Patahan Lembang terbentuk akibat pergerakan lempeng tektonik sekitar 500.000 tahun yang lalu. Patahan ini membelah Bandung menjadi dua daerah aliran sungai. Gua Pawon merupakan situs purbakala penting yang menyimpan fosil manusia purba di Bandung Barat.
1. Laporan Observasi Geologi
LAPORAN OBSERVASI GEOLOGI
PATAHAN LEMBANG DAN GOA PAWON BANDUNG
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
KATA PENGANTAR ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Waktu dan Tempat 2
D. Tujuan Laporan 3
E. Kegunaan Observasi 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Patahan 4
B. Tenaga Pembentuk Patahan 4
C. Hubungan Gerakan Tektonik dan Patahan Lembang 5
D. Gua 8
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Observasi 11
B. Setting Penelitian 11
C. Teknik Pengumpulan Data 11
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Patahan Lembang 13
B. Goa Pawon 14
2. BAB V KESIMPULAN 18
DAFTAR PUSTAKA 19
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Geologi berasal dari Yunani: ge-, "bumi" dan logos, "kata", "alasan", adalah Ilmu (sains) yang
mempelajari bumi, komposisinya, struktur, sifat-sifat fisik, sejarah, dan proses pembentukannya.
Definisi; Geologi adalah suatu bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian yang mempelajari segala sesuatu
mengenai planet Bumi beserta isinya yang pernah ada. Merupakan kelompok ilmu yang membahas
tentang sifat-sifat dan bahan-bahan yang membentuk bumi, struktur, proses-proses yang bekerja baik
didalam maupun diatas permukaan bumi, kedudukannya di Alam Semesta serta sejarah
perkembangannya sejak bumi ini lahir di alam semesta hingga sekarang. Geologi dapat digolongkan
sebagai suatu ilmu pengetahuan yang komplek, mempunyai pembahasan materi yang beraneka ragam
namun juga merupakan suatu bidang ilmu pengetahuan yang menarik untuk dipelajari. Ilmu ini
mempelajari dari benda-benda sekecil atom hingga ukuran benua, samudra, cekungan dan rangkaian
pegunungan.
Patahan adalah gejala retaknya kulit bumi yang tidak plastis akibat pengaruh tenaga horizontal dan
tenaga vertikal. Tenaga pembentuk daerah yang berstruktur patahan, adalah tenaga endogen yang
mengakibatkan kulit bumi bergerak mendatar dengan berlawanan arah atau bergerak ke bawah atau ke
atas, yang sering disebut dengan kekar, rekahan atau retakan yang cukup besar.
Patahan Lembang terjadi karena adanya ledakan gunung api Sunda pada zaman Kuarter kala Pleistosen
(sekitar 500.000 tahun yang lalu) dimana ledakan tersebut menghasilkan kekosongan penampung
magmatis yang mengakibatkan batuan dari erupsi gunung api Sunda patah atau sesar. Patahan Lembang
membentang dari timur ke barat di kawasan sebelah Utara Bandung. Jalur patahan ini jelas terlihat di
sepanjang 25 km, yang dicirikan oleh kelurusan untaian bukit-bukit, mulai dari daerah sebelah timur
tempat pariwisata Maribaya sampai ke daerah Cisarua-Cimahi di baratnya.
Gua atau goa merupakan satu lorong yang terdapat di perut bumi yang disebabkan oleh faktor atau
kekuatan alam. Goa memiliki sistem atmosfer yang selalu basah, lingkungan dengan simplitas extern,
serta suhu yang konstan, dan kesemuanya berlangsung dalam kegelapan yang abadi.
3. Gua Pawon adalah sebuah tempat yang penting bagi orang Sunda karena di sana pernah ditemukan
kerangka manusia purba yang konon adalah nenek moyang orang Sunda (masih diteliti di balai Arkeolog
Bandung). Gua ini sebenarnya adalah sebuah situs purbakala yang terletak di Desa Gunung Masigit,
Kecamatan Cipatat, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, atau sekitar 25 km arah barat Kota Bandung.
Namun, keberadaan Patahan Lembang dan Gua Pawon ini masih dianggap asing dan kurang istimewa
bagi warga Bandung dan para wisatawan. Patahan Lembang dianggap hanya sebuah deretan bukit -bukit
yang berbatu dan Gua Pawon bagi masyarakat itu hanya tempat bernaung disela penambangan batu
atau tempat bermain anak-anak.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut, penyusun merumuskan masalah pada Geologi Patahan Lembang dan Gua
Pawon tersebut, seperti sejarah dan proses pembentukannya serta struktur di wilayah Patahan
Lembang dan Gua Pawon tersebut.
C. Waktu dan Tempat
Observasi lapangan dilakukan pada:
Waktu : Jumat, 20 Desember 2013
Tempat : Patahan Lembang dan Gua Pawon, Padalarang, Bandung.
D. Tujuan Laporan
Adapun tujun dari Laporan ini, yaitu:
a) Memberikan pengetahuan kepada mahasiswa dalam memahami karakteristik patahan dan Gua.
b) Memberikan keterampilan kepada mahasiswa dalam mendeskripsikan patahan dan sebuah Gua di
keadaan sebenarnya.
E. Kegunaan Observasi
4. Adapun kegunaan observasi ini, yaitu:
Meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam penguasaan Bidang Geografi, khususnya mengenai mata
kuliah Geologi secara teori dan praktik lapangan dan data yang dihasilkan menjadi data dasar, bahan
informasi dan referensi bagi pihak-pihak terkait yang membutuhkan informasi mengenai hal tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Patahan
Patahan adalah gejala retaknya kulit bumi yang tidak plastis akibat pengaruh tenaga horizontal dan
tenaga vertikal. Daerah retakan seringkali mempunyai bagian-bagian yang terangkat atau tenggelam.
5. Jadi, selalu mengalami perubahan dari keadaan semula, kadang bergeser dengan arah mendatar,
bahkan mungkin setelah terjadi retakan, bagian-bagiannya tetap berada di tempatnya.
1. Horst (tanah naik) adalah lapisan tanah yang terletak lebih tinggi dari daerah sekelilingnya, akibat
patahnya lapisan-lapisan tanah sekitarnya.
2. Graben/slenk (tanah turun) adalah lapisan tanah yang terletak lebih rendah dari daerah
sekelilingnya akibat patahnya lapisan sekitarnya.
3. Dekstral terjadi jika kita berdiri potongan yang berada di depan kita bergeser ke kanan. Sinistral,
jika kita berdiri di potongan sesar yang satu dan potongan di depan kita bergeser ke arah kiri.
4. Block mountain terjadi akibat tenaga endogen yang membentuk retakan-retakan di suatu daerah,
ada yang naik, ada yang turun, dan ada pula yang bergerak miring sehingga terjadilah satu kompleks
pegunungan patahan yang terdiri atas balok-balok litosfer.
B. Tenaga Pembentuk Patahan
Tenaga pembentuk daerah yang berstruktur patahan, adalah tenaga endogen yang mengakibatkan kulit
bumi bergerak mendatar dengan berlawanan arah atau bergerak ke bawah atau ke atas, yang sering
disebut dengan kekar, rekahan atau retakan yang cukup besar. Kulit bumi mengalami sesar dimana
patahan yang disertai dengan pergeseran kedudukan lapisan yang terputus hubungannya (fault).
Berdasarkan gerakan atau pergeseran kulit bumi terdapat tiga macam sesar.
1. Dip slip fault, yaitu sesar yang tergeser arahnya vertikal (sesar vertikal), sehingga salah satu dari
blok terangkat dan membentuk bidang patahan.
2. Strike slip fault, yaitu sesar yang pergeserannya ke arah horisontal (sesar mendatar), sehingga hasil
dari aktivitas ini kadangkala dicirikan oleh kenampakan aliran air sungai yang membelok patah-patah.
3. Oblique slip fault, yaitu sesar yang pergeseran vertikal sama dengan pergeseran mendatar, yang
sering disebut sesar miring (oblique). Pergeseran kulit bumi pada tipe ini membentuk celah yang
memanjang, kalau terjadi di dasar laut/samudera terbentuk palung laut, dan bila di daratan bias berupa
ngarai.
C. Hubungan Gerakan Tektonik dan Patahan Lembang
Gempa bumi tektonik merupakan salah satu fenomena geologi yang sudah populer karena sering terjadi
di Indonesia. Salah satu sebab yang dapat menimbulkan gempa bumi tektonik adalah adanya gerakan
oleh litosfer bumi. Teori yang menyebutkan peristiwa ini adalah teori tektonik lempeng, yang
menjelaskan pergerakan skala besar yang dilakukan litosfer bumi dengan bukti-bukti. Lapisan litosfer
6. tersebut terdiri dari dua lapisan, yaitu kerak bumi dan mantel bumi. Di bumi terdapat 7 lempeng
tektonik utama dan banyak lempeng yang lebih kecil. Lempeng-lempeng ini terdapat di atas astenosfer.
Lempeng tersebut memiliki gerak relatif, yaitu saling bertumbukan (konvergen), saling menjauh
(divergen) dan menyamping (transform). Indonesia banyak mengalami gempa bumi, tsunami, aktivitas
vulkanik, pembentukan palung samudra, banyaknya gunung dan pegunungan, dan sesar atau patahan.
Alfred Weegner pada tahun 1912 mengembangkan hipotesis Pergeseran Benua, yang mengemukakan
bahwa benua-benua yang ada saat ini merupakan pelepasan dari benua yang dulunya hanya satu
bentangan benua yang disebut Pangea. Teori ini semakin diperkuat oleh Arthur Holmes, geolog Inggris,
yang membuktikan teorinya bahwa arus konveksi di dalam mantel bumi adalah kekuatan penggerak
yang menyebabkan terlepasnya benua yang disebut Pangea menjadi benua-benua yang ada saat ini.
Lalu semakin diperkuat dengan penelitian-penelitian selanjutnya yang dilakukan para ilmuwan dari
waktu ke waktu, seperti Harry Hammond Hess dan Ron G. Mason.
Lempeng yang terdapat dalam bumi memiliki 2 jenis, yaitu lempeng benua dan lempeng samudra.
Lempeng samudra dapat disebut dengan sima, dari kata silikat-magnesium, bahan yang dikandungnya.
Sedangkan lempeng benua disebut dengan sial, yang mengandung silikat dan aluminium.
Pegunungan yang terjadi akibat gerakan kerak bumi (litosfer) dapat berupa pelipatan atau patahan.
Lipatan dan patahan termasuk dalam gerak orogenesa, yang termasuk dalam proses diastropisme.
Proses diastropisme tersebut dapat menyebabkan kerak bumi retak, terlipat bahkan patah. Sehingga
gerak orogenesa dapat mengakibatakan tanah runtuh atau terpisah dengan lainnya. Selain itu, gerak
orogenesa juga menjadi faktor terbentuknya lembah. Pegunungan dan lembah merupakan hasil dari
proses lipatan kerak bumi yang melahirkan bagian sinklinal (lembah) dan antiklinal (pegunungan).
Sedangkan patahan akan menimbulkan horst dan graben.
Ditemukan banyak gunung, pegunungan dan palung samudra yang tedapat di Indonesia karena
ditemukannya 3 lempeng utama yang melewati wilayah Indonesia, yaitu lempeng Indo-Australia,
lempeng Eurasia dan lempeng Pasifik. Oleh sebab itu, di Indonesia sering terjadi gempa, tsunami dan
gejala alam lainnya yang disebabkan oleh pergeseran lempeng benua dan lempeng samudra tersebut.
Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia telah membentuk deretan gunung berapi di Indonesia,
antara lain adalah Bukit Barisan, Gunung-gunung api di Pulau Jawa, Bali dan Lombok serta parit samudra
Jawa (Sunda).
Seperti yang terjadi di Bandung pada 24 September 2000, terjadi gempa dengan kekuatan kurang dari 5
skala richter, diduga karena adanya gerakan patahan di daerah tersebut, yaitu patahan Lembang.
Patahan tersebut dikatakan aktif bergerak karena adanya gerak tektonik oleh lempeng samudra dari
selatan berjalan ke utara.
Proses pergeseran lempeng bumi tersebut yang mengakibakan lahirnya patahan Lembang dan gunung
baru di Bandung terbentuk sekitar zaman kuarter kala pleistosen awal sampai tengah, yaitu 500.000
sampai 125.000 tahun yang lalu. Sejarahnya, dahulu tempat ini merupakan sebuah danau yang
kemudian terjadi proses sedimentasi menyebabkan kawasan tersebut menjadi daerah cekungan. Lalu,
terjadilah pergerakan lempeng tektonik yang menyebabkan naiknya sebagian permukaan bumi tersebut
7. sehingga menyebabkan tempat itu mengalami sesar atau patahan yang dinamakan patahan Lembang.
Ketinggian Patahan Lembang adalah 1.340 mdpl. Titik lintangnya adalah 6049,821 menit dan titik bujur
107038,161 menit.
Adanya pergerakan lempeng tektonik tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan bentuk muka bumi,
terutama di daerah Bandung. Jika dilihat melalui foto udara, maka Bandung akan terlihat seperi
cekungan yang dapat dinamakan Cekungan Bandung. Sedangkan akibat lainnya adalah, subsduksi
lempeng tektonik bumi, antara lempeng Samudra Hindia dan lempeng Kontinen Asia menghasilkan
bentuk muka bumi di Lembang menjadi patahan.
Patahan Lembang membagi aliran sungai yang mengalir di daerah tersebut menjadi dua aliran. Dua
daerah aliran sungai (DAS) yaitu Daerah Aliran Utara yang bermuara di Laut Jawa dan Daerah Aliran
Selatan yang bermuara di Samudera Indonesia.
Sebenarnya, jenis pergerakan patahan ini pun masih menjadi perdebatan. Sebagian orang berpendapat
bahwa patahan ini adalah adalah patahan geser atau setidaknya memiliki komponen geser yang lebih
dominan. Pendapat ini didasarkan pada offset alur-alur sungai yang terpotong oleh patahan ini. Namun
ketidakkonsistenan arah offset, yang mana beberapa alur sungai terlihat tertarik ke kanan sementara
sebagian yang lain ke kiri memunculkan silang pendapat. Tjia (1968) berpendapat bahwa Patahan
Lembang adalah patahan geser menganan (right-lateral). Menurutnya, alur-alur sungai yang terlihat
tergeser mengiri (left lateral strike slip) disebabkan oleh peristiwa pembajakan sungai (river piracy).
Natawidjaja & Setyowidarto (komunikasi lisan) belum dapat menyimpulkan secara pasti tentang jenis
pergerakan Patahan Lembang (apakah mengalami pergeseran mengiri atau menganan) dan hanya
memberikan alternatif panjang offset jika patahan ini dianggap bergeser mengiri dan jika diangap
bergeser menganan. Sebagian lagi berpendapat bahwa Patahan Lembang memiliki komponen
pergerakan vertikal yang lebih dominan (dip-slip) dimana blok di utara garis patahan relatif turun
terhadap blok selatannya.
D. Gua
Gua atau Goa merupakan satu lorong yang terdapat di perut bumi yang disebabkan oleh faktor atau
kekuatan alam. Goa memiliki sistem atmosfer yang selalu basah, lingkungan dengan simplitas extern,
serta suhu yang konstan, dan kesemuanya berlangsung dalam kegelapan yang abadi.
Goa Pawon terletak di Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Padalarang, Kabupaten Bandung, atau
sekitar 25 km arah barat Kota Bandung. Lokasi penemuan terletak tidak jauh dari sisi jalan raya yang
menghubungkan Bandung-Cianjur dan kota-kota lainnya di sebelah barat.
Disebut Goa Pawon karena lokasi temuan berada di dalam goa kars yang terletak di sisi tebing bukit kars
Gunung Masigit yang oleh penduduk setempat dinamakan Goa Pawon. Dalam bahasa Sunda, pawon
artinya sama dengan dapur. Jika diukur dengan permukaan tanah terendah di daerah itu yang
diperkirakan merupakan dasar danau.
8. Goa ini merupakan satu-satunya goa gamping yang letaknya paling dekat dengan kawasan yang
sebelumnya merupakan sisi barat Situ Hyang. Keberadaannya, sebelumnya pernah dilaporkan
Kusumadinata dalam Riwayat Geologi Dataran Tinggi Bandung (1969). Di dalam goa, ia menemukan
banyak batuan dengan bentuk-bentuk yang aneh-aneh, seperti busur-busur besar dan blok-blok raksasa
yang menggantung. Tetapi sebegitu jauh tidak ditemukan bukti keberadaan manusia yang pernah
tinggal di sana. Kecuali timbunan sedimen dan timbunan kotoran kelelawar yang sejak lama menjadi
penghuni tetap goa tersebut.
Goa pawon berada pada salah satu sisi tebing curam Pasir Pawon. Tingginya sekitar 720 meter di atas
permukaan laut. Tempat itu bisa dicapai malalui jalan setapak sejauh kurang lebih 300 meter. Puncak
Pasir Pawon merupakan “taman batu” dan sekaligus tempat paling indah di kawasan kars Padalarang.
Dinamakan “taman batu” karena tegakan-tegakan batu dengan relief kasar yang bertebaran, mirip
dengan puing-puing yang menghias puncak bukit itu. Melihat bentuk dan ukurannya tidak sama, pasti
akan membangkitan rasa penasaran siapa pun yang ingin memahami kawasan itu sebagai bagian dari
sejarah Geologi Dataran Tinggi Bandung.
Dugaan goa tersebut pernah dihuni manusia prasejarah pertama kali disampaikan Kelompok
Riset Cekungan Bandung (KRBC). Ketika itu, sekitar dua tahun lalu, sekelompok geolog muda yang terdiri
dari Eko Yulianto, Budi Brahmantyo, Johan Arief, T. Bachtiar, dan dibantu oleh Sujatmiko melakukan
penelitian endapan danau Bandung Purba.
Pada mulanya mereka hanya meneliti endapan Danau Bandung Purba di Sungai Cibukur. Namun
temuannya yang dianggap menarik telah mendorong penelitian dilanjutkan ke Goa Pawon yang letaknya
berdekatn. Ternyata pada sedimen goa tersebut, ditemukan artefak-artefak berupa kepingan tulan
vertebrata dan beberapa jenis moluska darat. Berdasarakan temuan dalam panggalian yang dilakukan
Balai Arkeologi (Balar) Bandung pada bulan Oktober 2003, arkeolog Drs. Lutfi Youndri M. Hum.
menyimpulkan, Goa Pawon memiliki multi fungsi. Selain sebagai tempat hunian, goa tersebut dijadikan
tempat penguburan. Hal ini dibuktikan berdasarkan penggalian yang dilakukan pada kedalaman dua
meter dari permukaan tanah, ditemukan berbagai peralatan yang terbuat dari bahan obsidian, jasper
dan kelsedon, alat tulang dan taring berupa lancipan dan spatula, perkutor, sisa-sisa moluska, jejak
perhiasan dari gigi ikan (hiu), dan taring hewan yang meliputi sekitar 20.250 serpihan tulang belulang
dan 4.050 serpihan batu.
Akan tetapi, luar biasa, pada kedalaman 80 sentimeter ditemukan fosil tengkorak manusia. Selanjutnya
pada kedalaman 1.20 meter ditemukan fosil tulang kerung dan telapak kaki manusia. Temuan kerangka
manusia ini memiliki nilai informasi arkeologi yang bisa dipakai untuk menafsirkan keberadaan manusia
prasejarah yang diduga pernah tinggal di sekitar Dataran Tinggi Bandung.
Goa Pawon yang terletak pada kawasan kars Padalarang, menurut geolog Hanang Samodra, merupakan
kompleks goa fosil yang bertingkat dengan gejala peruntuhan dan pelarutan yang membentuk beberapa
lubang atau sumuran tegak (shaft) sedalam belasan meter. Sedimen di dalam goa yang tebalnya lebih
dari tiga meter bercampur dengan endapan fosfat quano.
9. Bukti fenomena alam tersebut hingga kini masih bisa kita saksikan dengan jelas jika memasuki Bandung
dari arah barat, baik melalui Cianjur maupun Purwakarta atau Cikampek. Seperti kawasan kars lainnnya,
kawasan kars Padalarang yang tersebar di daerah Cipatat dan Tagogapu, pada awalnya berasal dari
koloni binatang dan tumbuhan yang hidup dan tumbuh di laut dangkal. Namun, dengan terjadinya
pergeseran pantai, koloni binatang dan tumbuhan tersebut kemudian mati lalu membentuk batu
gamping. Apa yang bisa kita saksikan sekarang ini sebenarnya merupakan hasil proses geologi setelah
batuan tersebut kemudian terangkat ke permukaan.
Apa Kata Badan Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Tentang Kerentanan
Tanah Di Cisokan Terhadap Bangunan Bendungan Upper Cisokan Pumped
Storage Dengan Skala Richter
Dirilis oleh admin pada Rabu, 24 Sep 2014
Kantor Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
Gempa
Gempa adalah tanah yang bergerak akibat pelepasan energi secara tiba-tiba dari dalam kerak bumi.
Penyebab terjadinya gempa pada umumnya adalah pergerakan lempengan kerak bumi/gempa tektonik,
letusan gunung berapi/gempa vulkanik, (3) runtuhnya goa bawah tanah, atau bahkan aktivitas manusia
seperti ledakan bom. Pergerakan lempengan kerak bumi/gempa tektonik merupakan gempa yang paling
menjadi perhatian bagi insinyur sipil khususnya struktur, karena gempa jenis ini paling mengganggu
lapisan-lapisan tanah.
Charles Richter (1935) mengembangkan skala untuk mengukur kekuatan gempa bumi yang dikenal
dengan skala richter. Pengukuran skala richter didasarkan pada tingkat energi yang dilepaskan oleh
pusat gempa. Skala richter membagi tingkat kekuatan gempa tersebut menjadi 9 tingkat. Gempa
hipotetis adalah deterministik jika kesalahan atau daerah sumber spasial didefinisikan dan dapat
ditemukan jarak tertentu dari bendungan bawah pertimbangan.
Gempa hipotetis adalah probabilistik jika dianggap peristiwa acak, dan jarak epicentral yang ditentukan
secara matematis oleh hubungan kekambuhan dan besarnya untuk beberapa daerah tertentu. MCE
10. dapat dikaitkan dengan struktur geologi permukaan spesifik dan juga dapat dikaitkan dengan acak atau
mengambang gempa bumi (gerakan yang terjadi pada kedalaman yang tidak menyebabkan perpindahan
permukaan).
Kriteria evaluasi seismik menentukan kesalahan atau sumber gempa yang ditugaskan MCE. Gempa
paling parah yang dapat diharapkan terjadi pada lokasi tertentu berdasarkan bukti geologi dan
seismologi.Gempa terberat yang diyakini mungkin di lokasi berdasarkan bukti geologi dan
seismologi. Hal ini ditentukan oleh studi regional dan lokal yang meliputi review lengkap dari semua data
gempa historis kejadian cukup dekat untuk mempengaruhi proyek, semua kesalahan di daerah, dan
redaman dari kesalahan penyebab ke situs.
Skala Gempa Bumi
Besar kekuatan gempa bumi biasanya diukur dengan menggunakan 3 skala, yaitu:
1.) Berdasarkan energi yang dilepaskan di pusat gempa.
Magnitude menunjukkan besaran atau jumlah energi yang dilepaskan pada suatu pusat gempa
(Hypocenter) yang dapat diukur dengan seismograf.Magnitude pertama kali didefinisikan oleh Charles
Richter tahun 1935, sehingga kini dikenal sebagai skala Richter. Gempa dengan skala 3 magnitude atau
lebih biasanya hampir tidak terlihat, dan gempa dengan skala magnitude 7 biasanya lebih berpotensi
menyebabkan kerusakan serius di daerah yang luas, tergantung pada kedalaman gempa. Gempa bumi
terbesar bersejarah besarnya telah lebih dari 9, meskipun tidak ada batasan besarnya.
Skala Richter atau SR didefinisikan sebagai logaritma (basis 10) dari amplitudo maksimum, yang diukur
dalam satuan mikrometer, dari rekaman gempa oleh instrumen pengukur gempa (seismometer) pada
jarak 100 km dari pusat gempanya. Sebagai contoh, misalnya kita mempunyai rekaman gempa bumi
(seismogram) dari seismometer yang terpasang sejauh 100 km dari pusat gempanya, amplitudo
maksimumnya sebesar 1 mm, maka kekuatan gempa tersebut adalah log (10 pangkat 3 mikrometer)
sama dengan 3,0 skala Richter. Skala ini diusulkan oleh fisikawan Charles Richter.
Skala Richter pada mulanya hanya dibuat untuk gempa-gempa yang terjadi di daerah Kalifornia Selatan
saja. Namun dalam perkembangannya skala ini banyak diadopsi untuk gempa-gempa yang terjadi di
tempat lainnya. Skala Richter ini hanya cocok dipakai untuk gempa-gempa dekat dengan magnitudo
gempa di bawah 6,0. Di atas magnitudo itu, perhitungan dengan teknik Richter ini menjadi tidak
representatif lagi.
Tingkatan dalam skala richter dapat dilihat sebagai berikut :
Skala Richter Efek Gempa
< 2,0 Umumnya tak terasa, tapi terekam
2,0-2,9 Getaran hampir terasa, tapi belum terasa oleh kebanyakan orang
11. 3,0-3,9 Terasa oleh sebagian kecil orang
4,0-4,9 Terasa oleh hampir semua orang
5,0-5,9 Mulai menimbulkan kerusakan
6,0-6,9 Menimbulkan kerusakan pada daerah padat penduduk
7,0-7,9 Gempa skala besar, getaran kuat, menimbulkan kerusakan besar
8,0-8,9 Gempa dahsyat, getaran kuat, kehancuran dekat epicentrum
2.) Berdasarkan tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh gempa (efek yang terekam di lapangan)
Biasanya disebut dengan Intensity (intensitas), digunakan dalam menentukan kuatnya getaran tanah
akibat suatu gempa dengan melihat respon orang atau bangunan yang terasa atau terjadi pada saat
gempa berlangsung pada lokasi tertentu (Siddiq, 1999 dalam Sudibyakto, 2000). Intensitas gempa
oleh Boen (2000) kemudian dinyatakan secara sederhana, merupakan derajat kerusakan akibat gempa
bumi/ intensitas maksimum yang dihasilkan oleh gempa tersebut.umumnya menggunakan skala
intensitas menurut tingkat kerusakan atau yang dirasakan manusia. Salah satu skala intensitas yang
dikenal adalah MMI (Modified Mercalli Intensity) digunakan sejak tahun 1956. Meskipun demikian skala
intensitas sifatnya sangat subyektif dan telah digunakan sejak sebelum ditemukan alat-alat pencatat
gempa bumi.
Skala Mercalli adalah satuan untuk mengukur kekuatan gempa bumi. Skala Mercalli terbagi menjadi 12
pecahan berdasarkan informasi dari orang-orang yang selamat dari gempa tersebut dan dengan melihat
dan membandingkan tingkat kerusakan akibat gempa bumi tersebut. Oleh itu skala Mercalli adalah
sangat subjektif dan kurang tepat dibanding dengan perhitungan magnitudo gempa yang lain. Oleh
karena itu, saat ini penggunaan skala Richter lebih luas digunakan untuk mengukur kekuatan gempa
bumi.
Sedangkan tingkatan dalam skala Mercalli dapat dilihat sebagai berikut:
No Skala Modifikasi Mercalli
1 Tidak terasa
2 Terasa oleh orang yang berada di bangunan tinggi
3 Getaran dirasakan seperti ada kereta yang berat melintas
4
Getaran dirasakan seperti ada benda berat yang menabrak dinding rumah,
benda tergantung bergoyang
5
Dapat dirasakan di luar rumah, hiasan dinding bergerak, benda kecil di atas
rak mampu jatuh
12. 6 Terasa oleh hampir semua orang, dinding rumah rusak.
7 Dinding pagar yang tidak kuat pecah, orang tidak dapat berjalan/berdiri
8 Bangunan yang tidak kuat akan mengalami kerusakan
9 Bangunan yang tidak kuat akan mengalami kerusakan tekuk
10 Jembatan dan tangga rusak, terjadi tanah longsor. Rel kereta api bengkok
11
Rel kereta api rusak. Bendungan dan tanggul hancur. Seluruh bangunan
hampir hancur dan terjadi longsor besar. Efek bencana yang lain
seperti tsunami, dan kebakaran.
12
Seluruh bangunan hancur lebur. Batu dan barang-barang terlempar ke
udara. Tanah bergerak seperti gelombang. Kadang- kadang aliran sungai
berubah. Pasir dan lumpur bergeser secara horizontal. Air dapat terlempar
dari danau, sungai dan kanal. Diikuti dengan suara gemuruh yang besar.
Biasanya bisa menyebabkan longsor besar, kebakaran,
Sehubungan dengan adanya krisis energi, Kami dari Media Kajian & Informasi Tata Ruang Indonesia
membutuhkan konfirmasi, klarifikasi atas data informasi mengenai keadaan tanah di daerah Cisokan
yang mana akan di bangun Waduk/Bendungan Cisokan.
Pertanyaan :
• Bagaimana keandalan tanah di wilayah Cisokan berdasarkan penelitian Pusat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi ? mohon penjelasannya
• Bagaimana tanggapan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologidengan adanya
pembangunan Waduk Cisokan ? mohon penjelasannya
• Kami minta peta keretakan tanah di wilayah Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur ?
mohon dilampirkan
• Apakah di daerah ini rawan gempa ? berapa skala reichter ?
Penjelasan Badan Vulkanologi oleh Bapak Doktor Ir. I Gede Swantika Msc.
• 1. Keandalan tanah di wilayah Cisokan
Untuk mengetahui keandalan dan daya dukung tanah di suatu wilayah perlu dilakukan kajian khusus
sifat keteknikan tanah dan batuan di sekitar wilayah Cisokan dan sekitarnya. Kajian yang mendalam
terutama perlu dilakukan di sekitar lokasi akan dibangunnya waduk.
• 2. Tanggapan atas pembangunan Waduk Cisokan
13. Jika waduk yang didirikan untuk mendukung ketersediaan cadangan listrik, maka hal tersebut positif
untuk dilakukan. Dalam pelaksanaan pembangunan hendaknya dilakukan kajian yang menyeluruh baik
dari kondisi tanah dan batuan, potensi gerakan tanah, potensi gempabumi dan kondisi geologi lainnya
yang dapat mendukung kualitas waduk yang akan dibangun.
Ditinjau dari potensi gerakan tanah secara regional, seperti pada Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah
di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur terlihat bahwa sungai aliran Cisokan secara umum
berada pada zona kerentanan gerakan tanah rendah sampai menegah dan beberapa tempat terdapat
zona kerentanan gerakan tanah tinggi . Untuk memperoleh data yang lebih detail tentang kerentanan
gerakan tanah di lokasi ini, maka perlu dilakukan kajian dan pemetaan dalam skala detail, terutama di
sekitar lokasi pembangunan waduk dan area yang menjadi genangan.
Kajian juga perlu dilakukan terhadap tingkat pengerosian dan sedimentasi pada daerah aliran Sungai
Cisokan . Kajian ini perlu dilakukan untuk mengantisipasi pendangkalan pada waduk akibat erosi dan
longsoran-longsoran di sepanjang daerah aliran sungai Cisokan.
• 3. Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah di wilayah Kabupaten Bandung Barat dan Kab.
Cianjur
14. Potensi Gempa bumi di wilayah Cisokan
Sejarah kejadian gempabumi di sektar wilayah Cisokan tercatat beberapa kali terjadi gempabumi
dengan magnitude mulai Mw 4,0 – Mw 6,4. Di wilayah Cisokan terdapat sesar aktif yang berpotensi
menimbulkan gempabumi yaitu Sesar Cimandiri.
15. Dari hasil penelitian para ahli, Sesar Cimandiri memiliki potensi membangkitkan gempabumi dengan
magnitude maksimum hingga 7,2 SR. Dari peta Kawasan Rawan Bencana Gempabumi wilayah Jawa
Barat dan Banten, wilayah sekitar Cisokan merupakan Kawasan Rawan Bencana Gempabumi Tinggi,
yang berpotensi terlanda goncangan gempabumi dengan intensitas VII – VIII skala MMI dengan nilai
percepatan gempabumi antara 0,25 – 0,3 g.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Observasi
Dalam bab Lempeng Tektonik yang terdapat pada mata kuliah Geologi, penyusun melakukan penelitian
yang bersifat observasi lapangan ke Patahan Lembang dan Goa Pawon di Padalarang Kabupaten
Bandung. Pada penelitian kali ini penyusun mengkaji mengenai bentuk atau struktur, sejarah dan proses
pembentukan Patahan Lembang dan Goa Pawon.
B. Setting Penelitian
1. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada hari Jumat tanggal 20 Desember 2013. Jalan Lembang dan Desa Cipatat
Kecamatan Padalarang, Bandung. Dimulai pukul 14.00 – 18.00 WIB.
2. Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Patahan Lembang dan Goa Pawon Padalarang Bandung.
3. Subyek Penelitian
Subyek dari penelitian ini adalah struktur patahan Lembang dan bentukan-bentukan Goa Pawon serta
vegetasinya.
C. Teknik Pengumpulan Data
Observasi dalam penelitian ini dilakukan oleh penyusun yang didampingi oleh dosen pembimbing.
Observasi dalam penelitian ini adalah observasi langsung yaitu penelitian dan mengamati secara
langsung, kemudian mencatat kejadian dan proses pembetukannya yang terjadi pada keadaan
sebenarnya pada saat itu.
Observasi dilakukan selama proses penelitian dari kegiatan awal sampai kegiatan akhir. Setiba di Jalan
Raya Lembang ± pukul 14.00 WIB, peneliti menelusuri jalan menanjak dan bebatuan menuju puncak
Patahan Lembang. Kegiatan pertama yang dilakukan adalah materi yang diberikan oleh dosen
pembimbing sambil mengamati struktur patahan Lembang dan tahap akhir adalah dokumentasi.
Begitupun saat pengamatan di Goa Pawon, peneliti tiba disana ± pukul 17.00 WIB. Kegiatan pertama
adalah materi dari dosen pembimbing dan juru bicara (kuncen) Goa Pawon lalu dilanjutkan
dokumentasi. Dalam observasi ini lebih banyak mengamati struktur atau bentukan-bentukan dari
16. Patahan dan Goa. Observasi ini memiliki keterbatasan dalam mencari data karena waktu sangat
terbatas. Untuk itu diharapkan untuk observasi berikutnya waktu yang digunakan akan lebih panjang
lagi.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Patahan Lembang
Penelitian Geologi mengenai bahasan lempeng tektonik yaitu patahan mendapatkan beberapa
hasil atau temuan, seperti:
1. Pemandangan kota Bandung dari puncak Patahan Lembang
2. Patahan Lembang Bandung
B. Goa Pawon
Di kawasan Goa Pawon mendapatkan beberapa hasil atau temuan yang dapat
diklasifikasikan berdasarkan bentukan-bentukan yang ada pada gua karst pada umumnya. Hasil atau
temuannya berupa sebagai berikut:
1. Pintu Gua, yaitu tempat masuknya menuju ke dalam gua. pintu Gua ini tidak begitu lebar yaitu
sebuah lorong selebar kira-kira 1 meter, kira-kira 20 meter dari pintu masuk pertama.
2. Jendela Gua, yaitu tempat manusia purba melihat keadaan di sekeliling gua.
3. Gordyn, yaitu proses terjadinya hampir sama dengan stalagtit, hanya saja pembesarannya terjadi
pada sebuah celah (crack) yang memanjang pada atap gua, sehingga bentukan yang tumpul menyerupai
tirai-tirai seperti gorden jendela yang menggantung pada atap menuju ke bawah dengan lekukan-lekukannya.
4. Perut gua, didalamnya masih cukup terang karena langsung menghadap ke alam bebas yang hijau
dengan latar belakang bukit-bukit kapur yang sudah tidak utuh. Disini tercium aroma yang unik dimana
aroma unik itu adalah bau dari kotoran kelelawar yang mengandung Postat.
5. Stalaktit, yaitu adalah batu yang terbentuk di atap gua bentuknya meruncing kebawah.
6. Replika kerangka nenek moyang Sunda, jenisnya Homo Sapiens yang hidup pada tahun 7.300-
9.500 tahun yang lalu.
BAB V
KESIMPULAN
17. Patahan Lembang merupakan Patahan akibat dari ledakan gunung api Sunda pada zaman Kuarter kala
Pleistosen (sekitar 500.000 tahun yang lalu) dimana ledakan tersebut menghasilkan kekosongan
penampung magmatis yang mengakibatkan batuan dari erupsi gunung api Sunda patah atau sesar.
Patahan Lembang membentang dari timur ke barat di kawasan sebelah Utara Bandung. Ketinggian
Patahan Lembang adalah 1.340 mdpl. Titik lintangnya adalah 6049,821 menit dan titik bujur 107038,161
menit.
Dahulu tempat ini merupakan sebuah danau yang kemudian terjadi proses sedimentasi menyebabkan
kawasan tersebut menjadi daerah cekungan. Lalu, terjadilah pergerakan lempeng tektonik yang
menyebabkan naiknya sebagian permukaan bumi tersebut sehingga menyebabkan tempat itu
mengalami sesar atau patahan yang dinamakan patahan Lembang.
Gua Pawon adalah sebuah tempat yang penting bagi orang Sunda karena di sana pernah ditemukan
kerangka manusia purba yang konon adalah nenek moyang orang Sunda (masih diteliti di balai Arkeolog
Bandung). Gua ini sebenarnya adalah sebuah situs purbakala yang terletak di Desa Gunung Masigi t,
Kecamatan Cipatat, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, atau sekitar 25 km arah barat Kota Bandung.
Di dalam Gua ini terdapat banyak ruangan, seperti pintu Gua, mulut Gua, jendela Gua. Selain itu
ditemukan bentukan Stalaktit, Gordyn, dan ditemukan pula kerangka tubuh manusia purba Sunda
dimana jenis manusia ini adalah Homo Sapiens yang hidup pada tahun 7.300-9.500 tahun yang lalu.
Sayangnya, ini hanya berupa replika, yang asli telah dibawa dan disimpan di Museum Arkeolog Bandung.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://bethajpd.blogspot.com/2011/12/hubungan-gerakan-tektonik-dan-patahan.html
2. http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2012/09/02/patahan-lembang-tempat-wisata-sekaligus-situs-
geologi-kota-bandung-489788.html
3. http://psg.bgl.esdm.go.id/informasi/geoseminar/132-paleoseismologi-patahan-lembang-dalam-rekaman-
sagpond
4. http://legendanusantara.wordpress.com/prasejarah/goa-pawon-bandung-jawa-barat/
5. http://bandungdansekitarnya.blogspot.com/2011/08/kapankah-awal-kehidupan-manusia-di.html
6. http://uun-halimah.blogspot.com/2007/11/goa-pawon-jawa-barat.html
18. Menelusuri Tepian Danau Bandung Purba
Posted on Januari 24, 2014 | 1 Komentar
January 25, 2014 at 12:50am
JEJAK PENDUKUNG BUDAYA OBSIDIAN DI SEKITAR DANAU BANDUNG
Analisis Pendahuluan
OLEH : Nurul Laili
Sari
Danau Bandung purba berada di sekitar Kota Bandung sekarang. Indikasi adanya aktivitas manusia
banyak diperoleh di daerah-dlaerah yang diyakini sebagai tepian danau. Temuan artefak antara lain
berupa beliung, alat obsidian, gerabah, keramik asing, batu asah, dan beberapa logam. Fokus tulisan ini
adalah sebaran obsidian dan faktor yang melatarbelakanginya. Aktivitas manusia pendukung obsidian
sangat dipengaruhi oleh muka pantai Danau Bandung. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya air dalam
kehidupan manusia.
Abstract
Artifacts as a indication of human activities had been discovered around the Bandung Basin area. The
artifacts were obtained around lake, consist of obsidian tools, stone adzes (polished stone tools),
fragment of earthenware as well as axes cast forms bronze or iron. This paper focused in the distribution
of obsidian and its background. The human activity that supported obsidians culture are heavily
influences by water level of the lake. Considering it, obsidians are interesting to be analysis as a partial
study about water and its roles in the human living in Bandung basin area.
Kata Kunci: #obsidian, #Danau_Bandung, #serpih, alat serpih, serpih beretus
19. Latar Belakang
Tinggalan obsidian merupakan temuan yang paling banyak diperoleh di sekitar Danau Bandung
(Koesoemadinata, 2001). Oleh karena itu, artefak obisidian paling banyak meyita perhatian beberapa
peneliti. Penemuan artefak dan penelitian di sekitar danau Bandung, pertama-tama oleh A.C de Jong
(1930), yang kemudian ditindaklanjuti dengan penelitian oleh von Koeningswald dan dipublikasikan
tahun 1935. Penelitian Koeningswald memperoleh artefak alat obsidian, beliung dari bahan kwarsit dan
kalsedon, pisau penyerut, dan anak panah (Koeningswald, 1935: 393 — 419). Masih dalam tahun
penelitian yang sama, Koeningswald juga telah berhasil memetakan sebaran situs obsidian yang
keseluruhannya berada pada ketinggian 725 meter di atas permukaan air laut. Pemerhati budaya danau
Bandung purba yang lain adalah J. Krebs (1932-1933), W Mohler (1942-1945), dan Rothpletz (Heekeren,
1972).
Rothpletz (1951) mencoba untuk menguak budaya danau Bandung purba dengan berkonsentrasi pada
daerah timur laut Bandung yang disebut dengan Blok Pulasari. Artefak yang diperoleh beragam bahan
dan teknologi, antara lain berupa beliung, obsidian, keramik, dan cetakan untuk pengecoran perunggu
dan besi. Secara umum, artefak yang diperoleh berupa obsidian, beliung, batu asah, gerabah, keramik
asing, dan beberapa logam.
Beberapa tahun belakangan (70-an), penelitian di daerah sekitar Danau Bandung telah dilakukan oleh
beberapa peneliti. Pada tahun 1978, tim penelitian Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional
(P4N) sekarang Pusat Penelitian Arkeologi, Jakarta melakukan survei di daerah Sindangkerta, Kabupaten
Bandung. Lokasi yang diteliti adalah Pasir (bukit) Tampian, Pasir Suje, Pasir Monggor, Pasir Kawung, Pasir
Suramenggala, Pasir Asep Roke, dan Pasir Kadut. Artefak yang diperoleh berupa alat serpih, batu berupa
serut, pecahan keramik asing, pahat batu, dan beliung persegi (Anggraeni, et al, 1986).
Selanjutnya, pada tahun 1992, tim dari Bidang Arkeometri, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
melakukan penelitian di wilayah sekitar Saguling, Desa Baranangsiang, Cipongkor, Kabupaten Bandung.
Situs yang diteliti adalah Pasir Asep Roke, Pasir Citiis dan Jajawei, Pasir Kadut, Pasir Kawung, Pasir Lengo,
Pasir Monggor, Pasir Suje, Pasir Suramenggala, dan Pasir Tampian. Temuan yang diperoleh adalah
tembikar, terak besi, cangkang kerang, serut, dan beliung persegi (Tim Peneliti, 1992).
Pada tahun 2001 tim penelitian dari Balai Arkeologi Bandung melakukan penelitian yang berupa survei
di daerah Cililin dan Cipongkor. Hasil penelitian adalah sebagai berikut makam Rangga Malela, makam
K.H Syafei, makam Syeh Abdul Manaf, makam Sangga Wadana, beliung persegi, mata tombak, dan fosil
fragmen tulang (Boedi, 2001).
Beberapa telaah mengenai temuan di Danau Bandung telah dilakukan oleh para ahli terdahulu. Telaah
temuan khususnya obsidian, para ahli saling berbeda pendapat. Ketiga ahli van Stein Callenfels, von
Koeningswald dan van der Hoop, dalam tulisan yang berbeda, berkesimpulan sama, yaitu
menggolongkan alat obsidian yang disebut sebagai alat mikrolit berasal dari masa bercocok tanam. Hal
tersebut didasarkan dari temuan sertanya, yaitu pecahan gerabah, fragmen beliung persegi, dan
cetakan-cetakan logam (Callenfels, 1934, Koeningswald, 1935, Hoop, 1940, vide Soejono, 1984).
20. Hal lain dikemukaan oleh Geldern (Soejono, 1984), alat obsidian Bandung digolongkan dari tradisi yang
lebih tua. Pendapat senada dikeluarkan oleh Bandi dan Rothpletz, yaitu alat obsidian Bandung
merupakan alat masa berburu dan mengumpulkan makanan. Alasan yang mengemuka adalah unsur
bercocok tanam berasal dari masa-masa kemudian dan temuan obsidian tumpang tindih dengan tradisi
yang menghasilkan beliung persegi. Soejono dengan menggunakan anologi temuan di Jambi dan Leles
menduga alat obsidian merupakan alat yang berkembang secara lokal pada masa bercocok tanam
(Soejono, 1984).
Permasalahan, Tujuan, dan Sasaran
Penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu, menunjukkan bahwa secara kuantitas
merupakan perkakas terbanyak dipergunakan oleh manusia pendukung danau Bandung. Sebagai artef ak
yang menonjol, tentunya artefak obsidian mempunyai wilayah sebaran yang cukup luas.
Keberadaan situs obsidian menurut penelitian Koenigswald dan Rothpletz adalah di atas 725 meter dpal.
Penelitian geologi menunjukkan bahwasurutnya muka air danau tidaklah sekaligus. Demikian juga
dengan sedimentasi yang terjadi di Danau Bandung, tidak sama. Berdasarkan hal tersebut maka
terdapat permasalahan yang dapat dirumuskan, yaitu:
• Apakah aktivitas pendukung obsidian Danau Bandung hanya dilakukan pada lokasi di atas 725 m
dpal?
• Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pemilihan lokasi oleh manusia pendukung obsidian?
Penelitian ini akan dapat memberi petunjuk tentang perilaku manusia dalam memanfaatkan alam
lingkungan bagi kegiatannya. Adapun sasaran yang akan dicapai adalah memberikan gambaran
mengenai penghunian oleh manusia masa lampau dalam kaitannya dengan eksploitasi bumi.
Kerangka Pikir dan Metode
Permukiman menetap mulai muncul ketika masa tradisi bercocok tanam berkembang. Masyarakat pada
masa itu untuk memenuhi kebutuhannya, sudah tidak lagi hidup secara mengembara tetapi bermukim
menetap di suatu tempat. Mereka bermukim secara mengelompok di tempat-tempat yang keadaannya
alamnya dapat memenuhi kehidupan, misalnya di gua-gua yang dekat dengan sumber makanan atau
tempat-tempat terbuka di pinggir sungai. Kehidupan manusia tidak terlepas dari lingkungan sekitar.
Manusia akan berusaha memilih lingkungan yang sesuai untuk aktivitasnya dengan memanfaatkan
sumber daya alam secara optimal (Herkovits, 1952: 3 — 8).
Perilaku manusia dalam menentukan lokasi tinggalnya tidak akan berperilaku acak tetapi akan mengikuti
zona-zona tertentu (Parson, 1972; Hodder, 1976). Demikian halnya dalam pembagian ruang untuk
hunian pun tidak acak dan teratur. Keteraturan itu juga mencerminkan pola pembagian ruang, sehingga
hubungan antara manusia dan ruang dimana mereka berinteraksi, dapat terungkapkan (Watson et. al,
1971; Fagan, 1981; Eriawati, 1997).
21. Beberapa telaah mengenai temuan di Danau Bandung telah dilakukan oleh para ahli terdahulu. Telaah
temuan khususnya obsidian, para ahli saling berbeda pendapat. Ketiga ahli van Stein Callenfels, von
Koenigswald dan van der Hoop, dalam tulisan yang berbeda, berkesimpulan sama, yaitu menggolongkan
alat obsidian yang disebut sebagai alat mikrolit berasal dari masa bercocok tanam. Hal tersebut
didasarkan dari temuan sertanya, yaitu pecahan gerabah, fragmen beliung persegi, dan cetakan-cetakan
logam (Callenfels, 1934; Koenigswald, 1935; Hoop, 1940, vide Soejono, 1984).
Hal lain dikemukaan oleh Geldern (Soejono, 1984), alat obsidian Bandung digolongkan dari tradisi yang
lebih tua. Pendapat senada dikeluarkan oleh Bandi dan Rothpletz, yaitu alat obsidian Bandung
merupakan alat masa berburu dan mengumpulkan makanan. Alasan yang mengemuka adalah unsur
bercocok tanam berasal dari masa-masa kemudian, dan temuan obsidian tumpang tindih dengan tradisi
yang menghasilkan beliung persegi. Soejono dengan menggunakan anologi temuan di Jambi dan Leles
menduga alat obsidian merupakan alat yang berkembang secara lokal pada masa bercocok tanam
(Soejono, 1984).
Penelitian ini menerapkan tipe penelitian eksploratif dan deskriptif. Metode eksploratif dilakukan
berlandaskan pada seluruh data guna mempertajam permasalahan. Setelah permasalahan muncul
secara jelas diterapkan metode deskriptif. Pelaksanaan penelitian tidak hanya terbatas pada
pengumpulan data melainkan meliputi analisis dan interpretasi data (Gibbon, 1984: 80; Sharer dan
Ashmore, 1979: 486).
Pola penalaran yang digunakan adalah pola induktif. Dengan demikian analisis melalui pendeskripsian
yang sistematis dan terklasifikasinya data yang diperoleh maka jawaban permasalahan akan diperoleh
dalam bentuk kesimpulan atau generalisasi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui survei.
Penentuan lokasi ditentukan berdasarkan studi pustaka dan peta topografi.
Sesuai dengan permasalahan yang diajukan maka akan dilakukan pencuplikan sampel, mengingat
luasnya wilayah. Untuk itu akan dicuplik lokasi situs yang berada pada ketinggian di atas 725 m dpal dan
yang di bawah 725 m dpal. Pencuplikan tersebut juga mempertimbangkan wilayah yang dibagi sesuai
dengan arah mata angin. Hal ini dilakukan untuk terwakilkan semua lokasi, yaitu wilayah utara, timur,
selatan, dan barat. Untuk wilayah barat,dalam tulisan ini mencuplik data dari hasil penelitian Gua Pawon
(Yondri, 2005).
Sejarah Danau Bandung
Bandung kota dan sekitarnya, pada masa lampau merupakan danau yang dikenal dengan Danau
Bandung. Keadaan yang sekarang terlihat merupakan pedataran yang biasa disebut dengan istilah
“Cekungan Bandung” (Bandung Basin). Daerah sekitar cekungan tersebut, diperkirakan dahulu
merupakan tepian danau sehingga banyak diperoleh sisa-sisa aktivitas manusia masa lampau
(Koesoemadinata, 2001).
Van Bemmelen, 1935, meneliti sejarah geologi Bandung. Pengamatan dilakukan terhadap singkapan
batuan dan bentuk morfologi dari gunung api -gunung api di sekitar Bandung. Penelitian yang dilakukan
berhasil mengetahui bahwa danau Bandung terbentuk karena pembendungan Sungai Citarum purba.
22. Pembendungan ini disebabkan oleh pengaliran debu gunung api masal dari letusan dasyat Gunung
Tangkuban Parahu yang didahului oleh runtuhnya Gunung Sunda Purba di sebelah baratlaut Bandung
dan pembentukan kaldera di mana di dalamnya Gunung Tangkuban Parahu tumbuh.
Van Bemmelen secara rinci menjelaskan, sejarah geologi Bandung dimulai pada zaman Miosen (sekitar
20 juta tahun yang lalu). Saat itu daerah Bandung utara merupakan laut, terbukti dengan banyaknya
fosil koral yang membentuk terumbu karang sepanjang punggungan bukit Rajamandala. Kondisi
sekarang, terumbu tersebut menjadi batukapur dan ditambang sebagai marmer yang berpolakan fauna
purba.
Bukit pegunungan api diyakini masih berada di daerah sekitar Pegunungan Selatan Jawa. Sekitar 14 juta
sampai 2 juta tahun yang lalu, laut diangkat secara tektonik dan menjadi daerah pegunungan yang
kemudian 4 juta tahun yang lalu dilanda dengan aktivitas gunung api yang menghasilkan bukit -bukit
yang menjurus utara selatan antara Bandung dan Cimahi, antara lain Pasir Selacau. Pada 2 juta tahun
yang lalu aktivitas volkanik ini bergeser ke utara dan membentuk gunung api purba yang dinamai
Gunung Sunda, yang diperkirakan mencapai ketinggian sekitar 3000 m di atas permukaaan air laut. Sisa
gunung purba raksasa ini sekarang adalah punggung bukit.
Sekitar Situ Lembang (salah satu kerucut sampingan sekarang disebut Gunung Sunda) dan Gunung
Burangrang diyakini sebagai salah satu kerucut sampingan dari Gunung Sunda Purba ini. Sisa lain dari
lereng Gunung Sunda Purba ini terdapat di sebelah utara Bandung, khususnya sebelah timur Sungai
Cikapundung sampai Gunung Malangyang, yang oleh van Bemmelen (1935, 1949) disebut sebagai Blok
Pulasari. Pada lereng ini terutama ditemukan situs-situs artefak ini, yang diteliti lebih lanjut oleh
Rothpletz pada zaman Jepang dan pendudukan Belanda di Masa Perang Kemerdekaaan. Sisa lain dari
Gunung Sunda Purba ini adalah Bukit Putri di sebelah timur laut Lembang (Koesoemadinata, 2001).
Gunung Sunda Purba itu kemudian runtuh, dan membentuk suatu kaldera (kawah besar yang berukuran
5-10 km) yang ditengahnya lahir Gunung Tangkuban Parahu, yang disebutnya dari Erupsi A dari
Tangkuban Parahu, bersamaan pula dengan terjadinya patahan Lembang sampai Gunung Malangyang,
dan memisahkan dataran tinggi Lembang dari dataran tinggi Bandung. Kejadian ini diperkirakan van
Bemmelen (1949) terjadi sekitar 11.000 tahun yang lalu.
Suatu erupsi cataclysmic kedua terjadi sekitar 6000 tahun yang lalu berupa suatu banjir abu panas yang
melanda bagian utara Bandung (lereng Gunung Sunda Purba) sebelah barat Sungai Cikapundung
samapai sekitar Padalarang di mana Sungai Citarum Purba mengalir ke luar dataran tinggi Bandung.
Banjir abu volkanik ini menyebabkan terbendungnya Sungai Citarum Purba, dan terbentuklah Danau
Bandung.
Tahun 90-an, Dam dan Suparan (1992) dari Direktorat Tata Lingkungan Departemen Pertambangan
mengungkapkan sejarah geologi dataran tinggi Bandung. Penelitian ini menggunakan teknologi canggih
seperti metoda penanggalan pentarikhan radiometri dengan isotop C-14 dan metode
U/Th disequilibirum. Dam melakukan pengamatan terhadap perlapisan endapan sedimen Danau
Bandung dari 2 lubang bor masing-masing sedalam 60 m di Bojongsoang dan sedalam 104 m di
Sukamanah; melakukan pentarikhan dengan metoda isotop C-14 dan 1 metoda U/Th disequilibirum; dan
23. pengamatan singkap dan bentuk morfologi di sekitar Bandung. Berbeda dengan Sunardi (1997) yang
mendasarkan penelitiannnya atas pengamatan paleomagnetisme dan pentarikhan radiometri dengan
metode K-Ar.
Simpulan penting adalah bahwa pentarikhan kejadian-kejadian ini jauh lebih tua daripada diperkirakan
oleh van Bemmelen (1949), kecuali periode pembentukan Gunung Sunda Purba serta kejadian-kejadian
sebelumnya. Keberadaan danau purba Bandung dapat dipastikan, bahkan turun naiknya muka air
danau, pergantian iklim serta jenis floranya dapat direkam lebih baik (van der Krass dan Dam, 1994).
Hasil yang diperoleh, pembentukan danau Bandung bukan disebabkan oleh suatu peristiwa ledakan
Gunung Sunda atau Tangkuban Parahu, tetapi mungkin karena penurunan tektonik dan peristiwa
denudasi dan terjadi pada 125 KA (kilo-annum/ribu tahun) yang lalu (Dam et al, 1996).
Keberadaan Gunung Sunda Purba dipastikan antara 2 juta sampai 100 juta tahun yang lalu berdasarkan
pentarikhan batuan beku aliran lava, antara lain di Batunyusun timur laut Dago Pakar di Pulasari Schol
(1200 juta tahun), Batugantung Lembang 506 kA (ribu tahun) dan di Maribaya (182 dan 222 kA).
Memang suatu erupsi besar kataklismik (cataclysmic) terjadi pada 105 ribu tahun yang lalu, berupa
erupsi Plinian yang menghasilkan aliran besar dari debu panas yang melanda bagian baratlaut Bandung
dan membentuk penghalang topografi yang baru di Padalarang, yang mempertajam pembentukan
danau Bandung. Erupsi besar ini diikuti dengan pembentukan kaldera atau runtuhnya Gunung Sunda
yang diikuti lahirnya Gunung Tangkuban Parahu beberapa ratus atau ribu kemudian, yang menghasilkan
aliran lava di Curug Panganten 62 ribu tahun yang lalu, sedangkan sedimentasi di danau Bandung
berjalan terus.
Suatu ledakan gunung api cataclysmic kedua terjadi anatara 55 dan 50 ribu tahun yang lalu, juga berupa
erupsi Plinian dan melanda Bandung barat laut, sedangkan aliran-aliran lava di Curug Dago dan
Kasomalang (Subang), terjadi masing-masing 41 dan 39 ribu tahun yang lalu. Sementara itu, sedimentasi
di Danau Bandung berjalan terus, antara lain pembentukan suatu kipas delta purba yang kini ditempati
oleh Kota Bandung pada permukaan danau tertinggi. Akhir dari Danau Bandung pun dapat ditentukan
pentarikhannya yaitu 16 ribu tahun yang lalu.
Situs-situs Obsidian Danau Bandung
Penelitian yang dilakukan berhasil mengungkap kembali jejak budaya pendukung obsidian Danau
Bandung. Sesuai dengan permasalahan, maka situs-situs yang dicuplik, adalah.
Kawasan Sisi Utara Danau Bandung
Punclut
Secara geografis lokasi ini berada di Dusun Cihanja, Desa Cidadap, Kabupaten Bandung. Menurut GPS
Garmin V lokasi Punclut berada pada titik ordinat 06° 51’ 0.72” LS dan 107° 36’ 8.49”BT. Pada umumnya
lahan di lokasi ini merupakan kebun, ladang, dan rumah penduduk yang sebagian diperuntukkan untuk
warung makan.
24. Temuan obsidian diperoleh di lahan kosong sebelah selatan pemancar RRI. Lahan ini banyak ditumbuhi
oleh semak-semak. Saat ini, lahan digarap untuk diambil pasirnya oleh penduduk sekitar. Akibat
pengambilan pasir inilah, temuan obdisian banyak tersingkap. Temuan yang diperoleh dapat dirinci
sebagai berikut: a). Keramik 1 buah, b). serpih 4 buah
Pakar
Situs ini menurut informasi dari beberapa penelitian terdahulu merupakan situs yang potensial. Lokasi
yang dimaksud sekarang lebih dikenal sebagai Bukit Kordon. Secara administratif daerah bukit Kordon
termasuk wilayah Kampung Sekepicung, Desa Ciburial , Kecamatan Cimenyan. Ordinat situs ini berada
pada 06° 51’ 8.21” LS dan 107° 37’ 6.98” BT (menurut pembacaan dari pesawat GPS Garmin V).
Ketinggian lokasi Pakar berada pada 800 meter dpal.
Lahan yang ada di kampung Sekepicung terdiri atas lahan tegalan, sawah, sekolah, dan bangunan rumah
tinggal. Sebagian besar dari lahan yang ada merupakan lahan rumah tinggal. Lokasi yang diinventaris
oleh peneliti pendahulu, saat ini sudah banyak berdiri bangunan rumah tinggal dan sekolah. Menurut
keterangan penduduk sekitar, temuan obsidian sering diperoleh, sebelum lahan banyak diubah sebagai
rumah tinggal.
Jejak-jejak tinggalan diperoleh pada sebuah lahan yang berada di sisi Barat daya dari SD Inpres Pakar I, II,
dan III. Lahan tersebut merupakan lahan yang akan dibangun menjadi rumah tinggal. Lahan ini
merupakan lahan milik Pak Alek. Adapun jejak-jejak lain disurvei dengan melakukan penyisiran di
ladang-ladang yang baru digarap ataupun ditanami. Beberapa jejak arkeologi berhasil diperoleh di
ladang milik Pak Arifin. Ladang tersebut ditanami singkong. Koleksi survei dari Situs Pakar seluruhnya
berjumlah 33 dengan perincian sebagai berikut: a). tembikar bagian badan 1 buah, b). serpih beretus 4
buah, c). alat serpih 12 buah, d). Serpih 16 buah.
Kawasan Sisi Timur Danau Bandung
Jadaria
Situs ini berhasil diperoleh ketika tim penelitian melakukan survei di kawasan kaki Gunung Manglayang.
Secara administratif, situs ini berada di Kampung Jadaria, Desa Cibiru Wetan, Kabupaten Bandung.
Menurut pembacaan GPS Garmin V lokasi ini berada pada titik ordinat 06° 54’ 9.91” LS dan 107° 43’
7.32” BT. Ketinggian lokasi situs ini adalah sekitar 800 meter dpal.
Temuan berada di lokasi tegalan yang sedang digarap untuk ditanami. Pemilik lahan tidak diketahui,
tetapi ladang ini merupakan tanah garapan Bapak Undang, penduduk setempat. Lokasi ini berada sektar
250 m ke arah barat laut dari jalan desa. Tanaman yang ada berupa nangka, albasia, pisang dan
apokat.Jejak arkeologi yang diperoleh berupa: a). fragmen beliung 1 buah, b). tembikar bagian tepian 4
buah, c). tembikar bagian badan 3 buah, d). keramik bagian badan 2 buah, e). Serpih 72 buah, f). serpih
beretus 11 buah, g). alat serpih 51 buah.
Panyawungan
25. Keberadaan situs ini telah terdata oleh peneliti terdahulu. Beberapa artefak telah diinventaris oleh
Museum Geologi Bandung. Secara administratif termasuk wilayah Kampung Panyawungan, Desa
Cileunyi Wetan, Kabupaten Bandung. Pembacaan GPS Garmin V, lokasi ini berada pada titik 06° 57’0.92”
LS dan 107° 44’ 8.51”BT. Ketinggian lokasi Situs Panyawungan berada pada 663 meter dpal.
Jejak arkeologi diperoleh di sekitar SD Muslimim Panyawungan I dan II. Temuan terbanyak diperoleh di
makam dan lahan tegalan singkong belakang SD. Tegalan tersebut milik Pak Endang. Tepatnya, 50 meter
belakang SD. Secara rinci temuan tersebut berupa: a). bungkal batu obsidian 1 buah, b). serpih beretus 8
buah, c). alat serpih 108 buah, d). serpih 16 buah.
Bumi Panyawangan
Lokasi temuan obsidian diperoleh di situs ini secara tidak sengaja. Penemuan obsidian diperoleh ketika
dilakukan pengerukan ketika perluasan pembangunan perumahan. Secara administratif lokasi ini berada
di Perumahan Bumi Panyawangan Cluster Kamper yang termasuk wilayah Desa Cimekar, Kecamatan
Cileunyi, Kabupaten Bandung. Titik ordinat lokasi ini adalah 06° 56’ 6.10” LS dan 107° 44’ 3.72” BT.
Lokasi ini berada pada ketinggian sekitar 671 meter dpal. Secara rinci temuan di Bumi Panyawangan
adalah: a). Serpih 33 buah, b). serpih beretus 3 buah, c). alat serpih 9 buah.
Kawasan Sisi Selatan Danau Bandung
Pasir Bongkor
Penelusuran situs di sisi selatan Danau Bandung dilakukan pada bentang lahan yang sama dengan situs
lain yang telah diperoleh temuan obsdian. Secara administratif, lokasi ini berada di Desa Cihelang,
Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung.Titik ordinat situs ini adalah 107°40’ BT dan 07° 12’ LS.
Ketinggian lokasi Pasir Bongkor berada pada 827 meter dpal.
Situs Pasir Bongkor berada lokasi yang banyak ditumbuhi pohon bambu. Lahan situs cenderung
menurun ke arah utara dan barat. Di sisi utara situs merupakan areal perumahan Cikahuripan.Temuan
yang diperoleh dapat dirinci sebagai berikut: a). serpih beretus 9 buah, b). alat serpih 35 buah, c). Serpih
78 buah.
Kawasan Sisi Barat Danau Bandung
Keberadaan tinggalan obsidian di sisi barat Danau Bandung, salah satunya diperoleh di Situs Gua Pawon.
Keseluruhan temuan diperoleh dari hasil penggalian dari tahun 2003-2004 (Yondri, 2005). Situs Gua
Pawon berada di wilayah Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung. Gua tersebut berada
pada ketinggian sekitar 716 meter di atas permukaan air laut.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lutfi Yondri dari tahun 2003 — 2004 menunjukkan temuan obsidian
yang ditemukan umumnya lebih banyak berukuran kecil yang lebih cenderung memperlihatkan pada
26. sisa pembuatan (Yondri, 2005: 71 — 72). Secara kuantitas alat obsidian yang diperoleh di Situs Gua
Pawon berjumlah 124 buah.
Pembahasan
Temuan yang diperoleh dari keseluruhan situs yang dicuplik, terdiri atas serpih beretus, serpih, dan alat
serpih. Penelitian yang dilakukan pada sisi utara-timur laut Danau Bandung memperoleh berbagai
temuan obdisian dan beberapa lainnya. Temuan-temuan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Bungkal batu obsidian
Temuan ini termasuk jarang diperoleh di situs-situs yang diteliti. Situs-situs yang terdapat temuan
bungkal batu obdisian adalah Tugu dan Panyawungan. Keseluruhan permukaan batu masih tertutup
korteks. Warna batuan obsidian adalah hitam
2. Serpih
Temuan serpih diperoleh hampir di keseluruhan situs. Ukuran serpih yang tertipis adalah >1,5 mm,
sedangkan yang tertebal adalah <>
3. Serpih beretus
Istilah serpih beretus ini diarahkan pada temuan yang tidak sengaja dibuat tapi cenderung dipergunakan
oleh pendukung budayanya.Beberapa temuan menunjukkan adanya penggunaan pada lateral kiri,
lateral kanan, distal, bahkan ketiganya.
4. Alat Serpih
Istilah alat serpih mengacu pada temuan yang sengaja dibuat oleh manusia pendukungnya. Dengan
demikian temuan yang diperoleh di situs-situs yang diteliti merupakan alat yang terdapat dataran pukul
dan bulbus. Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan adanya sebaran jejak tinggalan obsidian yang
luas. Hampir di keseluruhan wilayah yang termasuk pinggiran danau bandung diperoleh jejak tinggalan
manusia pendukung obsidian. Sebaran temuan obsidian dapat dipetakan sebagai berikut.
• wilayah timur meliputi Situs Jadaria, Paratag, Panyaungan, dan Panyawangan.
• wilayah utara meliputi Situs Pakar, Punclut
• wilayah barat meliputi Gua Pawon
• wilayah selatan meliputi Pasir Bongkor
Lokasi situs-situs obsidian tersebut berada pada ketinggian yang bervariasi, antara 823 – 663 meter dpal.
Dari delapan situs yang dicuplik, maka dua situs yang berlokasi di Panyawungan dan Panyawangan
berada pada lokasi yang rendah. Titik ketinggian adalah 663 meter dpal untuk Situs Panyawungan dan
671 m dpal untuk Situs Panyawangan. Adapun lima situs lainnya berada di atas 700 m dpal.
27. Penelitian Koenigswald (1935) menunjukkan bahwa situs-situs obsidian terletak pada ketinggian 725 m
dpal. Oleh beberapa ahli, data Koenigswald dapat disimpulkan bahwa permukaan atau pantai danau
Bandung mempunyai ketinggian di atas 725 m dpal. (Koesumadinata, 2001). Data yang menunjukan
adanya jejak obsidian di Situs Panyawangan (671 m dpal) dan Panyawungan (663 m dpal), maka manusia
pendukung obsidian danau Bandung tidak hanya beraktiitas pada daerah yang tinggi. Akan tetapi lokasi
yang merupakan dasar danau Bandung juga dijadikan tempat beraktivitas. Penelitian geologi
(Koesoemadinata, 2001) telah menjelaskan bahwa surutnya muka Danau bandung tidak sekaligus,
sedimentasi di Danau Bandung eberjalan beransur-angsur.
Bukti geologis tersebut dapat menjelaskan bahwa aktivitas manusia pendukung obsidian antara situs
yang berlokasi di atas 725 m dpal dengan lokasi yang lebih rendah berbeda waktu. Pasang-surutnya
muka air danau bandung menjadi pertimbangan tersendiri bagi pendukung budaya obsidian dalam
pemilihan lahan untuk beraktivitas. Kehidupan manusia tidak terlepas dari lingkungan sekitar. Manusia
akan berusaha memilih lingkungan yang sesuai untuk aktivitasnya dengan memanfaatkan sumber daya
alam secara optimal. (Herkovits, 1952).
Sejalan dengan Butzer (1964) berpendapat bahwa lingkungan dianggap penentu dalam pemilihan lokasi
situs, antar lain
• tersedianya kebutuhan air, adanya tempat berteduh, dan kondisi tanah yang tidak terlalu
lembab;
• tersedianya fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk bergerak lebih mudah (pantai, sungai, rawa,
lereng);
• tersedianya sumber makanan baik flora dan fauna serta faktor-faktor yang memberi kemudahan
di dalam cara-cara perolehannya (tempat untuk minum binatang, batas-batas topografi, pola
vegetasi, dsb.); dan
• Faktor-faktor yang memberi elemen tambahan binatang laut atau binatang air (dekat pantai,
danau, rawa, dsb)
Simpulan
Penelitian yang dilakukan di beberapa situs di kawasan lain juga menunjukkan adanya jejak aktivitas
manusia pendukung pengguna obsidian, baik di sisi barat, timur, selatan, dan utara. Data penelitian
menunjukkan situs-situs pendukung obsidian berada pada ketinggian 663 hingga 863 meter di atas
permukaan air laut.Pergerakan aktivitas manusia pendukung obsidian sangat dipengaruhi oleh muka
pantai danau Bandung. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya air dalam kehidupan manusia
pendukung.
Penghargaan: Terima kasih diucapkan kepada Bapak Dr. Truman Simanjuntak yang telah mengijinkan
untuk mengambil beberapa hasil penelitian untuk diolah. Juga disampaikan penghargaan kepada Bapak
Adman (staff Balai Arkeologi Bandung) yang telah bersusah payah membantu survei ke beberapa situs
obsidian di Danau Bandung.
28. Daftar Pustaka
Anggraeni, Nies et al. 1986. “Survei di Daerah Cililin, Bandung 1978”. BPA No. 36: Laporan Penelitian
Arkeologi dan Geology di Jawa Barat. Jakarta: Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.
Bemmelen, R.W. van. 1949. Geology of Indonesia; vol. I A. General Geology-The Bandung Zone.
Boedi, Oerip Bramantyo. 2001. “Laporan Hasil Penelitian Arkeologi: Penelitian Arkeologi di Kecamatan
Cililin dan sekitarnya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat”. Bandung: Balai Arkeologi Bandung (tidak
diterbitkan).
Heekeren, HR. Van. 1972. The Stone Age of Indonesia. Rev. 2nd. The Hague: Martinus Nijhoff
Herkovits, Melville J. 1952. “Anthropology and Economics”, The Economic Life of Primitive Peoples. New
York: Knopf. Hlm. 3-8
Koesoemadinata, R.P. 2001. “Asal-Usul dan Prasejarah Ki Sunda”. Makalah KIBS. Bandung, 22-25 Agustus
2001
Koeningswald, G.H.R. von. 1935. Das Neolithicum der Umgebung von Bandung. Tidjschrift voor
Indiesche Taal-Land, on Volkenkunde, Deel LXXV, Afl.3. Hlm. 394-417.
Rothpletz, W. 1952. Alte siedlungsplatze beim Bandung (Java) und die Entdeckung. Bronzezeitlicher
Gussformen: Sudsee Studien, Basel 1951.
Soejono, R.P. 1984. “Jaman Prasejarah di Indonesia”. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta : PN. Balai
Pustaka.
Tim Peneliti. 1994. Laporan Penelitian Sumber Bahan Baku Artefak Obsidian di Nagrek, Jawa Barat.
Bandung: Balai Arkeologi Bandung-Puslit Arkenas.
Yondri, Lutfi. 2005. “Kubur Prasejarah Temuan dari Gua Pawon Desa Gunung Masigit, Kabupaten
Bandung, Provinsi Jawa Barat, Sumbangan Data Bagi Kehidupan Prasejarah di Sekitar Tepian Danau
Bandung Purba”. Tesis. Universitas Indonesia.
Catatan:Tulisan ini dimuat di buku “Arkeologi dari Lapangan ke Permasalahan”, hlm. 18 – 29. Editor:
Prof. Dr. Edi Sedyawati. Bandung: Ikatan ahli Arkeologi Indonesia Komda Jawa Barat – Banten.
sumber : http://arkeologisunda.blogspot.com/2009/02/menelusuri-tepian-danau-bandung-purba.
html mang
29. TATA CARA PEMETAAN DAN PENYELIDIKAN GEOLOGI TEKNIK
Oleh
Ediwan A. Syarief
• PENDAHULUAN
Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu rangkaian upaya yang dilakukan terus menerus
untuk mencapai suatu tingkat kehidupan masyarakat yang sejahtera. Sejalan dengan semakin pesatnya
30. pembangunan dan dimulainya era perbaikan di segala bidang, baik industri, perdagangan maupun
pariwisata tentunya akan disertai dengan pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan,
perkantoran dan sebagainya.
Untuk menunjang pembangunan tersebut, diperlukan berbagai data dan informasi, salah satunya
adalah data geologi teknik. Data geologi teknik, memberikan informasi mengenai kekuatan serta
karakteristik lapisan tanah/batuan yang berguna di dalam perencanaan dan penataan ruang. Selain itu
akan sangat membantu pemerintah daerah dalam mengontrol pembangunan fisik di daerahnya.
Data dan informasi geologi teknik tersebut dapat diperoleh dengan cara melakukan
pemetaan maupun penyelidikan geologi teknik.
Dengan tersedianya data geologi teknik pada suatu daerah yang akan dikembangkan, diharapkan
terjadinya kesalahan-kesalahan dalam pengembangan wilayah maupun perencanaan konstruksi
bangunan teknik dapat dihindarkan atau diperkecil.
• MAKSUD DAN TUJUAN
Pemetaan dan penyelidikan geologi teknik ini dimaksudkan untuk mengumpulkan berbagai data
dan informasi geologi teknik permukaan dan bawah permukaan yang mencakup: sebaran serta sifat fisik
tanah/batuan, kondisi air tanah, morfologi dan bahaya beraspek geologi. Hasil pemetaan dan
penyelidikan diharapkan dapat berguna sebagai data dasar dalam menunjang perencanaan
pembangunan maupun penataan ruang di daerah.
• METODOLOGI
Metoda yang digunakan dalam melakukan pemetaan dan penyelidikan geologi teknik adalah
metoda kualitatif dan kuantitatif. Metoda kualitatif yaitu melaksanakan pengamatan lapangan,
pengukuran struktur, diskripsi sifat fisik dan keteknikan tanah/batuan, kondisi keairan, dan
menginventarisasi kebencanaan geologi yang ada. Metoda kuantitatif yaitu melakukan perhitungan dan
analisis seperti daya dukung, kemantapan lereng, kompresibilitas dan perosokan tanah.
• LINGKUP PEKERJAAN PEMETAAN/PENYELIDIKAN GEOLOGI TEKNIK
Lingkup pekerjaan ini dapat dibagi menjadi empat tingkatan, yaitu:
• Perencanaan
• Pekerjaan Lapangan
• Pekerjaan Laboratorium
31. • Analisis dan evaluasi data
• Penyusunan laporan
4.1 Perencanaan
Kelancaran suatu kegiatan, sebagian besar ditentukan selama tahap perencanaan. Tahap
perncanaan ini perencanaan sebelum ke lapangan dan perencanan selama di lapangan.
• Perencanaan sebelum ke lapangan
Perncanaan ini meliputi hal-hal yang sangat mendasar sebelum tim berangkat ke lapangan, yang
menyangkut:
• masalah administrasi, konsolidasi personalian tim, kesiapan transportasi dan peralatan
lapangan, serta keperluan-keperluan lain untuk pekerjaan pujian di lapangan
• Pengumpulan data lapangan yang telah ada atau laporan dari penyelidik terdahulu.
• Penyiapan peta dasar baik peta topografi maupun foto udara dengan skala yang disesuaikan
dengan maksud dan tujuan pemetaan/penyelidikan.
• Perencanaan selama di lapangan
Merupakan perencanaan yang dilakukan di base camp sebelum melakukan pemetaan/penyelidikan
geologi teknik. Sebaiknya sebelum kegiatan dilakukan, terlebih dahulu dilakukan penyelidikan
pendahuluan (reconnaise) dengan maksud untuk mengenal medan, situasi daerah dan kebiasaan-kebiasaan
penduduk yang berada di daerah pemetaan/penyelidikan.
Dari hasil penyelidikan pendahuluan baru direncanakan kegiatan selanjutnya secara lebih terarah, yaitu
dengan membuat rencana lintasan.
4.2 Pekerjaan Lapangan
4.2.1 Pemetaan Geologi Teknik
a. Morfologi dan kemiringan lereng
32. Meliputi kondisi bentang alam beserta unsur-unsur geomorfologi lainnya, penafsiran genesa
morfologi dan perkembangan geomorfologi yang mungkin akan terjadi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah keadaan bentuk lembah, pola aliran sungai, sudut lereng,
pola gawir dan bentuk-bentuk bukit. Morfologi atau bentang alam seperti tampak pada saat sekarang ini
merupakan hasil kerja dari sistem alam, yaitu proses-prosesdalam bumi (geologi, volkanisme) dan
proses-proses luar (air permukaan, gelombang, longsoran, tanaman, binatang termasuk manusia).
Morfologi sangat penting dalam hubungannya dengan pelaksanaan pembangunan, yaitu untuk
mengetahui karakteristik bentang alamnya seperti kemiringan lereng dalam kaitannya dengan
jangkauan optimum sudut lereng untuk keperluan kesampaian lokasi dan operasional kendaraan
pengangkut bahan bangunan, sampah dan tataguna lahan pada saat ini.
b. Satuan Tanah dan batuan
Satuan tanah dan batuan memberikan informasi mengenai susunan atau urutan stratigrafi dari
tanah dan batuan secara vertikal maupun horisontal. Untuk itu perlu dilakukan pemerian sifat fisik dan
keteknikan tanah/batuan yang dapat diamati langsung di lapangan secara megaskopis.
Penyusunan satuan geologi teknik dilakukan dengancara pengelompokan tanah dan batuan yang
mempunyai sifat fisik dan keteknkan yang sama atau mendekati sama.
• Struktur Geologi
Meliputi pemerian jurus dan kemiringan lapisan batuan, kekar, rekahan, sesar, lipatan dan ketidak
selarasan. Data ini sangat penting dalam pekerjaan pembangunan infrastruktur guna menghindari atau
memecahkan permasalahan yang dapat terjadi.
Intensitas kekar atau retakan, tingkat kehqncuran batuan yang diakibatkan oleh adanya sesar terutama
bila dijumpai sesar aktif maupun perselingan lapisan batuan yang miring adalah merupakan zona lemah
yang dapat menimbulkan permasalahan, misalnya longsoran.
• Keairan
Pengamatan yang perlu dilakukan meliputi kedalaman muka air tanah bebas, sifat korosifitas air
tanah dan munculnya mata air atau rembesan yang dapat mempengaruhi perencanaan konstruksi
pondasi bangunan. Apabila dianggap perlu diambil contoh air tanahnya untuk diuji di laboratorium, guna
mengetahui tingkat korosivitasnya.
• Bahaya Geologi
Meliputi pengamatan dan penilaian tentang ada tidaknya bahaya yang mungkin dapat terjadi
sebagai akibat dari faktor geologi. Identifikasi bahaya geologi sangat erat kaitannya dengan
33. pembangunan infrastruktur, karena dikhawatirkan akan menjadi kendala atau hambatan selama
pembangunan maupun pasca pembangunan, antara laian struktur sesar aktif, gerakan tanah/batuan,
banjir bandang, ambblesan tanah/batuan, bahaya kegunung apian, erosi dan abrasi, kegempaan,
Tsunami, dan lempung mengembang.
4.2.2 Penyelidikan Geofisika
Metoda geofisika dimaksudkan untuk mengetahui secara garis besar gambaran keadaan geologi
bawah permukaan, yaitu : satuan-satuan tanah/batuan; batas-batas satuan tanah/batuan baik secara
horizontal maupun vertical, dan gejala-gejala geologi seperti patahan, daerah rekahan, kandungan air
tanah dan lain-lain.
Penggunaan penyelidikan geofisika ini banyak mengandung keuntungan-keuntungan, antara
lain:
• Mendapatkan gambaran keadaan bawah permukaan di daerah yang luas dalam waktu yang
pendek.
• Memudahkan membuat intrepetasi penampang geologi
• Memperkecil jumlah titik-titik pengeboran, karena akan mempermudah korelasi antara titik-titik
pengeboran.
• Membuat lebih effisien dan memperkecil biaya penyelidikan
Metoda geofisika yang telah dikembangkan untuk maksud keteknikan, antara lain: Metoda
seismik, geolistrik dan metoda electromagnetic subsurfaca profiling/Radar (Radio Detecting and
Ranging) Sounding.
• Metoda Seismik
Metoda ini umumnya dilakukan mulai dari studi pendahuluan hingga studi kelayakan. Pada studi
pendahuluan metoda ini dilakukan untuk mengetahui kondisi perlapisan tanah dan batuan serta
struktur geologi yang akan dibangun secara makro, sehingga dalam studi kelakyakan akan dapat
dilakukan dengan baik orientasi pekerjaan yang akan dilakukan, seperti:
• Penentuan lokasi dan jumlah bor inti yang akan dilaksanakan
• Penentuan jumlah contoh yang akan diambil
• Pembuatan penempang geologi teknik/geoteknik khususnya dalam pembuatan korelasi
stratigrafi antar titik bor
• Penentuan ketelitian penyelidikan terutama pada daerah-daerah yang diperkirakan mempunyai
potensi struktur geologi yang membahayakan
• Penentuan lokasi-lokasi struktur bangunan
34. • Metoda Geolistrik
Dalam metoda ini arus listrik dialirkan di tanah melalui elektroda-elektroda dan perbedaan potensial
diukur diantara dua buah elektroda. Perbedaan dalam tahanan jenis kemudian dapat diukur baik
vertikal maupun lateral dengan menukar susunan elektroda.
Metoda ini memberikan data stratigrafi, cadangan kuari, kedalaman muka airtanah maupun kedudukan
lapisan pembawa air tanah, pola retakan dan indikasi bidang longsor.
• Metoda Electromagnetic Subsurfaca Profiling/Radar
(Radio Detecting and Ranging) Sounding.
Metoda ini merupakan cara yang paling cepat untuk membuat penempang bawah permukaan. Metoda
ini akan mendeteksi kondisi bawah permukaan dengan cara memancarkan spectrum/gelombang
electromagnetis ke formasi tanah/batuan yang kemudian akan diterima oleh alat receiver yang diseret
dibelakang alat pemancarnya (transmitter). Dari hasil pengujian diperoleh profil intasan dan dapat
langsung diinterpretasikan di lapngan.
Kenampakan yang dapat dengan mudah dideteksi, antara lain: Jenis dan perlapisan tanah/batuan,
adanya ruang kosong (lubang) di bawah tanah, sisa-sisa pondasi, ketebalan lapisan aspal.
4.2.3 Pengujian keteknikan tanah dan batuan
Pengujian lapangan terhadap sifat fisik dan mekanik tanah maupun batuan seperti konsistensi,
kepadatan dan plastisitas tanah, kekerasan dan kekompakan batuan dicatat pada kolom diskripsi tanah
dan batuan pada setiap penampang pengeboran inti (teknik) dan pengeboran tangan.
4.2.4 Pengambilan contoh tanah dan batuan
Pengambilan contoh tanah dan batuan dilakukan untuk pengujian laboratorium mekanika tanah
dan batuan (Lab. Mektanbat), yaitu berupa Contoh tanah tak terganggu (undisturbed samples) dan
contoh tanah terganggu (disturbed samples).
• Contoh tanah tak terganggu (undisturbed samples)
Contoh tanah tidak terganggu adalah suatu contoh yang masih menunjukan sifat-sifat aslinya, artinya
contoh-contoh ini tidak mengalami perubahan dalam struktur, kadar air (water content), atau susunan
kimia. Namun demikian contoh yang benar-benar asli tidaklah mungkin untuk diperoleh, akan tetapi
dengan teknik pelaksanaan sebagaimana mestinya dan cara pengamatan yang tepat, maka kerusakan-kerusakan
terhadap contoh bisa dibatasi sekecil mungkin. Contoh tanah tidak terganggu dapat diambil
memakai tabung contoh (tube sample), core barrels, atau mengambilnya secara langsung dengan
tangan, sebagai contoh dalam bentuk bomgkah-bongkah (block samples).
• contoh tanah terganggu (disturbed samples).
35. Contoh tanah terganggu diambil tanpa adanya usaha yang dilakukan untuk melindungi struktur asli dari
tanah tersebut. Contoh tanah terganggu ini dapat dipakai untuk segala penyelidikan yang tidak
memerlukan contoh asli (undisturbe samples), seperti ukuran butir, batas-batas atterberg, pemadatan,
berat jenis dan sebagainya.
Untuk contoh batuan dapat berupa pengambilan batu setempat (hand spacement) pada batuan
utuh (intact rock) dan pengambilan batu yang terdapat bidang ketidak sinambungan (discontinuity) pada
massa batuan (rock mass) apabila banyak dijumpai retakan, rekahan (heavy broken rocks).
4.2.5 Pemetaan sebaran bahan bangunan
Untuk identifikasi lokasi-lokasi yang berpotensi sebagai sumber bahan bangunan. Secara kasar
(megaskopis) harus dilakukan diskripsi terhadap sifat fisik dan keteknikan bahan bangunan guna
mengetahui perkiraan kualitas bahan bangunan serta taksiran besarnya cadangan. Apabila
memungkinkan dilakukan pengukuran dan pembuatan beberapa penampang guna memperkirakan
volume (kuantitas) cadangan.
4.2.6 Pengeboran tangan
Pekerjaan ini dimaksudkan untuk mengetahui ketebalan lapisan tanah, urutan jenis lapisan tanah
bawah permukaan dan konsistensi serta kepadatan relatif tanah. Kedalaman maksimum 10 m atau
dihentikan setelah mencapai lapisan bawah permukaan yang keras. Pekerjaan pengeboran tangan
dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan hasilnya disajikan pada penampang bor/log pemboran tangan.
4.2.7 Pengeboran teknik / inti
Dalam pekerjaan pemetaan untuk keperluan suatu proyek vital / strategis diharuskan melakukan
pekerjaan pengeboran teknik / inti. Pekerjaan ini dimaksudkan untuk mengetahui ketebalan lapisan
tanah dan batuan, urutan jenis lapisan batuan bawah permukaan dan konsistensi serta kepadatan relatif
tanah, kekerasan dan kepadatan batuan. Kedalaman maksimum 60 m, pengujian N-SPT dan
pengambilan contoh tidak terganggu (undisturbed samples) setiap interval 1,5 hingga 2 meter.
Pengeboran teknik / inti akan dilakukan sesuai kebutuhan dan hasilnya disajikan pada penampang
bor atau log pengeboran teknik dan diusahakan dibuat korelasi penampang bor untuk mengetahui
kondisi bawah permukaan dapat diwujudkan dalam diagram pagar.
4.2.8 Pengujian SPT (Standar Penetration Test)
Pengujian dimaksudkan untuk mengetahui kekuatan atau perlawanan tanah/batuan terhadap
penetrasi tabung SPT atau tabung baja sehingga akan diperoleh jumlah pukulan untuk memasukan
tabung SPT tersebut sedalam 30 cm ke dalam tanah yang masih belum terganggu atau diperoleh nilai
SPT (N).
36. Dengan melihat pada nilai SPT akan dapat diperkirakan kondisi batas tanah dan lapisan keras
serta dapat dikorelasikan dengan sifat-sifat maupun variasi tanah yang diuji. Hasil pengujian akan
berguna dalam perencanaan letak dan jenis pondasi.
4.2.9 Pekerjaan sondir
Pekerjaan ini dilakukan untuk mengetahui kedalaman lapisan tanah keras, menentukan lapisan-lapisan
tanah berdasarkan tahanan ujung konus dan daya lekat tanah berbutir halus, tidak boleh
digunakan pada daerah aluvium yang mengandung kmponen berangkal dan kerakal, karena hasilnya
akan memberikan indikasi lapisan tanah keras yang salah.
Alat sondir yang digunakan pada pelaksanaan pekerjaan lapangan ini adalah alat sondir hidrolik
atau mekanik (manual) dengan kapasitas maksimum 2,5 ton 5 ton maupun 10 ton yang dilengkapi
dengan ujung penetrometer / sondir bikonus ( friction sleeve).
Pembacaan dilakukan pada setiap penekanan pipa sedalam 20 cm, pekerjaan sondir dihentikan
apabila pembacaan pada manometer berturut-turut menunjukkan harga > 150 kg/cm2. Alat sondir
terangkat apabila pembacaan manometer belum menunjukkan angka maksimum, maka alat sondir
perlu diberi pemberat yang diletakan pada baja kanal jangkar.
Hasil yang diperoleh adalah nilai sondir (qc) atau perlawanan penetrasi konus dan jumlah
hambatan pelekat (JHP). Grafikmyang dibuat adalah perlawanan penetrasi konus (qc) pada tiap
kedalaman dan jumlah hambatan pelekatsecara komulatif.
Namun demikian ada beberapa kelemahan atau kekurangan dalam uji sondir, yaitu:
• Tidak didapatkannya sample tanah
• Kedalaman penetrasi terbatas
• Tidak dapat menembus kerikil atau lapisan pasir yang padat
4.2.10 Pengujian langsung di lapangan (in situ test)
Pengujian langsung di lapangan antara lain: pocket penetrometer test, uji geser baling,
permeabilitas. Sedangkan pada batu dapat dilakukan pengujian beban titik (point load test), kekerasan
batuan dengan (Schmidt Hammer Test) atau menggunakan palu geologi.
• Pocket Penetrometer Test
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kekuatan tanah, yaitu dengan cara menekan atau menusukan
alat penetrometer kedalam tanah, maka akan didapat besaran kekuatan tanah dalam satuan kg/cm2.
• Uji Geser Baling
37. Pengujian ini dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan geser tanah lempung, umumnya pada tanah
lempung lunak dengan hasil yang diperoleh merupakan nilai kekuatan geser dalam kondisi tidak
terdrainase.
• Uji Permeabilitas tanah
Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui koefisien permeabilitas tanah (k) langsung di lapangan
dengan media lubang bor. Metoda pengujian ada beberapa cara, antara lain:
• Pengujian Constan Head
• Pengujian Falling Head
• Pengujian Packer
• Pengujian Lugeon
• Point Load Test
Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui/mengukur kekuatan batuan dengan dengan bentuk tidak
beraturan atau beraturan.
• Schmidt Hammer Test
Pengujian untuk mengukur kekerasan batuan di lapangan. Hasil dari pengujian tersebut,
dimasukan dalam grafik kurva akan memberikan nilai kuat tekan batuan.
4.2.11 Pendugaan Dinamis (dengan alat DCP)
Pendugaan dinamis atau dikenal dengan DCP (Dynamic Cone Penetrometer dikembangkan oleh
TRRL (Transport and Road Research Laboratory).
Umunya alat ini digunakan pada perencanaan jalan raya dan konstruksi berupa timbunan
(embankment) dengan maksud dan tujuan sebagai berikut:
• Untuk mengetahui ketebalan lapisan dangkal dari tanah lunak atau kedalaman sampai batuan.
• Untuk pengukuran (dengan cepat) sifat-sifat struktur jalan yang sudah ada (existing) dengan
konstruksi lapisan perkerasan jalan raya yang materialnya lepas (tak terikat)
• Untuk menentukan daya dukung tanah dangkal secara cepat, pada perencanaan jalan, baik jalan
raya maupun jalan inspeksi (pada tanggul saluran irigasi).
Alat ini dapat mengukur sedalam 80 cm secara menerus atau maksimum 120 cm, dimana batas-batas
lapisan perkerasan yang mempunyai kekuatan berbeda sudah diidentifikasi dan ketebalan lapisan telah
diketahui.
4.3. Pekerjaan Laboratorium
38. Pekerjaan laboratorium merupakan kelanjutan dari pekerjaan lapangan. Pekerjaan ini
dimaksudkan untuk memperoleh parameter sifat keteknikan tanah dan batuan guna menunjang dalam
melakukan analisis geologi teknik berdasarkan standard ASTM.
Jenis pengujian untuk contoh tanah meliputi:
• Pengujian Basic Properties terdiri dari:
a. Kadar air (Wn) ASTM. D.2217-71
b. Berat Jenis (Gs) ASTM.D.854-72
c. Berat Isi /density (γ) ASTM.D.4718
• Pengujian Index Properties terdiri dari:
a. Atterberg Limit ( LL, PL, PI ) ASTM. D.4318
b. Analisa besar butir ASTM.D 422-72
• Pengujian Engineering Properties terdiri dari :
a. Triaxial Test ( UU & CU ) ASTM.D 2850
b. Konsolidasi ASTM D
Jenis pengujian untuk contoh batuan,
• Pengujian mekanika batuan
untuk menentukan kepadatan, kekerasan , kekuatannya dengan cara :
• Supersoni waves
• Triaxial Compressive Strenght ASTM. D.2664-67
• Density, Poison’s Ratio, Modulus of elasticity ASTM 19 D.2845 – 69
• Unconfined compressive strenght
• Pengujian untuk bahan agregat :
• Relative density dan water absorption ASTM C. 128
39. • Analisa petrografi
• Particle size distribution ASTM 14
• Flakiness index ASTM 14
• Elongation index ASTM 14
• Relative density and absorption ASTM 14
• Bulk density ASTM 14
4.4. Analisis dan Evaluasi Data
Analisis dan evaluasi data dimaksudkan untuk mempelajari dan mencari hubungan dari pengaruh
faktor morfologi, geologi, struktur geologi, keairan, tata lahan dan aktivitas manusia terhadap
pengelompokkan geologi teknik serta pembuatan penilaian geologi teknik, mencakup:
• Mengklasifikasikan kemiringan lereng berdasarkan bentuk topografi daerah
pemetaan/penyelidikan;
• Mencari hubungan sudut lereng/morfologi terhadap masalah geologi teknik daerah
pemetaan/penyelidikan;
• Mencari hubungan dan pengaruh sifat fisik dan mekanik tanah/batuan terhadap masalah
geologi teknik;
• Mencari hubungan kejadian bahaya geologi dengan kondisi geologi teknik daerah
pemetaan/penyelidikan;
• Menganalisis pengaruh struktur geologi terhadap masalah geologi teknik;
• Analisis daya dukung dan perosokan tanah;
• Analisis kemantapan lereng terhadap sifat fisik dan mekanik tanah/batuan;
• Penentuan satuan geologi teknik;
• Penyusunan satuan geologi teknik dilakukan dengan cara pengelompokan tanah/batuan yang
mempunyai jenis yang sama atau mendekati sama dari Formasi batuan
• Tanah pelapukan berketebalan lebih dari 1 (satu) meter dipetakan sebagai tanah sedangkan
kurang dari 1 (satu) meter dipetakan sebagai batuan;
40. • Hasil dari pengamatan lpangan baik berupa pengamatan tanah batuan, penyondiran,
pengeboran tangan, masalah geodinamika (bahaya beraspek geologi) ditambah dengan data
sekunder yang didapat perlu dituangkan dalam peta geologi teknik.
• Penggambaran peta dan penampang geologi teknik.
• Penyusunan Laporan
Penulisan laporan yang baik dan lengkap merupakan bagian yang paling penting dalam suatu
pemetaan/penyelidikan geologi teknik. Pada dasarnya kegunaan suatu laporan meliputi penguraian
secara tepat apa-apa yang telah dipetakan/diselidiki dan memadukan serta menerangkan hubungan
geologi teknik dengan permasalahan yang ada. Keterangan dan kesimpulan laporan harus didasarkan
atas kenyataan yang ada di lapangan.
Laporan pemetaan/penyelikan geologi teknik memuat berbagai informasi dan permasalahan yang
melatar belakangi dilakukan pemetaan serta uraian hasil analisis dan evaluasi geologi teknik, dengan
sistematika sebagai berikut:
KATA PENGANTAR
RINGKASAN
Bab 1. PENDAHULUAN
berisi uraian mengenai latar belakang, maksud dan tujuan, lokasi daerah pemetaan,
pelaksanaan pemetaan, metoda pemetaan dan lingkup pekerjaan.
Bab 2. GEOLOGI UMUM DAN KONDISI LINGKUNGAN
berisi uraian mengenai geomorfologi, pola aliran sungai, kemiringan lereng, geologi
umum, kegempaan, sumber daya bahan bangunan, kondisi keairan, iklim dan curah hujan serta
penggunaan lahan.
Bab 3. GEOLOGI TEKNIK
berisi uraian mengenai sebaran satuan geologi teknik, analisis data laboratorium, masalah
geologi teknik dan analisis geologi teknik.
Bab 4. EVALUASI GEOLOGI TEKNIK, berisi uraian mengenai sifat fisik dan keteknikan
tanah dan batuan (geologi teknik) dikaitkan dengan tujuan pemetaan/penyelidikan
Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
berisi uraian mengenai kesimpulan dan rekomendasi.
41. DAFTAR PUSTAKA
5. PENUTUP
• Data dan informasi geologi teknik sangat diperlukan dalam rencana penataan ruang dan
pengembangan wilayah suatu daerah.
• Data dan informasi geologi dapat diperoleh dengan melakukan pemetaan/penyelidikan geologi
teknik. Untuk itu diperlukan tatacara pemetaan geologi teknik.
DAFTAR PUSTAKA
• ANONIM, 1980., Pedoman Penyelidikan Geologi Teknik dan Mekanikan tanah, Departemen
Pekerjaan Umum
• KARL TERZAGHI DAN RALPH B.PECK, 1987, Mekanika Tanah Dalam Praktek Rekayasa, Alih Bahas
Ir. Bagus Wicaksono dan Ir. Benny Krisna, Penerbit Erlangga
• NOOR ENDAH DAN INDRASURYA B. MOCHTAR, 1993, Mekanika Tanah (Prinsip-prinsip Rekayasa
Geoteknik), Penerbit Erlangga, Jakarta.
• PAULUS, P.R., 1997, Uji Sondir, Interpretasi dan Aplikasinya untuk erancangan Pondasi,
Universitas Katolik Parahyangan, Bandung
• WESLEY, L.D., 1976, Mekanika Tanah dan Batuan, Penerbit Pekerjaan Umum, Cetakan ke VI