1. Upacara Ngaben
Ngaben merupakan salah satu upacara besar di Bali. Salah satu rangkaian upacara Pitra
Yadnya ini merupakan upacara untuk orang yang sudah meninggal. Ngaben adalah upacara
penyucian atma (roh) fase pertama, sebagai kewajiban suci umat Hindu Bali terhadap leluhurnya,
dengan melakukan prosesi pembakaran jenazah. Ngaben sendiri adalah peleburan dari ajaran
Agama Hindu dengan adat kebudayaan di Bali.
Di setiap daerah di Bali adalah hal yang lazim jika urutan acara dalam tata cara
pelaksanaan Ngaben akan berbeda walaupun esensi upacara tersebut sama. Ini berkaitan dengan
kepercayaan adat Bali yang mengenal adanya Desa Kala Patra yang secara harfiah di terjmahkan
menjadi tempat, waktu dan keadaan.Makna upacara Ngaben pada intinya adalah untuk
mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya.
Upacara Ngaben biasanya dilaksanakan oleh keluarga sanak saudara dari orang yang
meninggal, sebagai wujud rasa hormat seorang anak terhadap orang tuanya. Upacara Ngaben
biasanya dilakukan dengan semarak, tidak ada isak tangis, karena di Bali ada suatu keyakinan
bahwa kita tidak boleh menangisi orang yang telah meninggal, karena itu dapat menghambat
perjalanan sang arwah menuju tempatnya. Mereka beranggapan bahwa, memang jenasah untuk
sementara waktu tidak ada, tetapi akan menjalani reinkarnasi atau menemukan pengistirahatan
terakhir di Moksha (bebas dari roda kematian dan reinkarnasi).
Seperti yang tertulis tentang pitra yadnya, badan manusia terdiri dari badan kasar, badan
halus dan karma. Badan kasar manusia dibentuk dari 5 unsur yang disebut Panca Maha Bhuta
yaitu pertiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas) bayu (angin) dan akasa (ruang hampa).
Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia dan digerakan oleh atma (roh).
Jenis-jenis Upacara Ngaben
Dalam masyarakat Hindu Bali, upacara ngaben terdiri dari beberapa jenis yang secara
garis besar terbagi menjadi dua jenis ngaben yakni ngaben sederhana dan ngaben sarat (meriah).
Untuk jenis-jenis ngaben yang termasuk ke dalam ngaben sederhana antara lain: Mendhem
Sawa, Ngaben Mitra Yajna, Pranawa, Pranawa Bhuanakosa, dan Swasta. Sedangkan untuk
ngaben yang termasuk ke dalam ngaben sarat tergantung jenis sawa (jenasah) yang diupakarakan
yaitu Sawa Prateka dan Sawa Wedhana.
Upacara Ngaben Sederhana
1. Mendhem Sawa
Mendhem Sawa secara harfiah berarti menguburkan mayat. Dan seperti yang sudah saya
jelaskan di atas, yakni Upacara Ngaben yang tidak dengan membakar mayat atau disebut dengan
“bila tanem atau mratiwi”. Di samping itu juga, dalam masyarakat Hindu Bali ada semacam
konfensasi untuk menunda pembakaran sang mayat karena tersebab oleh hal-hal yang dapat
diterima seperti kurangnya biaya, sedang dalam keadaan darurat dan sebagainya. Atau mungkin
2. juga dengan alasan-alasan filosofis seperti bahwa agar ragha sarira yang berasal dari unsur
prthiwi sementara dapat merunduk pada prthiwi dulu. Yang secara ethis dilukiskan agar mereka
dapat mencium bunda prthiwi. Namun perlu diingatkan bahwa pada prinsipnya setiap orang mati
harus segera di aben. Bagi mereka yang masih memerlukan waktu menunggu sementara maka
sawa (jenasah) itu harus di pendhem (dikubur) dulu. Dititipkan pada Dewi penghuluning Setra
(Dewi Durga).
2. Ngaben Mitra Yajna
Ngaben Mitra Yajna sebenarnya bukanlah nama yang resmi digunakan, tapi karena jenis
ngaben ini oleh Lontar Yama Purwana Tattwa, di mana jenis ngaben ini bersandar, tak
disebutkan namanya maka untuk membedakan dengan ngaben-ngaben lainnya maka ngaben ini
secara tak resmi disebut dengan Ngaben Mitra Yajna. Mitra Yajna sendiri merupakan asal dari
kata Pitra dan Yajna yang artinya kobaran suci. Secara garis besar, Ngaben Mitra Yajna ini dapat
dijelaskan sebagai sebuah upacara pembakaran mayat seperti yang ditetapkan menurut ketentuan
dalam Yama Purwana Tattwa. Ciri lain yang menonjol dari jenis ngaben ini adalah melakukan
upacara ngaben selama tujuh hari dengan waktu pelaksanaan yang sembarang (tidak bersandar
pada perhitungan hari baik).
3. Pranawa
Pranawa adalah aksara Om Kara. Adalah nama jenis ngaben yang mempergunakan huruf
suci sebagai simbol sawa. Dimana pada mayat yang telah dikubur tiga hari sebelum pengabenan
diadakan upacara Ngeplugin atau Ngulapin. Pejati dan pengulapan di Jaba Pura Dalem dengan
sarana bebanten untuk pejati. Ketika hari pengabenan jemek dan tulangnya dipersatukan pada
pemasmian. Tulangnya dibawah jemeknya diatas. Kemudian berlaku ketentuan seperti
amranawa sawa yang baru meninggal. Ngasti sampai ngirim juga sama dengan ketentuan ngaben
amranawa sawa baru meninggal, seperti yang telah diuraikan.
4. Pranawa Bhuanakosa
Jenis ngaben ini merupakan ajaran Dewa Brahma kepada Rsi Brghu, yang pada intinya
merupakan prosesi upacara pembakaran mayat bagi yang belum lama meninggal. Dalam
Pranawa Bhuanakosa ini tidak ada ketentuan bahwa sang mayat sebelumnya telah dikuburkan
atau tidak. Selama sang mayat belum terlalu lama meninggal maka jenis ngaben ini dapat
dilaksanakan.
5. Swasta
Ngaben Swasta dikhususkan bagi orang yang meninggal dan mayatnya tidak diketahui
keberadaannya, tidak ditemukan (baik karena hilang atau karena terlalu lama dikuburkan), atau
terlalu jauh (meninggal di tempat yang jauh). Tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara
ngulapin, bagi yang meninggal di kejauhan yang tidak diketahui dimana tempatnya, upacara
3. pengulapan, dapat dilakukan diperempatan jalan. Dan bagi yang lama di pendhem yang tidak
dapat diketahui bekasnya pengulapan dapat dilakukan di Jaba Pura Dalem.
Upacara Ngaben Sarat
1. Sawa Prateka
Sawa Prateka adalah dikhususkan bagi mayat yang baru meninggal dan belum pernah
diadakan upacara penguburan sama sekali. Prosesinya sendiri secara singkat dapat
dikronologiskan sebagai berikut: setelah ruh meninggalkan badan, maka pertama-tama yang
dilakukan oleh keluarga mendiang adalah mengadakan upacara bagi sang mendiang seperti
memandikan jenazahnya, memercikinya dengan tirta pemanah, memberinya sesaji tertentu
sebagai hidangan, dengan lebih dulu atma itu disuruh kembali sementara pada badannya
terdahulu.
2. Sawa Wedhana
Sawa Wedhana adalah jenis ngaben yang dilakukan untuk mayat yang telah mendapatkan
upacara penguburan (ngurug). Adapun sawa yang telah ditanam di Setra namanya makingsan,
dititipkan pada tanah. Atma itu dipegang oleh Bhatari Durga. Pimpinan setra. Demikian
prihalnya sawa yang ditanam. Pada Waktu pengupacarakan sawa itu namanya sawa Wedhana.
Tiga hari menjelang pengabenan ada upakarannya yang disebut ngulapin. Sawa yang telah
pernah dipendhem disebut tawulan. Tawulan ini tidak ikut diupacarakan lagi tawulan ini diganti
dengan pengawak, yang terbuat dari kayu cendana atau kayu mejegau yang panjangnya satu
lengkat satu hasta. Dan lebarnya empat jari. Cendana ini digambari orang-orangan sebagai
pengganti sawa. Pengawak ini disebut sawa karsian. Upacara ngaben jenis ini juga disebut Sawa
Rsi.