SlideShare a Scribd company logo
1 of 13
Download to read offline
TASAWUF
oleh Harun Nasution
   Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat
melihat-Nya dengan mata hati bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan. Filsafat yang
menjadi dasar pendekatan diri itu adalah, pertama, Tuhan bersifat rohani, maka bagian yang
dapat mendekatkan diri dengan Tuhan adalah roh, bukan jasadnya. Kedua, Tuhan adalah Maha
Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk mendekatiNya adalah roh yang suci. Tasawuf
adalah ilmu yang membahas masalah pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui penyucian
rohnya.


   ASAL KATA SUFI
   Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang
mengandung arti suci. Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata:
   1. Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak
berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama salat dan
puasa.
   2. Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama
ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca ayat-ayat al-
Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha
membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.
   3. Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan
meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin,
tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah, (pelana) sebagai
bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia dan tidak
mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum sufi.
   4. Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) yang berarti hikmat, dan kaum
sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena kata sophos
telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan sin dan bukan dengan
shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf.
   5. Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia
meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang
ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta
kemiskinan dan kejauhan dari dunia.
   Diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai asal kata
sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi
dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang yang pertama memakai kata sufi
kelihatannya Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H).
ASAL-USUL TASAWUF

   Karena tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama
Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa aliran
tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.
   Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang
mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia.
Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari,
kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari lampu
mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka
menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati
baik, pemurah dan suka menolong.
   Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Dalam
filsafatnya, roh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia
materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Roh yang pada mulanya suci itu
menjadi tidak suci dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu
ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada fllsafat serta ilmu pengetahuan dan
melakukan beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Roh yang masuk ke dalam janin di
kandungan ibu berasal dari alam rohani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu
yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci,
roh yang telah kotor itu dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak.
   Masih dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan filsafat emanasi Plotinus. Roh
memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia
berpendapat bahwa roh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat kembali
ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha membersihkan diri melalui
reinkarnasi. Kalau sudah bersih, ia dapat mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat
bersatu dengan Dia di bumi ini.
   Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat dalam ajaran tasawuf. Paham itu
memang bertentangan dengan ajaran al-Qur'an bahwa roh, sesudah tubuh mati tidak akan
kembali ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, roh pergi ke alam barzah
menunggu datangnya hari perhitungan. Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya roh dengan
Tuhan di dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam.
   Dari agama Buddha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana dapat dicapai
dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri. Ajaran
menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan
pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman
melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf terdapat pengalaman ittihad,
yaitu persatuan roh manusia dengan roh Tuhan.
   Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani dan agama Kristen datang
lama sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu
adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti historis. Dalam
kaitan ini timbul pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut diatas tidak ada, tidakkah mungkin
tasawuf timbul dari dalam diri Islam sendiri?
Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan
memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut al-Qur'an dan
Hadits. Ayat 186 dari surat al-Baqarah mengatakan, "Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang
Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil."
   Kaum sufi mengartikan do'a disini bukan berdo'a, tetapi berseru, agar Tuhan mengabulkan
seruannya untuk melihat Tuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan kata lain, ia berseru agar
Tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-Nya kepada yang berseru. Tentang dekatnya
Tuhan, digambarkan oleh ayat berikut, "Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana saja
kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan" (QS. al-Baqarah 115). Ayat ini mengandung arti bahwa
dimana saja Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergi jauh, untuk
menjumpainya.
   Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan manusia, "Telah
Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih
dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya (QS. Qaf 16). Ayat ini
menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia sendiri.
Karena itu hadis mengatakan, "Siapa yang mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya."
   Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup ia masuk kedalam dirinya dan Tuhan
yang dicarinya akan ia jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayat berikut dipahami
kaum sufi, "Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang membunuh dan
bukanlah engkau yang melontarkan ketika engkau lontarkan (pasir) tapi Allah-lah yang
melontarkannya (QS. al-Anfal 17).
   Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan
Tuhan. Bahwa Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain
sebagaimana dijelaskan hadis berikut, "Pada mulanya Aku adalah harta yang tersembunyi,
kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Aku-pun dikenal."
   Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan bukan manusia saja yang
bersatu dengan Tuhan. Kalau ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, persatuan manusia
dengan Tuhan, hadits terakhir ini mengandung konsep wahdat al-wujud, kesatuan wujud
makhluk dengan Tuhan.
   Demikianlah ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi menggambarkan betapa dekatnya Tuhan
kepada manusia dan juga kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini tidak
memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat merasakan kedekatan Tuhan itu.
Dengan khusuk dan banyak beribadat ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan
dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan rohnya dengan roh Tuhan; dan inilah
hakikat tasawuf.
JALAN PENDEKATAN DIRI KEPADA TUHAN

   Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati dan
akhirnya bersatu dengan Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang harus
menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak
tujuan tasawuf. Jalan itu disebut tariqah (bahasa Arab), dan dari sinilah berasal kata tarekat
dalam bahasa Indonesia. Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, dibagi kaum sufi ke dalam
stasion-stasion yang dalam bahasa Arab disebut maqamat -tempat seorang calon sufi menunggu
sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan ke stasion
berikutnya. Sebagaimana telah di sebut diatas penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama
puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Maka, seorang calon sufi banyak melaksanakan
ibadat. Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian diri
calon sufi secara berangsur.
   Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama yang harus dilakukan seseorang
adalah tobat dari dosa-dosanya. Karena itu, stasion pertama dalam tasawuf adalah tobat. Pada
mulanya seorang calon sufi harus tobat dari dosa-dosa besar yang dilakukannya Kalau ia telah
berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil, kemudian dari perbuatan makruh dan
selanjutnya dari perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubah nasuha, yaitu tobat yang
membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa
lagi walau sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu panjang. Untuk
memantapkan tobatnya ia pindah ke stasion kedua, yaitu zuhud. Di stasion ini ia menjauhkan diri
dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat,
puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya
lemah, dan membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk
mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadat. Pakaiannyapun
sederhana. Ia menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi digoda oleh kesenangan
dunia dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah kebahagiaan rohani, dan itu diperolehnya
dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir.
   Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa menggodanya lagi, ia keluar dari
pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa, melakukan
shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir. Ia juga akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasion
wara'. Di stasion ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat. Dalam literatur
tasawuf disebut bahwa al-Muhasibi menolak makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat.
Bisyr al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan yang berisi syubhat.
   Dari stasion wara', ia pindah ke stasion faqr. Di stasion ini ia menjalani hidup kefakiran.
Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan
kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak
meminta tapi tidak menolak pemberian Tuhan.
   Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasion sabar. Ia sabar bukan hanya dalam
menjalankan perintah-perintah Tuhan yang berat dan menjauhi larangan-larangan Tuhan yang
penuh godaan, tetapi juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan
Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan dari Tuhan, bahkan ia tidak
menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Ia sabar menderita.
Selanjutnya ia pindah ke stasion tawakkal. Ia menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada
kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari ini.
Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa tenteram. Kendatipun ada padanya,
ia tidak mau makan, karena ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari padanya. Ia
bersikap seperti telah mati.
   Dari stasion tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla. Dari stasion ini ia tidak menentang
percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga dan
dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan
senang. Ketika malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta
kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu
melihat Tuhan dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan Tuhan.
   Karena stasion-stasion tersebut di atas baru merupakan tempat penyucian diri bagi orang yang
memasuki jalan tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi, tapi baru menjadi zahid atau
calon sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai ke stasion berikutnya dan memperoleh pengalaman-
pengalaman tasawuf.

  PENGALAMAN SUFI

   Di masa awal perjalanannya, calon sufi dalam hubungannya dengan Tuhan dipengaruhi rasa
takut atas dosa-dosa yang dilakukannya. Rasa takut itu kemudian berubah menjadi rasa waswas
apakah tobatnya diterima Tuhan sehingga ia dapat meneruskan perjalanannya mendekati Tuhan.
Lambat laun ia rasakan bahwa Tuhan bukanlah zat yang suka murka, tapi zat yang sayang dan
kasih kepada hamba-Nya. Rasa takut hilang dan timbullah sebagai gantinya rasa cinta kepada
Tuhan. Pada stasion ridla, rasa cinta kepada Tuhan bergelora dalam hatinya. Maka ia pun sampai
ke stasion mahabbah, cinta Ilahi. Sufi memberikan arti mahabbah sebagai berikut, pertama,
memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya. Kedua,
Menyerahkan seluruh diri kepada Yang Dikasihi. Ketiga, Mengosongkan hati dari segala-
galanya, kecuali dari Diri Yang Dikasihi.
   Mencintai Tuhan tidaklah dilarang dalam Islam, bahkan dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat
yang menggambarkan cinta Tuhan kepada hamba dan cinta hamba kepada Tuhan. Ayat 54 dari
surat al-Maidah, "Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan orang yang
mencintai-Nya." Selanjutnya ayat 30 dari surat 'Ali Imran menyebutkan, "Katakanlah, jika kamu
cinta kepada Tuhan, maka turutlah Aku, dan Allah akan mencintai kamu."
   Hadits juga menggambarkan cinta itu, seperti yang berikut, "Senantiasa hamba-Ku
mendekatkan diri kepada-Ku melalui ibadat sehingga Aku cinta kepadanya. Orang yang Ku-
cintai, Aku menjadi pendengaran, penglihatan dan tangannya."
   Sufi yang masyhur dalam sejarah tasawuf dengan pengalaman cinta adalah seorang wanita
bernama Rabi'ah al-'Adawiah (713-801 M) di Basrah. Cintanya yang dalam kepada Tuhan
memalingkannya dari segala yang lain dari Tuhan. Dalam doanya, ia tidak meminta dijauhkan
dari neraka dan pula tidak meminta dimasukkan ke surga. Yang ia pinta adalah dekat kepada
Tuhan. Ia mengatakan, "Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka, bukan
pula karena ingin masuk surga, tetapi aku mengabdi karena cintaku kepada-Nya." Ia bermunajat,
"Tuhanku, jika kupuja Engkau karena takut kepada neraka, bakarlah mataku karena Engkau,
janganlah sembunyikan keindahan-Mu yang kekal itu dari pandanganku."
Sewaktu malam telah sunyi ia berkata, "Tuhanku, bintang di langit telah gemerlapan, mata-
mata telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci, tiap pecinta telah berduaan dengan yang
dicintainya, dan inilah aku berada di hadirat-Mu." Ketika fajar menyingsing ia dengan rasa
cemas mengucapkan, "Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera akan menampakkan diri.
Aku gelisah, apakah Engkau terima aku sehingga aku bahagia, ataukah Engkau tolak sehingga
aku merasa sedih. Demi keMahakuasaan-Mu inilah yang akan kulakukan selama Engkau beri
hajat kepadaku. Sekiranya Engkau usir aku dari depan pintuMu, aku tidak akan bergerak, karena
cintaku kepada-Mu telah memenuhi hatiku."
   Pernah pula ia berkata, "Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi. Beri ampunlah
pembuat dosa yang datang ke hadiratMu, Engkau harapanku, kebahagiaan dari kesenanganku.
Hatiku telah enggan mencintai selain Engkau." Begitu penuh hatinya dengan rasa cinta kepada
Tuhan, sehingga ketika orang bertanya kepadanya, apakah ia benci kepada setan, ia menjawab,
"Cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong di dalam hatiku untuk benci setan."
   Cinta tulus Rabi'ah al-'Adawiah kepada Tuhan, akhirnya dibalas Tuhan, dan ini tertera dari
syairnya yang berikut:
   Kucintai Engkau dengan dua cinta,
   Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu,
   Cinta karena diriku Membuat aku lupa
   yang lain dan senantiasa menyebut nama-Mu,
   Cinta kepada diri-Mu,
   Membuat aku melihat Engkau karena Engkau bukakan hijab,
   Tiada puji bagiku untuk ini dan itu, Bagi-Mu-lah puji dan untuk itu semua.
   Rabi'ah al-'Adawiah, telah sampai ke stasion sesudah mahabbah, yaitu ma'rifah. Ia telah
melihat Tuhan dengan hati nuraninya. Ia telah sampai ke stasion yang menjadi idaman kaum
sufi. Dengan kata lain, Rabi'ah al-'Adawiah telah benar-benar menjadi sufi.
   Pengalaman ma'rifah, ditonjolkan oleh Zunnun al-Misri (w.860 M). Ma'rifah adalah anugerah
Tuhan kepada sufi yang dengan ikhlas dan sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Karena cinta
ikhlas dan suci itulah Tuhan mengungkapkan tabir dari pandangan sufi dan dengan terbukanya
tabir itu sufi pun dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan dan sufi pun melihat
keindahan-Nya yang abadi. Ketika Zunnun ditanya, bagaimana ia memperoleh ma'rifah, ia
menjawab, "Aku melihat dan mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena
Tuhan aku tidak melihat dan tidak tahu Tuhan."
   Yang dimaksud Zunnun ialah bahwa ia memperoleh ma'rifah karena kemurahan hati Tuhan.
Sekiranya Tuhan tidak membukakan tabir dari mata hatinya, ia tidak akan dapat melihat Tuhan.
Sebagaimana disebut dalam literatur tasawuf, sufi berusaha keras mendekatkan diri dari bawah
dan Tuhan menurunkan rahmat-Nya dari atas. Juga dikatakan bahwa ma'rifah datang ketika cinta
sufi dari bawah dibalas Tuhan dari atas.
   Dalam hubungan dengan Tuhan, sufi memakai alat bukan akal yang berpusat di kepala, tapi
qalb atau kalbu (jantung) yang berpusat di dada. Kalbu mempunyai tiga daya, pertama, daya
untuk-mengetahui sifat-sifat Tuhan yang disebut qalb. Kedua, daya untuk mencintai Tuhan yang
disebut ruh. Ketiga daya untuk melihat Tuhan yang disebut sirr.
   Sirr adalah daya terpeka dari kalbu dan daya ini keluar setelah sufi berhasil menyucikan
jiwanya sesuci-sucinya. Dalam bahasa sufi, jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalau
senantiasa dibersihkan dan digosok akan mempunyai daya tangkap yang besar. Demikian juga
jiwa, makin lama ia disucikan dengan ibadat yang banyak, makin suci ia dan makin besar daya
tangkapnya, sehingga akhirnya dapat menangkap daya cemerlang yang dipancarkan Tuhan.
Ketika itu sufi pun bergemilang dalam cahaya Tuhan dan dapat melihat rahasia-rahasia Tuhan.
Karena itu al-Ghazali mengartikan ma'rifat, "Melihat rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui
peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada."
   Kata ma'rifat memang mengandung arti pengetahuan. Maka, ma'rifat dalam tasawuf berarti
pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan melalui kalbu. Pengetahuan ini disebut ilm
ladunni. Ma'rifah berbeda dengan 'ilm. 'Ilm ini diperoleh melalui akal. Dalam pendapat al-
Ghazali, pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu, yaitu ma'rifah, lebih benar dari pengetahuan
yang diperoleh melalui akal, yaitu 'ilm. Sebelum menempuh jalan tasawuf al-Ghazali diserang
penyakit syak. Tapi, menurut al-Ghazali, setelah mencapai ma'rifah, keyakinannya untuk
memperoleh kebenaran ternyata melalui tasawuf, bukan filsafat.
   Lebih jauh mengenai ma'rifah dalam literatur tasawuf dijumpai ungkapan berikut, pertama,
kalau mata yang terdapat di dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup
dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah. Kedua, ma'rifah adalah cermin. Kalau sufi melihat ke
cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah. Ketiga, yang dilihat orang 'arif, baik sewaktu
tidur maupun sewaktu bangun hanyalah Allah. Keempat, sekiranya ma'rifah mengambil bentuk
materi, cahaya yang disinarkannya gelap. Semua orang yang memandangnya akan mati karena
tak tahan melihat kecemerlangan dan keindahannya.
   Tetapi sufi yang dapat menangkap cahaya ma'rifah dengan mata hatinya akan dipenuhi
kalbunya dengan rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan. Tidak mengherankan kalau sufi
merasa tidak puas dengan stasion ma'rifah saja. Ia ingin berada lebih dekat lagi dengan Tuhan. Ia
ingin mengalami persatuan dengan Tuhan, yang di dalam istilah tasawuf disebut ittihad.
Pengalaman ittihad ini ditonjolkan oleh Abu Yazid antara lain Bustami (w. 874 M). Ucapan-
ucapan yang ditinggalkannya menunjukkan bahwa untuk mencapai ittihad diperlukan usaha yang
keras dan waktu yang lama. Seseorang pernah bertanya kepada Abu Yazid tentang
perjuangannya untuk mencapai ittihad. Ia menjawab, "Tiga tahun," sedang umurnya waktu itu
telah lebih dari tujuh puluh tahun. Ia ingin mengatakan bahwa dalam usia tujuh puluh tahunlah ia
baru sampai ke stasion ittihad.
   Sebelum sampai ke ittihad, seorang sufi harus terlebih dahulu mengalami fana' dan baqa'.
Yang dimaksud dengan fana' adalah hancur sedangkan baqa' berarti tinggal. Sesuatu didalam diri
sufi akan fana atau hancur dan sesuatu yang lain akan baqa atau tinggal. Dalam literatur tasawuf
disebutkan, orang yang fana dari kejahatan akan baqa (tinggal) ilmu dalam dirinya; orang yang
fana dari maksiat akan baqa (tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian, yang tinggal
dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan
timbul sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul sifat
baik. Hilang maksiat akan timbul takwa.
   Untuk sampai ke ittihad, sufi harus terlebih dahulu mengalami al-fana' 'an al-nafs, dalam arti
lafdzi kehancuran jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada, tapi
kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap diri-Nya. Inilah yang disebut kaum
sufi al-fana' 'an al-nafs wa al-baqa, bi 'l-Lah, dengan arti kesadaran tentang diri sendiri hancur
dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan
Tuhan.
   Mengenai fana', Abu Yazid mengatakan, "Aku mengetahui Tuhan melalui diriku hingga aku
hancur, kemudian aku mengetahui-Nya melalui diri-Nya dan akupun hidup. Sedangkan
mengenai fana dan baqa', ia mengungkapkan lagi, "Ia membuat aku gila pada diriku hingga aku
mati. Kemudian Ia membuat aku gila kepada diri-Nya, dan akupun hidup." Lalu, diapun berkata
lagi, "Gila pada diriku adalah fana' dan gila pada diri-Mu adalah baqa' (kelanjutan hidup)."
   Dalam menjelaskan pengertian fana', al-Qusyairi menulis, "Fananya seseorang dari dirinya
dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan makhluk lain.
Sebenarnya dirinya tetap ada, demikian pula makhluk lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri
mereka dan pada dirinya. Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluk lain lenyap dan pergi ke
dalam diri Tuhan dan terjadilah ittihad."
   Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar ungkapan-ungkapan ganjil yang dalam
istilah sufi disebut syatahat (ucapan teopatis). Syatahat yang diucapkan Abu Yazid, antara lain,
sebagai berikut, "Manusia tobat dari dosanya, tetapi aku tidak. Aku hanya mengucapkan, tiada
Tuhan selain Allah."
   Abu Yazid tobat dengan lafadz syahadat demikian, karena lafadz itu menggambarkan Tuhan
masih jauh dari sufi dan berada di belakang tabir. Abu Yazid ingin berada di hadirat Tuhan,
berhadapan langsung dengan Tuhan dan mengatakan kepadaNya: Tiada Tuhan selain Engkau.
   Dia juga mengucapkan, "Aku tidak heran melihat cintaku pada-Mu, karena aku hanyalah
hamba yang hina. Tetapi aku heran melihat cinta-Mu padaku, karena Engkau adalah Raja Maha
Kuasa."
   Kara-kata ini menggambarkan bahwa cinta mendalam Abu Yazid telah dibalas Tuhan. Lalu,
dia berkata lagi, "Aku tidak meminta dari Tuhan kecuali Tuhan."
   Seperti halnya Rabi'ah yang tidak meminta surga dari Tuhan dan pula tidak meminta
dijauhkan dari neraka dan yang dikehendakinya hanyalah berada dekat dan bersatu dengan
Tuhan. Dalam mimpi ia bertanya, "Apa jalannya untuk sampai kepadaMu?"
   Tuhan menjawab, "Tinggalkan dirimu dan datanglah." Akhirnya Abu Yazid dengan
meninggalkan dirinya mengalami fana, baqa' dan ittihad.
   Masalah ittihad, Abu Yazid menggambarkan dengan kata-kata berikut ini, "Pada suatu ketika
aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan Ia berkata, Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihat engkau.
Aku menjawab, kekasih-Ku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, aku tak
berdaya menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat
aku, mereka akan berkata, telah kami lihat Engkau. Tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah
Engkau, karena ketika itu aku tak ada di sana."
   Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa ia dekat sekali dengan
Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya ditolak Abu
Yazid. Ia tetap meminta bersatu dengan Tuhan. Ini kelihatan dari kata-katanya, "Hiasilah aku
dengan keesaan-Mu." Permintaan Abu Yazid dikabulkan Tuhan dan terjadilah persatuan,
sebagaimana terungkap dari kata-kata berikut ini, "Abu Yazid, semuanya kecuali engkau adalah
makhluk-Ku." Akupun berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau."
   Dalam literatur tasawuf disebut bahwa dalam ittihad, yang satu memanggil yang lain dengan
kata-kata: Ya ana (Hai aku). Hal ini juga dialami Abu Yazid, seperti kelihatan dalam ungkapan
selanjutnya, "Dialog pun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Maka Ia
pun berkata kepadaku, "Hai Engkau, aku menjawab melalui diri-Nya "Hai Aku." Ia berkata
kepadaku, "Engkaulah Yang Satu." Aku menjawab, "Akulah Yang Satu." Ia berkata lagi,
"Engkau adalah Engkau." Aku menjawab: "Aku adalah Aku."
   Yang penting diperhatikan dalam ungkapan diatas adalah kata-kata Abu Yazid "Aku
menjawab melalui diriNya" (Fa qultu bihi). Kata-kata bihi -melalui diri-Nya- menggambarkan
bersatunya Abu Yazid dengan Tuhan, rohnya telah melebur dalam diri Tuhan. Ia tidak ada lagi,
yang ada hanyalah Tuhan. Maka yang mengatakan "Hai Aku Yang Satu" bukan Abu Yazid,
tetapi Tuhan melalui Abu Yazid.
   Dalam arti serupa inilah harus diartikan kata-kata yang diucapkan lidah sufi ketika berada
dalam ittihad yaitu kata-kata yang pada lahirnya mengandung pengakuan sufi seolah-olah ia
adalah Tuhan. Abu Yazid, seusai sembahyang subuh, mengeluarkan kata-kata, "Maha Suci Aku,
Maha Suci Aku, Maha Besar Aku, Aku adalah Allah. Tiada Allah selain Aku, maka sembahlah
Aku."
   Dalam istilah sufi, kata-kata tersebut memang diucapkan lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak
berarti bahwa ia mengakui dirinya Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa terbesar, dan
sebagaimana dilihat pada permulaan makalah ini, agar dapat dekat kepada Tuhan, sufi haruslah
bersih bukan dari dosa saja, tetapi juga dari syubhat. Maka dosa terbesar tersebut diatas akan
membuat Abu Yazid jauh dari Tuhan dan tak dapat bersatu dengan Dia. Maka dalam pengertian
sufi, kata-kata diatas betul keluar dari mulut Abu Yazid. Dengan kata lain, Tuhanlah yang
mengaku diri-Nya Allah melalui lidah Abu Yazid. Karena itu dia pun mengatakan, "Pergilah,
tidak ada di rumah ini selain Allah Yang Maha Kuasa. Di dalam jubah ini tidak ada selain
Allah."
   Yang mengucapkan kata-kata itu memang lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak mengandung
pengakuan Abu Yazid bahwa ia adalah Tuhan. Itu adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan
melalui lidah Abu Yazid.
   Sufi lain yang mengalami persatuan dengan Tuhan adalah Husain Ibn Mansur al-Hallaj
(858-922 M), yang berlainan nasibnya dengan Abu Yazid. Nasibnya malang karena dijatuhi
hukuman bunuh, mayatnya dibakar dan debunya dibuang ke sungai Tigris. Hal ini karena dia
mengatakan, "Ana 'l-Haqq (Akulah Yang Maha Benar).
   Pengalaman persatuannya dengan Tuhan tidak disebut ittihad, tetapi hulul. Kalau Abu Yazid
mengalami naik ke langit untuk bersatu dengan Tuhan, al-Hallaj mengalami persatuannya
dengan Tuhan turun ke bumi. Dalam literatur tasawuf hulul diartikan, Tuhan memilih tubuh-
tubuh manusia tertentu untuk bersemayam didalamnya dengan sifat-sifat ketuhanannya, setelah
sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dihancurkan.
   Di sini terdapat juga konsep fana, yang dialami Abu Yazid dalam ittihad sebelum tercapai
hulul. Menurut al-Hallaj, manusia mempunyai dua sifat dasar: nasut (kemanusiaan) dan lahut
(ketuhanan). Demikian juga Tuhan mempunyai dua sifat dasar, lahut (ketuhanan) dan nasut
(kemanusiaan). Landasan bahwa Tuhan dan manusia sama-sama mempunyai sifat diambil dari
hadits yang menegaskan bahwa Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya.
   Hadits ini mengandung arti bahwa didalam diri Adam ada bentuk Tuhan dan itulah yang
disebut lahut manusia. Sebaliknya didalam diri Tuhan terdapat bentuk Adam dan itulah yang
disebut nasut Tuhan. Hal ini terlihat jelas pada syair al-Hallaj sebagai berikut:
   Maha Suci Diri Yang Sifat kemanusiaan-Nya
   Membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang
   Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata
   Dalam bentuk manusia yang makan dan minum
   Dengan membersihkan diri malalui ibadat yang banyak dilakukan, nasut manusia lenyap dan
muncullah lahut-nya dan ketika itulah nasut Tuhan turun bersemayam dalam diri sufi dan
terjadilah hulul.
   Hal itu digambarkan al-Hallaj dalam syair berikut ini:
Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku
   Sebagaimana anggur disatukan dengan air suci
   Jika Engkau disentuh, aku disentuhnya pula
   Maka, ketika itu -dalam tiap hal- Engkau adalah aku.
Hulul juga digambarkan dalam syair berikut:
   Aku adalah Dia yang kucintai
   Dan Dia yang kucintai adalah aku,
   Kami adalah dua jiwa yang menempati satu tubuh,
   Jika Engkau lihat aku, engkau lihat Dia,
   Dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat Kami.
Ketika mengalami hulul yang digambarkan diatas itulah lidah al-Hallaj mengucapkan, "Ana
'l-Haqq (Akulah Yang Maha Benar). Tetapi sebagaimana halnya dengan Abu Yazid, ucapan
itu tidak mengandung arti pengakuan al-Hallaj dirinya menjadi Tuhan. Kata-kata itu adalah
kata-kata Tuhan yang Ia ucapkan melalui lidah al-Hallaj. Sufi yang bernasib malang ini
mengatakan,
"Aku adalah rahasia Yang Maha Benar,
Yang Maha Benar bukanlah Aku,
Aku hanya satu dari yang benar,
Maka bedakanlah antara kami."
Syatahat atau kata-kata teofani sufi seperti itu membuat kaum syari'at menuduh sufi telah
menyeleweng dari ajaran Islam dan menganggap tasawuf bertentangan dengan Islam. Kaum
syari'at yang banyak terikat kepada formalitas ibadat, tidak menangkap pengalaman sufi yang
mementingkan hakekat dan tujuan ibadat, yaitu mendekatkan diri sedekat mungkin kepada
Tuhan.
Dalam sejarah Islam memang terkenal adanya pertentangan keras antara kaum syari'at dan
kaum hakekat, gelar yang diberikan kepada kaum sufi. Pertentangan ini mereda setelah al-
Ghazali datang dengan pengalamannya bahwa jalan sufilah yang dapat membawa orang kepada
kebenaran yang menyakinkan. Al-Ghazali menghalalkan tasawuf sampai tingkat ma'rifah,
sungguhpun ia tidak mengharamkan tingkat fana', baqa, dan ittihad. Ia tidak mengkafirkan Abu
Yazid dan al-Hallaj, tapi mengkafirkan al-Farabi dan Ibn Sina.
Kalau filsafat, setelah kritik al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, tidak
berkembang lagi di dunia Islam Sunni, tasawuf sebaliknya banyak diamalkan, bahkan oleh
syariat sendiri. Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pengalaman persatuan manusia
dengan Tuhan yang dibawa al-Bustami dalam ittihad dan al-Hallaj dalam hulul, Muhy al-
Din Ibn 'Arabi (1165-1240) membawa ajaran kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan dalam
wahdat al-wujud.
Lahut dan nasut, yang bagi al-Hallaj merupakan dua hal yang berbeda, ia satukan menjadi dua
aspek. Dalam pengalamannya, tiap makhluk mempunyai dua aspek. Aspek batin yang
merupakan esensi, disebut al-haqq, dan aspek luar yang merupakan aksiden disebut al-khalq.
Semua makhluk dalam aspek luarnya berbeda, tetapi dalam aspek batinnya satu, yaitu al-haqq.
Wujud semuanya satu, yaitu wujud al-haqq.
Tuhan, sebagaimana disebut dalam Hadits yang telah dikutip pada permulaan, pada awalnya
adalah "harta" tersembunyi, kemudian Ia ingin dikenal maka diciptakan-Nya makhluk, dan
melalui makhluklah Ia dikenal. Maka, alam sebagai makhluk, adalah penampakan diri atau
tajalli dari Tuhan. Alam sebagai cermin yang didalamnya terdapat gambar Tuhan. Dengan kata
lain, alam adalah bayangan Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam tak akan ada tanpa wujud
Tuhan. Wujud alam tergantung pada wujud Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam bersatu
dengan wujud Tuhan dalam ajaran wahdat al-wujud.
Yang ada dalam alam ini kelihatannya banyak tetapi pada hakekatnya satu. Keadaan ini tak
ubahnya sebagai orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di
sekelilingnya. Di dalam tiap cermin, ia lihat dirinya. Di dalam cermin, dirinya kelihatan
banyak, tetapi pada hakekatnya dirinya hanya satu. Yang lain dan yang banyak adalah
bayangannya.
Oleh karena itu ada orang yang mengidentikkan ajaran wahdat al-wujud Ibn Arabi dengan
panteisme dalam arti bahwa yang disebut Tuhan adalah alam semesta. Jelas bahwa Ibn Arabi
tidak mengidentikkan alam dengan Tuhan. Bagi Ibn Arabi, sebagaimana halnya dengan sufi-
sufi lainnya, Tuhan adalah transendental dan bukan imanen. Tuhan berada di luar dan bukan
di dalam alam. Alam hanya merupakan penampakan diri atau tajalli dari Tuhan.
Ajaran wahdat al-wujud dengan tajalli Tuhan ini selanjutnya membawa pada ajaran al-Insan
al-Kamil yang dikembangkan terutama oleh Abd al-Karim al-Jilli (1366-1428). Dalam
pengalaman al-Jilli, tajalli atau penampakan diri Tuhan mengambil tiga tahap tanazul
(turun), ahadiah, Huwiah dan Aniyah.
Pada tahap ahadiah, Tuhan dalam keabsolutannya baru keluar dari al-'ama, kabut kegelapan,
tanpa nama dan sifat. Pada tahap hawiah nama dan sifat Tuhan telah muncul, tetapi masih dalam
bentuk potensial. Pada tahap aniah, Tuhan menampakkan diri dengan nama-nama dan sifat-sifat-
Nya pada makhluk-Nya. Di antara semua makhluk-Nya, pada diri manusia Ia
menampakkan diri-Nya dengan segala sifat-Nya.
Sungguhpun manusia merupakan tajalli atau penampakan diri Tuhan yang paling sempurna
diantara semua makhluk-Nya, tajalli-Nya tidak sama pada semua manusia. Tajalli Tuhan
yang sempurna terdapat dalam Insan Kamil. Untuk mencapai tingkat Insan Kamil, sufi
mesti mengadakan taraqqi (pendakian) melalui tiga tingkatan: bidayah, tawassut dan
khitam.
Pada tingkat bidayah, sufi disinari oleh nama-nama Tuhan, dengan kata lain, pada sufi yang
demikian, Tuhan menampakkan diri dalam nama-nama-Nya, seperti Pengasih, Penyayang dan
sebagainya (tajalli fi al-asma). Pada tingkat tawassut, sufi disinari oleh sifat-sifat Tuhan, seperti
hayat, ilmu, qudrat dll. Dan Tuhan ber-tajalli pada sufi demikian dengan sifat-sifat-Nya.
Pada tingkat khitam, sufi disinari dzat Tuhan yang dengan demikian sufi tersebut ber-tajalli
dengan dzat-Nya. Pada tingkat ini sufi pun menjadi Insan Kamil. Ia menjadi manusia
sempurna, mempunyai sifat ketuhanan dan dalam dirinya terdapat bentuk (shurah) Allah.
Dialah bayangan Tuhan yang sempurna. Dan dialah yang menjadi perantara antara manusia
dan Tuhan. Insan Kamil terdapat dalam diri para Nabi dan para wali. Di antara semuanya,
Insan Kamil yang tersempurna terdapat dalam diri Nabi Muhammad.
Demikianlah, tujuan sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan akhirnya tercapai
malalui ittihad serta hulul yang mengandung pengalaman persatuan roh manusia dengan roh
Tuhan dan melalui wahdat al-wujud yang mengandung arti penampakan diri atau tajalli
Tuhan yang sempurna dalam diri Insan Kamil.
Sementara itu tasawuf pada masa awal sejarahnya mengambil bentuk tarekat, dalam arti
organisasi tasawuf, yang dibentuk oleh murid-murid atau pengikut-pengikut sufi besar untuk
melestarikan ajaran gurunya. Di antara tarekat-tarekat besar yang terdapat di Indonesia adalah
Qadiriah yang muncul pada abad ke-13 Masehi untuk melestarikan ajaran Syekh Abdul
Qadir Jailani (w. 1166 M), Naqsyabandiah, muncul pada abad ke-14 bagi pengikut
Bahauddin Naqsyabandi (w. 1415 M), Syattariah, pengikut Abdullah Syattar (w. 1415 M),
dan Tijaniah yang muncul pada abad ke-19 di Marokko dan Aljazair. Tarekat-tarekat
besar lain diantaranya adalah Bekhtasyiah di Turki, Sanusiah di Libia, Syadziliah di
Marokko, Mesir dan Suria, Mawlawiah (Jalaluddin Rumi) di Turki, dan Rifa'iah di Irak, Suria
dan Mesir.
Dalam tarekat, ajaran-ajaran sufi besar tersebut terkadang diselewengkan, sehingga tarekat
menyimpang dari tujuan sebenarnya dari sufi untuk menyucikan diri dan berada dekat dengan
Tuhan. Tarekat ada yang telah menyalahi ajaran dasar sufi dan syari'at Islam, sehingga
timbullah pertentangan antara kaum syari'at dan kaum tarekat.
Sementara itu ada pula tarekat yang menekankan pentingnya kehidupan rohani dan
mengabaikan kehidupan duniawi, dan disamping itu menekankan ajaran tawakal sufi,
sehingga mengabaikan usaha. Dengan kata lain, yang dikembangkan tarekat adalah orientasi
akhirat dan sikap tawakal.
Perlu ditegaskan bahwa sampai permulaan abad ke-20, tarekat mempunyai pengaruh besar
dalam masyarakat Islam. Karena pengaruh besar itu, orang-orang yang ingin mendapat
dukungan dari masyarakat menjadi anggota tarekat. Di Turki Usmani, tentara menjadi
anggota tarekat Bekhtasyi dan dalam perlawanan mereka terhadap pembaharuan yang
diadakan sultan-sultan, mereka mendapat sokongan dari tarekat Bekhtasyi dan para ulama
Turki.
Karena pengaruh besar dalam masyarakat itu orientasi akhirat dan sikap tawakal berkembang di
kalangan umat Islam yang bekas-bekasnya masih ada pada kita sampai sekarang. Untuk itu
tidak mengherankan kalau pemimpin-pemimpin pembaharuan dalam Islam seperti
Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan terutama Kamal Ataturk
memandang tarekat sebagai salah satu faktor yang membawa kepada kemunduran umat
Islam.
Dalam pada itu dunia dewasa ini dilanda oleh materialisme yang menimbulkan berbagai
masalah sosial yang pelik. Banyak orang mengatakan bahwa dalam menghadapi meterialisme
yang melanda dunia sekarang, perlu dihidupkan kembali spiritualisme. Disini tasawuf
dengan ajaran kerohanian dan akhlak mulianya dapat memainkan peranan penting. Tetapi
untuk itu yang perlu ditekankan tarekat dalam diri para pengikutnya adalah penyucian diri
dan pembentukan akhlak mulia disamping kerohanian dengan tidak mengabaikan
kehidupan keduniaan.
Pada akhir-akhir ini memang kelihatan gejala orang-orang di Barat yang bosan hidup
kematerian lalu mencari hidup kerohanian di Timur. Ada yang pergi ke kerohanian dalam
agama Buddha, ada ke kerohanian dalam agama Hindu dan tak sedikit pula yang mengikuti
kerohanian dalam agama Islam, umpamanya aliran Subud di Jakarta.
Dalam hubungan itu kira-kira 30 tahun lalu, A.J. Arberry dalam bukunya Sufism menulis
bahwa Muslim dan bukan Muslim adalah makhluk Tuhan yang satu. Oleh karena itu bukanlah
tidak pada tempatnya bagi seorang Kristen untuk mempelajari ajaran-ajaran sufi yang telah
meninggalkan pengaruh besar dalam kehidupan umat Islam dan bersama-sama dengan orang
Islam menggali kembali ajaran-ajaran sufi yang akan dapat memenuhi kebutuhan orang yang
mencari nilai-nilai kerohanian dan moral zaman yang penuh kegelapan dan tantangan seperti
sekarang.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Arberry, A.J., Sufism, London, George Allan and Unwin Ltd., 1963.
Badawi, A.R., Syatahat al-Sufiah, Cairo, al-Nahdah al-Misriah, 1949.
Corbin, H., Histoire de la Philosophie Islamique, Paris, Gallimard, 1964.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

More Related Content

What's hot

Tasawuf
TasawufTasawuf
Tasawufatiyu
 
Presentasi pendidikan agama islam akhlak dan tasawuf
Presentasi pendidikan agama islam akhlak dan tasawufPresentasi pendidikan agama islam akhlak dan tasawuf
Presentasi pendidikan agama islam akhlak dan tasawufRatih Kisdiani Riadi
 
Presentasi 2 islam sebagai ajaran & objek kajian ilmiah
Presentasi 2   islam sebagai ajaran & objek kajian ilmiahPresentasi 2   islam sebagai ajaran & objek kajian ilmiah
Presentasi 2 islam sebagai ajaran & objek kajian ilmiahMarhamah Saleh
 
Ilmu tasawuf
Ilmu tasawufIlmu tasawuf
Ilmu tasawufLia Lia
 
Ppt akhlak tasawuf
Ppt akhlak tasawufPpt akhlak tasawuf
Ppt akhlak tasawufroffiq
 
1. makalah ilmu tasawuf
1. makalah ilmu tasawuf1. makalah ilmu tasawuf
1. makalah ilmu tasawufMas Enjoying
 
Perbedaan tasawuf sunni dengan tasawuf falsafi
Perbedaan tasawuf sunni dengan tasawuf falsafiPerbedaan tasawuf sunni dengan tasawuf falsafi
Perbedaan tasawuf sunni dengan tasawuf falsafiGatot Birowo - STIE AAS
 
Tasawuf amali dan falsafi
Tasawuf amali dan falsafiTasawuf amali dan falsafi
Tasawuf amali dan falsafiAbdul Fauzan
 
Tasawuf akhlaki, amaly dan falsafi
Tasawuf akhlaki, amaly dan falsafiTasawuf akhlaki, amaly dan falsafi
Tasawuf akhlaki, amaly dan falsafiHalimatus Sa'diyah
 
MATERI BAB III QURDIST
MATERI BAB III QURDISTMATERI BAB III QURDIST
MATERI BAB III QURDISTRifkamaliaS
 
perbandingan aliran iman dan kufur
perbandingan aliran iman dan kufurperbandingan aliran iman dan kufur
perbandingan aliran iman dan kufurSyifa Syifa
 
Perbandingan konsep antar aliran aliran teologi islam
Perbandingan konsep antar aliran aliran teologi islamPerbandingan konsep antar aliran aliran teologi islam
Perbandingan konsep antar aliran aliran teologi islamfatimatus sholichah
 
HUBUNGAN TASAUF DENGAN TAREKAT DAN HUBUNGAN TASAWUF DENGAN SYARI'AT
HUBUNGAN TASAUF DENGAN TAREKAT DAN HUBUNGAN TASAWUF DENGAN SYARI'ATHUBUNGAN TASAUF DENGAN TAREKAT DAN HUBUNGAN TASAWUF DENGAN SYARI'AT
HUBUNGAN TASAUF DENGAN TAREKAT DAN HUBUNGAN TASAWUF DENGAN SYARI'ATMutiara permatasari
 
Tauhid dan urgensinya bagi kehidupan muslim
Tauhid dan urgensinya bagi kehidupan muslimTauhid dan urgensinya bagi kehidupan muslim
Tauhid dan urgensinya bagi kehidupan muslimAhmad Zaelani
 

What's hot (20)

Tasawuf
TasawufTasawuf
Tasawuf
 
Presentasi pendidikan agama islam akhlak dan tasawuf
Presentasi pendidikan agama islam akhlak dan tasawufPresentasi pendidikan agama islam akhlak dan tasawuf
Presentasi pendidikan agama islam akhlak dan tasawuf
 
Presentasi 2 islam sebagai ajaran & objek kajian ilmiah
Presentasi 2   islam sebagai ajaran & objek kajian ilmiahPresentasi 2   islam sebagai ajaran & objek kajian ilmiah
Presentasi 2 islam sebagai ajaran & objek kajian ilmiah
 
Ilmu tasawuf
Ilmu tasawufIlmu tasawuf
Ilmu tasawuf
 
Ppt akhlak tasawuf
Ppt akhlak tasawufPpt akhlak tasawuf
Ppt akhlak tasawuf
 
Ppt tasawuf
Ppt tasawufPpt tasawuf
Ppt tasawuf
 
1. makalah ilmu tasawuf
1. makalah ilmu tasawuf1. makalah ilmu tasawuf
1. makalah ilmu tasawuf
 
AHKLAK DAN TASAWUF DALAM ISLAM
AHKLAK DAN TASAWUF DALAM ISLAMAHKLAK DAN TASAWUF DALAM ISLAM
AHKLAK DAN TASAWUF DALAM ISLAM
 
Perbedaan tasawuf sunni dengan tasawuf falsafi
Perbedaan tasawuf sunni dengan tasawuf falsafiPerbedaan tasawuf sunni dengan tasawuf falsafi
Perbedaan tasawuf sunni dengan tasawuf falsafi
 
Tasawuf amali dan falsafi
Tasawuf amali dan falsafiTasawuf amali dan falsafi
Tasawuf amali dan falsafi
 
Tasawuf akhlaki, amaly dan falsafi
Tasawuf akhlaki, amaly dan falsafiTasawuf akhlaki, amaly dan falsafi
Tasawuf akhlaki, amaly dan falsafi
 
MATERI BAB III QURDIST
MATERI BAB III QURDISTMATERI BAB III QURDIST
MATERI BAB III QURDIST
 
perbandingan aliran iman dan kufur
perbandingan aliran iman dan kufurperbandingan aliran iman dan kufur
perbandingan aliran iman dan kufur
 
Perbandingan konsep antar aliran aliran teologi islam
Perbandingan konsep antar aliran aliran teologi islamPerbandingan konsep antar aliran aliran teologi islam
Perbandingan konsep antar aliran aliran teologi islam
 
HUBUNGAN TASAUF DENGAN TAREKAT DAN HUBUNGAN TASAWUF DENGAN SYARI'AT
HUBUNGAN TASAUF DENGAN TAREKAT DAN HUBUNGAN TASAWUF DENGAN SYARI'ATHUBUNGAN TASAUF DENGAN TAREKAT DAN HUBUNGAN TASAWUF DENGAN SYARI'AT
HUBUNGAN TASAUF DENGAN TAREKAT DAN HUBUNGAN TASAWUF DENGAN SYARI'AT
 
Hal-hal yang merusak Tauhid - Pendidkan Agama Islam
Hal-hal yang merusak Tauhid - Pendidkan Agama IslamHal-hal yang merusak Tauhid - Pendidkan Agama Islam
Hal-hal yang merusak Tauhid - Pendidkan Agama Islam
 
Tauhid dan urgensinya bagi kehidupan muslim
Tauhid dan urgensinya bagi kehidupan muslimTauhid dan urgensinya bagi kehidupan muslim
Tauhid dan urgensinya bagi kehidupan muslim
 
islam dan tasawuf
islam dan tasawufislam dan tasawuf
islam dan tasawuf
 
Wawancara i
Wawancara iWawancara i
Wawancara i
 
E valuasi 1
E valuasi 1E valuasi 1
E valuasi 1
 

Similar to ASAL-USUL TASAWUF

Mistik Jawa dalam Islam Kebatinan
Mistik Jawa dalam Islam KebatinanMistik Jawa dalam Islam Kebatinan
Mistik Jawa dalam Islam KebatinanFAJAR MENTARI
 
Urgensi Dasar, Dasar, dan Sejarah Perkembangan Ilmu Tasawuf
Urgensi Dasar, Dasar, dan Sejarah Perkembangan Ilmu TasawufUrgensi Dasar, Dasar, dan Sejarah Perkembangan Ilmu Tasawuf
Urgensi Dasar, Dasar, dan Sejarah Perkembangan Ilmu TasawufThufailah Mujahidah
 
Makalah tasawuf
Makalah tasawufMakalah tasawuf
Makalah tasawufudajamil
 
Pengertian Tasawuf dan Ajaran Tasawuf.docx
Pengertian Tasawuf dan Ajaran Tasawuf.docxPengertian Tasawuf dan Ajaran Tasawuf.docx
Pengertian Tasawuf dan Ajaran Tasawuf.docxZukét Printing
 
Pengertian Tasawuf dan Ajaran Tasawuf.pdf
Pengertian Tasawuf dan Ajaran Tasawuf.pdfPengertian Tasawuf dan Ajaran Tasawuf.pdf
Pengertian Tasawuf dan Ajaran Tasawuf.pdfZukét Printing
 
Pengertian dan Sejarah Munculnya Tasawuf.pdf
Pengertian dan Sejarah Munculnya Tasawuf.pdfPengertian dan Sejarah Munculnya Tasawuf.pdf
Pengertian dan Sejarah Munculnya Tasawuf.pdfZukét Printing
 
Pengertian dan Sejarah Munculnya Tasawuf.docx
Pengertian dan Sejarah Munculnya Tasawuf.docxPengertian dan Sejarah Munculnya Tasawuf.docx
Pengertian dan Sejarah Munculnya Tasawuf.docxZukét Printing
 
Makalah Aderina Chemonk: Abu Yazid Al-Bustomi
Makalah Aderina Chemonk: Abu Yazid Al-BustomiMakalah Aderina Chemonk: Abu Yazid Al-Bustomi
Makalah Aderina Chemonk: Abu Yazid Al-BustomiAli Hanafiah
 
Aliran-Aliran Tasawuf.pdf
Aliran-Aliran Tasawuf.pdfAliran-Aliran Tasawuf.pdf
Aliran-Aliran Tasawuf.pdfZukét Printing
 
Aliran-Aliran Tasawuf.docx
Aliran-Aliran Tasawuf.docxAliran-Aliran Tasawuf.docx
Aliran-Aliran Tasawuf.docxZukét Printing
 
Makalah Tasawuf Irfani UNZAH GENGGONG By_ Zuket Printing.pdf
Makalah Tasawuf Irfani UNZAH GENGGONG By_ Zuket Printing.pdfMakalah Tasawuf Irfani UNZAH GENGGONG By_ Zuket Printing.pdf
Makalah Tasawuf Irfani UNZAH GENGGONG By_ Zuket Printing.pdfZukét Printing
 
Makalah Tasawuf Irfani UNZAH GENGGONG By_ Zuket Printing.docx
Makalah Tasawuf Irfani UNZAH GENGGONG By_ Zuket Printing.docxMakalah Tasawuf Irfani UNZAH GENGGONG By_ Zuket Printing.docx
Makalah Tasawuf Irfani UNZAH GENGGONG By_ Zuket Printing.docxZukét Printing
 
Dasar-Dasar Ajaran Tasawuf.pptx
Dasar-Dasar Ajaran Tasawuf.pptxDasar-Dasar Ajaran Tasawuf.pptx
Dasar-Dasar Ajaran Tasawuf.pptxRisdaYati2
 
1. metafisika islam
1. metafisika islam1. metafisika islam
1. metafisika islamLela Warni
 
metafisika islam
metafisika islammetafisika islam
metafisika islamLela Warni
 
Perkembangan Ilmu Tasawuf
Perkembangan Ilmu TasawufPerkembangan Ilmu Tasawuf
Perkembangan Ilmu TasawufUlfiatu Rochmah
 
Aliran-Aliran Tassawuf.docx
Aliran-Aliran Tassawuf.docxAliran-Aliran Tassawuf.docx
Aliran-Aliran Tassawuf.docxZukét Printing
 
Aliran-Aliran Tassawuf.pdf
Aliran-Aliran Tassawuf.pdfAliran-Aliran Tassawuf.pdf
Aliran-Aliran Tassawuf.pdfZukét Printing
 

Similar to ASAL-USUL TASAWUF (20)

Mistik Jawa dalam Islam Kebatinan
Mistik Jawa dalam Islam KebatinanMistik Jawa dalam Islam Kebatinan
Mistik Jawa dalam Islam Kebatinan
 
Urgensi Dasar, Dasar, dan Sejarah Perkembangan Ilmu Tasawuf
Urgensi Dasar, Dasar, dan Sejarah Perkembangan Ilmu TasawufUrgensi Dasar, Dasar, dan Sejarah Perkembangan Ilmu Tasawuf
Urgensi Dasar, Dasar, dan Sejarah Perkembangan Ilmu Tasawuf
 
Makalah tasawuf
Makalah tasawufMakalah tasawuf
Makalah tasawuf
 
Pengertian Tasawuf dan Ajaran Tasawuf.docx
Pengertian Tasawuf dan Ajaran Tasawuf.docxPengertian Tasawuf dan Ajaran Tasawuf.docx
Pengertian Tasawuf dan Ajaran Tasawuf.docx
 
Pengertian Tasawuf dan Ajaran Tasawuf.pdf
Pengertian Tasawuf dan Ajaran Tasawuf.pdfPengertian Tasawuf dan Ajaran Tasawuf.pdf
Pengertian Tasawuf dan Ajaran Tasawuf.pdf
 
Makalah Ilmu Tasawuf.docx
Makalah Ilmu Tasawuf.docxMakalah Ilmu Tasawuf.docx
Makalah Ilmu Tasawuf.docx
 
Pengertian dan Sejarah Munculnya Tasawuf.pdf
Pengertian dan Sejarah Munculnya Tasawuf.pdfPengertian dan Sejarah Munculnya Tasawuf.pdf
Pengertian dan Sejarah Munculnya Tasawuf.pdf
 
Pengertian dan Sejarah Munculnya Tasawuf.docx
Pengertian dan Sejarah Munculnya Tasawuf.docxPengertian dan Sejarah Munculnya Tasawuf.docx
Pengertian dan Sejarah Munculnya Tasawuf.docx
 
Makalah Aderina Chemonk: Abu Yazid Al-Bustomi
Makalah Aderina Chemonk: Abu Yazid Al-BustomiMakalah Aderina Chemonk: Abu Yazid Al-Bustomi
Makalah Aderina Chemonk: Abu Yazid Al-Bustomi
 
Aliran-Aliran Tasawuf.pdf
Aliran-Aliran Tasawuf.pdfAliran-Aliran Tasawuf.pdf
Aliran-Aliran Tasawuf.pdf
 
Aliran-Aliran Tasawuf.docx
Aliran-Aliran Tasawuf.docxAliran-Aliran Tasawuf.docx
Aliran-Aliran Tasawuf.docx
 
Makalah Tasawuf Irfani UNZAH GENGGONG By_ Zuket Printing.pdf
Makalah Tasawuf Irfani UNZAH GENGGONG By_ Zuket Printing.pdfMakalah Tasawuf Irfani UNZAH GENGGONG By_ Zuket Printing.pdf
Makalah Tasawuf Irfani UNZAH GENGGONG By_ Zuket Printing.pdf
 
Makalah Tasawuf Irfani UNZAH GENGGONG By_ Zuket Printing.docx
Makalah Tasawuf Irfani UNZAH GENGGONG By_ Zuket Printing.docxMakalah Tasawuf Irfani UNZAH GENGGONG By_ Zuket Printing.docx
Makalah Tasawuf Irfani UNZAH GENGGONG By_ Zuket Printing.docx
 
Dasar-Dasar Ajaran Tasawuf.pptx
Dasar-Dasar Ajaran Tasawuf.pptxDasar-Dasar Ajaran Tasawuf.pptx
Dasar-Dasar Ajaran Tasawuf.pptx
 
1. metafisika islam
1. metafisika islam1. metafisika islam
1. metafisika islam
 
metafisika islam
metafisika islammetafisika islam
metafisika islam
 
Perkembangan Ilmu Tasawuf
Perkembangan Ilmu TasawufPerkembangan Ilmu Tasawuf
Perkembangan Ilmu Tasawuf
 
Tasawuf Akhlaki
Tasawuf AkhlakiTasawuf Akhlaki
Tasawuf Akhlaki
 
Aliran-Aliran Tassawuf.docx
Aliran-Aliran Tassawuf.docxAliran-Aliran Tassawuf.docx
Aliran-Aliran Tassawuf.docx
 
Aliran-Aliran Tassawuf.pdf
Aliran-Aliran Tassawuf.pdfAliran-Aliran Tassawuf.pdf
Aliran-Aliran Tassawuf.pdf
 

More from Alif Mahardika

More from Alif Mahardika (20)

CASHFLOW QUADRANT
CASHFLOW QUADRANTCASHFLOW QUADRANT
CASHFLOW QUADRANT
 
Quality kontrol
Quality kontrolQuality kontrol
Quality kontrol
 
Walet
WaletWalet
Walet
 
Copy of London Architecture
Copy of London ArchitectureCopy of London Architecture
Copy of London Architecture
 
walet super news1
walet super news1walet super news1
walet super news1
 
METODE pelaksanaan gedung bertingkat diklat
METODE  pelaksanaan gedung bertingkat diklatMETODE  pelaksanaan gedung bertingkat diklat
METODE pelaksanaan gedung bertingkat diklat
 
integrito_september
integrito_septemberintegrito_september
integrito_september
 
Presentasi Tanpa Judul
Presentasi Tanpa JudulPresentasi Tanpa Judul
Presentasi Tanpa Judul
 
Metode Pelaksanaan jembatan cable
Metode Pelaksanaan jembatan cableMetode Pelaksanaan jembatan cable
Metode Pelaksanaan jembatan cable
 
CASHFLOW QUADRANT
CASHFLOW QUADRANTCASHFLOW QUADRANT
CASHFLOW QUADRANT
 
Quality kontrol
Quality kontrolQuality kontrol
Quality kontrol
 
METODE_pelaksanaan_gedung_bertingkat_diklat
METODE_pelaksanaan_gedung_bertingkat_diklatMETODE_pelaksanaan_gedung_bertingkat_diklat
METODE_pelaksanaan_gedung_bertingkat_diklat
 
Berburu dollar di internet
Berburu dollar di internetBerburu dollar di internet
Berburu dollar di internet
 
RKS
RKSRKS
RKS
 
SURAT PERJANJIAN AFU
SURAT PERJANJIAN AFUSURAT PERJANJIAN AFU
SURAT PERJANJIAN AFU
 
SO-260 Field CBR Test Set
SO-260 Field CBR Test Set SO-260 Field CBR Test Set
SO-260 Field CBR Test Set
 
Presentation
PresentationPresentation
Presentation
 
script shoutbox parse html
script shoutbox parse htmlscript shoutbox parse html
script shoutbox parse html
 
Copy of Business Plan
Copy of Business PlanCopy of Business Plan
Copy of Business Plan
 
Untitled
UntitledUntitled
Untitled
 

ASAL-USUL TASAWUF

  • 1. TASAWUF oleh Harun Nasution Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan. Filsafat yang menjadi dasar pendekatan diri itu adalah, pertama, Tuhan bersifat rohani, maka bagian yang dapat mendekatkan diri dengan Tuhan adalah roh, bukan jasadnya. Kedua, Tuhan adalah Maha Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk mendekatiNya adalah roh yang suci. Tasawuf adalah ilmu yang membahas masalah pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui penyucian rohnya. ASAL KATA SUFI Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci. Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata: 1. Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama salat dan puasa. 2. Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca ayat-ayat al- Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan. 3. Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah, (pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum sufi. 4. Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) yang berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena kata sophos telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf. 5. Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia. Diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai asal kata sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang yang pertama memakai kata sufi kelihatannya Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H).
  • 2. ASAL-USUL TASAWUF Karena tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa aliran tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar. Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong. Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Dalam filsafatnya, roh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Roh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada fllsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Roh yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci, roh yang telah kotor itu dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak. Masih dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan filsafat emanasi Plotinus. Roh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia berpendapat bahwa roh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha membersihkan diri melalui reinkarnasi. Kalau sudah bersih, ia dapat mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat bersatu dengan Dia di bumi ini. Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat dalam ajaran tasawuf. Paham itu memang bertentangan dengan ajaran al-Qur'an bahwa roh, sesudah tubuh mati tidak akan kembali ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, roh pergi ke alam barzah menunggu datangnya hari perhitungan. Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya roh dengan Tuhan di dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam. Dari agama Buddha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri. Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf terdapat pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusia dengan roh Tuhan. Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani dan agama Kristen datang lama sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti historis. Dalam kaitan ini timbul pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut diatas tidak ada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam diri Islam sendiri?
  • 3. Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut al-Qur'an dan Hadits. Ayat 186 dari surat al-Baqarah mengatakan, "Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil." Kaum sufi mengartikan do'a disini bukan berdo'a, tetapi berseru, agar Tuhan mengabulkan seruannya untuk melihat Tuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan kata lain, ia berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-Nya kepada yang berseru. Tentang dekatnya Tuhan, digambarkan oleh ayat berikut, "Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana saja kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan" (QS. al-Baqarah 115). Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergi jauh, untuk menjumpainya. Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan manusia, "Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya (QS. Qaf 16). Ayat ini menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia sendiri. Karena itu hadis mengatakan, "Siapa yang mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya." Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup ia masuk kedalam dirinya dan Tuhan yang dicarinya akan ia jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayat berikut dipahami kaum sufi, "Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang membunuh dan bukanlah engkau yang melontarkan ketika engkau lontarkan (pasir) tapi Allah-lah yang melontarkannya (QS. al-Anfal 17). Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Bahwa Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain sebagaimana dijelaskan hadis berikut, "Pada mulanya Aku adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Aku-pun dikenal." Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan bukan manusia saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalau ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, persatuan manusia dengan Tuhan, hadits terakhir ini mengandung konsep wahdat al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan. Demikianlah ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi menggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada manusia dan juga kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini tidak memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat merasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak beribadat ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan rohnya dengan roh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf.
  • 4. JALAN PENDEKATAN DIRI KEPADA TUHAN Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan tasawuf. Jalan itu disebut tariqah (bahasa Arab), dan dari sinilah berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia. Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, dibagi kaum sufi ke dalam stasion-stasion yang dalam bahasa Arab disebut maqamat -tempat seorang calon sufi menunggu sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan ke stasion berikutnya. Sebagaimana telah di sebut diatas penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Maka, seorang calon sufi banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian diri calon sufi secara berangsur. Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama yang harus dilakukan seseorang adalah tobat dari dosa-dosanya. Karena itu, stasion pertama dalam tasawuf adalah tobat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat dari dosa-dosa besar yang dilakukannya Kalau ia telah berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil, kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubah nasuha, yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu panjang. Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasion kedua, yaitu zuhud. Di stasion ini ia menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah, dan membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadat. Pakaiannyapun sederhana. Ia menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi digoda oleh kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah kebahagiaan rohani, dan itu diperolehnya dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir. Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa menggodanya lagi, ia keluar dari pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir. Ia juga akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasion wara'. Di stasion ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat. Dalam literatur tasawuf disebut bahwa al-Muhasibi menolak makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat. Bisyr al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan yang berisi syubhat. Dari stasion wara', ia pindah ke stasion faqr. Di stasion ini ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak meminta tapi tidak menolak pemberian Tuhan. Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasion sabar. Ia sabar bukan hanya dalam menjalankan perintah-perintah Tuhan yang berat dan menjauhi larangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan dari Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Ia sabar menderita.
  • 5. Selanjutnya ia pindah ke stasion tawakkal. Ia menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa tenteram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari padanya. Ia bersikap seperti telah mati. Dari stasion tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla. Dari stasion ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat Tuhan dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan Tuhan. Karena stasion-stasion tersebut di atas baru merupakan tempat penyucian diri bagi orang yang memasuki jalan tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi, tapi baru menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai ke stasion berikutnya dan memperoleh pengalaman- pengalaman tasawuf. PENGALAMAN SUFI Di masa awal perjalanannya, calon sufi dalam hubungannya dengan Tuhan dipengaruhi rasa takut atas dosa-dosa yang dilakukannya. Rasa takut itu kemudian berubah menjadi rasa waswas apakah tobatnya diterima Tuhan sehingga ia dapat meneruskan perjalanannya mendekati Tuhan. Lambat laun ia rasakan bahwa Tuhan bukanlah zat yang suka murka, tapi zat yang sayang dan kasih kepada hamba-Nya. Rasa takut hilang dan timbullah sebagai gantinya rasa cinta kepada Tuhan. Pada stasion ridla, rasa cinta kepada Tuhan bergelora dalam hatinya. Maka ia pun sampai ke stasion mahabbah, cinta Ilahi. Sufi memberikan arti mahabbah sebagai berikut, pertama, memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya. Kedua, Menyerahkan seluruh diri kepada Yang Dikasihi. Ketiga, Mengosongkan hati dari segala- galanya, kecuali dari Diri Yang Dikasihi. Mencintai Tuhan tidaklah dilarang dalam Islam, bahkan dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang menggambarkan cinta Tuhan kepada hamba dan cinta hamba kepada Tuhan. Ayat 54 dari surat al-Maidah, "Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan orang yang mencintai-Nya." Selanjutnya ayat 30 dari surat 'Ali Imran menyebutkan, "Katakanlah, jika kamu cinta kepada Tuhan, maka turutlah Aku, dan Allah akan mencintai kamu." Hadits juga menggambarkan cinta itu, seperti yang berikut, "Senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku melalui ibadat sehingga Aku cinta kepadanya. Orang yang Ku- cintai, Aku menjadi pendengaran, penglihatan dan tangannya." Sufi yang masyhur dalam sejarah tasawuf dengan pengalaman cinta adalah seorang wanita bernama Rabi'ah al-'Adawiah (713-801 M) di Basrah. Cintanya yang dalam kepada Tuhan memalingkannya dari segala yang lain dari Tuhan. Dalam doanya, ia tidak meminta dijauhkan dari neraka dan pula tidak meminta dimasukkan ke surga. Yang ia pinta adalah dekat kepada Tuhan. Ia mengatakan, "Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka, bukan pula karena ingin masuk surga, tetapi aku mengabdi karena cintaku kepada-Nya." Ia bermunajat, "Tuhanku, jika kupuja Engkau karena takut kepada neraka, bakarlah mataku karena Engkau, janganlah sembunyikan keindahan-Mu yang kekal itu dari pandanganku."
  • 6. Sewaktu malam telah sunyi ia berkata, "Tuhanku, bintang di langit telah gemerlapan, mata- mata telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci, tiap pecinta telah berduaan dengan yang dicintainya, dan inilah aku berada di hadirat-Mu." Ketika fajar menyingsing ia dengan rasa cemas mengucapkan, "Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera akan menampakkan diri. Aku gelisah, apakah Engkau terima aku sehingga aku bahagia, ataukah Engkau tolak sehingga aku merasa sedih. Demi keMahakuasaan-Mu inilah yang akan kulakukan selama Engkau beri hajat kepadaku. Sekiranya Engkau usir aku dari depan pintuMu, aku tidak akan bergerak, karena cintaku kepada-Mu telah memenuhi hatiku." Pernah pula ia berkata, "Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadiratMu, Engkau harapanku, kebahagiaan dari kesenanganku. Hatiku telah enggan mencintai selain Engkau." Begitu penuh hatinya dengan rasa cinta kepada Tuhan, sehingga ketika orang bertanya kepadanya, apakah ia benci kepada setan, ia menjawab, "Cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong di dalam hatiku untuk benci setan." Cinta tulus Rabi'ah al-'Adawiah kepada Tuhan, akhirnya dibalas Tuhan, dan ini tertera dari syairnya yang berikut: Kucintai Engkau dengan dua cinta, Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu, Cinta karena diriku Membuat aku lupa yang lain dan senantiasa menyebut nama-Mu, Cinta kepada diri-Mu, Membuat aku melihat Engkau karena Engkau bukakan hijab, Tiada puji bagiku untuk ini dan itu, Bagi-Mu-lah puji dan untuk itu semua. Rabi'ah al-'Adawiah, telah sampai ke stasion sesudah mahabbah, yaitu ma'rifah. Ia telah melihat Tuhan dengan hati nuraninya. Ia telah sampai ke stasion yang menjadi idaman kaum sufi. Dengan kata lain, Rabi'ah al-'Adawiah telah benar-benar menjadi sufi. Pengalaman ma'rifah, ditonjolkan oleh Zunnun al-Misri (w.860 M). Ma'rifah adalah anugerah Tuhan kepada sufi yang dengan ikhlas dan sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Karena cinta ikhlas dan suci itulah Tuhan mengungkapkan tabir dari pandangan sufi dan dengan terbukanya tabir itu sufi pun dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan dan sufi pun melihat keindahan-Nya yang abadi. Ketika Zunnun ditanya, bagaimana ia memperoleh ma'rifah, ia menjawab, "Aku melihat dan mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tidak melihat dan tidak tahu Tuhan." Yang dimaksud Zunnun ialah bahwa ia memperoleh ma'rifah karena kemurahan hati Tuhan. Sekiranya Tuhan tidak membukakan tabir dari mata hatinya, ia tidak akan dapat melihat Tuhan. Sebagaimana disebut dalam literatur tasawuf, sufi berusaha keras mendekatkan diri dari bawah dan Tuhan menurunkan rahmat-Nya dari atas. Juga dikatakan bahwa ma'rifah datang ketika cinta sufi dari bawah dibalas Tuhan dari atas. Dalam hubungan dengan Tuhan, sufi memakai alat bukan akal yang berpusat di kepala, tapi qalb atau kalbu (jantung) yang berpusat di dada. Kalbu mempunyai tiga daya, pertama, daya untuk-mengetahui sifat-sifat Tuhan yang disebut qalb. Kedua, daya untuk mencintai Tuhan yang disebut ruh. Ketiga daya untuk melihat Tuhan yang disebut sirr. Sirr adalah daya terpeka dari kalbu dan daya ini keluar setelah sufi berhasil menyucikan jiwanya sesuci-sucinya. Dalam bahasa sufi, jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalau senantiasa dibersihkan dan digosok akan mempunyai daya tangkap yang besar. Demikian juga jiwa, makin lama ia disucikan dengan ibadat yang banyak, makin suci ia dan makin besar daya
  • 7. tangkapnya, sehingga akhirnya dapat menangkap daya cemerlang yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu sufi pun bergemilang dalam cahaya Tuhan dan dapat melihat rahasia-rahasia Tuhan. Karena itu al-Ghazali mengartikan ma'rifat, "Melihat rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada." Kata ma'rifat memang mengandung arti pengetahuan. Maka, ma'rifat dalam tasawuf berarti pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan melalui kalbu. Pengetahuan ini disebut ilm ladunni. Ma'rifah berbeda dengan 'ilm. 'Ilm ini diperoleh melalui akal. Dalam pendapat al- Ghazali, pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu, yaitu ma'rifah, lebih benar dari pengetahuan yang diperoleh melalui akal, yaitu 'ilm. Sebelum menempuh jalan tasawuf al-Ghazali diserang penyakit syak. Tapi, menurut al-Ghazali, setelah mencapai ma'rifah, keyakinannya untuk memperoleh kebenaran ternyata melalui tasawuf, bukan filsafat. Lebih jauh mengenai ma'rifah dalam literatur tasawuf dijumpai ungkapan berikut, pertama, kalau mata yang terdapat di dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah. Kedua, ma'rifah adalah cermin. Kalau sufi melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah. Ketiga, yang dilihat orang 'arif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanyalah Allah. Keempat, sekiranya ma'rifah mengambil bentuk materi, cahaya yang disinarkannya gelap. Semua orang yang memandangnya akan mati karena tak tahan melihat kecemerlangan dan keindahannya. Tetapi sufi yang dapat menangkap cahaya ma'rifah dengan mata hatinya akan dipenuhi kalbunya dengan rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan. Tidak mengherankan kalau sufi merasa tidak puas dengan stasion ma'rifah saja. Ia ingin berada lebih dekat lagi dengan Tuhan. Ia ingin mengalami persatuan dengan Tuhan, yang di dalam istilah tasawuf disebut ittihad. Pengalaman ittihad ini ditonjolkan oleh Abu Yazid antara lain Bustami (w. 874 M). Ucapan- ucapan yang ditinggalkannya menunjukkan bahwa untuk mencapai ittihad diperlukan usaha yang keras dan waktu yang lama. Seseorang pernah bertanya kepada Abu Yazid tentang perjuangannya untuk mencapai ittihad. Ia menjawab, "Tiga tahun," sedang umurnya waktu itu telah lebih dari tujuh puluh tahun. Ia ingin mengatakan bahwa dalam usia tujuh puluh tahunlah ia baru sampai ke stasion ittihad. Sebelum sampai ke ittihad, seorang sufi harus terlebih dahulu mengalami fana' dan baqa'. Yang dimaksud dengan fana' adalah hancur sedangkan baqa' berarti tinggal. Sesuatu didalam diri sufi akan fana atau hancur dan sesuatu yang lain akan baqa atau tinggal. Dalam literatur tasawuf disebutkan, orang yang fana dari kejahatan akan baqa (tinggal) ilmu dalam dirinya; orang yang fana dari maksiat akan baqa (tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian, yang tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan timbul sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan timbul takwa. Untuk sampai ke ittihad, sufi harus terlebih dahulu mengalami al-fana' 'an al-nafs, dalam arti lafdzi kehancuran jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada, tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana' 'an al-nafs wa al-baqa, bi 'l-Lah, dengan arti kesadaran tentang diri sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan. Mengenai fana', Abu Yazid mengatakan, "Aku mengetahui Tuhan melalui diriku hingga aku hancur, kemudian aku mengetahui-Nya melalui diri-Nya dan akupun hidup. Sedangkan mengenai fana dan baqa', ia mengungkapkan lagi, "Ia membuat aku gila pada diriku hingga aku
  • 8. mati. Kemudian Ia membuat aku gila kepada diri-Nya, dan akupun hidup." Lalu, diapun berkata lagi, "Gila pada diriku adalah fana' dan gila pada diri-Mu adalah baqa' (kelanjutan hidup)." Dalam menjelaskan pengertian fana', al-Qusyairi menulis, "Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap ada, demikian pula makhluk lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan pada dirinya. Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluk lain lenyap dan pergi ke dalam diri Tuhan dan terjadilah ittihad." Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar ungkapan-ungkapan ganjil yang dalam istilah sufi disebut syatahat (ucapan teopatis). Syatahat yang diucapkan Abu Yazid, antara lain, sebagai berikut, "Manusia tobat dari dosanya, tetapi aku tidak. Aku hanya mengucapkan, tiada Tuhan selain Allah." Abu Yazid tobat dengan lafadz syahadat demikian, karena lafadz itu menggambarkan Tuhan masih jauh dari sufi dan berada di belakang tabir. Abu Yazid ingin berada di hadirat Tuhan, berhadapan langsung dengan Tuhan dan mengatakan kepadaNya: Tiada Tuhan selain Engkau. Dia juga mengucapkan, "Aku tidak heran melihat cintaku pada-Mu, karena aku hanyalah hamba yang hina. Tetapi aku heran melihat cinta-Mu padaku, karena Engkau adalah Raja Maha Kuasa." Kara-kata ini menggambarkan bahwa cinta mendalam Abu Yazid telah dibalas Tuhan. Lalu, dia berkata lagi, "Aku tidak meminta dari Tuhan kecuali Tuhan." Seperti halnya Rabi'ah yang tidak meminta surga dari Tuhan dan pula tidak meminta dijauhkan dari neraka dan yang dikehendakinya hanyalah berada dekat dan bersatu dengan Tuhan. Dalam mimpi ia bertanya, "Apa jalannya untuk sampai kepadaMu?" Tuhan menjawab, "Tinggalkan dirimu dan datanglah." Akhirnya Abu Yazid dengan meninggalkan dirinya mengalami fana, baqa' dan ittihad. Masalah ittihad, Abu Yazid menggambarkan dengan kata-kata berikut ini, "Pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan Ia berkata, Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihat engkau. Aku menjawab, kekasih-Ku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, aku tak berdaya menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata, telah kami lihat Engkau. Tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah Engkau, karena ketika itu aku tak ada di sana." Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya ditolak Abu Yazid. Ia tetap meminta bersatu dengan Tuhan. Ini kelihatan dari kata-katanya, "Hiasilah aku dengan keesaan-Mu." Permintaan Abu Yazid dikabulkan Tuhan dan terjadilah persatuan, sebagaimana terungkap dari kata-kata berikut ini, "Abu Yazid, semuanya kecuali engkau adalah makhluk-Ku." Akupun berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau." Dalam literatur tasawuf disebut bahwa dalam ittihad, yang satu memanggil yang lain dengan kata-kata: Ya ana (Hai aku). Hal ini juga dialami Abu Yazid, seperti kelihatan dalam ungkapan selanjutnya, "Dialog pun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Maka Ia pun berkata kepadaku, "Hai Engkau, aku menjawab melalui diri-Nya "Hai Aku." Ia berkata kepadaku, "Engkaulah Yang Satu." Aku menjawab, "Akulah Yang Satu." Ia berkata lagi, "Engkau adalah Engkau." Aku menjawab: "Aku adalah Aku." Yang penting diperhatikan dalam ungkapan diatas adalah kata-kata Abu Yazid "Aku menjawab melalui diriNya" (Fa qultu bihi). Kata-kata bihi -melalui diri-Nya- menggambarkan bersatunya Abu Yazid dengan Tuhan, rohnya telah melebur dalam diri Tuhan. Ia tidak ada lagi,
  • 9. yang ada hanyalah Tuhan. Maka yang mengatakan "Hai Aku Yang Satu" bukan Abu Yazid, tetapi Tuhan melalui Abu Yazid. Dalam arti serupa inilah harus diartikan kata-kata yang diucapkan lidah sufi ketika berada dalam ittihad yaitu kata-kata yang pada lahirnya mengandung pengakuan sufi seolah-olah ia adalah Tuhan. Abu Yazid, seusai sembahyang subuh, mengeluarkan kata-kata, "Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku, Aku adalah Allah. Tiada Allah selain Aku, maka sembahlah Aku." Dalam istilah sufi, kata-kata tersebut memang diucapkan lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak berarti bahwa ia mengakui dirinya Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa terbesar, dan sebagaimana dilihat pada permulaan makalah ini, agar dapat dekat kepada Tuhan, sufi haruslah bersih bukan dari dosa saja, tetapi juga dari syubhat. Maka dosa terbesar tersebut diatas akan membuat Abu Yazid jauh dari Tuhan dan tak dapat bersatu dengan Dia. Maka dalam pengertian sufi, kata-kata diatas betul keluar dari mulut Abu Yazid. Dengan kata lain, Tuhanlah yang mengaku diri-Nya Allah melalui lidah Abu Yazid. Karena itu dia pun mengatakan, "Pergilah, tidak ada di rumah ini selain Allah Yang Maha Kuasa. Di dalam jubah ini tidak ada selain Allah." Yang mengucapkan kata-kata itu memang lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak mengandung pengakuan Abu Yazid bahwa ia adalah Tuhan. Itu adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan melalui lidah Abu Yazid. Sufi lain yang mengalami persatuan dengan Tuhan adalah Husain Ibn Mansur al-Hallaj (858-922 M), yang berlainan nasibnya dengan Abu Yazid. Nasibnya malang karena dijatuhi hukuman bunuh, mayatnya dibakar dan debunya dibuang ke sungai Tigris. Hal ini karena dia mengatakan, "Ana 'l-Haqq (Akulah Yang Maha Benar). Pengalaman persatuannya dengan Tuhan tidak disebut ittihad, tetapi hulul. Kalau Abu Yazid mengalami naik ke langit untuk bersatu dengan Tuhan, al-Hallaj mengalami persatuannya dengan Tuhan turun ke bumi. Dalam literatur tasawuf hulul diartikan, Tuhan memilih tubuh- tubuh manusia tertentu untuk bersemayam didalamnya dengan sifat-sifat ketuhanannya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dihancurkan. Di sini terdapat juga konsep fana, yang dialami Abu Yazid dalam ittihad sebelum tercapai hulul. Menurut al-Hallaj, manusia mempunyai dua sifat dasar: nasut (kemanusiaan) dan lahut (ketuhanan). Demikian juga Tuhan mempunyai dua sifat dasar, lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Landasan bahwa Tuhan dan manusia sama-sama mempunyai sifat diambil dari hadits yang menegaskan bahwa Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya. Hadits ini mengandung arti bahwa didalam diri Adam ada bentuk Tuhan dan itulah yang disebut lahut manusia. Sebaliknya didalam diri Tuhan terdapat bentuk Adam dan itulah yang disebut nasut Tuhan. Hal ini terlihat jelas pada syair al-Hallaj sebagai berikut: Maha Suci Diri Yang Sifat kemanusiaan-Nya Membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata Dalam bentuk manusia yang makan dan minum Dengan membersihkan diri malalui ibadat yang banyak dilakukan, nasut manusia lenyap dan muncullah lahut-nya dan ketika itulah nasut Tuhan turun bersemayam dalam diri sufi dan terjadilah hulul. Hal itu digambarkan al-Hallaj dalam syair berikut ini:
  • 10. Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku Sebagaimana anggur disatukan dengan air suci Jika Engkau disentuh, aku disentuhnya pula Maka, ketika itu -dalam tiap hal- Engkau adalah aku. Hulul juga digambarkan dalam syair berikut: Aku adalah Dia yang kucintai Dan Dia yang kucintai adalah aku, Kami adalah dua jiwa yang menempati satu tubuh, Jika Engkau lihat aku, engkau lihat Dia, Dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat Kami. Ketika mengalami hulul yang digambarkan diatas itulah lidah al-Hallaj mengucapkan, "Ana 'l-Haqq (Akulah Yang Maha Benar). Tetapi sebagaimana halnya dengan Abu Yazid, ucapan itu tidak mengandung arti pengakuan al-Hallaj dirinya menjadi Tuhan. Kata-kata itu adalah kata-kata Tuhan yang Ia ucapkan melalui lidah al-Hallaj. Sufi yang bernasib malang ini mengatakan, "Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, Yang Maha Benar bukanlah Aku, Aku hanya satu dari yang benar, Maka bedakanlah antara kami." Syatahat atau kata-kata teofani sufi seperti itu membuat kaum syari'at menuduh sufi telah menyeleweng dari ajaran Islam dan menganggap tasawuf bertentangan dengan Islam. Kaum syari'at yang banyak terikat kepada formalitas ibadat, tidak menangkap pengalaman sufi yang mementingkan hakekat dan tujuan ibadat, yaitu mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan. Dalam sejarah Islam memang terkenal adanya pertentangan keras antara kaum syari'at dan kaum hakekat, gelar yang diberikan kepada kaum sufi. Pertentangan ini mereda setelah al- Ghazali datang dengan pengalamannya bahwa jalan sufilah yang dapat membawa orang kepada kebenaran yang menyakinkan. Al-Ghazali menghalalkan tasawuf sampai tingkat ma'rifah, sungguhpun ia tidak mengharamkan tingkat fana', baqa, dan ittihad. Ia tidak mengkafirkan Abu Yazid dan al-Hallaj, tapi mengkafirkan al-Farabi dan Ibn Sina. Kalau filsafat, setelah kritik al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, tidak berkembang lagi di dunia Islam Sunni, tasawuf sebaliknya banyak diamalkan, bahkan oleh syariat sendiri. Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pengalaman persatuan manusia dengan Tuhan yang dibawa al-Bustami dalam ittihad dan al-Hallaj dalam hulul, Muhy al- Din Ibn 'Arabi (1165-1240) membawa ajaran kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan dalam wahdat al-wujud. Lahut dan nasut, yang bagi al-Hallaj merupakan dua hal yang berbeda, ia satukan menjadi dua aspek. Dalam pengalamannya, tiap makhluk mempunyai dua aspek. Aspek batin yang merupakan esensi, disebut al-haqq, dan aspek luar yang merupakan aksiden disebut al-khalq. Semua makhluk dalam aspek luarnya berbeda, tetapi dalam aspek batinnya satu, yaitu al-haqq. Wujud semuanya satu, yaitu wujud al-haqq. Tuhan, sebagaimana disebut dalam Hadits yang telah dikutip pada permulaan, pada awalnya adalah "harta" tersembunyi, kemudian Ia ingin dikenal maka diciptakan-Nya makhluk, dan melalui makhluklah Ia dikenal. Maka, alam sebagai makhluk, adalah penampakan diri atau tajalli dari Tuhan. Alam sebagai cermin yang didalamnya terdapat gambar Tuhan. Dengan kata
  • 11. lain, alam adalah bayangan Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam tak akan ada tanpa wujud Tuhan. Wujud alam tergantung pada wujud Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam bersatu dengan wujud Tuhan dalam ajaran wahdat al-wujud. Yang ada dalam alam ini kelihatannya banyak tetapi pada hakekatnya satu. Keadaan ini tak ubahnya sebagai orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya. Di dalam tiap cermin, ia lihat dirinya. Di dalam cermin, dirinya kelihatan banyak, tetapi pada hakekatnya dirinya hanya satu. Yang lain dan yang banyak adalah bayangannya. Oleh karena itu ada orang yang mengidentikkan ajaran wahdat al-wujud Ibn Arabi dengan panteisme dalam arti bahwa yang disebut Tuhan adalah alam semesta. Jelas bahwa Ibn Arabi tidak mengidentikkan alam dengan Tuhan. Bagi Ibn Arabi, sebagaimana halnya dengan sufi- sufi lainnya, Tuhan adalah transendental dan bukan imanen. Tuhan berada di luar dan bukan di dalam alam. Alam hanya merupakan penampakan diri atau tajalli dari Tuhan. Ajaran wahdat al-wujud dengan tajalli Tuhan ini selanjutnya membawa pada ajaran al-Insan al-Kamil yang dikembangkan terutama oleh Abd al-Karim al-Jilli (1366-1428). Dalam pengalaman al-Jilli, tajalli atau penampakan diri Tuhan mengambil tiga tahap tanazul (turun), ahadiah, Huwiah dan Aniyah. Pada tahap ahadiah, Tuhan dalam keabsolutannya baru keluar dari al-'ama, kabut kegelapan, tanpa nama dan sifat. Pada tahap hawiah nama dan sifat Tuhan telah muncul, tetapi masih dalam bentuk potensial. Pada tahap aniah, Tuhan menampakkan diri dengan nama-nama dan sifat-sifat- Nya pada makhluk-Nya. Di antara semua makhluk-Nya, pada diri manusia Ia menampakkan diri-Nya dengan segala sifat-Nya. Sungguhpun manusia merupakan tajalli atau penampakan diri Tuhan yang paling sempurna diantara semua makhluk-Nya, tajalli-Nya tidak sama pada semua manusia. Tajalli Tuhan yang sempurna terdapat dalam Insan Kamil. Untuk mencapai tingkat Insan Kamil, sufi mesti mengadakan taraqqi (pendakian) melalui tiga tingkatan: bidayah, tawassut dan khitam. Pada tingkat bidayah, sufi disinari oleh nama-nama Tuhan, dengan kata lain, pada sufi yang demikian, Tuhan menampakkan diri dalam nama-nama-Nya, seperti Pengasih, Penyayang dan sebagainya (tajalli fi al-asma). Pada tingkat tawassut, sufi disinari oleh sifat-sifat Tuhan, seperti hayat, ilmu, qudrat dll. Dan Tuhan ber-tajalli pada sufi demikian dengan sifat-sifat-Nya. Pada tingkat khitam, sufi disinari dzat Tuhan yang dengan demikian sufi tersebut ber-tajalli dengan dzat-Nya. Pada tingkat ini sufi pun menjadi Insan Kamil. Ia menjadi manusia sempurna, mempunyai sifat ketuhanan dan dalam dirinya terdapat bentuk (shurah) Allah. Dialah bayangan Tuhan yang sempurna. Dan dialah yang menjadi perantara antara manusia dan Tuhan. Insan Kamil terdapat dalam diri para Nabi dan para wali. Di antara semuanya, Insan Kamil yang tersempurna terdapat dalam diri Nabi Muhammad. Demikianlah, tujuan sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan akhirnya tercapai malalui ittihad serta hulul yang mengandung pengalaman persatuan roh manusia dengan roh Tuhan dan melalui wahdat al-wujud yang mengandung arti penampakan diri atau tajalli Tuhan yang sempurna dalam diri Insan Kamil. Sementara itu tasawuf pada masa awal sejarahnya mengambil bentuk tarekat, dalam arti organisasi tasawuf, yang dibentuk oleh murid-murid atau pengikut-pengikut sufi besar untuk melestarikan ajaran gurunya. Di antara tarekat-tarekat besar yang terdapat di Indonesia adalah Qadiriah yang muncul pada abad ke-13 Masehi untuk melestarikan ajaran Syekh Abdul
  • 12. Qadir Jailani (w. 1166 M), Naqsyabandiah, muncul pada abad ke-14 bagi pengikut Bahauddin Naqsyabandi (w. 1415 M), Syattariah, pengikut Abdullah Syattar (w. 1415 M), dan Tijaniah yang muncul pada abad ke-19 di Marokko dan Aljazair. Tarekat-tarekat besar lain diantaranya adalah Bekhtasyiah di Turki, Sanusiah di Libia, Syadziliah di Marokko, Mesir dan Suria, Mawlawiah (Jalaluddin Rumi) di Turki, dan Rifa'iah di Irak, Suria dan Mesir. Dalam tarekat, ajaran-ajaran sufi besar tersebut terkadang diselewengkan, sehingga tarekat menyimpang dari tujuan sebenarnya dari sufi untuk menyucikan diri dan berada dekat dengan Tuhan. Tarekat ada yang telah menyalahi ajaran dasar sufi dan syari'at Islam, sehingga timbullah pertentangan antara kaum syari'at dan kaum tarekat. Sementara itu ada pula tarekat yang menekankan pentingnya kehidupan rohani dan mengabaikan kehidupan duniawi, dan disamping itu menekankan ajaran tawakal sufi, sehingga mengabaikan usaha. Dengan kata lain, yang dikembangkan tarekat adalah orientasi akhirat dan sikap tawakal. Perlu ditegaskan bahwa sampai permulaan abad ke-20, tarekat mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat Islam. Karena pengaruh besar itu, orang-orang yang ingin mendapat dukungan dari masyarakat menjadi anggota tarekat. Di Turki Usmani, tentara menjadi anggota tarekat Bekhtasyi dan dalam perlawanan mereka terhadap pembaharuan yang diadakan sultan-sultan, mereka mendapat sokongan dari tarekat Bekhtasyi dan para ulama Turki. Karena pengaruh besar dalam masyarakat itu orientasi akhirat dan sikap tawakal berkembang di kalangan umat Islam yang bekas-bekasnya masih ada pada kita sampai sekarang. Untuk itu tidak mengherankan kalau pemimpin-pemimpin pembaharuan dalam Islam seperti Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan terutama Kamal Ataturk memandang tarekat sebagai salah satu faktor yang membawa kepada kemunduran umat Islam. Dalam pada itu dunia dewasa ini dilanda oleh materialisme yang menimbulkan berbagai masalah sosial yang pelik. Banyak orang mengatakan bahwa dalam menghadapi meterialisme yang melanda dunia sekarang, perlu dihidupkan kembali spiritualisme. Disini tasawuf dengan ajaran kerohanian dan akhlak mulianya dapat memainkan peranan penting. Tetapi untuk itu yang perlu ditekankan tarekat dalam diri para pengikutnya adalah penyucian diri dan pembentukan akhlak mulia disamping kerohanian dengan tidak mengabaikan kehidupan keduniaan. Pada akhir-akhir ini memang kelihatan gejala orang-orang di Barat yang bosan hidup kematerian lalu mencari hidup kerohanian di Timur. Ada yang pergi ke kerohanian dalam agama Buddha, ada ke kerohanian dalam agama Hindu dan tak sedikit pula yang mengikuti kerohanian dalam agama Islam, umpamanya aliran Subud di Jakarta. Dalam hubungan itu kira-kira 30 tahun lalu, A.J. Arberry dalam bukunya Sufism menulis bahwa Muslim dan bukan Muslim adalah makhluk Tuhan yang satu. Oleh karena itu bukanlah tidak pada tempatnya bagi seorang Kristen untuk mempelajari ajaran-ajaran sufi yang telah meninggalkan pengaruh besar dalam kehidupan umat Islam dan bersama-sama dengan orang Islam menggali kembali ajaran-ajaran sufi yang akan dapat memenuhi kebutuhan orang yang mencari nilai-nilai kerohanian dan moral zaman yang penuh kegelapan dan tantangan seperti sekarang.
  • 13. DAFTAR KEPUSTAKAAN Arberry, A.J., Sufism, London, George Allan and Unwin Ltd., 1963. Badawi, A.R., Syatahat al-Sufiah, Cairo, al-Nahdah al-Misriah, 1949. Corbin, H., Histoire de la Philosophie Islamique, Paris, Gallimard, 1964. -------------------------------------------- Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174