1. KONSEP ETIKA PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK
MENURUT IMAM AL-GHAZALI
Rizky Ade Aulia Nurulhuda, rizkyadeaulia31@gmail.com
Manajemen Pendidikan Islam Unit 2 Fakultas Tarbiyah
dan Ilmu Keguruan IAIN Lhokseumae
PENDAHULUAN
Pendidik merupakan salah satu faktor keberhasilan dalam dunia pendidikan
karena kinerjanya pada lembaga dan jenjang pendidikan. Peran strategis ini sejalan
dengan Undang-Undang Pendidik (guru dan dosen) No. 14 Tahun 2005 yang
memposisikan pendidik sebagai tenaga profesional sekaligus peserta didik. Sebagai
seorang profesional, kegiatan pendidik hanya dapat dilakukan oleh orang yang
memiliki gelar akademik, kualifikasi, pelatih sesuai dengan persyaratan bentuk
pendidikan dan tingkat pendidikan tertentu.
Status pendidik sebagai peserta didik mengacu pada peran pendidik dalam
pembelajaran, meliputi fasilitator, motivator, penggerak, insinyur pembelajaran,
dan penginspirasi belajar peserta didik. Peran tersebut menuntut pendidik untuk
dapat meningkatkan kinerjanya sesuai dengan perubahan dan tuntutan yang muncul
dalam dunia pendidikan saat ini.
Dunia pendidikan saat ini menjadi sorotan publik, banyak orang menekankan
keberadaan pendidik dengan perbedaan dipandang sangat-sangat negatif, yang
bukan tanpa alasan. Mereka mengasosiasikan skor rendah dengan kualitas buruk
pelatih atau rendahnya kualitas pelatihan pelatih. Selain itu, Masyarakat
menganggap ini sebagai kerusakan moral para peserta didik adalah hasil dari
kegagalan guru dalam pendidikan dan untuk memberikan contoh terbaik bagi
peserta didik. Hal ini juga sebagai konsekuensi melemahnya etika dalam dunia
pendidikan Kemerosotan etika pendidik tidak mencegah kemerosotan etika peserta
didik.
Berdasarkan permasalahan ini, penulis hendak menganalisis dan memaparkan
etika yang seharusnya dimilii oleh seorang pendidik dan peserta didik agar dalam
dunia pendidikan tidak seorang pendidik dan peserta didik tidak hanya menguasai
ilmu namun memiliki etika dan moral yang dapat seperti ajaran Rasulullah saw.
METODE
2. Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode penelitian
kualitatif, memaparkan bacaan secara alamiah dan menganalisis data secara
induktif. Sumber penulisan didapat dari berbagai sumber seperti Jurnal ilmiah,
buku, dan artikel.
PEMBAHASAN
A. Biografi Imam Al-Ghazali
Nama lengkap Imam Al-Ghazali adalah Abu Hamid bin Muhammad bin
Ahmad Al-Ghazali. Al-Ghazali lahir pada tahun 450 M (1058 M) di sebuah
kota kecil dekat Sucha di provinsi Khurasan di Republik Islam Irak. Nama
Ghazali berasal dari kata ghazal yang berarti penenun, karena profesi
ayahnya adalah menenun wol. Meski Ghazali juga berasal dari Ghazalah,
kampung halaman Al-Ghazal, namun nama ini sering dikenal dengan
sebutan Imam Al-Ghazali.
Imam Al-Ghazali adalah tokoh sufi terkenal di abad ke-6. Ayah saya
juga menekuni tasawuf dan menjadi tasawuf yang sangat baik di daerahnya.
Al-Ghazali awalnya mengenal tasawuf sebelum ayahnya meninggal karena
orang tuanya belajar tasawuf. Ayahnya menitipkan Al-Ghazal kepada
saudaranya yang bernama Ahmad, seorang sufi, dengan maksud
membesarkan dan membimbing Al-Ghazal dengan baik. Karena Al-Ghazali
awal belajar ilmu alam dan belajar dengan beberapa guru di kota asalnya.
Gurunya antara lain Ahmad Ibnu Muhammad Al Radzikani.
Pada tahun 465-470 H, ketika al-Ghazali berusia 15 tahun, ia
memutuskan untuk pergi ke Mazardaran, Jurjan, untuk melanjutkan studi
fikih di bawah Abu Nasr al-Ismaily selama dua tahun. Setelah
menyelesaikan studinya di Jurjan pada usia 20 tahun, Al-Ghazali
melanjutkan studinya di Madrasah Nizamiyah Nizabur, belajar di bawah
bimbingan Yusuf Al-Nassaj, seorang pemuka agama yang dikenal dengan
Immanuel Haramain atau Al-Juwayni Al-Haramain (shafi'iyyah). . dikenal
Sarjana Asy'ariyyah) sampai usia 28 tahun.
Al-Ghazali diberi gelar Bahrum Mughriq (Laut Tenggelam). Al-Ghazali
meninggalkan Naisabur setelah wafatnya Imam Al Juwain pada tahun 478
H (1085 M), kemudian beliau mengunjungi Nizhdm al-Mar di kota
Muaskari dan mendapat penghormatan yang besar, oleh karena itu beliau
diperbolehkan tinggal disana selama 6 tahun.
Pada tahun 1090 M Al Ghazali diangkat sebagai pengajar di Universitas
Nizhfimiyah di Baghdad. Selain mengajar, Al Ghazali secara mandiri
mempelajari filsafat, baik filsafat Yunani maupun filsafat Islam, khususnya
pemikiran al-Farabi, Avicenna dan Ikhwan al-Shafa. Jumlah karya Imam
Al-Ghazal masih belum disepakati, Thasi Kubra Zadeh dalam Miftah as-
3. Sa'adah wa Misbah as-Syiyadah menyatakan karyanya sudah 60. Ada yang
mengatakan bahwa Al-Ghazal sudah memiliki 999 tulisan. Kehidupan al-
Ghazali sebagai seorang sufi stabil hingga usia tua. Al-Ghazali percaya
bahwa tasawuf adalah jalan terbaik menuju kebenaran hakiki.
Setelah Al-Ghazali berhenti mengajar, dia kembali ke kampung
halamannya di Suchi dan mendirikan hala (sekolah khusus untuk calon
sufi), yang dijalankan Al-Ghazali sampai kematiannya. Al-Ghazali wafat
pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H (1111 M) pada usia 55 tahun,
meninggalkan beberapa putri. Al-Ghazali meninggal dalam keadaan
mempelajari ilmu-ilmu tradisional. Namun menurut sumber lain, Al-
Ghazali mempelajari Sahih Bukhari dan Sunan Abu Daud. Dan meninggal
sambil memegang kitab Sahih Bukhari.
B. Pengertian Etika
Secara etimologis, etika berasal dari kata Yunani “ethos” yang biasanya
erat kaitannya dengan kata morality yang merupakan istilah latin yaitu
“mos” dan bentuk jamaknya “mores” yang juga berarti kebiasaan atau cara
hidup. manusia melalui perbuatan, melakukan kebaikan (kesopanan) dan
menghindari perbuatan jahat. Etika dan moral memiliki arti yang kurang
lebih sama, namun terdapat perbedaan dalam tindakan sehari-hari yaitu,
moralitas atau moralitas berfungsi untuk mengevaluasi tindakan yang
dilakukan, sedangkan etika adalah untuk mengevaluasi sistem nilai yang
akan diterapkan. Dan dalam prakteknya, pendidikan akhlak kebanyakan
sempit yaitu hanya pengembangan ilmu kognitif saja, sedangkan
pendidikan karakter lebih luas dan menyeluruh.1
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “Etika adalah ilmu
tentang apa yang baik dan apa yang buruk, hak dan kewajiban moral.
Kumpulan asas/nilai yang berkaitan dengan kesusilaan, nilai masyarakat
yang berkaitan dengan hak dan Salah Asal kata “etika” berasal dari kata
Yunani “ethos” yang berarti tata krama/tata krama yang baik. Menurut
Tanyid, “Etika bukan hanya ilmu tentang yang baik dan yang jahat, atau
bukan hanya nilai, tetapi lebih dari itu, etika adalah jalan yang baik dan
kesepakatan yang didasarkan pada sesuatu yang baik dan benar.” Etika
mempertanyakan perilaku manusia. Moralitas menanyakan bagaimana
seharusnya tindakan manusia.2
Pengertian etika menurut imam Al-Ghazali dalam kitab Ihyâ' 'ulûm al-
Dîn dijelaskan sebagai berikut:
1
Reksiana, “Kerancuan Istilah Karakter, Akhlak, Moral Dan Etika”. Thaqafiyyat, 2018, 19(1).
hal. 31.
2
Tanyid, Etika Dalam Pendidikan: Kajian Etis Tentang Krisis Moral Berdampak Pada
Pendidikan, Jurnal Jaffray, 2014 (Vol. 12 No. 2). hal 13.
4. “Kemantapan jiwa, yang dengan mudah menghasilkan tindakan atau
amalan tanpa refleksi atau refleksi. Apabila kemantapan itu sudah kokoh
sehingga menghasilkan perbuatan-perbuatan yang baik, maka disebut
akhlak yang baik. Jika tindakan yang dihasilkan dari situasi itu tercela, itu
disebut moral yang buruk.”
Ternyata imam al-Ghazāli dengan seksama melihat bahwa hakikat etika
bukanlah ilmu tentang kebaikan dan keburukan, atau sifat kebaikan dan
keburukan, bukan pula pengamalan kebaikan dan keburukan. kejahatan
kejahatan adalah keadaan pikiran yang buruk tetapi stabil. Berdasarkan
kedua pengertian tersebut, al-Ghazāli mengajarkan konsep bahwa manusia
dilahirkan dengan etika yang kemudian berkembang sepanjang hidupnya
melalui pengalamannya dan pengaruh lingkungannya. Jadi, menurut al-
Ghazali, etika mengacu pada keadaan batin seseorang. Yang kita tidak tahu
apakah perilaku itu baik atau buruk.
C. Etika Pendidik
Pendidik harus menghiasi dirinya sebagai orang yang agamis atau
beriman dengan etika yang disyaratkan dan peternak harus memiliki etika
dan persyaratan yang sesuai dengan level pencari informasi.
Menurut Imam Al-Ghazal dalam Abu Madyan Al-Qurtubi (diterjemahkan
dari “Ulumiddin” oleh Mukhtashar Ihya:3
Kondisi terbaik (pendidik) seperti peribahasa: “Dia yang tahu,
mengamalkan dan mengajar, yang namanya disebut di kerajaan surga. Dia
(pendidik) tidak boleh seperti jarum yang memberi pakaian kepada orang
lain sementara dia sendiri telanjang, Juga dia (pendidik) tidak boleh seperti
hati yang membakar sesuatu yang lain ketika membakar dirinya sendiri,
seperti kata pepatah: " Anda . itu seperti hati yang membakar seseorang
ketika dia sendiri terbakar. Mengenai hal ini, Allah SWT menjelaskan
dalam Al-Qur’an dalam beberapa ayat diantaranya Q.S al-Baqarah [2] yang
artinya:
“Mengapa kamu menyuruh orang lain berbuat baik (melakukan) sedangkan
kamu sendiri lupa membaca kitab (Taurat)? Apakah kamu tidak
mengerti?".
Konsep etika Pendidik al-Ghazali yang terdapat dalam kitab ihya ulumuddin
dapat penulis analisis sebagai berikut:
1. Pendidik hendaknya baik kepada peserta didik dan memperlakukan
mereka seperti anak-anaknya sendiri.
Dalam hal ini, pendidik berperan sebagai penyelamat peserta didik
dari neraka, dan orang tua hanyalah alasan kelahiran mereka di dunia
3
Imam Al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ ‘Ulumiddin, Cilangkap, Depok: Keira Publishing, 2014. hal.
18.
5. ini. Oleh karena itu, pendidik sangat bertanggung jawab dan berhak atas
keselamatan peserta didik, jika tidak, peserta didik hanya akan berada
dalam kehancuran terus-menerus.
Seorang pendidik adalah orang yang memberikan manfaat kepada
peserta didiknya untuk mencapai kehidupan yang kekal yaitu akhirat,
hal ini tidak akan tercapai kecuali disertai dengan niat yang ikhlas
kepada Allah swt. Untuk mencapai keselamatan bagi peserta didik dan
pendidik, mereka harus memiliki keterampilan dan pengetahuan yang
memadai. Pada dasarnya menjadi pendidik tidak semudah tunjuk jari,
namun banyak rintangan dan rintangan yang dihadapi, termasuk
keinginan duniawi (harta dan tahta). Pada dasarnya peran seorang
pendidik dalam pembelajaran adalah membimbing jalan Allah swt.
2. Pendidik Dalam menunaikan tugasnya sebagai pewaris para Nabi
Para pendidik harus memposisikan dirinya sebagai para Nabi, yaitu
mengajar dengan ikhlas mencari keintiman dengan Allah swt. dan bukan
untuk hal-hal materi. Pendidik harus membimbing anak didiknya agar
belajar tidak hanya sekedar mengejar gelar, kekayaan, status,
popularitas dan kemewahan duniawi, yang semuanya dapat menjurus
pada sifat materialistis. Pada saat yang sama, pendidik materialistis
mendatangkan kehancuran atas dirinya dan murid-muridnya. Seperti
yang dikatakan Al-Ghazali; “Orang yang mencari kekayaan dengan
menjual ilmu adalah seperti orang yang menyeka kakinya dengan
wajahnya.4
Pernyataan Imam Al-Ghazali yang terkesan mengutuk pendidik
bergaji tidak seharusnya dimaknai oleh Al-Ghazali sebagai pelarangan
pendidik bergaji daripada kesimpulan sebagian ulama yang menentang
Imam Al-Ghazal mengungkapkan pendapat Imam Al-Ghazali yang
tercermin dari gaji. bagi para pendidik karena mereka perlu mengikuti
jejak Nabi Muhammad. Bahkan, Imam Al-Ghazali pernah mengatakan
bahwa guru harus mengikuti jejak Nabi Muhammad, sehingga tidak
mencari pahala, pahala dan syukur, tetapi mengajar karena Allah dan
mencari kedekatannya. Namun ini dapat dipahami bahwa pendidik
harus ikhlas dalam mengajar, dan kriteria kejujuran tidak hanya
kemurnian tujuan mendapatkan gaji. Apalagi keikhlasan mengacu pada
niat yang ada di dalam hati, dan merupakan proses panjang kehidupan
manusia yang berusaha berkembang menjadi pribadi yang sempurna.
Lebih khusus lagi, keikhlasan adalah kerja atau amal, dan segala
aktivitas yang bernilai ibadah dilakukan dengan tujuan untuk
4
Ibid, hal. 32.
6. mendekatkan diri kepada Allah sendiri. Jadi al-Ghazali sebenarnya tidak
melarang pendidik yang dibayar untuk mengajar.
3. Hendaknya Pendidik tidak boleh lupa untuk menasihati anak didiknya,
yaitu melarang mereka mempelajari suatu tahapan sebelum mereka
menguasai tahapan sebelumnya, dan mempelajari ilmu tersembunyi
sebelum mereka mencapai pengetahuan yang jelas bukan mencari
kemuliaan dan kekayaan duniawi.
4. Pendidik harus bijak dalam menegur peserta didik agar tidak terang-
terangan memarahi dan menegur peserta didik yang salah, dan sarkasme
atau bentakan harus tegas karena menyalahkan peserta didik yang salah
secara langsung dan terang-terangan dapat membuat peserta didik
merasa malu, tertekan, merasa sedih atau dendam dan hilangnya rasa
hormat yang dapat menghambat kelancaran penyelesaian pembelajaran
Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa guru harus mengoreksi siswanya
yang nakal melalui sarkasme dan tidak secara langsung tetapi dengan
cinta, bukan ejekan. Sederhananya, peserta didik takut pada pendidik
dan/atau berani menantang pendidik.
5. Pendidik sebagai motivator dan motivator peserta didik
Mengikuti pendapatnya bahwa orang tidak bisa meringkas ilmu
dengan serta merta, Imam Al-Ghazali menyarankan agar pendidik
bertanggung jawab pada satu bidang ilmu saja. Meskipun demikian,
Imam Al-Ghazali mengingatkan agar pendidik tidak boleh
meremehkan, merendahkan dan meremehkan bidang ilmu lain, tetapi
sebaliknya harus memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mempelajari berbagai bidang ilmu. Meskipun seorang pendidik harus
bertanggung jawab untuk mata pelajaran yang berbeda, pendidik harus
berhati-hati dan memperhatikan kemampuan peserta didik agar mereka
dapat naik satu tingkat pada satu waktu.
6. Pendidik harus memahami tingkat kognitif (intelektual) anak didiknya.
Usia manusia sangat erat kaitannya dengan perkembangan
intelektual. Anak usia 0-6 tahun memiliki tingkat pemahaman yang
berbeda dengan anak usia 6-9 tahun, anak usia 6-9 tahun memiliki
tingkat pemahaman yang berbeda dengan anak usia 9-12 tahun, dan lain-
lain. Berdasarkan hal tersebut, Imam Al-Ghazali mengingatkan para
pendidik untuk memberikan informasi dalam proses pembelajaran,
mengajar dengan cermat dan mengembangkan pemahaman siswa yang
sesuai, sehingga metode yang digunakan harus tepat dan terarah. Nanti
peserta didik kabur atau otaknya bosan. Hal ini sangat penting bagi
prinsip individualitas peserta didik, yaitu ada peserta didik yang cerdas,
setengah cerdas, dan bodoh yang aktif, ada yang semi aktif, dan ada
7. yang tidak aktif. Oleh karena itu, pendidik tidak boleh memberikan
materi dan pertanyaan yang salah arah, memberikan materi dan soal
yang terlalu mudah untuk peserta didik yang cerdas atau sebaliknya, soal
yang terlalu sulit untuk siswa yang bodoh. Pendidik dapat lancar
memberikan materi kepada peserta didik yang aktif, juga dapat
mengulang materi yang diberikan kepada peserta didik yang kurang
aktif, yang kurang aktif mungkin karena sakit atau alasan lain yang tidak
bersalah. Dengan demikian pendidik selalu menjadi pusat perhatian
peserta didik, mereka juga tidak meremehkan dan menghormati
pendidik.
7. Seorang Pendidik harus bekerja sama dengan anak didiknya untuk
berdiskusi dan menjelaskan masalah, artinya peserta didik dengan
pendekatan sains yang dangkal menerima informasi sejelas mungkin
tanpa mengaburkan penjelasan dan menimbulkan kebingungan di antara
peserta didik, sehingga membuka pintu untuk diskusi informasi. bagi
mereka yang bisa memahami pengetahuan tentang diri mereka sendiri.
8. Pendidik sebagai teladan bagi peserta didik Untuk menyeru manusia ke
jalan yang benar, Allah swt menganugerahi Rasulullah dengan akhlak
yang mulia, sehingga menjadi teladan (teladan) yang baik bagi setiap
umat manusia. Mulutnya menjadi sama dengan dadanya, maka menurut
Al-Ghazali, perbuatannya juga harus melatih ilmunya, perbuatannya
harus sesuai dengan apa yang dianjurkan kepada para peserta didik.
Pendidikan dasar yang harus diberikan berkaitan dengan etika,
moralitas, dimana semuanya terangkum dalam ajaran agama.5
D. Etika Peserta Didik
Penulis menganalisis etika peserta didik menurut Imam Al-Ghazali yang
terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin sebagai berikut:
1. Peserta didik terlebih dahulu harus membersihkan jiwanya dari akhlak yang
buruk dan sifat-sifat yang tercela.
Dalam hal ini Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu adalah ibadah
hati dan doa rahasia untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan Imam
Al-Ghazali membandingkan. Untuk menyukai shalat, yang merupakan
kewajiban kita sehari-hari ketika kita berdoa, pertama-tama kita harus
membersihkan diri kita dari hadast dan najis. Bagaimana jika kita tidak
mensucikan diri (lahir) dari hasast dan najis, maka shalat kita juga tidak
shah. (dalam) itu bukan shah kecuali kita membersihkannya dari najis
5
Ijah Khadijah, Etika Guru dan Murid dalam Pendidikan Perspektif Imam Al-Ghazali, Jurnal
Kajian Pendidikan dan Pengajaran 2019, 5(1), hal. 92-95.
8. moralitas dan kenajisan, dan najis alam (dalam) lebih penting untuk
menjauhkan mereka karena dapat mencegah ilmu mencapai kita.
Imam Al-Ghazali membandingkan ilmu dengan seberkas cahaya ketika
kita memiliki seekor anjing dan seekor anjing seperti kemarahan, nafsu,
balas dendam, iri hati, kesombongan, keterkejutan, kekaguman, pada
dirinya sendiri, dll. Tuhan tidak memberi Anda informasi bahwa Den
Orang. berikan dengan merawat malaikat yang mana ketika masih ada sifat
seperti anjing. Oleh karena itu, kesucian hati adalah kunci terpenting bagi
para murid dalam mengejar ilmu.
2. Peserta didik harus mengurangi hal-hal duniawi
Seperti memikirkan keluarga di rumah, memikirkan harta, memikirkan
pacar, karena semua hubungan tersebut dapat mempengaruhi pikiran peserta
didik saat mencari informasi sehingga peserta didik tidak fokus belajar.
sehingga waktu belajar berkurang, dan akhirnya siswa malas terbagi,
sehingga kurang mampu merasakan hakikat ilmu yang mendalam, sehingga
peserta didik harus memiliki niat untuk mencari ilmu dan seluruh dirinya
Memberi keadilan jiwa raga, mencari ilmu. dan tidak memikirkan hal lain.
3. Tawadhu’ dan tidak menyombongkan diri dari ilmu
Peserta didik tidak boleh menyombongkan ilmunya atau menentang
gurunya, tetapi serahkan semuanya kepada guru dengan keyakinan penuh
pada semua nasihatnya, dan murid harus tunduk kepada gurunya dengan
harapan mendapat imbalan dan kehormatan.
Seorang peserta didik dapat memilih seorang guru yang tidak mau
belajar kecuali seorang guru yang terkenal dengan kepopulerannya, ketika
guru menunjukkan kepadanya cara belajar, ia harus menuruti dan
meninggalkan pendapatnya sendiri, karena sekalipun guru itu bersalah, itu
lebih bermanfaat baginya daripada kebenarannya sendiri, karena dia
berpengalaman dalam mengajarkan hal-hal halus yang aneh di dengar tetapi
memiliki manfaat yang besar ketika guru menjelaskan pelajaran, siswa tidak
boleh bertanya sampai guru selesai menjelaskan pelajaran, bertanyalah
sebelumnya karena guru akan lebih mengetahui kemampuan anda dalam
muka Saatnya bertanya di setiap level, jadi waktunya belum tiba.
4. Seorang Peserta didik harus berhati-hati untuk tidak mendengar kontradiksi
ulama dan kontradiksi orang tentang ilmu duniawi atau ilmu belakangan,
karena diskusi ini dapat mempertanyakan pikirannya, membingungkan
hatinya, melemahkan pikirannya dan membuatnya putus asa mempelajari
ilmu.
5. Tidak Meninggalkan Satu Cabang diantara Cabang-Cabang Ilmu
9. Peserta didik tidak boleh beralih dari ilmu terpuji ke sub-topiknya kecuali
dia telah mempelajari dan memahami ilmu sebelumnya. Ilmu itu
bermanfaat, koheren, yaitu sebagian ilmu terhubung dengan sebagian, orang
yang mempelajari ilmu mengambil manfaat darinya, maka mereka akan
terbebas dari musuh ilmu yaitu kebodohan, karena manusia adalah musuh
kebodohan. Orang yang memelihara ilmu ibarat penjaga rumah dan benteng
orang yang berbuat kebaikan, yang masing-masing memiliki tingkatan. Dan
berdasarkan tingkatan itu, mereka akan diberi pahala di akhirat jika itu
adalah tujuan di jalan Allah.
6. Peserta didik tidak boleh mempelajari satu mata pelajaran pada satu waktu,
tetapi tetap teratur dan mulai dengan sesuatu yang lebih penting. Artinya,
jika umur masih panjang dan masih ada kesempatan untuk belajar, maka
mulailah belajar ilmu yang lebih sederhana, lalu sempurnakan menjadi ilmu
yang lebih kompleks, dan jika sebaliknya, maka berpuaslah dengan apa
yang telah dicapai, lalu kumpulkan semua itu. Jadikan ilmu ini, untuk
melengkapinya, ilmu yang paling mulia, yaitu ilmu akhirat (ilmu yang
tujuan utamanya untuk mengenal Allah SWT). Lebih jauh lagi, ilmu adalah
lautan ilmu yang kedalamannya tidak bisa diukur. Tingkat tertinggi di antara
manusia adalah para nabi, kemudian para wali, kemudian orang-orang yang
mengikuti mereka, yaitu para ulama, yang dikenal sebagai pewaris para
nabi.
7. Seorang Peserta didik jangan melibatkan diri pada pokok bahasan atau suatu
bidang ilmu pengetahuan sebelum menyempurnakan bidang yang
sebelumnya. Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan itu tersusun secara
tertib sebagian menjadi jalan kebagian lainnya. Jika hal itu kiranya, maka
mereka akan mendapat petunjuk dari Allah SWT,
8. Seorang Peserta didik agar mengetahui sebab-sebab yang dapat
menimbulkan kemuliaan ilmu, yaitu kemulian hasil dan kepercayaan serta
kekuatan dalilnya, yakni mengetahui faedah serta manfaat ilmu
pengetahuan itu dan mana yang lebih manfaat itulah yang harus diutamakan.
Oleh karena itu, Peserta didik harus bersungguh-sungguh sehingga akan
memperoleh manfaat dari pengetahuan tersebut, ilmu tidak akan ada artinya
manakala murid sebagai pencari ilmu tidak tahu apa manfaat dan tujuan dari
ilmu tersebut. Dengan kata lain, mengetahui manfaat dan tujuan ilmu
merupakan sebagian dari tujuan belajar.
9. Hendaklah tujuan seorang Peserta Didik adalah apa yang dapat
menyampaikannya kepada Allah swt.
Seorang Peserta didik agar dalam menuntut ilmu didasarkan pada upaya
untuk menghiasi bathin dan mempercantik dengan berbagai keutamaan,
yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.
10. Dalam hal ini tidak diharapkan dari seorang penuntut ilmu yang niatnya
hanya untuk mencari jabatan, memperoleh harta dan kemegahan duniawi,
menindas kaum yang lemah atau bodoh serta menyombongkan diri kepada
teman-temannya. Jika demikian, tidak diragukan lagi bahwa sang murid
telah memperoleh ilmu akhirat lebih lanjut, tidak patut menaruh penghinaan
terhadap suatu cabang ilmu, dalam hal ini semua orang yang bertaggung
jawab dalam lapangan ilmu pengetahuan seperti halnya dengan orang-orang
yang bertanggung jawab dalam benteng pertahanan, orang yang ditugaskan
didalamnya serta orang yang berjuang jihad fi sabilillah, mereka saling
melengkapi dan mengisi.
10. Seorang siswa dapat mengetahui berbagai informasi, tinggi dan rendah,
dengan tujuan mencari informasi, sehingga siswa dapat menemukan
maksud dan tujuan informasi, dan yang terpenting adalah memilih informasi
yang dapat menyampaikan makna yang relevan. Sementara yang tidak
penting, tidak relevan dengan urusan dunia dan akhirat.6
Etika yang dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali masih bersifat kondisional dan
masih dapat digunakan di era globalisasi proses belajar mengajar saat ini karena
membantu peserta didik untuk berhasil mencapai tujuannya.
Seperti yang telah dijelaskan, seorang siswa tidak boleh banyak
mencampuri urusan dunia, tetapi tugas siswa adalah belajar dengan sungguh-
sungguh, dan seorang siswa tidak boleh mencampuri urusan duniawi, seperti
pikiran siswa, sehingga minat belajarnya berkurang, dan itu tetap saja. penting.
untuk digunakan di era globalisasi karena banyak godaan dan hambatan di era
globalisasi.
KESIMPULAN
Pendidik merupakan salah satu unsur pendidikan yang sangat penting dan salah
satu penentu keberhasilan pendidikan dan keberhasilan peserta didik, oleh karena
itu pendidik harus memiliki etika yang kokoh dalam menunaikan tugasnya sebagai
pendidik karena pendidik memiliki kedudukan yang mulia dan Imam Al-Ghazali
menyebutkan beberapa etika yang harus dimiliki oleh pendidik. harus dimiliki
ketika menjalankan tugas mulia ini yang tentunya berdasarkan Al-Qur'an dan
Hadist, pendidik sangat sangat baik dalam mendidik, pendidik diharapkan
memiliki pendidik yang bisa menjadi penddik yang selalu mencintai anak
didiknnya dan peduli padanya, dan semuanya. berasal dari komunikasi yang terus-
6
Ahmad Ulin Niam dan Nasrudin Zen, "Etika Murid Dan Guru Menurut Imam Al-Ghazali",
Jurnal Pendidikan Islam Al I’tibar (Vol.4 No.1).2017, hal. 103-106.
11. menerus, dan pendidik hendaknya mampu menjadikan dirinya panutan bagi anak
didiknya.
Peserta didik merupakan salah satu bagian terpenting dalam dunia pendidikan
karena tidak dapat dibayangkan apa jadinya dunia pendidikan jika tidak ada peserta
didik. Oleh karena itu, sangat wajar jika Imam Al-Ghazali juga menggariskan
beberapa etika santri yang tentunya bersumber dari Al-Qur'an dan Hadits, diantara
etika santri yang selalu berusaha menjaga diri. Kesucian jiwa karena itu sangat-
sangat berpengaruh dalam belajar peserta didik. Peserta didik juga harus selalu
menjaga diri dari kesombongan yang selalu terjadi pada ahli manapun, karena
penyakit ini juga sangat-sangat berbahaya. Peserta didik juga harus selalu bersiap
dan siap untuk pindah dari kampung halamannya untuk menuntut ilmu, atau
menjauh dari kesenangan sementara untuk menuntut ilmu.
REFERENSI
Al-Ghazali, Imam.2014. Mukhtashar Ihya’ ‘Ulumiddin. Cilangkap, Depok: Keira
Publishing.
Khadijah, Ijah. Etika Guru dan Murid dalam Pendidikan Perspektif Imam Al-
Ghazali, Jurnal Kajian Pendidikan dan Pengajaran 2019, 5(1), 89-102.
Niam, Ahmad Ulin dan Nasrudin Zen. Etika Murid Dan Guru Menurut Imam Al-
Ghazali. Jurnal Pendidikan Islam Al I’tibar (Vol.4 No.1).2017.h.97-113.
Purnamasari, D. (2017). Pendidikan Karakter Berbasis Al-Quran. Islamic
Counseling: Jurnal Bimbingan Konseling Islam, 1(1).
Reksiana. (2018). “Kerancuan Istilah Karakter, Akhlak, Moral Dan Etika”.
Thaqafiyyat. 19(1).
Tanyid. (2014). Etika Dalam Pendidikan: Kajian Etis Tentang Krisis Moral
Berdampak Pada Pendidikan, (Vol. 12 No. 2) Jurnal Jaffray.
Yusri Fajri Annur (Januari 2021) , Ririn Yuriska , Shofia Tamara Arditasari,
Pendidikan Karakter Dan Etika Dalam Pendidikan, Prosiding Seminar Nasional
Pendidikan Program Pascasarjana Universitas Pgri Palembang.