SlideShare a Scribd company logo
1 of 11
Download to read offline
Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011 55
TEKNOLOGI DAN PERKEMBANGAN AGRIBISNIS
CABAI DI KABUPATEN BOALEMO
PROVINSI GORONTALO
Nurdin
Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo, Jalan Jenderal Sudirman No. 6, Kota Gorontalo 96122
Telp. (0435) 821125, Faks. (0435) 821752, E-mail: ung@ung.ac.id
Diajukan: 9 November 2009; Diterima: 3 Januari 2011
ABSTRAK
Cabai merupakan komoditas unggulan Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo yang dicanangkan pemerintah
daerah melalui program Gemar Malita. Pembangunan agribisnis cabai di kabupaten ini masih pada tahap subsistem
on farm, tetapi pengembangannya mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif. Secara finansial,
pengembangan cabai lebih menguntungkan dan mempunyai daya saing yang lebih tinggi dibanding jagung dan padi
dengan nilai R/C dan B/C cabai masing-masing 2,15 dan 1,87, lebih tinggi daripada dua komoditas unggulan tersebut.
Selain itu, cabai merupakan komoditas basis di Kecamatan Tilamuta, Botumoito, Wonosari, dan Paguyaman
Pantai. Cabai umumnya dibudidayakan pada tanah Inceptisol, Alfisol, Mollisol, dan Entisol. Namun, lahan ini
umumnya telah digunakan untuk komoditas lain atau dikonversi ke penggunaan nonpertanian. Iklim yang kering
dan kesuburan tanah yang rendah sampai sedang merupakan faktor pembatas dalam pengembangan cabai di daerah
ini. Upaya dan strategi yang dapat ditempuh meliputi konservasi tanah dan air, intensifikasi dan diversifikasi
tanaman, pembinaan kearifan lokal, penyuluhan dan pemberian insentif, serta pemberdayaan kelembagaan perdesaan
dan penyuluhan. Hal penting lain yang perlu dilakukan adalah mengembangkan kemitraan dengan pihak swasta
melalui pola inti-plasma, contract farming, subkontrak, dagang umum, keagenan, dan kerja sama operasional
agribisnis.
Kata kunci: Cabai, teknologi, agribisnis, Gorontalo
ABSTRACT
Technology and agribusiness development of chili in Boalemo Regency of Gorontalo Province
Chili is a leading commodity in Boalemo Regency, Gorontalo Province endorsed by local government through
Gemar Malita program. Chili agribusiness development in this region is still at the farm subsystem stage, but its
development has comparative and competitive advantages. Financially, chili development was more profitable
and had higher competitiveness than maize and rice with the values of R/C and B/C of chili were 2.15 and 1.87,
respectively, higher than those of both commodities. In addition, chili is a main commodity in Tilamuta, Botumoito,
Wonosari, and Paguyaman Pantai subdistricts. Chili was commonly cultivated in Inceptisols, Alfisols, Mollisols,
and Entisols. However, this land had generally been used for other commodities or converted to nonagricultural
use. Dry climate and low to medium soil fertility are limiting factors for chili development in this area. Efforts and
strategies that can be taken consist of application of soil and water conservation, crop intensification and
diversification, development of local wisdom, agricultural extension service, provision of incentive, and empower
rural and agricultural extension institutions. Another important aspect is the development of partnerships with
private parties through nucleus plasma partnership, contract farming, sub-contract, general trading, agency, and
agribusiness operational cooperation.
Keywords: Chili, technology, agribusiness, Gorontalo
Pembangunan pertanian berkelan-
jutan memiliki tiga tujuan, yaitu
tujuan ekonomi dalam rangka efisiensi
dan pertumbuhan ekonomi, tujuan sosial
yang berkaitan dengan kepemilikan yang
berkeadilan, dan tujuan ekologi untuk
kelestarian sumber daya alam dan ling-
kungan (Sanim 2006). Hal ini sejalan
dengan pernyataan Saragih (1997),
Jayadinata (1999), dan Nasoetion (1999)
bahwa pembangunan pertanian di su-
atu wilayah akan berjalan efektif jika
dikaitkan dengan tujuan sosial, ekonomi,
ekologi maupun sumber daya lainnya.
Hortikultura merupakan salah satu
subsektor pertanian yang berperan pen-
ting dalam mendukung perekonomian
nasional, khususnya dalam meningkatkan
pendapatan masyarakat. Kontribusi sub-
sektor hortikultura terhadap produk do-
mestik bruto nasional (berdasarkan harga
56 Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011
berlaku) pada tahun 2005 mencapai
Rp61.792,44 triliun, dan meningkat
menjadi Rp68.640,39 triliun pada 2006,
Rp74.768 triliun pada 2007 (prognosa),
dan target menjadi Rp78.292 triliun
pada 2008 (Direktorat Jenderal Hortikul-
tura 2008). Indonesia dengan potensi
sumber daya lahan dan agroklimat yang
beragam berpeluang untuk mengem-
bangkan berbagai tanaman hortikul-
tura tropis, yang mencakup 323 jenis
komoditas.
Untuk meningkatkan dan memper-
tahankan produksi hortikultura, pada
2003 pemerintah mencanangkan program
Gerakan Mandiri Hortikultura Tropika
(Gema Hortika 2003). Sasaran utama
program ini adalah tercapainya tingkat
konsumsi buah dan sayuran masyarakat
Indonesia masing-masing 65/kg/kapita/
tahun dan nilai ekspor US$ 600 juta pa-
da tahun 2003 (Rukmana 2006). Berkaitan
dengan itu, berbagai kendala dan masa-
lah yang terkait dengan upaya mening-
katkan produksi, mutu, dan daya saing
produk hortikultura perlu disikapi dengan
pendekatan pengembangan hortikultu-
ra secara terpadu yang dikenal dengan
enam pilar pengembangan hortikultura
(Direktorat Jenderal Hortikultura 2008).
Enam pilar kegiatan pengembangan
hortikultura yaitu: 1) pengembangan
kawasan agribisnis hortikultura, 2) pena-
taan manajemen rantai pasokan (supply
chain management), 3) penerapan budi
daya pertanian yang baik (good agri-
cultural practices/GAP) dan prosedur
operasi standar (POS), 4) fasilitasi ter-
padu investasi hortikultura, 5) pengem-
bangan kelembagaan usaha, dan 6)
peningkatan konsumsi dan akselerasi
ekspor. Kegiatan dilaksanakan secara
simultan dan terintegrasi antara pusat
dan daerah untuk memfasilitasi dan mem-
permudah akses swasta dalam mengem-
bangkan hortikultura.
Salah satu komoditas hortikultura
penting adalah cabai. Masyarakat meman-
faatkan cabai sebagai rempah dan bumbu
masakan, kesehatan, dan bahan baku
industri (TanindoAgribusiness Company
2009). Produksi cabai nasional tahun 2009
mencapai 1,75 juta ton dengan hasil rata-
rata 6,50 t/ha. Secara kumulatif, produksi
cabai telah melebihi kebutuhan konsumsi
nasional, yaitu 1,20 juta ton (Fauziah
2010). Namun, data Deptan (2009) me-
nunjukkan bahwa sampai tahun 2008
produksi cabai nasional baru mencapai
423,14 ton dengan hasil rata-rata 4,28 t/
ha. Kondisi ini menyebabkan volume
ekspor sampai tahun 2008 baru mencapai
6.402,70 ton, sedangkan volume impor
lebih tinggi, yakni 16.111,05 ton. Dengan
demikian, peluang pengembangan cabai
secara nasional terbuka luas.
Kebutuhan cabai terus meningkat
dalam beberapa tahun terakhir seiring
dengan bertambahnya kebutuhan masya-
rakat dan permintaan industri. Bahkan,
pada waktu tertentu, terutama menjelang
hari raya dan hari besar keagamaan,
kebutuhan cabai meningkat melampaui
ketersediaannya di pasaran. Akibatnya,
harga cabai melambung tinggi. Kompas,
Senin 28 Juli 2010 melaporkan harga cabai
saat itu mencapai Rp40.000/kg. Oleh
karena itu, pengembangan cabai mempu-
nyai prospek yang baik dengan menerap-
kan sistem agribisnis yang tepat (Saragih
1998;Asriani 2003).
Agribisnis merupakan cara melihat
pertanian sebagai suatu sistem bisnis,
yang terdiri atas beberapa subsistem yang
terkait satu sama lain (Satyarini 2009).
Saragih (2002) membagi konsep pem-
bangunan agribisnis menjadi empat sub-
sektor, yaitu subsektor hulu (up stream
agribusiness), subsektor usaha tani (on-
farm agribusiness), subsektor hilir (down
stream agribusiness), dan subsektor jasa
penunjang (supporting system agri-
business). Satyarini (2009) menegaskan
bahwa azas dalam pengembangan agri-
bisnis antara lain adalah terpusat (cen-
tralized), efisien (efficient), menyeluruh
dan terpadu (holistic and integrated),
dan kelestarian lingkungan (environ-
mental sustainability).
Potensi pengembangan agribisnis
cabai terbuka luas di luar Jawa, terutama
di Provinsi Gorontalo. Sejak ditetapkan
sebagai komoditas unggulan kedua di
provinsi ini, luas panen cabai sampai 2008
mencapai 1.693 ha dengan produksi
10.891,70 ton (BPS Provinsi Gorontalo
2009). Produksi yang tinggi sering me-
nyebabkan turunnya harga cabai di pasar
hingga Rp5.000/kg, padahal menjelang
hari raya keagamaan, harga cabai melon-
jak mencapai Rp50.000/kg (Imran 2008).
Dari aspek budi daya, usaha tani cabai
di Gorontalo menghadapi berbagai per-
masalahan, seperti kekeringan, kurangnya
ketersediaan benih unggul, terbatasnya
tenaga kerja, rendahnya diseminasi tek-
nologi, tingginya biaya transportasi,
minimnya infrastruktur, dan rendahnya
jaminan harga. Hal ini menyebabkan laju
peningkatan produksi cabai cenderung
fluktuatif. Imran (2008) melaporkan masih
banyak petani cabai di Gorontalo yang
menggunakan faktor-faktor produksi
secara tidak efisien, seperti bibit, pupuk
SP36 dan KCl, dan fungisida. Di samping
itu, pengembangan cabai di daerah ini
masih pada taraf produksi massal dan
wilayah pengembangannya tersebar se-
cara tidak merata. Di beberapa tempat,
cabai dikembangkan pada lahan dengan
kemiringan lebih dari 15%. Kondisi agro-
klimat daerah Gorontalo yang termasuk
zona E (Oldeman dan Darmiyati 1977)
menyebabkan pada bulan-bulan tertentu
tanaman cabai mengalami defisit air
sehingga peluang gagal panen sangat
tinggi (Nurdin et al. 2009).
Kabupaten Boalemo merupakan salah
satu sentra pengembangan cabai di Pro-
vinsi Gorontalo. Kontribusi produksi
sampai 2008 mencapai 17,67% terhadap
produksi cabai provinsi (BPS Provinsi
Gorontalo 2009). Kontribusi tersebut
menempatkan Boalemo sebagai penghasil
cabai ketiga terbanyak setelah Bone
Bolango dan Gorontalo. Masyarakat Pro-
vinsi Gorontalo, terutama di Kabupaten
Boalemo, sangat lekat dengan cabai
sebagai bumbu masakan, selain menjadi
pendamping utama makanan pokok.
Mario (2009) melaporkan cabai vari-
etas lokal Gorontalo (Malita FM) mengan-
dung kalori 75,54 kkal, protein 6,16%,
lemak 2,06%, karbohidrat 8,09%, kalsium
0,04%, fosfor 1,96 ppm, besi 0,006%,
vitamin C 67,92 mg/100 g, dan air 78,58%
(Gambar 1). Cabai juga mengandung
minyak atsiri kapsikol yang dapat meng-
gantikan fungsi minyak kayu putih (Seti-
adi 2001).
Makalah ini mengulas teknologi dan
perkembangan agribisnis cabai di Kabu-
paten Boalemo berdasarkan status agri-
bisnis, keunggulan komoditas, potensi,
masalah, dan prospek pengembangannya.
Diulas pula perbandingan hasil analisis
usaha tani cabai dengan komoditas ung-
gulan lain untuk mengetahui keunggulan
pengembangan cabai.
PERKEMBANGAN
AGRIBISNIS DI
KABUPATEN BOALEMO
Berdasarkan pola dasar pembangunan
Kabupaten Boalemo tahun 20012005,
pengembangan pertanian diarahkan pa-
da kawasan Paguyaman sebagai pusat
Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011 57
pengembangan agribisnis, yang meru-
pakan wilayah strategis bagi pengem-
bangan produksi, pengolahan, dan pema-
saran komoditas pertanian unggulan.
Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu
prioritas pembangunan Kabupaten Boa-
lemo tahun 20012005 adalah program
unggulan pertanian dengan sasaran
meningkatkan ketahanan pangan dan
agribisnis untuk kesejahteraan masya-
rakat miskin. Rencana kerja pemerintah
daerah (RKPD) 2007 menyebutkan bahwa
pembangunan pertanian ditempuh de-
ngan program prioritas revitalisasi perta-
nian (Bappeda Kabupaten Boalemo 2009).
Sasaran yang akan dicapai adalah mening-
katkan pertumbuhan sektor pertanian
yang telah memberikan kontribusi 37,55%
dari PDRB Kabupaten Boalemo (BPS
Kabupaten Boalemo 2009). Sasaran khu-
susnya adalah meningkatkan produksi
hortikultura, mengembangkan lahan ter-
lantar, serta meningkatkan sarana dan
prasarana infrastruktur perdesaan untuk
mendorong kegiatan ekonomi dan kese-
jahteraan masyarakat desa (Bappeda
Kabupaten Boalemo 2009).
Program agropolitan yang dicanang-
kan pemerintah Provinsi Gorontalo disi-
nergikan dengan program pembangunan
Kabupaten Boalemo melalui pengem-
bangan cabai selain jagung. Komoditas
ini merupakan entry point programGemar
Malita atau Gerakan Masyarakat Mena-
nam Cabai Hasilnya Menjadi Unggulan
Daerah yang dicanangkan pemerintah
daerah sejak tahun 2008 (Bappeda Kabu-
paten Boalemo 2009). Program ini me-
netapkan beberapa kecamatan sebagai
sentra produksi cabai, antara lain Pagu-
yaman Pantai dan Botumoito. Dengan
demikian, pengembangan cabai telah
memiliki payung hukum yang jelas.
Pencanangan program Gemar Malita
sebagai program unggulan daerah ber-
implikasi pada luas penggunaan lahan
pertanian untuk pengembangan cabai di
Kabupaten Boalemo (Nurdin et al. 2009).
Hal ini terlihat pada sasaran pengem-
bangan cabai tahun 20072011 berdasar-
kan estimasi dan program perluasan
areal tanam dan panen (Tabel 1). Kinerja
masing-masing kecamatan dalam me-
nyumbang produksi cabai kabupaten
disajikan pada Tabel 2. Tampak bahwa
program Gemar Malita meningkatkan
produksi maupun luas tanam cabai (BPS
Kabupaten Boalemo 2009). Kontribusi
terbesar diberikan oleh Kecamatan Pagu-
yaman Pantai, yakni 47,80%, dan terendah
Kecamatan Wonosari, yaitu 5,50%.
Pengembangan agribisnis cabai di
Boalemo secara umum masih pada taraf
produksi massal dan tersebar secara tidak
merata di hampir seluruh wilayah. Jika
diklasifikasi berdasarkan lingkup pemba-
ngunan sistem agribisnis (Saragih 2002),
dari subsistem hulu sampai hilir belum ada
industri cabai, kecuali pemasaran atau
distribusi hasil. Cabai umumnya dijual ke
pedagang pengumpul dan tengkulak. Hal
ini sejalan dengan laporan Baruwadi et
al. (2007) bahwa petani mengembangkan
usaha tani cabai untuk memenuhi kebu-
tuhan sendiri dan sebagian dijual ke
pasar serta pedagang pengumpul. Peran
koperasi pertanian belum efektif.
Pada subsistem on-farm, petani me-
ngembangkan usaha tani cabai secara
sporadis dan tanpa mempertimbangkan
kesesuaian dan konservasi lahan. Cabai
dibudidayakan pada lahan miring tanpa
tindakan konservasi tanah dan air se-
hingga mengakibatkan erosi tanah dan
kekeringan serta gagal panen (Nurdin et
al. 2009). Subsistem jasa pendukung
kondisinya lebih baik dengan adanya
transportasi jalan desa dan jalan protokol,
termasuk jalan trans Sulawesi. Adanya
SMK pertanian di Kecamatan Paguyaman
dan Wonosari dapat menyediakan SDM
terampil. Kebijakan pemerintah daerah
juga sangat mendukung program pengem-
bangan cabai sebagai komoditas ung-
gulan. Namun, perkreditan (modal usaha
Gambar 1. Cabai rawit varietas Malita FM yang dikembangkan di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo.
Tabel 1. Sasaran pengembangan komoditas cabai di Kabupaten Boalemo,
Provinsi Gorontalo, 20072012.
Tahun
Sasaran
Luas tanam Luas panen Produktivitas Produksi1
(ha) (ha) (t/ha) (t)
2007 355 350 5,5 1.925
2008 375 370 5,6 2.072
2009 495 490 5,7 2.793
20102
520 515 5,8 2.987
20112
650 615 5,9 3.628
20122
684 680 6,0 4.080
1
Sasaran kenaikan produksi cabai 15%/tahun.
2
Data estimasi (target capaian).
Sumber: Bappeda Kabupaten Boalemo (2009).
58 Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011
tani) dan kelembagaan petani relatif
minim sehingga perlu dibenahi dan di-
berdayakan.
KEUNGGULAN
KOMODITAS CABAI
Komoditas unggulan merupakan komo-
ditas yang layak diusahakan karena mem-
berikan keuntungan kepada petani, baik
secara biofisik, sosial maupun ekonomi.
Suatu komoditas layak dikembangkanjika
komoditas tersebut diusahakan sesuai
dengan zona agroekologinya, mampu
memberi peluang berusaha, serta dapat
dilakukan dan diterima masyarakat se-
tempat sehingga berdampak pada penye-
rapan tenaga kerja dan secara ekonomi
menguntungkan (Susanto dan Sirappa
2007).
Syafruddin et al. (2004) menyatakan,
penetapan komoditas unggulan di suatu
wilayah diharapkan dapat meningkatkan
efisiensi usaha tani dan memacu per-
dagangan antardaerah dan antarnegara.
Selanjutnya Rachman (2003) menyatakan,
pada era pasar bebas, hanya komoditas
yang diusahakan secara efisien dari sisi
teknologi dan sosial ekonomi serta mem-
punyai keunggulan komparatif dan kom-
petitif yang mampu bersaing secara ber-
kelanjutan dengan komoditas yang sama
dari wilayah lain. Penentuan komoditas
unggulan penting karena ketersediaan
dan kemampuan sumber daya alam, modal,
dan SDM untuk menghasilkan dan mema-
sarkan semua komoditas yang diproduksi
di suatu wilayah secara simultan relatif
terbatas (Susanto dan Sirappa 2007).
Penetapan komoditas unggulan perta-
nian di suatu daerah perlu memerhatikan
keunggulan komparatif dan kompetitifnya
(Baruwadi et al. 2007). Keunggulan
komparatif komoditas dari suatu daerah
tercipta dari interaksi antara kelimpahan
sumber daya (biofisik), penguasaan tek-
nologi, dan kemampuan manajerial dalam
kegiatan pengembangan komoditas yang
bersangkutan. Keunggulan kompetitif
merupakan hasil interaksi antara keung-
gulan komparatif dan distorsi pasar. Pada
kondisi perekonomian yang tidak menga-
lami distorsi sama sekali, keunggulan
kompetitif juga merupakan keunggulan
komparatif. Keunggulan komparatif
wilayah dapat diketahui berdasarkan
analisis finansial dan metode location
quotient (LQ).
Nurdin et al. (2009) menyatakan, usa-
ha tani cabai per tahun di Kabupaten
Boalemo layak dan menguntungkan
dengan nilai R/C dan B/C masing-masing
2,15 dan 1,87 (Tabel 3). Menurut Soekar-
tawi (1995), usaha tani suatu komoditas
akan menguntungkan jika nilai R/C atau
B/C >1. Selain itu, komoditas cabai mem-
punyai daya saing yang lebih tinggi
(kompetitif) dibanding jagung dan padi
dengan nilai R/C dan B/C cabai lebih
tinggi dibanding dua komoditas tersebut.
Salah satu pendekatan yang dikem-
bangkan Badan Litbang Pertanian untuk
menentukan komoditas unggulan adalah
dengan metode LQ. Nilai LQ >1 artinya
sektor basis, yaitu komoditas ‘x’ di suatu
wilayah memiliki keunggulan komparatif
(produksi melebihi kebutuhan sehingga
dapat dijual ke luar wilayah). Nilai LQ = 1
artinya sektor nonbasis, yaitu komoditas
‘x’ di suatu wilayah tidak memiliki ke-
unggulan (produksi hanya cukup untuk
konsumsi sendiri). Nilai LQ < 1 artinya
sektor nonbasis, yaitu komoditas ‘x’ pada
suatu wilayah tidak dapat memenuhi
kebutuhan sendiri sehingga perlu pasok-
an dari luar wilayah. Susanto dan Sirappa
(2007) menyatakan, penentuan komoditas
unggulan berdasarkan analisis LQ ku-
rang memperhitungkan luas lahan untuk
usaha tani suatu komoditas, namun lebih
menekankan pada kecenderungan pe-
ningkatan luas panen dan produksi di-
banding produksi komoditas lainnya.
Baruwadi et al. (2007) melaporkan,
cabai merupakan komoditas basis di dua
kecamatan di Boalemo, yaitu Paguyaman
Pantai dan Mananggu (Tabel 4). Selanjut-
nya Nurdin et al. (2009) menyatakan cabai
merupakan komoditas basis di Kecamatan
Tilamuta, Botumoito, Wonosari, dan Pa-
guyamanPantaidengannilai LQ 1,151,83
(Tabel 5). Hal ini berarti produksi cabai di
empat kecamatan tersebut mengalami
surplus 1,151,83 kali lebih besar diban-
ding kebutuhan sendiri. Pengembangan
cabai menyebar di semua kecamatan di
Tabel 2. Luas tanam dan produksi cabai setiap kecamatan di Kabupaten
Boalemo, Provinsi Gorontalo, sampai tahun 2007.
Kecamatan
Luas panen Produksi Produktivitas Kontribusi produksi
(ha) (t) (t/ha) (%)
Mananggu 55 318 5,8 16,5
Tilamuta 41 195 4,8 10,1
Botumoito 25 125 5,0 6,5
Dulupi 30 152 5,1 7,9
Paguyaman 23 110 4,8 5,7
Paguyaman Pantai 155 920 5,9 47,8
Wonosari 21 105 5,0 5,5
Kabupaten 2007 350 1.925 5,5 100
Boalemo 2006 264 725 2,7
2005 221 436 2,0
Sumber: BPS Kabupaten Boalemo (2009).
Tabel 3. Analisis finansial komoditas cabai di Kabupaten Boalemo, Provinsi
Gorontalo.
Pendapatan
Komoditas
Jumlah input
(Rp) R/C
Gross margin B/C
(Rp) (Rp) (dis.rate 15%)
Padi 10.177.826 20.709.615 2,03 10.531.788 1,77
Jagung 4.792.105 10.105.263 2,11 5.313.157 1,83
Cabai 3.331.666 7.166.666 2,15 3.835.000 1,87
Sumber: Nurdin et al. (2009).
Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011 59
Kabupaten Boalemo, hanya sedikit terjadi
pemusatan di Kecamatan Paguyaman
Pantai dengan nilai 0,23. Hal ini sejalan
dengan pendapat Baruwadi et. al (2007),
bahwa cabai bukan merupakan komoditas
yang spesial dan pengembangannya
menyebar di seluruh kecamatan.
POTENSI KABUPATEN
BOALEMO UNTUK
PENGEMBANGAN CABAI
Berdasarkan data BPS Kabupaten Boa-
lemo (2009), luas lahan pertanian di
Kabupaten Boalemo mencapai 83.024 ha
atau 32,35% dari luas total wilayah
kabupaten ini. Dari luas lahan pertanian
tersebut, 3.553 ha atau 39,21% merupakan
ladang atau huma dan 32.266 ha atau
38,86% berupa tegalan atau kebun. Peng-
gunaan lahan tegalan untuk budi daya
cabai meningkat sampai tahun 2007, yaitu
32.260 ha atau 12,78% dari tahun 2006
dan 10,80% dari tahun 2005. Luas ladang
sebagai salah satu areal budi daya cabai
juga meningkat pada tahun 2007 sebesar
1,82% dari 2006, tetapi menurun 1,39%
dibandingkan tahun 2005. Penurunan
tersebut karena ladang dikonversi ke
Survey Staff (2006), tanah di wilayah ini
terdiri atas Entisol, Inceptisol, Vertisol,
Mollisol, Alfisol, dan Histosol (BPTP
Gorontalo 2002; Nurdinet al. 2009). Lebih
lanjut Nurdin et al. (2009) melaporkan
cabai dominan dibudidayakan pada tanah
Inceptisol,Alfisol, Mollisol, dan Entisol.
Vertisol dimanfaatkan untuk padi sawah
dan Histosol merupakan hutan bakau
(mangrove) di pesisir pantai selatan.
Potensi pengembangan komoditas
pertanian, termasuk cabai ditentukan
antara lain oleh tingkat kesesuaian lahan
(Hikmatullah et al. 2008). Menurut hasil
analisis potensi sumber daya lahan
(BPTPGorontalo2002;Nurdinetal.2009),
Kabupaten Boalemo dapat dikelompok-
kan menjadi empat kawasan pengem-
bangan (Tabel 6). Komoditas cabai dapat
dikembangkan pada wilayah dengan
lereng < 8%, berupa lahan basah dan
lahan kering dataran rendah (< 700 m dpl)
yang meliputi luas 76.353,32 ha. Wilayah
ini sesuai untuk pertanian dengan risiko
penghambat ringan atau termasuk kelas
sangat sesuai, cukup sesuai, dan sesuai
marginal. Sebarannya meliputi landform
dataran aluvial dan aluvio-koluvial di
sekitar wilayah DAS serta di Kecamatan
Paguyaman Pantai, Paguyaman, Manang-
gu, Dulupi, Tilamuta, dan Batumoito.
MASALAH DAN PROSPEK
PENGEMBANGAN CABAI
Biofisik Lahan
Topografi permukaan tanah di Kabupaten
Boalemo sebagian besar berupa perbu-
kitan, dengan ketinggian tempat bervariasi
dari 0 sampai2.000 m dpl (Tim Fahutan
IPB 2008; BPSKabupatenBoalemo 2009).
Ketinggian tempat berkaitan erat dengan
fisiografi kawasan. Fisiografi merupakan
salah satu faktor pembatas sebagai tolok
ukur kelayakan lahan untuk diusahakan
sebagai kawasan budi daya. Menurut
Nurdin et al. (2009), kemiringan lahan di
wilayah Kabupaten Boalemo bervariasi
dari 0–2% sampai > 40%. Berdasarkan
data iklim selama 10 tahun terakhir (1997
2008) dari Dinas PU (2009), wilayah
Kabupaten Boalemo memiliki perbedaan
musim kemarau dan musim hujan yang
jelas. Curah hujan tahunan berkisar antara
1.0211.253mm.MenurutRukmana(2006),
curah hujan yang baik untuk pertumbuhan
cabai berkisar antara 6001.250 mm. De-
Tabel 4. Keunggulan komparatif komoditas unggulan berdasarkan aspek
wilayah di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo, 2007.
Komoditas LQ1
SI2
Kecamatan basis
Jumlah Persentase
Padi 0,39 0,40 3 42,85
Jagung 0,34 0,88 4 57,14
Cabai 0,12 0,29 2 28,57
1
LQ = location quotient, 2
SI = specialization index.
Sumber: Baruwadi et al. (2007).
Tabel 5. Keunggulan komparatif komoditas cabai berdasarkan aspek
wilayah di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo, 2009.
Kecamatan LQ1
LI2
SI3
Mananggu 0,73 -0,03 -0,09
Tilamuta 1,834
0,14 0,28
Botumoito 1,594
-0,05 0,19
Dulupi 0,38 -0,003 -0,21
Paguyaman 0,89 0,004 -0,04
Paguyaman Pantai 1,152
0,23 0,05
Wonosari 1,392
-0,003 0,13
1
LQ = location quotient; 2
LI = localization index; 3
SI = specialization index; 4
Kecamatan
basis (LQ >1).
Sumber: Nurdin et al. (2009).
penggunaan pertanian lainnya dan ke
nonpertanian, seperti permukiman.
Luas wilayah Kabupaten Boalemo
2.571,36 km2
dan luas lahan untuk
pengembangan cabai 76.353,32 ha (BPS
Kabupaten Boalemo 2009; Bappeda
Kabupaten Boalemo 2009; Nurdin et al.
2009). Namun, potensi sumber daya lahan
tersebut belum dimanfaatkan secara
optimal dan sebagian berstatus lahan
tidur.
Tanaman cabai memerlukan persya-
ratan tumbuh dan pengembangan ter-
tentu untuk berproduksi secara optimal
sesuai dengan sifat genetik dan lingkung-
annya (FAO 1967; Djaenudin et al. 2000).
Sifat dan karakteristik sumber daya lahan
beragam di setiap tempat sesuai dengan
kondisi wilayah. Lebih lanjut Djaenudin
et al. (2000) menyatakan, komoditas
pertanian harus diusahakan sesuai de-
ngan persyaratan tumbuh agar berpro-
duksi optimal dengan kualitas hasil prima
dan input yang rendah sehingga hasilnya
berdaya saing di pasaran.
Tanah-tanah di Kabupaten Boalemo
umumnya terbentuk dari bahan aluvium
dan volkan, bersifat andesitik-basaltik
pada kondisi iklim kering, dan topografi
datar hingga berbukit (BPTP Gorontalo
2002). Sesuai dengan klasifikasi Soil
60 Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011
ngan demikian, curah hujan menjadi salah
satu pembatas karena intensitasnya ren-
dah. Menurut Oldeman dan Darmiyati
(1977), Boalemo termasuk dalam zona
agroklimat E3 dan E4 dengan bulan basah
kurang dari 2 bulan dan bulan kering 47
bulan. Musim kemarau panjang terjadi
pada Juli-November (Nurdin et al. 2009).
Bahan induk tanah di daerah ini dapat
dibedakan menjadi 1) endapan aluvium
yang menutupi dataran banjir sungai, 2)
endapan danau yang bersusunan liat
berwarna kelabu padat, 3) batuan volkan
andesitik-basaltik, dan 4) batuan intrusi
yang terdiri atas diorit, granit, dan grano-
diorit yang umumnya sudah melapuk. Se-
ring dijumpai sisipan kapur pada bagian
celah yang diduga sebagai hasil kontak
dengan air laut (Bachri et al. 1993; BPTP
Gorontalo 2002). Kandungan mineral
sukar lapuk lebih dominan daripada
mineral mudah lapuk (Nurdin et al. 2009).
Dominasi mineral fraksi pasir berupa
kuarsa dan opak dalam jumlah sedikit
serta masih dijumpainya konkresi besi
menunjukkan bahwa tingkat kesuburan
tanah di daerah ini tergolong rendah sam-
pai sedang sehingga pengembangan ko-
moditas cabai membutuhkan pemupukan.
Ketersediaan dan Persaingan
Pemanfaatan Lahan
Menurut Mulyani dan Las (2008), lahan
yang dianggap tersedia adalah lahan yang
sesuai yang saat ini belum dimanfaatkan
secara optimal untuk pertanian, baik
berupa padang alang-alang, semak belukar
maupun kawasan hutan (hutan produksi
atau hutan konversi). Namun, lahan ter-
sebut belum diketahui status kepemilik-
annya sehingga dapat berupa tanah milik
negara, masyarakat atau lahan hak pe-
nguasaan hutan (HPH)/hak guna usaha
(HGU) yang diterlantarkan, lahan bekas
hutan yang terbakar, atau tanah ulayat.
Hal ini sejalan dengan pendapat Jamal et
al. (2002) bahwa kepemilikan dan pengu-
asaan lahan pertanian di perdesaan bukan
masalah baru. Menurut Abdurachman et
al. (2008), luas penguasaan lahan rata-rata
nasional menurun dari 0,86 ha pada tahun
2003 menjadi 0,73 ha per rumah tangga
petani (RTP) pada tahun 2007. Sejalan
dengan itu, jumlah petani gurem (luas
lahan < 0,50 ha) meningkat dari 10,80 juta
RTP pada tahun 1993 menjadi 13,70 juta
pada tahun 2003, atau rata-rata naik
2,40%/tahun.
Lahan yang potensial untuk pengem-
bangan cabai umumnya terletak pada
lereng < 10%. Namun, lahan ini sudah
dimanfaatkan untuk tanaman pangan dan
perkebunan. Pengembangan cabai saat
ini dilakukan pada lahan dengan kemi-
ringan >10%, bahkan kebanyakan pada
lahan miring (> 25%). Husain et al. (2005)
melaporkan, erosi tanah dari lahan per-
tanian di sub-DAS Dulupi Kabupaten
Boalemo mencapai 1,081 t/ha/tahun. Hal
ini karena budi daya cabai belum mene-
rapkan teknik konservasi tanah sehingga
menimbulkan erosi.
Program agropolitan jagung juga men-
jadi pesaing dalam penggunaan lahan
yang sesuai untuk cabai. Luas lahan untuk
pengembangan jagung sampai tahun 2008
mencapai 30.794 ha, sedangkan luas pe-
ngembangan cabai pada tahun yang sama
baru 355 ha (BPS Kabupaten Boalemo
2009). Di samping itu, pengembangan
cabai sebelum pencanangan program
Gemar Malita hanya pada areal sempit
dan skala rumah tangga (subsisten) atau
sebagai dapur hidup. Akibatnya, luas
pengembangan cabai berkorelasi dengan
luas kepemilikan lahan pertanian dan
lahan pekarangan.
Prospek Pengembangan
Agribisnis Cabai
Berdasarkan aspek sumber daya lahan,
lahan yang tersedia secara aktual untuk
pengembangan cabaimencakup 76.353,32
ha atau 36,74% dari luas total (Nurdin et
al. 2009). Jika menggunakan asumsi yang
dikemukakanMulyani danLas (2008) serta
data BPS (2008), luas lahan tersedia secara
potensial mencapai 92.470 ha atau 44,50%
dari luas total wilayah. Dengan demikian,
masih tersedia lahan yang luas untuk
pengembangan cabai.
Guna memenuhi kebutuhan cabai
yang terus meningkat sekaligus mem-
berikan multiplier effect terhadap pem-
bangunan wilayah, diperlukan strategi
untuk meningkatkan produksi tanpa
mengabaikan kelestarian lingkungan.
Tabel 6. Potensi pengembangan komoditas pertanian di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo.
Sistem pertanian Alternatif komoditas
Luas
ha %
Pertanian lahan basah, tanaman pangan, Padi, jagung, ubi kayu, cabai, tomat, 20.975,0 10,09
hortikultura, perkebunan pisang, kelapa, kakao
Pertanian lahan kering, tanaman pangan, Jagung, kacang tanah, kedelai, ubi kayu, cabai, 16.457,4 7,92
hortikultura, perkebunan tomat, bawang merah
Pertanian lahan kering, tanaman perkebunan, Pisang, kelapa, jambu mete, mangga, rambutan, 26.726,8 12,86
tanaman pangan tebu, jagung, kapas
Durian, rambutan, jagung, ubi kayu, jati, jambu mete 16.410,4 7,90
Pertanian lahan kering, tanaman perkebunan Jambu mete, jati, durian, rambutan, 17.338,1 8,34
Jati, jambu mete 73.249,1 35,25
Hutan 34.600,9 16,65
Penggunaan lainnya (nonpertanian) 2.060,6 0,99
Jumlah 207.818,30 100
Sumber: BPTP Gorontalo (2002); Nurdin et al. (2009).
Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011 61
Strategi yang dapat ditempuh meliputi
aspek teknis, sosial budaya, dan kelemba-
gaan.
Aspek Teknis
Konservasi tanah dan air
Sistem pertanian berkelanjutan mensya-
ratkan penerapan konservasi tanah dan
air (Arsyad 2006). Dalam menerapkan
konservasi tanah dan air, Douglas (1992)
mengajukan dua pendekatan, yaitu pe-
rencanaan konservasi tanah harus meng-
utamakan petani (farmer first approach)
dan penerapan konservasi tanah harus
ramah dengan petani (farmer friendly).
Menurut Arsyad (2006), tantangan
penerapan kedua pendekatan tersebut
adalah mempertemukan perspektif yang
berbeda antara petani dan perencana
konservasi tentang kegawatan dan sifat
masalah yang dihadapi serta cara yang
tepat mengatasinya. Lebih lanjut dinya-
takan bahwa dalam menaksir kesesuaian
rekomendasi di tingkat lapangan, ada
delapan butir pertimbangan, yaitu: 1)
secara teknis mungkin dilakukan, 2)
secara praktis layak, 3) secara finansial
diinginkan bersama, 4) bersifat stabil,
5) berkelanjutan, 6) berlaku umum, 7)
ekonomis, dan 8) secara sosial diterima
masyarakat.
Pendekatan teknis dapat dilakukan
melalui pengolahan tanah minimal, biasa-
nya hanya di sekitar lubang tanam atau
jalur tanaman dengan frekuensi pengo-
lahan tanah minimal. Hal ini dilakukan
karena pengolahan tanah intensif dapat
merusak struktur tanah serta menurunkan
kapasitas infiltrasi tanah dan daya hantar
air (Husain et al. 2002; Pomalingo dan
Husain 2003), serta kualitas kimia dan
biologis tanah (Lorenz et al. 2000). Hasil
penelitian Rachman et al. (2004) menun-
jukkan, pengolahan tanah yang berle-
bihan dapat menyebabkan kekahatan
bahan organik tanah. Menurut Husain et
al. (2002), pengolahan tanah minimal
menambah jumlah pori makro sehingga
meningkatkan infiltrasi dan menekan
aliran permukaan serta erosi tanah.
Pada lahan dengan lereng 08%, kon-
servasi tanah secara vegetatif dapat di-
kombinasikan dengan metode mekanik,
yaitu pengolahan tanah menurut kontur
+ pembuatan guludan + strip cropping.
Sementara itu, pada lahan dengan lereng
< 5% dapat diterapkan teras gulud +
pengolahan tanah menurut kontur + mulsa
(Arsyad 2006). Noorhadi dan Sudadi
(2003) melaporkan, pemberian mulsa
memberikan pengaruh nyata terhadap
iklim mikro dan hasil cabai yang lebih
baik pada tanah Entisol. Suripin (2000)
mengemukakan bahwa metode vegetatif
adalah penggunaan tumbuhan dan sisa-
sisanya sebagai sarana konservasi tanah
untuk mengurangi daya rusak hujan,
aliran air permukaantanah, dan erosi. Pada
lahan dengan lereng 815%, metode
mekanik dapat dikombinasikan dengan
metode vegetatif karena efektif mengen-
dalikan erosi, yaitu teras gulud/teras
kredit + pengolahan tanah menurut
kontur + mulsa atau teras bangku + mulsa
+ tanaman penutup tanah berkerapatan
tinggi (Dariah et al. 2004; Santoso et al.
2004; Joseph (2005). Teknik konservasi
ini juga cepat diadopsi petani (Abdurach-
man et al. 2008). Rachman (1993) menya-
takan proses pembentukan teras pada
sistem pertanian lorong terjadi secara
bertahap dan mulai efektif setelah tiga
tahun.
Intensifikasi dan diversifikasi
tanaman
Intensifikasi dapat dilakukan pada tanam-
an cabai yang telah ada (Mulyani dan Las
2008) dan dapat dikembangkan pada
kecamatan yang merupakan basis cabai
(Nurdin et al. 2009). Kesenjangan pro-
duksi cabai antarkabupaten di Provinsi
Gorontalo mengindikasikan program
intensifikasi dengan menerapkan inovasi
teknologi yang tepat dapat dilakukan
untuk meningkatkan produktivitas. Paket
teknologi yang telah ada perlu diseleksi
agar lebih tepat guna, sesuai dengan
kondisi lahan (tanah, air, dan iklim) dan
petani (Abdurachman et al. 2008).
Produksi cabai dapat dipacu melalui
pembangunan irigasi suplemen, terutama
pada lahan kering agar lahan dapat diusa-
hakan sepanjang tahun. Menurut Mulyani
dan Las (2008), irigasi pada lahan kering
belum mendapat perhatian pemerintah
dibandingkan dengan lahan sawah. Pene-
rapan inovasi teknologi seperti varietas
unggul, pemupukan berimbang, dan
pengendalian organisme pengganggu
tanaman (OPT) dapat meningkatkan
produksi cabai di lahan kering.
BPTP Gorontalo (2002)telahmembuat
rekomendasi pengelolaan tanaman cabai
umur 6 bulan berdasarkan kebutuhan hara
tanaman dan kandungan hara tanah,
yaitu kebutuhan bibit 20.00027.000
batang/ha untuk jarak tanam 40 cm x
50 cm, pupuk organik 7,5015 t/ha, urea
225370 kg/ha, SP36 70140 kg/ha, dan
KCl 82165 kg/ha. Dengan menerapkan
rekomendasi tersebut, hasil cabai
mencapai 815 t/ha. Cabai sebaiknya
ditanam saat hujan mulai berkurang.
Dosis pemupukan tersebut sebatas
pertimbangan kebutuhan tanaman yang
dikaitkan dengan ketersediaan hara
dalam tanah (Nurdin et al. 2009). Untuk
memantapkannya, rekomendasi pemu-
pukan perlu diikuti dengan uji tanah dan
percobaan lapangan sebagai dasar dalam
menyusun rekomendasi pemupukan.
Beberapa keuntungan pengembangan
cabai secara intensif (Zulkifli et al. 2008)
yaitu: 1) meningkatkan produksi untuk
memenuhi permintaan skala nasional
maupun ekspor, 2) mengintensifkan
pemanfaatan sumber daya lahan, baik
pekarangan, lahan kering maupun lahan
sawah, 3) mengoptimalkan pemanfaatan
tenaga kerja dan bahan baku seperti
pupuk kandang dan jerami padi, 4)
meningkatkan konsumsi cabai sebagai
sumber gizi, 5) memperbaiki pendapatan
dan kesejahteraan petani serta keluarga-
nya, dan 6) memperbaiki kesuburan tanah
bila cabai dirotasi dengan tanaman lain.
Pengembangan cabai saat ini masih di-
lakukan pada areal yang sempit atau
sebagai dapur hidup. Oleh karena itu,
perlu dilakukan intensifikasi secara ber-
tahap melalui penerapan inovasi tekno-
logi spesifik lokasi dan ramah ling-
kungan.
Diversifikasi merupakan upaya meng-
anekaragamkan pemanfaatan lahan,
baik dengan tumpang sari, tanaman sela
maupun rotasi (Mulyani dan Las 2008).
Selama ini petani menanam cabai secara
monokultur pada lahan terbuka. Adiyoga
et al. (2004) menunjukkan bahwa nisbah
kesetaraan lahan untuk kombinasi tanam-
an cabai dan petsai di Pangalengan, Jawa
Barat adalah 1,47, yang berarti total pro-
duktivitas dari sistem ganda ini 47% lebih
tinggi dibandingkan dengan sistem tung-
gal. Dengan kata lain, untuk memperoleh
hasil cabai dan petsai, pengusahaannya
pada sistem tunggal/monokultur harus
47% lebih luas. Dengan demikian, cabai
berpotensi ditumpangsarikan dengan
petsai dataran rendah dan tomat. Kabu-
paten Boalemo merupakan salah satu
sentra tomat daratan rendah (BPS Kabu-
paten Boalemo 2009).
62 Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011
Pengusahaan cabai sebagai tanaman
sela di antara tanaman kelapa dan pisang
juga berpeluang dikembangkan. Selama
ini, hampir seluruh lahan perkebunan
kelapa di Gorontalo dimanfaatkan untuk
menanam jagung. Hal ini memacu
masyarakat di provinsi lain untuk mene-
rapkan teknik budi daya tersebut (Mul-
yani dan Las 2008). Di beberapa lokasi
cabai dibudidayakan pada lahan terbuka
dengan kemiringan > 25% sehingga di-
anjurkan untuk menerapkan konservasi
tanah dan air (Joseph 2005;Arsyad 2006).
Pemupukan tanaman sela akan mengun-
tungkan tanaman pokok karena sebagian
pupuk mengalir ke tanaman pokok
(Mulyani dan Las 2008).
Jarak pagar (Jathropa curcas) yang
umumnya dibudidayakan secara mono-
kultur dapat ditanam secara tumpang sari
dengan cabai dan tomat. Pola tumpang
sari memerlukan pengaturan jarak tanam
sehingga tanaman tidak saling menaungi.
Pergiliran tanaman (rotasi) jagung dan
cabai, kacang tanah dan cabai juga dapat
diterapkan sebagai salah satu upaya
mengendalikan hama penyakit tanaman
jagung.
Aspek Sosial dan Budaya
Budaya huyula atau gotong royong
merupakan salah satu bentuk kearifan
lokal yang saat ini masih ada, walaupun
mulai terkikis oleh perkembangan zaman
(Niode 2007). Salah satu kearifan lokal
yang masih dipertahankan masyarakat
setempat yang berkaitan dengan per-
tanian, terutama budi daya cabai, yaitu
penentuan waktu tanam berdasarkan
ilmu perbintangan, yang dikenal dengan
panggoba. Pada prinsipnya, budaya
panggoba dipegang oleh seseorang
yang dianggap cakap dalam melihat
perbintangan lalu mencocokkan tanaman
yang sesuai dengan waktu tanam yang
tepat. Pranadji (2008) melaporkan, kegiat-
an pertanian di Gorontalo merupakan
bagian budaya masyarakat setempat
yang digerakkan oleh nilai-nilai budaya
dan bersumber dari kearifal lokal (local
wisdom).
Penyuluhan agribisnis cabai mulai dari
tahap prapanen sampai pascapanen perlu
diperbaiki serta disesuaikan dengan kehi-
dupan petani (Simatupang et al. 2003).
Penyuluh pertanian harus mampu mem-
fasilitasi petani untuk mengembangkan
kemitraan usaha agribisnis (Saptana dan
Ashari 2007; Rangkuti 2009). Untuk
meningkatkan keefektifan dan efisiensi
kegiatan penyuluhan perlu disusun ren-
cana kegiatan yang meliputi pembentukan
kader petani pelestari sumber daya
lahan, pembentukan kelompok tani,
kursus petani, kunjungan, dan perlom-
baan (Nuryanto et al. 2003). Mengingat
petani di daerah ini umumnya tergolong
miskin sumber daya maka penyediaan
sarana produksi dan permodalan mutlak
diperlukan (Sajogyo 2002; Simatupang et
al. 2003; Sudaryanto dan Rusastra 2006).
Petani perlu dibantu untuk memperoleh
sarana produksi yang diperlukan, ter-
masuk modal usaha dan kemudahan lain.
Pemberian insentif kepada petani juga
dapat mendorong mereka mau dan mampu
mengoptimalkan sumber daya lahan untuk
budi daya cabai. Insentif dapat berupa
hibah, subsidi, pinjaman lunak, serta
bantuan pangan, sarana pertanian, dan
bibit (Nuryanto et al. 2003). Halinisejalan
dengan pernyataan Osemebo (1987) bah-
wa petani di DAS Way Wesay Lampung
dapat melaksanakan program pengem-
bangan pertanian yang produktif, eko-
nomis, dan ramah lingkungan dengan
sistem kontrak konservasi tanah dan air
(insentif). Petani yang berhasil akan men-
dapat imbalan jasa berupa uang tunai
sesuai dengan tingkat keberhasilannya.
Hal ini menguntungkan petani karena
selain memperoleh hasil dari kegiatan
pertanian, lingkungan juga relatif terjaga
dari degradasi. Pemberian subsidi pajak
(Nuryanto et al. 2003) dan skema imbalan
jasa kepada petanicabai yang melestarikan
lingkungan pertanamannya melalui kon-
trak konservasi (Asha et al. 2006) juga
penting agar menjadi contoh bagi petani
lainnya.
Aspek Kelembagaan
Kelembagaan masyarakat dan ekonomi
perlu diberdayakan dalam upaya pembi-
naan petani. Menurut Rangkuti (2009),
kelembagaan merupakan salah satu
sumber daya pertanian yang dapat di-
kembangkan sebagai kegiatan agribisnis
untuk meningkatkan keberdayaan, ke-
mandirian, dan kesejahteraan petani.
Nuryanto et al. (2003) menyatakan bah-
wa badan perwakilan desa (BPD) dan
kelompok tani berperan antara lain dalam
menggerakkan masyarakat dalam ke-
giatan bersama, menumbuhkan dan
meningkatkan peran serta masyarakat
dalam kegiatan yang diprakarsai pe-
merintah daerah, serta meningkatkan
kemandirian petani dalam pembangunan
pertanian di perdesaan. Koperasi unit
desa (KUD) berperan membantu petani
anggotanya dalam memperoleh kredit,
sarana produksi, dan alat mesin pertanian,
serta menampung dan memasarkan hasil.
Rangkuti (2009) menyatakan bahwa
KUD perlu ditata ulang dengan pende-
katan agribisnis dan sistem ekonomi
kerakyatan (kekeluargaan) sesuai dengan
kepentingan usaha ekonomi petani. Selain
itu, kelembagaan penyuluhan pertanian
dan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP)
dapat menjadi pusat pelayanan dan
konsultasi agribisnis (PPKA) di setiap
kecamatan melalui sistem penyuluhan
partisipatif (Saptana dan Ashari 2007).
Pemberdayaan lembaga penyuluhan per-
tanian dan BPP perlu dilakukan karena
lembaga tersebut berhadapan langsung
dengan petani.
Kemitraan usaha agribisnis adalah
hubungan bisnis usaha pertanian yang
melibatkan satu atau sekelompok orang
atau badan hukum dengan satu atau
kelompok orang atau badan hukum di
mana masing-masing pihak memperoleh
penghasilan dari usaha bisnis yang sama
atau saling berkaitan dengan tujuan
menjamin terciptanya keseimbangan,
keselarasan, dan keterpaduan yang
dilandasi rasa saling menguntungkan,
memerlukan, dan saling melaksanakan
etika bisnis (Suwandi 1995). Tujuan
kemitraan usaha agribisnis cabai antara
perusahaan mitra dan petani mitra adalah
meningkatkan efisiensi dan produktivitas
di segala lini subsistem agribisnis dan
menciptakan nilai tambah ekonomi yang
merupakan kunci peningkatan daya saing
(Saptana et al. 2005).
Pengembangan kemitraan usaha agri-
bisnis akan berhasil jika dilakukan secara
partisipatif, yaitu melibatkan seluruh
pelaku agribisnis dalam proses peren-
canaan, pelaksanaan, serta pemantauan
dan evaluasi (Syahyuti 2006). Dengan
cara ini diharapkan dapat tercapai
stabilitas dan kontinuitas produksi,
pendapatan, dan kesinambungan usaha
(Saptana danAshari 2007). Pengembang-
an kemitraan agribisnis cabai dengan
pihak swasta perlu dilakukan dengan
perusahaan yang berkaitan langsung
dengan komoditas cabai sebagai bahan
baku industri. Pola kemitraan yang dapat
dilakukan, seperti tertuang dalam SK
Mentan No. 940/Kpts/OT.210/10/1997
Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011 63
tentang Pedoman Kemitraan Usaha
Pertanian, yaitu: 1) pola inti-plasma, 2)
pola kemitraan contract farming, 3) pola
kemitraan subkontrak, 4) pola dagang
umum, 5) pola kemitraan keagenan, dan
6) kerja sama operasional agribisnis
(KOA). Uraian model kemitraan masing-
masing pola (Saptana et al. 2005) adalah
sebagai berikut:
Pola kemitraan inti-plasma, yaitu
pengusaha besar industri pengolahan
hasil dan pedagang besar cabai bertindak
sebagai perusahaan mitra/inti yang
melakukan kemitraan dengan petani
produsen atau kelompok usaha agribisnis
sebagai plasma dengan membentuk
kesepakatan harga dan kualitas pembelian
produk. Kemitraan dilakukan perusahaan
mitra/inti dengan kelompok tani agar
kegiatan produksi dapat dilakukan se-
cara lebih terkoordinasi dalam satu
hamparan dengan skala usaha tertentu.
Perusahaan mitra/inti berkewajiban an-
tara lain: 1) menyediakan dan menyiapkan
lahan, 2) menyediakan sarana produksi
(benih unggul, pupuk, obat-obatan, dan
mulsa), 3) memberi bimbingan teknis
budi daya dan pascapanen, 4) membiayai
pengolahan tanah, pemanenan, dan
lainnya, dan 5) memberi bantuan lain
untuk meningkatkan efisiensi dan pro-
duktivitas usaha.Petani plasma melakukan
budi daya sesuai anjuran serta menye-
rahkan hasil kepada perusahaan mitra/inti
sesuai kesepakatan.
Pola kemitraan contract farming,
yaitu suatu cara mengatur produksi di
mana petani-petani kecil diberi kontrak
untuk menyediakan produk pertanian ke-
pada usaha sentral sesuai dengan syarat
yang telah ditentukan dalam sebuah
perjanjian (kontrak). Badan sentral yang
membeli hasil dapat menyediakan bim-
bingan teknis, manajerial, kredit sarana
produksi, serta menampung hasil dan
melakukan pengolahan dan pemasaran
(Kirk 1987 dalam White 1990). Contract
farming tampaknya menjadi alternatif
yang menarik bagi perusahaan peng-
olahan.
Pola kemitraan subkontrak, meru-
pakan model kemitraan yang menyerupai
contract farming, tetapi pada pola ini
kelompok usaha kecil tidak melakukan
kontrak secara langsung dengan perusa-
haan pengolah, melainkan melalui agen
atau pedagang. Model ini dapat diterap-
kan pada pengadaan cabai antara petani
dan industri pengolah atau pasar swa-
layan yang dimediasi pedagang.
Pola kemitraan dagang umum, yaitu
usaha menengah dan usaha besar mema-
sarkan produksi usaha kecil, atau usaha
kecil memasok kebutuhan yang diper-
lukan usaha menegah dan usaha besar,
atau usaha kecil yang memasarkan hasil
usaha menengah dan usaha besar. Model
ini dapat diterapkan pada kemitraan petani
cabai dan pedagang pengumpul, pe-
dagang besar, dan pasar swalayan.
Pola kemitraan keagenan, yaitu
kelompok mitra (usaha kecil) diberi hak
untuk memasarkan barang dan jasa usa-
ha perusahaan mitra (usaha menengah
dan besar). Keunggulan pola kemitraan
ini adalah kelompok mitra memperoleh
keuntungan hasil penjualan ditambah
komisi (fee) dari perusahaan mitra. Model
ini dijumpai pada distribusi sarana
produksi, seperti benih cabai merah
hibrida, pupuk, dan obat-obatan. Pada
pola kemitraan ini, biasanya pedagang
sarana produksi bertindak sebagai dis-
tributor dan penyalur sarana produksi
dari perusahaan atau merek tertentu.
Pola kemitraan kerja sama opera-
sional agribisnis, yaitu kelompok mitra
menyediakan lahan, sarana, dan tenaga
kerja, sedangkan perusahaan mitra me-
nyediakan modal dan atau sarana untuk
mengusahakan suatu komoditas pertani-
an. Perusahaan mitra dapat berbentuk
perusahaan inti atau pembina yang melak-
sanakan pembukaan lahan dan mempu-
nyai usaha budi daya dan unit pengolahan
yang dikelola sendiri. Perusahaan inti
membina kelompok mitra dalam bidang
teknologi produksi, menyediakan sarana
produksi, permodalan, dan pengolahan
hasil, menampung produksi, dan me-
masarkan hasil kelompok mitra.
KESIMPULAN
Cabai merupakan komoditas unggulan
Kabupaten Boalemo, selain jagung.
Sistem agribisnis cabai di kabupaten ini,
mulai subsistem hulu sampai hilir belum
terdapat industri. Cabai umumnya dijual
ke pedagang pengumpul dan tengkulak.
Pengembangan cabai di Kabupaten
Boalemo mempunyai keunggulan kompa-
ratif dan kompetitif. Secara finansial,
pengembangan cabai menguntungkan
dengan nilai R/C dan B/C >1. Cabai
umumnya dibudidayakan pada tanah
Inceptisol, Alfisol, Mollisol, dan Entisol,
pada lahan dengan lereng < 8%, baik
berupa lahan basah maupun lahan kering
dataran rendah (< 700 m dpl). Iklim kering
dan kesuburan tanah yang rendah sampai
sedang merupakan faktor pembatas
pengembangan cabai di Kabupaten
Boalemo.
Strategi pengembangan cabai sekali-
gus untuk menyukseskan program Gemar
Malita di Kabupaten Boalemo meliputi
penerapan konservasi tanah dan air pada
lahan dengan lereng >15%, intensifikasi
dan diversifikasi tanaman cabai dengan
tanaman produktif lain pada lahan yang
sesuai, pemberdayaan kearifan lokal yang
berkaitan dengan kegiatan pertanian,
penyuluhan dan pemberian insentif ke-
pada petani cabai, serta pemberdayaan
kelembagaan perdesaan yang berperan
dalam meningkatkan kemampuan petani
dalam pembangunan pertanian. Hal lain
yang juga penting adalah mengembang-
kan kemitraan petani atau kelompok tani
dengan pihak swasta atau perusahaan
yang berkaitan langsung dengan komo-
ditas cabai.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A., A. Dariah, dan A. Mulyani.
2008. Strategi dan teknologi pengelolaan
lahan kering mendukung pengadaan pangan
nasional. Jurnal Penelitian dan Pengembang-
an Pertanian 27(2): 4349.
Adiyoga, W., R. Suherman, N. Gunadi, dan A.
Hidayat. 2004. Aspek nonteknis dan indi-
kator efisiensi sistem pertanaman tumpang
sari sayuran dataran tinggi. Jurnal Horti-
kultura 14(3): 217227.
Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. IPB
Press, Bogor.
Asha, P., B. Leimona, dan Suyanto. 2006.
Kontrak Konservasi Tanah dan Air; Skema
Imbal Jasa Lingkungan melalui Lelang
Konservasi. Rupes Sumberjaya Brief No. 5.
ICRAF, Bogor.
Asriani, P.S. 2003. Konsep agribisnis dan pem-
bangunan pertanian berkelanjutan. Jurnal
Agrisep 1(2): 144150.
64 Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011
Bachri, S., Sukido, dan N. Ratman. 1993. Peta
Geologi Lembar Tilamuta, Sulawesi Skala 1 :
250.000. Pusat Penelitian dan Pengem-
bangan Geologi, Bandung.
Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Da-
erah) Kabupaten Boalemo. 2009. Profil
Pembangunan Kabupaten Boalemo Tahun
2008. Bappeda Kabupaten Boalemo, Tila-
muta.
BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten Boalemo.
2009. Kabupaten Boalemo dalam Angka
Tahun 2008. BPS Kabupaten Boalemo,
Tilamuta.
BPS (Badan Pusat Statistik) Provinsi Gorontalo.
2009. Provinsi Gorontalo dalam Angka
Tahun 2008. BPS Provinsi Gorontalo,
Gorontalo.
BPS (Badan Pusat Statistik) RI. 2008. Statistik
Indonesia tahun 2008. BPS, Jakarta.
BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian)
Gorontalo. 2002. Pemilihan Farming System
Zone Penelitian, Pengkajian dan Diseminasi
Teknologi Pertanian di BPTP Gorontalo.
BPTP Gorontalo.
Baruwadi, M., R. Yusuf, S. Canon, dan F. Zakaria.
2007. Road Map Pengembangan Komoditas
Pertanian di Kabupaten Boalemo. Kerja
Sama Lembaga Penelitian Universitas Negeri
Gorontalo dengan Dinas Pertanian dan Ke-
tahanan Pangan Provinsi Gorontalo, Goron-
talo.
Dariah, A., U. Haryati, dan T. Budhyastoro.
2004. Teknologi konservasi mekanik. hlm.
109132. Dalam Konservasi Tanah pada
Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat,
Bogor.
Deptan. 2009. Basis data statistik pertanian
20002009. Pusat data dan Informasi
Pertanian, Departemen Pertanian (Deptan)
RI, Jakarta.
Dinas PU Provinsi Gorontalo. 2009. Data Iklim
Wilayah Kabupaten Boalemo Periode Tahun
19982008. Dinas PU Provinsi Gorontalo.
Gorontalo.
Direktorat Jenderal Hortikultura. 2008. Memba-
ngun Hortikultura Berdasarkan Enam Pilar
Pengembangan. Direktorat Jenderal Horti-
kultura, Jakarta.
Djaenudin, D., M. Hendrisman, H. Subagyo, A.
Mulyani, dan N. Suharta. 2000. Kriteria
Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Per-
tanian. Ver. 3. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Djaenudin, D., H. Marwan, H. Subagyo, dan A.
Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi
Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai
Penelitian Tanah, Bogor.
Douglas, M. 1992. Policy and institutional
considerations in development of conser-
vation farming systems. p. 101122. In S.
Arsyad, I. Amin, T. Sheng, dan W. Molden-
hauer (Eds). Conservation Policies for
Hillslope Farming. Soil and Water Conser-
vation Society, Ankey, Iowa.
FAO. 1976. A framework for Land Evaluation.
FAO Soil Bulletin No. 32, Rome.
Fauziah, U. 2010. Harga cabai tetap fluktuatif.
Majalah Trubus, Edisi 482 Januari 2010/ XLI.
Hikmatullah, N. Suharta, dan A. Hidayat. 2008.
Potensi sumber daya lahan untuk pengem-
bangan komoditas pertanian di Provinsi
Kalimantan Timur. Jurnal Sumberdaya Lahan
2(1): 4558.
Husain, J., H.H. Gerke, and R.F. Hüttl. 2002.
Infiltration measurements for determining
effects of land use change on soil hydraulic
properties in Indonesia. In M. Pagliai and R.
Jones (Eds). Sustainable Land Management
for Enviromental Protection - Soil Physics
Approach. Adv. Geoecol. 32: 230236.
Husain, J., J.N. Luntungan, Y. Kamagi, dan
Nurdin. 2005. Model Usaha Tani Jagung
Berbasis Konservasi di Provinsi Gorontalo.
Badan Penelitian dan Pengembangan dan
Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah
Provinsi Gorontalo, Gorontalo.
Imran, S. 2008. Analisis faktor-faktor produksi
usaha tani cabai rawit di Provinsi Gorontalo.
Jurnal Ilmiah Agropolitan 1(2): 8593.
Jamal, E., Syahyuti, dan A.M. Hurun. 2002.
Reformasi agraria dan masa depan pertanian.
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Perta-
nian 21(4): 133139.
Jayadinata, J.T. 1999. Tata Guna Tanah dalam
Perencanaan Perdesaan, Perkotaan dan Wi-
layah. Penerbit ITB, Bandung.
Joseph, B.Th. 2005. Sumber Daya Tanah dan
Pelestarian Lingkungan Hidupnya. Jurusan
Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sam
Ratulangi, Manado.
Lorenz, G., C.L., Bonelli, S. Roldan, C. Araya,
and K. Rondano. 2000. Soil Quality Change
due to Land Use in a Kastanozem-Phaeozem
Soilscape of Semiarid Chaco. Mitteilungen
der Deustchen Bodenkundlichen Gessel-
schaft. Band 93.
Mario, M.Dg. 2009. Cabai “Malita FM”varietas
unggul Gorontalo. Makalah disampaikan pada
Temu Teknis Pengembangan Komoditi Ung-
gulan Boalemo, Tilamuta, 11 Maret 2009.
Balai Pusat Informasi Jagung Provinsi Goron-
talo, Gorontalo.
Mulyani, A. dan I. Las. 2008. Potensi sumber
daya lahan dan optimalisasi pengembangan
komoditas penghasil bioenergi di Indonesia.
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Perta-
nian 27(1): 3141.
Nasoetion, L.I. 1999. Tinjauan ekonomi politik
transformasi agraria. Makalah pada Semi-
nar di LP3ES, Jakarta, 28 Oktober 1999.
Niode, A.S. 2007. Gorontalo; Perubahan Nilai-
nilai dan Pranata Sosial. PT Pustaka Indo-
nesia Press, Jakarta.
Noorhadi dan Sudadi. 2003. Kajian pemberian
air dan mulsa terhadap iklim mikro pada
tanaman cabai di tanah Entisol. Jurnal Ilmu
Tanah dan Lingkungan 4(1): 4149.
Nurdin, D.A. Rachim, Darmawan, Suwarno, M.
Baruwadi, R. Yusuf, F. Zakaria, dan J. Pakaja.
2009. Pengembangan Komoditas Unggulan
Pertanian Berdasarkan Karakteristik Po-
tensi Sumber Daya Lahan dan Keunggulan
Wilayah untuk Pertanian di Kabupaten Boa-
lemo. Kerja Sama Bappeda Kabupaten Boa-
lemo dengan Pusat Kajian Pertanian Tropis
Universitas Negeri Gorontalo, Tilamuta.
Nuryanto, A., D. Setyawati, I. Lidiawati, J.
Suyana, L. Karlinasari, M.A. Nasri, N.
Puspaningsih, dan S.B. Yuwono. 2003.
Strategi pengelolaan DAS dalam rangka
optimalisasi kelestarian sumber daya air;
Studi kasus DAS Ciliwung hulu. Makalah
Pengantar Filsafat Sains Sekolah Pasca-
sarjana IPB, Bogor.
Oldeman, L.R. and S. Darmiyati. 1977. The
agroclimatic map of Sulawesi, scale 1:
2,500,000. Contr. Centre. Res. Inst. Agric.
Bull. No. 60.
Osemebo. 1987. Alley farming. Agric. Syst. 24:
3151.
Pomalingo, N. and J. Husain. 2003. Impact of
land use change on soil hydraulic properties
and its spatial variability. hlm. 250256.
Dalam Prosiding Kongres Nasional VIII
Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI),
Padang, 2123 Juli 2003.
Pranadji, T. 2008. Membedah Gorontalo sebagai
calon bintang timur pertanian Indonesia di
Abad 21. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian
6(3): 222238.
Rachman, A. 1993. Sistem pertanaman lorong
(alley cropping). hlm. 1824. Informasi
Penelitian Tanah, Air, Pupuk, dan Lahan.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat,
Bogor.
Rachman, H. 2003. Dasar penetapan komoditas
unggulan nasional di tingkat provinsi. Ma-
kalah Lokakarya Sinkronisasi Program Pe-
nelitian dan Pengkajian Teknologi Perta-
nian. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Rachman, A., A. Dariah, dan E. Husen. 2004.
Olah tanah konservasi. hlm. 189210.
Dalam Teknologi Konservasi Tanah pada
Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat,
Bogor.
Rangkuti, P.A. 2009. Strategi komunikasi mem-
bangun kemandirian pangan. Jurnal Pene-
litian dan Pengembangan Pertanian 28(2):
3945.
Rukmana, R. 2006. Usaha Tani Cabai Rawit.
Cetakan ke-5. Kanisius, Yogyakarta.
Sajogyo. 2002. Pertanian dan kemiskinan. Jurnal
Ekonomi Rakyat 1(1): 115.
Sanim, B. 2006. Analisis ekonomi lingkungan
dan audit lingkungan. Makalah disampaikan
pada Pelatihan Dosen Perguruan Tinggi
Negeri Se-Jawa dan Bali dalam Bidang Audit
Lingkungan, Bogor, 1120 September
2006.
Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011 65
Santoso, D., J. Purnomo, I G.P. Wigena, dan E.
Tuherkih. 2004. Teknologi konservasi ve-
getatif. Olah tanah konservasi. hlm. 77108.
Dalam Konservasi Tanah pada Lahan Kering
Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengem-
bangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Saptana dan Ashari. 2007. Pembangunan per-
tanian berkelanjutan melalui kemitraan
usaha. Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Pertanian 26(4): 123130.
Saptana, E.L. Hastuti, K.S. Indraningsih, Ashari,
S. Friyatno, Sunarsih, dan V. Darwis. 2005.
Pengembangan Model Kelembagaan Kemit-
raan Usaha yang Berdaya Saing di Kawasan
Sentra Produksi Hortikultura. Pusat Pene-
litian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian, Bogor.
Saragih, B. 1997. Pembangunan Sektor Agribisnis
dalam Kerangka Pembangunan Ekonomi
Indonesia. Bappenas, Jakarta.
Saragih, B. 1998. Agribisnis; Paradigma Baru
Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian.
CV Nasional, Jakarta.
Saragih, B. 2002. Sistem dan Usaha Agribisnis.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Satyarini, B.T. 2009. Analisis kelayakan usaha
tani cabai di lahan pantai (Studi kasus di
pantai Pandan Simo Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta). Prosiding Seminar Nasional
Peningkatan Daya Saing Agribisnis Ber-
orientasi Kesejahteraan Petani, Bogor, 14
Oktober 2009. Pusat Analisis Sosial Eko-
nomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Setiadi. 2001. Bertanam Cabai. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Simatupang, P., IW. Rusastra, H.P. Saliem, Supri-
yati, dan Saptana. 2003. Prospek Diversi-
fikasi Usaha Tani di Lahan Sawah: Kasus
empat kabupaten di Jawa. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sosial Ekonomi Perta-
nian, Bogor dan Bappenas/USAID/DAI,
Jakarta.
Soekartawi. 1995. Analisis Usaha Tani. Uni-
versitas Indonesia Press, Jakarta.
Soil Survey Staff. 2006. Keys to Soil Taxonomy.
Tenth Edition. US Dept. Agric., Natural
Resources Conservation Service, Washing-
ton DC.
Sudaryanto, T. dan IW. Rusastra. 2006. Kebi-
jakan strategis usaha pertanian dalam rangka
peningkatan produksi dan pengentasan ke-
miskinan. Jurnal Penelitian dan Pengem-
bangan Pertanian 25(4): 115122.
Suripin. 2000. Pelestarian Sumber Daya Tanah
dan Air. Andi, Yogyakarta.
Susanto, A.N. dan M.A. Sirappa. 2007. Karak-
teristik dan ketersediaan data sumber daya
lahan pulau-pulau kecil untuk perencanaan
pembangunan pertanian. Jurnal Penelitian
dan Pengembangan Pertanian 26(2): 4153.
Suwandi. 1995. Strategi pola kemitraan dalam
menunjang agribisnis bidang peternakan.
Industrialisasi usaha ternak rakyat dalam
menghadapi tantangan globalisasi. Prosiding
Simposium Nasional Kemitraan Usaha Ter-
nak. Ikatan Sarjana Ilmu-ilmu Peternakan
Indonesia (ISPI) bekerja sama dengan Balai
Penelitian Ternak, Bogor.
Syafruddin, A.N. Kairupan, A. Negara, dan J.
Limbongan. 2004. Penataan sistem per-
tanian dan penetapan komoditas unggulan
berdasarkan zona agroekologi di Sulawesi
Tengah. Jurnal Sumberdaya Lahan 23(2):
6167.
Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam
Pembangunan Pedesaan, Penjelasan tentang
Konsep, Istilah, Teori dan Indikator serta
Variabel. PT Bina Rena Pariwara, Jakarta.
Tanindo Agribusiness Company. 2009. Menyi-
mak Geliat Bisnis Cabai Indonesia. http://
www.tanindo.com. 2009. [22 Oktober
2009].
Tim Fahutan IPB. 2008. Kajian Pemantapan
Kawasan Hutan di Kabupaten Boalemo.
Kerja Sama Bappeda Kabupaten Boalemo
dengan Fakultas Kehutanan Institut Per-
tanian Bogor.
White, B. 1990. Agroindustri, Industrialisasi
Pedesaan dan Transformasi Pedesaan. Kerja
Sama antara Pusat Studi Pembangunan
Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor
dan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia,
Jakarta.
Zulkifli, A.K., A. Yusuf, A. Azis, T. Iskandar,
dan M.N. Alidan. 2008. Rakitan Teknologi
Budi Daya Cabai. BPTP Nanggroe Aceh
Darussalam, Banda Aceh.

More Related Content

What's hot

PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM MEMBANGUN PEREKONOMIAN BANGSA DAN PERAN SUMBER D...
PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM MEMBANGUN PEREKONOMIAN BANGSA DAN PERAN SUMBER D...PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM MEMBANGUN PEREKONOMIAN BANGSA DAN PERAN SUMBER D...
PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM MEMBANGUN PEREKONOMIAN BANGSA DAN PERAN SUMBER D...
Miftakhul Jannah
 
peranan sektor pertanian
peranan sektor pertanianperanan sektor pertanian
peranan sektor pertanian
Asgari S
 
01 ketahanan pangan dan teknologi produktivitas
01 ketahanan  pangan  dan teknologi  produktivitas01 ketahanan  pangan  dan teknologi  produktivitas
01 ketahanan pangan dan teknologi produktivitas
Ir. Zakaria, M.M
 
sumberdaya dalam pertanian dan karakteristik ekonomi pertanian di indonesia (...
sumberdaya dalam pertanian dan karakteristik ekonomi pertanian di indonesia (...sumberdaya dalam pertanian dan karakteristik ekonomi pertanian di indonesia (...
sumberdaya dalam pertanian dan karakteristik ekonomi pertanian di indonesia (...
aulia rachmawati
 
M8. peranan sektor pertanian
M8. peranan sektor pertanianM8. peranan sektor pertanian
M8. peranan sektor pertanian
erlina na
 

What's hot (20)

majalah
majalahmajalah
majalah
 
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan PetaniKonsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
 
PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM MEMBANGUN PEREKONOMIAN BANGSA DAN PERAN SUMBER D...
PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM MEMBANGUN PEREKONOMIAN BANGSA DAN PERAN SUMBER D...PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM MEMBANGUN PEREKONOMIAN BANGSA DAN PERAN SUMBER D...
PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM MEMBANGUN PEREKONOMIAN BANGSA DAN PERAN SUMBER D...
 
Strategi pengembangan sektor hortikultura
Strategi pengembangan sektor hortikulturaStrategi pengembangan sektor hortikultura
Strategi pengembangan sektor hortikultura
 
Peranan sektor pertanian.....
Peranan sektor pertanian.....Peranan sektor pertanian.....
Peranan sektor pertanian.....
 
Peranan sektor pertanian
Peranan sektor pertanianPeranan sektor pertanian
Peranan sektor pertanian
 
peranan sektor pertanian
peranan sektor pertanianperanan sektor pertanian
peranan sektor pertanian
 
01 ketahanan pangan dan teknologi produktivitas
01 ketahanan  pangan  dan teknologi  produktivitas01 ketahanan  pangan  dan teknologi  produktivitas
01 ketahanan pangan dan teknologi produktivitas
 
sumberdaya dalam pertanian dan karakteristik ekonomi pertanian di indonesia (...
sumberdaya dalam pertanian dan karakteristik ekonomi pertanian di indonesia (...sumberdaya dalam pertanian dan karakteristik ekonomi pertanian di indonesia (...
sumberdaya dalam pertanian dan karakteristik ekonomi pertanian di indonesia (...
 
M8. peranan sektor pertanian
M8. peranan sektor pertanianM8. peranan sektor pertanian
M8. peranan sektor pertanian
 
ANALISIS RISIKO PRODUKSI WORTEL DAN BAWANG DAUN DI KAWASAN AGROPOLITAN CIANJU...
ANALISIS RISIKO PRODUKSI WORTEL DAN BAWANG DAUN DI KAWASAN AGROPOLITAN CIANJU...ANALISIS RISIKO PRODUKSI WORTEL DAN BAWANG DAUN DI KAWASAN AGROPOLITAN CIANJU...
ANALISIS RISIKO PRODUKSI WORTEL DAN BAWANG DAUN DI KAWASAN AGROPOLITAN CIANJU...
 
Potret Krisis Ruang Sulawesi
Potret Krisis Ruang SulawesiPotret Krisis Ruang Sulawesi
Potret Krisis Ruang Sulawesi
 
8 bab 4-pangan-executive
8 bab 4-pangan-executive8 bab 4-pangan-executive
8 bab 4-pangan-executive
 
Week 10 peranan sektor pertanian yusinadia sekar sari 11140023 5 vma
Week 10 peranan sektor pertanian yusinadia sekar sari 11140023 5 vmaWeek 10 peranan sektor pertanian yusinadia sekar sari 11140023 5 vma
Week 10 peranan sektor pertanian yusinadia sekar sari 11140023 5 vma
 
Materi Ngopi Eps. 22 "Pemanfaatan Ulat Sagu sebagai Sumber Protein Potensial"
Materi Ngopi Eps. 22 "Pemanfaatan Ulat Sagu sebagai Sumber Protein Potensial"Materi Ngopi Eps. 22 "Pemanfaatan Ulat Sagu sebagai Sumber Protein Potensial"
Materi Ngopi Eps. 22 "Pemanfaatan Ulat Sagu sebagai Sumber Protein Potensial"
 
tantangan dan peluang bisnis tanaman buah - buahan
tantangan dan peluang bisnis tanaman buah - buahantantangan dan peluang bisnis tanaman buah - buahan
tantangan dan peluang bisnis tanaman buah - buahan
 
Bab i
Bab iBab i
Bab i
 
Peran sektor pertanian
Peran sektor pertanianPeran sektor pertanian
Peran sektor pertanian
 
Rdhp bioindustri pasut
Rdhp bioindustri pasutRdhp bioindustri pasut
Rdhp bioindustri pasut
 
Kearifan lokal dalam bidang pertanian
Kearifan lokal dalam bidang pertanianKearifan lokal dalam bidang pertanian
Kearifan lokal dalam bidang pertanian
 

Similar to Teknologi dan pengembangan agribisnis cabai di kabupaten boalemo provinsi gorontalo juni 2011

Buku_Analisis_NTP_Sebagai_Bahan_Penyusunan_RPJMN_2015-2019.pdf
Buku_Analisis_NTP_Sebagai_Bahan_Penyusunan_RPJMN_2015-2019.pdfBuku_Analisis_NTP_Sebagai_Bahan_Penyusunan_RPJMN_2015-2019.pdf
Buku_Analisis_NTP_Sebagai_Bahan_Penyusunan_RPJMN_2015-2019.pdf
Cristina Ratna
 
Sawit bagian-a
Sawit bagian-aSawit bagian-a
Sawit bagian-a
dinooaku
 
Beberapa isu strategis pengembangan ketahanan pangan indonesia
Beberapa isu strategis pengembangan ketahanan pangan indonesiaBeberapa isu strategis pengembangan ketahanan pangan indonesia
Beberapa isu strategis pengembangan ketahanan pangan indonesia
Darwin Kadarisman
 
Strategi pengembangan komoditas unggulan sektor pertanian tanaman pangan di k...
Strategi pengembangan komoditas unggulan sektor pertanian tanaman pangan di k...Strategi pengembangan komoditas unggulan sektor pertanian tanaman pangan di k...
Strategi pengembangan komoditas unggulan sektor pertanian tanaman pangan di k...
anif fahmi
 
Laporan Penelitian Karet Final
Laporan Penelitian Karet FinalLaporan Penelitian Karet Final
Laporan Penelitian Karet Final
zakky fathoni
 
10.2 peranan sektor pertanian terhadap perekonomian
10.2 peranan sektor pertanian terhadap perekonomian10.2 peranan sektor pertanian terhadap perekonomian
10.2 peranan sektor pertanian terhadap perekonomian
via ultuflia
 

Similar to Teknologi dan pengembangan agribisnis cabai di kabupaten boalemo provinsi gorontalo juni 2011 (20)

Makalah_7 Laporan tugas produksi tanaman 1
Makalah_7 Laporan tugas produksi tanaman 1Makalah_7 Laporan tugas produksi tanaman 1
Makalah_7 Laporan tugas produksi tanaman 1
 
Rptp kajian kedelai lahan kering masam
Rptp kajian kedelai lahan kering masamRptp kajian kedelai lahan kering masam
Rptp kajian kedelai lahan kering masam
 
PENGEMBANGAN USAHA AGROINDUSTRI TOMAT DI JAMBI
PENGEMBANGAN USAHA AGROINDUSTRI TOMAT DI JAMBIPENGEMBANGAN USAHA AGROINDUSTRI TOMAT DI JAMBI
PENGEMBANGAN USAHA AGROINDUSTRI TOMAT DI JAMBI
 
Ekonomi pembangunan
Ekonomi pembangunanEkonomi pembangunan
Ekonomi pembangunan
 
Bab ii-1
Bab ii-1Bab ii-1
Bab ii-1
 
1. defenisi
1. defenisi1. defenisi
1. defenisi
 
BAB I.pdf
BAB I.pdfBAB I.pdf
BAB I.pdf
 
Buku_Analisis_NTP_Sebagai_Bahan_Penyusunan_RPJMN_2015-2019.pdf
Buku_Analisis_NTP_Sebagai_Bahan_Penyusunan_RPJMN_2015-2019.pdfBuku_Analisis_NTP_Sebagai_Bahan_Penyusunan_RPJMN_2015-2019.pdf
Buku_Analisis_NTP_Sebagai_Bahan_Penyusunan_RPJMN_2015-2019.pdf
 
N 4 damanik kakao-
N 4 damanik  kakao-N 4 damanik  kakao-
N 4 damanik kakao-
 
Sawit bagian-a
Sawit bagian-aSawit bagian-a
Sawit bagian-a
 
Proposal Penelitian: Analisis faktor impor beras pekanbaru
Proposal Penelitian: Analisis faktor impor beras pekanbaruProposal Penelitian: Analisis faktor impor beras pekanbaru
Proposal Penelitian: Analisis faktor impor beras pekanbaru
 
67594733 pembangunan-pertanian
67594733 pembangunan-pertanian67594733 pembangunan-pertanian
67594733 pembangunan-pertanian
 
67594733 pembangunan-pertanian
67594733 pembangunan-pertanian67594733 pembangunan-pertanian
67594733 pembangunan-pertanian
 
Beberapa isu strategis pengembangan ketahanan pangan indonesia
Beberapa isu strategis pengembangan ketahanan pangan indonesiaBeberapa isu strategis pengembangan ketahanan pangan indonesia
Beberapa isu strategis pengembangan ketahanan pangan indonesia
 
Rdhp pendampingan kwsn jagung 2018
Rdhp pendampingan kwsn jagung  2018Rdhp pendampingan kwsn jagung  2018
Rdhp pendampingan kwsn jagung 2018
 
Strategi pengembangan komoditas unggulan sektor pertanian tanaman pangan di k...
Strategi pengembangan komoditas unggulan sektor pertanian tanaman pangan di k...Strategi pengembangan komoditas unggulan sektor pertanian tanaman pangan di k...
Strategi pengembangan komoditas unggulan sektor pertanian tanaman pangan di k...
 
Laporan Penelitian Karet Final
Laporan Penelitian Karet FinalLaporan Penelitian Karet Final
Laporan Penelitian Karet Final
 
Bisnis singkong membangun bangsa
Bisnis singkong membangun bangsaBisnis singkong membangun bangsa
Bisnis singkong membangun bangsa
 
10.2 peranan sektor pertanian terhadap perekonomian
10.2 peranan sektor pertanian terhadap perekonomian10.2 peranan sektor pertanian terhadap perekonomian
10.2 peranan sektor pertanian terhadap perekonomian
 
Sucik Puji Utami, Dr. Ceacilia Sri Midarti, M.Si, Diskusi 2.1 Contoh Peneliti...
Sucik Puji Utami, Dr. Ceacilia Sri Midarti, M.Si, Diskusi 2.1 Contoh Peneliti...Sucik Puji Utami, Dr. Ceacilia Sri Midarti, M.Si, Diskusi 2.1 Contoh Peneliti...
Sucik Puji Utami, Dr. Ceacilia Sri Midarti, M.Si, Diskusi 2.1 Contoh Peneliti...
 

More from NurdinUng

Study of-land-quality-and-land-characteristics-that-determine-the-productivit...
Study of-land-quality-and-land-characteristics-that-determine-the-productivit...Study of-land-quality-and-land-characteristics-that-determine-the-productivit...
Study of-land-quality-and-land-characteristics-that-determine-the-productivit...
NurdinUng
 
Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011
Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011
Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011
NurdinUng
 
Kajian risiko dan aksi adaptasi perubahan iklim sektor spesifik ketahanan pan...
Kajian risiko dan aksi adaptasi perubahan iklim sektor spesifik ketahanan pan...Kajian risiko dan aksi adaptasi perubahan iklim sektor spesifik ketahanan pan...
Kajian risiko dan aksi adaptasi perubahan iklim sektor spesifik ketahanan pan...
NurdinUng
 
Morfologi, sifat fisik dan kimia tanah inceptisols dari bahan lakustrin paguy...
Morfologi, sifat fisik dan kimia tanah inceptisols dari bahan lakustrin paguy...Morfologi, sifat fisik dan kimia tanah inceptisols dari bahan lakustrin paguy...
Morfologi, sifat fisik dan kimia tanah inceptisols dari bahan lakustrin paguy...
NurdinUng
 
Development and rainfed paddy soils potency derived from lacustrine material ...
Development and rainfed paddy soils potency derived from lacustrine material ...Development and rainfed paddy soils potency derived from lacustrine material ...
Development and rainfed paddy soils potency derived from lacustrine material ...
NurdinUng
 

More from NurdinUng (18)

Prosiding seminar nasional pekan pertanian
Prosiding seminar nasional pekan pertanianProsiding seminar nasional pekan pertanian
Prosiding seminar nasional pekan pertanian
 
Prosiding semnas kimia ung nurdin
Prosiding semnas kimia ung nurdinProsiding semnas kimia ung nurdin
Prosiding semnas kimia ung nurdin
 
Pertumbuhan dan hasil tanaman selada (lactuca sativa l.) dengan interval pemb...
Pertumbuhan dan hasil tanaman selada (lactuca sativa l.) dengan interval pemb...Pertumbuhan dan hasil tanaman selada (lactuca sativa l.) dengan interval pemb...
Pertumbuhan dan hasil tanaman selada (lactuca sativa l.) dengan interval pemb...
 
Study of-land-quality-and-land-characteristics-that-determine-the-productivit...
Study of-land-quality-and-land-characteristics-that-determine-the-productivit...Study of-land-quality-and-land-characteristics-that-determine-the-productivit...
Study of-land-quality-and-land-characteristics-that-determine-the-productivit...
 
Uji kurang satu pupuk n, p, dan k terhadap pertumbuhan jagung di dutohe agust...
Uji kurang satu pupuk n, p, dan k terhadap pertumbuhan jagung di dutohe agust...Uji kurang satu pupuk n, p, dan k terhadap pertumbuhan jagung di dutohe agust...
Uji kurang satu pupuk n, p, dan k terhadap pertumbuhan jagung di dutohe agust...
 
Serapan hara n, p dan k tanaman jagung (zea mays l.) di dutohe agustus 2012
Serapan hara n, p dan k tanaman jagung (zea mays l.) di dutohe agustus 2012Serapan hara n, p dan k tanaman jagung (zea mays l.) di dutohe agustus 2012
Serapan hara n, p dan k tanaman jagung (zea mays l.) di dutohe agustus 2012
 
Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011
Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011
Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011
 
Land suitability assessment_for_maize_de
Land suitability assessment_for_maize_deLand suitability assessment_for_maize_de
Land suitability assessment_for_maize_de
 
Laju infiltrasi dan_permeabilitas_tanah-agustus 2012
Laju infiltrasi dan_permeabilitas_tanah-agustus 2012Laju infiltrasi dan_permeabilitas_tanah-agustus 2012
Laju infiltrasi dan_permeabilitas_tanah-agustus 2012
 
Kombinasi teknik konservasi tanah dan pengaruhnya terhadap hasil jagung dan e...
Kombinasi teknik konservasi tanah dan pengaruhnya terhadap hasil jagung dan e...Kombinasi teknik konservasi tanah dan pengaruhnya terhadap hasil jagung dan e...
Kombinasi teknik konservasi tanah dan pengaruhnya terhadap hasil jagung dan e...
 
Kajian risiko dan aksi adaptasi perubahan iklim sektor spesifik ketahanan pan...
Kajian risiko dan aksi adaptasi perubahan iklim sektor spesifik ketahanan pan...Kajian risiko dan aksi adaptasi perubahan iklim sektor spesifik ketahanan pan...
Kajian risiko dan aksi adaptasi perubahan iklim sektor spesifik ketahanan pan...
 
Increasing rice productivity by manipulation of calcium fertilizer in ustic e...
Increasing rice productivity by manipulation of calcium fertilizer in ustic e...Increasing rice productivity by manipulation of calcium fertilizer in ustic e...
Increasing rice productivity by manipulation of calcium fertilizer in ustic e...
 
Morfologi, sifat fisik dan kimia tanah inceptisols dari bahan lakustrin paguy...
Morfologi, sifat fisik dan kimia tanah inceptisols dari bahan lakustrin paguy...Morfologi, sifat fisik dan kimia tanah inceptisols dari bahan lakustrin paguy...
Morfologi, sifat fisik dan kimia tanah inceptisols dari bahan lakustrin paguy...
 
Hasil tanaman jagung yang dipupuk n, p, dan k di dutohe kabupaten bone bolang...
Hasil tanaman jagung yang dipupuk n, p, dan k di dutohe kabupaten bone bolang...Hasil tanaman jagung yang dipupuk n, p, dan k di dutohe kabupaten bone bolang...
Hasil tanaman jagung yang dipupuk n, p, dan k di dutohe kabupaten bone bolang...
 
Evaluasi kesesuaian-lahan-untuk-pengembangan-pisang-di-kabupaten-boalemo-2 se...
Evaluasi kesesuaian-lahan-untuk-pengembangan-pisang-di-kabupaten-boalemo-2 se...Evaluasi kesesuaian-lahan-untuk-pengembangan-pisang-di-kabupaten-boalemo-2 se...
Evaluasi kesesuaian-lahan-untuk-pengembangan-pisang-di-kabupaten-boalemo-2 se...
 
Growth and yield of rice plant by the applications of river sand, coconut and...
Growth and yield of rice plant by the applications of river sand, coconut and...Growth and yield of rice plant by the applications of river sand, coconut and...
Growth and yield of rice plant by the applications of river sand, coconut and...
 
Effect application of sea sand, coconut and banana coir on the growth and yie...
Effect application of sea sand, coconut and banana coir on the growth and yie...Effect application of sea sand, coconut and banana coir on the growth and yie...
Effect application of sea sand, coconut and banana coir on the growth and yie...
 
Development and rainfed paddy soils potency derived from lacustrine material ...
Development and rainfed paddy soils potency derived from lacustrine material ...Development and rainfed paddy soils potency derived from lacustrine material ...
Development and rainfed paddy soils potency derived from lacustrine material ...
 

Recently uploaded

RESUME KEWARGANEGARAAN_7 DAN 9._tugas ke 2pptx
RESUME KEWARGANEGARAAN_7 DAN 9._tugas ke 2pptxRESUME KEWARGANEGARAAN_7 DAN 9._tugas ke 2pptx
RESUME KEWARGANEGARAAN_7 DAN 9._tugas ke 2pptx
mirzagozali2
 
Contoh laporan K3 perusahaan pada tahun 2023 dgn analisis beban kerja
Contoh laporan K3 perusahaan pada tahun 2023 dgn analisis beban kerjaContoh laporan K3 perusahaan pada tahun 2023 dgn analisis beban kerja
Contoh laporan K3 perusahaan pada tahun 2023 dgn analisis beban kerja
IniiiHeru
 
Abortion pills in Jeddah+966543202731/ buy cytotec
Abortion pills in Jeddah+966543202731/ buy cytotecAbortion pills in Jeddah+966543202731/ buy cytotec
Abortion pills in Jeddah+966543202731/ buy cytotec
Abortion pills in Riyadh +966572737505 get cytotec
 
Diac & Triac untuk memenuhi tugas komponen
Diac & Triac untuk memenuhi tugas komponenDiac & Triac untuk memenuhi tugas komponen
Diac & Triac untuk memenuhi tugas komponen
BangMahar
 
4. PENGELOLAAN ALAT MEDIS BEKAS PAKAIhbnbbv PPI DASAR (1).pdf
4. PENGELOLAAN ALAT MEDIS BEKAS PAKAIhbnbbv PPI DASAR (1).pdf4. PENGELOLAAN ALAT MEDIS BEKAS PAKAIhbnbbv PPI DASAR (1).pdf
4. PENGELOLAAN ALAT MEDIS BEKAS PAKAIhbnbbv PPI DASAR (1).pdf
sonyaawitan
 
SIMPUS SIMPUS SIMPUS & E- PUSKESMAS (3).ppt
SIMPUS SIMPUS SIMPUS & E- PUSKESMAS (3).pptSIMPUS SIMPUS SIMPUS & E- PUSKESMAS (3).ppt
SIMPUS SIMPUS SIMPUS & E- PUSKESMAS (3).ppt
EndangNingsih7
 
undang undang penataan ruang daerah kabupaten bogor
undang undang penataan ruang daerah kabupaten bogorundang undang penataan ruang daerah kabupaten bogor
undang undang penataan ruang daerah kabupaten bogor
ritch4
 
Abortion pills in Kuwait salmiyah [+966572737505 ] Get Cytotec in Kuwait city...
Abortion pills in Kuwait salmiyah [+966572737505 ] Get Cytotec in Kuwait city...Abortion pills in Kuwait salmiyah [+966572737505 ] Get Cytotec in Kuwait city...
Abortion pills in Kuwait salmiyah [+966572737505 ] Get Cytotec in Kuwait city...
Abortion pills in Riyadh +966572737505 get cytotec
 
Keracunan bahan kimia,ektasi,opiat,makanan.ppt
Keracunan bahan kimia,ektasi,opiat,makanan.pptKeracunan bahan kimia,ektasi,opiat,makanan.ppt
Keracunan bahan kimia,ektasi,opiat,makanan.ppt
DIGGIVIO2
 

Recently uploaded (20)

RESUME KEWARGANEGARAAN_7 DAN 9._tugas ke 2pptx
RESUME KEWARGANEGARAAN_7 DAN 9._tugas ke 2pptxRESUME KEWARGANEGARAAN_7 DAN 9._tugas ke 2pptx
RESUME KEWARGANEGARAAN_7 DAN 9._tugas ke 2pptx
 
Contoh laporan K3 perusahaan pada tahun 2023 dgn analisis beban kerja
Contoh laporan K3 perusahaan pada tahun 2023 dgn analisis beban kerjaContoh laporan K3 perusahaan pada tahun 2023 dgn analisis beban kerja
Contoh laporan K3 perusahaan pada tahun 2023 dgn analisis beban kerja
 
Bimbingan Teknis Penyusunan Soal Pilihan Berganda 2024.pptx
Bimbingan Teknis Penyusunan Soal Pilihan Berganda  2024.pptxBimbingan Teknis Penyusunan Soal Pilihan Berganda  2024.pptx
Bimbingan Teknis Penyusunan Soal Pilihan Berganda 2024.pptx
 
Alur Pengajuan Surat Keterangan Pindah (Individu) lewat IKD.pdf
Alur Pengajuan Surat Keterangan Pindah (Individu) lewat IKD.pdfAlur Pengajuan Surat Keterangan Pindah (Individu) lewat IKD.pdf
Alur Pengajuan Surat Keterangan Pindah (Individu) lewat IKD.pdf
 
Abortion pills in Jeddah+966543202731/ buy cytotec
Abortion pills in Jeddah+966543202731/ buy cytotecAbortion pills in Jeddah+966543202731/ buy cytotec
Abortion pills in Jeddah+966543202731/ buy cytotec
 
Diac & Triac untuk memenuhi tugas komponen
Diac & Triac untuk memenuhi tugas komponenDiac & Triac untuk memenuhi tugas komponen
Diac & Triac untuk memenuhi tugas komponen
 
4. PENGELOLAAN ALAT MEDIS BEKAS PAKAIhbnbbv PPI DASAR (1).pdf
4. PENGELOLAAN ALAT MEDIS BEKAS PAKAIhbnbbv PPI DASAR (1).pdf4. PENGELOLAAN ALAT MEDIS BEKAS PAKAIhbnbbv PPI DASAR (1).pdf
4. PENGELOLAAN ALAT MEDIS BEKAS PAKAIhbnbbv PPI DASAR (1).pdf
 
SIMPUS SIMPUS SIMPUS & E- PUSKESMAS (3).ppt
SIMPUS SIMPUS SIMPUS & E- PUSKESMAS (3).pptSIMPUS SIMPUS SIMPUS & E- PUSKESMAS (3).ppt
SIMPUS SIMPUS SIMPUS & E- PUSKESMAS (3).ppt
 
undang undang penataan ruang daerah kabupaten bogor
undang undang penataan ruang daerah kabupaten bogorundang undang penataan ruang daerah kabupaten bogor
undang undang penataan ruang daerah kabupaten bogor
 
514034136-Tugas-Modul-4-5-Komputer-Dan-Media-Pembelajaran.pptx
514034136-Tugas-Modul-4-5-Komputer-Dan-Media-Pembelajaran.pptx514034136-Tugas-Modul-4-5-Komputer-Dan-Media-Pembelajaran.pptx
514034136-Tugas-Modul-4-5-Komputer-Dan-Media-Pembelajaran.pptx
 
contoh judul tesis untuk mahasiswa pascasarjana
contoh judul tesis untuk mahasiswa pascasarjanacontoh judul tesis untuk mahasiswa pascasarjana
contoh judul tesis untuk mahasiswa pascasarjana
 
Materi Pajak Untuk BOS tahun 2024 untuk madrasah MI,MTS, dan MA
Materi Pajak Untuk BOS tahun 2024 untuk madrasah MI,MTS, dan MAMateri Pajak Untuk BOS tahun 2024 untuk madrasah MI,MTS, dan MA
Materi Pajak Untuk BOS tahun 2024 untuk madrasah MI,MTS, dan MA
 
DATA MINING : ESTIMASI, PREDIKSI, KLASIFIKASI, KLASTERING, DAN ASOSIASI.ppt
DATA MINING : ESTIMASI, PREDIKSI, KLASIFIKASI, KLASTERING, DAN ASOSIASI.pptDATA MINING : ESTIMASI, PREDIKSI, KLASIFIKASI, KLASTERING, DAN ASOSIASI.ppt
DATA MINING : ESTIMASI, PREDIKSI, KLASIFIKASI, KLASTERING, DAN ASOSIASI.ppt
 
PPT SIDANG UJIAN KOMPREHENSIF KUALITATIF
PPT SIDANG UJIAN KOMPREHENSIF KUALITATIFPPT SIDANG UJIAN KOMPREHENSIF KUALITATIF
PPT SIDANG UJIAN KOMPREHENSIF KUALITATIF
 
Salinan PPT TATA BAHASA Bahasa Indonesia
Salinan PPT TATA BAHASA Bahasa IndonesiaSalinan PPT TATA BAHASA Bahasa Indonesia
Salinan PPT TATA BAHASA Bahasa Indonesia
 
Abortion pills in Kuwait salmiyah [+966572737505 ] Get Cytotec in Kuwait city...
Abortion pills in Kuwait salmiyah [+966572737505 ] Get Cytotec in Kuwait city...Abortion pills in Kuwait salmiyah [+966572737505 ] Get Cytotec in Kuwait city...
Abortion pills in Kuwait salmiyah [+966572737505 ] Get Cytotec in Kuwait city...
 
Keracunan bahan kimia,ektasi,opiat,makanan.ppt
Keracunan bahan kimia,ektasi,opiat,makanan.pptKeracunan bahan kimia,ektasi,opiat,makanan.ppt
Keracunan bahan kimia,ektasi,opiat,makanan.ppt
 
PERTEMUAN 4 himpunan dan fungsi logika fuzzy.ppT
PERTEMUAN 4 himpunan dan fungsi logika fuzzy.ppTPERTEMUAN 4 himpunan dan fungsi logika fuzzy.ppT
PERTEMUAN 4 himpunan dan fungsi logika fuzzy.ppT
 
Hasil wawancara usaha lumpia basah tugas PKWU
Hasil wawancara usaha lumpia basah tugas PKWUHasil wawancara usaha lumpia basah tugas PKWU
Hasil wawancara usaha lumpia basah tugas PKWU
 
materi konsep dan Model TRIASE Bencana.pptx
materi konsep dan Model TRIASE Bencana.pptxmateri konsep dan Model TRIASE Bencana.pptx
materi konsep dan Model TRIASE Bencana.pptx
 

Teknologi dan pengembangan agribisnis cabai di kabupaten boalemo provinsi gorontalo juni 2011

  • 1. Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011 55 TEKNOLOGI DAN PERKEMBANGAN AGRIBISNIS CABAI DI KABUPATEN BOALEMO PROVINSI GORONTALO Nurdin Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo, Jalan Jenderal Sudirman No. 6, Kota Gorontalo 96122 Telp. (0435) 821125, Faks. (0435) 821752, E-mail: ung@ung.ac.id Diajukan: 9 November 2009; Diterima: 3 Januari 2011 ABSTRAK Cabai merupakan komoditas unggulan Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo yang dicanangkan pemerintah daerah melalui program Gemar Malita. Pembangunan agribisnis cabai di kabupaten ini masih pada tahap subsistem on farm, tetapi pengembangannya mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif. Secara finansial, pengembangan cabai lebih menguntungkan dan mempunyai daya saing yang lebih tinggi dibanding jagung dan padi dengan nilai R/C dan B/C cabai masing-masing 2,15 dan 1,87, lebih tinggi daripada dua komoditas unggulan tersebut. Selain itu, cabai merupakan komoditas basis di Kecamatan Tilamuta, Botumoito, Wonosari, dan Paguyaman Pantai. Cabai umumnya dibudidayakan pada tanah Inceptisol, Alfisol, Mollisol, dan Entisol. Namun, lahan ini umumnya telah digunakan untuk komoditas lain atau dikonversi ke penggunaan nonpertanian. Iklim yang kering dan kesuburan tanah yang rendah sampai sedang merupakan faktor pembatas dalam pengembangan cabai di daerah ini. Upaya dan strategi yang dapat ditempuh meliputi konservasi tanah dan air, intensifikasi dan diversifikasi tanaman, pembinaan kearifan lokal, penyuluhan dan pemberian insentif, serta pemberdayaan kelembagaan perdesaan dan penyuluhan. Hal penting lain yang perlu dilakukan adalah mengembangkan kemitraan dengan pihak swasta melalui pola inti-plasma, contract farming, subkontrak, dagang umum, keagenan, dan kerja sama operasional agribisnis. Kata kunci: Cabai, teknologi, agribisnis, Gorontalo ABSTRACT Technology and agribusiness development of chili in Boalemo Regency of Gorontalo Province Chili is a leading commodity in Boalemo Regency, Gorontalo Province endorsed by local government through Gemar Malita program. Chili agribusiness development in this region is still at the farm subsystem stage, but its development has comparative and competitive advantages. Financially, chili development was more profitable and had higher competitiveness than maize and rice with the values of R/C and B/C of chili were 2.15 and 1.87, respectively, higher than those of both commodities. In addition, chili is a main commodity in Tilamuta, Botumoito, Wonosari, and Paguyaman Pantai subdistricts. Chili was commonly cultivated in Inceptisols, Alfisols, Mollisols, and Entisols. However, this land had generally been used for other commodities or converted to nonagricultural use. Dry climate and low to medium soil fertility are limiting factors for chili development in this area. Efforts and strategies that can be taken consist of application of soil and water conservation, crop intensification and diversification, development of local wisdom, agricultural extension service, provision of incentive, and empower rural and agricultural extension institutions. Another important aspect is the development of partnerships with private parties through nucleus plasma partnership, contract farming, sub-contract, general trading, agency, and agribusiness operational cooperation. Keywords: Chili, technology, agribusiness, Gorontalo Pembangunan pertanian berkelan- jutan memiliki tiga tujuan, yaitu tujuan ekonomi dalam rangka efisiensi dan pertumbuhan ekonomi, tujuan sosial yang berkaitan dengan kepemilikan yang berkeadilan, dan tujuan ekologi untuk kelestarian sumber daya alam dan ling- kungan (Sanim 2006). Hal ini sejalan dengan pernyataan Saragih (1997), Jayadinata (1999), dan Nasoetion (1999) bahwa pembangunan pertanian di su- atu wilayah akan berjalan efektif jika dikaitkan dengan tujuan sosial, ekonomi, ekologi maupun sumber daya lainnya. Hortikultura merupakan salah satu subsektor pertanian yang berperan pen- ting dalam mendukung perekonomian nasional, khususnya dalam meningkatkan pendapatan masyarakat. Kontribusi sub- sektor hortikultura terhadap produk do- mestik bruto nasional (berdasarkan harga
  • 2. 56 Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011 berlaku) pada tahun 2005 mencapai Rp61.792,44 triliun, dan meningkat menjadi Rp68.640,39 triliun pada 2006, Rp74.768 triliun pada 2007 (prognosa), dan target menjadi Rp78.292 triliun pada 2008 (Direktorat Jenderal Hortikul- tura 2008). Indonesia dengan potensi sumber daya lahan dan agroklimat yang beragam berpeluang untuk mengem- bangkan berbagai tanaman hortikul- tura tropis, yang mencakup 323 jenis komoditas. Untuk meningkatkan dan memper- tahankan produksi hortikultura, pada 2003 pemerintah mencanangkan program Gerakan Mandiri Hortikultura Tropika (Gema Hortika 2003). Sasaran utama program ini adalah tercapainya tingkat konsumsi buah dan sayuran masyarakat Indonesia masing-masing 65/kg/kapita/ tahun dan nilai ekspor US$ 600 juta pa- da tahun 2003 (Rukmana 2006). Berkaitan dengan itu, berbagai kendala dan masa- lah yang terkait dengan upaya mening- katkan produksi, mutu, dan daya saing produk hortikultura perlu disikapi dengan pendekatan pengembangan hortikultu- ra secara terpadu yang dikenal dengan enam pilar pengembangan hortikultura (Direktorat Jenderal Hortikultura 2008). Enam pilar kegiatan pengembangan hortikultura yaitu: 1) pengembangan kawasan agribisnis hortikultura, 2) pena- taan manajemen rantai pasokan (supply chain management), 3) penerapan budi daya pertanian yang baik (good agri- cultural practices/GAP) dan prosedur operasi standar (POS), 4) fasilitasi ter- padu investasi hortikultura, 5) pengem- bangan kelembagaan usaha, dan 6) peningkatan konsumsi dan akselerasi ekspor. Kegiatan dilaksanakan secara simultan dan terintegrasi antara pusat dan daerah untuk memfasilitasi dan mem- permudah akses swasta dalam mengem- bangkan hortikultura. Salah satu komoditas hortikultura penting adalah cabai. Masyarakat meman- faatkan cabai sebagai rempah dan bumbu masakan, kesehatan, dan bahan baku industri (TanindoAgribusiness Company 2009). Produksi cabai nasional tahun 2009 mencapai 1,75 juta ton dengan hasil rata- rata 6,50 t/ha. Secara kumulatif, produksi cabai telah melebihi kebutuhan konsumsi nasional, yaitu 1,20 juta ton (Fauziah 2010). Namun, data Deptan (2009) me- nunjukkan bahwa sampai tahun 2008 produksi cabai nasional baru mencapai 423,14 ton dengan hasil rata-rata 4,28 t/ ha. Kondisi ini menyebabkan volume ekspor sampai tahun 2008 baru mencapai 6.402,70 ton, sedangkan volume impor lebih tinggi, yakni 16.111,05 ton. Dengan demikian, peluang pengembangan cabai secara nasional terbuka luas. Kebutuhan cabai terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan bertambahnya kebutuhan masya- rakat dan permintaan industri. Bahkan, pada waktu tertentu, terutama menjelang hari raya dan hari besar keagamaan, kebutuhan cabai meningkat melampaui ketersediaannya di pasaran. Akibatnya, harga cabai melambung tinggi. Kompas, Senin 28 Juli 2010 melaporkan harga cabai saat itu mencapai Rp40.000/kg. Oleh karena itu, pengembangan cabai mempu- nyai prospek yang baik dengan menerap- kan sistem agribisnis yang tepat (Saragih 1998;Asriani 2003). Agribisnis merupakan cara melihat pertanian sebagai suatu sistem bisnis, yang terdiri atas beberapa subsistem yang terkait satu sama lain (Satyarini 2009). Saragih (2002) membagi konsep pem- bangunan agribisnis menjadi empat sub- sektor, yaitu subsektor hulu (up stream agribusiness), subsektor usaha tani (on- farm agribusiness), subsektor hilir (down stream agribusiness), dan subsektor jasa penunjang (supporting system agri- business). Satyarini (2009) menegaskan bahwa azas dalam pengembangan agri- bisnis antara lain adalah terpusat (cen- tralized), efisien (efficient), menyeluruh dan terpadu (holistic and integrated), dan kelestarian lingkungan (environ- mental sustainability). Potensi pengembangan agribisnis cabai terbuka luas di luar Jawa, terutama di Provinsi Gorontalo. Sejak ditetapkan sebagai komoditas unggulan kedua di provinsi ini, luas panen cabai sampai 2008 mencapai 1.693 ha dengan produksi 10.891,70 ton (BPS Provinsi Gorontalo 2009). Produksi yang tinggi sering me- nyebabkan turunnya harga cabai di pasar hingga Rp5.000/kg, padahal menjelang hari raya keagamaan, harga cabai melon- jak mencapai Rp50.000/kg (Imran 2008). Dari aspek budi daya, usaha tani cabai di Gorontalo menghadapi berbagai per- masalahan, seperti kekeringan, kurangnya ketersediaan benih unggul, terbatasnya tenaga kerja, rendahnya diseminasi tek- nologi, tingginya biaya transportasi, minimnya infrastruktur, dan rendahnya jaminan harga. Hal ini menyebabkan laju peningkatan produksi cabai cenderung fluktuatif. Imran (2008) melaporkan masih banyak petani cabai di Gorontalo yang menggunakan faktor-faktor produksi secara tidak efisien, seperti bibit, pupuk SP36 dan KCl, dan fungisida. Di samping itu, pengembangan cabai di daerah ini masih pada taraf produksi massal dan wilayah pengembangannya tersebar se- cara tidak merata. Di beberapa tempat, cabai dikembangkan pada lahan dengan kemiringan lebih dari 15%. Kondisi agro- klimat daerah Gorontalo yang termasuk zona E (Oldeman dan Darmiyati 1977) menyebabkan pada bulan-bulan tertentu tanaman cabai mengalami defisit air sehingga peluang gagal panen sangat tinggi (Nurdin et al. 2009). Kabupaten Boalemo merupakan salah satu sentra pengembangan cabai di Pro- vinsi Gorontalo. Kontribusi produksi sampai 2008 mencapai 17,67% terhadap produksi cabai provinsi (BPS Provinsi Gorontalo 2009). Kontribusi tersebut menempatkan Boalemo sebagai penghasil cabai ketiga terbanyak setelah Bone Bolango dan Gorontalo. Masyarakat Pro- vinsi Gorontalo, terutama di Kabupaten Boalemo, sangat lekat dengan cabai sebagai bumbu masakan, selain menjadi pendamping utama makanan pokok. Mario (2009) melaporkan cabai vari- etas lokal Gorontalo (Malita FM) mengan- dung kalori 75,54 kkal, protein 6,16%, lemak 2,06%, karbohidrat 8,09%, kalsium 0,04%, fosfor 1,96 ppm, besi 0,006%, vitamin C 67,92 mg/100 g, dan air 78,58% (Gambar 1). Cabai juga mengandung minyak atsiri kapsikol yang dapat meng- gantikan fungsi minyak kayu putih (Seti- adi 2001). Makalah ini mengulas teknologi dan perkembangan agribisnis cabai di Kabu- paten Boalemo berdasarkan status agri- bisnis, keunggulan komoditas, potensi, masalah, dan prospek pengembangannya. Diulas pula perbandingan hasil analisis usaha tani cabai dengan komoditas ung- gulan lain untuk mengetahui keunggulan pengembangan cabai. PERKEMBANGAN AGRIBISNIS DI KABUPATEN BOALEMO Berdasarkan pola dasar pembangunan Kabupaten Boalemo tahun 20012005, pengembangan pertanian diarahkan pa- da kawasan Paguyaman sebagai pusat
  • 3. Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011 57 pengembangan agribisnis, yang meru- pakan wilayah strategis bagi pengem- bangan produksi, pengolahan, dan pema- saran komoditas pertanian unggulan. Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu prioritas pembangunan Kabupaten Boa- lemo tahun 20012005 adalah program unggulan pertanian dengan sasaran meningkatkan ketahanan pangan dan agribisnis untuk kesejahteraan masya- rakat miskin. Rencana kerja pemerintah daerah (RKPD) 2007 menyebutkan bahwa pembangunan pertanian ditempuh de- ngan program prioritas revitalisasi perta- nian (Bappeda Kabupaten Boalemo 2009). Sasaran yang akan dicapai adalah mening- katkan pertumbuhan sektor pertanian yang telah memberikan kontribusi 37,55% dari PDRB Kabupaten Boalemo (BPS Kabupaten Boalemo 2009). Sasaran khu- susnya adalah meningkatkan produksi hortikultura, mengembangkan lahan ter- lantar, serta meningkatkan sarana dan prasarana infrastruktur perdesaan untuk mendorong kegiatan ekonomi dan kese- jahteraan masyarakat desa (Bappeda Kabupaten Boalemo 2009). Program agropolitan yang dicanang- kan pemerintah Provinsi Gorontalo disi- nergikan dengan program pembangunan Kabupaten Boalemo melalui pengem- bangan cabai selain jagung. Komoditas ini merupakan entry point programGemar Malita atau Gerakan Masyarakat Mena- nam Cabai Hasilnya Menjadi Unggulan Daerah yang dicanangkan pemerintah daerah sejak tahun 2008 (Bappeda Kabu- paten Boalemo 2009). Program ini me- netapkan beberapa kecamatan sebagai sentra produksi cabai, antara lain Pagu- yaman Pantai dan Botumoito. Dengan demikian, pengembangan cabai telah memiliki payung hukum yang jelas. Pencanangan program Gemar Malita sebagai program unggulan daerah ber- implikasi pada luas penggunaan lahan pertanian untuk pengembangan cabai di Kabupaten Boalemo (Nurdin et al. 2009). Hal ini terlihat pada sasaran pengem- bangan cabai tahun 20072011 berdasar- kan estimasi dan program perluasan areal tanam dan panen (Tabel 1). Kinerja masing-masing kecamatan dalam me- nyumbang produksi cabai kabupaten disajikan pada Tabel 2. Tampak bahwa program Gemar Malita meningkatkan produksi maupun luas tanam cabai (BPS Kabupaten Boalemo 2009). Kontribusi terbesar diberikan oleh Kecamatan Pagu- yaman Pantai, yakni 47,80%, dan terendah Kecamatan Wonosari, yaitu 5,50%. Pengembangan agribisnis cabai di Boalemo secara umum masih pada taraf produksi massal dan tersebar secara tidak merata di hampir seluruh wilayah. Jika diklasifikasi berdasarkan lingkup pemba- ngunan sistem agribisnis (Saragih 2002), dari subsistem hulu sampai hilir belum ada industri cabai, kecuali pemasaran atau distribusi hasil. Cabai umumnya dijual ke pedagang pengumpul dan tengkulak. Hal ini sejalan dengan laporan Baruwadi et al. (2007) bahwa petani mengembangkan usaha tani cabai untuk memenuhi kebu- tuhan sendiri dan sebagian dijual ke pasar serta pedagang pengumpul. Peran koperasi pertanian belum efektif. Pada subsistem on-farm, petani me- ngembangkan usaha tani cabai secara sporadis dan tanpa mempertimbangkan kesesuaian dan konservasi lahan. Cabai dibudidayakan pada lahan miring tanpa tindakan konservasi tanah dan air se- hingga mengakibatkan erosi tanah dan kekeringan serta gagal panen (Nurdin et al. 2009). Subsistem jasa pendukung kondisinya lebih baik dengan adanya transportasi jalan desa dan jalan protokol, termasuk jalan trans Sulawesi. Adanya SMK pertanian di Kecamatan Paguyaman dan Wonosari dapat menyediakan SDM terampil. Kebijakan pemerintah daerah juga sangat mendukung program pengem- bangan cabai sebagai komoditas ung- gulan. Namun, perkreditan (modal usaha Gambar 1. Cabai rawit varietas Malita FM yang dikembangkan di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo. Tabel 1. Sasaran pengembangan komoditas cabai di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo, 20072012. Tahun Sasaran Luas tanam Luas panen Produktivitas Produksi1 (ha) (ha) (t/ha) (t) 2007 355 350 5,5 1.925 2008 375 370 5,6 2.072 2009 495 490 5,7 2.793 20102 520 515 5,8 2.987 20112 650 615 5,9 3.628 20122 684 680 6,0 4.080 1 Sasaran kenaikan produksi cabai 15%/tahun. 2 Data estimasi (target capaian). Sumber: Bappeda Kabupaten Boalemo (2009).
  • 4. 58 Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011 tani) dan kelembagaan petani relatif minim sehingga perlu dibenahi dan di- berdayakan. KEUNGGULAN KOMODITAS CABAI Komoditas unggulan merupakan komo- ditas yang layak diusahakan karena mem- berikan keuntungan kepada petani, baik secara biofisik, sosial maupun ekonomi. Suatu komoditas layak dikembangkanjika komoditas tersebut diusahakan sesuai dengan zona agroekologinya, mampu memberi peluang berusaha, serta dapat dilakukan dan diterima masyarakat se- tempat sehingga berdampak pada penye- rapan tenaga kerja dan secara ekonomi menguntungkan (Susanto dan Sirappa 2007). Syafruddin et al. (2004) menyatakan, penetapan komoditas unggulan di suatu wilayah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi usaha tani dan memacu per- dagangan antardaerah dan antarnegara. Selanjutnya Rachman (2003) menyatakan, pada era pasar bebas, hanya komoditas yang diusahakan secara efisien dari sisi teknologi dan sosial ekonomi serta mem- punyai keunggulan komparatif dan kom- petitif yang mampu bersaing secara ber- kelanjutan dengan komoditas yang sama dari wilayah lain. Penentuan komoditas unggulan penting karena ketersediaan dan kemampuan sumber daya alam, modal, dan SDM untuk menghasilkan dan mema- sarkan semua komoditas yang diproduksi di suatu wilayah secara simultan relatif terbatas (Susanto dan Sirappa 2007). Penetapan komoditas unggulan perta- nian di suatu daerah perlu memerhatikan keunggulan komparatif dan kompetitifnya (Baruwadi et al. 2007). Keunggulan komparatif komoditas dari suatu daerah tercipta dari interaksi antara kelimpahan sumber daya (biofisik), penguasaan tek- nologi, dan kemampuan manajerial dalam kegiatan pengembangan komoditas yang bersangkutan. Keunggulan kompetitif merupakan hasil interaksi antara keung- gulan komparatif dan distorsi pasar. Pada kondisi perekonomian yang tidak menga- lami distorsi sama sekali, keunggulan kompetitif juga merupakan keunggulan komparatif. Keunggulan komparatif wilayah dapat diketahui berdasarkan analisis finansial dan metode location quotient (LQ). Nurdin et al. (2009) menyatakan, usa- ha tani cabai per tahun di Kabupaten Boalemo layak dan menguntungkan dengan nilai R/C dan B/C masing-masing 2,15 dan 1,87 (Tabel 3). Menurut Soekar- tawi (1995), usaha tani suatu komoditas akan menguntungkan jika nilai R/C atau B/C >1. Selain itu, komoditas cabai mem- punyai daya saing yang lebih tinggi (kompetitif) dibanding jagung dan padi dengan nilai R/C dan B/C cabai lebih tinggi dibanding dua komoditas tersebut. Salah satu pendekatan yang dikem- bangkan Badan Litbang Pertanian untuk menentukan komoditas unggulan adalah dengan metode LQ. Nilai LQ >1 artinya sektor basis, yaitu komoditas ‘x’ di suatu wilayah memiliki keunggulan komparatif (produksi melebihi kebutuhan sehingga dapat dijual ke luar wilayah). Nilai LQ = 1 artinya sektor nonbasis, yaitu komoditas ‘x’ di suatu wilayah tidak memiliki ke- unggulan (produksi hanya cukup untuk konsumsi sendiri). Nilai LQ < 1 artinya sektor nonbasis, yaitu komoditas ‘x’ pada suatu wilayah tidak dapat memenuhi kebutuhan sendiri sehingga perlu pasok- an dari luar wilayah. Susanto dan Sirappa (2007) menyatakan, penentuan komoditas unggulan berdasarkan analisis LQ ku- rang memperhitungkan luas lahan untuk usaha tani suatu komoditas, namun lebih menekankan pada kecenderungan pe- ningkatan luas panen dan produksi di- banding produksi komoditas lainnya. Baruwadi et al. (2007) melaporkan, cabai merupakan komoditas basis di dua kecamatan di Boalemo, yaitu Paguyaman Pantai dan Mananggu (Tabel 4). Selanjut- nya Nurdin et al. (2009) menyatakan cabai merupakan komoditas basis di Kecamatan Tilamuta, Botumoito, Wonosari, dan Pa- guyamanPantaidengannilai LQ 1,151,83 (Tabel 5). Hal ini berarti produksi cabai di empat kecamatan tersebut mengalami surplus 1,151,83 kali lebih besar diban- ding kebutuhan sendiri. Pengembangan cabai menyebar di semua kecamatan di Tabel 2. Luas tanam dan produksi cabai setiap kecamatan di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo, sampai tahun 2007. Kecamatan Luas panen Produksi Produktivitas Kontribusi produksi (ha) (t) (t/ha) (%) Mananggu 55 318 5,8 16,5 Tilamuta 41 195 4,8 10,1 Botumoito 25 125 5,0 6,5 Dulupi 30 152 5,1 7,9 Paguyaman 23 110 4,8 5,7 Paguyaman Pantai 155 920 5,9 47,8 Wonosari 21 105 5,0 5,5 Kabupaten 2007 350 1.925 5,5 100 Boalemo 2006 264 725 2,7 2005 221 436 2,0 Sumber: BPS Kabupaten Boalemo (2009). Tabel 3. Analisis finansial komoditas cabai di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo. Pendapatan Komoditas Jumlah input (Rp) R/C Gross margin B/C (Rp) (Rp) (dis.rate 15%) Padi 10.177.826 20.709.615 2,03 10.531.788 1,77 Jagung 4.792.105 10.105.263 2,11 5.313.157 1,83 Cabai 3.331.666 7.166.666 2,15 3.835.000 1,87 Sumber: Nurdin et al. (2009).
  • 5. Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011 59 Kabupaten Boalemo, hanya sedikit terjadi pemusatan di Kecamatan Paguyaman Pantai dengan nilai 0,23. Hal ini sejalan dengan pendapat Baruwadi et. al (2007), bahwa cabai bukan merupakan komoditas yang spesial dan pengembangannya menyebar di seluruh kecamatan. POTENSI KABUPATEN BOALEMO UNTUK PENGEMBANGAN CABAI Berdasarkan data BPS Kabupaten Boa- lemo (2009), luas lahan pertanian di Kabupaten Boalemo mencapai 83.024 ha atau 32,35% dari luas total wilayah kabupaten ini. Dari luas lahan pertanian tersebut, 3.553 ha atau 39,21% merupakan ladang atau huma dan 32.266 ha atau 38,86% berupa tegalan atau kebun. Peng- gunaan lahan tegalan untuk budi daya cabai meningkat sampai tahun 2007, yaitu 32.260 ha atau 12,78% dari tahun 2006 dan 10,80% dari tahun 2005. Luas ladang sebagai salah satu areal budi daya cabai juga meningkat pada tahun 2007 sebesar 1,82% dari 2006, tetapi menurun 1,39% dibandingkan tahun 2005. Penurunan tersebut karena ladang dikonversi ke Survey Staff (2006), tanah di wilayah ini terdiri atas Entisol, Inceptisol, Vertisol, Mollisol, Alfisol, dan Histosol (BPTP Gorontalo 2002; Nurdinet al. 2009). Lebih lanjut Nurdin et al. (2009) melaporkan cabai dominan dibudidayakan pada tanah Inceptisol,Alfisol, Mollisol, dan Entisol. Vertisol dimanfaatkan untuk padi sawah dan Histosol merupakan hutan bakau (mangrove) di pesisir pantai selatan. Potensi pengembangan komoditas pertanian, termasuk cabai ditentukan antara lain oleh tingkat kesesuaian lahan (Hikmatullah et al. 2008). Menurut hasil analisis potensi sumber daya lahan (BPTPGorontalo2002;Nurdinetal.2009), Kabupaten Boalemo dapat dikelompok- kan menjadi empat kawasan pengem- bangan (Tabel 6). Komoditas cabai dapat dikembangkan pada wilayah dengan lereng < 8%, berupa lahan basah dan lahan kering dataran rendah (< 700 m dpl) yang meliputi luas 76.353,32 ha. Wilayah ini sesuai untuk pertanian dengan risiko penghambat ringan atau termasuk kelas sangat sesuai, cukup sesuai, dan sesuai marginal. Sebarannya meliputi landform dataran aluvial dan aluvio-koluvial di sekitar wilayah DAS serta di Kecamatan Paguyaman Pantai, Paguyaman, Manang- gu, Dulupi, Tilamuta, dan Batumoito. MASALAH DAN PROSPEK PENGEMBANGAN CABAI Biofisik Lahan Topografi permukaan tanah di Kabupaten Boalemo sebagian besar berupa perbu- kitan, dengan ketinggian tempat bervariasi dari 0 sampai2.000 m dpl (Tim Fahutan IPB 2008; BPSKabupatenBoalemo 2009). Ketinggian tempat berkaitan erat dengan fisiografi kawasan. Fisiografi merupakan salah satu faktor pembatas sebagai tolok ukur kelayakan lahan untuk diusahakan sebagai kawasan budi daya. Menurut Nurdin et al. (2009), kemiringan lahan di wilayah Kabupaten Boalemo bervariasi dari 0–2% sampai > 40%. Berdasarkan data iklim selama 10 tahun terakhir (1997 2008) dari Dinas PU (2009), wilayah Kabupaten Boalemo memiliki perbedaan musim kemarau dan musim hujan yang jelas. Curah hujan tahunan berkisar antara 1.0211.253mm.MenurutRukmana(2006), curah hujan yang baik untuk pertumbuhan cabai berkisar antara 6001.250 mm. De- Tabel 4. Keunggulan komparatif komoditas unggulan berdasarkan aspek wilayah di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo, 2007. Komoditas LQ1 SI2 Kecamatan basis Jumlah Persentase Padi 0,39 0,40 3 42,85 Jagung 0,34 0,88 4 57,14 Cabai 0,12 0,29 2 28,57 1 LQ = location quotient, 2 SI = specialization index. Sumber: Baruwadi et al. (2007). Tabel 5. Keunggulan komparatif komoditas cabai berdasarkan aspek wilayah di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo, 2009. Kecamatan LQ1 LI2 SI3 Mananggu 0,73 -0,03 -0,09 Tilamuta 1,834 0,14 0,28 Botumoito 1,594 -0,05 0,19 Dulupi 0,38 -0,003 -0,21 Paguyaman 0,89 0,004 -0,04 Paguyaman Pantai 1,152 0,23 0,05 Wonosari 1,392 -0,003 0,13 1 LQ = location quotient; 2 LI = localization index; 3 SI = specialization index; 4 Kecamatan basis (LQ >1). Sumber: Nurdin et al. (2009). penggunaan pertanian lainnya dan ke nonpertanian, seperti permukiman. Luas wilayah Kabupaten Boalemo 2.571,36 km2 dan luas lahan untuk pengembangan cabai 76.353,32 ha (BPS Kabupaten Boalemo 2009; Bappeda Kabupaten Boalemo 2009; Nurdin et al. 2009). Namun, potensi sumber daya lahan tersebut belum dimanfaatkan secara optimal dan sebagian berstatus lahan tidur. Tanaman cabai memerlukan persya- ratan tumbuh dan pengembangan ter- tentu untuk berproduksi secara optimal sesuai dengan sifat genetik dan lingkung- annya (FAO 1967; Djaenudin et al. 2000). Sifat dan karakteristik sumber daya lahan beragam di setiap tempat sesuai dengan kondisi wilayah. Lebih lanjut Djaenudin et al. (2000) menyatakan, komoditas pertanian harus diusahakan sesuai de- ngan persyaratan tumbuh agar berpro- duksi optimal dengan kualitas hasil prima dan input yang rendah sehingga hasilnya berdaya saing di pasaran. Tanah-tanah di Kabupaten Boalemo umumnya terbentuk dari bahan aluvium dan volkan, bersifat andesitik-basaltik pada kondisi iklim kering, dan topografi datar hingga berbukit (BPTP Gorontalo 2002). Sesuai dengan klasifikasi Soil
  • 6. 60 Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011 ngan demikian, curah hujan menjadi salah satu pembatas karena intensitasnya ren- dah. Menurut Oldeman dan Darmiyati (1977), Boalemo termasuk dalam zona agroklimat E3 dan E4 dengan bulan basah kurang dari 2 bulan dan bulan kering 47 bulan. Musim kemarau panjang terjadi pada Juli-November (Nurdin et al. 2009). Bahan induk tanah di daerah ini dapat dibedakan menjadi 1) endapan aluvium yang menutupi dataran banjir sungai, 2) endapan danau yang bersusunan liat berwarna kelabu padat, 3) batuan volkan andesitik-basaltik, dan 4) batuan intrusi yang terdiri atas diorit, granit, dan grano- diorit yang umumnya sudah melapuk. Se- ring dijumpai sisipan kapur pada bagian celah yang diduga sebagai hasil kontak dengan air laut (Bachri et al. 1993; BPTP Gorontalo 2002). Kandungan mineral sukar lapuk lebih dominan daripada mineral mudah lapuk (Nurdin et al. 2009). Dominasi mineral fraksi pasir berupa kuarsa dan opak dalam jumlah sedikit serta masih dijumpainya konkresi besi menunjukkan bahwa tingkat kesuburan tanah di daerah ini tergolong rendah sam- pai sedang sehingga pengembangan ko- moditas cabai membutuhkan pemupukan. Ketersediaan dan Persaingan Pemanfaatan Lahan Menurut Mulyani dan Las (2008), lahan yang dianggap tersedia adalah lahan yang sesuai yang saat ini belum dimanfaatkan secara optimal untuk pertanian, baik berupa padang alang-alang, semak belukar maupun kawasan hutan (hutan produksi atau hutan konversi). Namun, lahan ter- sebut belum diketahui status kepemilik- annya sehingga dapat berupa tanah milik negara, masyarakat atau lahan hak pe- nguasaan hutan (HPH)/hak guna usaha (HGU) yang diterlantarkan, lahan bekas hutan yang terbakar, atau tanah ulayat. Hal ini sejalan dengan pendapat Jamal et al. (2002) bahwa kepemilikan dan pengu- asaan lahan pertanian di perdesaan bukan masalah baru. Menurut Abdurachman et al. (2008), luas penguasaan lahan rata-rata nasional menurun dari 0,86 ha pada tahun 2003 menjadi 0,73 ha per rumah tangga petani (RTP) pada tahun 2007. Sejalan dengan itu, jumlah petani gurem (luas lahan < 0,50 ha) meningkat dari 10,80 juta RTP pada tahun 1993 menjadi 13,70 juta pada tahun 2003, atau rata-rata naik 2,40%/tahun. Lahan yang potensial untuk pengem- bangan cabai umumnya terletak pada lereng < 10%. Namun, lahan ini sudah dimanfaatkan untuk tanaman pangan dan perkebunan. Pengembangan cabai saat ini dilakukan pada lahan dengan kemi- ringan >10%, bahkan kebanyakan pada lahan miring (> 25%). Husain et al. (2005) melaporkan, erosi tanah dari lahan per- tanian di sub-DAS Dulupi Kabupaten Boalemo mencapai 1,081 t/ha/tahun. Hal ini karena budi daya cabai belum mene- rapkan teknik konservasi tanah sehingga menimbulkan erosi. Program agropolitan jagung juga men- jadi pesaing dalam penggunaan lahan yang sesuai untuk cabai. Luas lahan untuk pengembangan jagung sampai tahun 2008 mencapai 30.794 ha, sedangkan luas pe- ngembangan cabai pada tahun yang sama baru 355 ha (BPS Kabupaten Boalemo 2009). Di samping itu, pengembangan cabai sebelum pencanangan program Gemar Malita hanya pada areal sempit dan skala rumah tangga (subsisten) atau sebagai dapur hidup. Akibatnya, luas pengembangan cabai berkorelasi dengan luas kepemilikan lahan pertanian dan lahan pekarangan. Prospek Pengembangan Agribisnis Cabai Berdasarkan aspek sumber daya lahan, lahan yang tersedia secara aktual untuk pengembangan cabaimencakup 76.353,32 ha atau 36,74% dari luas total (Nurdin et al. 2009). Jika menggunakan asumsi yang dikemukakanMulyani danLas (2008) serta data BPS (2008), luas lahan tersedia secara potensial mencapai 92.470 ha atau 44,50% dari luas total wilayah. Dengan demikian, masih tersedia lahan yang luas untuk pengembangan cabai. Guna memenuhi kebutuhan cabai yang terus meningkat sekaligus mem- berikan multiplier effect terhadap pem- bangunan wilayah, diperlukan strategi untuk meningkatkan produksi tanpa mengabaikan kelestarian lingkungan. Tabel 6. Potensi pengembangan komoditas pertanian di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo. Sistem pertanian Alternatif komoditas Luas ha % Pertanian lahan basah, tanaman pangan, Padi, jagung, ubi kayu, cabai, tomat, 20.975,0 10,09 hortikultura, perkebunan pisang, kelapa, kakao Pertanian lahan kering, tanaman pangan, Jagung, kacang tanah, kedelai, ubi kayu, cabai, 16.457,4 7,92 hortikultura, perkebunan tomat, bawang merah Pertanian lahan kering, tanaman perkebunan, Pisang, kelapa, jambu mete, mangga, rambutan, 26.726,8 12,86 tanaman pangan tebu, jagung, kapas Durian, rambutan, jagung, ubi kayu, jati, jambu mete 16.410,4 7,90 Pertanian lahan kering, tanaman perkebunan Jambu mete, jati, durian, rambutan, 17.338,1 8,34 Jati, jambu mete 73.249,1 35,25 Hutan 34.600,9 16,65 Penggunaan lainnya (nonpertanian) 2.060,6 0,99 Jumlah 207.818,30 100 Sumber: BPTP Gorontalo (2002); Nurdin et al. (2009).
  • 7. Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011 61 Strategi yang dapat ditempuh meliputi aspek teknis, sosial budaya, dan kelemba- gaan. Aspek Teknis Konservasi tanah dan air Sistem pertanian berkelanjutan mensya- ratkan penerapan konservasi tanah dan air (Arsyad 2006). Dalam menerapkan konservasi tanah dan air, Douglas (1992) mengajukan dua pendekatan, yaitu pe- rencanaan konservasi tanah harus meng- utamakan petani (farmer first approach) dan penerapan konservasi tanah harus ramah dengan petani (farmer friendly). Menurut Arsyad (2006), tantangan penerapan kedua pendekatan tersebut adalah mempertemukan perspektif yang berbeda antara petani dan perencana konservasi tentang kegawatan dan sifat masalah yang dihadapi serta cara yang tepat mengatasinya. Lebih lanjut dinya- takan bahwa dalam menaksir kesesuaian rekomendasi di tingkat lapangan, ada delapan butir pertimbangan, yaitu: 1) secara teknis mungkin dilakukan, 2) secara praktis layak, 3) secara finansial diinginkan bersama, 4) bersifat stabil, 5) berkelanjutan, 6) berlaku umum, 7) ekonomis, dan 8) secara sosial diterima masyarakat. Pendekatan teknis dapat dilakukan melalui pengolahan tanah minimal, biasa- nya hanya di sekitar lubang tanam atau jalur tanaman dengan frekuensi pengo- lahan tanah minimal. Hal ini dilakukan karena pengolahan tanah intensif dapat merusak struktur tanah serta menurunkan kapasitas infiltrasi tanah dan daya hantar air (Husain et al. 2002; Pomalingo dan Husain 2003), serta kualitas kimia dan biologis tanah (Lorenz et al. 2000). Hasil penelitian Rachman et al. (2004) menun- jukkan, pengolahan tanah yang berle- bihan dapat menyebabkan kekahatan bahan organik tanah. Menurut Husain et al. (2002), pengolahan tanah minimal menambah jumlah pori makro sehingga meningkatkan infiltrasi dan menekan aliran permukaan serta erosi tanah. Pada lahan dengan lereng 08%, kon- servasi tanah secara vegetatif dapat di- kombinasikan dengan metode mekanik, yaitu pengolahan tanah menurut kontur + pembuatan guludan + strip cropping. Sementara itu, pada lahan dengan lereng < 5% dapat diterapkan teras gulud + pengolahan tanah menurut kontur + mulsa (Arsyad 2006). Noorhadi dan Sudadi (2003) melaporkan, pemberian mulsa memberikan pengaruh nyata terhadap iklim mikro dan hasil cabai yang lebih baik pada tanah Entisol. Suripin (2000) mengemukakan bahwa metode vegetatif adalah penggunaan tumbuhan dan sisa- sisanya sebagai sarana konservasi tanah untuk mengurangi daya rusak hujan, aliran air permukaantanah, dan erosi. Pada lahan dengan lereng 815%, metode mekanik dapat dikombinasikan dengan metode vegetatif karena efektif mengen- dalikan erosi, yaitu teras gulud/teras kredit + pengolahan tanah menurut kontur + mulsa atau teras bangku + mulsa + tanaman penutup tanah berkerapatan tinggi (Dariah et al. 2004; Santoso et al. 2004; Joseph (2005). Teknik konservasi ini juga cepat diadopsi petani (Abdurach- man et al. 2008). Rachman (1993) menya- takan proses pembentukan teras pada sistem pertanian lorong terjadi secara bertahap dan mulai efektif setelah tiga tahun. Intensifikasi dan diversifikasi tanaman Intensifikasi dapat dilakukan pada tanam- an cabai yang telah ada (Mulyani dan Las 2008) dan dapat dikembangkan pada kecamatan yang merupakan basis cabai (Nurdin et al. 2009). Kesenjangan pro- duksi cabai antarkabupaten di Provinsi Gorontalo mengindikasikan program intensifikasi dengan menerapkan inovasi teknologi yang tepat dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas. Paket teknologi yang telah ada perlu diseleksi agar lebih tepat guna, sesuai dengan kondisi lahan (tanah, air, dan iklim) dan petani (Abdurachman et al. 2008). Produksi cabai dapat dipacu melalui pembangunan irigasi suplemen, terutama pada lahan kering agar lahan dapat diusa- hakan sepanjang tahun. Menurut Mulyani dan Las (2008), irigasi pada lahan kering belum mendapat perhatian pemerintah dibandingkan dengan lahan sawah. Pene- rapan inovasi teknologi seperti varietas unggul, pemupukan berimbang, dan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) dapat meningkatkan produksi cabai di lahan kering. BPTP Gorontalo (2002)telahmembuat rekomendasi pengelolaan tanaman cabai umur 6 bulan berdasarkan kebutuhan hara tanaman dan kandungan hara tanah, yaitu kebutuhan bibit 20.00027.000 batang/ha untuk jarak tanam 40 cm x 50 cm, pupuk organik 7,5015 t/ha, urea 225370 kg/ha, SP36 70140 kg/ha, dan KCl 82165 kg/ha. Dengan menerapkan rekomendasi tersebut, hasil cabai mencapai 815 t/ha. Cabai sebaiknya ditanam saat hujan mulai berkurang. Dosis pemupukan tersebut sebatas pertimbangan kebutuhan tanaman yang dikaitkan dengan ketersediaan hara dalam tanah (Nurdin et al. 2009). Untuk memantapkannya, rekomendasi pemu- pukan perlu diikuti dengan uji tanah dan percobaan lapangan sebagai dasar dalam menyusun rekomendasi pemupukan. Beberapa keuntungan pengembangan cabai secara intensif (Zulkifli et al. 2008) yaitu: 1) meningkatkan produksi untuk memenuhi permintaan skala nasional maupun ekspor, 2) mengintensifkan pemanfaatan sumber daya lahan, baik pekarangan, lahan kering maupun lahan sawah, 3) mengoptimalkan pemanfaatan tenaga kerja dan bahan baku seperti pupuk kandang dan jerami padi, 4) meningkatkan konsumsi cabai sebagai sumber gizi, 5) memperbaiki pendapatan dan kesejahteraan petani serta keluarga- nya, dan 6) memperbaiki kesuburan tanah bila cabai dirotasi dengan tanaman lain. Pengembangan cabai saat ini masih di- lakukan pada areal yang sempit atau sebagai dapur hidup. Oleh karena itu, perlu dilakukan intensifikasi secara ber- tahap melalui penerapan inovasi tekno- logi spesifik lokasi dan ramah ling- kungan. Diversifikasi merupakan upaya meng- anekaragamkan pemanfaatan lahan, baik dengan tumpang sari, tanaman sela maupun rotasi (Mulyani dan Las 2008). Selama ini petani menanam cabai secara monokultur pada lahan terbuka. Adiyoga et al. (2004) menunjukkan bahwa nisbah kesetaraan lahan untuk kombinasi tanam- an cabai dan petsai di Pangalengan, Jawa Barat adalah 1,47, yang berarti total pro- duktivitas dari sistem ganda ini 47% lebih tinggi dibandingkan dengan sistem tung- gal. Dengan kata lain, untuk memperoleh hasil cabai dan petsai, pengusahaannya pada sistem tunggal/monokultur harus 47% lebih luas. Dengan demikian, cabai berpotensi ditumpangsarikan dengan petsai dataran rendah dan tomat. Kabu- paten Boalemo merupakan salah satu sentra tomat daratan rendah (BPS Kabu- paten Boalemo 2009).
  • 8. 62 Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011 Pengusahaan cabai sebagai tanaman sela di antara tanaman kelapa dan pisang juga berpeluang dikembangkan. Selama ini, hampir seluruh lahan perkebunan kelapa di Gorontalo dimanfaatkan untuk menanam jagung. Hal ini memacu masyarakat di provinsi lain untuk mene- rapkan teknik budi daya tersebut (Mul- yani dan Las 2008). Di beberapa lokasi cabai dibudidayakan pada lahan terbuka dengan kemiringan > 25% sehingga di- anjurkan untuk menerapkan konservasi tanah dan air (Joseph 2005;Arsyad 2006). Pemupukan tanaman sela akan mengun- tungkan tanaman pokok karena sebagian pupuk mengalir ke tanaman pokok (Mulyani dan Las 2008). Jarak pagar (Jathropa curcas) yang umumnya dibudidayakan secara mono- kultur dapat ditanam secara tumpang sari dengan cabai dan tomat. Pola tumpang sari memerlukan pengaturan jarak tanam sehingga tanaman tidak saling menaungi. Pergiliran tanaman (rotasi) jagung dan cabai, kacang tanah dan cabai juga dapat diterapkan sebagai salah satu upaya mengendalikan hama penyakit tanaman jagung. Aspek Sosial dan Budaya Budaya huyula atau gotong royong merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang saat ini masih ada, walaupun mulai terkikis oleh perkembangan zaman (Niode 2007). Salah satu kearifan lokal yang masih dipertahankan masyarakat setempat yang berkaitan dengan per- tanian, terutama budi daya cabai, yaitu penentuan waktu tanam berdasarkan ilmu perbintangan, yang dikenal dengan panggoba. Pada prinsipnya, budaya panggoba dipegang oleh seseorang yang dianggap cakap dalam melihat perbintangan lalu mencocokkan tanaman yang sesuai dengan waktu tanam yang tepat. Pranadji (2008) melaporkan, kegiat- an pertanian di Gorontalo merupakan bagian budaya masyarakat setempat yang digerakkan oleh nilai-nilai budaya dan bersumber dari kearifal lokal (local wisdom). Penyuluhan agribisnis cabai mulai dari tahap prapanen sampai pascapanen perlu diperbaiki serta disesuaikan dengan kehi- dupan petani (Simatupang et al. 2003). Penyuluh pertanian harus mampu mem- fasilitasi petani untuk mengembangkan kemitraan usaha agribisnis (Saptana dan Ashari 2007; Rangkuti 2009). Untuk meningkatkan keefektifan dan efisiensi kegiatan penyuluhan perlu disusun ren- cana kegiatan yang meliputi pembentukan kader petani pelestari sumber daya lahan, pembentukan kelompok tani, kursus petani, kunjungan, dan perlom- baan (Nuryanto et al. 2003). Mengingat petani di daerah ini umumnya tergolong miskin sumber daya maka penyediaan sarana produksi dan permodalan mutlak diperlukan (Sajogyo 2002; Simatupang et al. 2003; Sudaryanto dan Rusastra 2006). Petani perlu dibantu untuk memperoleh sarana produksi yang diperlukan, ter- masuk modal usaha dan kemudahan lain. Pemberian insentif kepada petani juga dapat mendorong mereka mau dan mampu mengoptimalkan sumber daya lahan untuk budi daya cabai. Insentif dapat berupa hibah, subsidi, pinjaman lunak, serta bantuan pangan, sarana pertanian, dan bibit (Nuryanto et al. 2003). Halinisejalan dengan pernyataan Osemebo (1987) bah- wa petani di DAS Way Wesay Lampung dapat melaksanakan program pengem- bangan pertanian yang produktif, eko- nomis, dan ramah lingkungan dengan sistem kontrak konservasi tanah dan air (insentif). Petani yang berhasil akan men- dapat imbalan jasa berupa uang tunai sesuai dengan tingkat keberhasilannya. Hal ini menguntungkan petani karena selain memperoleh hasil dari kegiatan pertanian, lingkungan juga relatif terjaga dari degradasi. Pemberian subsidi pajak (Nuryanto et al. 2003) dan skema imbalan jasa kepada petanicabai yang melestarikan lingkungan pertanamannya melalui kon- trak konservasi (Asha et al. 2006) juga penting agar menjadi contoh bagi petani lainnya. Aspek Kelembagaan Kelembagaan masyarakat dan ekonomi perlu diberdayakan dalam upaya pembi- naan petani. Menurut Rangkuti (2009), kelembagaan merupakan salah satu sumber daya pertanian yang dapat di- kembangkan sebagai kegiatan agribisnis untuk meningkatkan keberdayaan, ke- mandirian, dan kesejahteraan petani. Nuryanto et al. (2003) menyatakan bah- wa badan perwakilan desa (BPD) dan kelompok tani berperan antara lain dalam menggerakkan masyarakat dalam ke- giatan bersama, menumbuhkan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan yang diprakarsai pe- merintah daerah, serta meningkatkan kemandirian petani dalam pembangunan pertanian di perdesaan. Koperasi unit desa (KUD) berperan membantu petani anggotanya dalam memperoleh kredit, sarana produksi, dan alat mesin pertanian, serta menampung dan memasarkan hasil. Rangkuti (2009) menyatakan bahwa KUD perlu ditata ulang dengan pende- katan agribisnis dan sistem ekonomi kerakyatan (kekeluargaan) sesuai dengan kepentingan usaha ekonomi petani. Selain itu, kelembagaan penyuluhan pertanian dan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) dapat menjadi pusat pelayanan dan konsultasi agribisnis (PPKA) di setiap kecamatan melalui sistem penyuluhan partisipatif (Saptana dan Ashari 2007). Pemberdayaan lembaga penyuluhan per- tanian dan BPP perlu dilakukan karena lembaga tersebut berhadapan langsung dengan petani. Kemitraan usaha agribisnis adalah hubungan bisnis usaha pertanian yang melibatkan satu atau sekelompok orang atau badan hukum dengan satu atau kelompok orang atau badan hukum di mana masing-masing pihak memperoleh penghasilan dari usaha bisnis yang sama atau saling berkaitan dengan tujuan menjamin terciptanya keseimbangan, keselarasan, dan keterpaduan yang dilandasi rasa saling menguntungkan, memerlukan, dan saling melaksanakan etika bisnis (Suwandi 1995). Tujuan kemitraan usaha agribisnis cabai antara perusahaan mitra dan petani mitra adalah meningkatkan efisiensi dan produktivitas di segala lini subsistem agribisnis dan menciptakan nilai tambah ekonomi yang merupakan kunci peningkatan daya saing (Saptana et al. 2005). Pengembangan kemitraan usaha agri- bisnis akan berhasil jika dilakukan secara partisipatif, yaitu melibatkan seluruh pelaku agribisnis dalam proses peren- canaan, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi (Syahyuti 2006). Dengan cara ini diharapkan dapat tercapai stabilitas dan kontinuitas produksi, pendapatan, dan kesinambungan usaha (Saptana danAshari 2007). Pengembang- an kemitraan agribisnis cabai dengan pihak swasta perlu dilakukan dengan perusahaan yang berkaitan langsung dengan komoditas cabai sebagai bahan baku industri. Pola kemitraan yang dapat dilakukan, seperti tertuang dalam SK Mentan No. 940/Kpts/OT.210/10/1997
  • 9. Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011 63 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, yaitu: 1) pola inti-plasma, 2) pola kemitraan contract farming, 3) pola kemitraan subkontrak, 4) pola dagang umum, 5) pola kemitraan keagenan, dan 6) kerja sama operasional agribisnis (KOA). Uraian model kemitraan masing- masing pola (Saptana et al. 2005) adalah sebagai berikut: Pola kemitraan inti-plasma, yaitu pengusaha besar industri pengolahan hasil dan pedagang besar cabai bertindak sebagai perusahaan mitra/inti yang melakukan kemitraan dengan petani produsen atau kelompok usaha agribisnis sebagai plasma dengan membentuk kesepakatan harga dan kualitas pembelian produk. Kemitraan dilakukan perusahaan mitra/inti dengan kelompok tani agar kegiatan produksi dapat dilakukan se- cara lebih terkoordinasi dalam satu hamparan dengan skala usaha tertentu. Perusahaan mitra/inti berkewajiban an- tara lain: 1) menyediakan dan menyiapkan lahan, 2) menyediakan sarana produksi (benih unggul, pupuk, obat-obatan, dan mulsa), 3) memberi bimbingan teknis budi daya dan pascapanen, 4) membiayai pengolahan tanah, pemanenan, dan lainnya, dan 5) memberi bantuan lain untuk meningkatkan efisiensi dan pro- duktivitas usaha.Petani plasma melakukan budi daya sesuai anjuran serta menye- rahkan hasil kepada perusahaan mitra/inti sesuai kesepakatan. Pola kemitraan contract farming, yaitu suatu cara mengatur produksi di mana petani-petani kecil diberi kontrak untuk menyediakan produk pertanian ke- pada usaha sentral sesuai dengan syarat yang telah ditentukan dalam sebuah perjanjian (kontrak). Badan sentral yang membeli hasil dapat menyediakan bim- bingan teknis, manajerial, kredit sarana produksi, serta menampung hasil dan melakukan pengolahan dan pemasaran (Kirk 1987 dalam White 1990). Contract farming tampaknya menjadi alternatif yang menarik bagi perusahaan peng- olahan. Pola kemitraan subkontrak, meru- pakan model kemitraan yang menyerupai contract farming, tetapi pada pola ini kelompok usaha kecil tidak melakukan kontrak secara langsung dengan perusa- haan pengolah, melainkan melalui agen atau pedagang. Model ini dapat diterap- kan pada pengadaan cabai antara petani dan industri pengolah atau pasar swa- layan yang dimediasi pedagang. Pola kemitraan dagang umum, yaitu usaha menengah dan usaha besar mema- sarkan produksi usaha kecil, atau usaha kecil memasok kebutuhan yang diper- lukan usaha menegah dan usaha besar, atau usaha kecil yang memasarkan hasil usaha menengah dan usaha besar. Model ini dapat diterapkan pada kemitraan petani cabai dan pedagang pengumpul, pe- dagang besar, dan pasar swalayan. Pola kemitraan keagenan, yaitu kelompok mitra (usaha kecil) diberi hak untuk memasarkan barang dan jasa usa- ha perusahaan mitra (usaha menengah dan besar). Keunggulan pola kemitraan ini adalah kelompok mitra memperoleh keuntungan hasil penjualan ditambah komisi (fee) dari perusahaan mitra. Model ini dijumpai pada distribusi sarana produksi, seperti benih cabai merah hibrida, pupuk, dan obat-obatan. Pada pola kemitraan ini, biasanya pedagang sarana produksi bertindak sebagai dis- tributor dan penyalur sarana produksi dari perusahaan atau merek tertentu. Pola kemitraan kerja sama opera- sional agribisnis, yaitu kelompok mitra menyediakan lahan, sarana, dan tenaga kerja, sedangkan perusahaan mitra me- nyediakan modal dan atau sarana untuk mengusahakan suatu komoditas pertani- an. Perusahaan mitra dapat berbentuk perusahaan inti atau pembina yang melak- sanakan pembukaan lahan dan mempu- nyai usaha budi daya dan unit pengolahan yang dikelola sendiri. Perusahaan inti membina kelompok mitra dalam bidang teknologi produksi, menyediakan sarana produksi, permodalan, dan pengolahan hasil, menampung produksi, dan me- masarkan hasil kelompok mitra. KESIMPULAN Cabai merupakan komoditas unggulan Kabupaten Boalemo, selain jagung. Sistem agribisnis cabai di kabupaten ini, mulai subsistem hulu sampai hilir belum terdapat industri. Cabai umumnya dijual ke pedagang pengumpul dan tengkulak. Pengembangan cabai di Kabupaten Boalemo mempunyai keunggulan kompa- ratif dan kompetitif. Secara finansial, pengembangan cabai menguntungkan dengan nilai R/C dan B/C >1. Cabai umumnya dibudidayakan pada tanah Inceptisol, Alfisol, Mollisol, dan Entisol, pada lahan dengan lereng < 8%, baik berupa lahan basah maupun lahan kering dataran rendah (< 700 m dpl). Iklim kering dan kesuburan tanah yang rendah sampai sedang merupakan faktor pembatas pengembangan cabai di Kabupaten Boalemo. Strategi pengembangan cabai sekali- gus untuk menyukseskan program Gemar Malita di Kabupaten Boalemo meliputi penerapan konservasi tanah dan air pada lahan dengan lereng >15%, intensifikasi dan diversifikasi tanaman cabai dengan tanaman produktif lain pada lahan yang sesuai, pemberdayaan kearifan lokal yang berkaitan dengan kegiatan pertanian, penyuluhan dan pemberian insentif ke- pada petani cabai, serta pemberdayaan kelembagaan perdesaan yang berperan dalam meningkatkan kemampuan petani dalam pembangunan pertanian. Hal lain yang juga penting adalah mengembang- kan kemitraan petani atau kelompok tani dengan pihak swasta atau perusahaan yang berkaitan langsung dengan komo- ditas cabai. DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, A., A. Dariah, dan A. Mulyani. 2008. Strategi dan teknologi pengelolaan lahan kering mendukung pengadaan pangan nasional. Jurnal Penelitian dan Pengembang- an Pertanian 27(2): 4349. Adiyoga, W., R. Suherman, N. Gunadi, dan A. Hidayat. 2004. Aspek nonteknis dan indi- kator efisiensi sistem pertanaman tumpang sari sayuran dataran tinggi. Jurnal Horti- kultura 14(3): 217227. Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press, Bogor. Asha, P., B. Leimona, dan Suyanto. 2006. Kontrak Konservasi Tanah dan Air; Skema Imbal Jasa Lingkungan melalui Lelang Konservasi. Rupes Sumberjaya Brief No. 5. ICRAF, Bogor. Asriani, P.S. 2003. Konsep agribisnis dan pem- bangunan pertanian berkelanjutan. Jurnal Agrisep 1(2): 144150.
  • 10. 64 Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011 Bachri, S., Sukido, dan N. Ratman. 1993. Peta Geologi Lembar Tilamuta, Sulawesi Skala 1 : 250.000. Pusat Penelitian dan Pengem- bangan Geologi, Bandung. Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Da- erah) Kabupaten Boalemo. 2009. Profil Pembangunan Kabupaten Boalemo Tahun 2008. Bappeda Kabupaten Boalemo, Tila- muta. BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten Boalemo. 2009. Kabupaten Boalemo dalam Angka Tahun 2008. BPS Kabupaten Boalemo, Tilamuta. BPS (Badan Pusat Statistik) Provinsi Gorontalo. 2009. Provinsi Gorontalo dalam Angka Tahun 2008. BPS Provinsi Gorontalo, Gorontalo. BPS (Badan Pusat Statistik) RI. 2008. Statistik Indonesia tahun 2008. BPS, Jakarta. BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Gorontalo. 2002. Pemilihan Farming System Zone Penelitian, Pengkajian dan Diseminasi Teknologi Pertanian di BPTP Gorontalo. BPTP Gorontalo. Baruwadi, M., R. Yusuf, S. Canon, dan F. Zakaria. 2007. Road Map Pengembangan Komoditas Pertanian di Kabupaten Boalemo. Kerja Sama Lembaga Penelitian Universitas Negeri Gorontalo dengan Dinas Pertanian dan Ke- tahanan Pangan Provinsi Gorontalo, Goron- talo. Dariah, A., U. Haryati, dan T. Budhyastoro. 2004. Teknologi konservasi mekanik. hlm. 109132. Dalam Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Deptan. 2009. Basis data statistik pertanian 20002009. Pusat data dan Informasi Pertanian, Departemen Pertanian (Deptan) RI, Jakarta. Dinas PU Provinsi Gorontalo. 2009. Data Iklim Wilayah Kabupaten Boalemo Periode Tahun 19982008. Dinas PU Provinsi Gorontalo. Gorontalo. Direktorat Jenderal Hortikultura. 2008. Memba- ngun Hortikultura Berdasarkan Enam Pilar Pengembangan. Direktorat Jenderal Horti- kultura, Jakarta. Djaenudin, D., M. Hendrisman, H. Subagyo, A. Mulyani, dan N. Suharta. 2000. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Per- tanian. Ver. 3. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Djaenudin, D., H. Marwan, H. Subagyo, dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah, Bogor. Douglas, M. 1992. Policy and institutional considerations in development of conser- vation farming systems. p. 101122. In S. Arsyad, I. Amin, T. Sheng, dan W. Molden- hauer (Eds). Conservation Policies for Hillslope Farming. Soil and Water Conser- vation Society, Ankey, Iowa. FAO. 1976. A framework for Land Evaluation. FAO Soil Bulletin No. 32, Rome. Fauziah, U. 2010. Harga cabai tetap fluktuatif. Majalah Trubus, Edisi 482 Januari 2010/ XLI. Hikmatullah, N. Suharta, dan A. Hidayat. 2008. Potensi sumber daya lahan untuk pengem- bangan komoditas pertanian di Provinsi Kalimantan Timur. Jurnal Sumberdaya Lahan 2(1): 4558. Husain, J., H.H. Gerke, and R.F. Hüttl. 2002. Infiltration measurements for determining effects of land use change on soil hydraulic properties in Indonesia. In M. Pagliai and R. Jones (Eds). Sustainable Land Management for Enviromental Protection - Soil Physics Approach. Adv. Geoecol. 32: 230236. Husain, J., J.N. Luntungan, Y. Kamagi, dan Nurdin. 2005. Model Usaha Tani Jagung Berbasis Konservasi di Provinsi Gorontalo. Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Provinsi Gorontalo, Gorontalo. Imran, S. 2008. Analisis faktor-faktor produksi usaha tani cabai rawit di Provinsi Gorontalo. Jurnal Ilmiah Agropolitan 1(2): 8593. Jamal, E., Syahyuti, dan A.M. Hurun. 2002. Reformasi agraria dan masa depan pertanian. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Perta- nian 21(4): 133139. Jayadinata, J.T. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Perdesaan, Perkotaan dan Wi- layah. Penerbit ITB, Bandung. Joseph, B.Th. 2005. Sumber Daya Tanah dan Pelestarian Lingkungan Hidupnya. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi, Manado. Lorenz, G., C.L., Bonelli, S. Roldan, C. Araya, and K. Rondano. 2000. Soil Quality Change due to Land Use in a Kastanozem-Phaeozem Soilscape of Semiarid Chaco. Mitteilungen der Deustchen Bodenkundlichen Gessel- schaft. Band 93. Mario, M.Dg. 2009. Cabai “Malita FM”varietas unggul Gorontalo. Makalah disampaikan pada Temu Teknis Pengembangan Komoditi Ung- gulan Boalemo, Tilamuta, 11 Maret 2009. Balai Pusat Informasi Jagung Provinsi Goron- talo, Gorontalo. Mulyani, A. dan I. Las. 2008. Potensi sumber daya lahan dan optimalisasi pengembangan komoditas penghasil bioenergi di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Perta- nian 27(1): 3141. Nasoetion, L.I. 1999. Tinjauan ekonomi politik transformasi agraria. Makalah pada Semi- nar di LP3ES, Jakarta, 28 Oktober 1999. Niode, A.S. 2007. Gorontalo; Perubahan Nilai- nilai dan Pranata Sosial. PT Pustaka Indo- nesia Press, Jakarta. Noorhadi dan Sudadi. 2003. Kajian pemberian air dan mulsa terhadap iklim mikro pada tanaman cabai di tanah Entisol. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 4(1): 4149. Nurdin, D.A. Rachim, Darmawan, Suwarno, M. Baruwadi, R. Yusuf, F. Zakaria, dan J. Pakaja. 2009. Pengembangan Komoditas Unggulan Pertanian Berdasarkan Karakteristik Po- tensi Sumber Daya Lahan dan Keunggulan Wilayah untuk Pertanian di Kabupaten Boa- lemo. Kerja Sama Bappeda Kabupaten Boa- lemo dengan Pusat Kajian Pertanian Tropis Universitas Negeri Gorontalo, Tilamuta. Nuryanto, A., D. Setyawati, I. Lidiawati, J. Suyana, L. Karlinasari, M.A. Nasri, N. Puspaningsih, dan S.B. Yuwono. 2003. Strategi pengelolaan DAS dalam rangka optimalisasi kelestarian sumber daya air; Studi kasus DAS Ciliwung hulu. Makalah Pengantar Filsafat Sains Sekolah Pasca- sarjana IPB, Bogor. Oldeman, L.R. and S. Darmiyati. 1977. The agroclimatic map of Sulawesi, scale 1: 2,500,000. Contr. Centre. Res. Inst. Agric. Bull. No. 60. Osemebo. 1987. Alley farming. Agric. Syst. 24: 3151. Pomalingo, N. and J. Husain. 2003. Impact of land use change on soil hydraulic properties and its spatial variability. hlm. 250256. Dalam Prosiding Kongres Nasional VIII Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI), Padang, 2123 Juli 2003. Pranadji, T. 2008. Membedah Gorontalo sebagai calon bintang timur pertanian Indonesia di Abad 21. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian 6(3): 222238. Rachman, A. 1993. Sistem pertanaman lorong (alley cropping). hlm. 1824. Informasi Penelitian Tanah, Air, Pupuk, dan Lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Rachman, H. 2003. Dasar penetapan komoditas unggulan nasional di tingkat provinsi. Ma- kalah Lokakarya Sinkronisasi Program Pe- nelitian dan Pengkajian Teknologi Perta- nian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Rachman, A., A. Dariah, dan E. Husen. 2004. Olah tanah konservasi. hlm. 189210. Dalam Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Rangkuti, P.A. 2009. Strategi komunikasi mem- bangun kemandirian pangan. Jurnal Pene- litian dan Pengembangan Pertanian 28(2): 3945. Rukmana, R. 2006. Usaha Tani Cabai Rawit. Cetakan ke-5. Kanisius, Yogyakarta. Sajogyo. 2002. Pertanian dan kemiskinan. Jurnal Ekonomi Rakyat 1(1): 115. Sanim, B. 2006. Analisis ekonomi lingkungan dan audit lingkungan. Makalah disampaikan pada Pelatihan Dosen Perguruan Tinggi Negeri Se-Jawa dan Bali dalam Bidang Audit Lingkungan, Bogor, 1120 September 2006.
  • 11. Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011 65 Santoso, D., J. Purnomo, I G.P. Wigena, dan E. Tuherkih. 2004. Teknologi konservasi ve- getatif. Olah tanah konservasi. hlm. 77108. Dalam Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengem- bangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Saptana dan Ashari. 2007. Pembangunan per- tanian berkelanjutan melalui kemitraan usaha. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 26(4): 123130. Saptana, E.L. Hastuti, K.S. Indraningsih, Ashari, S. Friyatno, Sunarsih, dan V. Darwis. 2005. Pengembangan Model Kelembagaan Kemit- raan Usaha yang Berdaya Saing di Kawasan Sentra Produksi Hortikultura. Pusat Pene- litian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Saragih, B. 1997. Pembangunan Sektor Agribisnis dalam Kerangka Pembangunan Ekonomi Indonesia. Bappenas, Jakarta. Saragih, B. 1998. Agribisnis; Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. CV Nasional, Jakarta. Saragih, B. 2002. Sistem dan Usaha Agribisnis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Satyarini, B.T. 2009. Analisis kelayakan usaha tani cabai di lahan pantai (Studi kasus di pantai Pandan Simo Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta). Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Daya Saing Agribisnis Ber- orientasi Kesejahteraan Petani, Bogor, 14 Oktober 2009. Pusat Analisis Sosial Eko- nomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Setiadi. 2001. Bertanam Cabai. Penebar Swadaya, Jakarta. Simatupang, P., IW. Rusastra, H.P. Saliem, Supri- yati, dan Saptana. 2003. Prospek Diversi- fikasi Usaha Tani di Lahan Sawah: Kasus empat kabupaten di Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Perta- nian, Bogor dan Bappenas/USAID/DAI, Jakarta. Soekartawi. 1995. Analisis Usaha Tani. Uni- versitas Indonesia Press, Jakarta. Soil Survey Staff. 2006. Keys to Soil Taxonomy. Tenth Edition. US Dept. Agric., Natural Resources Conservation Service, Washing- ton DC. Sudaryanto, T. dan IW. Rusastra. 2006. Kebi- jakan strategis usaha pertanian dalam rangka peningkatan produksi dan pengentasan ke- miskinan. Jurnal Penelitian dan Pengem- bangan Pertanian 25(4): 115122. Suripin. 2000. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Andi, Yogyakarta. Susanto, A.N. dan M.A. Sirappa. 2007. Karak- teristik dan ketersediaan data sumber daya lahan pulau-pulau kecil untuk perencanaan pembangunan pertanian. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 26(2): 4153. Suwandi. 1995. Strategi pola kemitraan dalam menunjang agribisnis bidang peternakan. Industrialisasi usaha ternak rakyat dalam menghadapi tantangan globalisasi. Prosiding Simposium Nasional Kemitraan Usaha Ter- nak. Ikatan Sarjana Ilmu-ilmu Peternakan Indonesia (ISPI) bekerja sama dengan Balai Penelitian Ternak, Bogor. Syafruddin, A.N. Kairupan, A. Negara, dan J. Limbongan. 2004. Penataan sistem per- tanian dan penetapan komoditas unggulan berdasarkan zona agroekologi di Sulawesi Tengah. Jurnal Sumberdaya Lahan 23(2): 6167. Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan, Penjelasan tentang Konsep, Istilah, Teori dan Indikator serta Variabel. PT Bina Rena Pariwara, Jakarta. Tanindo Agribusiness Company. 2009. Menyi- mak Geliat Bisnis Cabai Indonesia. http:// www.tanindo.com. 2009. [22 Oktober 2009]. Tim Fahutan IPB. 2008. Kajian Pemantapan Kawasan Hutan di Kabupaten Boalemo. Kerja Sama Bappeda Kabupaten Boalemo dengan Fakultas Kehutanan Institut Per- tanian Bogor. White, B. 1990. Agroindustri, Industrialisasi Pedesaan dan Transformasi Pedesaan. Kerja Sama antara Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor dan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, Jakarta. Zulkifli, A.K., A. Yusuf, A. Azis, T. Iskandar, dan M.N. Alidan. 2008. Rakitan Teknologi Budi Daya Cabai. BPTP Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh.