalah tentang Aliran KhawarijMakalah tentang Aliran Khawarij
Makalah tentang Aliran KhawarijSiti Nurapipah
 
Ppt agama-dan-nilai-nilai-agama-dalam-konseling
Ppt agama-dan-nilai-nilai-agama-dalam-konselingPpt agama-dan-nilai-nilai-agama-dalam-konseling
Ppt agama-dan-nilai-nilai-agama-dalam-konselingIis Nurul Fitriyani
 
Objek pembahasan Ushul Fiqih
Objek pembahasan Ushul FiqihObjek pembahasan Ushul Fiqih
Objek pembahasan Ushul Fiqihbulan purnama
 
Metodologi Studi Islam - Materi IAIN Tulungagung (Mr. Khutbuddin Aibak,M. HI)
Metodologi Studi Islam - Materi IAIN Tulungagung (Mr. Khutbuddin Aibak,M. HI)Metodologi Studi Islam - Materi IAIN Tulungagung (Mr. Khutbuddin Aibak,M. HI)
Metodologi Studi Islam - Materi IAIN Tulungagung (Mr. Khutbuddin Aibak,M. HI)Asma'ul Khusna
 
Fiqih ibadah kelompok 6 materi 8
Fiqih ibadah kelompok 6 materi 8Fiqih ibadah kelompok 6 materi 8
Fiqih ibadah kelompok 6 materi 8NavenAbsurd
 
Perkembangan Islam di China
Perkembangan Islam di ChinaPerkembangan Islam di China
Perkembangan Islam di ChinaMira Nurhasanah
 
Perekonomian Dalam Islam
Perekonomian Dalam IslamPerekonomian Dalam Islam
Perekonomian Dalam Islammizanbogem
 

What's hot (20)

makalah teologi modern oleh wahyudin dompu UIN
makalah teologi modern oleh wahyudin dompu  UINmakalah teologi modern oleh wahyudin dompu  UIN
makalah teologi modern oleh wahyudin dompu UIN
 
Psikologi kepribadian, perspektif psikologi kenabian by: Yulianti DA and team
Psikologi kepribadian, perspektif psikologi kenabian by: Yulianti DA and teamPsikologi kepribadian, perspektif psikologi kenabian by: Yulianti DA and team
Psikologi kepribadian, perspektif psikologi kenabian by: Yulianti DA and team
 
Rpp fiqih MA kelas XI, 1 2
Rpp fiqih MA kelas XI, 1 2Rpp fiqih MA kelas XI, 1 2
Rpp fiqih MA kelas XI, 1 2
 
Rpp SKI Kelas XII Kurikulum 2013 Terbaru
Rpp SKI Kelas XII Kurikulum 2013 TerbaruRpp SKI Kelas XII Kurikulum 2013 Terbaru
Rpp SKI Kelas XII Kurikulum 2013 Terbaru
 
Tasyri' istilah-istilah fiqh & manhaj 4 imam
Tasyri' istilah-istilah fiqh & manhaj 4 imamTasyri' istilah-istilah fiqh & manhaj 4 imam
Tasyri' istilah-istilah fiqh & manhaj 4 imam
 
Silabus kurikulum 2013 smp kls 7 pai & budi pekerti
Silabus kurikulum 2013 smp kls 7 pai & budi pekertiSilabus kurikulum 2013 smp kls 7 pai & budi pekerti
Silabus kurikulum 2013 smp kls 7 pai & budi pekerti
 
Epistimologi bayani
Epistimologi bayaniEpistimologi bayani
Epistimologi bayani
 
Tasawuf
TasawufTasawuf
Tasawuf
 
Mengagungkan Ilmu dan Ahli Ilmu.pptx
Mengagungkan Ilmu dan Ahli Ilmu.pptxMengagungkan Ilmu dan Ahli Ilmu.pptx
Mengagungkan Ilmu dan Ahli Ilmu.pptx
 
Modul 12 kb 3
Modul 12 kb 3Modul 12 kb 3
Modul 12 kb 3
 
Makalah tentang Aliran Khawarij
Makalah tentang Aliran KhawarijMakalah tentang Aliran Khawarij
Makalah tentang Aliran Khawarij
 
Ppt agama-dan-nilai-nilai-agama-dalam-konseling
Ppt agama-dan-nilai-nilai-agama-dalam-konselingPpt agama-dan-nilai-nilai-agama-dalam-konseling
Ppt agama-dan-nilai-nilai-agama-dalam-konseling
 
Objek pembahasan Ushul Fiqih
Objek pembahasan Ushul FiqihObjek pembahasan Ushul Fiqih
Objek pembahasan Ushul Fiqih
 
Metodologi Studi Islam - Materi IAIN Tulungagung (Mr. Khutbuddin Aibak,M. HI)
Metodologi Studi Islam - Materi IAIN Tulungagung (Mr. Khutbuddin Aibak,M. HI)Metodologi Studi Islam - Materi IAIN Tulungagung (Mr. Khutbuddin Aibak,M. HI)
Metodologi Studi Islam - Materi IAIN Tulungagung (Mr. Khutbuddin Aibak,M. HI)
 
Fiqih ibadah kelompok 6 materi 8
Fiqih ibadah kelompok 6 materi 8Fiqih ibadah kelompok 6 materi 8
Fiqih ibadah kelompok 6 materi 8
 
Perkembangan Islam di China
Perkembangan Islam di ChinaPerkembangan Islam di China
Perkembangan Islam di China
 
Ppt tasawuf
Ppt tasawufPpt tasawuf
Ppt tasawuf
 
Perekonomian Dalam Islam
Perekonomian Dalam IslamPerekonomian Dalam Islam
Perekonomian Dalam Islam
 
02. khawarij
02. khawarij02. khawarij
02. khawarij
 
Ilmu kalam - Khawarij
Ilmu kalam - KhawarijIlmu kalam - Khawarij
Ilmu kalam - Khawarij
 

Similar to MENCAPAI_MA'RIFAT

Similar to MENCAPAI_MA'RIFAT (20)

Sebagai suatu madzhab dalam tasawuf 1
Sebagai suatu madzhab dalam tasawuf 1Sebagai suatu madzhab dalam tasawuf 1
Sebagai suatu madzhab dalam tasawuf 1
 
maqomat dalam tasawuf
maqomat dalam tasawufmaqomat dalam tasawuf
maqomat dalam tasawuf
 
Tasawuf akhlaki, amaly dan falsafi
Tasawuf akhlaki, amaly dan falsafiTasawuf akhlaki, amaly dan falsafi
Tasawuf akhlaki, amaly dan falsafi
 
Takhrij Hadits
Takhrij HaditsTakhrij Hadits
Takhrij Hadits
 
Macam-macam Tarekat dan pemahamannya di Indonesia
Macam-macam Tarekat dan pemahamannya di IndonesiaMacam-macam Tarekat dan pemahamannya di Indonesia
Macam-macam Tarekat dan pemahamannya di Indonesia
 
Agama 4 tarekat
Agama 4 tarekatAgama 4 tarekat
Agama 4 tarekat
 
Macam-macam tarekat dan pemahamannya di Indonesia
Macam-macam tarekat dan pemahamannya di IndonesiaMacam-macam tarekat dan pemahamannya di Indonesia
Macam-macam tarekat dan pemahamannya di Indonesia
 
Agama 4 tarekat
Agama 4 tarekatAgama 4 tarekat
Agama 4 tarekat
 
Edit usul fiqh 2 0506
Edit usul fiqh 2 0506Edit usul fiqh 2 0506
Edit usul fiqh 2 0506
 
Makalah maqamat dan ahwal
Makalah maqamat dan ahwalMakalah maqamat dan ahwal
Makalah maqamat dan ahwal
 
Aliran-Aliran Tasawuf.pdf
Aliran-Aliran Tasawuf.pdfAliran-Aliran Tasawuf.pdf
Aliran-Aliran Tasawuf.pdf
 
Aliran-Aliran Tasawuf.docx
Aliran-Aliran Tasawuf.docxAliran-Aliran Tasawuf.docx
Aliran-Aliran Tasawuf.docx
 
Makalah tasawuf
Makalah tasawufMakalah tasawuf
Makalah tasawuf
 
Aliran-Aliran Tassawuf.docx
Aliran-Aliran Tassawuf.docxAliran-Aliran Tassawuf.docx
Aliran-Aliran Tassawuf.docx
 
Aliran-Aliran Tassawuf.pdf
Aliran-Aliran Tassawuf.pdfAliran-Aliran Tassawuf.pdf
Aliran-Aliran Tassawuf.pdf
 
Tahapan Tasawuf.ppt
Tahapan Tasawuf.pptTahapan Tasawuf.ppt
Tahapan Tasawuf.ppt
 
Ppt syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat
Ppt syariat, tarekat, hakikat, dan makrifatPpt syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat
Ppt syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat
 
Maqomat dan Ahwal.pdf
Maqomat dan Ahwal.pdfMaqomat dan Ahwal.pdf
Maqomat dan Ahwal.pdf
 
TASAWUF
TASAWUFTASAWUF
TASAWUF
 
Tasawuf
TasawufTasawuf
Tasawuf
 

More from Suhanto Kastaredja

More from Suhanto Kastaredja (8)

Kosa Kata Bhs Arab Dasar
Kosa Kata Bhs Arab DasarKosa Kata Bhs Arab Dasar
Kosa Kata Bhs Arab Dasar
 
Kurikulum bahasa inggris sma thn 2004
Kurikulum bahasa inggris sma thn 2004Kurikulum bahasa inggris sma thn 2004
Kurikulum bahasa inggris sma thn 2004
 
Unit 6
Unit 6Unit 6
Unit 6
 
Unit 4 Marketing the 4 p's
Unit 4 Marketing the 4 p'sUnit 4 Marketing the 4 p's
Unit 4 Marketing the 4 p's
 
English for business and management
English for business and managementEnglish for business and management
English for business and management
 
Uas (autosaved)
Uas (autosaved)Uas (autosaved)
Uas (autosaved)
 
Uts bhs inggris sestr genap_klas dkv_sore
Uts bhs inggris sestr genap_klas dkv_soreUts bhs inggris sestr genap_klas dkv_sore
Uts bhs inggris sestr genap_klas dkv_sore
 
70 ungkapan bahasa inggris populer dan terjemahannya
70 ungkapan bahasa inggris populer dan terjemahannya70 ungkapan bahasa inggris populer dan terjemahannya
70 ungkapan bahasa inggris populer dan terjemahannya
 

Recently uploaded

Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptxKesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptxDwiYuniarti14
 
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...MarwanAnugrah
 
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxBAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxJamhuriIshak
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxFuzaAnggriana
 
IPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptx
IPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptxIPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptx
IPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptxErikaPuspita10
 
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfAKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfTaqdirAlfiandi1
 
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SDtugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SDmawan5982
 
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxJurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxBambang440423
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5KIKI TRISNA MUKTI
 
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptxMODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptxarnisariningsih98
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfCloverash1
 
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptx
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptxPPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptx
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptxHeruFebrianto3
 
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptx
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptxPPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptx
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptxalalfardilah
 
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfTUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfElaAditya
 
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru PenggerakAksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggeraksupriadi611
 
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPASaku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPASreskosatrio1
 
Materi Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptx
Materi Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptxMateri Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptx
Materi Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptxc9fhbm7gzj
 
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
Demonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdfDemonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdf
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdfvebronialite32
 
demontrasi kontekstual modul 1.2.a. 6.pdf
demontrasi kontekstual modul 1.2.a. 6.pdfdemontrasi kontekstual modul 1.2.a. 6.pdf
demontrasi kontekstual modul 1.2.a. 6.pdfIndri117648
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...Kanaidi ken
 

Recently uploaded (20)

Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptxKesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
 
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
 
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxBAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
 
IPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptx
IPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptxIPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptx
IPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptx
 
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfAKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
 
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SDtugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
 
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxJurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
 
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptxMODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
 
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptx
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptxPPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptx
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptx
 
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptx
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptxPPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptx
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptx
 
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfTUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
 
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru PenggerakAksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
 
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPASaku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
 
Materi Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptx
Materi Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptxMateri Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptx
Materi Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptx
 
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
Demonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdfDemonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdf
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
 
demontrasi kontekstual modul 1.2.a. 6.pdf
demontrasi kontekstual modul 1.2.a. 6.pdfdemontrasi kontekstual modul 1.2.a. 6.pdf
demontrasi kontekstual modul 1.2.a. 6.pdf
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
 

MENCAPAI_MA'RIFAT

  • 1. Halaman _ 1 Syarah Al Hikam Sowong Fana Belajar Ilmu Dunia dan Akhirat https://sowongfana.blogspot.com/2018/09/wujud-allah-itu-jelas-dan-tidak.html https://sowongfana.blogspot.com/search/label/Kitab%20Al-Hikam%20Terjemah%2FTasawuf%2FSurat- surat%20Ibnu%20Atha%27illah%20al-Iskandari%20Untuk%20Sahabat-sahabatnya Syari'at, Thariqat, Hakikat, Ma'rifat Syari'at, Thariqat, Hakikat, Ma'rifat Tahapan-Tahapan Tasawuf Ada empat macam tahapan yang harus dilalui oleh hamba yang menekuni ajaran Tasawuf untuk mencapai suatu tujuan yang disebutnya sebagai As-Sa’aadah menurut Al-Ghazaliy dan Al-Insaanul Kaamil menurut Muhyddin Ibnu Arabiy. Keempat tahapan itu terdiri dari Syari’at, Tarekat, Hakikat dan Marifat. Dari tahapan-tahapan tersebut, dapat dikemukakan penjabarannya sebagai berikut: 1.Syari’at Istilah syari’at, dirumuskan definisinya oleh As-Sayyid Abu Bakar Al-Ma’ruf dengan mengatakan: Syari’at adalah suruhan yang telah diperintahkan oleh Allah, dan larangan yang telah dilarang oleh-Nya. Kemudian Asy-Syekh Muhammad Amin AL- Kurdiy mengatakan: Syari’at adalah hukum-hukum yang telah diturunkan kepada Rasulullah SAW., yang telah ditetapkan oleh Ulama (melalui) sumber nash Al-
  • 2. Halaman _ 2 Qur’an dan Sunnah ataupun dengan (cara) istirahat: yaitu hukum-hukum yang telah diternagkan dalam ilmu Tauhid, Ilmu Fiqh dan Ilmu Tasawuf. Hukum-hukum yang dimaksud oleh Ulama Tauhid; meliputi keimanan kepada Allah, malaikat- Nya, Kitab Suci-Nya, Rasul-Nya, Hari Akhirat, Qadha dan Qadar-Nya; dalam bentuk ketaqwaan dengan dinyatakan dalam perbuatan Ma’ruf yang mengandung hukum wajib, sunat dan mubah; dan meninggalkan mungkarat yang mengandung hukum haram dan makruh. Dan hukum-hukum yang dimaksudkan oleh Fuqaha, meliputi seluruh perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan-nya; yang disebut ibadah mahdhah atau taqarrub (ibadah murni atau ibadah khusus) serta hubungannya dengan sesama manusia dan makhluk lainnya, yang disebut ibadah ghairu mahdhah atau ammah (ibadah umum). Kemudian hukum-hukum yang dimaksudkan oleh Ulama Tasawuf, yang meliputi sikap dan perilaku manusia, yang berusaha membersihkan dirinya dari hadats dan najis serta maksiat yang nyata dengan istilah At-Takhali. Lalu berusaha melakukan kebaikan yang nyata untuk menanamkan pada dirinya kebiasaan-kebiasaan terpuji, dengan istilah At-Thalli. Bila syari’at diartikan secara sempit, sebagaimana dimaksudkan dalam pembahasan ini, maka hanya meliputi perbuatan yang nyata, karena perbuatan yang tidak nyata (perbuatan hati), menjadi lingkup pembahasan Tarekat. Oleh karena itu, penulis hanya mengemukakan perbuatan-perbuatan lahir, misalnya perbuatan manusia yang merupakan penomena keimanan, yang telah dibahas dalam Ilmu Tauhid. Penomena keimanan itu, terwujud dalam bentuk perbuatan ma’ruf dan menjauhi yang mungkar. 2.Tarekat Istilah Tarekat berasal dari kata Ath-Thariq (jalan) menuju kepada Hakika atau dengan kata lain pengalaman Syari’at, yang disebut Al- Jaraa’ atau Al-Amal, sehingga Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy mengemukakan tiga macam definisi, yang berturut-turut disebutkan:
  • 3. Halaman _ 3 1) Tarekat adalah pengamalan syari’at, melaksanakan beban ibadah (dengan tekun) dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah (ibadah), yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah. 2) Tarekat adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan sesuai dengan kesanggupannya; baik larangan dan perintah yang nyata, maupun yang tidak (batin). 3) Tarekat adalah meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal mubah (yang sifatnya mengandung) fadhilat, menunaikan hal- hal yang diwajibkan dan yang disunatkan, sesuai dengan kesanggupan (pelaksanaan) di bawah bimbingan seorang Arif (Syekh) dari (Shufi) yang mencita-citakan suatu tujuan. Menurut L. Massignon, yang pernah mengadakan penelitian terhadap kehidupan Tasawuf di beberapa negara Islam, menarik suatu kesimpulan bahwa istilah Tarekat mempunyai dua macam pengertian.  Tarekat yang diartikan sebagai pendidikan kerohanian yang sering dilakukan oleh orang-orang yang menempuh kehidupan Tasawuf, untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut Al-Maqamaat dan Al-Ahwaal.  Tarekat yang diartikan sebagai perkumpulan yang didirikan menurut ajaran yang telah dibuat seorang Syekh yang menganut suatu aliran Tarekat tertentu. Maka dalam perkumpulan itulah seorang Syekh mengajarkan Ilmu Tasawuf menurut aliran Tarekat yang dianutnya, lalu diamalkan bersama dengan murid-muridnya. Dari pengertian diatas, maka Tarekat itu dapat dilihat dari dua sisi; yaitu amaliyah dan perkumpulan (organisasi). Sisi amaliyah merupakan latihan kejiwaan (kerohanian); baik yang dilakukan oleh seorang, maupun secara bersama-sama, dengan melalui aturan-aturan tertentu untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut Al-Maqaamaat dan Al- Akhwaal, meskipun kedua istilah ini ada segi prbedaannya. Latihan kerohanian itu, sering juga disebut Suluk, maka pengertian Tarekat dan Suluk adalah sama, bila dilihat dari sisi amalannya (prakteknya). Tetapi kalau dilihat dari sisi organisasinya (perkumpulannya), tentu saja pengertian Tarekat dan Suluk tidak sama.
  • 4. Halaman _ 4 Kembali kepada masalah Al-Maqaamaat dan Al-Akhwaal, yang dapat dibedakan dari dua segi: > Tingkat kerohanian yang disebut maqam hanya dapat diperoleh dengan cara pengamalan ajaran Tasawuf yang sungguh-sungguh. Sedangkan ahwaal, di samping dapat diperoleh manusia yang mengamalkannya, dapat juga diperoleh manusia hanya karena anugrah semata-mata dari Tuhan, meskipun ia tidak pernah mengamalkan ajaran Tasawuf secara sungguh- sungguh. > Tingkatan kerohanian yang disebut maqam sifatnya langgeng atau bertahan lama, sedangkan ahwaal sifatnya sementara; sering ada pada diri manusia, dan sering pula hilang. Meskipun ada pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan bahwa maqam dan ahwaal sama pengertiannya, namun penulis mengikuti pendapat yang membedakannya beserta alasan-alasannya. Tentang jumlah tingkatan maqam dan ahwaal, tidak disepakati oleh Ulama Tasawuf. Abu Nashr As-Sarraaj mengatakan bahwa tingkatan maqam ada tujuh, sedangkan tingkatan ahwaal ada sepuluh. Adapun tingkatan maqam menurut Abu Nashr As-Sarraj, dapat disebutkan sebagai berikut: a). Tingkatan Taubat (At-Taubah); b) Tingkatan pemeliharaan diri dari perbuatan yang haram dan yang makruh, serta yang syubhat (Al-Wara’); c). Tingkatan meninggalkan kesenangan dunia (As-Zuhdu). d) Tingkatan memfakirkan diri (Al-Faqru). e). Tingkatan Sabar (Ash-Shabru). f). Tingkatan Tawakkal (At-Tawakkul). g). Tingkatan kerelaaan (Ar-Ridhaa). Mengenai tingkatan hal (al-ahwaal) menurut Abu Nash As Sarraj, dapat dikemukakan sebagai berikut; a). Tingkatan Pengawasan diri (Al-Muraaqabah) b). Tingkatan kedekatan/kehampiran diri (Al-Qurbu) c). Tingkatan cinta (Al-Mahabbah)
  • 5. Halaman _ 5 d). Tingkatan takut (Al-Khauf) e). Tingkatan harapan (Ar-Rajaa) f). Tingkatan kerinduan (Asy-Syauuq) g). Tingkatan kejinakan atau senang mendekat kepada perintah Allah (Al-Unsu). h). Tingkatan ketengan jiwa (Al-Itmi’naan) i). Tingkatan Perenungan (Al-Musyaahaah) j). Tingkatan kepastian (Al-Yaqiin). 3.Hakikat Istilah hakikat berasal dari kata Al-Haqq, yang berarti kebenaran. Kalau dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk mencari suatu kebenaran. Kemudian beberapa ahli merumuskan definisinya sebagai berikut: a. Asy-Syekh Abu Bakar Al-Ma’ruf mengatkan : Hakikat adalah (suasana kejiwaan) seorang Saalik (Shufi) ketika ia mencapai suatu tujuan sehingga ia dapat menyaksikan (tanda-tanda) ketuhanan dengan mata hatinya. b. Imam Al-Qasyairiy mengatakan: Hakikat adalah menyaksikan sesuatu yang telah ditentukan, ditakdirkan, disembunyikan (dirahasiakan) dan yang telah dinyatakan (oleh Allah kepada hamba-Nya. Hakikat yang didapatkan oleh Shufi setelah lama menempuh Tarekat dengan selalu menekuni Suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dihadapinya. Karena itu, Ulama Shufi sering mengalami tiga macam tingkatan keyakinan: 1) Ainul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pengamatan indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan keyakinan tentang kebenaran Allah sebagai penciptanya; 2) Ilmul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh analisis pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam semesta ini. 3) Haqqul Yaqqin; yaitu suatu keyakinan yang didominasi oleh hati nurani Shufi
  • 6. Halaman _ 6 tanpa melalui ciptaan-Nya, sehingga segala ucapan dan tingkah lakunya mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka kebenaran Allah langsung disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan oleh keputusan akal. Pengalaman batin yang sering dialami oleh Shufi, melukiskan bahwa betapa erat kaitan antara hakikat dengan ma’rifat, dimana hakikat itu merupakan tujuan awal Tasawuf, sedangkan ma’rifat merupakan tujuan akhirnya. 4.Ma’rifat Istilah Ma’rifat berasal dari kata Al-Ma’rifah yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka istilah ma’rifat di sini berarti mengenal Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf. Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf; antara lain: a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan: Ma’rifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya. b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan: Ma’rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi) dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi. c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan: Ma'rifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat ma’rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya). Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada tingkatan ma’rifat. Karena itu, Shufi yang sudah mendapatkan ma’rifat, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzuun Nuun Al- Mishriy yang mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma’rifat, antara lain: a. Selalu memancar cahaya ma’rifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya. b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang
  • 7. Halaman _ 7 bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar. c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram. Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma’rifat yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama- sama dengan Tuhan- nya. Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai tingkat ma’rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai berikut: a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat, bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya, pasti ia melihat Allah di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT saja. b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang Shufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus meskipun hanya sekejap mata saja. c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma’rifat itu adalah keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya. Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma’rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh secara terbalik dan tidk pula secara terputus-putus. Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tiak pula mengalami kesesatan. wassalam...
  • 8. Halaman _ 8 Diposting oleh fajri di 00.09 Tidak ada komentar: Kirimkan Ini lewat Email Senin, 03 September 2018 Kitab al-Hikam (Pasal 1) : Sikap Orang 'Arif ketika Khilaf Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama). (Pasal 1) 1. Di antara tanda sikap mengandalkan amal ialah berkurangnya harap kepada Allah tatkala khilaf. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). AMAL YANG DIMAKSUD disini ialah amal ibadah, seperti shalat dan dzikir. Ada dua kelompok orang yang mengandalkan amal mereka atau menggantungkan keselamatan diri mereka pada amal ibadah (bukan pada Allah secara murni). Mereka itu adalah 'abid (orang yang tekun beribadah) dan para murid (orang yang menghendaki kedekatan dengan Allah). Golongan pertama menganggap amal ibadah sebagai satu-satunya sarana untuk meraih surga dan menghindari siksa Allah. Sementara itu, golongan kedua menganggap amal ibadah sebagai satu- satunya cara yang bisa mendekatakan diri mereka kepada Allah, menyingkap tirai penghalang hati, membersihkan keadaan batin, mendalami hakikat Ilahiah (mukasyafah), dan mengetahui berbagai rahasia ketuhanan lainnya. Kedua golongan ini sama-sama tercela, karena tindakan dan keinginan mereka itu terlahir dari golongan nafsu dan sikap percaya diri berlebih. Mereka menganggap amal ibadah sebagai perbuatan diri mereka sendiri dan yakin bahwa amal ibadah itu pasti akan membuahkan hasil yang mereka inginkan. Berbeda halnya dengan orang-orang yang mengenal Tuhan dengan baik ('arif). Mereka tidak bergantung sedikit pun pada amal ibadah yang mereka lakukan. Menurut mereka, pelaku hakiki dari semua amal ibadah itu ialah Allah SWT. semata, sedangkan mereka hanyalah objek penampakan dari semua tindakan dan ketentuan Allah SWT. Dalam hikmah diatas, Ibnu Atha'illah menyebut salah satu tanda orang-orang yang menggantungkan keselamatan diri mereka pada amal ibadah yang mereka lakukan, bukan pada Allah secara murni. Tujuannya, supaya setiap hamba bisa mengenali siapa dirinya dan termasuk golongan mana ia. Apabila, di saat melakukan maksiat dan dosa, ia kehilangan harapan pada Allah Yang Maha Rahmat yang akan memasukkannya ke surga, menyelamatkannya dari azab, dan mewujudkan semua keinginannya, ia dianggap termasuk golongan 'abid atau murid. Namun, apabila merasa dirinya nihil dan tak berdaya, ia termasuk golongan 'arif. Jika melakukan kesalahan atau maksiat dan lalai, seseorang yang termasuk golongan 'arif akan melihat perbuatannya itu sebagai ketetapan dan takdir Allah atas dirinya.
  • 9. Halaman _ 9 Demikian pula saat melakukan ketaatan atau mengalami musyahadah (merasa melihat Tuhan), golongan 'arif tidak memandang bahwa segala daya dan upayanyalah yang melakukan ketaatan dan kebajikan itu. Baginya, tak ada beda saat benar ataupun salah, saat taat maupun khilaf, karena ia telah tenggelam dalam lautan tauhid. Rasa takut dan harapnya dalam kondisi tetap dan seimbang. Maksiat tak pernah mengurangi rasa takutnya kepada Allah, dan ketaatan pun tidak menambah rasa harapnya kepada-Nya. Maka dari itu, siapa yang tidak mendapati tanda seperti ini dalam dirinya, hendaknya ia berusaha mencapai maqam (kedudukan) 'arif dengan banyak melakukan olah batin (riyadhah) dan wirid. Melalui hikmah diatas, Ibnu Atha'illah ingin mendorong para salik (peniti jalan menuju Allah) agar menghindari sikap bergantung pada sesuatu selain Allah; termasuk bergantung pada amal ibadah. (Ulasan Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati : Grand Syekh Universitas al-Azhar Mesir dan Mufti Madzhab Syafi'i). Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah. Senin, 03 September 2018 Kitab al-Hikam (Pasal 2) : Sikap Orang Arif ketika Dianugerahi Ahwal Tajrid dan Ahwal Isytighal Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama). (Pasal 2) 1. Keinginanmu untuk lepas dari kesibukan urusan duniawi, padahal Allah telah menempatkanmu di sana, termasuk syahwat yang tersamar. Dan keinginanmu untuk masuk ke dalam kesibukan urusan duniawi, padahal Allah telah melepaskanmu dari itu, sama saja dengan mundur dari tekad luhur. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). TAJRID ADALAH sebuah kondisi dimana seseorang tidak memiliki kesibukan duniawi. Sebaliknya, isytighal adalah sebuah kondisi dimana seaeorang memiliki kesibukan duniawi. Dan yang dimaksud kesibukan duniawi adalah kesibukan-kesibukan yang tujuan akhirnya bersifat keduniaan, seperti bekerja atau berdagang. Keinginanmu untuk menjauhi semua sarana penghidupan duniawi dan tidak mau berpayah-payah dalam menjalaninya, padahal Allah telah menyediakan semua sarana itu untuk kau jalani, bahkan saat menjalaninya pun agamamu tetap terjaga, sifat tamak tetap jauh darimu, ibadah lahir dan keadaan batinmu juga tidak terganggu, maka keinginan semacam itu termasuk syahwat yang tersamar.
  • 10. Halaman _ 10 Dianggap "syahwat" karena kau tidak mau menjalani kehendak Tuhanmu dan lebih memilih kehendakmu sendiri. Disebut "tersamar" karena sekalipun pada lahirnya keinginanmu ialah menjauhi dunia dan mendekatkan diri kepada Allah, namun keinginan batinmu yang sebenarnya ialah agar mendapatkan popularitas dengan ibadah dan kewalianmu supaya orang-orang mendatangimu dan menjadikanmu panutan. Untuk itulah, kau pun rela meninggalkan apa yang telah menjadi kebiasaanmu, yaitu mencari penghidupan duniawi. Orang-orang 'arif menyatakan bahwa kedekatan manusia dengan seorang murid yang belum mencapai kesempurnaan bisa menjadi racun pembunuh bagi diri murid itu. Karena bisa jadi, murid itu akan terdorong untuk menjauhi kewajiban-kewajiban ibadah dan zikirnya karena ia lebih suka mengharap apa yang akan diberikan oleh manusia. Sebaliknya, keinginanmu untuk bekerja dan berusaha keras mencari pemghidupan duniawi, padahal Allah telah menyediakannya untukmu dengan mudah tanpa harus bersusah payah, misalnya dengan dipenuhinya semua sandang dan panganmu, dan kau pun tetap merasa tenang dan damai meski kekurangan, bahkan kau tetap bisa terus beribadah dengan tekun, maka sikap seperti itu sama saja dengan mundur dari tekad luhur. Karena, kau sekarang cenderung bergantung kepada makhluk, padahal sebelumnya kau bergantung kepada Sang Khalik. Sebenarnya, berbaur dengan orang-orang yang sibuk mengurusi dunia saja sudah cukup membuat tekad luhurmu ternodai. Oleh karena itu, yang wajib bagi para salik (peniti jalan menuju Allah) ialah tetap diam ditempat yang telah ditetapkan dan diridhai oleh Allah untuknya, sampai Allah sendiri yanv akan mengeluarkannya dari tempat itu. Hendaknya ia tidak keluar sendiri dari sana atas kehendak sendiri atau karena bisikan setan sehingga ia akan tercebur ke lautan keterasingan dan jauh dari Allah, na'udzu billah. Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah. Senin, 03 September 2018 Kitab al-Hikam (Pasal 3-5) : Orang Arif Tidak Mencampuri Urusan Allah Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama). (Pasal 3) 1. Tekad yang kuat takkan mampu menembus dinding takdir. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). TEKAD ADALAH kekuatan jiwa yang bisa mempengaruhi segala sesuatu. Orang-orang sufi menyebutnya dengan himmah. Tekad ini takkan berpengaruh apa-apa, kecuali dengan takdit dan ketentuan Allah. Hikmah diatas menguatkan hikmah sebelum dan sesudahnya. Seakan Ibnu Atha'illah ingin menyatakan bahwa keinginanmu tidak akan ada gunanya bila berbeda dengan keinginan Tuhanmu. Jika tekad yang kuat saja tidak akan membuahkan hasil apa-apa, kecuali dengan takdir
  • 11. Halaman _ 11 dan izin Allah, apalagi tekad yang lemah, seperti halnya tekadmu, wahai murid. Hikmah ini ditujukan untuk mendinginkan api ketamakan yang menyala-nyala didalam hatimu yang selalu yakin bahwa segala sesuatu itu bergantung pada usahamu sendiri dan pasti berhasil. (Pasal 4) 2. Istirahatkan dirimu dari kesibukan mengurusi duniamu. Urusan yang telah diatur Allah tak perlu kau sibuk ikut campur. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). SESEORANG KERAP merencanakan berbagai hal bagi dirinya sesuai keinginan nafsunya. Kemudian, untuk menggapai rencana yang tekah ditetapkannya itu, ia melakukan berbagai pekerjaan yang menyibukkan dirinya. Tentu saja, hal ini akan membuatnya lelah. Bahkan mungkin pula kecewa, terutama bila sebagian besar perkara yang telah direncanakannya itu tidak berhasil diwujudkan. Dengan menggunakan lafal "istirahat", Ibnu Atha'illah ingin menjelaskan kepada para murid bahwa mereka dituntut untuk meninggalkan segala perkara yang menyebabkan keletihan dan penderitaan. Kecuali, jika perencanaan atau pengaturan tersebut ditujukan untuk sekedar memenuhi tuntutan hidup dan tak sampai memberatkan. Tentu saja, hal ini tidak akan merugikan diri. Bahkan, pepatah mengatakan, "Perencanaan adalah setengah dari kehidupan." Urusan-urusan yang telah diatur Allah hendaknya dijauhi oleh seorang murid. Ia tidak perlu lagi sibuk mengurusi apa yang telah ditangani Allah karena tindakan semacam itu termasuk sikap "sok tahu" yang tak layak dilakukan oleh orang yang berakal. Lagi pula, tindakan itu bertentangan dengan prinsip Rububiyyah (kepengaturan) dan takdir Allah, selain juga bisa melalaikan ibadah. Hikmah di atas ditujukan sebagai peringatan bagi para murid karena biasanya apabila seorang murid sedang menghadap Tuhannya dan sibuk dengan dzikir-dzikir dan ibadah-ibadahnya, seluruh sebab penghidupan duniawi akan terputus darinya. Saat itulah, setan datang dan mulai membisikinya, mengiming-ngiminginya dengan berbagai hal yang sebagian besarnya tidak akan pernah terwujud. Bisikan setan itu kemudian akan membuat si murid lalai, bahkan meninggalkan kebiasaan dzikir dan ibadah. Tips untuk menghindari hal itu ialah banyak berdzikir dan riyadhah (olah jiwa). Dengan dzikir dan riyadhah, seorang murid akan dijauhi setan dan terhindar dari kesibukan menyusun rencana ini dan itu yang membuatnya letih. (Pasal 5) 3. Kegigihanmu dalam mencari apa yang telah dijamin untukmu dan kekuranganmu dalam melaksanakan apa yang diminta darimu menjadi bukti butanya mata hatimu. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). MAKSUD DARI "apa yang telah dijamin" ialah rezeki dan karunia Allah.
  • 12. Halaman _ 12 Allah SWT. Berfirman, "Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allahlah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui." (QS. al-'Ankabut [29]: 60). Sementara itu, maksud dari "kekuranganmu dalam melaksanakan apa yang diminta darimu" ialah kekurangan dalam melaksanakan amalan-amalan yang bisa membimbingmu menempuh jalan menuju Tuhanmu, seperti dzikir, shalat, dan wirid. Allah SWT. Berdirman, "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." (QS. adz- Dzariyat [51]: 56). Yang dituntut dari seorang murid ialah terus berusaha memberi makan ruh dengan dzikir-dzikir kepada Allah dan melakukan amalan-amalan yang mendekatkan diri kepada-Nya; bukan memberi makan yang lainnya karena itu sudah menjadi wewenang Tuhannya. Buta mata hati maknanya, hati tidak bisa lagi melihat berbagai perkara maknawi, sebagaimana mata dapat melihat perkara-perkara indrawi. Dalam hikmah di atas, Ibnu Atha'illah menggunakan lafal "kegigihan" untuk menyatakan bahwa mencari rezeki yang dilakukan sekadarnya dan tanpa kegigihan tidak dilarang bagi seorang murid karena tidak menyebabkan buta mata hatinya. Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah. Senin, 03 September 2018 Kitab al-Hikam (Pasal 6-7) : Ditundanya Pemberian Allah Jangan Melemahkan Semangatmu untuk Meminta Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama). (Pasal 6) 1. Jangan sampai tertundanya karunia Tuhan kepadamu, setelah kau mengulang-ulang doamu, membuatmu putus asa. Karena Dia menjamin pengabulan doa sesuai pilihan-Nya, bukan sesuai pilihanmu; pada waktu yang diinginkan-Nya, bukan pada waktu yang kau inginkan. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). ALLAH SWT. MENEGASKAN bahwa Dia akan mengabulkan semua doa. Dia berfirman, "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan kuperkenankan bagimu." (QS. al-Mu'min [40]: 60). Doa yang pengabulannya ditunda, mungkin, lebih baik bagi seorang murid daripada doa yang pengabulannya disegerakan. Karena bisa jadi, penundaan doa itu ditujukan agar ia semakin bersungguh-sungguh dalam beribadah dan semakin merasa takut kepada Allah. Dalam situasi ini,
  • 13. Halaman _ 13 biasanya setan akan datang dan membisikinya, "Jika benar tekadmu kuat, Tuhanmu pasti sudah mengabulkan doamu, menghilangkan sifat-sifat kemanusiaanmu yang buruk, dan mewujudkan segala keinginanmu." Sehingga sang murid pun tidak sadar bahwa ditundanya pengabulan doa itu adalah lebih baik baginya. Bisa jadi pula, ditundanya pengabulan doa tersebut, disebabkan oleh sifat buruk sang murid yang terlalu banyak dan tidak bisa dihilangkan kecuali dalam waktu yang lama, sehingga mujahadah dan riyadhah yang dilakukannya masih belum berpengaruh pada pengabulan doa-doanya. Orang-orang 'arif mengumpamakan alam ini dengan tanah yang dipenuhi tumbuhan berduri. Kadang durinya besar-besar dan banyak sehingga sulit dilalui dan bisa melukai. Kadang durinya kecil-kecil, sedikit, dan mudah dihilangkan. Demikian pula sifat-sifat jiwa, ada yang sangat buruk dan berjumlah banyak sehingga untuk menghilangkannya membutuhkan waktu lama dan perjuangan panjang. Terkadang sifat-sifat itu tidak terlalu buruk dan hanya sedikit sehingga tidak perlu waktu lama dan perjuangan panjang untuk membersihkannya. Ketika tujuan utama seorang murid adalah menghilangkan sifat buruk jiwa, meski itu memakan waktu lama dan berakhir di ujung usia, semua penderitaan dan perjuangannya selama masa itu tidaklah seberapa dibandingkan dengan tujuan utama itu. (Pasal 7) 2. Janji yang tak dipenuhi Tuhanmu pada waktunya jangan sampai membuatmu ragu. Agar keraguan itu tidak menjadi perusak pandanganmu dan pemadam cahaya kalbumu. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). JIKA ALLAH menjanjikanmu melalui mimpi, ilham, atau melalui perantaraan Malaikat-Nya bahwa pada masa tertentu kelak kau akan mendapatkan kemenangan atau kesejahteraan,lalu janji itu tak terwujud pada waktunya, hal itu jangan sampai membuatmu ragu akan kebenaran janji- Nya. Bisa jadi pemenuhan janji itu bergantung pada beberapa sebab dan syarat, dan hanya Allah yang tahu hikmah di balik itu. Contohnya, yang terjadi pada beberapa wali Allah, yang dijanjikan bahwa kelak, di tahun sekian, mereka akan meraih kemuliaan. Namun kemudian, pada tahun yang dijanjikan itu, orang-orang justru banyak yang menghina dan menjatuhkan kehormatannya. Begitu juga yang terjadi pada Rasulullah di tahun Perjanjian Hudaibiyah. Saat itu, Rasulullah dijanjikan Allah mendapat kemenangan. Namun ternyata, kemenangan tersebut tidak terjadi pada tahun itu, tetapi di tahun sesudahnya. Jika seorang murid mendapat janji dari Tuhan Yang Maha Rahmat, tetapi janji itu belum terwujud, ia tidak boleh meragukan janji tersebut. Ia harus tahu diri dan tetap bersikap sopan terhadap Tuhannya serta tetap tenang menanti janji itu. Ia tidak patut sangsi dan goyah keyakinan menghadapinya. Barang siapa melakukan hal itu, berarti ia telah mengenal Tuhannya ('arif), berpandangan sehat, dan berhati terang. Jika tidak, berarti sebaliknya, ia tidak mengenal Tuhannya, memiliki pandangan yang rusak, dan berhati gelap. Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
  • 14. Halaman _ 14 Senin, 03 September 2018 Kitab al-Hikam (Pasal 8) : Makrifat Allah Tidak Ada Kaitannya dengan Amalmu Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama). (Pasal 8) 1. Jika Tuhan membukakan untukmu pintu makrifat, jangan kau pertanyakan amalmu yang sedikit. Karena Dia tidak akan membukakan pintu makrifat, kecuali karena ingin memperkenalkan Diri-Nya kepadamu. Tahukah kau bahwa makrifat merupakan anugerah-Nya untukmu, sedangkan amalmu adalah persembahan untuk-Nya. Tentu, persembahanmu takkan sebanding dengan anugerah-Nya. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). DALAM PERJALANAN menuju Tuhannya, seorang salik harus memperbanyak amal untuk menekan dorongan-dorongan nafsu syahwat sehingga ia bisa sampai kepada Allah. Di sisi lain, seorang salik dituntut juga untuk ber-mujahadah dalam waktu lama. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan di sela-sela itu ia merasa malas melakukan sebagian ibadah dan wirid yang diharuskan. Sehingga ia pun diterpa kegalauan dan frustasi, bahkan mungkin pula tergerak untuk meninggalkan semuanya. Padahal, di saat yang sama, ia telah sampai pada satu tahapan makrifatullah. Oleh karena itu, Ibnu Atha'illah menasihatinya bahwa jika Allah membukakan untuknya satu dari sekian pintu makrifat seperti merasakan kehadiran dan pengawasan Allah atau menyadari bahwa pelaku ibadah sesungguhnya adalah Allah dan menyadari dirinya hanyalah objek penampakan perbuatan-Nya maka saat itu ia tidak perlu lagi merasa heran dan bertanya-tanya mengapa itu bisa terjadi sementara amal yang dilakukannya baru sedikit? Karena tujuan dari semua amal adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dibukakannya pintu makrifat adalah bukti bahwa Allah memgasihi dan menyayanginya. Bisa jadi, seseorang sedikit melakukan amal karena ia memang sedang sakit. Jika orang ini mendapatkan makrifat, misalnya dengan mengetahui bahwa sakit baginya lebih baik ketimbang sehat dan bahwa Allah Maha Melakukan apa yang dikehendaki-Nya, saat itu ia tidak perlu lagi mempertanyakan sedikit amalnya. Allah membukakan untukmu pintu makrifat karena Dia ingin memperkenalkan Diri-Nya kepadamu, memberimu karunia-Nya, mendekatimu, dan menampakkan sifat-sifat dan asma'-Nya untukmu. Tentu saja makrifat adalah karunia yang lebih besar dan agung untukmu dibandingkan amalan-amalan lahirmu untuk-Nya. Hadiah dari seorang budak, walaupun bernilai tinggi, tetap hina dan kecil dibandingkan hadiah dari seorang tuan walaupun itu sedikit. Hadiah dari seorang budak manfaatnya hanya akan dirasakan oleh dirinya sendiri, bukan tuannya. Kesimpulannya, amal ibadah yang sedikit namun diiringi makrifat lebih baik daripada amal ibadah yang banyak tanpa makrifat. Jika seorang salik mendapatkan makrifat, ia harus segera menghadapkan hatinya kepada Tuhannya agar karunia makrifat dari Tuhannya itu ditambah. Ia juga harus lebih memedulikan makrifat tersebut ketimbang amalan-amalan lahir yang
  • 15. Halaman _ 15 dilakukannya. Oleh sebab itu, amalan lahir para 'arif yang dilakukan di akhir usia mereka cenderung menurun. Mereka selalu merindukan masa-masa dahulu ketika mereka mendapat banyak cahaya karena banyaknya amal yang mereka lakukan. Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah. Senin, 03 September 2018 Kitab al-Hikam (Pasal 9-10) : Ruh Amal adalah Ikhlas Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama). (Pasal 9) 1. Jenis amal itu bermacam-macam karena asupan hati juga beragam. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). YANG DIMAKSUD asupan hati disini adalah makrifat Tuhan dan rahasia ruhani yang masuk ke dalam relung hati. Asupan hati ini akan mendorong munculnya sifat-sifat dan ahwal (keadaan) terpuji. Ada yang membuahkan karisma. Ada yang mendorong kelembutan. Ada pula yang memupuk kedermawanan. Kerap kali kau dapati sebagian murid yang rajin shalat, ada pula yang rajin puasa, dan sebagainya. Sebabnya adalah perbedaan asupan Ilahi yang mengakibatkan perbedaan kecenderungan seseorang. Setiap orang harus beramal sesuai kecenderungannya jika ia belum mendapat bimbingan dari gurunya. Sebaliknya, apabila ia telah mendapat bimbingan guru, ia tidak boleh beramal, kecuali dengan izin sang guru. Kesimpulannya, beragamnya wirid dan zikir yang dilakukan para murid adalah akibat dari beragamnya asupan yang masuk ke hati mereka. Setiap murid harus beramal sesuai asupan hatinya atau sesuai bimbingan guru. Ia tidak boleh beramal berdasarkan asupan hati orang lain. Orang lain pun tidak boleh menentangnya hanya karena tidak melakukan apa yang dilakukannya. (Pasal 10) 2. Amal itu seumpama jasad, sedangkan keikhlasan adalah ruhnya. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). AMAL ITU ibarat jasad yang tak bernyawa, sedangkan keikhlasan laksana ruh yang menjadikan jasad itu hidup. Keikhlasan setiap orang berbeda-beda. Keikhlasan para 'abid (ahli ibadah) berbentuk bersihnya amal mereka dari sifat Riya' yang nyata maupun yang tersamar dan dari niat yang didasari hawa nafsu. Mereka beramal karena Allah, mengharap pahala-Nya, serta ingin selamat dari azab dan siksa-Nya. Namun demikian, mereka menisbatkan amal itu pada diri mereka dan menjadikannya sebagai tempat bergantung untuk meraih apa yang mereka inginkan.
  • 16. Halaman _ 16 Sementara itu, bentuk keikhlasan para muhibbin (pecinta Allah) tergambar dalam niat amal mereka yang ditujukan sebagai wujud pengagungan dan penghormatan mereka tethadap Allah; yang memang layak mendapatkannya. Dalam beramal, mereka tidak bertujuan mendapat pahala atau takut dari siksa-Nya. Oleh sebab itu, Rabi'ah al-Adawiyah berkata, "Aku tidak menyembah-Mu karena takut neraka- Mu atau berharap surga-Mu." Sementara itu, keikhlasan para 'arif berbentuk kesaksian dan pandangan mereka bahwa Allah semata yang menggerakkan dan mendiamkan mereka. Mereka tidak merasa memiliki daya dan upaya dalam hal itu. Oleh karena itu, mereka tidak beramal, kecuali dengan bantuan Allah, bukan dengan daya dan kekuatan mereka. Tingkat keikhlasan para 'arif ini merupakan tingkat keikhlasan tertinggi. Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah. Selasa, 04 September 2018 Kitab al-Hikam (Pasal 11) : Kemasyhuran Sangat Membahayakan Seorang Murid Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama). (Pasal 11) 1. Kuburlah dirimu di tanah kerendahan karena sesuatu yang tumbuh tanpa dikubur (ditanam) hasilnya kurang sempurna. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). MAKSUD "TANAH KERENDAHAN" adalah tanah dimana popularitas tak tumbuh subur. Maksud "kuburlah dirimu disana" adalah kau tidak usah menempuh sebab-sebab popularitas, seperti menawarkan dirimu untuk sebuah jabatan yang membuatmu terkenal. Seandainya kau terpaksa terkenal, kau harus merendah hati dan jangan mencari kedudukan tertentu. Jangan memandang jabatan yang sedang kau sandang sebagai hal yang besar. Yakinlah bahwa kebaikan akan kau dapatkan saat kau meninggalkan itu semua. Namun, jangan kau tinggalkan semua itu, kecuali atas bimbingan gurumu atau izin Tuhanmu. Ibnu Atha'illah memberi contoh tentang hal itu dengan ungkapan, "sesuatu yang tumbuh tanpa dikubur (benihnya) hasilnya kurang sempurna." Maksudnya, benih yang ditanam dalam-dalam hanya akan tumbuh lemah, kering, dan tidak bisa dimanfaatkan. Bahkan, mungkin benih itu akan mudah dimakan oleh burung atau binatang lain sebelum tumbuh menjadi tanaman. Demikian pula seorang salik, jika ia mencari-cari popularitas di awal, jarang yang berhasil di akhir. Semakin ia merendahkan diri maka maqam ikhlas akan semakin cepat diraihnya. Bila sejak awal ia mendasari segala urusannya atas sikap menjauh dari mahluk, tidak mau dikenang, tidak suka popularitas, dan memilih untuk bersama Tuhannya, ia akan bersama Tuhannya. Jika
  • 17. Halaman _ 17 Tuhan berkehendak, Dia akan memunculkannya dan menjadikannya terkenal. Jika tidak, Dia akan menutupinya dan membuatnya tidak terkenal. Abu al-Abbas rahimahullah berkata, "Siapa yang menginginkan popularitas, ia adalah budak popularitas. Siapa yang mencintai para penguasa, ia akan menjadi budak penguasa. Siapa yang menyembah Allah, baginya sama saja, terkenal ataupun tidak." Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah. Selasa, 04 September 2018 Kitab al-Hikam (Pasal 12) : Manfaat 'Uzlah Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama). (Pasal 12) 1. Tiada yang lebih berguna bagi hati selain 'uzlah. Dengan 'uzlah, hati memasuki lapangan tafakur. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). 'UZLAH (menyendiri) merupakan cara terbaik bagi seorang murid untuk membersihkan hati dari segala kelalaian dan mendekatkan diri kepada Tuhannya. Tafakur itu umpama sebuah lapangan. Di sana, hati berputar-putar seperti seekor kuda yang berpacu di sebuah arena pacuan. Bila seorang murid terlalu banyak bergaul dengan manusia, pandangan dan hatinya akan tertuju pada keduniaan sehingga yang kemudian tampak jelas di hadapannya hanyalah hal-hal yang bersifat materi dan fana. Tidak demikian jika ia ber-'uzlah menjauhi pergaulan dengan manusia, hatinya akan disibukkan dengan hal-hal gaib. Dalam sebuah khabar disebutkan, "Bertafakur sesaat lebih baik daripada ibadah 70 tahun." Ada seseorang yang bertanya kepada Ummu ad-Darda, "Amalan apa yang paling diutamakan Abu Darda?", Ummu ad-Darda menjawab, "Tafakur." Dengan bertafakur, seseorang bisa mendalami hakikat, mengagungkan Allah, dan mengutamakan segala hal yang diridhai-Nya. Dengan bertafakur, ia bisa menganggap hina semua hal yang dibenci Allah sehingga terdorong untuk meninggalkannya. Dengan bertafakur, seseorang bisa mengetahui keburukan-keburukan jiwa yang terselubung, kejahatan musuh, dan tipuan dunia. Ia juga bisa mengenali segala muslihat sehingga bisa dengan mudah menghindarinya dan selamat dari bahaya-bahaya yang ditimbulkannya.
  • 18. Halaman _ 18 Dengan menyendiri dan merenung, seorang murid melatih diri untuk berkhalwat, salah satu dari empat rukun tarekat (tiga rukun lainnya adalah bersikap diam, berlapar-lapar, dan bangun tengah malam). Ini, bagi murid yang menempuh jalan tarekat sendirian. Adapun bagi murid yang berada di bawah bimbingan guru, tentu ia harus banyak bergaul dengan gurunya, juga dengan saudara-saudara yang turut membantunya menempuh jalan tarekat. Jika ia telah menjadi 'arif, tak masalah baginya bergaul dengan manusia manapun karena saat itu di matanya hanya Allah yang terlihat. Perlu dicamkan bahwa yang menjadi tujuan utama adalah tafakur, sedangkan 'uzlah (menyendiri) hanya sebagai media atau faktor pendukung. Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah. elajar Ilmu Dunia dan Akhirat Selasa, 04 September 2018 Kitab al-Hikam (Pasal 13) : Hati Tidak Mungkin Bersinar manakala Keduniaan Menutupinya Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama). (Pasal 13) 1. Bagaimana mungkin kalbu akan bersinar, sedangkan bayang-bayang dunia masih terpampang di cerminnya? Bagaimana mungkin akan pergi menyongsong Ilahi, sedangkan ia masih terbelenggu nafsunya? Bagaimana mungkin akan bertamu ke hadirat-Nya, sedangkan ia belum bersuci dari kotoran kelalaiannya? Bagaimana mungkin diharapkan dapat menyingkap berbagai rahasia, sedangkan ia belum bertobat dari kekeliruannya?. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). BAGAIMANA MUNGKIN kalbu akan bersinar terang, sedangkan anasir keduniaan masih menyelimutinya dan dianggap bisa mendatangkan manfaat serta bahaya? Bahkan, anasir keduniaan itu begitu diandalkannya!. Jika hati masih terbelenggu nafsu, bagaimana mungkin bisa berjalan menuju Allah? Orang yang dibelenggu tentu tidak akan mampu berjalan. Bagaimana pula hati bisa melihat Allah, sedangkan ia masih belum suci dari junub kelalaiannya?. Di sini, Bin Atha'illah mengumpamakan kelalaian dengan junub. Dan seorang yang sedang junub tidak diperbolehkan memasuki masjid. Seperti itu pula orang yang dikuasai kelalaian, ia tidak akan diizinkan menemui Allah. Bagaimana mungkin hati akan mewarisi ilmu kaum 'arif, sedangkan ia belum bertobat dari kesalahan atau maksiat yang tidak disengaja dilakukannya?.
  • 19. Halaman _ 19 Dalam hikmah di atas, Ibnu Atha'illah mengungkapkan kejanggalan yang dilihatnya. Menurutnya, bagaimana mungkin seseorang bisa meraih sesuatu yang diinginkannya, sedangkan ia masih melakukan hal-hal yang justru merintangi pencapaiannya. Hati yang bercahaya hanya dapat diraih dengan cahaya iman dan keyakinan, bukan dengan harta dan hal-hal lain yang bersifat duniawi. Keduniaan justru akan membuat hati menjadi gelap. Perjalanan menuju Allah hanya bisa dilakukan dengan memutus belenggu nafsu dan syahwat, bukan dengan menuruti nafsu dan syahwat. Pertemuan dengan Allah hanya bisa terjadi bila hati telah suci. Hati yang masih belum suci atau masih dikotori oleh kelalaian akan menghalangi pertemuan dengan Allah. Kemampuan menguasai ilmu dan mengetahui detail-detail rahasia hanya bisa didapat melalui ketakwaan, bukan dengan keinginan yang besar untuk selalu melakukan maksiat. Allah SWT. Berfirman, "Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan mengajarimu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. al-Baqarah [2] : 282). Dalam sebuah khabar disebutkan, "Siapa yang beramal dengan ilmunya, maka Allah akan mewarisinya ilmu yang tidak diketahuinya." Keempat hal di atas sebenarnya saling memengaruhi satu sama lain. Tampilnya gambaran keduniaan di dalam cermin hati menjadi sebab terbelenggunya hati oleh syahwat. Keterbelengguan hati dapat menyebabkan kelalaian. Kelalaian menjadi sebab kekeliruan, dan kekeliruan menjadi sebab butanya hati. Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah. Selasa, 04 September 2018 Kitab al-Hikam (Pasal 14-16) : Wujud Allah itu Jelas dan Tidak Terhalangi oleh Sesuatu Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama). (Pasal 14) 1. Semesta itu seluruhnya gulita. Ia hanya akan diterangi oleh wujud Allah. Siapa yang melihat semesta, namun tidak melihat-Nya di sana atau tidak melihat-Nya ketika, sebelum, atau sesudah melihat semesta, berarti ia telah disilaukan oleh cahaya-cahaya lain dan terhalang dari surya makrifat karena tertutup tebalnya awan dunia. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). DI MATA para ahli syuhud (orang yang menyaksikan kehadiran Allah dalam segala sesuatu), dunia ini tidak berwujud. Yang membuat dunia ini nampak hanyalah wujud Allah semata, persis seperti pancaran sinar matahari yang masuk ke dalam sebuah lentera berkaca. Tak ada wujud, kecuali wujud Yang Maha Benar. Dengan kemunculan Allah pada segala sesuatu, semuanya
  • 20. Halaman _ 20 menjadi ada, sesuai tabiatnya masing-masing. Aslinya, mereka tidak berwujud dengan sendirinya. Jika demikian, barang siapa yang melihat alam semesta ini tanpa merasakan kehadiran Allah di sana, berarti ia telah kehilangan nur Ilahi (cahaya Allah) yang membuatnya mendapat musyahadah. Di samping itu, ia juga tidak mungkin akan mendapat makrifat karena ia telah disilaukan oleh semesta ini. Di sini Ibnu Atha'illah menyinggung tentang bermacam-macam tingkatan ahli syuhud dalam memandang Allah. Di antara mereka ada yang menyaksikan Sang Pencipta terlebih dahulu sebelum menyaksikan ciptaan-Nya. Jika pandangannya jatuh pada suatu benda, ia akan menyaksikan keberadaan Yang Maha Benar dan bahwa hanya Dia yang menggerakkan dan mendiamkannya. Itu terjadi sebelum di benaknya terbersit apakah benda itu manusia ataukah domba, tinggi ataukah pendek, dan sebagainya. Ada juga yang menyaksikan Tuhan setelah tahu bahwa benda yang disaksikannya itu adalah binatang. Ada yang menyaksikan Tuhan tepat di saat ia menyaksikan suatu benda. Ada pula yang menyaksikan Tuhan pada benda itu. Hikmah ini teramat sulit dijabarkan karena semua pengalaman di atas tidak bisa diungkapkan melalui ucapan atau tulisan, namun hanya bisa dirasakan. Orang yang mengalami syuhud akan kehilangan kata-kata untuk menjelaskannya. (Pasal 15) 2. Di antara tanda kekuasaan Allah adalah Dia mampu menghalangimu dari melihat-Nya dengan sesuatu yang tidak ada. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). PARA 'ARIF sepakat bahwa segala sesuatu selain Allah adalah tidak ada. Segala sesuatu selain Allah dianggap tidak berwujud dibandingkan dengan wujud-Nya. Seorang 'arif berkata, "Para muhaqqiq (peraih maqam makrifat) menolak untuk memandang selain Allah karena mereka telah berhasil menyaksikan kuasa dan keabadian Allah dalam mengatur dan meliputi segala sesuatu." Semua hal selain Allah dianggap tidak ada, namun mengapa ia menjadi penghalang bagi manusia untuk dapat menyaksikan Allah? Mengapa saat manusia menyaksikan alam semesta, mereka hanya melihat wujud alam semesta tanpa melihat siapa yang mewujudkannya? Padahal alam itu tidak berwujud sama sekali karena yang mewujudkannya hanyalah Allah SWT. Inilah yang amat mengherankan. Kemudian, pada hikmah di bawah ini, Ibnu Atha'illah menyebutkan dalil-dalil yang menegaskan bahwa seorang 'arif tidak layak terhijab oleh semesta karena kondisi ini hanya dialami oleh orang-orang awam.
  • 21. Halaman _ 21 (Pasal 16) 3. Bagaimana bisa Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia yang menampakkan segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak bersama segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak pada segala sesuatu? Bagaimana bisa Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak untuk segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak sebelum keberadaan segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia lebih tampak daripada segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia Esa tanpa ada yang bersama-Nya? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia lebih dekat kepadamu dari segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal jika bukan karena Dia, wujud segala sesuatu tidak akan ada? Sungguh aneh, bagaimana mungkin keberadaan (wujud) bisa tampak dalam ketiadaan ('adam)?! Atau, bagaimana bisa sesuatu yang baru bersanding dengan Yang Maha Dahulu?!. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). ALLAH MENAMPAKKAN segala sesuatu dengan cahaya wujud dari gelapnya ketiadaan. Dengan kemunculan cahaya-Nya dalam segala sesuatu, semuanya menjadi tampak. Jika wujud segala sesuatu bergantung pada cahaya-Nya, mustahil sesuatu itu menutupi-Nya sehingga membuat-Nya terselubung dan tidak tampak. Tindakan "menampakkan" meniscayakan penampakan Dzat yang melakukannya. Allahlah yang menampakkan segala sesuatu agar orang- orang yang berakal menjadikannya sebagai bukti keberadaan-Nya. Allah SWT. Berfirman, "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al- Quran itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?." (QS. Fushshilat [41]: 53). Menurut ahli syuhud, Allah tampak pada segala sesuatu dengan penampakan dzat-Nya. Sementara itu, menurut ahli hijab, Dia tampak pada segala sesuatu dengan penampakan sifat dan asma'-Nya. Segala sesuatu hanyalah objek penampakan dari makna-makna asma' dan sifat-Nya. Pada benda atau orang yang mulia, tampaklah sifat Maha Mulia ('aziz) milik-Nya dan pada benda atau orang yang hina, terlihat sifat Maha Menghinakan (Mudhill) milik-Nya. Pada setiap mahluk hidup tampak jelas sifat Maha Menghidupkan (muhyi) milik-Nya. Saat Allah mencabut nyawa, tampaklah sifat Maha Mematikan (mumit). Saat memberi, terlihatlah sifat Maha Memberi (mu'thi). Saat memberi karunia, tampak sifat Maha Memberi Karunia (karim). Saat mengabulkan doa, tampak sifat Maha Pengabul Doa (mujib). Saat menimpakan bahaya atau mendatangkan manfaat, tampaklah sifat Maha Pemberi Bahaya (dharr) dan Maha Pemberi Manfaat (nafi'), dan sebagainya. Bagaimana bisa Allah terhalangi sesuatu, padahal Dia muncul atau tampak pada segala sesuatu sehingga bisa dikenali. Karena itulah, seluruh semesta alam bersujud dan bertasbih kepada-Nya, tetapi kita tidak mendengar dan memahami tasbih mereka. Semua mahluk di alam ini, baik yang bernyawa maupun yang tidak, mengenali Allah, namun itu bergantung pada kadar penampakan Allah yang dilihatnya. Jika ada mahluk yang tidak mengagungkan Allah sesuai kadar
  • 22. Halaman _ 22 keagungan-Nya, maka hal itu disebabkan oleh lemahnya makrifat (pengenalan) tentang-Nya, bukan karena ketiadaan makrifat sama sekali. Bagaimana mungkin Tuhan terhalangi sesuatu, sedangkan Dia Zhahir sebelum wujud segala sesuatu? Karena asma'-Nya sudah tampak sejak azali. Kemunculan Allah sendiri sudah merupakan sifat asli-Nya (Zhahir), tidak didapat dari luar, tidak beralasan, dan tidak diserap dari mana saja. Sementara itu, kemunculan alam semesta adalah akibat kemunculan Allah di sana dengan sifat Zhahir-Nya. Jika demikian, bagaimana mungkin semesta dapat menghalangi-Nya?. Bagaimana bisa Allah terhalangi sesuatu, padahal Dia lebih tampak daripada segala sesuatu? Karena dalam setiap kondisi, wujud (keberadaan) lebih tampak daripada 'adam (ketiadaan), juga karena kemunculan substansial lebih kuat daripada kemunculan aksidental. Kemunculan yang bersumber dari diri sendiri lebih kuat daripada kemunculan yang diakibatkan faktor luar. Kemunculan mutlak lebih kuat daripada kemunculan relatif. Kemunculan yang abadi lebih kuat daripada kemunculan yang fana. Wujud Tuhan tidak diketahui akal karena kemunculan-Nya amat dahsyat. Kemunculan dahsyat itu tak akan bisa diketahui oleh orang-oranf lemah. Seperti halnya seekor kelelawar yang hanya mampu melihat di kegelapan malam. Sedangkan di siang hari ia tidak mampu melihat apa-apa. Hal itu dikarenakan kuatnya kemunculan siang. Sementara itu, penglihatan mata kelelawar amat lemah. Ia tak sanggup melawan pancaran cahaya matahari. Kuatnya kemunculan siang dan lemahnya penglihatan itulah yang menjadi sebab kelelawar tak mampu melihat di siang hari. Seperti itulah akal, ia amat lemah di hadapan kemunculan Ilahi yang sinar dan cahaya-Nya menyilaukan. Kuatnya kemunculan Ilahi inilah yang menjadi sebab ketersembunyian-Nya dari segala sesuatu. Bagaimana mungkin segala sesuatu akan menghalangi Allah, padahal Dia Yang Esa dan tak ada sesuatu pun yang bersama-Nya? Karena segala sesuatu selain Allah tidak ada dan tidak berwujud. Dengan demikian, tak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi-Nya karena semua wujud hakiki hanya milik Allah, bukan milik selain-Nya. Bagaimana mungkin Allah terhalangi sesuatu, padahal Dia lebih dekat kepadamu dari segala sesuatu? Karena Dia mampu meliputi dan mengaturmu. Allah SWT. Berfirman, "Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (QS. Qaf [50]: 16). Menurut ahli syuhud, Dzat Allah amat dekat kepada kita. Adapun menurut ahli hijab, Tuhan dekat kepada kita dalam pengertian dekat ilmu, kekuasaan, dan sifat-sifat-Nya yang lain. Bagaimana bisa Allah terhalangi sesuatu, padahal tanpa Dia, segala sesuatu tidak akan ada? Sampai-sampai para musyahidun (yang merasa menyaksikan Allah) menjadikan Allah sebagai dalil untuk membuktikan keberadaan segala sesuatu. Allah SWT. Berfirman, "Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?." (QS. Fushshilat [41]: 53).
  • 23. Halaman _ 23 Sungguh aneh, bagaimana mungkin wujud (keberadaan) tidak tampak dalam 'adam (ketiadaan)? 'Adam adalah kegelapan, sedangkan wujud adalah cahaya. Keduanya mudah dibedakan. Bagaimana bisa sesuatu yang baru (hadits) bersanding dengan Yang Maha Dahulu (qadim)? Bagaimana mungkin sesuatu yang baru muncul bersamaan dengan yang memiliki sifat qidam. Yang baru itu bathil, sedangkan Allah itu Haq (Maha Benar). Kebatilan akan sirna dengan adanya kebenaran. Allah SWT. Berfirman, "Dan katakanlah, 'Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.' Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap." (QS. al-Isra' [17]: 81). Sosok yang lahir (tampak) dan tsabit (tetap) itulah Tuhan Yang Maha Haq, Allah SWT., bukan alam semesta. Tak ada yang berwujud, kecuali Allah karena Dia yang tampak dan menampakkan, yang maujud dan berbeda dari segala penampakan lainnya. Pertanyaan-pertanyaan yang bernada keheranan dalam hikmah ini pasti akan diajukan oleh mereka yang pernah merasakan pengalaman syuhud. Oleh karena itu, semakin kuat pengalaman syuhud yang dirasakan seseorang maka semakin sirnalah alam semesta ini dari pandangannya. Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah. di September 04, 2018 Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest lajar Ilmu Dunia dan Akhirat Jumat, 07 September 2018 Kitab al-Hikam (Pasal 17-18) : Bodohnya Orang yang Ingin Mengubah Kehendak Allah Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama). (Pasal 17) 1. Alangkah bodohnya orang yang menghendaki sesuatu terjadi pada waktu yang tidak dikehendaki-Nya. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). JIKA HATI atau tubuh seorang murid sedang berada dalam satu keadaan (ahwal) tertentu, ia harus tetap menjaga kesopanan dihadapan Allah dengan merelakan diri untuk tetap berada pada keadaan tersebut sampai Allah sendiri yang memindahkannya dari sana. Dengan satu catatan : keadaan tersebut tidak bertentangan dengan syariat. Misalnya, jika ia sedang berada dalam keadaan terlepas dari keduniaan (tajrid), ia harus menahan diri untuk terus berada dan rela dalam keadaan tersebut sampai Allah sendiri yang
  • 24. Halaman _ 24 memindahkannya ke keadaan yang lain. Jika terbersit di hatinya keinginan untuk mencari penghidupan (kasab), itu artinya ia tidak sopan kepada Tuhannya karena ia sudah menolak keadaan yang dikehendaki-Nya untuknya. Demikian pula, seorang murid dianggap tidak sopan terhadap Tuhannya, jika ia sedang berada dalam satu pekerjaan, namun ingin pindah ke pekerjaan lain, atau sedang berada dalam keadaan miskin, namun ingin menjadi kaya. Empat puluh tahun silam, seseorang berkata kepadaku, "Bila Allah menempatkanku pada satu kondisi (ahwal), tidak pernah sedikit pun aku kesal. Bila Dia memindahkanku ke kondisi lain, tidak pernah sekali pun aku menolaknya." Ungkapan ini adalah buah dari ilmu dan pengetahuan (makrifat) tentang Allah dan ketuhanan-Nya. Jika seseorang membenci keadaan dirinya saat ini, lalu ia bersikukuh ingin pindah dari keadaan itu dan menghendaki keadaan lain yang berbeda dengan apa yang ditampakkan Allah kepadanya, itu artinya, ia tidak mengenali Tuhannya sama sekali dan sudah bersikap tidak sopan terhadap- Nya. Tentu ini adalah tindakan menentang "hukum waktu" yang diisyaratkan oleh kaum sufi. Bagi kaum sufi, menentang "hukum waktu" merupakan dosa paling besar. (Pasal 18) 2. Jangan meminta Allah untuk mengeluarkanmu dari satu kondisi agar kau bisa dipekerjakan- Nya. Jika memang Dia menghendaki, niscaya Dia akan mempekerjakanmu tanpa harus mengeluarkanmu dari kondisi itu. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). JIKA KAU MENGIRA bahwa keberadaanmu di satu kondisi telah menghambatmu untuk mendekatkan diri kepada-Nya, jangan meminta-Nya mengeluarkanmu dari kondisi itu karena jika Allah mencintaimu dan kau termasuk ahli iradah (yang dikehendaki Allah), Allah akan mempekerjakanmu dengan penuh kasih sayang, membimbingmu melakukan amal-amal saleh, dan menyibukkan hatimu dengan-Nya, tanpa harus mengeluarkanmu dari kondisi lamamu. Jika seorang murid berada dalam satu kondisi yang tidak sesuai dengan tujuannya (namun dari sudut pandang syariat, kondisi itu tidak terlarang), tak layak baginya untuk menghendaki keluar dari kondisi itu dan menentang "hukum waktu" sebagaimana dijelaskan dalam hikmah di atas. Ia juga tidak layak meminta Tuhannya segera mengeluarkannya dari sana agar bisa dipekerjakan- Nya pada kondisi lain karena kondisi itu adalah pilihan Allah dan ia tidak perlu bingung dalam hal ini. Yang patut dilakukannya adalah tetap menjaga etika dan kesopanannya terhadap Tuhannya serta mendahulukan kehendak-Nya atas pilihannya sendiri. Jika Tuhannya melihat sikap baiknya ini, Dia akan mempekerjakannya tanpa perlu mengeluarkannya dari kondisi tersebut. Dengan demikian, ia pun beramal sesuai kehendak Allah, bukan berdasarkan kehendaknya sendiri. Tentu, itu lebih baik baginya daripada mengedepankan pilihannya sendiri. Akan lebih baik lagi baginya bila ia juga meyakini bahwa ia akan mencapai tujuannya tanpa harus keluar dari kondisi tersebut.
  • 25. Halaman _ 25 Lain lagi halnya jika ia berada dalam kondisi yang tidak sesuai dengan syara'. Dalam hal ini, ia harus segera keluar dari kondisi tersebut dan meminta Tuhannya agar memindahkannya ke kondisi yang lebih diridhai-Nya. Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah. Jumat, 07 September 2018 Kitab al-Hikam (Pasal 19) : Menunda Amal Saleh Termasuk Sikap Bodoh Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama). (Pasal 19) 1. Menunda amal karena menunggu waktu yang luang termasuk tanda kebodohan. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). JIKA SEORANG murid menunda-nunda amal yang bisa mendekatkannya kepada Tuhannya karena merasa tidak memiliki waktu luang di sela-sela kesibukan dunianya, tindakan itu merupakan tanda kebodohan jiwanya. Disebut bodoh karena ia telah menunda amalnya dengan menunggu waktu luang. Padahal, bisa jadi, alih-alih mendapatkan waktu luang untuk beramal ibadah, justru ajal yang menjemputnya tiba-tiba. Bisa jadi juga, justru kesibukannya semakin bertambah karena kesibukan dunia pasti akan terus bertumpuk sebab satu sama lain saling berkaitan. Bahkan, andai kata ia mendapatkan waktu luang, tentu tekad dan niatnya pun sudah melemah. Oleh karena itu, sepatutnya ia segera bangkit melakukan amal-amal yang mendekatkan dirinya kepada Tuhannya sebelum terlambat. Pepatah mengatakan, "Waktu ibarat pedang. Jika kau tidak bisa menggunakanya, niscaya ia akan menebasmu." Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah. Jumat, 07 September 2018 Kitab al-Hikam (Pasal 20) : Rahasia Ilahi Bukanlah Tujuan Utama Orang 'Arif Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama). (Pasal 20) 1. Di saat tekad seorang salik ingin berhenti pada apa yang tersingkap baginya, suara-suara hakikat pun memperingatkannya, "Yang kau cari ada di depanmu!" Dan di saat pesona alam tampak menggoda, hakikat-hakikatnya pun berujar, "Kami hanyalah ujian maka jangan kau kufur!." (Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
  • 26. Halaman _ 26 TEKAD SEORANG salik (peniti jalan menuju Allah) tidak akan berhenti setelah mendapatkan makrifat, rahasia, dan cahaya-cahaya Ilahi. Ia tidak akan memandang bahwa makrifat, ahwal, dan maqam yang telah diraihnya merupakan tujuan utama dan akhir dari perjalanannya. Bisikan- bisikan hakikat Ilahi akan menyeru hatinya agar tidak berhenti sampai di situ, "Karena apa yang kau cari ada di depanmu!." Apa yang dicari dan diinginkan seorang salik adalah "Sampai kepada Tuhannya". Bukan sampai kepada sesuatu selain-Nya. Saat dunia menebar pesonanya, ia akan berseru dengan suara yang tak kau dengar, "Kami hanya ujian dan cobaan maka jangan kau tertipu oleh kami dan jangan berhenti sampai di sini. Jangan jadikan dirimu budak kami sehingga kau akan terhalang dari Allah karena sikap semacam ini sama saja dengan kufur terhadap nikmat Tuhan Pemberi nikmat." Syukur atas nikmat Tuhan diwujudkan dengan cara menemui dan mendatangi Tuhan Yang Memberi nikmat, sedangkan sikap berpaling dari nikmat, namun di saat yang sama tetap menikmati nikmat tersebut, adalah cerminan sikap tidak tahu diri di hadapan Tuhan. Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah. Jumat, 07 September 2018 Kitab al-Hikam (Pasal 21-23) : Empat Sikap Perilaku Hamba saat Berhubungan dengan-Nya Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama). (Pasal 21) 1. Meminta kepada Allah berarti menuduh-Nya. Mencari Allah berarti menggibah-Nya. Mencari selain Allah pertanda tak punya malu kepada-Nya dan meminta kepada selain Allah pertanda jauh dari-Nya. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). DALAM PERJALANANNYA menuju Allah, seorang murid harus sibuk melakukan amal-amal saleh yang diridhai Tuhannya. Hatinya tidak boleh sibuk mencari sesuatu yang lain karena itu tercela dan bisa memutus jalannya menuju Allah. Bila kau meminta kepada Allah agar Dia memberimu rezeki dan makanan yang dapat membantumu berjalan atau agar Dia meluaskan rezekimu, sama dengan menuduh-Nya tidak pernah memberimu rezeki. Jika kau percaya bahwa Dia Maha Mengetahui kebutuhanmu dan Maha Kuasa memberimu tanpa kau minta, tentu kau tidak akan meminta sesuatu pun dari-Nya. Bila kau mencari-cari Allah agar kau didekatkan kepada-Nya, dihilangkan hijab antara dirimu dengan-Nya, dan dapat melihat-Nya dengan mata hatimu, tindakan ini sama saja dengan melakukan gibah terhadap-Nya (membicarakan-Nya di belakang) karena Dzat Yang Maha Hadir tidak perlu lagi dicari-cari.
  • 27. Halaman _ 27 Bila kau mencari selain Tuhanmu, baik itu berupa harta, kedudukan, kehormatan, maupun yang lainnya, itu membuktikan sedikitnya rasa malumu kepada-Nya. Jika kau malu kepada-Nya, tentu kau tidak akan mencari selain-Nya. Bila kau meminta kepada selain-Nya, seperti meminta kepada seorang manusia untuk mengatasi persoalan-persoalanmu dan saat meminta itu kau lupa kepada Tuhanmu, itu menandakan bahwa kau begitu jauh dari-Nya. Jika kau dekat dengan-Nya, pasti kau akan jauh dari selain-Nya. Sekiranya kau menyadari kedekatan-Nya denganmu, niscaya kau akan menghindari mahluk- mahluk-Nya. Namun, karena kejauhanmu dengan-Nya, kau merasa butuh kepada selain-Nya untuk kau jadikan tempat berlindung dan meminta. Bagi kalangan murid, meminta kepada Sang Khalik adalah hal yang lumrah. Bahkan, meminta kepada mahluk pun adalah hal yang wajar, kecuali meminta dalam kerangka ibadah, etika, mengikuti perintah, atau menyatakan kebutuhan. Sementara itu, orang-orang 'arif hanya memandang kepada Allah. Permintaan mereka, walaupun secara lahir tampak kepada mahluk, namun sebenarnya kepada Sang Khalik. (Pasal 22) 2. Pada setiap desahan napas yang kau hembuskan terdapat takdir Allah yang telah ditetapkan. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). SETIAP NAPAS yang keluar darimu telah ditakdirkan Allah, baik yang terkandung di dalamnya ketaatan, maksiat, nikmat, maupun petaka. Setiap napas yang keluar darimu adalah satu dari sekian takdir Allah untukmu, siapapun dirimu. Oleh karena itu, kau harus tetap menjaga kesopananmu di hadapan-Nya dan menyadari bahwa Dia selalu mengawasimu dalam setiap desahan napasmu. Dengan begitu, di setiap napas, kau menjadi seorang salik yang ingin meniti jalan menuju Allah. Inilah makna ungkapan "Jalan menuju Allah sebanyak desahan napas seluruh mahluk." (Pasal 23) 3. Jangan menanti-nanti hilangnya kecenderungan-kecenderungan kepada dunia. Karena hal itu dapat membuatmu lupa akan adanya pengawasan Allah atas ahwal yang telah ditetapkan-Nya untukmu. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). KECENDERUNGAN-KECENDERUNGAN kepada dunia memang merupakan kegelapan yang dapat menghalangi hati dari melihat Tuhan. Namun demikian, jangan pula kau menanti-nanti dan bertanya-tanya kapan kecenderungan-kecenderungan itu bisa hilang secara total dari hatimu. Sebab, hal ini bisa membuatmu lupa bahwa kondisi (ahwal) yang telah ditetapkan untukmu saat ini, yakni berupa amal-amal yang bisa mengantarkanmu kepada-Nya, adalah berada dalam pengawasan-Nya.
  • 28. Halaman _ 28 Yang dituntut dari dirimu ialah senantiasa istiqamah dalam menjalani kebiasaanmu dan tetap merasa diawasi Allah. Jangan kau sibuk dengan segala hal yang masuk ke dalam hatimu, baik berupa kegelapan maupun cahaya karena hal itu justru akan memutusmu dari kebiasaanmu. Dianggap memutus karena jiwamu selalu dibayangi keraguan, "Kalau benar aku ini ahli iradah, tentunya kecenderungan-kecenderungan kepada dunia ini tidak mungkin lagi masuk ke dalam hatiku, apalagi dengan banyaknya ibadah yang sudah kulakukan selama ini." Sehingga hatimu sibuk dengan bisikan dan gangguan ini. Mungkin ia terus membisikimu agar kau melupakan apa yang menjadi tujuanmu atau agar kau meninggalkan amal saleh. Biasanya, sebab kemunculan kecenderungan-kecenderungan kepada dunia ini adalah kotoran- kotoran keduniaan yang menghampiri hatimu. Dan ini adalah persoalan yang mau tidak mau harus kau hadapi. Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah. Jumat, 07 September 2018 Kitab al-Hikam (Pasal 24) : Jangan Merasa Aneh dengan Kesuraman Hidup di Dunia Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama). (Pasal 24) 1. Jangan merasa aneh dengan terjadinya penderitaan-penderitaan selama kau masih hidup di dunia ini karena dunia hanya akan menampakkan apa yang mesti ditampakkannya. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). DI ANTARA hal yang lazim terjadi di dunia adalah derita dan kesulitan. Dunia ini diciptakan sebagai tempat kebendaan dan gudang penderitaan agar kau menjauhkan dirimu dari sana. Ja'far ash-Shadiq berkata, " Siapa yang mencari apa yang belum diciptakan berarti menyiksa dirinya sendiri karena ia mencari sesuatu yang tak akan pernah didapatkannya." Ia lalu ditanya, "Apa gerangan yang tak akan pernah didapatkannya?." Ia memjawab, "Kenyamanan di dunia." Oleh karena itu, seorang murid yang tulus tidak boleh melirik dunia. Ia harus terus semangat dalam meniti jalannya agar mentari makrifat terbit kepadanya sehingga tipuan benda-benda duniawi itu hilang dari pandangannya dan penderitaan akan sirna dengan kesempatannya melihat Tuhan Yang Maha Mulia dan Pengampun. Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
  • 29. Halaman _ 29 Sabtu, 08 September 2018 Kitab al-Hikam (Pasal 25-27) : Mintalah kepada Allah, Pasti Terkabul Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama). (Pasal 25) 1. Apa yang kau minta tak akan terhalang selama kau memintanya kepada Tuhanmu. Namun, apa yang kau minta tak akan datang selama kau mengandalkan dirimu sendiri. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). PERMINTAAN YANG dimaksud pada hikmah ini bersifat umum, meliputi semua permintaan, baik itu yang berkaitan dengan dunia maupun akhirat. Apa yang kau minta dan inginkan tidak akan terhalang selama dalam mencarinya kau tetap memerhatikan Tuhanmu, menghadirkan-Nya dalam hatimu, dan bersandar kepada-Nya agar memudahkan permintaan dan urusanmu. Namun, permintaan itu sulit kau raih bila kau lalai dari-Nya dan bersandar kepada orang-orang sekitarmu atau pada kekuatanmu sendiri. Barang siapa menyerahkan segala kebutuhannya kepada Allah, berlindung dan bertawakal kepada-Nya, Allah akan mencukupi kebutuhannya, mendekatkan yang jauh darinya, dan memudahkan segala yang sulit baginya. Barang siapa yang mengandalkan ilmu dan akalnya serta bersandar pada kekuatan dan kemampuannya, Allah akan mempersulitnya dan membuatnya gagal. Apa yang diinginkan dan dibutuhkannya itu tidak akan mudah didapatkan dan sulit diwujudkan. (Pasal 26) 2. Di antara tanda keberhasilan di akhir adalah kembali kepada Allah di awal. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). LANGKAH AWAL seorang murid patut diperbaiki demi memperbesar kemungkinannya untuk sampai hingga akhir perjalanannya. Siapa yang memperbaiki dan meluruskan langkah awalnya dengan kembali kepada Allah dan tawakal kepada-Nya serta memohon pertolongan-Nya, bukan bergantung pada amalnya yang kurang sempurna, pada akhirnya ia akan sukses dan berhasil. Ia akan sampai pada tujuan akhirnya dan tidak akan goyah di perjalanannya. Barang siapa yang tidak melakukan hal itu maka di tengah jalan ia akan berhenti dan pulang kembali ke tempat pemberangkatannya semula. Seorang 'Arif berkata, "Siapa yang mengira bahwa ia telah sampai kepada Allah tanpa bantuan- Nya maka ia akan terhenti di jalan. Siapa yang memohon bantuan dirinya sendiri dalam beribadah kepada Allah maka ia akan bergantung pada dirinya sendiri. (Pasal 27) 3. Siapa yang bersinar di awal, akan bersinar pula di akhir.
  • 30. Halaman _ 30 (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). SIAPA YANG awalnya cerah dan bersinar, misalnya dengan mengisi waktu-waktunya dengan bermacam ketaatan, wirid, dan bersabar sepenuh hati dalam menjalaninya, maka akhir perjalanannya akan bersinar pula. Bersinar karena memancarnya berbagai nur dan makrifat kepadanya dan hilangnya berbagai kekeruhan jiwa yang menjadi penghalang antara dirinya dengan Tuhannya. Demikian pula sebaliknya, siapa yang usahanya kurang di awal maka di akhir ia tidak akan mendapatkan kegemilangan. Sekiranya ia diberikan keberhasilan, keberhasilan itu lebih lemah daripada yang lain. Bisa jadi, pengertian "bersinar di awal" di sini ialah kembali kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya. Adapun makna "bersinar di akhir" ialah berhasil sampai kepada- Nya. Ini sesuai dengan hikmah sebelumnya. Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah. di September 08, 2018 Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke Twitter Sabtu, 08 September 2018 Kitab al-Hikam (Pasal 28) : Apa yang Disembunyikan Hati akan Terlihat Jejaknya di Wajah Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama). (Pasal 28) 1. Apa yang tersimpan di kedalaman batin akan tampak pada penampilan lahir. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). MAKRIFAT DAN CAHAYA Ilahi yang ditetapkan Allah di dalam hati seseorang pasti akan muncul pada penampilan lahirnya, pada wajah dan anggota tubuh lainnya. Ini adalah tanda untuk mengenali keadaan seorang murid menuju Allah, karena tampilan lahir adalah cermin dari keadaan batin. Bagi orang-orang yang ingin berteman dan berkumpul dengan seorang murid, penampilan lahirnya ini bisa menjadi pertanda. Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah. ajar Ilmu Dunia dan Akhirat Sabtu, 08 September 2018
  • 31. Halaman _ 31 Kitab al-Hikam (Pasal 29) : Perbedaan Orang yang Menjadikan Allah sebagai Bukti Keberadaan Alam dan Orang yang Menjadikan Alam sebagai Bukti Keberadaan Allah Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama). (Pasal 29) 1. Betapa jauh bedanya antara orang yang berdalil bahwa adanya Allah menunjukkan adanya alam dan orang yang berdalil bahwa adanya alam menunjukkan adanya Allah. Orang yang menyatakan 'adanya Allah menunjukkan adanya alam' adalah orang yang telah mengenal al- Haqq (Allah) dengan kepatutan-Nya. Karena itulah, ia menetapkan keberadaan alam ini dari keberadaan pangkal (Dzat) yang membuatnya ada. Sementara itu, yang berdalil "adanya alam menunjukkan adanya Allah" adalah orang yang belum sampai kepada-Nya. Sebab, sejak kapan Allah itu gaib sehingga Dia harus dibuktikan dengan wujud alam dan kapan Allah itu jauh sehingga semesta ini harus menjadi pengantar menuju-Nya?. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). ORANG-ORANG yang dekat kepada Allah ada dua golongan, yaitu murad (yang dikehendaki Allah) atau majdzub (yang ditarik Allah untuk didekatkan kepada-Nya) dan murid (yang menghendaki Allah) atau salik (yang meniti jalan menuju Allah). Para murid atau majdzub adalah ahli syuhud. Adapun para murid atau salik, perjalanan mereka menuju Tuhan masih terhalang akibat pandangan mereka terhadap dunia dan alam semesta. Di mata mereka, semesta teramat lahir, sedangkan Allah itu gaib. Merek tidak melihat-Nya, karena itu mereka berdalil bahwa wujud alam semesta ini membuktikan wujud Allah. Sementara itu, para murid atau majdzub, mereka langsung didekati Allah dengan Wajah-Nya Yang Mulia. Allah akan mengenalkan Diri-Nya kepada mereka. Karena itu, mereka pun akan mengenali-Nya. Semua mahluk dan alam semesta akan hilang dari pandangan mereka karena mereka berdalil bahwa wujud Allah adalah bukti dari wujud semesta. Mereka itulah kaum 'arif. Mereka termasuk orang-orang yang didekatkan Allah kepada-Nya. Namun, karena sikap istiqamah mereka terhadap kondisi mereka, tanda didekatkannya mereka kepada Allah (jadzab) tidak tampak pada diri mereka. Oleh sebab itu, ada yang mengatakan, "Akhir perjalanan seorang salik adalah awal perjalanan seorang majdzub." Manusia yang paling kuat jadzab-nya adalah para nabi dan rasul. Inilah perbedaan antara dua kelompok tersebut. Orang yang menggunakan Allah sebagai dalil wujud alam akan mengenal Allah sebagai wujud yang wajib. Dengan kata lain, wujud itu milik Allah semata. Adapun benda-benda yang hadits (baru), aslinya tidak berwujud. Oleh karena itu, mereka menetapkan bahwa semua yang hadits berasal dari wujud asal, yaitu Allah SWT. Mereka menganggap bahwa wujud makhluk
  • 32. Halaman _ 32 bersumber dari wujud Khalik yang tampak pada diri makhluk. Jika tidak, makhluk itu tidak akan ada. Demikian menurut pandangan ahli syuhud. Berbeda halnya dengan orang yang menggunakan alam untuk membuktikan wujud Allah. Ia menggunakan sesuatu yang tidak diketahui (majhul) sebagai dalil untuk membuktikan perkara yang sudah diketahui (ma'lum), menggunakan ketiadaan ('adam) untuk membuktikan keberadaan (wujud), atau menggunakan perkara yang tersembunyi (khafiy) untuk membuktikan hal yang lahir dan nyata. Hal itu dikarenakan adanya hijab pada diri orang tersebut sehingga ia lebih suka menelusuri sebab-sebab daripada mencari Sang Pembuat Sebab. Sejak kapan Allah gaib sehingga Dia harus dibuktikan dengan sesuatu yang hadir? Sejak kapan Allah jauh sehingga alam semesta inilah yang akan mendekatkan kita kepada-Nya, padahal alam semesta ini tadinya tidak berwujud? Demikian pertanyaan yang diajukan para ahli syuhud. Sementara itu, orang-orang mahjub (yang terhalang dari-Nya) menjadikan alam semesta sebagai bukti wujud Allah. Mereka terbagi ke dalam dua golongan, yaitu kaum awam dan para salik yang belum mencapai maqam ahli syuhud. Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah. Sabtu, 08 September 2018 Kitab al-Hikam (Pasal 30-32) : Perbedaan Salik yang Diterangi Cahaya Tawajjuh dan Washil yang Didatangi Cahaya-Cahaya Muwajahah Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama). (Pasal 30) 1. "Hendaklah orang yang diberi keluasan rezeki (yaitu orang yang telah sampai kepada Allah) memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya (yaitu orang yang tengah menuju Allah) hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya." (QS. ath-Thalaq [65]: 7). (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). "HENDAKLAH ORANG yang diberi keluasan rezeki memberi nafkah menurut kemampuannya." ini adalah gambaran tentang kondisi orang-orang yang telah sampai kepada Allah. Yakni orang-orang yang telah terbebas dari penjara pandangan keduniaan, dan telah sampai kepada alam tauhid dan kesempurnaan mata batin. Karena itulah, mereka dianugerahi rezeki berupa berbagi ilmu dan rahasia Ilahi serta pandangan yang luas dan jauh ke depan. Sehingga, mereka pun dibebaskan untuk membantu orang lain, dengan mengajarkan ilmu dan pemahaman mereka, sekehendak hati mereka. Sementara itu, orang yang disempitkan rezekinya adalah orang-orang yang sedang menuju kepada-Nya. Mereka tidak diberi keluasan rezeki berupa ilmu dan pemahaman. Mereka masih terkungkung dalam ruang sempit khayalan dan imajinasi. Sekalipun demikian, mereka masih
  • 33. Halaman _ 33 diperbolehkan menafkahkan karunia Allah berupa ilmu dan pemahaman yang sedikit itu kepada orang lain. Namun dengan catatan: sebatas apa yang Allah ajarkan kepada mereka. (Pasal 31) 2. "Orang-orang yang sedang menuju Allah mendapat petunjuk melalui cahaya perjalanan, sedangkan orang-orang yang sudah sampai kepada-Nya mendapat petunjuk melalui cahaya pertemuan dengan-Nya. Golongan pertama mendatangi cahaya, sedangkan golongan kedua didatangi oleh cahaya. Allah SWT. Berfirman, "Katakanlah 'Allah', lalu biarkan mereka bermain-main dalam kesibukannya"." (QS. al-An'am [6]: 92). (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). CAHAYA YANG DIDAPAT golongan pertama ialah cahaya yang didapat dari ibadah dan riyadhah (olah batin) yang dijadikannya sebagai jalan menuju Allah karena biasanya perjuangan akan membuahkan cahaya di dalam hati. Dengan cahaya itu, mereka akan berjalan menuju Allah. Adapun untuk golongan kedua, justru cahaya Allahlah yang mendatangi mereka sehingga mereka akan mudah mengenali Allah tanpa perjuangan dan susah payah. Golongan pertama akan menjadi budak cahaya dan amat membutuhkannya untuk sampai kepada tujuan dan keinginan mereka. Sementara itu, golongan kedua akan dengan sendirinya didatangi cahaya itu sehingga ia tidak perlu bersusah payah dalam mendapatkannya. Adapun maksud firman "Katakan Allah" ialah menghadaplah kepada-Nya semata dan jangan cenderung kepada cahaya-cahaya atau hal-hal selian-Nya. Kemudian, maksud "biarkan mereka bermain-main dalam kesibukannya" ialah bahwa tindakan memurnikan tauhid, setelah menyingkirkan kebendaan, merupakan sikap yang didasari haqqul yaqin (keyakinan yang kokoh), sedangkan melihat kepada selain Allah hanyalah permainan dan leha-leha. Tentu itu adalah sifat orang-orang mahjub (terhalang). (Pasal 32) 3. Usahamu untuk mencari-cari kekurangan yang tersembunyi di dalam dirimu lebih baik daripada usahamu untuk menyibak tirai gaib yang terhijab bagimu. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). CONTOH KEKURANGAN diri ialah sifat Riya', tingkah laku tidak sopan, bermuka dua, suka jabatan, dan haus akan kedudukan. Maknanya, kau harus mengarahkan tekadmu untuk menghapus semua keburukan itu dengan riyadhah dan mujahadah, serta berusaha untuk terbebas darinya. Upaya ini biasanya harus di bawah bimbingan seorang guru. Langkah di atas lebih baik daripada usahamu dalam menelusuri takdir yang terselubung, pelajaran yang tersembunyi, rahasia-rahasia Ilahi, ilmu laduni atau karamah. Biasanya, itu semua ditujukan demi kepuasan dirimu, bukan demi mencari ridha Tuhanmu.
  • 34. Halaman _ 34 Oleh karena itu, jangan kau cari semua itu dengan amalan-amalanmu. Jangan sibukkan hatimu dengannya. Jangan pula berhenti di tempat munculnya karamah tersebut karena hal itu justru akan mengurangi ibadahmu. Oleh sebab itu, orang-orang berkata, "Jadilah pencari istiqamah, jangan menjadi pencari karamah." Jiwamu selalu bergerak dan berkeinginan mencari karamah, padahal Tuhanmu menuntutmu untuk istiqamah. Untuk itu, menunaikan hak Tuhanmu lebih baik ketimbang kau menunaikan keinginanmu sendiri. Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah. Senin, 10 September 2018 Kitab al-Hikam (Pasal 33) : Tidak Ada Sesuatu pun yang Menghijabi Allah, Manusialah yang Terhijab dari Allah Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama). (Pasal 33) 1. Yang Maha Haq (Allah) tidaklah terhijab. Yang terhijab adalah pandanganmu sehingga kau tak bisa melihat-Nya karena jika Dia dikatakan terhijab, itu artinya, sesuatu menutupi-Nya. Jika Dia tertutupi sesuatu, itu artinya, wujud-Nya terbatas. Segala sesuatu yang terbatas adalah lemah, padahal, "Dia adalah Maha Kuasa (qahir) atas segala sesuatu." (QS. al-An'am [6]: 18). (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). TERHIJAB BUKANLAH sifat Allah SWT. Yang memiliki sifat terhijab hanyalah dirimu sendiri. Jika kau ingin sampai kepada-Nya, kau harus mencari dan mengobati semua kekuranganmu, niscaya kau akan sampai kepada-Nya dan melihat-Nya dengan mata batinmu. Hikmah di atas menepis anggapan yang menyatakan bahwa tidak mustahil Allah terhalang oleh hijab karena hijab biasa digunakan oleh para pembesar atau raja untuk memperlihatkan keagungan dan kemuliaannya. Jawaban terhadap anggapan ini adalah, sekiranya Allah terhijab oleh sesuatu, seperti halnya para pembesar dan raja, niscaya Allah terkurung di dalam hijab itu, terpenjara dan terbatas ruang geraknya. Tentu hal itu tidak mungkin terjadi pada Allah SWT., berdasarkan firman-Nya, "Dan dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui." (QS. al-An'am [6]: 18) Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah. Selasa, 11 September 2018 Kitab al-Hikam (Pasal 34) : Perintah Agama tentang Sifat-sifat Manusia
  • 35. Halaman _ 35 Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama). (Pasal 34) 1. Keluarkanlah sifat-sifat kemanusiaanmu yang bertentangan dengan kehambaanmu agar kau mudah menyambut panggilan Yang Haq (Allah) dan dekat dengan-Nya. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). KELUARKANLAH DARI DIRIMU sifat-sifat kemanusiaan yang tercela dengan riyadhah dan mujahadah; baik itu sifat-sifat tercela yang lahir (seperti suka melakukan gibah, mengadu domba, membunuh, dan merampas) maupun yang batin (seperti sombong, ujub, riya', sum'ah [ingin terkenal], dengki, gila kehormatan, gila harta, dan sebagainya). Jauhkan dirimu dari sifat-sifat yang bertentangan dari predikat kehambaanmu agar kau mudah menjawab seruan Yang Haq. Ketika kau berhasil mengeluarkan sifat-sifat tercelamu dan menyisakan sifat-sifat baikmu (seperti tawadhu' [rendah hati] karena Allah, khusyuk di hadapan- Nya, mengagungkan perintah-Nya, menjaga hukum-hukum-Nya, takut kepada-Nya, dan ikhlas dalam menyembah-Nya), maka di saat datang seruan kepadamu, "Wahai hambaku!" kau pun akan dengan mudahnya menjawab, "Labbaik, Tuhanku!" kau pun akan tulus dan ikhlas dalam menjawab seruan itu karena sifat-sifat yang bertentangan dengan kehambaanmu itu telah hilang darimu. Kau pun akan dekat dengan-Nya sehingga Dia akan menjagamu dari dosa (mahfuzh) dan memudahkan segala amalmu yang kelak akan kau nikmati hasilnya. Ada perbedaan makna antara mahfuzh (terjaga dari dosa) dengan lafal ma'shum (terlindungi dari dosa). Bedanya adalah, ma'shum sama sekali tidak pernah menyentuh dosa, sedangkan mahfuzh terkadang melakukan kesalahan dan kekeliruan, tetapi tidak selamanya demikian. Saat keliru, seorang yang mahfuzh akan langsung bertobat. Ketahuilah, di mata ahli tarekat, menjauhi sifat buruk dan memiliki sifat mulia merupakan hakikat dan tujuan dari suluk. Hal itu tidak akan bisa diraih, kecuali oleh orang yang diberi taufik dan bimbingan Allah untuk mengenali dirinya sendiri dan mengetahui sifat-sifat buruknya. Karena siapa yang sudah mengenali dirinya dan sifat-sifat buruknya, ia akan waspada dan berusaha menghindari sifat-sifat buruknya. Jika tidak demikian, secara tidak disadarinya, ia akan terjerumus ke dalam hal-hal yang dibenci Tuhannya. Sumber : Kitab Al-Hikam Terjemah. Minggu, 16 September 2018 Kitab al-Hikam (Pasal 35-39) : Pangkal Setiap Kelalaian dan Maksiat adalah Merasa Puas Diri Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama). (Pasal 35) 1. Pangkal segala maksiat, kelalaian, dan syahwat adalah sikap puas terhadap diri sendiri.
  • 36. Halaman _ 36 Pangkal segala ketaatan, kesadaran, dan kesucian adalah sikap tidak puas dengan keadaan diri sendiri. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). MAKSIAT BERARTI menentang semua perintah dan larangan Allah. Kelalaian berarti hati tidak waspada dan tidak sadar tentang kehadiran Allah. Adapun syahwat berarti ketergantungan terhadap sesuatu yang menyibukkan diri dan membuat lupa dari Allah SWT. Menurut orang-orang 'arif, sebab dari segala maksiat adalah sikap puas terhadap keadaan diri sendiri. Sikap tersebut akan selalu mendorong seseorang berusaha menutup-nutupi aib dan kesalahannya sehingga yang buruk akan dijadikannya baik. Siapa yang puas dengan keadaan dirinya akan menganggap baik semua kondisi pribadinya dan merasa nyaman dengan semua kondisi itu. Siapa yang menganggap baik semua kondisi pribadinya akan lalai dari Allah. Sehingga, hatinya tidak lagi mampu mengawasi dan mengendalikan bisikan-bisikan syahwatnya. Akibatnya, ia dikuasai oleh syahwat. Siapa yang dikuasai oleh syahwat, tentu akan mudah terjerumus pada maksiat. Adapun ketaatan berarti melaksanakan segala perintah dan larangan Allah. Kesadaran berarti perasaan tentang kehadiran Tuhan dan hal-hal yang diridlai-Nya. Kesucian berarti ketinggian tekad dan kebersihannya dari syahwat. Pangkal dari segala ketaatan dan kesadaran adalah sikap tidak puas dengan keadaan diri sendiri, ia tidak akan menganggap baik semua kondisinya dan tidak akan tenang dengan semua itu. Barang siapa memiliki sifat seperti ini maka ia akan selalu sadar dan waspada terhadap segala yang datang dan menyerang. Dengan sikap waspada dan sadar ini, ia dapat menyelidiki dan mendeteksi secara dini bisikan- bisikan hatinya. Saat itu, api syahwatnya akan padam sehingga tidak bisa menguasai dirinya. Buahnya, ia akan menjadi suci. Dengan demikian, ia akan menjauhi semua larangan Allah dan menaati semua perintah-Nya. Itulah makna taat kepada Allah. Sikap puas terhadap keadaan diri sendiri adalah sikap orang-orang yang mempelajari ilmu lahir yang tidak mau mengakui aib diri sendiri. Oleh karena itu, Ibnu Atha'illah melarang kita untuk berteman dengan orang-orang semacam ini. (Pasal 36) 2. Berteman dengan orang bodoh yang tidak puas dengan keadaan dirinya lebih baik bagimu daripada berteman dengan orang berilmu yang puas dengan keadaan dirinya. Di mana letak berilmunya orang berilmu yang puas dengan dirinya itu? Di mana pula letak bodohnya orang bodoh yang tidak puas terhadap dirinya itu?. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). ORANG BODOH IALAH orang yang tidak memiliki ilmu lahir. Tidak puas dengan keadaan diri sendiri, misalnya dengan menganggap dirinya hina atau menyadari kekurangannya.
  • 37. Halaman _ 37 Tidaklah baik berteman dengan seorang yang puas dengan keadaan dirinya sendiri walaupun ia seorang yang alim (orang berilmu). Bagaimanapun, pertemanan dapat mendatangkan pengaruh yang besar padamu. Ketika kau berteman dengan alim yang sudah berpuas diri, kau bisa mendapatkan sifat buruknya sehingga ilmunya tidak berguna bagimu dalam melembutkan jiwamu. Kebodohan yang membuat orang alim puas diri itulah yang berbahaya bagimu. Seakan ia bukan orang yang berilmu karena rela dengan aib yang dimiliki dirinya. Sebaliknya, berteman dengan orang bodoh yang tidak puas dengan keadaan dirinya lebih baik dan lebih bermanfaat bagimu. Biasanya, tabiat seseorang didapat dari tabiat orang lain; nafsu selalu terdorong untuk mengikuti orang yang dianggap baik kondisinya. Oleh karena itu, kebodohan orang bodoh tidak akan berbahaya bagimu. Namun, ilmunya yang membuatnya tidak puas terhadap keadaan dirinya justru amat berguna bagimu. Seakan ia bukan orang bodoh karena mengetahui kekurangan dirinya sampai tidak merasa puas terhadap dirinya. Dengan demikian, orang bodoh yang tahu kekurangan dirinya bisa disebut orang yang memiliki ilmu. Oleh karena itu, bergaul dengan orang bodoh seperti ini akan bermanfaat dan lebih baik bagimu. (Pasal 37) 3. "Sinar mata hati" membuatmu menyaksikan kedekatan-Nya denganmu. "Penglihatan mata hati" membuatmu menyaksikan ketiadaanmu karena keberadaan-Nya. "Hakikat mata hati" membuatmu membuatmu menyaksikan keberadaan-Nya, bukan ketiadaanmu dan bukan pula keberadaanmu. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). SINAR MATA HATI sering disebut dengan cahaya akal dan 'ilmul yaqin. Penglihatan mata hati sering disebut dengan cahaya ilmu dan 'ainul yaqin. Hakikat mata hati sering disebut dengan cahaya kebenaran dan haqqul yaqin. Cahaya-cahaya Ilahi tersebut akan menyinari hati seorang salik. Setiap cahaya tersebut memiliki buah dan manfaatnya sendiri-sendiri. Seseorang berkata, "Seorang hamba tidak akan sampai pada hakikat tawadhu', kecuali saat terpancarnya cahaya musyahadah dari hatinya." Saat itu, nafsunya akan larut dan tunduk pada Sang Khalik dan bersikap rendah hati di hadapan makhluk. Melalui hikmah ini, Ibnu Atha'illah menjelaskan bahwa orang yang terbuka dengan cahaya pertama akan merasa kedekatan Allah. Ia akan selalu sadar pengawasan Allah dan malu kepada- Nya. Ia merasa bahwa pandangan Allah tidak pernah luput darinya, baik itu di saat ia melaksanakan perintah-Nya maupun di saat menjauhi larangan-Nya. Orang yang terbuka dengan cahaya kedua akan merasa ketiadaan segala yang wujud karena wujud Tuhan Yang Maha Haq. Ia akan melihat bahwa alam semesta ini tidak ada tidak memedulikannya lagi karena wujud alam semesta ini hanyalah akibat dari wujud Yang Maha Maujud. Wujud hakiki hanyalah milik Allah SWT. Dalam pandangannya, tak ada lagi yang dijadikan sandaran atau tempat berkeluh kesah, kecuali Allah. Ia hanya akan bertwakal kepada- Nya, ridla, dan memasrahkan diri kepada-Nya.
  • 38. Halaman _ 38 Sementara itu, orang yang terbuka dengan cahaya ketiga akan memiliki dzat dan jiwa yang suci. Ia akan merasa kefanaan secara total. Kefanaan yang abadi karena luluh dengan wujud Tuhannya. Rahasia-rahasia Ilahi pun terkuak di hadapannya. Jika ia naik dari kefanaan total itu, ia akan menempati maqam keabadian. Penulis al-'Awarif berkata, "Orang yang abadi di satu maqam tidak akan dihalangi Allah dari makhluk dan tidak akan dihalangi makhluk dari Allah, sedangkan orang yang fana akan terhalangi oleh Yang Maha Haq dari makhluk." (Pasal 38) 4. Allah telah ada dan tiada sesuatu pun di samping-Nya; kini Dia masih tetap sebagaimana ada-Nya semula. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). INI ADALAH kondisi orang yang menduduki maqam kefanaan. Ia tidak lagi melihat selain Tuhannya (musyahid). Dalam pandangannya, Tuhan masih tetap sebagaimana ada-Nya semula. Seorang musyahid meyakini bahwa wujud hakiki hanya milik Allah SWT., sedangkan selain- Nya tidak memiliki wujud. Sifat wujud itulah yang melekat pada Allah SWT. Sekarang dan sebelum musyahid itu mengetahuinya. Ketidaktahuan musyahid tentang Tuhan sebelum itu tak lain karena adanya hijab. (Pasal 39) 5. Jangan sampai tekadmu tertuju kepada selain-Nya karena Tuhan Yang Maha Mulia (karim) tidak mungkin akan terlampaui oleh harapan dan angan. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). JANGAN SAMPAI kau menuju kepada selain Allah dalam memenuhi kebutuhanmu. Akan tetapi, ungkapkan hajatmu kepada-Nya dan mintalah dari-Nya. Tekad yang tinggi selalu mencari pemenuhan kebutuhannya kepada sosok yang mulia; dan tak ada yang benar-benar mulia, kecuali Allah SWT. Setiap orang yang mulia, jika sudah menetapkan sesuatu, pasti akan memenuhinya; jika berjanji, akan menepatinya; jika memberi, akan menambahkan pemberiannya melebihi harapan. Dia tidak peduli berapa banyak dan kepada siapa dia memberi. Dia tidak mengurangi dan tidak pernah mengecewakan siapapun yang berlindung kepadanya. Dia akan mencukupinya dengan segala pertolongan. Sifat-sifat ini tidak dimiliki selain oleh Allah SWT. Karena itu, selayaknya harapan dan asa para pengharap tidak boleh melewatinya dan menuju kepada selain-Nya. Ketahuilah bahwa meminta kepada makhluk dianggap bertentangan dengan 'ubudiyyah (penghambaan di hadapan-Nya) bila didasari oleh rasa bergantung pada makhluk dan lalai untuk meminta kepada Allah. Lain halnya bila permintaan tersebut diiringi dengan keyakinan bahwa makhluk yang dimintainya hanyalah wasilah (perantara), tetapi sebenarnya memberi adalah Allah sebagai satu-satunya tempat bergantung. Ini tidak bertentangan dengan 'Ubudiyyah.
  • 39. Halaman _ 39 Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah. Minggu, 16 September 2018 Kitab al-Hikam (Pasal 40) : Setiap Perkara yang Menimpa Manusia Ditujukan agar Manusia Bersandar kepada Allah Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama). (Pasal 40) 1. Jangan mengadukan musibah kepada selain Allah. Karena Allah semata yang menurunkannya. Bagaimana mungkin selain Allah dapat mengangkat musibah yang telah ditetapkan-Nya? Bagaimana mungkin orang yang tidak bisa mengangkat musibah dari dirinya sendiri bisa mengangkat musibah dari orang lain?. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). JIKA ADA musibah yang menimpamu, jangan kau meminta kepada selain Allah untuk menghilangkannya karena yang menurunkan musibah itu adalah Allah. Ingat, Allahlah Yang Unggul dan tak ada yang bisa mengalahkan-Nya. Orang yang tak bisa mengangkat musibahnya sendiri mustahil mampu mengangkat musibah yang menimpa orang lain. Kesimpulannya, siapapun selain Allah, sekalipun itu seorang raja, tidak akan mampu mengangkat musibah orang lain. Selain itu, ia pun tentu lebih mencintai dirinya sendiri daripada orang lain. Demikian pula, jika memang benar ia mampu memberi manfaat kepada orang lain, tentu ia akan mendatangkan manfaat kepada dirinya sendiri terlebih dahulu. Namun kenyataannya, ia tidak mampu mendatangkan itu. Perlu diingat, tak ada kelemahan melebihi kelemahan dalam memberi manfaat kepada diri sendiri. Oleh karena itu, teramat sempit akalmu jika dalam hajat dan musibahmu kau bergantung pada orang yang juga butuh pertolongan seperti dirimu. Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah. di September 16, 2018 Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest Minggu, 16 September 2018 Kitab al-Hikam (Pasal 41-42) : Berbaik Sangka kepada Allah Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
  • 40. Halaman _ 40 (Pasal 41) 1. Jika kau tidak bisa berbaik sangka kepada Allah karena kebaikan sifat-sifat-Nya, berbaik sangkalah kepada-Nya atas kebaikan perlakuan-Nya terhadapmu. Bukankah Dia selalu memberimu yang baik-baik dan mengaruniamu berbagai kenikmatan?. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). DALAM HIKMAH INI, Ibnu Atha'illah mengisyaratkan bahwa dalam berbaik sangka kepada Allah, manusia terbagi menjadi dua golongan: golongan khusus dan golongan awam. Golongan khusus berbaik sangka kepada Allah atas sifat-sifat-Nya yang baik. Sementara itu, golongan umum berbaik sangka kepada Allah atas perlakuan-Nya yang baik terhadap diri mereka, berupa karunia dan nikmat yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Ada perbedaan yang mencolok antara dua maqam tersebut. Ibnu Atha'illah seakan berkata, "Wahai murid, kau harus berbaik sangka kepada Allah secara mutlak, baik itu atas manfaat yang telah diberikan-Nya maupun bahaya yang telah dijauhkan-Nya darimu. Kau tidak boleh berpaling kepada selain-Nya. Jika kau tak sanggup berbaik sangka kepada-Nya menurut maqam orang khusus, kau bisa berbaik sangka kepada-Nya menurut maqam orang awam. Sikap berbaik sangkamu kepada Allah atas kebaikan sifat-sifat-Nya akan menumbuhkan cinta dan tawakal yang benar kepada-Nya. Baik sangkamu kepada-Nya atas perlakuan-Nya yang baik terhadapmu akan membuahkan syukur atas nikmat dan rahmat-Nya." (Pasal 42) 2. Sungguh aneh! Orang menghindar dari sosok yang tak bisa dihindari, lalu mencari sesuatu yang tidak kekal. "Sesungguhnya, mata kepala itu tidak buta, tetapi yang buta adalah mata hati yang ada di dalam dada." (QS. al-Hajj [22]: 46). (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). SUNGGUH MENGHERANKAN! Orang ingin menghindari Allah dengan tidak melakukan apa yang sudah ditetapkan-Nya untuknya dan lebih suka mencari dunia dan perkara-perkara selain- Nya karena mengikuti hawa nafsu. Tindakan seperti ini bersumber dari kebutaan mata hati dan kebodohannya tentang Tuhannya karena ia menukar sesuatu yang teramat baik dengan sesuatu yang hina. Ia juga lebih mengutamakan yang fana daripada yang kekal dan tak bisa dihindarinya. Sekiranya ia memiliki mata hati yang tajam, niscaya ia takkan melakukan hal itu. Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah. Senin, 17 September 2018 Kitab al-Hikam (Pasal 43-44) : Beramal Demi Pahala adalah Berpindah dari Alam ke Alam, dan Perpindahan Terbaik adalah dari Alam ke Pencipta Alam
  • 41. Halaman _ 41 Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama). (Pasal 43) 1. Jangan kau pergi dari satu alam ke alam lain sehingga kau menjadi seperti keledai penggilingan yang berputar-putar; tempat yang ia tuju adalah tempat ia beranjak. Namun, pergilah dari alam menuju Pencipta alam. "Sesungguhnya kepada Tuhanmu puncak segala tujuan." (QS. an-Najm [53]: 42). (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). MAKSUDNYA ADALAH beramal disertai dengan sifat Riya' atau sifat-sifat tercela lainnya dan tidak bernilai syar'i. Jika seorang murid ber-mujahadah, lalu berhasil menjauhi sifat-sifat tercela, tetapi pada saat yang sama ia mengharapkan pahala dan ketinggian derajat atau maqam, ia masih dianggap tercela di mata para 'arif. Yang terpuji adalah yang meniatkan setiap amalnya hanya karena Allah semata. Ibnu Atha'illah mengumpamakan kepergian dari satu alam ke alam lain dengan perjalanan keledai penggilingan yang hanya berputar-putar di tempatnya. Demikian pula dengan amal yang tidak ditujukan karena Allah. Orang yang beramal demi megharap pahala, misalnya, dianggap sebagai orang yang bepergian dari satu alam, yakni alam Riya', menuju alam lain, yakni alam pahala. Semua alam adalah sama; sama-sama materi. Yang benar adalah kau harus pergi dari alam menuju Pencipta alam dengan cara mengikhlaskan amalmu hanya untuk-Nya dan tidak berharap balasan, baik langsung maupun tak langsung. Siapa yang beramal untuk mendapatkan kedudukan atau maqam tertentu maka dia akan menjadi budak kedudukan itu. Siapa yang beramal karena Allah semata maka dia akan menjadi hamba Allah. Ini sama dengan kepergiannya dari alam menuju Pencipta alam. "Sesungguhnya, Tuhanmu adalah puncak segala tujuan." Maksudnya, perjalananmu akan berakhir di hadirat-Nya sehingga keinginanmu terwujud. Sebaliknya, orang yang pergi dari satu alam ke alam lain, perjalanannya tidak akan pernah berujung kepada Allah dan ia tidak pernah akan sampai kepada-Nya. (Pasal 44) 2. Dengarlah sabda Rasulullah, "Siapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin diraihnya atau kepada perempuan yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya." Pahamilah sabda Rasulullah ini dan perhatikan hal tersebut jika kau memiliki kecerdasan dan pemahaman. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). HADIS INI menegaskan makna hikmah sebelumnya. Hadis ini patut diperhatikan dan dicamkan baik-baik, terutama pada bagian akhir, yaitu bahwa hijrah seseorang akan berakhir di tempat yang menjadi tujuan hijrahnya. Maknanya, orang yang hijrahnya kepada dunia saja tidak akan meraih pencapaian dan kedekatan yang diraih oleh orang-orang yang berhijrah kepada Allah dan
  • 42. Halaman _ 42 rasul-Nya. Seakan Rasulullah memperingatkan kita tentang pengaruh buruk dunia dan perempuan terhadap jiwa bila kita terlalu terobsesi pada dunia dan perempuan. Sabda beliau, "Maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya" bermakna pergi dari alam menuju Pencipta alam. Inilah yang dituntut dari seorang hamba. Adapun makna ungkapan, "Maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya" adalah tetap berada di alam, tidaj kemana-mana, dan hanya berputar-putar di tempat. Kesimpulannya, kita dituntut untuk menguatkan tekad, menjauhkan keinginan dari makhluk, dan menggantungkan diri kepada Yang Maha Haq. Tentu, faktor yang bisa memudahkan kita sampai pada maqam ini ialah pergaulan dengan kaum 'arif yang mengenal Allah. Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah. Senin, 17 September 2018 Kitab al-Hikam (Pasal 45-46) : Persahabatan dan Orang yang Pantas Dijadikan Sahabat Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama). (Pasal 45) 1. Jangan kau temani orang yang keadaannya tidak membuatmu bersemangat dan ucapannya tidak membimbingmu ke jalan Allah. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). SEORANG MURID dilarang berteman dengan orang semacam itu sekalipun orang itu adalah ahli ibadah atau ahli zuhud karena dianggap tidak ada gunanya. Sebaliknya, kau disarankan berteman dengan orang yang membuatmu bersemangat dan ucapannya membimbingmu ke jalan Allah. Misalnya, orang yang tekadnya tinggi yang senantiasa bergantung kepada Allah, jauh dari makhluk, atau dalam setiap kebutuhannya tidak bertumpu kecuali kepada Allah dan dalam setiap perkara tidak bertawakal kepada selain-Nya sehingga di matanya seluruh manusia tak berarti apa-apa, tidak bisa mendatangkan bahaya ataupun manfaat. Bahkan, ia menganggap dirinya sendiri rendah dan tak berguna, tidak mampu berbuat sesuatu, dan tidak bisa menentukan nasibnya sendiri. Dalam setiap amalnya, ia tetap berjalan pada jalur syara', tanpa melebih- lebihkannya atau menguranginya. Inilah sifat orang-orang 'arif yang mengenal Allah. Menemani orang-orang seperti itu, walaupun ibadahnya sedikit dan amalan sunnahnya tidak banyak, amat dianjurkan bagi seorang murid karena banyak mendatangkan manfaat, baik dari sisi agama maupun dunia sebab manusia selalu mengikuti tabiat manusia lain. Adapun orang-orang yang tidak memiliki sifat-sifat di atas, kita hanya diperbolehkan bergaul dengan mereka secara lahir, tidak lebih, karena tidak ada gunanya bergaul dengan mereka. Jika
  • 43. Halaman _ 43 mereka sederajat denganmu, pergaulanmu dengan mereka tidak akan mendatangkan bahaya apa- apa bagimu. Namun, jika derajat mereka berada di bawahmu, Ibnu Atha'illah memberikan nasihatnya melaui hikmah berikut. (Pasal 46) 2. Bisa jadi, perbuatan burukmu tampak baik di matamu karena persahabatanmu dengan orang yang lebih buruk daripada dirimu. (Ibnu Atha'illah al-Iskandari). ARTINYA, BERTEMAN dengan orang yang kualitas kebaikannya berada di bawahmu amat berbahaya karena bisa menyamarkan aib dan kekuranganmu. Akibatnya, kau akan selalu berbaik sangka terhadap dirimu sendiri. Kau bangga dengan amalmu dan merasa puas dengan kondisimu sehingga kau rela hati dan selalu melihat kebaikan-kebaikanmu. Itu adalah pangkal segala keburukan. Boleh saja kau berteman dengan orang yang keadaannya tidak membuatmu bersemangat dan ucapannya tidak membimbingmu ke jalan Allah asalkan orang itu sederajat denganmu agar pertemananmu dengannya tidak membahayakanmu. Di sini Ibnu Atha'illah ingin menjelaskan bahwa pertemanan dengan orang-orang 'arif terbagi menjadi dua: pertemanan yang didasari keinginan dan pertemanan yang mengharap berkah. Pertemanan yang didasari keinginan ialah pertemanan yang harus memenuhi syarat-syaratnya. Kesimpulannya, keberadaan seorang murid dengan syekh atau gurunya seperti seonggok mayat di tangan para pemandi mayat. Adapun pertemanan untuk mengharap berkah ialah pertemanan yang tujuannya masuk ke satu kaum dan berpakaian dengan pakaian mereka, serta tunduk pada peraturan mereka. Di sini tidak perlu ada syarat-syarat pertemanan. Yang paling penting adalah ia berpegang pada batasan- batasan syara'. Diharapkan dari pertemanannya dengan kaum itu, ia akan mendapatkan berkah mereka dan bisa sampai ke maqam yang telah mereka raih. Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah. Senin, 17 September 2018 Kitab al-Hikam (Pasal 49) : Zikir adalah Jalan Terdekat Menuju Allah Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama). (Pasal 49) 1. Janganlah kau meninggalkan zikir (mengingat Allah) hanya karena ketidakhadiran hatimu di hadapan Allah saat berzikir! Kelalaianmu dari zikir kepada-Nya lebih buruk daripada kelalaianmu di saat berzikir kepada-Nya. Semoga Allah berkenan mengangkatmu dari zikir yang disertai kelalaian menuju zikir yang disertai kesadaran; dari zikir yang disertai kesadaran