Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Pengertian Bid'ah hasanah dan sayyi'ah (mengenal dalil umum dan dalil khusus)
1. Bid’ah adalah perbuatan yang dikerjakan tidak menurut contoh yang sudah ditetapkan,
termasuk menambah atau mengurangi ketetapan. Sedangkan menurut Al-imam Izzudin
Abdul Aziz bin Abdissalam, ulama terkemuka dalam madzhab Syafi’I, mendefinisikan
bid’ah dalam kitabnya Qowa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam sebagai berikut :
”Bidah adalah mengajarkan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) Pada Rasulullah”
(Qowa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 2/172).
Definisi serupa juga dikemukakan oleh al-Imam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf
al-Nawawi, hafizh dan faqih dalam madzhab Syafi’I Beliu berkata :
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang baru yang belum ada pada masa Rasulullah”(al-
Imam al-Nawawi,Tahdzib al Asma wa al Lughat,3/22 ).
Nabi Muhammad saw Dalam Hadist banyak sekali membicarakan tentang bid’ah namun
Beliu tidak mendefinisikan pengertian bid’ah itu sendiri. Oleh karena itu banyak para
ulama melakukan pendekatan dengan mendefinisikan bid’ah dalam dua pengertian yaitu
menurut bahasa dan dan syara’.
Pengertian Bid’ah
2. 1. Bid’ah Lughotan (Menurut Bahasa)
Bid’ah Menurut bahasa (etimologi) adalah sesuatu yang diadakan tanpa adanya contoh sebelumnya.
Penggunaan kata bid’ah ini diantaranya ada pada firman Allah SWT,
ْلُقاَمُْنتُكْعادِبَْنِِّمِْلُسُّالر
“Katakanlah: ‘Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-Rasul.” (QS. Al-Ahqaaf: 9)
Kata Bid’ah juga terdapat pada Firman Allah SWT Pada Surat Al-Baqoroh ayat 117.
ُْعِيدَبِْتا َاوَمَّسالِْضرَألا َو
“Allah pencipta langit dan bumi.” (QS. Al-Baqarah: 117)
dan juga pada Hadist Nabi saat ditanya seseorang tentang Onta yang mogok atau tidak mau berjalan.
اَيَْلوُس َرِْللا،يِِّنِإَْعِدبُأْيِبيِنلِماحَف : َّْنَأْلُج َرَىتَأَّْيِبَّنالَْلاَقَف
“Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dan berkata: ‘Wahai Rasulullah,
sesungguhnya hewan tungganganku mogok, maka tolong angkut aku.’ [HR. Muslim dalam Shahiih-nya (III/1506,
Kitab “al-Imaarah”, no. 1893)]
Dalam Firman Allah dan hadist nabi diatas dapat disimpulkan Bid’ah merupakan sesuatu hal yang baru.
Bid’ah Lughotan wa Syar’an
3. 2. Bid’ah Syar’an (Menurut Istilah/Syara’)
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan bid‘ah menurut terminologi
(istilah/syari‘at). Ada yang menjadikannya sebagai lawan dari sunnah; dan ada pula yang
menjadikannya sebagai perkara umum, yang mencakup semua perkara yang diada-adakan
setelah zaman Rasul, baik yang terpuji maupun yang tercela.
Menurut al-Imam asy-Syafi’I bid’ah dibagi menjadi dua bagian. Seperti pada riwayat berikut:
“Bid’ah ada dua macam : Bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah yang madzmumah (tercela).
Bid’ah yang sesuai dengan sunnah adalah bid’ah yang terpuji, dan bid’ah yang menyalahi sunnah
adalah bid’ah yang tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari).
Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi’I disepakati oleh para ulama setelahnya
diseluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadist, dan para ulama dari berbagai
disiplin ilmu.
Diantara mereka adalah ulama terkemuka, seperti al-Izz Ibn Abd-salam, an-Nawawi, Ibn
‘Arafah, al-Haththab al-Miliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan hadist diantaranya Ibn
al’Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn hajar, al-Hafizh as-Sakhawi, al-Hafizh as-Suyuthi
dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi
dan lain-lain.
4. Apabila ada dalil yang menunjukan hukum suatu amalan, maka seluruh bagian
amalan tersebut masuk kedalam keumuman dalil dan tidak boleh dikeluarkan
sebagiannya kecuali dengan dalil khusus. Jika dalil umum menunjukan anjuran,
maka tidak boleh dilarang kecuali dengan dalil khusus yang melarangnya.
Begitu juga sebaliknya, apabila dalil umum menunjukan larangan, maka tidak
boleh dianjurkan kecuali ada dalil khusus yang menganjurkannya.
Contoh : Membaca Al-Qur’an
Dalil-dalil umum menunjukan bahwa membaca Al-Qur’an dianjurkan. Anjuran
ini bersifat umum, artinya mencakup seluruh Al-Qur’an dari awal surat sampai
akhir surat. Surat apapun atau ayat apapun, sedikit maupun banyak dan
berapapun jumlah ayat yang dibaca, semua dianjurkan.
Dalam hal ini Selama tidak ada dalil khusus yang mengeluarkan keumuman
anjuran itu, maka tidak bisa dilarang. Kalaupun ada orang yang melarang
bacaan tertentu, ia harus mendatangkan dalil larangannya.
Mengenal Dalil Umum dan Khusus
5. Bid’ah Madzmumah (Tercela) tidak mempunyai tendensi atau sandaran didalam
syariat entah itu dalil umum maupun dalil khusus.
Contoh :
Melukai tubuh sendiri (Tathbir) pada hari asyura (Ritual Arbain mengenang
Kematian Imam Husain). Yaitu tradisi baru Syi’ah yang tidak ada manfaatnya
melainkan kerugian yang didapat.
Dalam hal ini Tathbir tidak mempunyai dalil umum maupun khusus untuk dijadikan
tendensi atau sandaran. Tathbir merupakan buatan baru yang tak berdasar dan
sama sekali tidak berkaitan dengan dengan agama. Berduka dan meratap dengan
cara-cara umum dan wajar merupakan pendekatan diri kepada Allah SWT, akan
tetapi segala perbuatan yang dapat melemahkan dan merusak Islam harus
dihindari, begitu juga tindakan yang dapat membahayakan seseorang maupun diri
sendiri.
Bahkan banyak fatwa-fatwa ulama besar syi’ah melarang ritual melukai diri sendiri
(Tathbir) ini.
Bid’ah Madzmumah
6. Bid’ah Mahmudah (Terpuji) mempunyai tendensi atau sandaran didalam
syari’at entah dalil umum atau dalil khusus. Bid’ah Mahmudah atau Bid’ah
hasanah (baik) tidak hanya dilakukan umat Islam saat ini, tetapi sejak masa
sahabat saat Rasulullah S.A.W masih hidup, sudah banyak yang melakukan
bid’ah hasanah. Di antaranya adalah ketika Rasulullah berkata kepada Bilal
yang artinya sebagai berikut:
“Wahai Bilal, kebaikan apa yang paling engkap harapkan pahalanya dalam
Islam, karena aku telah mendengar kedua sandalmu di surga? Bilal menjawab:
“Kebaikan yang saya harapkan pahalanya adalah saya selalu melakukan
shalat sunnah dua rakaat setiap saya selesai berwudlu’ yang telah saya
tentukan waktunya” (Muttafaq’Alaih)
Sahabat Bilal sudah secara nyata melakukan bid’ah (shalat dua rakaat
setelah wudhu) yang tidak diajarkan dalam islam oleh Nabi Muhammad
SAW. Tapi beliu tidak mengatakan: “Kamu melakukan bid’ah karena
melakukan sesuatu yang baru”, namun justru memujinya.
Bid’ah Mahmudah
7. Contoh Lain :
Pembukuan Al-Qur’an oleh sahabat menjadi suatu Mushaf yang
tidak dilakukan dimasa Rasulullah.
Sholat Trawih 20 rakaat berjamaah dengan satu Imam dimasjid
bahkan Sayyidina Umar bin Khattab R.a berkata: “Ini adalah
sebaik-baiknya Bid’ah.”
Tambahan Adzan sebelum Khotbah shalat Jum’at yang
diperintahkan oleh Sayyidana Utsman bin Affan R.A
8. Setiap sesuatu pada dasarnya mempunyai tendensi atau
sandaran didalam syari’at entah itu berbentuk umum maupun
khusus. Namun yang menjadi masalah terkadang sesuatu
amaliah yang tidak punya dalil secara khusus sering dituduh
Bid’ah. Tentu tuduhan ini tidak benar. Ahli hadist al-Hafidz Ibn
Hajar berkata :
“Yang dimaksud sabda Nabi ‘Semua Bid’ah Sesat” adalah sesuatu
yang diperbarui namun tidak mempunyai dalil secara syar’I, baik
secara khusus maupun umum.
Dengan demikian dapat disimpulkan amaliah yang mempunyai
dalil secara umum bukanlah bid’ah yang tercela.
Pembatasan
9. Bid’ah adalah sesuatu yang baru yang tidak pernah dikenal atau terjadi pada zaman
Rasulullah. Menurut Lughotan (Bahasa) Bid’ah adalah sesuatu hal baru yang tidak
pernah dicontohkan sebelumnya, Sedangkan menurut Syar’an (Syar’at) Ulama ada
menjadikannya sebagai lawan dari sunnah; dan ada pula yang menjadikannya sebagai
perkara umum, yang mencakup semua perkara yang diada-adakan setelah zaman Rasul,
baik yang terpuji maupun yang tercela. Menurut Imam syafi’I bid’ah ini dibagi menjadi
dua bagaian yaitu bid’ah Madzmumah dan Mahmudah.
Untuk mengetahui Bid’ah tersebut madzmumah atau mahmudah dapat melihat pada
dalil umum maupun khusus. Apabila ada dalil umum yang menunjukan hukum suatu
amalan, maka seluruh bagian amalan tersebut masuk kedalam keumuman dalil dan
tidak boleh dikeluarkan sebagiannya kecuali dengan dalil khusus. Jika dalil umum
menunjukan anjuran, maka tidak boleh dilarang kecuali dengan dalil khusus yang
melarangnya. Begitu juga sebaliknya, apabila dalil umum menunjukan larangan, maka
tidak boleh dianjurkan kecuali ada dalil khusus yang menganjurkannya.
Dengan demikian dapat disimpulkan amaliah yang mempunyai dalil secara umum
bukanlah bid’ah yang tercela.
Kesimpulan