Cerita pendek ini menceritakan pertemuan seorang siswa bernama Ciel dengan guru wali kelasnya, Miss Erina. Ciel memberikan bunga dan coklat dari seseorang bernama Arga untuk Miss Erina, yang kemudian membuat Miss Erina teringat pada kenangan pahit di masa lalu dan menangis. Ciel berusaha menghibur Miss Erina dengan memberikan nasihat agar mau bertemu Arga untuk mengklarifikasi masalah di antara mereka.
1. 1
Tiga
Ada yang baru di Magelang pagi ini. Entah kenapa
aku selalu ingin keluar rumah lebih pagi dari biasanya.
Bukankah aku tak pernah setuju pinda ke Magelang?
Angin pagi pun berbisik. Mungkin cinta telah
membuka jalan hidupku yang baru. Entah dengan alasan
apapun. Aku ingin segera sampai ke sekolah dan melihat
senyum menyejukkan itu.
Walau aku harus menyembunyikan siapa diriku.
Namun, setidaknya aku bisa mengatasi rasa rinduku yang
entah sejak kapan aku memendamnya.
“Dhek,” tiba-tiba seseorang datang
membangunkanku dari lamunan.
Segera kulepas helm dan turun dari motorku.
Walau baru beberapa minggu di sekolah baruku ini, kurasa
aku sudah mengenal semua guru dan karyawannya.
Sepertinya ia orang asing.
Tetapi kalau ia tamu, kenapa tidak langsung ke
kantor saja? Bukankah kantor tak jauh dari gerbang
sekolah? Untuk ke parkiran, ia pasti melewati kantor guru
dan kantor karyawan pulan.
“Kamu anak X-B, bukan?”
2. Aku hanya mengangguk. Kupikir ia wali murid. Ya,
salah satu teman sekelasku.
“Maaf kalau saya menganggu. Apa adhek bisa
bantu saya?”
“Buat?”
Kalau ia salah satu wali murid, kenapa mukanya
nampak meragukan. Seperti malu atau entah gimana nggak
jelas.
Dilihat-lihat penampilannya seperti anak urakan.
Nggak jauh beda dengan penampilanku ketika di luar
sekolah. Dari pawakannya, seperti mahasiswa. Entahlah.
“Buruanlah! Sudah mau bel. Apa yang bisa
kubantu?”
Semakin nggak bisa dimengerti. Ia mengeluarkan
setangkai mawar dan sebatang coklat dari saku jaketnya.
Rupanya, ia memang tidak ada hubungannya dengan wali
murid.
Ia pun memberikan kedua benda itu padaku.
Dengan tersenyum. Lalu, terlihat kebingungan ingin berkata
apa padaku.
“Umm… tolong kasih ini ke Erina, ya?”
“Erina?”
3. “Ya, Erina wali kelas kamu, kan? Pagi ini ngajar di
kelas kamu.”
Oh, ternyata Erina. Lagi-lagi Erina. Entahlah. Siapa
dia sebenarnya? Selalu saja ada namanya di setiap langkahku.
Meski aku tersesat, namanya akan tetap muncul.
Kurasa aku mengerti apa tujuan lelaki itu. Mungkin
ada hubungan special antara Erina dengannya.
Aku pun tersenyum. Kuhilangkan wajah dinginku,
lalu ketepuk pundaknya. Kuberi ia senyum semangat agar ia
tak lagi meminta bantuan padaku.
“Lain kali kasih sendiri aja. Gue yakin dia bakal
lebih simpatik sama elo.”
Tak ada lagi yang kukatakan. Aku bergegas
meninggalkan parkiran karena bel sudah terdengar. Aku tak
ingin seperti anak-anak lain yang selalu mendapat hukuman
dari Miss Erina. Kudengar ia salah satu guru yang mudah
memberi hukuman.
Panjang umur. Baru dibahas ia sudah melintas di
hadapanku. “Miss Rina,” teriakku.
Ya..ya..ya.. pasti aku tetap mendapat perlakuan
sama. Ia melotot dan menghela napas kuat. Sayang, ia tidak
terlihat seram olehku. Tersenyum, mungkin itu yang akan
selalu kulakukan.
4. “Kenapa belum masuk kelas?”
“Orang saya baru nyampe?”
“Kenapa telat?”
“Saya nggak telat kok.”
Ia kembali menghela napas. Kali ini raut wajahnya
melemas. Ia tak lagi memperlihatkan kemarahannya.
Tuhan…kalau seperti ini ia sangat terlihat cantik. Pantas
saja anak-anak pada jatuh cinta padanya.
Semoga saja aku bukan salah satu dari mereka. Dan
aku tak akan pernah menjadi salah satu dari mereka. Takdir
pasti akan marah padaku kalau sampai itu terjadi.
“Cepat masuk kelas sebelum saya suruh kamu
bersihkan toilet!”
“Tunggu sebentar, Miss!”
Kutarik tangannya yang halus. Ya, saat inilah detak
jantungku yang lemah kembali berdetak cepat. Seakan ada
satu kekuatan yang menguatkan detak jantungku.
Perasaan apa ini, Tuhan? Kenapa tatapan itu selalu
memaksaku untuk berkata jujur? Tapi, aku tak bisa
membuat mamaku bersedih jika aku melakukannya.
“Ciel, sampai kapan kamu mau pegang tangan
saya?”
5. Kali ini nadanya kembali meninggi. Ada kemarahan
yang muncul di wajahnya. Dan aku pun tertunduk.
Menghapus pandanganku agar semua keraguanku
menghilan sekarang juga.
Langung saja kuberikan bunga dan bingkisan kado
dari lelaki yang kutemui di parkiran sekolah padanya. “Tadi
ada yang nitipin ini ke Miss Rina. Namanya Arga. Dia bilang
maaf ke Miss Rina.”
Seketika wajahnya berubah layaknya langit yang
tertutup awan mendung. Ia tertunduk dan berpikir entah
apa. Ada air mata di ujung kelopak matanya. Seakan ada
beban berat yang sedang ia ingat.
Rasanya aku menyesal sudah memberikan benda itu
padanya. Kalau aku tau akan membuatnya bersedih, lebih
baik aku buang saja tadi.
“Kamu buang saja!” tak kusangka ia akan sesedih
itu. Namun, aku tak menerima benda itu lagi.
“Nggak baik menolak ketulusan orang. Saya lihat
dia tulus minta maaf ke Miss. Kalau saja Miss Rina mau
ketemu sama dia, pasti nggak akan ada benci yang buat Miss
Rina sedih.”
Kuberikan lagi benda itu padanya. Membiarkan ia
berpikir mungkin terbaik untuk saat ini. Aku pun
6. melangkah pergi menuju kelasku. Setidaknya aku bisa
masuk kelas duluan sebelum hukuman Miss Rina berlaku.
***