2. Tuhan, menurunkan agama ke muka
bumi, tidak lain dan tidak bukan
dengan tujuan agar manusia berperan
serta dalam upaya menjaga
kehidupan yang harmonis, damai,
aman, tertib, dan teratur, sehingga
kehadiran agama dimuka bumi mesti
menjadi rahmat atas kehidupan
(rahmatan lil alamin).
3. Agama memiliki fungsi utama sebagai
perekat sosial yang dapat mengaitkan
hubungan kelompok, individu umat
beragama atau masyarakat yang mempunyai
latar belakang etnik, bahasa, budaya, dan
kelas sosial ekonomi yang berbeda.
Agama menjadi pengikat solidaritas dan
loyalitas yang tinggi bagi umat manusia
4. Misi suci agama yang sedemikian mulia,
pada tataran praktis justru sering
mengalami reduksi.
agama sering sering menjadi faktor
signifikan bagi munculnya konflik sosial
berkepanjangan.
Agama sering dijadikan alat untuk pemicu
perpecahan, permusuhan, bahkan
pertumpahan darah antar manusia.
5. Atas nama kebenaran dan Tuhan, tidak jarang
manusia saling membunuh, saling menyakiti, dan
saling menindas
ayat-ayat suci yang semestinya dipergunakan
untuk menjaga kedamaian dan fitrah
kekhalifahan di muka bumi, tidak jarang
dijadikan alat untuk mengobarkan api dendam,
memicu pertempuran, menumpahkan darah, dan
menginjak-injak nilai penghormatan terhadap
sesama, yang kesemuanya merupakan sesuatu
yang tegas dilarang oleh Tuhan, apapun
agamanya.
6. Untuk kepentingan egoisme kebenaran (claim of truth), bahkan
tidak jarang demi kepentingan sesaat, pemuka agama mempolitisir
pemahaman agama sedemikian rupa, hingga tertanam keyakinan
pemeluknya bahwa :
1. hanya agama yang dianutnyalah yang benar,
2. hanya agama yang dianutnyalah yang berhak menikmati
kehidupan,
3. hanya keyakinan yang dipeluknyalah yang mendapat jaminan
keselamatan dari Tuhan,
kelompok agama yang tidak sama dengan keyakinannya harus
diberangus, harus dimusnahkan, kalau perlu dengan mengobarkan
perang fisik atas nama Tuhan, perang suci atas nama kebenaran
yang kemudian dalam pemaknaan sempit keberagamaan, kita
kenal istilah perang suci (holly war, militia christy, jihad), atau
sebutan lain yang lekat dengan label-label keagungan Tuhan,
namun sesungguhnya menodai kesucian agama itu sendiri.
7. Jika dilevel keyakinan dan pemahaman tidak
diterapkan secara tepat, seringkali makna
beragama kemudian menjadi sedemikian sempit
dan eklusif. Kerusuhan Ambon, Poso, Maluku,
dan daerah lain di Indonesia adalah contoh nyata
bahwa pemahaman akan spiritualitas agama yang
keliru, serta manipulasi dogma yang diarahkan
pada upaya memobilisasi solidaritas keimanan
secara tidak tepat, justru tidak memposisikan
agama sebagai sesuatu yang mulia. Sesuatu yang
terhormat dan bermartabat, tetapi malah
menjadikan agama sebagai pemantik malapetaka
peradaban.
8. Politisasi agama, manipulasi ajaran, dan klaim
yang menyatakan bahwa kebenaran hanya
dimiliki oleh satu kelompok agama saja
sehingga semua kelompok yang berbeda
adalah sesat dan harus dimusnahkan,
merupakan sesuatu yang purba dan jauh dari
nilai-nilai peradaban, serta bertentangan
dengan inti ajaran agama itu sendiri.
9. Kebenaran hakiki bukanlah otoritas pemeluk
agama, namun mutlak hak Tuhan.
Keselamatan dan kesesatan hidup bukan
milik pemuka agama, tapi kewenangan Tuhan
yang esa, sehingga tidak dibenarkan
memaksakan orang lain untuk memilih surga
dan neraka, memilih jalan sesat dan selamat,
semata-mata dengan citarasa manusia,
apalagi dengan mengobarkan permusuhan,
menebarkan kebencian, dan menumpahkan
darah.
10. Ajaran Tuhan melalui agama apapun, berisi
pesan universal bahwa :
Nilai-nilai kemanusiaan harus dijunjung
tinggi,
perbedaan harus dihormati,
Permusuhan harus dihindari, dan
Ketaatan pada Tuhan adalah sesuatu yang
transenden, sesuatu yang murni, bukan atas
dasar paksaan.
Surga-neraka, benar-salah, selamat-celaka,
adalah balasan bagi individu yang diberikan
Tuhan sesuai dengan kadar kepatuhannya
masing-masing.
11. Agama, harus kembali pada relnya, kembali
kepada fitrahnya, yakni berposisi secara total
sebagai juru damai.
Para pemuka Agama, hendaknya mengikis
habis pemahaman yang salah atas agamanya,
dan memposisikan dirinya sebagai agen
perdamaian, bukan sebagai pemantik
semangat permusuhan.
12. Perbedaan-perbedaan ajaran dalam agama,
sesungguhnya sesuatu yang lumrah dan biasa,
bukan sesuatu yang pantas dipertentangkan.
Perbedaan adalah rahmat, bukan laknat.
Semua penganut agama harus menyadari bahwa
harmoni tercipta atas paduan kontradiksi-
kontradiksi. Simponi yang indah tidaklah
mungkin terujud, atas notasi, ritme, dan alunan
nada yang sama. Ia akan menjadi keindahan,
manakala perbedaan-perbedaan yang ada, saling
isi, saling melengkapi, mewujud alunan
keindahan dalam ritme kebersamaan.
13. Konflik sosial berbasis agama, sering
disebabkan oleh tafsir dan sikap yang sempit
dalam memahami perbedaan dalam
keberagamaan dan lebih parahnya, tidak
jarang justru para pemuka agamalah yang
cenderung bersikap purit, dan kurang
menghayati kenyataan tentang pluralitas.
14. Pertama, pernyataan bahwa semua agama itu baik dan benar,
perlu ditembahkan penjelasan bahwa kalimat itu berlaku “bagi
para pemeluknya masing-masing”.
Ini didasarkan pada kenyataan bahwa setiap pemeluk agama
akan berkeyakinan bahwa agama merekalah yang paling baik
dan benar. Karena itu, pernyataan bahwa “Sesungguhnya agama
yang diterima oleh Allah itu (hanya) Islam”, hanya benar bagi
orang Islam. Sedang umat Kristen, tentu akan berpendapat
bahwa “keselamatan hanya ada dalam (iman kepada) Kristus”,
sebagaimana dinyatakan oleh Vatikan sebelum tahun 1965.
Setelah itu, Konsili Vatikan mengakui bahwa keselamatan itu
juga terdapat (bisa melalui) agama-agama lain, sebagai
pandangan baru atau qaul jadid. Bahkan secara khusus, Vatikan
sangat menghargai iman Islam. Namun tetap boleh saja
dilakukan klaim bahwa agama tertentulah yang benar, tetapi
Kebenaran Tersebut Berlaku Bagi Pemeluknya Masing-masing.
15. Kedua, kebenaran dan keselamatan (salvation)
agama itu harus dipahami dalam dua macam
nilai, yaitu :
1. Kebenaran eksklusif, yakni kebenaran tertentu
yang hanya diyakini dalam agama tertentu.
Misalnya mengenai doktrin Trinitas. Umat
Islam tidak mungkin menerima doktrin itu,
namun doktrin itu bersifat fundamental bagi
umat Kristen.
2. Kebenaran inklusif, Kebenaran Agama Yang
Juga Diyakini Agama Lain Sebagai Kebenaran,
Contohnya ajaran cinta kasih dalam agama
Kristen adalah kebenaran yang bisa diterima
oleh pemeluk semua agama.
16. Ketiga, semua agama itu sama, dalam arti
semua agama itu, dalam perspektif masing-
masing, pada hakikatnya merupakan jalan
menuju kebenaran dan kebajikan.
Tidak ada agama yang mengajarkan
kesalahan atau keburukan dan kejahatan,
namun memang, substansi dari kebenaran
dan kebaikan itu berbeda dari satu agama ke
agama yang lain.
17. Keempat, setiap agama mengandung kebenaran, bukan
saja bagi pemeluk agama yang bersangkutan, tetapi juga
bisa dilihat begitu oleh pemeluk agama lain. Sebagai
contoh, umat Islam atau Kristen bisa memetik kebenaran
dari Kitab Baghawatgita atau buku-buku Taoisme dan
Konfusianisme. Itulah sebabnya Raja Penyair Pujangga
Baru, yang juga dianggap sebagai seorang penyair sufi,
menerjemahkan Baghawatgita dan puisi-puisi Timur yang
secara khusus dihimpun dalam kumpulan sajak “Setanggi
Timur”.
Karena itu, mengapa para pemeluk agama tidak saling
mempelajari agama-agama lain untuk dapat memetik
hikmah dan kearifan hidup dari ajaran agama-agama lain?
Tidak ada salahnya mengutip hikmah dari ajaran agama-
agama lain dalam khotbah di masjid atau gereja.
18. Kelima, terdapat kesamaan antara agama-agama.
Misalnya ajaran the Ten Commantments atau
Sepuluh Perintah Tuhan dari agama Yahudi,
dapat ditemui juga pada agama-agama lain.
Ajaran puasa juga dapat ditemui pada agama-
agama lain, walau tidak semua pemeluk agama
bisa melestarikan tradisi itu pada zaman modern
ini. Namun para pemeluk agama lain bisa
menganggap bahwa ajaran puasa itu adalah
suatu ajaran yang benar, karena tujuannya adalah
mendidik kemampuan manusia untuk
mengendalikan hawa nafsu (takwa).
19. Keenam, semua agama itu pada lahir atau detailnya, atau
pada tingkat syari’at memang bervariasi, karena pada
tingkat itu sudah berperan pemikiran dan perumusan
manusia yang dipengaruhi oleh kondisi dan sejarah.
Namun pada tingkat yang lebih tinggi (tarekat dan
makrifat) akan dijumpai persamaan-persamaan dan
akhirnya mencapai titik temu pada tingkat transenden
(hakikat).
Ini adalah teori yang disebut transcendent unity yang
dikembangkan baik oleh teolog Kristen maupun muslim,
walau dalam wacana timbul pro dan kontra. Di lingkungan
Islam, teori semacam ini dikemukakan oleh para sufi
seperti al-Hallaj, Ibn al-Arabi dan Jalaluddin Rumi, dan
dikembangkan oleh Sayed Hosen Nasr, F. Schuon, dan
Hasan Askari, dari teolog modern.
20. Ketujuh, semua agama dipandang sama dan benar
dimaksudkan sebagai pandangan yang harus diambil
oleh negara atau pemerintah. Sebab, negara yang
harus bersikap adil terhadap setiap individu dan
kelompok, tidak boleh berpandangan bahwa hanya
suatu agama saja yang baik dan benar, sedangkan
yang lain salah.
Inilah sebenarnya salah satu unsur dari sekularisme
yang dianut dalam sebuah negara yang demokraris,
termasuk di Indonesia. Tapi di Indonesia sendiri yang
berideologi Pancasila, juga memandang setiap agama
itu benar dan baik. Dengan begitu, setiap agama
diharapkan berkontribusi terhadap pembangunan
negara dan masyarakat.
21. Bahwa semua agama itu pada hakikatnya sama,
dan hanya penampilannya saja yang berbeda-
beda. Tapi secara keseluruhan, bangunan agama
itu nampak sama atau serupa, atau dapat
diabsraksikan menjadi sesuatu yang sama.
Bahwa semua agama itu terdiri dari empat aspek
yang disebut 4C, yaitu creed (akidah), cult
(peribadatan), code (pedoman perilaku atau
akhlak), dan community structure (struktur
kemasyarakatan). Hanya saja, isi dan substansi
dari setiap C itu berbeda-beda. Karena itulah
dikatakan, agama-agama itu ide dasarnya sama,
tetapi berbeda isi dan eksperasinya.
22. Mudah-mudahan, dengan keyakinan
bahwa semua agama itu mengajarkan
kebaikan dan kebenaran, akan muncul
sikap saling menghormati dan
menghargai dengan pemeluk agama
yang berbeda, dan dari sana,
kebersamaan dalam damai akan
terujud.
Semoga