Makalah ini membahas tentang Perang Tondano dan perlawanan Pattimura melawan Belanda. Perang Tondano terjadi karena Belanda memaksa orang Minahasa untuk merekrut tentara dan menolak kebijakan kolonial Belanda. Pattimura memimpin perlawanan rakyat Maluku terhadap penindasan dan kerja paksa Belanda pada tahun 1817.
1. MAKALAH
SEJARAH INDONESIA
Disusun oleh :
1. Doris Agusnita (07)
2. Sigit Haris Adi Prasetyo (25)
3. Satria Indra Cahya (22)
4. Shofi Majid Abiyi (24)
SMA NEGERI 2 PATI
Tahun Pelajaran 2016/2017
2. KATA PENGANTAR
Segala puji dan sukur sudah sepantasnya kita panjatkan ke hadirat Tuhan
Yang Maha Esa yang hingga saat ini masih berkenan memberikan kepercayaan-
Nya kepada kita semua untuk menikmati segala karunia-Nya, dan hanya dengan
qudrat dan iradat-Nyalah penyusun dapat menyelesaikan makalah ini. Adapun
makalah ini di susun untuk memenuhi mata pelajaran Sejarah Indonesia. Semoga
dengan penyusunan makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pemahaman
diri penyusun tentang mata pelajaran ini. Demi kesempurnaannya, penyusun selalu
mengharapkan adanya saran dan masukan dari berbagai pihak.
Tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada guru pembimbing
mata pelajaran Sejarah Indonesia dan kepada semua pihak yang telah mendukung
hingga terselesaikannya makalah ini.
Harapan penyusun semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
khususnya bagi penyusun sendiri dan umumnya bagi siapa saja yang membaca.
Pati, 16 Oktober 2016
Penulis,
3. Daftar Isi
Halaman judul…………………………………………………………………i
Kata penghantar .……………………………………………………………. ii
Daftar isi……………………………………………………………………. iii
BAB PENDAHULUAN
A. Latar belakang.……..………………………………………………….1-2
B. Rumusan masalah...……………………………………………………...2
C. Tujuan. …………………………………………………………………..2
BAB II PEMBAHASAN
Perang Tondano……………………………………......…………………...3-4
Patimurra Angkat Senjata...………………………………………………...4-5
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...…………………………………………………………… 8
B. Saran…...……………………………………………………………….. 8
C. Daftar pustaka ..………………………………………………………… 9
4. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahwa hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya perang antara orang Minahasa
dengan kompeni Belanda, antara lain dipengaruhi oleh sikap antipati seluruh Walak di
Minahasa khususnya Walak Tondano atas kedatangan kolonial Belanda yang dianggap
sama dengan kolonial asing sebelumnya, yakni orang Tasikela (Portugis dan Spanyol)
yang telah membunuh beberapa Tona’as antara lain Monomimbar dan Rakian dari
Tondano dan Tona’as Umboh dari Tomohon, serta adanya pemerkosaan terhadap
perempuan (Wewene) Minahasa. Hal ini membuktikan kesan bahwa semua orang kulit
putih (kolonial) memiliki perangai yang sama alias kejam. Demikian juga pada perang
ketiga, dipicu oleh tertangkapnya Ukung Pangalila Kepala Walak Tondano dan Ukung
Sumondak Kepala Walak Tampomas. Salah satu penyebab terjadinya perang Tondano
keempat (terakhir) adalah bahwa Minahasa tidak mau menyiapkan/menyediakan tentara
untuk kepentingan militer Hindia Belanda. Selain itu penyebab yang lain dikarenakan
masalah “rekrutering” atau ketentuan menjadi serdadu bagi para pemuda Minahasa untuk
dikirim ke Jawa guna menghadapi perjuangan tentara dari Inggris. Selain permasalahan
tersebut maka dipanggilah dalam jumlah besar, orang-orang yang berasal dari suku-suku
pemberani dalam peperangan, seperti suku Minahasa, suku Madura, dan suku Dayak.
Bila yang datang melaporkan secara suka rela tidak segenap hati/memadai, pemaksaan
dilakukan. Suatu tindakan yang telah mengakibatkan pecahnya pemberontakan rakyat di
Manado/Minahasa. Pada tahun 1928 Prediger dengan pembawaannya yang lemah lembut
menghindari bentrokan dengan penduduk, ia tidak dapat mencegah tindakan petugas
pendaftaran yang tidak bijaksana dan terciptannya cerita yang tidak mengenai tujuan
perekrutan. Ditambah dengan hutang lama yang disebabkan penerimaan sandang dengan
uang muka, hubungan baik dengan pemerintah Hindia Belanda menjadi rusak sekali.
Jika dilihat secara kritis makna terjadinya perang Tondano sesungguhnya bukan
alasan rekruitmen, tagihan hutang lama dan tafsiran yang mengada-ada dari sejarawan
kolonial tersebut. Akan tetapi masalahnya terletak pada pelanggaran-pelanggaran
kolonial Belanda terhadap ketentuan ikatan persahabatan Minahasa-Belanda Verbond 10
Januari 1679. Hal ini menunjukan bahwa secara antropologis orang Minahasa sudah sejak
tempo dulu tetap konsisten mempertahankan nilai-nilai budaya (orientasi terhadap
kebenaran dan keadilan) yang tidak mengenai kompromi dengan pelanggaran adat,
siapapun pihak yang melakukan pelanggaran adat yang dimaksud (sei’reen). Bagi orang
Minahasa Verbond sudah menjadi bagian dari adat Minahasa yang menjamin kelanjutan
hidup orang Minahasa. Hal ini dianggap oleh para pemimpin Minahasa merupakan
pengingkaran suatu penghinaan yang fanatisme terhadap kebenaran dan keadilan.
5. Apalagi mereduksi nilai-nilai kepemimpinan sosial orang Minahasa, dimana posisi kepala
walak dikondisikan sedemikian rupa dalam perubahan perjanjian (Verdrag 10 September
1699/amandemen pasal 9), sebagai bawahan yang harus tunduk terhadap semua
kebijakan kompeni Belanda. Padahal dalam konteks status peranan, menjadi kepala
walak, bukanlah jabatan yang diberikan atas dasar turunan (ascribed) tetapi menjadi
kepala walak diperoleh secara demokratis/dipilih secara adat atas dasar kinerja.
A. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Perang Tondano terjadi?
2. Bagaimana perlawanan dari Pattimura?
B. Tujuan
Tujuan dalam makalah ini adalah untuk mengetahui tentang perang Tondano dan
perlawanan dari Pattimura.
6. BAB II
PEMBAHASAN
A. PERANG TONDANO
1. Perang Tondano I
Perang Tondano I terjadi pada masa kekuasaan VOC. Pada saat datangnya bangsa
barat orang-orang Spanyol sudah sampai di Tondano (Minahasa, Sulawesi Utara). Orang
Spanyol di samping berdagang juga menyebarkan Agama Kristen dengan
tokohnya Franciscus Xaverius. hubungan mengalami perkembangan tatapi pada abad
ke-17 hubungan dagang mereka terganggu dengan munculnya VOC. Pada waktu itu
VOC berhasil menanamkan pengaruhnya di Ternate. Bahkan Guberbur Ternate Simon
Cos mendapatkan kepercayaan dari Batavia untuk membebaskan Minahasa dari pengaruh
Spanyol. Simon Cos kemudian menempatkan kapalnya di Selat Lembeh untuk mengawai
pantai timur Minahasa. Para pedagang Spanyol dan juga pedagang Makasar bebas
berdagang mulai tersingkir oleh VOC. Apalagi Spanyol harus meninggalkan Indonesia
menuju Filipina.
VOC berusaha memaksakan orang-orang Minahasa untuk monopoli berusaha di
Sulawesi Utara. Orang Minahasa kemudian menentang usaha tersebut maka VOC
berupaya untuk memerangi orang minahasa dengan membendung Sungai Temberan.
Akibatnya tempat tinggal tergenang dan kemudian tempat tinggal di danau Tondano
dengan rumah apung. Pasukan VOC kemudian mengepung orang Minahasa di Danau
Tondano. Simon Cos mengeluarkan ultimatum yang berisi 1) orang Tondano harus
menyerahkan tokoh pemberontak kepada VOC 2) orang Tondano harus membayar ganti
rugi dengan menyerahkan 50-60 nbudak sebagai ganti rugi rusaknya tanaman padi.
Simon Cos kecewa karena ultimatum tidak diindahkan .Pasukan VOC kemudian
dipindahkan ke Manado. Setelah itu rakayat Tondano menghadapi masalah dengan hasil
panen yang menumpuk tidak laku terjual kepada VOC. Dengan terpaksa kemudian
mereka mendekaati VOC, maka terbukalah tanah Tondano bagi VOC. Berakhirlah
perang Tondano I. Orang Tondano memindahkan perkampungannya kedataran baru yang
bernama Minawanua (Ibu Negeri)
2. Perang Tondano II
Perang Tondano II terjadi ketika memasuki abad ke-19, yakni pada abad ke-19,
yakni pada masa kolonial Belanda. Perang ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Gubernur
Jenderal Daendels. Deandels yang mendapat mandat untuk memerangi Inggris,
memerlukan pasukan dalam jumlah besar.Untuk menambah pasukan maka direkrut
pasukan dari kalangan pribumi . Mareka yang dipilih adalah suku-suku yang memiliki
keberanian adalah orang Madura, Dayak dan Minahasa. Atas perintah Deandels
7. melalui Kapten Hartingh, Residen Manado Prediger segera mengumpulkan para
ukung (pemimpin walak atau daerah setingkat distrik). dari Minahasa ditarget untuk
mengumpulkan pasukan sejumlah 2.000 orang yang akan di kirim ke jawa. Ternyata
orang-orang Minahasa tidak setuju dengan program Deandels untuk merekrut pemuda-
pemuda Minahasa sebagai pasukan kolonial. Kemudian para ukung bertekad untuk
mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Mereka memusatkan aktivitas
perjuangannya di Tondano Minahasa.
Dalam suasana Gubernur Prediger untuk meyerang pertahanan orang-orang
Minahasa di Tondano, Minawanua, dengan cara membendung Sungai Temberan dan
membentuk dua pasukan tangguh. Tanggal 23 Oktober 1808 Belanda berhasil menyerang
orang-orang Minahasa. Tanggal 24 Oktober 1808 Belanda menguasai Tondano dan
mengendorkan serangan tetapi kemudian orang-orang Tondano muncul dengan
melakukan serangan.
Perang Tondano II berlasung lama sampai Agusttus 1809. dalam suasana
kepenatan banyak kelompok pejuang kemudian memihak Belanda. Namun dengan
kekuatan yang ada para pejuanga Tondano terus memberikan perlawanan. Akhirnya
tanggal 4-5 Agustus 1809 benteng pertahanan Moraya hancur bersama para pejuang.
Mereka memilih mati daripada menyerah.
3. Pattimura Angkat Senjata
Pada tahun 1605 Belanda mulai memasuki wilayah Maluku dan berhasil merebut
benteng Portugis di Ambon. Praktik monopoli dengan sistem pelayaran hongi
menimbulkan kesengsaran rakyat. Pada tahun 1635 muncul perlawanan rakyat Maluku
terhadap VOC di bawah pimpinan Kakiali, Kapten Hitu. Perlawanan segera meluas ke
berbagai daerah. Oleh karena kedudukan VOC terancam, maka Gubernur Jederal Van
Diemen dari Batavia dua kali datang ke Maluku (1637 dan 1638) untuk menegakkan
kekuasaan Kompeni. Untuk mematahkan perlawanan rakyat Maluku, Kompeni
menjanjikan akan memberikan hadiah besar kepada siapa saja yang dapat membunuh
Kakiali. Akhirnya seorang pengkhianat berhasil membunuh Kakiali.
Dengan gugurnya Kakiali, untuk sementara Belanda berhasil mematahkan
perlawanan rakyat Maluku, sebab setelah itu muncul lagi perlawanan sengit dari orang-
orang Hitu di bawah pimpinan Telukabesi. Perlawanan ini baru dapat dipadamkan pada
tahun 1646. Pada tahun 1650 muncul perlawanan di Ambon yang dipimpin oleh Saidi.
Perlawanan meluas ke daerah lain, seperti Seram, Maluku, dan Saparua. Pihak Belanda
agak terdesak, kemudian minta bantuan ke Batavia. Pada bulan Juli 1655 bala bantuan
datang di bawah pimpinan Vlaming van Oasthoom dan terjadilah pertempuran sengit di
8. Howamohel. Pasukan rakyat terdesak, Saidi tertangkap dan dihukum mati, maka patahlah
perlawanan rakyat Maluku.
Sampai akhir abad ke-17 tidak ada lagi perlawanan menentang VOC. Pada akhir
abad ke-18, muncul lagi perlawanan rakyat Maluku di bawah pimpinan Sultan
Jamaluddin, namun segera dapat ditangkap dan diasingkan ke Sailan (Sri Langka).
Menjelang akhir abad ke-18 (1797) muncullah perlawanan besar rakyat Maluku di bawah
pimpinan Sultan Nuku dari Tidore. Sultan Nuku berhasil merebut kembali Tidore dari
tangan VOC. Akan tetapi setelah Sultan Nuku meninggal (1805), VOC dapat menguasai
kembali wilayah Tidore.
Perlawanan Pattimura (1817). Perlawanan Pattimura terjadi di Saparua, yaitu
sebuah kota kecil di dekat pulau Ambon. Sebab-sebab terjadinya perlawanan terhadap
Belanda adalah :
a. Rakyat Maluku menolak kehadiran Belanda karena pengalaman mereka yang
menderita dibawah VOC
b. Pemerintah Belanda menindas rakyat Maluku dengan diberlakukannya kembali
penyerahan wajib dan kerja wajib
c. Dikuasainya benteng Duursteide oleh pasukan Belanda
Akibat penderitaan yang panjang rakyat menetang Belanda dibawah pimpinan
Thomas Matulesi atau Pattimura. Tanggal 15 Mei 1817 rakyat Maluku mulai bergerak
dengan membakar perahu-perahu milik Belanda di pelabuhan Porto. Selanjutnya rakyat
menyerang penjara Duurstede. Residen Van den Berg tewas tertembak dan benteng
berhasil dikuasai oleh rakyat Maluku.
9. BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Puncak petualangan Kompeni Belanda itu dimulai, dilaksanakan dan diakhiri di
wilayah Walak Tondano.
2. Hak oktroi hanya boleh dimiliki oleh kompeni tidak boelh ada pemasokan beras ke
negara lain kecuali hanya untuk kompeni saja sehingga kebutuhan logistik
dianggap penting karena beras menjadi komoditi pelayaran Armada Dagang pergi
pulang Maluku-Eropa Barat.
3. Asal mula Minahasa mereka menemukan nama tersebut pada saat mereka mencari
makanan sehingga Malesung/nama tua disebut sebagai Minahasa. Perlawan para
walak Minahasa terjadi sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1661-1664, 1681-
1682, 1707-1711, dan 1807-1809.
B. Saran
Makalah ini diharapkan dapat menjadi bahan maupun referensi pengetahuan
mengenai Perang Tondano dan Pattimura. Namun, kritik dan saran yang membangun
sangat diharapkan, karena melihat masih banyak hal-hal yang belum bisa dikaji lebih
mendalam dalam makalah ini.