1. Dokumen ini membahas analisis nilai tukar petani sebagai bahan penyusunan rencana pembangunan nasional lima tahun ke depan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Analisis ini dilakukan dengan mempelajari perilaku dan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar petani.
2. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai tukar petani mengalami peningkatan dari tahun 2008-2013 karena kenaikan harga yang diter
1. 1
i
ANALISIS NILAI TUKAR PETANI (NTP) SEBAGAI
BAHAN PENYUSUNAN RPJMN TAHUN 2015-2019
KERJASAMA
KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN
NASIONAL/BAPPENAS
JAPAN INTERNATIONAL COOPERATION AGENCY (JICA)
2013
2. 2
ii
Analisis Nilai Tukar Petani(NTP)sebagai bahanpenyusunan RJMNTahun 2015-
2019
Penanggung Jawab : Deputi Bidang SDA-LH
Editor : Ali Muharam
Tim Penulis : Ir. Nono Rusono, Msi
Dr. Ir. Anwar Sunari, MP
Ade Candradijaya, STP,MSi,MSc
Ifan Martino
Tejaningsih
Cover Depan : http://p2tel.or.id/wp-
content/uploads/2013/01/Petani-Miskin-
Indonesia.jpg
Direktorat Pangan dan Pertanian,Bappenas
Gedung TS.2A, Lantai 5
Jl. Taman Suropati, No.2
Jakarta Pusat,10310
Telephone : 021-31934323
Fax : 021-3915404
Email : pertanian@bappenas.go.id
3. i
i
KATA PENGANTAR
Pembangunan nasional pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, untuk itu dalam setiap tahapan pembangunan,
kesejahteraan masyarakat selalu menjadi tujuan utama. Sebagai negara agraris,
jumlah penduduk yang terlibat dalam kegiatan pertanian/agribisnis sangat besar,
sehingga perhatian terhadap kesejahteraan petani dinilai sangat strategis. Salah
satu indikator/alat ukur yang dapat digunakan untuk menilai tingkat kesejahteraan
petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP). Pengetahuan secara mendalam tentang
perilaku nilai tukar petani, dampak pembangunan, dan identifikasi faktor-faktor
penentu nilai tukar akan sangat berguna bagi perencanaan kebijakan
pembangunan, perbaikan program-program pembangunan, serta alokasi anggaran
yang lebih berpihak pada usaha-usaha peningkatan kesejahteraan petani
khususnya terkait dengan penyusunan studi pendahuluan (background study)
RPJMN 2015-2019 yang saat ini sedang kami susun sehingga diharapkan dalam
pembangunan pertanian lima tahun ke depan kesejahteraan petani dapat
meningkat.
Laporan ini merupakan hasil kajian yang dilakukan Bappenas bekerjasama
dengan JICA yang dibantu oleh Tim Penyusun dari berbagai latar belakang yang
memahami esensi NTP sebagai salah satu alat ukur kesejahteraan petani. Atas
kerjasama yang telah dijalin dengan JICA, kami mengucapkan terima kasih
kepada JICA dan juga kepada Tim Penyusun atas kerja kerasnya sehingga analisis
ini dapat tersusun dengan baik. Disadari bahwa dalam hasil kajian ini masih
terdapat kekurangan, sehingga masukan dari berbagai pihak untuk perbaikan hasil
kajian sangat kami harapkan.
Terima kasih.
Jakarta, Desember 2013
Direktur Pangan dan Pertanian
4. ii
ii
RINGKASAN
1) Pembangunan nasional pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, untuk itu dalam setiap tahapan pembangunan
kesejahteraan masyarakat selalu menjadi tujuan utama. Sebagai negara
agraris, jumlah penduduk yang terlibat dalam kegiatan pertanian/agribisnis
sangat besar, sehingga perhatian terhadap kesejahteraan petani dinilai
sangat strategis. Dalam rencana rencana jangka panjang pembangunan
nasional peningkatan kesejahteraan petani telah dan akan menjadi prioritas
pembangunan pertanian mendatang.
2) Salah satu indikator/alat ukur yang dipakai untuk menilai tingkat
kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP). Pengetahuan secara
mendalam tentang perilaku nilai tukar petani, dampak pembangunan dan
identifikasi faktor-faktor penentu nilai tukar akan sangat berguna bagi
perencanaan kebijakan pembangunan, perbaikan program-program
pembangunan ke depan. Sejalan dengan itu dilakukan kajian tentang NTP
sebagai bahan dalam merumuskan kebijakan peningkatan kesejahteraan
petani.
3) Secara umum, kajian bertujuan untuk merumuskan kebijakan peningkatan
kesejahteraan petani sebagai bahan dasar RPJMN 2015-2019 Bidang
Pertanian. Secara lebih rinci tujuan kajian adalah: (1) Menganalisa perilaku
nilai tukar petani Indonesia, (2) Menganalisa faktor-faktor dan kebijakan
yang mempengaruhi nilai tukar petani, dan (3) Merumuskan kebijakan
peningkatan nilai tukar/kesejahteraan petani.
Perilaku Nilai Tukar Petani
4) Nilai Tukar Petani (NTP) dihitung dari perbandingan antara harga yang
diterima petani (HT) terhadap harga yang dibayar petani (HB). Apabila laju
peningkatan HT lebih tinggi dari laju HB maka NTP akan meningkat, dan
sebaliknya. Pergerakan NTP mengidentifikaskan pergerakan tingkat
kesejahteraan petani. Dalam periode bulan Januari 2008–Mei 2013,
perkembangan NTP menunjukkan tren meningkat dengan laju peningkatan
marjinal 0,0038/bulan. Peningkatan ini disebabkan oleh peningkatan laju HT
(sebesar 0,0233/bulan) lebih tinggi dibandingkan laju HB (0,0180/bulan).
5) Indeks HT disusun oleh unsur-unsur indeks harga sub sektor tanaman
pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Peningkatan
HT terutama disebabkan oleh kontribusi yang lebih besar dari sub sektor
tanaman pangan (laju 0,0273/bulan) dan sub sektor hortikultura (laju
0,0264/bulan); menyusul sub sektor perikanan (laju 0,0180/bulan),
perkebunan (laju 0169/bulan) dan peternakan (laju 0,0155/bulan).
5. iii
iii
6) Penelusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa peningkatan harga yang
diterima petani sub sektor tanaman pangan disebabkan oleh peningkatan
harga palawija (laju 0,0273/bulan) lebih besar dari peningkatan harga padi
(laju 0,0233/bulan). Sementara pada sub sektor hortikultura kontribusi
peningkatan harga buah-buahan relatif lebih tinggi (laju 0,0262/bulan)
dibandingkan peningkatan harga sayuran (laju 0,0262/bulan). Pada sub
sektor perkebunan tidak dirinci menurut kelompok komoditas secara lebih
rinci, sehingga komponen sub sektor perkebunan yang dimaksud berarti juga
kelompok tanaman perkebunan rakyat. Pada sub sektor peternakan,
kontribusi terbesar dari peningkatan harga yang diterima petani terjadi pada
kelompok komoditas ternak kecil (laju 0,0213/bulan) menyusul hasil
peternakan (laju 0,0178/bulan), ternak unggas (laju 0,0171/bulan) dan
kelompok ternak besar (laju 0,0120/bulan). Sementara pada sub sektor
perikanan kontribusi terbesar dari peningkatan harga yang diterima petani
ikan dan nelayan terjadi pada harga produk penangkapan (laju
0,1880/bulan) sementara laju harga produk budidaya ikan sebesar
0,01380/bulan.
7) Indeks HB disusun dari oleh unsur harga pembelian barang konsumsi
rumahtangga dan harga pembelian faktor produksi dan barang modal. Dalam
periode Januari 2008 sampai dengan Mei 2013 HB meningkat dengan laju
0,0180/bulan, dan peningkatan tersebut terutama disebabkan oleh kontribusi
pembelian barang konsumsi rumahtangga (laju 0,0202/bulan), sementara
pengeluaran biaya produksi dan penambahan barang modal meningkat
dengan laju 0,0117/bulan.
8) Penelusuran lebih lanjut menunjukkan komponen utama peningkatan
pengeluaran konsumsi rumahtangga adalah konsumsi bahan makanan (laju
0,0238/bulan), disusul oleh konsumsi makanan jadi (laju 0,0214/bulan),
sandang (laju 0,0195/bulan), perumahan (laju 0,0193/bulan), kesehatan
(laju 0,0130/bulan), pendidikan-rekreasi dan olahraga (laju 0,0105/bulan),
serta transportasi dan komunikasi (laju 0,0035/bulan). Sementara itu dalam
komponen penyusun biaya produksi dan penambahan barang modal, peran
terbesar terjadi karena peningkatan biaya modal (laju 0,0140/bulan), disusul
biaya bibit (laju 0,0123/bulan), upah buruh (laju 0,0119/bulan), obat-pupuk
(laju 0,0119/bulan), sewa lahan (laju 0,0105/bulan), dan transportasi (laju
0,0073/bulan).
Faktor-Faktor dan Kebijakan yang Mempengaruhi NTP
9) Dari rumus pembentukan NTP dapat diturunkan besaran koefisien
pertambahan marjinal dan elastisitas masing-masing komponen unsur
penyusun terhadap NTP. Besaran nilai marjinal dan elastisitas NTP tersebut
menggambarkan besarnya pengaruh dari perubahan harga-harga terhadap
NTP. Pengaruh perubahan harga-harga HT terhadap NTP bertanda positif
dan pengaruh perubahan harga HB terhadap NTP bertanda negatif.
6. iv
iv
10) Diantara lima sub sektor penyusun HT, nilai elastisitas harga komoditas sub
sektor tanaman pangan terhadap NTP menunjukkan nilai terbesar (0,50)
menyusul sub sektor hortikultura (0,19), perkebunan (0,18), peternakan
(0,16), dan perikanan (0,13). Nilai elastisitas harga sub sektor tanaman
pangan terhadap NTP sebesar 0,50 berarti peningkatan harga-harga
tertimbang sub sektor sebesar 1 persen akan meningkatkan NTP sebesar
0,50 persen, demikian seterusnya. Sementara itu, dari unsur pengeluaran
penyusun HB, nilai elastisitas harga produk konsumsi rumahtangga sebesar -
0,08 lebih besar dari elastisitas harga penambahan barang modal sebesar -
0,46.
11) Penelusuran lebih rinci menunjukkan pada sub sektor tanaman pangan,
elastisitas harga padi terhadap NTP sebesar 0,28 lebih besar dibandingkan
dengan elastisitas harga palawija sebesar 0,25. Pada sub sektor hortikultura,
elastisitas harga sayuran dan buah terhadap NTP menunjukkan nilai yang
sama, yaitu masing-masing 0,18. Nilai elastisitas harga komoditas
perkebunan 0,18. Sedangkan pada sub sektor peternakan, nilai elastisitas
terbesar terjadi pada harga ternak besar (0,10), disusul harga ternak kecil
(0,08), hasil ternak (0,07), dan unggas (nilai elastisitas 0,06). Pada sub
sektor perikanan, nilai elastisitas harga produk hasil tangkap sebesar 0,08
dan harga produk budidaya sebesar 0,06.
12) Dalam komponen penyusun HB, pada kelompok konsumsi rumahtangga, nilai
elastisitas harga produk bahan makanan menunjukkan nilai tertinggi
(elastisitas -0,50), disusul produk makanan jadi (-0,25), perumahan (-0,10),
transportasi dan komunikasi (-0,05), sandang (-0,04), dan kesehatan serta
pendidikan dengan elastisitas`masing-masing -0,03. Pada kelompok sarana
produksi dan barang modal, nilai elastisitas terbesar dijumpai pada elastisitas
upah terhadap NTP sebesar -0,08, disusul elastisitas pupuk-obat (-0,05),
transportasi (-0,05), sewa (-0,03), penambahan barang modal (-0,03),
dan elastisitas harga bibit (-0,02).
13) Indeks pengeluaran konsumsi rumahtangga (KRT) merupakan indeks inflasi
pedesaan. Dengan demikian hasil analisa menunjukkan inflasi pedesaan
memberi pengaruh besar terhadap penurunan NTP (elastisitas -0,80), dan
faktor terbesar penyumpang inflasi pedesaan tersebut adalah bahan
makanan (elastisitas -0,50), disusul bahan makanan jadi (-0,25), selanjutnya
perumahan, transportasi dan komunikasi, sandang, kesehatan dan
pendidikan. Dalam rangka kepentingan mengendalikan inflasi pedesaan,
langkah strategis yang dapat dilakukan adalah pengendalian harga yang
diterima petani (HT) karena HT sangat berhubungan erat dengan harga dan
juga akan berdampak kepada stabilitas NTP. NTP yang stabil berarti
kenaikan harga-harga terjadi secara proporsional antara HT dan HB.
Diperlukan kebijakan pengaturan harga yang merangsang petani
berusahatani dan akan meningkatkan kesejahteraan petani (NTP) dan
pengendalian inflasi.
7. v
v
14) Terdapat hubungan erat antara harga konsumsi rumahtangga (KRT)
terutama bahan makanan (BM) dari sisi biaya yang dibayar petani (HB),
dengan harga yang diterima petani (HT) terutama harga komoditas tanaman
pangan (HTTP). Nilai elastisitas HT terhadap KRT dan BM masing-masing
sebesar 0,869 dan 0,988; sementara elastisitas HTTP terhadap KRT dan BM
masing-masing 0,721 dan 0,821. Dengan demikian kebijakan peningkatan
harga yang diterima petani (HT) terutama harga sub sektor tanaman pangan
(HTTP) akan berdampak kepada harga bahan makanan dan KRT (inflasi
pedesaan), atau berarti pula kebijakan peningkatan harga pangan (HTTP)
dalam rangka meningkatkan NTP juga berakibat meningkatkan KRT (inflasi di
pedesaan).
15) Dampak penyesuaian harga BBM terhadap NTP yang terjadi pada bulan Mei
tahun 2008 dan Juni pada tahun 2013 menunjukkan pengaruh berbeda.
Kebijakan kenaikan BBM tahun 2008 bersamaan dengan kondisi harga harga
produk pertanian di pasar domestik dan internasional yang meningkat pesat,
sehingga kenaikan harga/biaya transportasi dan HB akibat kenaikan harga
BBM masih lebih kecil dibandingkan kenaikan HT akibat kenaikan harga
produk komoditas yang diterima, sehingga NTP masih menunjukkan
peningkatan. Kondisi sebaliknya terjadi pada tahun 2013, kenaikan harga
BBM bulan Juni 20013 telah berakibat kenaikan harga transportasi dan
kenaikan HB yang jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan harga produk
pertanian yang diterima petani (HT), sehingga telah menurunkan NTP.
16) Dari data mikro menunjukkan hasil analisa usahatani beberapa komoditas
pertanian (komoditas tanaman pangan, hortikultura, perkebunan rakyat dan
peternakan) menghasilkan keuntungan positif. Berdasarkan hasil studi Panel,
tingkat keuntungan usaha pertanian tersebut cenderung meningkat, dan
peningkatan tersebut terutama karena peningkatan harga jual hasil produksi
dibandingkan karena pengaruh peningkatan produktivitas. Kondisi ini terjadi
terutama pada usahatani tanaman pangan, hortikultura dan usaha ternak.
17) Terjadi peningkatan biaya produksi berkaitan dengan peningkatan nilai sewa
lahan, upah buruh tani dan harga sarana produksi. Peningkatan biaya
produksi terjadi dengan laju lebih besar dibanding laju peningkatan nilai
produksi, sehingga daya tukar atau profitabilitas usaha komoditas pertanian
cenderung menurun.
18) Kegiatan pembangunan yang berjalan juga telah meningkatkan pendapatan
rumahtangga pertanian, baik pada rumahtangga berbasis agroekosistem
lahan sawah dengan komoditas utama tanaman padi maupun rumahtangga
berbasis tanaman perkebunan. Peningkatan pendapatan rumahtangga
terutama disebabkan oleh peningkatan pendapatan dari kegiatan di luar
pertanian (non pertanian) dan pendapatan dari usahatani (on-farm).
Peningkatan pendapatan dari non pertanian (non-farm) sejalan dengan
terbukanya lapangan kerja usaha non pertanian. Tarikan untuk bekerja di
luar pertanian dengan fasilitas yang lebih baik menyebabkan partisipasi kerja
8. vi
vi
sebagai buruh tani menurun, dan ini ditunjukkan oleh penurunan proporsi
curahan kerja dan pendapatan dari berburuh tani di hampir semua lokasi
contoh.
19) Indikator lain yang mencerminkan keragaan kesejahteraan masyarakat dapat
dinilai dari struktur pengeluaran rumahtangga. Terdapat indikasi semakin
tinggi pendapatan/ kesejahteraan, semakin menurun proporsi pengeluaran
untuk makanan, sementara proporsi untuk konsumsi barang bukan makanan
cenderung meningkat. Data tahun 2002-2011 menunjukkan gambaran
tersebut. Proporsi pengeluaran rumahtangga untuk makanan menurun dari
58,47 persen menjadi 49,45 persen (atau turun sebesar 1,54 persen/tahun),
sementara proporsi untuk bukan makanan meningkat dari 41,53 persen
menjadi 50,55 persen atau meningkat sebesar 2,17 persen/tahun. Gambaran
makro di atas juga ditunjang oleh data hasil penelitian primer. Proporsi
pengeluaran untuk bahan makanan relatif paling besar, namun cenderung
menurun sejalan dengan peningkatan pendapatan. Sementara proporsi
pengeluaran untuk makanan jadi, perumahan, pendidikan-rekreasi serta
transportasi-komunikasi menunjukan keragaman antar daerah.
20) Dengan kondisi dasar skala usahatani (skala pemilikan) rumahtangga petani
skala kecil, maka pola usahatani petani perlu dilakukan melalui pendekatan
pengembangan usahatani terpadu dengan memaksimalkan pemanfaatan
lahan yang terbatas. Melalui pengembangan pola usahatani terpadu akan
mengurangi resiko akibat kegagalan produksi dari suatu tanaman tertentu.
Pengembangan pola usahatani terpadu juga dinilai strategis sebagai langkah
antisipasi kondisi anomali iklim yang semakin sulit diprediksi.
21) Peningkatan produktivitas usahatani merupakan salah satu peluang
peningkatan pendapatan petani. Peningkatan produktivitas dan nilai jualnya
perlu didukung dengan peningkatan akses kepada teknologi (melalui
bimbingan dan penyuluhan), peningkatan akses terhadap layanan usahatani
dan infrastruktur untuk memperoleh kemudahan sarana produksi dan
peningkatan akses pasar.
22) Kebijakan dan program pemerintah telah dilakukan untuk peningkatan
pendapatan petani melalui bantuan subidi, penyediaan infrastruktur; serta
kebijakan untuk pengendalian pengeluaran konsumsi rumahtangga (seperti
pemberian raskin, subsidi pendidikan, subsidi kesehatan, dan lainnya) dinilai
sangat relevan dalam perbaikan kesejahteraan petani.
Relevansi NTP sebagai Indikator Kesejahteraan petani
23) Konsep NTP yang dikembangkan BPS dihitung dari rasio harga yang
diterima petani (HT) terhadap harga yang dibayar petani (HB). Konsep ini
secara sederhana dapat menggambarkan daya beli petani. Dalam
penghitungan NTP digunakan indeks Laspeyres dimana nilai indeks
9. vii
vii
tertimbang terhadap kuantitas tahun dasar tertentu dan pergerakan indeks
ditentukan oleh pergerakan harga harga. Dengan dasar asumsi tersebut
maka rasio harga yang diterima petani terhadap harga yang dibayar
petani dipakai sebagai indikator daya beli pendapatan petani terhadap
pengeluarannya, dan indikator tersebut digunakan sebagai indikator
kesejahteran petani.
24) Indikator NTP yang dibangun BPS mempunyai unit analisa nasional dan
merupakan agregasi dari provinsi dan sub sektor /komoditi. Dengan
demikian disamping dapat diketahui daya beli petani nasional juga dapat
diketahui dan diperbandingkan daya beli petani antar regional provinsi dan
daya beli antar sub sektor. Disagreagasi juga dapat dilakukan dengan lebih
rinci atas masing-masing komponen komoditi penyusunnya, seperti NT padi
terhadap pupuk, NTP sayuran terhadap sewa lahan, NTP unggas terhadap
upah dan sebagainya. Indeks nilai tukar komponen penyusun NTP tersebut
merupakan parameter penting kebijakan pembangunan pertanian.
25) Dalam kaitan dengan NTP sebagai alat ukur kesejahteraan petani,
penggunaan asumsi tingkat produksi yang tetap (indeks Laspeyres) dinilai
kurang relevan, karena dengan kuantitas tetap berarti NTP tidak
mengakomodasikan kemajuan produktivitas pertanian, kemajuan teknologi
dan pembangunan. NTP sebagai indikator daya beli petani yang didasarkan
kepada rasio harga harga dinilai belum menunjukkan kesejahteraan petani,
karena daya beli yang lebih mendekati kesejahteraan petani sesungguhnya
adalah daya beli penerimaan petani terhadap pengeluaran petani.
26) Dengan struktur tataniaga pertanian yang terjadi saat ini, kenaikan harga
produk yang diterima petani tidak identik dengan peningkatan pendapatan
petani. Kenaikan harga yang diterima petani justru mengindikasikan
kelangkaan suplai/produksi pertanian. Peningkatan NTP berarti kenaikan
harga yang diterima petani (harga produsen) dengan proporsi yang lebih
tinggi dari harga yang dibayar petani (harga konsumen). Pada kondisi
demikian maka NTP yang konstan dinilai lebih baik, karena pada NTP yang
konstan berarti perubahan harga yang diterima petani meningkat (atau
menurun) secara proporsional dengan perubahan harga yang dibayar
petani.
27) Dengan beberapa kekurangan dalam penghitungan NTP, diperlukan
penyempurnaan penghitungan NTP yang lebih mendekati pengukuran
kesejahteraan petani. Penyempurnaan dapat dilakukan antara lain melalui
penghitungan pendekatan dengan menggunakan konsep nilai, yaitu dengan
memasukkan unsur kuantitas dalam penghitungan NTP, sehingga NTP
merupakan rasio antara nilai pendapatan terhadap nilai pengeluaran. Dengan
memasukkan unsur kuantitas maka perhitungan NTP menjadi lebih
kompleks. Cara paling sederhana adalah dengan disusun dan
diakomodasikannya Indeks Produksi Pertanian dan Indeks Konsumsi
10. viii
viii
Rumahtangga Pertanian dalam rumus penghitungan NTP. Dengan konsep
nilai tersebut maka indeks NTP baru merupakan rasio antara nilai
penerimaan terhadap nilai pengeluaran.
28) Pada bagian lain penyusunan NTP yang dilakukan BPS saat ini juga masih
memiliki kekurangan berkaitan dengan cakupan/definisi "petani" belum
sepenuhnya mengakomodasikan seluruh sub sektor pertanian (seperti petani
kawasan hutan) dan cakupan komoditas dari masing-masing sub sektor.
Penyempurnaan tersebut perlu mendapat kesepakatan bersama karena
terkait dengan pemahaman, ketersediaan data dan analisa.
11. ix
DAFTAR ISI
Hal
KATA PENGANTAR i
RINGKASAN
ii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
xix
1.1. PENDAHULUAN
1.2. Latar Belakang 1
1.3. Dasar Pertimbangan 3
1.4. Tujuan 6
1.5. Keluaran 7
II. TINJAUAN PUSTAKA 9
2.1. NTP sebagai Indikator Kesejahteraan Petani 9
2.2. Pengukuran Nilai Tukar Petani (NTP)
13
2.2.1. Harga yang Diterima Petani (HT)
14
2.2.2. Harga yang Dibayar Petani (HB)
15
2.3. Kebijakan Pembangunan dalam Peningkatan Kesejahteraan
Petani 18
2.3.1. Peningkatan Produksi Pertanian
20
2.3.2. Pemberian Dukungan Subsidi dan Insentif
21
2.3.3. Kebijakan Perdagangan
22
2.3.4. Penyediaan Infrastruktur
23
2.3.5. Kebijakan Khusus Peningkatan Kesejahteraan Rakyat
24
III. METODOLOGI 27
3.1. Kerangka Pemikiran
27
3.1.1. Pengaruh Perubahan Harga yang Diterima Petani (HT)
29
3.1.2.Pengaruh Perubahan Harga yang Dibayar Petani (HB)
30
12. x
DAFTAR ISI
Hal
KATA PENGANTAR i
RINGKASAN
ii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
xix
1.1. PENDAHULUAN
1.2. Latar Belakang 1
1.3. Dasar Pertimbangan 3
1.4. Tujuan 6
1.5. Keluaran 7
II. TINJAUAN PUSTAKA 9
2.1. NTP sebagai Indikator Kesejahteraan Petani 9
2.2. Pengukuran Nilai Tukar Petani (NTP)
13
2.2.1. Harga yang Diterima Petani (HT)
14
2.2.2. Harga yang Dibayar Petani (HB)
15
2.3. Kebijakan Pembangunan dalam Peningkatan Kesejahteraan
Petani 18
2.3.1. Peningkatan Produksi Pertanian
20
2.3.2. Pemberian Dukungan Subsidi dan Insentif
21
2.3.3. Kebijakan Perdagangan
22
2.3.4. Penyediaan Infrastruktur
23
2.3.5. Kebijakan Khusus Peningkatan Kesejahteraan Rakyat
24
III. METODOLOGI 27
3.1. Kerangka Pemikiran
27
3.1.1. Pengaruh Perubahan Harga yang Diterima Petani (HT)
29
3.1.2.Pengaruh Perubahan Harga yang Dibayar Petani (HB)
30
13. xi
3.1.3.Nilai Tukar Penerimaan/Pendapatan Petani
30
3.2. Ruang Lingkup Kegiatan
33
3.3. Metoda Analisa
34
3.4. Sumber Data 35
IV. KERAGAAN RUMAHTANGGA PERTANIAN DAN
KESEJAHTERAAN PETANI 37
4.1. Keragaan Rumahtangga Pertanian
37
4.1.1.Keragaan Rumahtangga Tanaman Pangan
40
4.1.2. Keragaan Rumahtangga Hortikultura
46
4.1.3. Keragaan Rumahtangga Perkebunan
50
4.1.4.Keragaan Rumahtangga Peternakan
53
4.2. Keragaan Kesejahteraan Rumahtangga Petani
55
V. PERILAKU NILAI TUKAR PETANI 61
5.1. Perkembangan NTP Tahun 2008-2013
61
5.2. Perilaku Harga yang Diterima Petani (HT)
63
5.2.1. Perilaku Harga yang Diterima Petani Sub Sektor
Tanaman Pangan
65
5.2.2. Perilaku Harga yang Diterima Petani Sub Sektor
Hortikultura
66
5.2.3. Perilaku Harga yang Diterima Petani Sub Sektor
Perkebunan
67
5.2.4. Perilaku Harga yang Diterima Petani Sub Sektor
Peternakan
68
5.2.5. Perilaku Harga yang Diterima Petani Sub Sektor
Perikanan
69
5.3. Perilaku Harga yang Dibayar Petani (HB)
70
5.3.1. Indeks Harga Konsumsi Rumahtangga
72
5.3.2. Indeks Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal
73
14. xii
VI. FAKTOR-FAKTOR DAN KEBIJAKAN YANG MEMPENGARUHI NTP 75
6.1. Pengaruh Perubahan Harga-harga terhadap NTP
75
6.1.1. Pengaruh Perubahan Harga Diterima Petani (HT)
76
6.1.2. Pengaruh Perubahan Harga Dibayar Petani (HB)
78
6.2. Keterkaitan antara Inflasi dengan NTP 79
6.3. Dampak Kebijakan BBM terhadap NTP
81
6.4. Pengaruh Peningkatan Produk Pertanian terhadap NTP
84
VII. NILAI TUKAR PENDAPATAN PETANI DAN RUMAHTANGGA TANI 87
7.1. Nilai Tukar Pendapatan Usahatani
87
7.1.1. Nilai Tukar Usahatani Tanaman Pangan
87
7.1.2. Nilai Tukar Usahatani Tanaman Hortikultura
94
7.1.3. Nilai Tukar Usahatani Tanaman Perkebunan
99
7.1.4. Nilai Tukar Usaha Peternakan 100
7.2. Marjin Pemasaran Komoditas Pertanian 102
7.3. Perubahan Pendapatan Rumahtanga Petani 104
7.3.1. Pendapatan Rumahtangga pada Agroekosistem
Lahan Sawah 105
7.3.2. Pendapatan Rumahtangga pada Agroekosistem
Lahan Perkebunan 107
VIII. RELEVANSI NTP DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN
KESEJAHTERAAN PETANI 113
8.1. Relevansi NTP sebagai Indikator Kesejahteraan Petani 113
8.2. Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Rumahtangga Petani 117
8.2.1. Kebijakan Di Bidang Pendapatan Rumahtangga Petani 118
8.2.2. Kebijakan Di Bidang Pengeluaran Rumahtangga Petani 124
IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 129
9.1. Kesimpulan 129
9.2. Implikasi Kebijakan 133
DAFTAR PUSTAKA 137
LAMPIRAN 141
15. xiii
DAFTAR TABEL
Hal
3.1. Perubahan HT dan HB terhadap NTP
31
3.2. Perubahan Penawaran/Produksi dan Permintaan terhadap
Harga Produk Pertanian
32
3.3. NTP dan Produksi di Tingkat Regional
33
4.1. Perkembangan Jumlah Rumahtangga Pertanian 1993-2003
Berdasarkan Sub Sektor Pertanian (juta)
37
4.2. Perkembangan Jumlah Rumahtangga Pertanian 1993-2003
Berdasarkan Regional (juta)
38
4.3. Struktur Rumahtangga Pertanian Menurut Golongan Luas
Pemilikan Lahan Tahun 1983-2003
39
4.4. Distribusi Rumahtangga Petani Menurut Kelompok Pemilikan Lahan,
Tahun 2007 (dalam persen)
40
4.5. Proporsi Jumlah Rumahtagga Tanaman Pangan Tahun 2003
41
4.6. Proporsi Jumlah Rumahtangga (RT) berdasarkan Peran Pendapatan
Usahatani Tanaman Padi Sawah dan Padi Ladang Tahun 2003
42
4.7. Permasalahan/Kendala Utama dalam Usahatani Padi Tahun 2003
43
4.8. Sumber Pembiayaan Usahatani Padi Tahun 2003
43
4.9. Tingkat Penerapan Teknologi Budidaya Padi Tahun 2003
44
4.10. Banyaknya Rumahtangga Tani Padi yang Mendapat Bantuan Faktor
Produksi Padi dari Pemerintah Tahun 2003
46
4.11. Jumlah Rumahtangga Tanaman Hortikultura 1993 dan 2003
47
4.12. Rata-rata Luas Lahan yang Dikuasai Rumah tangga Hortikultura Menurut
Status Penguasaan Lahan dan Penggunaan Lahan, Tahun 2003 (m2)
48
4.13. Rata-rata Luas Lahan yang Dikuasai Rumahtangga Usaha Hortikultura
Menurut Jenis Lahan, Tahun 2003 (m2)
48
4.14. Jumlah Rumahtangga Usaha Tanaman Hortikultura yang Modalnya dari
Kredit dan Bentuk Pinjaman Tahun 2003
49
16. xiv
4.15. Jumlah Rumahtangga Usaha Tanaman Hortikultura yang
Sebagian Modalnya dari Bantuan Pemerintah Tahun 2003
49
4.16. Perkembangan Jumlah Rumahtangga Komoditas Perkebunan
Terpilih Tahun 1993-2003 51
4.17. Proporsi Rumahtangga (RT) Perkebunan Berdasarkan
Luas Lahan Usaha Ternak yang Dikuasai Tahun 2003
51
4.18. Rata-Rata Luas Lahan yang Dikuasai Rumahtangga Usaha Komoditas
Perkebunan Terpilih Menurut Status Penguasaan Lahan
dan Penggunaan Lahan (m2) Tahun 2003
52
4.19. Rata-Rata Luas Lahan yang Dikuasai Rumahtangga Usaha Komoditas
Perkebunan Menurut Jenis Lahan Tahun 2003 (m2)
52
4.20. Persentase Banyaknya Rumahtangga Perkebunan yang Menghadapi
Masalah dalam Pembudidayaan Tanaman Menurut Jenis
Masalah Utama Tahun 2003
53
4.21. Jumlah Rumahtangga Peternakan Tahun 2003
53
4.22. Jumlah Rumahtangga Usaha Ternak Berdasarkan Jenis Ternak yang
Diusahakan Tahun 2003
54
4.23. Proporsi Jumlah Rumahtangga Berdasarkan Lahan Usaha Ternak yang
Dikuasai 54
4.24. Proporsi Jumlah Rumahtangga Peternakan Berdasarkan Lahan
Usaha untuk Pertanian Lain
55
4.25. Laju Pertumbuhan PDB, Tenaga Kerja, dan Produktivitas Sektor Terpilih,
2000-2011 57
4.26. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia, 2000-2012
58
4.27. Sumber Penghasilan Utama Rumahtangga (%)
59
4.28. Struktur Pengeluaran Rumahtangga Per Kapita Per Bulan, 2002 dan 2011
(Rp/Kap/Bulan) 60
5.1. Nilai Regresi Indeks Harga yang Diterima Petani Tahun 2008-2013
65
6.1. Rangkuman Nilai Marjinal dan Elastisitas dari Pengaruh HT
terhadap NTP 76
17. xv
6.2. Pengaruh Perubahan Harga Dibayar Petani (HB) terhadap NTP
79
7.1. Perubahan Nilai Tukar Pendapatan Usaha
tani Padi, Jagung, Kedelai, dan Ubikayu Tahun 2008-2011
92
7.2. Perubahan Nilai Tukar Pendapatan Usahatani
Kubis, Kentang, Tomat, dan Cabe Merah Tahun 2005-2012
97
7.3. Perubahan Nilai Tukar Pendapatan Usahatani Tebu dan Tembakau 100
7.4. Perubahan Nilai Tukar Pendapatan Usahatani Sapi dan Kambing
Tahun 2008-2011 102
7.5. Marjin Pemasaran Beberapa Komoditas Pertanian 104
7.6. Struktur dan Nilai Tukar Pendapatan Rumahtangga Petani pada
Agroekosistem Sawah Tahun 2007-2010 106
7.7. Struktur Pendapatan Rumahtangga Petani Perkebunan
Tahun 2009-2012 110
7.8. Struktur Pendapatan Rumahtangga Petani pada
Agroekosistem Perkebunan Tahun 2009-2012 111
8.1. Skenario Perubahan HT dan HB terhadap NTP 116
19. xvii
DAFTAR GAMBAR
Hal
2.1. Pembentukan NTP
17
2.2. Kebijakan-kebijakan yang Mempengaruhi NTP
20
4.1. Perkembangan Produktivitas per Sektor, 2000-2011
56
5.1. Perkembangan Indeks Diterima Petani, Indeks Dibayar Petani,
dan Nilai Tukar Petani, Januari 2008-Mei 2013
62
5.2. Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani, Indeks Harga
Dibayar Petani, dan Nilai Tukar Petani Per Sub sektor dan
Gabungan, Januari 2008-Mei 2013
64
5.3. Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani Sub Sektor
Tanaman Pangan, Indeks Harga Padi dan Palawija,
Januari 2008-Mei 2013
66
5.4. Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani Sub Sektor
Hortikultura, Indeks Harga Sayur-sayuran dan Buah-buahan,
Januari 2008-Mei 2013
67
5.5. Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani Sub sektor Perkebunan/
Tanaman Perkebunan Rakyat, Januari 2008-Mei 2013
68
5.6. Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani Sub Sektor Peternakan,
Indeks Harga Ternak Besar, Ternak Kecil, Unggas, dan Hasil Ternak,
Januari 2008-Mei 2013
69
5.7. Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani Sub Sektor Perikanan,
Indeks Harga Ikan Hasil Penangkapan dan Ikan Hasil Budidaya,
Januari 2008-Mei 2013 70
5.8. Perkembangan Indeks Harga yang Dibayar Petani,
Indeks Harga Konsumsi Rumahtangga dan Biaya Produksi
dan Penambahan Barang Modal, Januari 2008-Mei 2013
71
5.9. Perkembangan Indeks Harga Konsumsi Rumahtangga dan Komponen
Penyusunnya, Januari 2008-Mei 2013
73
20. xviii
5.10. Perkembangan Indeks Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal,
Januari 2008-Mei 2013
74
6.1. Dampak Kenaikan Harga BBM Bulan Mei 2008 dan Juni 2013
terhadap NTP 82
6.2. Dampak kenaikan Harga BBM Bulan Juni 2013 terhadap NTP
84
6.3. Perkembangan Indeks Produksi dan Rata-rata NTP Tahun 2008-2012
85
6.4. Perkembangan Indeks Produksi Sub Sektor dan Rataan NTP Sub Sektor,
Tahun 2008-2012 86
21. xix
DAFTAR LAMPIRAN
Hal
Tabel Lampiran 1. Nilai Tukar Petani Nasional 142
Tabel Lampiran 2. Bobot Komponen Penyusun NTP 148
Tabel Lampiran 3. Analisa Usahatani Komoditas Padi, Jagung,
Kedelai dan Ubikayu Tahun 2008 dan 2011 (Rp 000) 150
Tabel Lampiran 4. Analisa Usahatani Kubis, Kentang, Tomat dan Cabe Merah
Tahun 2005 dan 2012 (Rp 000) 151
Tabel Lampiran 5. Analisa Usahatani Komoditas Tebu dan Tembakau Tahun
2008, 2009, 2011 dan 2012 (Rp 000) 152
23. 1
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Peningkatan kesejahteraan masyarakat sangat relevan untuk terus
mendapat perhatian, hal ini berkaitan dengan beberapa aspek, antara lain: (a)
kehidupan yang sejahtera merupakan hak dari setiap anggota masyarakat, (b)
Pembukaan UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa Indonesia yang
sejahtera merupakan tujuan akhir dari pembentukan negara Indonesia, (c)
peningkatan kesejahteraan telah menjadi kesepakatan dunia seperti yang
tertuang dalam Millennium Development Goals (MDGs), dan (d) kesejahteraan
masyarakat selalu menjadi prioritas pembangunan nasional. Peningkatan
kesejahteraan rakyat ditunjukkan oleh membaiknya berbagai indikator
pembangunan sumberdaya manusia, antara lain peningkatan pendapatan per
kapita; penurunan angka kemiskinan dan tingkat pengangguran.
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang mempunyai
kontribusi penting dalam pembangunan nasional, melalui perannya dalam
pembentukan PDB, penyerapan tenaga kerja, dan sumber pendapatan
masyarakat, serta perannya dalam memproduksi produk pertanian untuk
penyediaan pangan, pakan, bahan baku industri dan ekspor.
Dalam dekade terakhir, PDB sektor pertanian secara luas terus meningkat.
Atas dasar harga konstan, PDB pertanian meningkat dari Rp 66,2 trilyun pada
tahun 2000 menjadi Rp 166,8 trilyun pada tahun 2011, atau terdapat peningkatan
rata-rata 4,0 persen/tahun. Keberhasilan transformasi ekonomi yang berjalan
menyebabkan laju pertumbuhan di banyak sektor di luar pertanian tumbuh lebih
tinggi dibanding sektor pertanian, sehingga kontribusi sektor pertanian terhadap
pembentukan PDB total nasional mengalami penurunan.
Kontribusi penting lain dari sektor pertanian adalah sebagai penyedia
lapangan kerja masyarakat. Pada tahun 2000-2011 jumlah tenaga kerja di sektor
24. 2
2
pertanian cenderung menurun dari 40,7 juta jiwa (45,3 persen total tenaga kerja)
pada tahun 2000 menjadi 39,3 juta jiwa (35,9 persen total tenaga kerja) pada
tahun 2011, sejalan dengan tumbuhnya lapangan kerja di luar sektor pertanian.
Namun demikian, jumlah serapan tenaga kerja tersebut masih cukup dominan.
Aktivitas sektor pertanian sebagian besar dilakukan di wilayah pedesaan dan
didominasi kegiatan on farm atau usahatani budidaya. Aktivitas dilakukan oleh
petani penggarap dan para buruh tani yang memperoleh upah tenaga kerja.
Pelaksanaan pembangunan pertanian pada dasarnya ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama petani. Oleh karena itu, dalam
setiap tahap kegiatan pembangunan pertanian kesejahteraan petani selalu
menjadi tujuan pembangunan. Melalui berbagai kebijakan dan program
pembangunan pertanian yang dilaksanakan, pemerintah telah berupaya
peningkatan produksi pertanian, menjaga stabilitas pasokan bahan pangan, dan
meningkatkan pendapatan/kesejahteraan petani.
Diantara kegiatan-kegiatan pembangunan telah berjalan diyakini banyak
keberhasilan yang dicapai, terutama dalam peningkatan produksi, perekonomian
pedesaan serta bagi konsumen pedesaan dan perkotaan. Namun kemiskinan
masih menjadi masalah yang belum sepenuhnya terpecahkan, terutama
kemiskinan di pedesaan. Peningkatan produksi hasil pertanian melalui berbagai
rekayasa teknologi dan kelembagaan dinilai belum cukup mampu meningkatkan
pendapatan, kesejahteraan petani dan penangggulangan kemiskinan di pedesaan
(Dillon et al., 1999; Simatupang et al., 2000). Kondisi ini didukung oleh data yang
menunjukkan jumlah masyarakat miskin di Indonesia terutama di pedesaan masih
besar. Data BPS menunjukkan pada tahun 2012 jumlah penduduk miskin di
Indonesia mencapai 29,13 juta jiwa, dan sebagian besar, yaitu 18,48 juta (63,4
persen) berada di pedesaan dan sebesar 10,65 juta jiwa (36,6 persen) penduduk
miskin berada di perkotaan.
Pembangunan pertanian berorientasi ke arah perbaikan kesejahteraan
pelaku pembangunan, yaitu petani. Oleh karena itu, sangat relevan untuk
25. 3
3
mengkaji dampak pembangunan yang dilaksanakan terhadap kesejahteraan
petani. Kajian tersebut terutama ditujukan untuk menilai kebijakan yang memberi
dampak positif, negatif, atau netral terhadap produksi dan kesejahteraan petani.
Salah satu indikator/alat ukur yang dapat digunakan untuk menilai tingkat
kesejahteraan petani adalah indeks Nilai Tukar Petani (NTP). NTP merupakan
ukuran kemampuan daya beli/daya tukar petani terhadap barang yang dibeli
petani. Peningkatan nilai tukar petani menunjukkan peningkatan kemampuan riil
petani dan mengindikasikan peningkatan kesejahteraan petani, atau sebaliknya.
Pengetahuan secara mendalam tentang perilaku nilai tukar petani, dampak
pembangunan, dan identifikasi faktor-faktor penentu nilai tukar akan sangat
berguna bagi perencanaan kebijakan pembangunan, perbaikan program-program
pembangunan ke depan.
1.2. Dasar Pertimbangan
Dalam periode tiga dasawarsa terakhir sektor pertanian dalam arti luas
telah menunjukkan peran penting dalam pembangunan nasional, terutama dalam
menggerakkan perekonomian nasional. Sektor pertanian diharapkan masih akan
menjadi motor penggerak perekonomian pedesaan ke depan. Beberapa dekade
yang lalu, pertumbuhan pertanian menunjukkan pertumbuhan yang cukup besar
dan telah memberi kontribusi berarti dalam penurunan tingkat kemiskinan.
Sektor pertanian memiliki multifungsi, antara lain mencakup aspek
produksi, peningkatan kesejahteraan masyarakat, atau penanggulangan
kemiskinan dan kelestarian lingkungan. Dalam aspek produksi, pertanian berperan
dalam menghasilkan produksi untuk bahan pangan pokok, bahan baku industri
domestik, bahan pakan, bio energi, dan produksi untuk ekspor. Dalam aspek
peningkatan kesejahteraan masyarakat, sektor pertanian merupakan sumber
lapangan kerja dan pendapatan masyarakat, pembentukan kapital yang berperan
besar dalam penanggulangan kemiskinan. Penyediaan/produksi berbagai produk
pertanian dengan harga yang murah juga telah meningkatkan kesejahteraan
masyarakat terutama konsumen. Sektor pertanian juga berperan dalam menjaga
26. 4
4
kelestarian lingkungan melalui perannya dalam menciptakan alam yang hijau dan
menciptakan keseimbangan lingkungan, menghindari erosi, dan pengurangan
polusi.
Berbagai kebijakan dan program dalam kegiatan pembangunan pertanian
yang berjalan, ditujukan untuk memaksimalkan multifungsi di atas. Kebijakan dan
program pembangunan tersebut seperti: penyediaan infrastruktur produksi seperti
(irigasi, jalan usahatani); pemberian berbagai bantuan, insentif dan subsidi sarana
produksi (benih, pupuk) dan subsidi harga; dan dukungan penyuluhan dan
pembinaan dalam usahatani serta panen dan pascapanen.
Walaupun pembangunan pertanian telah berdampak positif bagi
masyarakat pedesaan, namun belum mampu memecahkan masalah kemiskinan di
pedesaan. Meskipun jumlah penduduk miskin di pedesaan menunjukkan
penurunan, jumlah penduduk miskin di pedesaan masih besar. Produksi pertanian
telah tumbuh secara signifikan, namun kesejahteraan petani belum dapat
meningkatkan secara signifikan. Hal ini disebabkan antara lain karena umumnya
harga yang diterima petani dan yang dibayar konsumen relatif masih rendah. Hal
ini berkaitan dengan rendahnya daya tawar petani. Kondisi ini menunjukkan
sistem agribisnis yang terbangun belum dapat sepenuhnya mensejahterakan
petani. Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya daya tawar petani tersebut
seperti kesetaraan kelembagaan dalam pasar, infrastruktur, serta kualitas produk
dan lain. Dalam pandangan yang bersifat positif, kondisi demikian menunjukkan
bahwa masih ada peluang meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat
pedesaan secara keseluruhan melalui perbaikan dan melonggarkan kendala-
kendala yang ada.
Sektor pertanian mempunyai potensi besar dalam perekonomian nasional.
Potensi pertanian mencakup wilayah yang luas dengan keragaman kondisi
agroekosistem dan potensi besar komoditas untuk dikembangkan. Namun,
pembangunan pertanian terkendala oleh sejumlah keterbatasan, antara lain: (1)
sumberdaya alam yang terbatas dan rusak, (2) ketersediaan infrastruktur
27. 5
5
pendukung pengembangan pertanian terbatas, (3) penguasaan lahan oleh
rumahtangga relatif kecil, (4) keterbatasan akses petani terhadap modal, (4)
kelembagaan pertanian belum kuat, (5) kebijakan dan pembinaan pertanian
(agribisnis) yang tersekat oleh banyak lembaga.
Peningkatan kesejahteraan petani telah dan akan menjadi prioritas
pembangunan pertanian mendatang, sejalan dengan arahan yang tertuang
dalam rencana jangka panjang pembangunan nasional. Dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, Visi Pembangunan
Nasional tahun 2005-2025 adalah: INDONESIA YANG MANDIRI, MAJU, ADIL
DAN MAKMUR. Dalam tahapan pelaksanaan pembangunan jangka menengah
(PJM) tahun 2004-2009 telah ditetapkan tiga strategi pembangunan ekonomi,
yaitu Pro Growth, Pro Jobs, dan Pro Poor. Strategi pembangunan nasional
tersebut dilanjutkan pada PJM 2010-2014 dengan memperluas fokus menjadi
Triple + One Track Strategy, yaitu Pro Growth, Pro Poor, Pro Jobs, dan Pro
Environment. Dalam strategi pembangunan tersebut, aspek kesejahteraan
masyarakat termasuk masyarakat pertanian (petani) menjadi perhatian,
sehingga agenda peningkatan kesejahteraan rakyat tetap menjadi prioritas dari
pemerintah mendatang. Wujud akhir dari perbaikan kesejahteraan akan
tercermin pada peningkatan pendapatan, penurunan tingkat pengangguran dan
perbaikan kualitas hidup rakyat. Dalam RPJM tahun 2015-2019 diyakini fokus
kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pendalaman dari strategi
Triple + One Track Strategy, yaitu Pro Growth, Pro Poor, Pro Jobs, dan Pro
Environment masih akan menjadi perhatian utama.
Sebagai negara agraris, jumlah masyarakat yang terlibat dalam kegiatan
pertanian/agribisnis relatif besar. Dengan demikian peningkatan kesejahteraan
masyarakat pertanian (petani) akan mendapat perhatian besar pembangunan
nasional melalui kegiatan pembangunan pertanian. Oleh karena itu, dalam setiap
tahapan kegiatan pembangunan pertanian yang telah dilaksanakan dan yang
sedang berjalan, kesejahteraan petani selalu menjadi salah satu tujuan utama dan
28. 6
6
ke depan diyakini masih menjadi salah satu prioritas/target utama pembangunan
pertanian.
Dengan orientasi pembangunan pertanian ke arah perbaikan kesejahteraan
pelaku pembangunan, yaitu petani, maka sangat relevan untuk mengkaji tingkat
kesejahteraan petani dan dampak pembangunan yang dilaksanakan terhadap
kesejahteraan petani. Pengetahuan secara mendalam tingkat kesejahteraan petani
dalam bentuk alat ukur nilai tukar petani, dampak pembangunan dan identifikasi
faktor-faktor penentu nilai tukar akan sangat berguna bagi perencanaan kebijakan
pembangunan, perbaikan program-program pembangunan ke depan.
1.3. Tujuan
Secara umum kajian bertujuan untuk merumuskan kebijakan peningkatan
nilai tukar petani sebagai bahan penyusunan RPJMN 2015-2019 Bidang Pertanian.
Secara lebih rinci tujuan kajian adalah:
1) Menganalisa perilaku nilai tukar petani Indonesia,
2) Menganalisa faktor-faktor dan kebijakan yang mempengaruhi nilai tukar
petani,
3) Menganalisa nilai tukar pendapatan usahatani dan pendapatan rumahtangga,
4) Merumuskan kebijakan peningkatan kesejahteraan petani sebagai bahan
dasar RPJMN 2015-2019 Bidang Pertanian.
1.4. Keluaran
Sesuai dengan tujuan, maka keluaran kajian adalah rumusan kebijakan
peningkatan nilai tukar petani sebagai bahan penyusunan RPJMN 2015-2019
Bidang Pertanian. Secara lebih rinci keluaran kajian adalah:
1) Analisa perilaku nilai tukar petani Indonesia,
2) Analisa faktor-faktor dan kebijakan yang mempengaruhi nilai tukar petani,
5) Analisa nilai tukar pendapatan usahatani dan pendapatan rumahtangga,
6) Rumusan kebijakan peningkatan kesejahteraan petani sebagai bahan dasar
RPJMN 2015-2019 Bidang Pertanian.
29. 7
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Nilai Tukar Petani sebagai Indikator Kesejahteraan Petani
Unsur penting yang dijadikan sebagai indikator kesejahteraan petani
adalah besarnya pendapatan dan perimbangannya dengan pengeluaran. Dalam
kaitan tersebut salah satu alat ukur yang sering digunakan adalah nilai tukar
petani (NTP). Perhitungan NTP diperoleh dari perbandingan indeks harga yang
diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani. Nilai tukar petani
menggambarkan tingkat daya tukar/daya beli petani terhadap produk yang
dibeli/dibayar petani yang mencakup konsumsi dan input produksi yang dibeli.
Semakin tinggi nilai tukar petani, semakin baik daya beli petani terhadap produk
konsumsi dan input produksi tersebut, dan berarti secara relatif lebih sejahtera.
Simatupang dan Maulana (2008) mengemukakan bahwa penanda
kesejahteraan yang unik bagi rumahtangga tani praktis tidak ada, sehingga NTP
menjadi pilihan satu-satunya bagi pengamat pembangunan pertanian dalam
menilai tingkat kesejahteraan petani. Dengan demikian, NTP merupakan salah
satu indikator relatif tingkat kesejahteraan petani. Semakin tinggi NTP, relatif
semakin sejahtera tingkat kehidupan petani (Silitonga, 1995; Sumodiningrat,
2001; Tambunan, 2003; BPS, 2006; Masyhuri, 2007).
Konsep NTP yang dikembangkan BPS, identik dengan konsep nisbah
paritas (parity ratio) yang dikembangkan di Amerika Serikat pada tahun 1930an
(Tomek dan Robinson, 1981). Konsep tersebut sampai sekarang masih digunakan
dan secara dinamis dilakukan beberapa modifikasi sesuai dengan perubahan
relatif komoditas penyusunnya. Konsep nisbah paritas dirumuskan sebagai
berikut:
30. 8
8
Dengan menggunakan teori keseimbangan umum Rachmat (2000)
menunjukkan bahwa NTP dapat dijadikan sebagai alat ukur tingkat kesejahteraan
petani. Secara konsepsi arah dari NTP (meningkat atau menurun) merupakan
resultan dari arah setiap komponen penyusunnya, yaitu komponen penerimaan
yang mempunyai arah positif terhadap kesejahteraan petani dan komponen
pembayaran yang mempunyai arah negatif terhadap kesejahteraan. Apabila laju
komponen penerimaan lebih tinggi dari laju pembayaran maka nilai tukar petani
akan meningkat, demikian sebaliknya. Pergerakan naik atau turun NTP
menggambarkan naik turunnya tingkat kesejahteraan petani.
Lebih lanjut Rachmat (2000) menunjukkan bahwa NTP mempunyai
karakteristik yang cenderung menurun. Hal ini berkaitan dengan karakteristik yang
melekat dari komoditas pertanian dan non pertanian. Ada tiga penjelasan
mengenai terjadinya penurunan NTP, yaitu: (1) Elastisitas pendapatan produk
pertanian bersifat inelastik, sementara produk non pertanian cenderung lebih
elastis, (2) Perubahan teknologi dengan laju yang berbeda menguntungkan
produk manufaktur, dan (3) Perbedaan dalam struktur pasar, dimana struktur
pasar dari produk pertanian cenderung kompetitif, sementara struktur pasar
produk manufaktur cenderung kurang kompetitif dan mengarah ke pasar
monopoli/oligopoli.
Secara umum, nilai tukar mempunyai arti yang luas dan dapat digolongkan
menjadi lima konsep nilai tukar, yaitu: (1) Nilai Tukar Barter, (2) Nilai Tukar
Faktorial, (3) Nilai Tukar Penerimaan, (4) Nilai Tukar Subsisten, (5) Nilai Tukar
Pendapatan, dan (6) Nilai Tukar Petani (Diakosawas dan Scandizzo, 1991;
Simatupang, 1992; Simatupang dan Isdijoso, 1992; Rachmat et al., 2000;
Supriyati et al., 2000).
1) Konsep Barter/Pertukaran
Konsep barter (Nilai Tukar Barter) mengacu kepada harga nisbi suatu
komoditas pertanian tertentu terhadap barang/produk non pertanian. Nilai Tukar
Barter (NTB) didefinisikan sebagai rasio antara harga pertanian terhadap harga
31. 9
9
produk non pertanian. Secara matematik dirumuskan sebagai berikut:
dimana: NTB = Nilai Tukar Barter Pertanian,
Px = Harga komoditas pertanian,
Py = Harga komoditas non pertanian.
Konsep nilai tukar ini mampu mengidentifikasi perbandingan harga relatif
dari komoditas pertanian tertentu terhadap harga produk yang dipertukarkan.
Peningkatan NTB berarti semakin kuat daya tukar harga komoditas pertanian
terhadap barang yang dipertukarkan. Konsep NTB hanya berkaitan dengan
komoditas dan produk tertentu dan tidak mampu memberi penjelasan berkaitan
dengan perubahan produktivitas (teknologi) komoditas pertanian dan komoditas
non pertanian tersebut.
2) Konsep Faktorial
Konsep faktorial merupakan perbaikan dari konsep barter, yaitu dengan
memasukkan pengaruh perubahan teknologi (produktivitas). Nilai Tukar Faktorial
(NTF) pertanian didefinisikan sebagai rasio antara harga pertanian terhadap harga
non pertanian, dikalikan dengan produktivitas pertanian (Zx). Apabila hanya
memperhatikan produktivitas pertanian maka disebut Nilai Tukar Faktorial Tunggal
(NTFT). Apabila produktivitas non pertanian (Zy) juga diperhitungkan, maka
disebut Nilai Tukar Faktorial Ganda (NTFG). NTFT dan NTFG dirumuskan sebagai
berikut:
32. 10
10
dimana: NTFT = Nilai Tukar Faktorial Tunggal,
NTFG = Nilai Tukar Faktorial Ganda,
ZX = Produktivitas komoditas pertanian,
Zy = Produktivitas produk non pertanian,
Z = Rasio produktivitas pertanian (x) terhadap non pertanian (y).
3) Konsep Penerimaan
Konsep penerimaan (Nilai Tukar Penerimaan) merupakan pengembangan
dari konsep nilai tukar faktorial. Nilai Tukar Penerimaan (NTR) merupakan daya
tukar dari penerimaan (nilai hasil) komoditas pertanian yang diproduksikan petani
per unit (hektar) terhadap nilai input produksi untuk memproduksi hasil tersebut.
Dengan demikian NTR menggambarkan tingkat profitabilitas dari usahatani
komoditas tertentu. Namun NTR hanya menggambarkan nilai tukar komoditas
tertentu, belum keseluruhan komponen penerimaan dan pengeluaran petani.
dimana: NTR = Nilai Tukar Penerimaan,
PX = Harga komoditas pertanian,
Py = Harga input produksi,
QX = Jumlah komoditas pertanian yang dihasilkan,
Qy = Jumlah input produksi yang digunakan.
4) Konsep Subsisten
Konsep nilai tukar subsisten (NTS) merupakan pengembangan lebih lanjut
dari NTR. NTS menggambarkan daya tukar dari penerimaan total usahatani petani
terhadap pengeluaran total petani untuk kebutuhan hidupnya (Pramonosidhi,
1984). Penerimaan petani merupakan penjumlahan dari seluruh nilai hasil
produksi komoditas pertanian yang dihasilkan petani dan pengeluaran nilai hasil
produksi komoditas pertanian yang dihasilkan petani. Pengeluaran petani
merupakan penjumlahan dari pengeluaran untuk konsumsi rumahtangga dan
pengeluaran untuk biaya produksi usahatani. NTS dirumuskan sebagai berikut:
33. 11
11
dimana: NTS = Nilai Tukar Subsisten,
PXi = Harga komoditas pertanian ke i,
QXi = Produksi komoditas pertanian ke i,
PYj = Harga produk konsumsi,
PYj = Harga produk input produksi,
QYi = Jumlah produk konsumsi,
PYj = Jumlah input produksi.
Dengan demikian, NTS menggambarkan tingkat daya tukar/daya beli dari
pendapatan petani dari usahatani terhadap pengeluaran rumahtangga petani
untuk kebutuhan hidupnya yang mencakup pengeluaran konsumsi dan
pengeluaran untuk biaya produksi. Dalam operasionalnya konsep NTS ini hanya
dapat dilakukan pada tingkat mikro, yaitu unit analisa rumahtangga.
2.2. Pengukuran Nilai Tukar Petani (NTP)
Secara konsepsi NTP mengukur daya tukar dari komoditas pertanian yang
dihasilkan petani terhadap produk yang dibeli petani untuk keperluan konsumsi
dan keperluan dalam memproduksi usahatani. Nilai tukar petani (NTP Padi )
didefinisikan sebagai rasio antara harga yang diterima petani (HT) dengan harga
yang dibayar petani (HB) atau NTP = HT/HB. Pengukuran NTP dinyatakan dalam
bentuk indeks sebagai berikut:
dimana: INTP = Indeks Nilai Tukar Petani,
IT = Indeks harga yang diterima petani,
IB = Indeks harga yang dibayar petani.
Indeks tersebut merupakan nilai tertimbang terhadap kuantitas pada
tahun dasar tertentu. Pergerakan nilai tukar akan ditentukan oleh penentuan
tahun dasar karena perbedaan tahun dasar akan menghasilkan keragaan
perkembangan indeks yang berbeda. Formulasi indeks yang digunakan adalah
Indeks Laspeyres (BPS, 1995).
34. 12
12
dimana: I = Indeks Laspeyres,
Qo = Kuantitas pada tahun dasar tertentu (tahun 0),
P0 = Harga pada tahun dasar tertentu (tahun 0),
Pi = Harga pada tahun ke i.
Dalam operasionalisasi penghitungan NTP, BPS memodifikasi Indeks Laspeyres
sebagai berikut:
dimana: In = Indeks harga bulanan bulan ke n (IT dan IB),
Pni = Harga bulan ke n untuk jenis barang ke i,
P(n-1)i = Harga bulan ke (n-1) untuk jenis barang ke i,
Pni/P(n-1)i = Relatif harga bulan ke n untuk jenis barang ke i,
Poi = Harga dasar tahun dasar untuk jenis barang ke i,
Qoi = Kuantitas pada tahun dasar untuk jenis barang ke i,
m = Banyaknya jenis barang yang tercakup dalam paket
komoditas.
2.2.1. Harga yang Diterima Petani (HT)
Harga yang diterima petani merupakan harga tertimbang dari harga setiap
komoditas pertanian yang diproduksi/dijual petani. Penimbang yang digunakan
adalah nilai produksi yang dijual petani dari setiap komoditas. Harga komoditas
pertanian merupakan harga rataan yang diterima petani atau "Farm Gate".
Petani yang dimaksud dalam konsep NTP dari BPS adalah petani yang
berusaha di sub sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan rakyat,
peternak, serta petani ikan budidaya dan nelayan. Petani sub sektor tanaman
pangan mencakup petani yang berusaha pada usahatani padi dan palawija; petani
sub sektor hortikultura mencakup petani sayur-sayuran dan buah-buahan; petani
perkebunan rakyat terdiri usahatani komoditas perdagangan rakyat; petani
peternak yang bergerak dalam usaha ternak besar, ternak kecil, unggas, dan hasil
peternakan; serta petani nelayan yang mencakup petani budidaya ikan dan
nelayan penangkapan. Harga yang diterima petani (HT) dirumuskan sebagai
berikut:
35. 13
13
dimana: HT = Harga yang diterima petani,
PTi = Harga kelompok komoditas dalam sub sektor ke i (i= tanaman
pangan, hortikultura, perkebunan rakyat, peternakan dan
perikanan),
ai = Pembobot dari masing-masing sub sektor ke i.
Harga dari setiap sub sektor merupakan harga tertimbang dari harga setiap
komoditas penyusunnya.
2.2.2. Harga yang Dibayar Petani (HB)
Harga yang dibayar petani merupakan harga tertimbang dari harga/biaya
konsumsi makanan, konsumsi non makanan dan biaya produksi dan penambahan
barang modal dari barang yang dikonsumsi atau dibeli petani. Komoditas yang
dihasilkan sendiri tidak masuk dalam perhitungan harga yang dibayar petani.
Harga yang dimaksud adalah harga eceran barang dan jasa yang di pasar
pedesaan. Harga yang dibayar petani (HB) dirumuskan berikut:
dimana: HB = Harga yang dibayar petani,
PBi = Harga kelompok produk ke i yang dibeli petani,
b = Pembobot dari komoditas ke i,
i = Kelompok produk konsumsi pangan, non pangan (perumahan,
pakaian, aneka barang dan jasa), dan sarana produksi (faktor
produksi, non, barang modal).
Konsep NTP dikembangkan BPS sebagai alat ukur untuk melihat
perbandingan relatif kesejahteraan petani. Pada awal penyusunannya, cakupan
petani hanya yang berusaha dalam kegiatan usahatani tanaman bahan makanan
(tanaman pangan dan hortikultura sayur-sayuran dan buah-buahan) dan
perkebunan rakyat, serta hanya dilakukan di tingkat provinsi. Sesuai dengan
berjalannya waktu, pada tahun 2008 dilakukan penyempurnaan pengukuran NTP
baik dalam cakupan petani dan cakupan wilayah (provinsi). Cakupan dalam
36. 14
14
definisi “petani” diperluas mencakup petani yang berusaha pada kegiatan
usahatani tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan (petani ternak),
dan perikanan (petani ikan dan nelayan).
NTP dikembangkan dengan unit analisa nasional dan regional, sehingga
diperoleh keunggulan karena merupakan indikator makro nasional dan regional
dari tingkat kesejahteraan petani regional. Melalui NTP dan komponennya dapat
diketahui perbandingan relatif Nilai Tukar Petani atau Nilai Tukar Komoditas
Pertanian antar regional (provinsi).
Secara konsepsi arah dari NTP (kesejahteraan petani) merupakan resultan
dari arah setiap Nilai Tukar Komponen Pembentuknya, yaitu nilai tukar komponen
penerimaan petani yang mempunyai arah positif terhadap kesejahteraan petani
dan nilai tukar komponen pembayaran yang mempunyai arah negatif terhadap
kesejahteraan petani. Apabila laju nilai tukar komponen penerimaan lebih tinggi
dari laju nilai tukar komponen maka Nilai Tukar Petani (NTP) akan meningkat,
demikian sebaliknya. Pembentukan NTP yang dikembangkan BPS terangkum
dalam Gambar 2.1.
37. 15
15
Padi
Jagung, Kedelai,
...dst...
Kubis, Bw Merah,
...dst...
Pisang, Mangga,
...dst...
Karet, Kopi,
...dst...
Sapi, Kerbau
Kambing, Domba
Ayam, Itik
Susu, Telur
Tuna, Cakalang
Gurame, Mas
Padi
Palawija
Sayuran
Buah-buahan
Perkebunan
Rakyat
Ternak Besar
Ternak Kecil
Unggas
Hasil Ternak
Penangkapan
Budidaya
NT Komoditas
NT Kelompok
Komoditas
NT Subsektor NT Petani
Perikanan
Peternakan
Perkebunan
Hortikultura
Tanaman Pangan
HT
NT
Petani
HB
Konsumsi
Sarana Produksi
HARGA YANG DITERIMA PETANI HARGA YANG DIBAYAR PETANI
Kesehatan
Sewa Lahan, Pajak
Upah buruh
Transportasi
Obat, Pupuk
Perumahan
Bahan Makanan
Sandang
Pendidikan, Rekreasi,
Olahraga
Transportasi dan
Komunikasi
Penambahan Barang
Modal
Makanan Jadi
Bibit
Gambar 2.1. Pembentukan NTP.
Perhitungan NTP merupakan merupakan agregasi dari nilai tukar
penyusunnya. NTP merupakan agregasi dari NTP sub sektor (yaitu sub sektor
tanaman pangan, sub sektor hortikultura, sub sektor perkebunan, sub sektor
peternakan, dan sub sektor perikanan). NTP sub sektor tanaman pangan disusun
dari komponen NTP padi dan NTP kelompok palawija, dan NTP palawija disusun
dari NTP komoditas palawija (jagung, kedelai, dan sebagainya) dan seterusnya
seperti terangkum dalam Gambar 2.1.
Pandangan umum yang selama ini berlaku sebagaimana disampaikan BPS
adalah peningkatan NTP berarti peningkatan kesejahteraan, demikian sebaliknya.
BPS mendefinisikan dan memberi arti NTP sebagai berikut:
38. 16
16
(a) NTP > 100, berarti petani mengalami surplus. Harga produksinya naik lebih
besar dari kenaikan harga konsumsi dan biaya produksi. Pendapatan petani
naik lebih besar dari pengeluarannya, dengan demikian tingkat kesejahteraan
petani lebih baik dibanding tingkat kesejahteraan petani sebelumnya.
(b) NTP = 100, berarti petani mengalami impas/break even.
Kenaikan/penurunan harga produksi sama dengan persentase
kenaikan/penurunan harga konsumsi dan biaya produksi. Tingkat
kesejahteraan petani tidak mengalami perubahan.
(c) NTP < 100, berarti petani mengalami defisit. Harga produksinya naik lebih
kecil dari kenaikan harga konsumsi dan biaya produksi. Tingkat
kesejahteraan petani mengalami penurunan dibanding tingkat kesejahteraan
petani sebelumnya.
2.3. Kebijakan Pembangunan dalam Peningkatan Kesejahteraan
Petani
Peningkatan kesejahteraan petani telah dan diyakini tetap menjadi prioritas
pembangunan pertanian mendatang, sejalan dengan arahan yang tertuang dalam
rencana jangka panjang pembangunan nasional. Indikator pencapaian sasaran
peningkatan kesejahteraan petani tercermin dari peningkatan pendapatan petani,
penurunan tingkat pengangguran di pedesaan, dan perbaikan kualitas hidup
petani. Langkah perbaikan kesejahteraan petani dituangkan dalam sejumlah
kebijakan dan program bidang pertanian dan di luar sektor pertanian terkait.
Kebijakan pertanian pada dasarnya adalah serangkaian tindakan yang
telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan
pembangunan pertanian, yaitu memajukan pertanian, mengusahakan agar
pertanian menjadi lebih produktif dan efisien serta dapat meningkatkan tingkat
penghidupan/kesejahteraan petani meningkat.
Dengan didasarkan kepada konsep NTP sebagai indikator kesejahteraan
petani, konsep NTP mengacu kepada kemampuan daya beli petani, yaitu
39. 17
17
kemampuan pendapatan yang diterima petani untuk dapat memenuhi kebutuhan
konsumsinya. Peningkatan kesejahteraan identik dengan peningkatan pendapatan
untuk memperbaiki/meningkatkan kebutuhan konsumsinya. Dengan demikian
peningkatan kesejahteraan dapat ditempuh melalui upaya untuk meningkatkan
pendapatan dan atau meningkatkan kebutuhan konsumsi rumahtangga.
Banyak faktor yang mempengaruhi pendapatan dan pola konsumsi
rumahtangga petani. Dari sisi pendapatan, tingkat pendapatan petani dapat dibagi
dalam tiga kelompok, yaitu: (a) pendapatan dari usahatani (on-farm), (b)
pendapatan dari kegiatan bidang pertanian di luar usahatani (off-farm) seperti
sebagai buruh tani, buruh di bidang usaha pascapanen pertanian, dan (d)
pendapatan dari usaha di luar kegiatan pertanian seperti pegawai negeri, buruh
non farm, kegiatan dagang, jasa dan lain-lain.
Besarnya tingkat pendapatan dari usaha pertanian (on-farm) dipengaruhi
oleh besarnya asset produksi pertanian (terutama pemilikan lahan usaha), jenis
komoditas yang diusahakan, produktivitas, dan harga produksi. Besarnya
pendapatan dari off-farm dipengaruhi oleh kesempatan/peluang berusaha dan
tingkat upah. Tingkat pendapatan non farm juga dipengaruhi oleh aset dan
kemampuan untuk dapat akses terhadap layanan, iklim usaha, produktivitas usaha
dan harga produk yang dihasilkan.
Besarnya tingkat pendapatan ini akan mempengaruhi struktur dan pola
konsumsi rumahtangga. Beberapa penelitian menunjukkan pada tingkat
pendapatan yang rendah, proporsi pengeluaran untuk pemenuhan makanan relatif
lebih besar dan proporsi tersebut semakin menurun dengan meningkatnya
pendapatan rumahtangga. Pola konsumsi tersebut juga pada akhirnya dipengaruhi
oleh harga-harga produk yang akan dibeli. Dengan demikian, banyak kebijakan
berkaitan dengan pembentukan pendapatan dan konsumsi rumahtangga, seperti
kebijakan peningkatan produksi dan produktivitas pertanian; sistem distribusi dan
pemasaran produksi hasil pertanian, pembentukan harga produksi, kebijakan
subsidi dan insentif, penyediaan infrastruktur, dan berbagai kebijakan di luar
40. 18
18
pertanian terkait dengan konsumsi rumahtangga. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan dalam rangka memperbaiki daya beli petani adalah dengan penerapan
subsidi yang dapat mengurangi tingkat pengeluaran rumahtangga, melalui
pemberian bantuan langsung, subsidi harga jual dan keringanan lainnya (Gambar
2.2).
Komoditas
Pertanian:
- Tanaman Pangan
- Hortikultura
- Perkebunan
- Peternakan
- Perikanan
HT
NT
Petani
HB
Konsumsi
Rumah
Tangga
Biaya Produksi
dan Barang
Modal
Subsektor:
- Tanaman Pangan
- Hortikultura
- Perkebunan
- Peternakan
- Perikanan
- Bahan Makanan
- Bahan Makanan Jadi
- Perumahan
- Sandang
- Kesehatan
- Pendidikan
- Transportasi & Komunikasi
- Penambahan Barang Modal
- Transportasi
- Bibit
- Upah Buruh
- Sewa Lahan, Pajak
- Obat, Pupuk
Kebijakan
Produksi
Pertanian
Kebijakan
Subsidi
Harga
Pangan,
BBM,
Perumahan,
Kesehatan
Kebijakan
Subsidi
Harga Input,
BBM
Kebijakan
Harga
Gambar 2.2. Kebijakan-kebijakan yang Mempengaruhi NTP.
2.3.1. Peningkatan Produksi Pertanian
Pendapatan petani secara langsung ditentukan oleh besarnya produksi
yang dihasilkan petani, sedangkan besarnya produksi tersebut dipengaruhi oleh
penguasaan lahan yang dikuasai dan produktivitas usahatani. Dalam kaitan
dengan lahan pertanian, data menunjukkan ketersediaan lahan pertanian per
kapita mengalami penurunan akibat peningkatan jumlah penduduk dan
kecenderungan konversi lahan, terutama untuk lahan sawah. Ketersediaan lahan
yang sesuai untuk pertanian yang sangat terbatas perlu dilindungi. Kebijakan
untuk mencegah terjadinya konversi lahan pertanian ke non pertanian telah
banyak dibuat. Telah banyak ditetapkan undang-undang dan peraturan
Pemerintah lain yang mengatur tentang pendayagunaan lahan dan pengendalian
konversi lahan. Kebijakan terakhir adalah dengan diterbitkannya UU No. 41/2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Secara umum,
undang-undang tersebut bertujuan untuk melindungi kawasan dan lahan
41. 19
19
pertanian pangan dalam rangka menjamin tersedianya lahan pertanian dan
mewujudkan kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan.
Dalam rangka meningkatkan produktivitas, penyelenggaraan program
peningkatan kesejahteraan rakyat akan dilaksanakan seiring dengan upaya
peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Peningkatan
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi akan mendukung terciptanya
penyelenggaraan program pembangunan ekonomi yang makin berkualitas, yaitu
pembangunan ekonomi yang berlandaskan pada peningkatan produktivitas dan
daya saing, serta makin memacu terciptanya kreativitas dan inovasi.
Peningkatan produktivitas dilakukan melalui kegiatan penelitian dan
pengembangan pertanian yang mampu menciptakan benih unggul, cara-cara
produksi yang dapat menghasilkan produk berkualitas. Adanya dinamika
perubahan iklim yang mengarah pada anomali iklim menuntut proses mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim. Hal ini menuntut langkah-langkah kongkrit terkait
mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
2.3.2. Pemberian Dukungan Subsidi dan Insentif
Untuk mendorong peningkatan produksi dan produktivitas pertanian
terutama pangan, pemerintah memberi subsidi dan insentif dalam bentuk: (a)
subsidi sarana produksi (benih, pupuk, pestisida); (b) dukungan dan jaminan
harga jual produk dengan menetapkan harga dasar; (c) kredit bersubsidi; dan (d)
air irigasi bersubsidi.
Subsidi harga sarana produksi diberikan untuk pupuk, benih, pestisida, dan
kredit. Pupuk merupakan input utama yang memperoleh subsidi paling besar.
Subsidi pupuk mulai diberlakukan sejak tahun 1971 dengan argumen dasar
adalah: (a) merangsang penggunaan pupuk sebagai bagian penerapan teknologi
pertanian dan peningkatan produksi, (b) menstabilkan harga di tingkat petani, dan
(c) meningkatkan efisiensi transfer sumberdaya dari pemerintah ke petani dalam
rangka pembangunan pedesaan. Selain pupuk, subsidi diberikan pada penyediaan
42. 20
20
prasarana produksi seperti irigasi, penyuluhan, penelitian dan pengembangan.
Selama 40 tahun pemberian subsidi terhadap pupuk telah meningkatkan
penggunaan pupuk di tingkat petani dan berperan besar dalam peningkatan
produksi pertanian. Subsidi-subsidi di muka menjadi beban bagi pemerintah
karena besarannya terus meningkat dari tahun ke tahun.
Kebijakan lain yang dinilai strategis adalah kebijakan harga (price support).
Sasaran kebijakan ini adalah: (a) melindungi produsen dari kemerosotan harga
pasar, yang umumnya terjadi pada musim panen, (b) melindungi konsumen dari
kenaikan harga yang melebihi daya beli, yang umumnya terjadi pada musim
paceklik, (c) mengendalikan inflasi melalui stabilitasi harga. Falsafah dasar
kebijaksanaan harga tersebut mencakup komponen: (1) menjaga agar harga
dasar cukup tinggi untuk merangsang produksi, (2) perlindungan harga batas
tertinggi yang menjamin harga yang layak bagi konsumen, (3) perbedaan antara
harga dasar dan harga batas tertinggi cukup layak memberi keuntungan yang
wajar bagi penyimpanan beras, dan (4) hubungan harga yang wajar antar daerah
maupun terhadap harga internasional (Amang, 1993).
2.3.3. Kebijakan Perdagangan
Kebijakan perdagangan dilakukan untuk menjaga stabilitas pasokan dan
harga komoditas di dalam negeri, mempertahankan daya saing produksi dalam
negeri, meningkatkan kesejahteraan petani produsen, melindungi konsumen dari
harga tinggi, dan menjaga keseimbangan neraca perdagang luar negeri
komoditas. Tujuan akhir dari kebijakan perdagangan diarahkan pada perbaikan
tataniaga produk pertanian, sehingga marjin tataniaga dari petani sampai dengan
konsumen akhir menjadi minimal dan petani menerima harga yang maksimal.
2.3.4. Penyediaan Infrastruktur
Kondisi infrastruktur pertanian Indonesia sangat tidak memadai. Sarana
jalan usahatani tidak memadai untuk mendukung peningkatan/pengembangan
pertanian, antara lain dalam hal adopsi teknologi, pemanfaatan mekanisasi dan
43. 21
21
pemasaran secara efisien. Dalam aspek infrastruktur irigasi, jaringan irigasi yang
ada sudah tua dan kurang pemeliharaan, sehingga tingkat efisiensinya rendah.
Sementara itu, pembangunan jaringan irigasi yang baru belum sepenuhnya
optimal karena beberapa kendala yang sebelumnya tidak diperhitungkan. Sarana
dan prasarana bagi petani untuk akses terhadap pemasaran produk juga sangat
rendah, misalnya keberadaan cold storage untuk produk segar, gudang, tempat
pengolahan, dan lain masih terbatas.
Kurangnya infrastruktur pertanian sering menjadi kendala bagi
pengembangan agribisnis berbasis iptek mutakhir. Penerapan inovasi teknologi
sering terhambat karena tidak tersedianya infrastruktur penyediaan input
produksi, jaringan informasi atau infrastruktur pemasaran hasil. Kebijakan
infrastruktur tidak hanya dibutuhkan untuk mendukung usaha agribisnis yang
sudah ada, tetapi juga merangsang tumbuhnya usaha-usaha baru yang
dibutuhkan dalam pembangunan sistem dan usaha agribisnis.
Pengembangan infrastruktur sebagai bagian dari pelayanan publik akan
lebih efektif apabila: (a) sesuai dengan kebutuhan/kepentingan publik, (b) mampu
menunjang pengembangan usaha yang dilakukan masyarakat banyak, dan (c)
mampu merangsang tumbuhnya usaha-usaha atau investasi baru yang dapat
memacu perkembangan ekonomi wilayah. Dalam kaitannya dengan pembangunan
sistem dan usaha agribisnis, maka kebijakan pembangunan infrastruktur perlu
diarahkan pada infrastruktur yang dibutuhkan oleh banyak pelaku agribisnis dan
mampu merangsang para investor untuk melakukan usaha agribisnis.
Infrastruktur seperti sarana pengairan dan drainase, jalan, listrik, farm road,
pelabuhan (khususnya pelabuhan-pelabuhan ekspor baru di wilayah timur
Indonesia), transportasi dan telekomunikasi merupakan prasarana yang sangat
dibutuhkan dalam pembangunan sistem dan usaha agribisnis.
44. 22
22
2.3.5. Kebijakan Khusus Peningkatan Kesejahteraan Rakyat
Dalam program pembangunan nasional, peningkatan kesejahteraan rakyat
selalu menjadi perhatian. Hal ini sejalan dengan empat pilar strategi
pembangunan yang dilakukan yaitu: pembangunan yang pro-pertumbuhan (pro-
growth), pro-lapangan pekerjaan (pro-job), pro-pengurangan kemiskinan (pro-
poor), serta pro-pengelolaan dan atau ramah lingkungan (pro-environment).
Disamping program pembangunan sektoral yang dilaksanakan oleh
kementrian, untuk mengentaskan kemiskinan, pemerintah telah menggulirkan
program khusus. Perpres No. 13 tahun 2009 dilanjutkan dengan Perpres No. 15
tahun 2010, program khusus penanggulangan kemiskinan dikelompokkan dalam 4
klaster program, yaitu : (a) Klaster pertama: Bantuan dan perlindungan sosial
berbasis keluarga, dengan sasaran mengurangi beban kehidupan dan
memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat miskin. Bentuk program ini adalah
bantuan langsung Raskin, BOS, dan Program Keluarga Harapan. (b) Klaster
kedua: Pemberdayaan Masyarakat, dengan sasaran Meningkatkan Kapasitas
Kelompok Masyarakat Miskin untuk Terlibat dalam Proses Pembangunan. Bentuk
program ini adalah mengembangkan PNPM Mandiri. (c) Klaster ketiga:
Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil, dengan sasaran Meningkatkan Tabungan
dan Menjamin Keberlanjutan Usaha. Bentuk program ini adalah Klaster
penyediaan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Corporate Social Responsibility (CSR),
dan (d) Klaster keempat: Program Pro Rakyat, dengan sasaran Menyediakan
Fasilitas Dasar Bagi Masyarakat Miskin dengan Harga Murah Melalui Koordinasi
Pelaksanaan Kegiatan Sektoral pada Wilayah Tertentu. Bentuk program berupa
program rumah murah, angkutan umum murah, air bersih dan listrik yang makin
merata, serta peningkatan kehidupan nelayan dan masyarakat miskin di perkotaan
(Pidato Presiden 16 Agustus 2012).
Dalam klaster pertama, pemberian bantuan raskin (beras untuk orang
miskin) ditujukan dalam rangka menjaga ketahanan pangan masyarakat dari
kondisi gejolak pangan yang terjadi akibat adanya gejolak pangan dunia yang
45. 23
23
juga mempengaruhi gejolak pangan dalam negeri. Bantuan pangan tersebut
secara langsung menekan pengeluaran rumahtangga untuk bahan pangan.
Bidang pendidikan, bantuan diberikan dalam rangka pengurangan beban biaya
pendidikan yang dilakukan melalui subsidi Program Wajib Belajar Sembilan Tahun
dan Bantuan Operasional Sekolah/BOS. Bidang kesehatan bantuan dalam upaya
menjamin kesehatan masyarakat dengan biaya terjangkau dilakukan melalui
pemberian Jaminan Kesehatan masuarakat (Jamkesmas), jaminan kesehatan,
jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan persalinan,
dan jaminan kematian.
Dalam klaster kedua, upaya pemberdayaan untuk meningkatkan akses dan
kapasitas kelompok masyarakat miskin untuk terlibat dalam proses
pembangunan, dilakukan melalui pengembangan Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. PNPM Mandiri dimaksudkan untuk
menjadi payung program penanggulangan kemiskinan dengan menggunakan
pendekatan pembangunan berbasis masyarakat sejalan dengan target pencapaian
MDGs (Millennium Development Goals). Tujuan PNPM Mandiri adalah
meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara
mandiri dengan cara menciptakan atau meningkatkan kapasitas masyarakat, baik
secara individu maupun berkelompok dalam memecahkan berbagai persoalan
terkait upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian serta kesejahteraan hidup
dengan memanfaatkan potensi ekonomi dan sosial yang mereka miliki melalui
proses pembangunan secara mandiri. PNPM Mandiri telah dilaksanakan sejak
tahun 2007, dimulai dengan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan
Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). Atas keberhasilan PPK
dan P2KP menjadi model pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat di
perdesaan dan perkotaan.
Dalam klaster ketiga, upaya pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil
dilakukan dengan penyediaan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Corporate Social
Responsibility (CSR). Kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah kredit/pembiayaan yang
46. 24
24
diberikan oleh perbankan kepada UMKMK yang layak tapi belum bankable.
Maksudnya adalah usaha tersebut memiliki prospek bisnis yang baik dan memiliki
kemampuan untuk mengembalikan. Sasaran program KUR adalah UMKM dan
Koperasi yang bergerak di sektor usaha produktif antara lain: pertanian,
perikanan dan kelautan, perindustrian, kehutanan, dan jasa keuangan simpan
pinjam. Penyaluran KUR dapat dilakukan langsung melalui kantor pelayanan bank
pelaksana KUR atau dapat juga melalui Lembaga Keuangan Mikro dan KSP/USP
Koperasi, atau melalui kegiatan linkage program lain yang bekerjasama dengan
Bank Pelaksana. Program KUR diluncurkan pada 5 November 2007, dengan bank
Pelaksana adalah Bank BRI, Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BTN, Bank Syariah
Mandiri, dan Bank Bukopin; dan dengan fasilitas penjaminan kredit dari
Pemerintah melalui PT Askrindo dan Perum Jamkrindo.
Dalam klaster keempat, program pro rakyat, dilakukan dalam rangka
menyediakan fasilitas dasar bagi masyarakat miskin dengan harga murah, dalam
bentuk program rumah murah, angkutan umum murah, air bersih dan listrik yang
makin merata, serta peningkatan kehidupan nelayan dan masyarakat miskin.
Kebijakan yang bersifat pro rakyat dalam rangka pengurangan kemiskinan dan
peningkatan kesejahteraan rakyat ini sebagian besar sangat relevan dalam rangka
menjaga memperbaiki NTP .
47. 25
25
BAB III
METODOLOGI
3.1. Kerangka Pemikiran
Salah satu unsur kesejahteraan petani adalah kemampuan pendapatan
petani untuk memenuhi kebutuhan perbaikan pengeluaran rumahtangga petani.
Alat ukur yang sering digunakan untuk menilai kesejahteraan petani tersebut
adalah NTP. Indeks NTP dihitung dari perbandingan antara harga yang diterima
petani terhadap harga yang dibayar petani. Secara konsepsi arah dari NTP
merupakan resultan dari arah komponen pembentuknya tersebut, yaitu komponen
harga yang diterima petani yang mempunyai arah positif terhadap NTP dan
komponen harga yang dibayar petani yang mempunyai arah negatif terhadap
NTP. Apabila laju pergerakan harga yang diterima petani lebih tinggi dari laju
harga yang dibayar petani maka NTP akan meningkat, dan sebaliknya. Pergerakan
NTP mengidentifikaskan pergerakan tingkat kesejahteraan petani.
Perilaku NTP tersebut dapat digambarkan oleh garis tren mengikuti
pergerakan nilainya, dan pergerakan tersebut dapat diduga dengan menggunakan
persamaan regresi. Pendugaan persamaan regresi yang paling sesuai dapat
dilakukan berdasarkan nilai R2
tertinggi. Koefisien regresi dari setiap persamaan
dugaan menggambarkan perubahan laju NTP sepanjang periode analisa.
Dalam Gambar 2.1 ditunjukkan rangkuman pembentukan NTP termasuk
unsur-unsur penyusunnya. Hubungan antara komponen penyusun dengan NTP
dapat digambarkan dengan nilai marjinal dan elastisitas penyusun terhadap NTP.
Perhitungan nilai marjinal dan elastisitas NTP terhadap komponen penyusun dapat
diturunkan sebagai berikut (Rachmat, 2000).
NTP = ;
Harga yang diterima petani (HT) merupakan harga tertimbang dari harga
setiap komoditas pertanian yang diproduksi/dijual petani, dengan penimbang
48. 26
26
adalah nilai produksi yang dijual petani dari setiap komoditas. Harga yang dibayar
petani (HB) merupakan harga tertimbang dari harga/biaya konsumsi rumahtangga
yang mencakup konsumsi makanan dan konsumsi non makanan; dan harga/biaya
produksi dan penambahan barang modal dari barang yang dibeli petani.
Apabila diasumsikan hanya ada dua komoditas yang dihasilkan, yaitu T1
dan T2, dengan harga PT1 dan PT2 dan dua produk yang dibeli petani, yaitu B1 dan
B2 dengan harga PB1 dan PB2, maka:
HT = a1 PT1 + a2 PT2; atau HT = PTi
HB = b1 PB1 + b2 PB2; atau HB = PBk
dimana: NTP = Nilai Tukar Petani,
HT = Harga yang diterima petani,
HB = Harga yang diterima petani,
PTi = Harga yang diterima petani dari komoditas ke i yang dihasilkan
petani,
PBk = Harga yang dibayar petani dari produk ke k yang dibeli petani,
ai = Pembobot komoditas yang dihasilkan ke i,
bk = Pembobot produk yang dibeli petani ke k.
sehingga:
NTP =
Dari persamaan di atas dihasilkan turunan total sebagai berikut:
NTP =
NTP =
NTP =
NTP =
sehinggga dihasilkan rumus umum sebagai berikut:
49. 27
27
NTP =
3.1.1. Pengaruh Perubahan Harga yang Diterima Petani (HT)
Pengaruh perubahan harga komoditas Ti (PTi) terhadap NTP dapat
diturunkan sebagai berikut:
Pengaruh perubahan HT terhadap NTP dapat berupa pengaruh langsung
dan pengaruh tidak langsung. Pengaruh langsung perubahan harga komoditas
terhadap nilai tukar petani merupakan respon langsung perubahan nilai tukar
petani akibat perubahan harga PTi, sedangkan pengaruh tidak langsung mencakup
pengaruh perubahan harga tersebut terhadap harga komoditas pertanian lain
yang diproduksikan ( dan terhadap produk manufaktur yang dibeli
( Besarnya pengaruh tersebut dirumuskan sebagai berikut:
Pengaruh langsung:
Pengaruh tidak langsung:
Dari analisa marjinal ini dapat diturunkan elastisitas sebagai berikut:
27
NTP =
3.1.1. Pengaruh Perubahan Harga yang Diterima Petani (HT)
Pengaruh perubahan harga komoditas Ti (PTi) terhadap NTP dapat
diturunkan sebagai berikut:
Pengaruh perubahan HT terhadap NTP dapat berupa pengaruh langsung
dan pengaruh tidak langsung. Pengaruh langsung perubahan harga komoditas
terhadap nilai tukar petani merupakan respon langsung perubahan nilai tukar
petani akibat perubahan harga PTi, sedangkan pengaruh tidak langsung mencakup
pengaruh perubahan harga tersebut terhadap harga komoditas pertanian lain
yang diproduksikan ( dan terhadap produk manufaktur yang dibeli
( Besarnya pengaruh tersebut dirumuskan sebagai berikut:
Pengaruh langsung:
Pengaruh tidak langsung:
Dari analisa marjinal ini dapat diturunkan elastisitas sebagai berikut:
50. 28
28
3.1.2. Pengaruh Perubahan Harga yang Dibayar Petani (HB)
Pengaruh perubahan harga produk yang dibeli (PBk) terhadap NTP
diturunkan sebagai berikut:
Pengaruh langsung dan tidak langsung dari perubahan harga produk yang dibeli
petani terhadap nilai tukar petani dapat dituliskan sebagai berikut:
Pengaruh langsung:
Pengaruh tidak langsung:
Dari analisa marjinal ini dapat diturunkan elastisitas sebagai berikut:
3.1.3. Nilai Tukar Penerimaan/Pendapatan Petani
Konsep NTP yang didasarkan kepada Indeks Laspeyres sebagaimana yang
dilakukan oleh BPS pada akhirnya merumuskan NTP sebagai rasio harga antara
yang diterima petani dan dibayar petani. Perilaku NTP hanya ditentukan oleh
perilaku harga-harga. Konsep ini sejalan dengan konsep NTP sebagai konsep daya
beli. Namun demikian, konsep daya beli yang dikembangkan tidak sepenuhnya
menggambarkan tingkat kesejahteraan. Konsep NTP tidak memperhitungkan
jumlah yang diproduksi dan jumlah yang dikonsumsi.
Perhitungan NTP ini diperoleh dari perbandingan indeks harga yang
diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani (NTP = HT/HB). Nilai
NTP akan meningkat apabila HT meningkat dengan laju lebih tinggi dari
28
3.1.2. Pengaruh Perubahan Harga yang Dibayar Petani (HB)
Pengaruh perubahan harga produk yang dibeli (PBk) terhadap NTP
diturunkan sebagai berikut:
Pengaruh langsung dan tidak langsung dari perubahan harga produk yang dibeli
petani terhadap nilai tukar petani dapat dituliskan sebagai berikut:
Pengaruh langsung:
Pengaruh tidak langsung:
Dari analisa marjinal ini dapat diturunkan elastisitas sebagai berikut:
3.1.3. Nilai Tukar Penerimaan/Pendapatan Petani
Konsep NTP yang didasarkan kepada Indeks Laspeyres sebagaimana yang
dilakukan oleh BPS pada akhirnya merumuskan NTP sebagai rasio harga antara
yang diterima petani dan dibayar petani. Perilaku NTP hanya ditentukan oleh
perilaku harga-harga. Konsep ini sejalan dengan konsep NTP sebagai konsep daya
beli. Namun demikian, konsep daya beli yang dikembangkan tidak sepenuhnya
menggambarkan tingkat kesejahteraan. Konsep NTP tidak memperhitungkan
jumlah yang diproduksi dan jumlah yang dikonsumsi.
Perhitungan NTP ini diperoleh dari perbandingan indeks harga yang
diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani (NTP = HT/HB). Nilai
NTP akan meningkat apabila HT meningkat dengan laju lebih tinggi dari
51. 29
29
peningkatan HB, atau HB tetap atau HB menurun. NTP juga akan meningkat pada
kondisi HT menurun, namun dengan laju lebih rendah dari penurunan HB.
Berbagai skenario perubahan HT dan HB terhadap NTP terangkum dalam Tabel
3.1.
Tabel 3.1. Perubahan HT dan HB terhadap NTP
Harga yang
diterima petani
(HT)
Harga yang dibayar
Petani (HB)
Laju perubahan HT
dan HB
NTP
Naik Naik Laju HT = laju HB Tetap
Naik Naik Laju HT > laju HB Meningkat
Naik Naik Laju HT < laju HB Menurun
Naik Tetap Meningkat
Naik Turun Meningkat
Turun Turun Laju HT = laju HB Tetap
Turun Turun Laju HT > laju HB Menurun
Turun Turun Laju HT < laju HB Meningkat
Turun Tetap Menurun
Turun Naik Menurun
BPS mendefinisikan bahwa peningkatan NTP berarti peningkatan
kesejahteraan. Definisi tersebut benar pada asumsi bahwa produktivitas selalu
tetap dan petani selalu menguasai produksi, sehingga kenaikan produksi juga
berarti kebaikan penerimaan. Kenyataan seringkali menunjukkan bahwa kenaikan
harga terjadi pada saat pasokan berkurang dibanding permintaannya. Penurunan
pasokan dapat terjadi karena penurunan produksi atau permintaan naik lebih
tinggi dibandingkan penawaran (produksi). Pada skala nasional atau regional,
kenaikan NTP/kenaikan harga produk justru mengidentifikasikan
kekurangan/kelangkaan pasokan/produksi untuk mengimbangi permintaan dan
terjadinya inflasi. Dengan demikian peningkatan peningkatan harga produk
pertanian yang berakibat NTP naik tidak sepenuhnya menggambarkan kondisi
yang diinginkan. Skenario perubahan penawaran dan permintaan terhadap harga
produk terangkum dalam Tabel 3.2.
29
peningkatan HB, atau HB tetap atau HB menurun. NTP juga akan meningkat pada
kondisi HT menurun, namun dengan laju lebih rendah dari penurunan HB.
Berbagai skenario perubahan HT dan HB terhadap NTP terangkum dalam Tabel
3.1.
Tabel 3.1. Perubahan HT dan HB terhadap NTP
Harga yang
diterima petani
(HT)
Harga yang dibayar
Petani (HB)
Laju perubahan HT
dan HB
NTP
Naik Naik Laju HT = laju HB Tetap
Naik Naik Laju HT > laju HB Meningkat
Naik Naik Laju HT < laju HB Menurun
Naik Tetap Meningkat
Naik Turun Meningkat
Turun Turun Laju HT = laju HB Tetap
Turun Turun Laju HT > laju HB Menurun
Turun Turun Laju HT < laju HB Meningkat
Turun Tetap Menurun
Turun Naik Menurun
BPS mendefinisikan bahwa peningkatan NTP berarti peningkatan
kesejahteraan. Definisi tersebut benar pada asumsi bahwa produktivitas selalu
tetap dan petani selalu menguasai produksi, sehingga kenaikan produksi juga
berarti kebaikan penerimaan. Kenyataan seringkali menunjukkan bahwa kenaikan
harga terjadi pada saat pasokan berkurang dibanding permintaannya. Penurunan
pasokan dapat terjadi karena penurunan produksi atau permintaan naik lebih
tinggi dibandingkan penawaran (produksi). Pada skala nasional atau regional,
kenaikan NTP/kenaikan harga produk justru mengidentifikasikan
kekurangan/kelangkaan pasokan/produksi untuk mengimbangi permintaan dan
terjadinya inflasi. Dengan demikian peningkatan peningkatan harga produk
pertanian yang berakibat NTP naik tidak sepenuhnya menggambarkan kondisi
yang diinginkan. Skenario perubahan penawaran dan permintaan terhadap harga
produk terangkum dalam Tabel 3.2.
52. 30
30
Tabel 3.2. Perubahan Penawaran/Produksi dan Permintaan terhadap Harga Produk
Pertanian
Penawaran
produk/produksi pertanian
(S)
Permintaan
produk pertanian
(D)
Laju penawaran
dan permintaan
Harga produk
pertanian
Naik Naik Laju S = laju D Tetap
Naik Naik Laju S > laju D Turun
Naik Naik Laju S < laju D Naik
Naik Tetap Turun
Naik Turun Turun
Turun Turun Laju S = laju D Tetap
Turun Turun Laju S > laju D naik
Turun Turun Laju S < laju D Turun
Turun Tetap Naik
Turun Naik Naik
Harga produksi dan NTP yang meningkat tidak sepenuhnya meningkatkan
pendapatan petani. Pendapatan meningkat apabila harga produksi naik dan/atau
tingkat produksi meningkat. Dalam kaitan itu penggunaan alat ukur NTP dalam
pengukuran kesejahteraan petani perlu memasukkan unsur produksi karena
kesejahteraan identik dengan pendapatan. Kesejahteraan petani akan naik
apabila NTP naik dengan tingkat produksi naik, tetap, atau turun namun dengan
laju peningkatan NTP lebih tinggi dari laju penurunan produksi. Keterkaitan antara
NTP produksi dengan kesejahteraan petani terangkum di dalam Tabel 3.3.
Tabel 3.3. NTP dan Produksi di Tingkat Regional
NTP Produksi petani (P)
Laju NTP dan
produksi
Kesejahteraan
Petani
Naik Turun Laju NTP > laju P Tetap
Naik Turun Laju NTP > laju P Naik
Naik Turun Laju NTP < laju P Turun
Naik Tetap Naik
Naik Naik Naik
Turun Naik Laju NTP = laju P Tetap
Turun Naik Laju NTP > laju P Turun
Turun Naik Laju NTP < laju P Naik
Turun Tetap Turun
Turun Turun Turun
30
Tabel 3.2. Perubahan Penawaran/Produksi dan Permintaan terhadap Harga Produk
Pertanian
Penawaran
produk/produksi pertanian
(S)
Permintaan
produk pertanian
(D)
Laju penawaran
dan permintaan
Harga produk
pertanian
Naik Naik Laju S = laju D Tetap
Naik Naik Laju S > laju D Turun
Naik Naik Laju S < laju D Naik
Naik Tetap Turun
Naik Turun Turun
Turun Turun Laju S = laju D Tetap
Turun Turun Laju S > laju D naik
Turun Turun Laju S < laju D Turun
Turun Tetap Naik
Turun Naik Naik
Harga produksi dan NTP yang meningkat tidak sepenuhnya meningkatkan
pendapatan petani. Pendapatan meningkat apabila harga produksi naik dan/atau
tingkat produksi meningkat. Dalam kaitan itu penggunaan alat ukur NTP dalam
pengukuran kesejahteraan petani perlu memasukkan unsur produksi karena
kesejahteraan identik dengan pendapatan. Kesejahteraan petani akan naik
apabila NTP naik dengan tingkat produksi naik, tetap, atau turun namun dengan
laju peningkatan NTP lebih tinggi dari laju penurunan produksi. Keterkaitan antara
NTP produksi dengan kesejahteraan petani terangkum di dalam Tabel 3.3.
Tabel 3.3. NTP dan Produksi di Tingkat Regional
NTP Produksi petani (P)
Laju NTP dan
produksi
Kesejahteraan
Petani
Naik Turun Laju NTP > laju P Tetap
Naik Turun Laju NTP > laju P Naik
Naik Turun Laju NTP < laju P Turun
Naik Tetap Naik
Naik Naik Naik
Turun Naik Laju NTP = laju P Tetap
Turun Naik Laju NTP > laju P Turun
Turun Naik Laju NTP < laju P Naik
Turun Tetap Turun
Turun Turun Turun
30
Tabel 3.2. Perubahan Penawaran/Produksi dan Permintaan terhadap Harga Produk
Pertanian
Penawaran
produk/produksi pertanian
(S)
Permintaan
produk pertanian
(D)
Laju penawaran
dan permintaan
Harga produk
pertanian
Naik Naik Laju S = laju D Tetap
Naik Naik Laju S > laju D Turun
Naik Naik Laju S < laju D Naik
Naik Tetap Turun
Naik Turun Turun
Turun Turun Laju S = laju D Tetap
Turun Turun Laju S > laju D naik
Turun Turun Laju S < laju D Turun
Turun Tetap Naik
Turun Naik Naik
Harga produksi dan NTP yang meningkat tidak sepenuhnya meningkatkan
pendapatan petani. Pendapatan meningkat apabila harga produksi naik dan/atau
tingkat produksi meningkat. Dalam kaitan itu penggunaan alat ukur NTP dalam
pengukuran kesejahteraan petani perlu memasukkan unsur produksi karena
kesejahteraan identik dengan pendapatan. Kesejahteraan petani akan naik
apabila NTP naik dengan tingkat produksi naik, tetap, atau turun namun dengan
laju peningkatan NTP lebih tinggi dari laju penurunan produksi. Keterkaitan antara
NTP produksi dengan kesejahteraan petani terangkum di dalam Tabel 3.3.
Tabel 3.3. NTP dan Produksi di Tingkat Regional
NTP Produksi petani (P)
Laju NTP dan
produksi
Kesejahteraan
Petani
Naik Turun Laju NTP > laju P Tetap
Naik Turun Laju NTP > laju P Naik
Naik Turun Laju NTP < laju P Turun
Naik Tetap Naik
Naik Naik Naik
Turun Naik Laju NTP = laju P Tetap
Turun Naik Laju NTP > laju P Turun
Turun Naik Laju NTP < laju P Naik
Turun Tetap Turun
Turun Turun Turun
53. 31
31
Pengukuran NTP dapat dikembangkan menjadi Nilai Tukar Penerimaan
Usaha Pertanian (NTU) yang memasukkan unsur kuantitas, sehingga NTR
merupakan kemampuan daya beli dari penerimaan petani.
Nilai Tukar Penerimaan Usaha Pertanian (NTU) dirumuskan sebagai
berikut:
dimana: NTU = Nilai Tukar Penerimaan Usaha Pertanian,
Px = Harga komoditas pertanian,
Qx = Produksi komoditas pertanian,
Py = Harga input produksi,
Qy = Jumlah input produksi.
Peningkatan kesejahteraan petani juga dapat dilihat dari perubahan tingkat
pendapatan rumahtangga. Peningkatan pendapatan rumahtangga petani
mengindikasikan peningkatan daya beli rumahtangga dalam rangka pemenuhan
kebutuhan konsumsinya. Peningkatan pendapatan akan berakibat perbaikan
dalam pola konsumsi dan standar hidup, dan ini berarti perbaikan dalam
kesejahteraan.
3.2. Ruang Lingkup Kegiatan
Sesuai dengan tujuan dan sasaran, maka lingkup kajian adalah:
1) Menganalisa perilaku nilai tukar petani Indonesia,
2) Menganalisa faktor-faktor dan kebijakan yang mempengaruhi nilai tukar
petani,
3) Menganalisa nilai tukar pendapatan usahatani dan pendapatan rumahtangga,
4) Merumuskan kebijakan peningkatan kesejahteraan petani sebagai bahan dasar
RPJMN 2015-2019 Bidang Pertanian.
3.3. Metoda Analisa
Sesuai dengan lingkup kegiatan di atas, metoda analisa yang digunakan
adalah:
54. 32
32
1) Analisa Nilai Tukar Petani Nasional
Dalam analisa digunakan metoda regresi data perkembangan NTP secara
nasional. Data yang digunakan dalam analisa ini adalah data bulanan sejak
Januari 2008 sampai dengan Mei 2013 yang berasal BPS. Hasil analisa
regresi NTP nasional dan perilakunya akan digambarkan dalam bentuk grafik
yang sesuai.
2) Analisa Faktor-faktor dan Kebijakan yang Mempengaruhi Nilai
Tukar Petani
Analisa faktor-faktor yang mempengaruhi NTP dilakukan dengan cara
menghitung dampak dari masing-masing komponen penyusun NTP (harga-
harga) terhadap NTP. Dampak tersebut ditunjukkan dalam bentuk nilai
marjinal dan elastisitas dari perubahan harga-harga terhadap NTP.
Dampak dari perubahan harg-harga tersebut juga dapat terjadi karena
penerapan kebijakan, sehingga melalui analisa ini juga dapat dilakukan
analisa dampak dan kebijakan terhadap NTP.
3) Analisa Nilai Tukar Pendapatan Usahatani dan Pendapatan
Rumahtangga
Analisa ini mencakup: (a) Analisa NT Pendapatan Usahatani komoditas
terpilih menurut sub sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan
peternakan serta, (b) Analisa NT Pendapatan Rumahtangga dari
agroekosistem sawah dan lahan kering.
4) Perumusan Alternatif Kebijakan Nilai Tukar Petani sebagai Ukuran
Kesejahteraan Petani sebagai Bahan Dasar RPJMN 2015-2019
Bidang Pertanian
Perumusan kebijakan dilakukan dengan cara merangkum semua hasil
temuan analisa di atas dan merumuskan implikasi kebijakan dari hasil
temuan tersebut yang terkait dengan RPJM 2015-2019.
55. 33
33
3.4. Sumber Data
Kajian akan dilakukan dengan menggunakan data sekunder, yaitu (a) Data
NTP yang dipublikasikan oleh BPS, (b) Publikasi BPS yang terkait dengan
rumahtangga pertanian, usaha pertanian, harga-harga pertanian, dan lain-lain, (c)
Publikasi hasil-hasil penelitian Panel Petani Nasional dari PSE-KP, dan (d) Data dari
direktorat teknis terkait di dalam Kementerian Pertanian.
57. 35
35
BAB IV
KERAGAAN RUMAHTANGGA PERTANIAN DAN KESEJAHTERAAN
PETANI
4.1. Keragaan Rumahtangga Pertanian
Berdasarkan sensus pertanian tahun 1993 dan 2003 telah terjadi
pertambahan jumlah rumahtangga pertanian dari 20,51 juta menjadi 24,84 juta.
Artinya, telah terjadi kenaikan rata-rata sebesar 21,13 persen. Kenaikan jumlah
rumahtangga yang sangat pesat terjadi pada sub sektor hortikultura dari 4,86 juta
ribu rumahtangga menjadi 8,45 juta ribu rumahtangga, atau mencapai kenaikan
hingga 73,93 persen. Kenaikan yang besar ini diduga karena dua sebab, yaitu: (a)
Meningkatnya minat masyarakat terhadap usaha di subsektor hortikultura sebagai
komoditas yang bernilai tinggi, dan (b) Penambahan statistik jumlah komoditas
hortikultura yang dicatat di BPS. Dalam tahun 2006 komoditas hortikultura yang
tercatat di BPS baru 17 komoditas dari sejumlah 323 komoditas hortikultura,
sesuai Kepmentan 511/Kpts/PD.9/2006. Dalam perkembangannya, jumlah jenis
hortikultura yang dicatat dalam statistik terus meningkat. Kenaikan terbesar kedua
adalah sub sektor perkebunan, yaitu 13,72 persen, menyusul sub sektor tanaman
pangan sebesar 3,86 persen, dan yang terendah sub sektor peternakan 2,89
persen (Tabel 4.1).
Tabel 4.1. Perkembangan Jumlah Rumahtangga Pertanian 1993-2003 Berdasarkan
Sub Sektor Pertanian (juta)
No Sektor 1993 2003 Perubahan (%)
1 Tanaman Pangan 17,55 18,23 3,86
2 Hortikultura 4,86 8,45 73,93
3 Perkebunan 6,11 6,94 13,72
4 Peternakan 5,47 5,62 2,89
Pertanian 20,51 24,84 21,13
Sumber: BPS; Sensus pertanian 1993 dan 2003.
Penelusuran lebih lanjut menurut wilayah menunjukkan peningkatan
jumlah rumahtangga relatif lebih besar terjadi di luar Pulau Jawa, yaitu 26,07
persen, sedangkan di Pulau Jawa hanya sekitar 17,30 persen atau di bawah rata-
35
BAB IV
KERAGAAN RUMAHTANGGA PERTANIAN DAN KESEJAHTERAAN
PETANI
4.1. Keragaan Rumahtangga Pertanian
Berdasarkan sensus pertanian tahun 1993 dan 2003 telah terjadi
pertambahan jumlah rumahtangga pertanian dari 20,51 juta menjadi 24,84 juta.
Artinya, telah terjadi kenaikan rata-rata sebesar 21,13 persen. Kenaikan jumlah
rumahtangga yang sangat pesat terjadi pada sub sektor hortikultura dari 4,86 juta
ribu rumahtangga menjadi 8,45 juta ribu rumahtangga, atau mencapai kenaikan
hingga 73,93 persen. Kenaikan yang besar ini diduga karena dua sebab, yaitu: (a)
Meningkatnya minat masyarakat terhadap usaha di subsektor hortikultura sebagai
komoditas yang bernilai tinggi, dan (b) Penambahan statistik jumlah komoditas
hortikultura yang dicatat di BPS. Dalam tahun 2006 komoditas hortikultura yang
tercatat di BPS baru 17 komoditas dari sejumlah 323 komoditas hortikultura,
sesuai Kepmentan 511/Kpts/PD.9/2006. Dalam perkembangannya, jumlah jenis
hortikultura yang dicatat dalam statistik terus meningkat. Kenaikan terbesar kedua
adalah sub sektor perkebunan, yaitu 13,72 persen, menyusul sub sektor tanaman
pangan sebesar 3,86 persen, dan yang terendah sub sektor peternakan 2,89
persen (Tabel 4.1).
Tabel 4.1. Perkembangan Jumlah Rumahtangga Pertanian 1993-2003 Berdasarkan
Sub Sektor Pertanian (juta)
No Sektor 1993 2003 Perubahan (%)
1 Tanaman Pangan 17,55 18,23 3,86
2 Hortikultura 4,86 8,45 73,93
3 Perkebunan 6,11 6,94 13,72
4 Peternakan 5,47 5,62 2,89
Pertanian 20,51 24,84 21,13
Sumber: BPS; Sensus pertanian 1993 dan 2003.
Penelusuran lebih lanjut menurut wilayah menunjukkan peningkatan
jumlah rumahtangga relatif lebih besar terjadi di luar Pulau Jawa, yaitu 26,07
persen, sedangkan di Pulau Jawa hanya sekitar 17,30 persen atau di bawah rata-
58. 36
36
rata nasional yang mencapai 21,13 persen. Rumahtangga tersebut mencakup
rumahtangga petani yang memiliki lahan dan rumahtangga buruh tani (Tabel 4.2).
Tabel 4.2. Perkembangan Jumlah Rumahtangga Pertanian 1993-2003 Berdasarkan
Wilayah (juta)
No Regional 1993 2003 Perubahan (%)
1 Pulau Jawa 11,55 13,55 17,30
2 Luar Pulau Jawa 8,95 11,29 26,07
Indonesia 20,51 24,84 21,13
Sumber: BPS, Sensus pertanian 1993 dan 2003.
Salah satu dari aset petani yang menggambarkan potensi pengembangan
usaha pertanian adalah distribusi kepemilikan lahan, semakin luas pemilikan akan
semakin baik peluang peningkatan produksi dan kesejahteraannya. Dengan hanya
melihat rumahtangga yang memiliki lahan, jumlah rumahtangga petani tahun
1993-2003 meningkat dari 19,71 juta RT menjadi 23,67 juta RT atau peningkatan
sebesar 29,92 persen. Pertanian Indonesia didominasi pertanian skala kecil,
bahkan sebagian diantaranya dioperasikan oleh buruh tani yang tidak memiliki
lahan. Hasil sensus pertanian 2003 menunjukkan jumlah dan proporsi
rumahtangga skala kecil (<0,5 ha) meningkat dibandingkan tahun 1993, yaitu dari
10,63 juta RT menjadi 14,03 juta RT atau peningkatan sebesar 31,95 persen
(Tabel 4.3).
Tabel 4.3. Struktur Rumahtangga Pertanian Menurut Golongan Luas Pemilikan Lahan
Tahun 1983-2003
Tahun
Golongan Luas Lahan (ha)
<0,5 0,50 – 0,99 1,00 – 1,99 > 2,00 Total
1983
6.412.246
(42,26)
3.671.243
(24,19)
2.922.294
(19,26)
2.168.315
(14,29)
12.254.726
(100)
1993
10.631.887
(53,93)
4.348.303
(22,06)
3.132.145
(15,89)
1.601.409
(8,12)
19.713.744
(100)
2003
14.028.589
(56,41)
4.578.053
(18,41)
3.460.406
(13,91)
2.801.627
(11,27)
23.668.457
(100)
Perubahan Jumlah Rumahtangga
1983 - 1993 +65,81 +18,44 +7,18 -26,15 +29,92
1993 - 2003 +31,95 +5,28 +10,48 +74,95 +20,06
1983 - 2003 +118,78 +24,70 +18,41 +29,21 +55,98
Sumber: Sensus Pertanian 1983, 1992, 2003 (BPS).
36
rata nasional yang mencapai 21,13 persen. Rumahtangga tersebut mencakup
rumahtangga petani yang memiliki lahan dan rumahtangga buruh tani (Tabel 4.2).
Tabel 4.2. Perkembangan Jumlah Rumahtangga Pertanian 1993-2003 Berdasarkan
Wilayah (juta)
No Regional 1993 2003 Perubahan (%)
1 Pulau Jawa 11,55 13,55 17,30
2 Luar Pulau Jawa 8,95 11,29 26,07
Indonesia 20,51 24,84 21,13
Sumber: BPS, Sensus pertanian 1993 dan 2003.
Salah satu dari aset petani yang menggambarkan potensi pengembangan
usaha pertanian adalah distribusi kepemilikan lahan, semakin luas pemilikan akan
semakin baik peluang peningkatan produksi dan kesejahteraannya. Dengan hanya
melihat rumahtangga yang memiliki lahan, jumlah rumahtangga petani tahun
1993-2003 meningkat dari 19,71 juta RT menjadi 23,67 juta RT atau peningkatan
sebesar 29,92 persen. Pertanian Indonesia didominasi pertanian skala kecil,
bahkan sebagian diantaranya dioperasikan oleh buruh tani yang tidak memiliki
lahan. Hasil sensus pertanian 2003 menunjukkan jumlah dan proporsi
rumahtangga skala kecil (<0,5 ha) meningkat dibandingkan tahun 1993, yaitu dari
10,63 juta RT menjadi 14,03 juta RT atau peningkatan sebesar 31,95 persen
(Tabel 4.3).
Tabel 4.3. Struktur Rumahtangga Pertanian Menurut Golongan Luas Pemilikan Lahan
Tahun 1983-2003
Tahun
Golongan Luas Lahan (ha)
<0,5 0,50 – 0,99 1,00 – 1,99 > 2,00 Total
1983
6.412.246
(42,26)
3.671.243
(24,19)
2.922.294
(19,26)
2.168.315
(14,29)
12.254.726
(100)
1993
10.631.887
(53,93)
4.348.303
(22,06)
3.132.145
(15,89)
1.601.409
(8,12)
19.713.744
(100)
2003
14.028.589
(56,41)
4.578.053
(18,41)
3.460.406
(13,91)
2.801.627
(11,27)
23.668.457
(100)
Perubahan Jumlah Rumahtangga
1983 - 1993 +65,81 +18,44 +7,18 -26,15 +29,92
1993 - 2003 +31,95 +5,28 +10,48 +74,95 +20,06
1983 - 2003 +118,78 +24,70 +18,41 +29,21 +55,98
Sumber: Sensus Pertanian 1983, 1992, 2003 (BPS).
36
rata nasional yang mencapai 21,13 persen. Rumahtangga tersebut mencakup
rumahtangga petani yang memiliki lahan dan rumahtangga buruh tani (Tabel 4.2).
Tabel 4.2. Perkembangan Jumlah Rumahtangga Pertanian 1993-2003 Berdasarkan
Wilayah (juta)
No Regional 1993 2003 Perubahan (%)
1 Pulau Jawa 11,55 13,55 17,30
2 Luar Pulau Jawa 8,95 11,29 26,07
Indonesia 20,51 24,84 21,13
Sumber: BPS, Sensus pertanian 1993 dan 2003.
Salah satu dari aset petani yang menggambarkan potensi pengembangan
usaha pertanian adalah distribusi kepemilikan lahan, semakin luas pemilikan akan
semakin baik peluang peningkatan produksi dan kesejahteraannya. Dengan hanya
melihat rumahtangga yang memiliki lahan, jumlah rumahtangga petani tahun
1993-2003 meningkat dari 19,71 juta RT menjadi 23,67 juta RT atau peningkatan
sebesar 29,92 persen. Pertanian Indonesia didominasi pertanian skala kecil,
bahkan sebagian diantaranya dioperasikan oleh buruh tani yang tidak memiliki
lahan. Hasil sensus pertanian 2003 menunjukkan jumlah dan proporsi
rumahtangga skala kecil (<0,5 ha) meningkat dibandingkan tahun 1993, yaitu dari
10,63 juta RT menjadi 14,03 juta RT atau peningkatan sebesar 31,95 persen
(Tabel 4.3).
Tabel 4.3. Struktur Rumahtangga Pertanian Menurut Golongan Luas Pemilikan Lahan
Tahun 1983-2003
Tahun
Golongan Luas Lahan (ha)
<0,5 0,50 – 0,99 1,00 – 1,99 > 2,00 Total
1983
6.412.246
(42,26)
3.671.243
(24,19)
2.922.294
(19,26)
2.168.315
(14,29)
12.254.726
(100)
1993
10.631.887
(53,93)
4.348.303
(22,06)
3.132.145
(15,89)
1.601.409
(8,12)
19.713.744
(100)
2003
14.028.589
(56,41)
4.578.053
(18,41)
3.460.406
(13,91)
2.801.627
(11,27)
23.668.457
(100)
Perubahan Jumlah Rumahtangga
1983 - 1993 +65,81 +18,44 +7,18 -26,15 +29,92
1993 - 2003 +31,95 +5,28 +10,48 +74,95 +20,06
1983 - 2003 +118,78 +24,70 +18,41 +29,21 +55,98
Sumber: Sensus Pertanian 1983, 1992, 2003 (BPS).