Dokumen tersebut membahas tentang paradigma dalam penelitian kualitatif. Secara singkat, paradigma merupakan kerangka berpikir yang memandu peneliti dalam memilih metode dan menentukan asumsi ontologis dan epistemologis. Terdapat beberapa paradigma utama yang bersaing dalam penelitian kualitatif seperti positivisme, postpositivisme, teori kritis, dan konstruktivisme.
2. +
PARADIGMA
Sistem kepercayaan (asumsi) dasar
a t a u p a n d a n g a n d u n i a y a n g
membimbing peneliti memilih metode
d a n m e n e n t u k a n f u n d a m e n t a l
ontologis dan epistemologis.
Triyatni Martosenjoyo
2
3. +
PARADIGMA
§ Pandangan mendasar à yang diakui &
diikuti oleh komunitas suatu disiplin ilmu
tentang realitas yang menjadi fokus disiplin
ilmu tersebut (ONTOLOGI disiplin ilmu).
§ Pandangan mendasar tentang kerangka
METODOLOGI disiplin ilmu itu.
§ Tidak seluruh perkembangan ilmu
berdasarkan akumulasi. à Ada fase ilmu
berkembang secara akumulatif, ada yang
berkembang secara revolusi.
Triyatni Martosenjoyo
3
4. +
KARL R POPPER vs THOMAS S KUHN
POPPER
AKUMULASI
n Ilmu berkembang karena proses akumulasi.
n Semua disiplin ilmu mengalami perkembangan
karena akumulasi pengetahuan pada disiplin
ilmu itu.
n Postulat, teori dll berkembang karena akumulasi
penelitian dll
n Di dalam menulis disertasi, dia harus menulis
dengan merujuk apa yang telah ditemukan oleh
disiplin itu. Apa temuannya yang baru? Apa
kontribusinya?
FALSIFIKASI
n Kebenaran saintifik hanya bisa dipercaya bila
merupakan hasil pengujian hipotesa2 yang
dibangun berdasarkan akumulasi dari
pengetahuan2 sebelumnya.
n Peneliti harus memiliki bangunan berpikir
sendiri tentang topik yang dipilih, berdasarkan
bangunan2 berpikir sebelumnya.
n Peneliti mengacu pada postulat, teori, konsep
yang telah berkembang sebelumnya à
mengembangkan bangunan berpikir baru.
n Popper hanya percaya pada logika DEDUKTIF
dan tidak pada logika INDUKTIF
KUHN
PARADIGMA
n Tidak seluruh perkembangan ilmu
berdasarkan akumulasi.
n Ada fase ilmu berkembang secara akumulatif,
ada yang berkembang secara revolusi.
REVOLUSI SAINS
FASE
n PRA PARADIGMA , komunitas ilmiah sutu
disiplin ilmu belum mencapai pandangan
mendasar tentang ontologi disiplin ilmu.
(ONTOLOGI BELUM JELAS).
n PARADIGMA à sains normal
n ANOMALI à muncul realitas yang tidak bisa
dijelaskan melalui kernagka umum yang
diacu sebelumnya. LOGIKA DEDUKTIF
BERCAMPUR INDUKTIF
n FASE KRISIS à pradigma yang berlakui
sebelumnya tidak bisa lagi dipercaya untuk
menkaji realitas. LOGIKA INDUKTIF
n PARADIGMA BARU à REVOLUSI SAINS
Triyatni Martosenjoyo
4
5. +
FASE REVOLUSI SAINS (2)
Triyatni Martosenjoyo
5
PRA
PARADIGMA
PARADIGMA ANOMALI
KRISIS
PARADIGMA
BARU
6. +
FASE REVOLUSI SAINS (1)
à Pra Paradigma à komunitas ilmiah sutu disiplin ilmu belum
mencapai pandangan mendasar tentang ontologi disiplin
ilmu. Ontologi belum jelas.
à Paradigma à sains normal
à Anomali à muncul realitas yang tidak bisa dijelaskan
melalui kerangka umum yang diacu sebelumnya. Logika
deduktif bercampur induktif.
à Fase Krisis à paradigma yang berlakui sebelumnya tidak
bisa lagi dipercaya untuk mengkaji realitas. Logika Induktif
à Paradigma Baru à Revolusi Sains
Triyatni Martosenjoyo
6
7. +
KUANTITATIF vs KUALITATIF
(Pandangan Internal)
n Melepaskan konteks à
mereduksi hal-hal kecil yang
dianggap tidak berpengaruh.
n Mengesampingkan makna dan
tujuan perilaku. à memahami
perilaku manusia sebagai
benda fisik.
n Pemisahan teori-teori utama
dari konteks lokal. à peneliti
melihat sebagai orang luar
(etik).
n Mengeneralisasi statistik.
n Mengedepankan informasi
kontekstual.
n Data kulaitatif memberikan
pengertian yang mendalam
tentang perilaku manusia.
n Peneliti melihat sebagai orang
dalam (emik).
n Generalisasi tidak dapat
diterapkan pada kasus-kasus
individual.
Triyatni Martosenjoyo
7
KUANTITATIF KUALITATIF
8. +
KUANTITATIF vs KUALITATIF
(Pandangan Eksternal)
n Fakta yang sarat teori à fakta dan teori saling bergantung.
Fakta disebut fakta jika ada dalam kerangka teori tertentu.
n Lemahnya determinasi teori (induksi) à Fakta yang sama
bisa mendukung kerangka teori yang berbeda. Contoh teori
semua angsa putih, ternyata ada angsa yang hitam.
n Fakta yang sarat nilai à teori merupakan pernyataan nilai.
Tak ada sikap bebas nilai.
n Peneliti dan yang diteliti saling mempengaruhi à temuan
terjadi melalui interaksi antara peneliti dengan fenomena.
Hasil penelitian tidak obyektif, melainkan subyektif.
Triyatni Martosenjoyo
8
9. +
TEORI ANGSA HITAM
n Merujuk pada
peristiwa langka yang
berdampak besar, sulit
diprediksi dan di luar
perkiraan biasa seperti
munculnya internet,
komputer pribadi, PD
I, peristiwa 11
September 2001.
Triyatni Martosenjoyo
9
10. DIMENSI-DIMENSI PARADIGMA
1. ONTOLOGI
2.
EPISTEMOLOGI
3.
METODOLOGI
4. AKSIOLOGI
Asumsi tentang
“realitas”
Asumsi tentang
hubungan antara
peneliti dengan
yang diteliti
Asumsi tentang
bagaimana
peneliti
memperoleh
pengetahuan
Asumsi tentang
posisi nilai,
etika, pilihan
moral peneliti
dalam suatu
penelitian
Triyatni Martosenjoyo
10
11. +
PERTANYAAN KE EMPAT à
AKSIOLOGI
n Tiga pertanyaan pertama adalah untuk menghargai
pengetahuan.
n Dibutuhkan pertanyaan ke empat untuk menunjukkan
penghargaan bagi manusia yaitu “nilai”.
n Nilai à apa yang menyatakan manusia harus dihargai dan
berdasarkan “apa” mereka?
n Pertanyaan ke empat diperlukan untuk menyeimbangkan
penghargaan pada pengetahuan dengan penghargaan
terhadap manusia.
Triyatni Martosenjoyo
11
12. +
PARADIGMA YANG BERSAING DALAM
PENELITIAN KUALITATIF
n Positivisme
n Post positivisme
n Teori Kritis
n Konstruktivisme
Triyatni Martosenjoyo
12
13. ITEM
POSITIVISME
POSTPOSITIVISME
TEORI
KRITIS
KONSTRUKSIVISME
ONTOLOGI
Apakah
bentuk
dan
sifat
realitas
dan
oleh
karena
itu,
apakah
yang
ada
disana
yang
dapat
diketahui
tentangnya?
Realism
naïf,
realitas
“nyata”
namun
bisa
dipahami.
Realism
kri=s
–
realitas
“nyata”
namun
hanya
bisa
dipahami
secara
= d a k
s e m p u r n a
d a n
s e c a r a
probabilis=k.
Cook
&
Campbell
1979
àRealisme
kri=s
karena
realitas
harus
tunduk
pada
pengujian
kri=s
yang
seluas-‐
luasnya,
guna
memudahkan
dalam
memahami
realitas
sedekat-‐dekatnya
(namun
=dak
pernah
sempurna.
Realism
historis
–
realitas
maya
yang
dibentuk
oleh
nilai-‐nilai
sosial,
poli=k,
ekonomi,
etnik
dan
gender;
mengkristal
seiring
perjalanan
waktu,
ke
dalam
rangkaian
struktur
yang
saat
ini
(secara
=dak
tepat)
dipandang
sebagai
yang
“,
nyata”
yakni
alamiah
dan
abadi.
Demi
tujuan-‐tujuan
prak=s,
struktur
tersebut
adalah
nyata
yakni
sebuah
realitas
maya
atau
historis.
Rela==visme
–
realitas
yang
dikonstruksikan
secara
lokal
dan
spesifik.
Realitas
bisa
dipahami
dalam
bentuk
konstruksi
mental
yang
bermacam-‐macam
dan
tak
dapat
diindera,
yang
secara
sosial
dan
pengalaman
berciri
lokal
dan
spesifik
(meskipun
berbagai
elemen
sering
kali
bersama-‐sama
dimiliki
berbagai
individu
bahkan
lintas
budaya),
dan
bentuk
serta
isinya
bergantung
pada
manusia
yang
memiliki
kontruski
tersebut.
EPISTEMOLOGI
Apakah
sifat
hubungan
yang
terjalin
antara
yang
mengetahui
atau
calon
yang
mengetahui
dengan
s e s u a t u
y a n g
d a p a t
diketahui?
Dualis/objek=vis;
temuan
yang
benar.
Peneli=
dan
obyek
yang
diteli=
dianggap
sebagai
en=tas
yang
terpisah,
sedangkan
peneli=
dipandang
mampu
mempelajari
obyek
tanpa
mempengaruhi
atau
dipengaruhi
obyeknya.
Strategi
dilakukan
untuk
mereduksi
atau
m e n y i n g k i r k a n
a n c a m a n
y a n g
mempengaruhi
validitas.
Dualis/obyek=vis
yang
dimodifikasi;
tradisi/
komunitas
kri=s;
temuan-‐temuan
yang
mungkin
benar.
Dualisme
sudah
banyak
di=nggalkan
karena
tak
mungkin
lagi
untuk
dipertahankan.,
sedangkan
obyek=vitas
tetap
menjadi
“cita-‐cita
pemandu”.
Penekan
khusus
diberikan
kepada
“pengawal”
eksternal
obyek=vitas
seper=
tradisi
kri=s
(apakah
hasil-‐hasil
peneli=an
“sesuai”
dengan
ilmu
pengetahuan
yang
sudah
ada
sebelumnya)
dan
komunikasi
kri=s
(seper=
editor,
juri
dan
rekan-‐rekan
profesional).
Hasil
peneli=an
yang
dapat
diulang
besar
kemungkinan
tunduk
pada
falsifikasi.
Catatan:
premis
mayor,
premis
minor,
konklusi.
Transaksional/subjek=vis;
temuan-‐
temuan
yang
diperantarai
oleh
nilai.
Peneli=
dan
obyek
yang
diteli=
terhubung
secara
interak=f,
dengan
nilai-‐nilai
peneli=
(dan
“nilai-‐nilai
o r a n g
l a i n ”
t e r p o s i s i k a n ) ;
mempengaruhi
peneli=an
secara
tak
terhindarkan.
Oleh
karenanya
t e m u a n -‐ t e m u a n
p e n e l i = a n
“diperantarai
oleh
nilai”.
Menantang
pembedaan
tradisional
a n t a r a
o n t o l o g y
d e n g a n
epistemology;
sesuatu
yang
dapat
diketahui
ternyata
terjalin
secara
erat
antara
peneli=
tertentu
dengan
obyek
atau
kelompok
tertentu.
Transaksional/subjek=vis;
temuan-‐
temuan
yang
diciptakan,
Peneli=
dan
obyek
dianggap
terhubung
secara
=mbal
balik
sehingga
“hasil-‐hasil
peneli=an”
terciptakan
secara
literal
seiring
d e n g a n
b e r j a l a n n y a
p r o s e s
peneli=an.
Pembedaan
konvensional
antara
ontology
dengan
epistemology
lenyap,
sebagaimana
yang
terjadi
dalam
teori
kri=s.
METODOLOGI
A p a
s a j a
c a r a
y a n g
ditempuh
peneli=
(calon
yang
akan
mengetahui)
untuk
menemukan
apapun
yang
ia
percaya
dapat
diketahui?
Eksperimental/manipula=ve;
verifikas
hipotesis;
terutama
metode-‐metode
kuan=ta=f.
Eksperimental/manipula=f
yang
dimodifikasi;
keragaman
kri=s;
falsifikasi
hipotesis;
bisa
jadi
melipu=
metode-‐
metode
kualita=f
Dialogis/dialek=s
Hermeneu=s/dialek=s
Triyatni Martosenjoyo
13
14. +
EPISTEMOLOGI POSITIVISME
n Ada dualisme antara yang diteliti dan
diteliti à 2 keadaan yang tidak
mempengaruhi satu sama lain.
n Metode berjalan untuk menemukan
kebenaran.
Triyatni Martosenjoyo
14
15. +
METODOLOGI
n Ekperimental à before after, with without.
n Menguji hipotesis à realitas dikaji untuk
menguji hipotesis. Harus kuantitatif, ada
statistik. Frekwensi, populasi, jumlah,
bukan pada makna.
n Temuan bersifat pasti.
Triyatni Martosenjoyo
15
16. +
POSTPOSITIVISME
n Tidak bisa menjelaskan mengapa realitas
terjadi.Yang bisa dilakukan melihat proses
terjadinya realitas itu. à Fenomena bunuh
diri bisa dijelaskan dengan misalnya apa
yang menyebabkan fakta sosial bunuh di kota
besar tinggi. Bagaimana prosesnya?
n Ilmu sosial hanya bisa memberi penjelasan
tentang kemungkinan-kemungkinan
mengapa orang bunuh diri, tetapi tidak bisa
menyatakan sebab-akibat.
n Proses & makna sosial.
Triyatni Martosenjoyo
16
17. +
n Seorang peneliti harus lebur ke dalam
kebudayaan yang ditelitinya. à
kebenaran yang dihasilkan bukan
kebenaran yang pasti seperti pada
positivisme, melainkan probabilitas
(kemungkinan-kemungkinan kebenaran).
n Peneliti sosial menjasi instrumen
penelitian & tidak mengandalkan
instrumen buatan à ada hubungan antara
peneliti dengan yang diteliti.
Triyatni Martosenjoyo
17
18. +
METODOLOGI (1)
n Peneliti menggambarkan secara
menyeluruh segala aspek yang ditelitinya
menurut pandangan yang diteliti à emik.
n Kebudayaan dlihat apa adanya.
n Manipulasi tidak disengaja.
n Ada multiplisitas realitas dalam
masyarakat à tidak bersifat tunggal.
Tugas peneliti tudak mengeneralisasi
realitas.
Triyatni Martosenjoyo
18
19. +
METODOLOGI (2)
n Memfalsifikasi hipotesis à
membawa dugaan2 tetapi tidak
menguji teori à membangun teori.
n Konsisten pada metode kualitatif.
Triyatni Martosenjoyo
19
20. +
TEORI KRITIS
n Setiap realitas punya sejarah masing-
masing.
n Tugas meneliti mencari sejarah itu à
mengkritisi sejarah realitas sosial.
Triyatni Martosenjoyo
20
21. +
EPISTEMOLOGI TEORI KRITIS (1)
n Antara peneliti & yang diteliti ada
transaksi à ada keberpihakan yang
dibangun.
n Peneliti harus mempunyai pegangan nilai
dalam menangkap, mengkritisi yang
dinilainya. Menjadi bagian yang
mendorong.
Triyatni Martosenjoyo
21
22. +
EPISTEMOLOGI TEORI KRITIS (2)
n Ilmuwan sosial bukan cuma bertugas
menjelaskan realitas, melainkan menjadi
bagian yang emansipatoris sebagai
bagian dari gerakan perubahan à Tugas
ilmuwan memperjuangkan realitas baru
memperbaiki status quo, menjaga nilai.
Triyatni Martosenjoyo
22
23. +
METODOLOGI
n Mengandalkan dialog antara peneliti dan
yang diteliti.
n Ada pertukaran pengetahuan.
n Tesis, antitesis, sintesa di antara keduanya.
Triyatni Martosenjoyo
23
24. +
KONSRUKTIVISME (1)
n Hasil konstruksi.Tugas peneliti
merekonstruksi atau medekonstruksi
realitas yang sudah ada.
n Realitas sosial bersifat relatif berdasarkan
konstruksi lokalnya masing2.
Triyatni Martosenjoyo
24
25. +
KONSRUKTIVISME (2)
n Realitas sosial adalah realitas yang
dikonstruksi terus menerus.è berubah
terus & bersifat relatif. Ada perjuangan
abadi antara konstruktor sosial vs aktor2
individu. Hasil dialektika antara
konstruktor & aktor.
n Setiap struktur cenderung memelihara
status quo & setiap aktor cenderung
melakukan perbaruan.
Triyatni Martosenjoyo
25
26. +
EPISTEMOLOGI
KONSTRUKTIVISME
n Peneliti menjadi bagian dari kontruksi
sosial. Ada transaksi & subyektivisme.
n Temuan bukan sesuatu yang sudah ada
dan ditemukan, melainkan sesuatu yang
dikreasikan (created findings).
Triyatni Martosenjoyo
26
27. +
METODOLOGI
n Bukan cuma dialog à posisi peneliti
dengan yang diteliti setara dalam
menafsirkan sesuatu.
Triyatni Martosenjoyo
27
29. +
MASALAH
POSITIVISME
POSTPOSITIVISME
TEORI
KRITIS
KONSTRUKSIVISME
Tujuan
peneli;an
Penjelasan
prediksi
dan
kontrol
Kri=k
dan
transformasi,
pemulihan
dan
emansipasi
P e m a h a m a n
d a n
rekonstruksi
Sifat
ilmu
pengetahuan
H i p o t e s i s
y a n g
s a h i
dikembangkan
menjadi
fakta
dan
hukum
Hipotesis
yang
tak
dapat
difalsifikasi
yang
berpeluang
menjadi
fakta
atau
hukum
Wawasan
structural
/
historis
Berbagai
rekonstruksi
i n d i v i d u a l
b e r s a t u
membentuk
consensus.
A k u m u l a s i
Pengetahun
P e r t a m b a h a n
“ b a h a n -‐ b a h a n
p e m b a n g u n ”
y a n g
menyempurnakan
“bangunan
pengetahuan”,
generalisasi
dan
hubungan
sebab-‐akibat.
Revisionisme
histories,
g e n e r a l i s a s i
m e l a l u i
similaritas.
Rekonstruksi
yang
lebih
matang
dan
canggih,
pengalaman
yang
seolah-‐
olah
dialami
sendiri.
Kriteria
baik
buruknya
atau
kualitas
“Keketatan”
sebagai
standar
konvensional:
validitas
internal
dan
eksternal,
reliabilitas
dan
objek=vitas.
Keterposisian
historis,
lenyapnya
ke=dak
tahuan
s=mulus
=ndakan.
Layak
dipercaya,
oten=k
dan
salah
paham.
Nilai
Tidak
tercakup
–pengaruh
ditolak.
Tercakup
–
berciri
forma=f.
E;ka
Ekstrinsik,
cenderung
menipu
Intrinsik,
kecenderungan
moral
ke
arah
ilham
(bimbingan
gaib)
Intrinsik,
kecenderungan
p r o s e s
k e
a r a h
penyingkapan
rahasia
(persoalan-‐persoalan
khusus).
Suara
“Ilmuwan
yang
=dak
memihak”
sebagi
penasehat
pembuat
kebijakan
dan
pelaku
perubahan
“ i n t e l e k t u a l
transforma=ve”
sebagai
pembela
dan
ak=fis,
“par=sipan
yang
penuh
empa=
dan
gairah
sebagai
fasilitator
bagi
rekonstruksi
mul=-‐pesan.
Pela;han
Teknis
dan
kuan=ta=f,
teori-‐
teori
subtan=f.
T e k n i s
k u a n = t a = f
d a n
k u a l i t a = f ,
t e o r i -‐ t e o r i
substan=ve.
Sosialisasi
ulang,
kualita=f
dan
kuan=ta=f,
nilai-‐nilai
altruism
dan
pemberdayaan.
Akomodasi
Sepadan
Tidak
sepadan
Hegemoni
Pengatur
publikasi,
pendanaan,
promosi
dan
jabatan.
Mencari
pengakuan
dan
masukan.
POSISI PARADIGMA DALAM MASALAH-
MASALAH PRAKTIS PILIHAN
Triyatni Martosenjoyo
29