Riset aksi pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun 1930-an dan 1940-an, didasarkan pada gagasan Kurt Lewin tentang partisipasi manusia dalam proses pengambilan keputusan. Riset aksi kemudian diterapkan dalam dunia pendidikan pada tahun 1950-an dan berkembang luas di Britania pada tahun 1960-an. Riset aksi berbeda dari metode riset lain karena didasarkan pada ontologi si peneliti dan cara berpik
2. Muncul pertama kali di AS.
1930an: laporan riset John Collier, seorang
komisioner untuk urusan kaum Indian.
1940an: Kurt Lewin, pengungsi Yahudi dari Nazi
Jerman yang bekerja sebagai psikolog sosial di
AS, berpendapat bahwa manusia akan lebih
termotivasi dalam melakukan tugas/pekerjaan
apabila dilibatkan dalam proses pengambilan
keputusan tentang bagaimana pekerjaan mereka
akan dijalankan.
Gagasan Lewin tsb. sangat berpengaruh, dan
setelah dirinya, banyak peneliti mengorganisir
riset dan laporan riset mereka sebagai siklus
tahapan: amati (observe) – renungkan (reflect) –
lakukan (act) – evaluasi (evaluate) – modifikasi
(modify).
4. 1950an: riset aksi diterapkan dalam dunia
pendidikan, khususnya dalam pekerjaan
mengajar. Di masa ini buku Stephen Corey
(1953) Action Research to Improve School
Practices menjadi begitu berpengaruh di
Amerika.
1960an: muncul dan berkembang gerakan
sekolah gratis dan pendidikan progresif, yang
menekankan pendidikan sebagai cara untuk
mempromosikan praktik demokratis yang
mendorong seluruh masyarakat untuk
berpartisipasi secara penuh dan aktif dalam
kehidupan politik. Pendidikan dipandang
sebagai cara untuk melahirkan warganegara
yang bijaksana dan bertanggungjawab.
5. Akhir 1950an: puncak kejayaan penggunaan riset
aksi, sebagai akibat adanya fokus yang
berlebihan terhadap kebutuhan untuk mencapai
keunggulan teknis setelah peluncuran Sputnik
dan munculnya model-model baru riset dan
pengembangan.
Pada masa ini riset aksi juga mulai diakui di
Britania, terutama berkat pengaruh Lawrence
Stenhouse, yang bekerja dalam konteks
pendidikan guru. Berangkat dari pendekatan
disiplin-disiplin sebelumnya yang dominan
terhadap pendidikan, di mana para guru
mempelajari psikologi, sosiologi, sejarah, dan
filsafat pendidikan, Stenhouse mengajukan
sebuah pandangan tentang guru sebagai
profesional yang kompeten dan harus
bertanggungjawab terhadap tindakan mereka
sendiri.
6. Paradigma: suatu paket ide atau teori yang digunakan
sebagai cara pandang terhadap sesuatu yang
berkaitan dengan konteks tertentu. Berbagai teori ini
memiliki cara pandang yang berbeda mengenai
perkembangan ilmiah dan sosial.
Kuhn (1970): perubahan paradigma seringkali
merupakan proses pergantian.
Lakatos (1970): perubahan paradigma adl proses
penggabungan ide-ide lama ke dalam ide-ide baru.
Perubahan paradigma seringkali melibatkan proses
tumpang-tindih, pengulangan, dan bahkan mundur
ke belakang. Suatu paradigma mungkin juga
meminjam paradigma lain, dan kadang sulit
mengetahui di mana paradigma itu berawal dan
berakhir.
7. Para ilmuwan sosial (seperti Ernest, 1994)
membagi paradigma menjadi tiga macam, yaitu:
Paradigma rasional-teknis (empiris)
Paradigma interpretif
Paradigma kritis
Masing-masing paradigma tsb. memiliki
pandangan yang berbeda mengenai sifat
pengetahuan, bagaimana ia diperoleh, dan
bagaimana ia digunakan.
8. Paradigma rasional-teknis (empiris) memiliki asumsi
bahwa:
Peneliti berada di luar lapangan penelitian untuk
menjaga obyektivitas. Pengetahuan yang dihasilkan
adalah pengetahuan yang tak terkontaminasi oleh
sentuhan manusia.
Ada hubungan sebab-akibat di mana ‘jika saya
melakukan ini, maka itu akan terjadi’, atau secara
umum, ‘jika x, maka y’.
Hasil penelitian biasanya menggunakan analisis
statistik, dan berlaku serta diakui kebenarannya
sepanjang waktu.
Hasil penelitian dapat diterapkan dan
digeneralisasikan pada kondisi/konteks orang-
orang lain yang berbeda, dan dapat direplikasi
dalam situasi yang mirip.
9. Penelitian rasional-teknis telah digunakan dalam
seluruh penyelidikan ilmiah, dan telah
mendorong perkembangan yang begitu masif di
bidang teknologi, pelayanan kesehatan, dan
perjalanan luar angkasa. Bahkan banyak para
peneliti rasional-teknis yang memiliki asumsi
bahwa metodologi ilmu alam dapat diterapkan
dalam manusia, sehingga mereka cenderung
melihat manusia sebagai mesin atau data mati
(obyek).
Kritik: penelitian rasional-teknis merupakan
mitos (Stringent dalam Thomas, 1998), dan
obyektivitas merupakan sesuatu yang mustahil
dicapai. Sebagian ilmuwan lain mempertanyakan
mengenai nilai penting obyektivitas ilmiah.
10. Paradigma interpretif memiliki asumsi bahwa:
Peneliti mengamati orang-orang dalam
setting alamiah mereka, dan menawarkan
deskripsi dan penjelasan mengenai apa yang
mereka lakukan.
Analisis data cenderung bersifat kualitatif,
dalam hal makna dari suatu perilaku.
Orang-orang dalam situasi tersebut
(tineliti/subyek) menawarkan dan
menegosiasikan pemahaman mereka sendiri
mengenai perilaku/keadaan diri mereka
dengan penafsiran peneliti luar, tetapi yang
sampai ke ranah publik adalah pernyataan
atau cerita dari peneliti luar.
11. Penelitian interpretif digunakan secara luas
dalam penelitian ilmu sosial dan pendidikan,
yang seringkali mengambil bentuk studi
kasus. Tujuannya adalah untuk memahami
apa yang terjadi dalam suatu situasi sosial
dan bagaimana makna-makna terbentuk.
12. Paradigma kritis memiliki asumsi utama yaitu:
Penting untuk memahami suatu situasi
dengan tujuan mengubahnya (menjadi lebih
baik).
Situasi sosial diciptakan oleh orang-orang,
sehingga dapat didekonstruksi dan
direkonstruksi oleh orang-orang tsb. juga.
Situasi yang terberi hendaknya dilihat dalam
konteks latar belakang dan proses
kehadirannya, khususnya dalam konteks
hubungan kekuasaan (relasi kuasa).
13. Teori kritis –sebagai metode yang berpijak
pada paradigma kritis- hadir sebagai kritik
terhadap berbagai bentuk penelitian yang
ada. Ia berpijak pada keyakinan bahwa
penelitian tidaklah pernah bebas nilai (netral),
tetapi ia digunakan oleh peneliti untuk tujuan
tertentu, yang seringkali berhubungan
dengan hasrat untuk memprediksi dan
mengontrol.
Dalam tradisi (teori) kritis, keyakinan tentang
ketidaknetralan ilmu/penelitian ini penting
untuk memahami kepentingan-kepentingan
manusia yang terlibat dalam berbagai situasi
sosial dan dalam cara-cara yang digunakan
untuk memahami situasi sosial tersebut.
14. Riset aksi –sebagai sebuah metode- mengembangkan teori
kritis, dan kemudian melampauinya. Teori kritis
menanyakan, ‘Bagaimana situasi ini dapat dipahami untuk
kemudian mengubahnya?’ tetapi hanya bertujuan untuk
memahami, bukan untuk aksi. Riset aksi bergerak menuju
aksi dan menanyakan, ‘Bagaimana ia bisa diubah?’
Namun demikian, sebagian peneliti masih sering
menempatkan riset aksi dalam kerangka umum teori kritis,
yang menekankan sifat partisipatoris untuk memerangi
hubungan kekuasaan yang ada.
Yang membedakan riset aksi dg metode riset lainnya adalah
bahwa ia didasarkan pada sifat ontologis ‘Aku’ si peneliti, yg
menggunakan logika di mana para peneliti mengorganisir
pemikiran mereka seolah mereka mengalaminya pada saat
itu.
Banyak pendekatan riset mengadopsi sikap sebagai orang
luar, menggunakan cara berpikir yang melihat benda-benda
sebagai sesuatu yang terpisah satu sama lain. Sedangkan di
sisi lain, periset aksi bekerja dengan pendekatan teori yang
menggunakan cara berpikir yang melihat benda-benda
sebagai sesuatu yang berhubungan satu sama lain.
Perbedaan tersebut berimplikasi pada cara melakukan riset
aksi di lapangan dan menteorisasikannya.