Dokumen tersebut membahas konsep kehidupan sosial budaya sebagai suatu sistem. Ia menjelaskan bahwa kehidupan sosial dan budaya merupakan sistem yang saling berhubungan, dan ilmu pengetahuan sosial budaya mempelajari fenomena sosial dan budaya secara objektif, sistematis, dan terbuka untuk diuji ulang. Dokumen ini juga membahas tujuan, metode, dan landasan ilmu pengetahuan sosial budaya.
1. KONSEP
KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA SEBAGAI SUATU SISTEM
Oleh: Dr. ARIFIN
A. Ruang Lingkup Dan Tujuan Kajian
Ruang lingkup kajian pada bab pendahuluan ini adalah meliputi: (a) hakikat studi
ilmu pengetahuan sosial-budaya; (b) konsep kehidupan sosial sebagai suatu sistem;
(c) konsep kebudayaan sebagai suatu sistem; (d) konsep dinamika sosial dan
kebudayaan; dan (e) Kesimpulan. Sedangkan tujuan atau harapan yang hendak
dicapai dalam kajian ini adalah: (a) sebelum memahami lebih jauh tentang sistem
sosial budaya masyarakat Indonesia yang sangat pluralis (majemuk), diharapkan para
mahasiswa program studi ilmu-ilmu sosial atau peminat studi tentang sistem sosial
budaya masyarakat Indonesia dapat memahami konsep-konsep dasar tentang
kehidupan sosial sebagai suatu sistem, kebudayaan sebagai suatu sistem, dan
dinamika sosial dan budaya dalam masyarakat; dan (b) dengan memahami beberapa
alternatif pemikiran atau konsep-konsep dasar tentang sistem sosial dan sistem
budaya tersebut, diharapkan para mahasiswa program studi ilmu-ilmu sosial atau
peminat studi tentang sistem sosial budaya masyarakat Indonesia, mampu melakukan
kajian lebih lanjut baik melalui kajian teoritis pada sumber-sumber literatur yang
dianjurkan maupun melakukan kajian-kajian empirik dalam bentuk penelitian ilmiah.
B. Hakikat Studi Ilmu Pengetahuan Sosial-Budaya
Manusia dalam hidup diberi kemampuan untuk memaksimalkan potensi cipta,
rasa dan karsanya dalam rangka proses pemenuhan aneka macam kebutuhan hidup
baik secara individu atau kelompok. Salah satu bagian yang paling penting dalam
proses kehidupan manusia adalah kebutuhan mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Apabila dicermati secara mendalam, maka sebenarnya semua aktivitas
hidup manusia di masyarakat tidak bisa lepas dari kontribusi perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, yang merupakan produk sejarah kehidupan manusia itu
sendiri. Dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki, manusia selalu ingin mencari
kebenaran, kebahagiaan, selalu ingin melakukan perubahan dalam berbagai aspek
kehidupan dan dengan ilmu pengetahuan manusia merasa tidak puas terhadap
beragam karya budaya yang telah dimiliki, selalu ingin melakukan inovasi atau
pembaharuan diberbagai bidang kehidupan. Oleh karena itu tidak ada masyarakat di
dunia ini yang tidak berubah, perubahan sosial-budaya adalah suatu keniscayaan di
masyarakat (Appelbaum, R.P. 1970; Lauer, R.H. 1978; Sztompka, P., 2004). Sejatinya
inti kualitas kehidupan manusia adalah terletak pada kemampuan dalam menggunakan
ilmu pengetahuan dan teknologinya untuk melakukan perubahan demi perubahan
dalam berbagai aspek kehidupan yang lebih baik (Arifin, 2010).
1
2. Menurut Suriasumantri, J.S., (1996), bahwa dilihat dari hakikat usaha mencari
kebenaran, sebenarnya pengetahuan manusia dapat dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu: (1) pengetahuan yang didapat dari hasil usaha aktif manusia, baik melalui
penalaran ilmiah maupun melalui perasaan intuisi; dan (2) pengetahuan yang didapat
bukan dari usaha manusia, yaitu dari wahyu Tuhan melalui para Malaikat dan Nabi.
Hakikat penalaran ilmiah adalah merupakan gabungan dari penalaran deduktif (pola
pikir dari dalil/teori ke contoh) dan penalaran induktif (pola pikir dari contoh ke teori).
Penalaran atau logika deduktif berorientasi pada pandangan positivisme atau
rasionalisme, sedangkan penalaran atau logika induktif berorientasi pada pandangan
konstruktivisme atau empirisme atau interpretatif. Penalaran deduktif adalah berpijak
dari teori/ dalil ke contoh, sedangkan penalaran induktif adalah berpijak dari contoh ke
teori atau dalil. Logika deduktif merupakan pola berpikir untuk mencari ilmu
pengetahuan dari prinsip, teori ke contoh atau dari dalil ke contoh, sedangkan logika
induktif adalah pola berpikir untuk mencari ilmu pengetahuan dari contoh ke dalil atau
dari fakta-fakta khusus ke prinsip umum (Arifin, 2010).
Prosedur kerja dengan metode ilmiah, baik dalam studi ilmu-ilmu pengetahuan
sosial-budaya maupun ilmu pengetahuan alam menurut Horton and Hunt (1984),
paling tidak menyangkut delapan langkah (prosedur) yang harus dilakukan, yaitu: (1)
merumuskan permasalahan (define the problem); (2) meninjau kepustakaan (review
the literature) atau kajian teori; (3) merumuskan hipotesis (formulate the hypotheses);
(4) merencanakan desain riset (plan the research design); (5) mengumpulkan data
(collect the data); (6) menganalisis data (analyze the data); (7) menarik kesimpulan
(draw conclusions); dan (8) mengulangi penelaahan hasil studi atau penelitian
(replicate the study).
Dalam memahami ilmu pengetahuan sosial-budaya atau ilmu pengetahuan alam,
sebenarnya dapat dikelompokkan menjadi dua dimensi, yaitu: Pertama, dalam dimensi
fenomenalnya, dalam hal ini ilmu pengetahuan menampakkan pada realitas sebagai
berikut: (1) masyarakat, yaitu suatu masyarakat elit yang dalam hidup kesehariannya
sangat konsern (fokus) pada kaidah-kaidah universalisme, komunalisme,
disinterestedness, dan skeptisisme yang terarah dan teratur; (2) proses, yaitu pola
aktivitas masyarakat elit yang melalui refleksi, kontemplasi, imajinasi, obervasi,
eksperimental, komparasi, yang tidak pernah berhenti untuk menemukan kebenaran
ilmiah; dan (3) produk, yaitu hasil dari aktivitas berupa dalil-dalil, teori dan paradigma
beserta hasil penerapannya baik berupa fenomena sosial atau alam.; Kedua, dalam
dimensi struktural, dalam hal ini ilmu pengetahuan tersusun atas komponen-
komponen: (1) objek sasaran yang ingin diketahui; (2) objek sasaran tersebut terus
menerus dipertanyakan tanpa mengenal titik henti; (3) ada alasan (motif) dan dengan
2
3. sarana dan cara tertentu objek sasaran tersebut terus menerus dipertanyakan; dan (4)
temuan yang diperoleh tahap demi tahap disusun kembali dalam satu kesatuan sistem
ilmu pengetahuan (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2002)
Menurut para ahli, suatu ilmu pengetahuan (science), baik ilmu pengetahuan
sosial-budaya dan ilmu pengetahuan alam, pada dasarnya mempunyai suatu sistem,
dan masing-masing unsur dalam sistem ilmu tesebut adalah saling berhubungan.
Sedangkan komponen utama dari sistem science adalah: (1) perumusan masalah; (2)
pengamatan ilmiah (scientific observation) dan deskriptif; (3) penjelasan; dan (4)
ramalan (prediksi) dan kontrol. Setiap kompoten tersebut mempunyai metode tersendiri
(Arifn, 2010).
Menurut Jujun S. Suriasumantri (1996), bahwa semua ilmu pengetahuan sosial-
budaya dan ilmu pengetahuan alam, pada dasarnya memiliki tiga landasan utama,
yaitu: Pertama, Ontologi, yaitu membahas tentang hakikat objek yang dikaji atau
membahas tentang apa yang ingin diketahui atau merupakan suatu kajian mengenai
teori tentang hakikat ada. Berdasarkan objek yang telah ditelaahnya, maka ilmu dapat
disebut sebagai pengetahuan empirik (nyata) yang berbeda dengan agama. Aspek
ontologi inilah yang membedakan antara objek disiplin ilmu pengetahuan satu dengan
ilmu pengetahuan lainnya.
Kedua, Epistemologi, yaitu membahas secara mendalam proses atau prosedur
dalam memperoleh ilmu pengetahuan atau suatu ilmu pengetahuan yang diperoleh
melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Diantara metode keilmuan
adalah bersifat terbuka, objektif, logis dan menjunjung kebenaran data di atas segala-
galanya. Pada aspek epistemologi inilah letak kegiatan dari proses penelitian ilmiah
(scientific research).
Ketiga, Aksiologi, yaitu membahas tentang manfaat (pragmatis) yang diperoleh
dari pengetahuan bagi kehidupan manusia, atau bagaimana keterkaitan antara
pengetahuan dengan kaidah-kaidah moral dalam kehidupan di masyarakat. Jadi,
aspek aksiologi lebih menyangkut dimensi fungsional suatu ilmu pengetahuan bagi
kehidupan. Menurut para ahli fungsi ilmu pengetahuan antara lain (a) fungsi praktis,
yaitu melakukan penyingkapan, mempelajari fakta, memajukan pengetahuan guna
melakukan berbagai perbaikan kehidupan di masyarakat; (b) menetapkan hukum-
hukum umum yang meliputi perilaku kejadian dan objek oleh ilmu yang bersangkutan,
sehingga dapat mengkaitkan antara ilmu pengetahuan dengan beragam kejadian
untuk membuat prediksi ke depan secara benar, sehingga mempunyai manfaat yang
tinggi bagi kehidupan di masyarakat. Jadi, untuk membedakan jenis ilmu pengetahuan
sosial satu dengan pengetahuan sosial yang lain dapat dilihat dari tiga aspek yaitu:
Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2002; Arifin, 2010).
3
4. Sedangkan tujuan ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan sosial-budaya dan
ilmu pengetahuan alam meliputi: (1) tujuan dasar ilmu, yaitu menjelaskan fenomena-
fenomena kehidupan, baik fenomena sosial atau alam secara sistematis, objektif, logis
atau rasional; (2) tujuan lebih khusus, yaitu memberikan penjelasan, pemahaman,
prediksi atau peramalan dan kontrol atau pengendalian; dan (3) untuk memahami
fenomena alam dan sosial secara objektif (menurut apa adanya, bukan menurut apa
seharusnya), sistematis, dan terbuka untuk diuji kembali melalui proses penelitian
ilmiah (Hooever, 1980).
Berdasarkan uraian di atas maka beberapa konsep penting yang dapat dipahami
tentang hakikat ilmu pengetahuan (science), baik ilmu pengetahuan sosial-budaya
maupun ilmu pengetahuan alam adalah: (1) science dimulai dari kesangsian atau
keragu-raguan terhadap beragam fenomena hidup, tidak dimulai dari kepastian seperti
dalam ajaran agama; (2) science tidak bersinggungan dengan hal-hal yang gaib,
melainkan berkaitan dengan data-data empirik; (3) penjelasan science bersifat detail,
sistematis, objektif dan praktis tentang beragam fenomena hidup, baik sosial-budaya
maupun alam; (4) kebenaran science bersifat relatif, berubah dari waktu ke waktu
tergantung pada hasil penelitian ilmiah berikutnya (Agus, B., 1999). Menurut Comte
dalam Wibisono, K., (1983), bahwa perkembangan pola pemikiran manusia atau
masyarakat adalah melalui tiga tahap, yaitu dari tahap teologis (fiktif), kemudian
berkembang ketahap metafisik (abstrak) dan terakhir ke tahap positif, dan pada tahap
positif inilah letak perkembangan ilmu pengetahuan (science); (5) kebenaran science
terbuka bagi siapapun untuk menguji ulang dan membuka kesempatan bagi siapapun
untuk menolak atau bahkan merevolusi ilmu pengetahuan atau teori yang telah ada
(Kuhn, T., 1970); dan (6) kebenaran pandangan science tergantung pada orientasi
filosofis yang dijadikan pedoman dalam pengembangan teori-teori science dan metode
penelitiannya, misalnya makna kebenaran teori ilmu pengetahuan yang berorientasi
filosofis positivisme, rasionalisme akan berbeda interpretasinya dengan teori ilmu
pengetahuan yang berorientasi filosofis idealisme, konstruktivisme (Suriasumantri, J.S.
1996; Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2002). Sesuatu dianggap benar menurut paham
positivisme adalah ‘sesuatu itu harus ada kesesuaian dengan proposisi, teori, dalil,
hipotesis sebelumnya’, hal ini dikenal dengan istilah kebenaran koherensi, dan
pendekatan penelitiannya adalah penelitian kuantitatif. Sedangkan sesuatu dianggap
benar menurut paham konstruktivisme atau interpretatif adalah ‘sesuatu itu harus
sesuai dengan realitas atau fakta-fakta dalam kehidupan sehari-hari (kenyataan
empiris) atau dikenal dengan kebenaran korespondensi’, dan pendekatan
penelitiannya adalah penelitian kualitatif.
4
5. C. Konsep Kehidupan Sosial Sebagai Suatu Sistem
Dalam kajian berikut tentang konsep kehidupan sosial sebagai suatu sistem
adalah menyangkut tentang: (1) konsep masyarakat dan konsep kehidupan sosial; (2)
karakteristik kehidupan sosial kolektif; (3) konsep struktur sosial; dan (4) konsep
kehidupan sosial sebagai suatu sistem. Pada dasarnya fenomena kehidupan sosial
adalah sangat luas dan kompleks, oleh karena itu analisis tentang fenomena sosial
tidak cukup hanya menyangkut keempat aspek tersebut di atas, namun paparan
keempat tersebut pada uraian berikut ini dapat dianggap sebagai dasar-dasar
pemahaman awal bagi peminat studi ilmu pengetahuan sosial, khususnya dalam
membahas tentang kehidupan sosial sebagai suatu sistem.
1. Konsep masyarakat dan konsep kehidupan sosial
Dalam banyak literatur, baik dalam studi sosiologi maupun antropologi dijelaskan
bahwa konsep tentang ’masyarakat’ dengan konsep ’kehidupan sosial’ adalah
mempunyai maksud atau makna yang relatif sama, karena: (1) pada dasanya proses-
proses sosial dalam ’kehidupan masyarakat’ adalah juga proses-proses sosial dalam
’kehidupan sosial’ itu sendiri; dan (2) pada dasarnya unsur-unsur kehidupan
masyarakat adalah juga unsur-unsur kehidupan sosial. Menurut para ahli unsur-unsur
kehidupan sosial tersebut antara lain: (a) status dan peranan sosial; (b) solidaritas
sosial; (c) lapisan atau stratifikasi sosial; (d) nilai dan norma sosial; (e) lembaga sosial;
(f) diferensiasi sosial; (g) interaksi sosial; (h) kekuasaan atau wewenang; dan (i)
pengendalian atau kontrol sosial; dan (3) baik konsep ’kehidupan masyarakat’ maupun
konsep ’kehidupan sosial’ sama-sama menunjukkan adanya suatu aktifitas kolektif
manusia dalam membangun solidaritas sosial dalam rangka proses pencapaian tujuan
hidup, baik secara individu atau kelompok. Jadi, tidak ada kehidupan masyarakat
tanpa kehidupan sosial, dan tidak ada pula kehidupan sosial tanpa kehidupan
masyarakat (Berger, PL and Berger B, 1972; Green, A.W, 1972).
Namun, ada juga yang memandang bahwa antara konsep ’masyarakat’ dan
konsep ’kehidupan sosial’ memiliki sedikit perbedaan, yaitu: (1) konsep kehidupan
masyarakat (society) adalah ’kesatuan-kesatuan manusia dalam melakukan proses-
proses sosial yang menempati suatu wilayah tertentu yang relatif lama berdasarkan
suatu identitas adat atau norma tertentu’, dan (2) konsep kehidupan sosial adalah
’proses-proses sosial individu di masyarakat dalam pemenuhan beragam kebutuhan
hidupnya’. Berdasarkan perbedaan tersebut maka makna ’kehidupan sosial’ lebih
bersifat dinamik dari pada makna ’masyarakat’, disamping itu ’masyarakat’ merupakan
wadah berkembangnya ’aktifitas atau kehidupan sosial’’ (Goode, W.J. 1977;
Koentjaraningrat, 1989). Dalam kajian buku ini penulis lebih mengambil posisi
pemahaman yang relatif sama antara konsep ’masyarakat’ dengan konsep ’kehidupan
5
6. sosial’, karena hakikatnya kehidupan masyarakat dan kehidupan sosial sama-sama
sebagai wadah aktualisasi dan dinamika setiap manusia dalam proses pemenuhan
beragam kebutuhan hidup secara individu atau kelompok.
Menurut Koentjaraningrat (1989), bahwa pengertian masyarakat adalah
’kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu
yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama’. Jadi, suatu
kehidupan kolektif disebut masyarakat harus mempunyai ciri atau unsur sebagai
berikut: (1) terjadi proses interaksi sosial antar anggota masyarakatnya; (2) memiliki
suatu kesatuan identitas atau solidaritas sosial sesama anggota masyarakatnya; (3)
proses kehidupan sosial tersebut berlangsung secara terus menerus (kontinyu) dalam
waktu tertentu yang relatif lama; dan (4) mempunyai adat istiadat, nilai-norma sosial,
seperangkat aturan atau hukum yang mengatur seluruh pola tindakan sosial anggota
masyarakatnya. Sedangkan menurut David Popenoe (1974), semua proses kegiatan
anggota masyarakat dapat diklasifikasikan dalam lima ciri antara lain: (1) hampir
semua proses-proses sosial atau jalinan hubungan sosial antar anggota masyarakat
muncul karena adanya kebutuhan hidup yang harus dipenuhi bersama atau adanya
permasalahan bersama yang harus diselesaikan; (2) sesama anggota masyarakat
membangun konsensus untuk menyusun prosedur dan mekanisme hubungan sosial
antar anggota dalam rangka meraih tujuan, yaitu terpenuhinya beragam kebutuhan
hidup di masyarakat; (3) adanya sistem pengendalian yang berpusat pada kekuasaan
dan wewenang dalam rangka meminimalkan konflik di masyarakat; (4) kepentingan,
solidaritas, kebersamaan anggota masyarakat biasanya menjadi sesuatu yang sangat
penting dan mendorong setiap anggota masyarakat untuk memberikan loyalitas tinggi
pada masyarakat demi kelestarian masyarakat; dan (5) semua anggota masyarakat
berusaha menjalankan sistem nilai norma budaya yang berlaku dan membangun
komunikasi dengan bahasa sehari-hari.
Berdasarkan ciri atau unsur masyarakat tersebut, maka masyarakat (society)
dan kebudayaan (culture) mempunyai hubungan yang sangat erat, karena: (1)
masyarakat adalah wadah berkembangnya suatu kebudayaan, sedangkan
kebudayaan adalah isi dari masyarakat atau sebagai pelestari kehidupan masyarakat,
karena adanya seperangkat nilai-norma sosial-budaya yang berfungsi sebagai
pengendali atau kontrol semua pola tindakan sosial warga masyarakat; (2) masyarakat
adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu dengan yang lain,
sedangkan kebudayaan adalah suatu sistem nilai dan norma yang terorganisasi yang
menjadi pegangan atau pedoman bagi aktifitas sosial para angggota masyarakat
(Gazalba, S. 1967; Ayatrohaedi. 1986; Herusatoto, B. 2003).
6
7. Menurut Durkheim, E., dalam Berry, D. (1981), bahwa ’suatu masyarakat
bukanlah hanya sekedar suatu penjumlahan atau sekumpulan individu semata-mata,
melainkan suatu sistem yang dibentuk dari hubungan antar anggota masyarakat,
sehingga menampilkan suatu realitas sosial tertentu yang mempunyai ciri-cirinya
sendiri’. Disamping itu menurut Durkheim, bahwa keseragaman-keseragaman tingkah
laku individu dalam masyarakat adalah produk sosial (masyarakat), dan produk sosial
tersebut dapat dikatakan sebagai konsensus anggota masyarakat yang sifatnya
mengikat anggota masyarakat. Jadi, diantara inti pandangan Durkheim tentang
masyarakat adalah bahwa: (1) masyarakat mempunyai kekuatan determinasi terhadap
pola perilaku sosial atau tindakan sosial individu dalam kehidupan sehari-hari.
Kekuatan yang mendeterminasi individu tersebut adalah konsensus masyarakat atau
bisa disebut sebagai struktur sosial (yang didalamnya terintegrasi antara nilai-norma,
status-peran, lembaga, wewenang, lapisan); (2) struktur sosial mempengaruhi pola
perilaku individu, bukan individu yang mempengaruhi struktur sosial; dan (3) beragam
peran individu dalam masyarakat sudah ditentukan oleh sistem norma sosial yang
telah disepakati oleh masyarakat (Durkheim, E. 1974). Jadi, berdasarkan uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa kehidupan masyarakat (kehidupan sosial) merupakan bentuk
dari kehidupan sosial kolektif yang kelestariannya banyak ditentukan oleh beragam
aktivitas sosial individu yang berdasarkan kepada nilai dan norma sosial-budaya yang
telah disepakati bersama oleh anggota masyarakat.
2. Karakteristik kehidupan sosial kolektif
Dalam kehidupan masyarakat selalu terdapat aktifitas-aktifitas sosial kolektif dari
bentuk yang paling kecil (seperti kolektif keluarga) sampai yang kolektif paling besar
(seperti kolektif negara atau bangsa). Ada beberapa ciri atau karakteristik kehidupan
sosial kolektif, antara lain: (1) adanya pembagian kerja yang relatif permanen antar
anggota dalam kelompok tentang berbagai kegiatan untuk pemenuhan beragam
kebutuhan anggota kelompok; (2) adanya rasa saling ketergantungan antar anggota
dalam kelompok dalam proses pencapaian tujuan kelompok; (3) proses menjalin
kerjasama tersebut didasarkan pada sistem nilai, norma yang telah disepakati oleh
sesama anggota kelompok; (4) diperlukan adanya pola komunikasi yang baik untuk
membangun hubungan kerjasama tersebut; (5) adanya perlakuan yang beragam antar
anggota kelompok, sebagai konsekwensi dari keberagaman kemampuan dan keahlian
yang dimiliki oleh masing-masing anggota kelompok; dan (6) adanya solidaritas in-
group dan adanya sistem pengendalian sosial terhadap pola perilaku anggota dalam
kelompok agar tetap berada pada garis visi dan misi kehidupan kelompok (Biesanz,J
and Biesanz,M, 1969; Popenoe, D., 1974; Koentjaraningrat, 1989).
7
8. Realisasi dari keenam karakteristik kehidupan kelompok tersebut, antara
kelompok (kolektif) mikro (kecil) dan makro (besar), antara kolektif formal dan kolektif
informal, dan antara kolektif primer dan kolektif sekunder mempunyai perbedaan
intensitas atau perbedaan titik tekannya. Misalnya, implementasi keenam ciri kolektif
tersebut di atas antara kehidupan kolektif keluarga (informal), dengan kehidupan
kolektif negara (formal) adalah sangat berbeda, basis aktifitas anggota keluarga lebih
besar didasarkan pada aspek kesamaan ikatan batin yang kuat, karena adanya ikatan
keturunan, sedangkan basis aktifitas anggota atau warga bangsa/negara lebih besar
didasarkan pada aspek kesadaran hukum formal, karena adanya ikatan kesamaan
kewarganegaraan.
3. Konsep struktur sosial.
Kajian tentang konsep ’struktur sosial’ adalah banyak dikupas dalam studi
antropologi sosial. Dalam antropologi sosial, konsep ’struktur sosial’ seringkali
dipergunakan sebagai sinonim dari ’organisasi sosial’, dan terutama dipergunakan
dalam melakukan analisis terhadap masalah-masalah kekerabatan, lembaga hukum,
lembaga pendidikan, lembaga politik dari masyarakat sederhana atau tradisional.
Dalam terminologi sosiologi, konsep ’struktur sosial’ juga banyak bersinggungan
dengan pola hubungan timbal balik antar unsur sosial dalam suatu organisai sosial
yang berkaitan dengan masalah pendidikan, hukum, ekonomi, politik, keluarga dan
sebagainya dari masyarakat kontemporer (sekarang atau modern).
Ada beragam pendapat dari para ahli tentang pengertian ’struktur sosial’ antara
lain: (1) menurut Agus Salim (2002), struktur sosial adalah ’suatu tatanan hirakhis dari
hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat yang menempatkan pihak-pihak tertentu
(individu, keluarga, kelompok, kelas aau stratifikasi, dan sebagainya) didalam posisi-
posisi sosial tertentu berdasarkan suatu sistem nilai, norma yang berlaku pada suatu
masyarakat pada waktu tertentu’; (2) menurut Firth, dalam Soekanto, S., (1984),
bahwa struktur sosial adalah ’mengacu pada hubungan-hubungan sosial yang lebih
fundamental yang memberikan bentuk dasar pada masyarakat, yang memberikan
batas-batas pada aksi-aksi yang mungkin dilakukan anggota masyarakat secara
organisatoris’; (3) menurut Evans dan Leach, bahwa struktur sosial adalah
’menyangkut hubungan-hubungan antar kelompok’, atau ’berkaitan dengan distribusi
kekuasaan diantara orang-orang dalam kelompok’; dan (4) menurut Radcliffe Brown,
bahwa struktur sosial adalah ‘mencakup semua hubungan-hubungan sosial antara
individu dengan individu pada saat tertentu, oleh karena itu struktur sosial merupakan
aspek non personal dari sistem sosial, isinya adalah keadaan statis dari sistem sosial’.
Disamping itu menurut R. Brown, kebudayaan hanya bisa dipelajari secara ilmiah
melalui struktur sosial, oleh karena itu struktur sosial tidak dapat dipisahkan dari
8
9. kebudayaan. Jadi, analisis terhadap struktur sosial adalah sebagai salah satu aspek
dari studi terhadap kebudayaan.
Dalam studi sosiologi pengertian ‘struktur sosial’, sering digunakan dalam dua
aspek, yaitu: (1) makna ‘struktur’ atau ‘struktur sosial’, yang dipergunakan untuk
menggambarkan tentang keteraturan sosial, untuk menunjuk pada pola perilaku sosial
yang diulang-ulang dengan bentuk atau cara yang sama. Struktur sosial diartikan
sebagai hubungan timbal balik diantara posisi-posisi sosial dan antara peranan-
peranan sosial. Jadi, struktur sosial adalah sebagai bagian dari ‘sistem sosial’. Menurut
Parsons, bahwa struktur sosial sebagai aspek yang secara relatif ‘lebih statis’ daripada
aspek fungsional dari sistem sosial. Sistem sosial merupakan konsep yang lebih luas
daripada struktur sosial, karena struktur sosial adalah bagian ‘statis’ dari sistem sosial
(Goode, W.J., 1977; Craib, 1984).
Jadi, struktur sosial adalah ’merupakan jaringan daripada unsur-unsur sosial
yang pokok dalam kehidupan di masyarakat’. Unsur-unsur sosial yang pokok dalam
kehidupan masyarakat tersebut menurut para ahli adalah: (1) interaksi sosial; (2)
kelompok sosial; (3) kebudayaan atau nilai-norma sosial; (4) lembaga-lembaga sosial;
(5) stratifikasi sosial; dan (6) kekuasaan atau wewenang (Rose, A.M., 1965; Soekanto,
S., 1984; Macionis, J., 1987); dan (2) Konsep ‘struktur’ yang dipergunakan dalam
analisis teori-teori sosiologi. Dalam hal ini ada dua konsep yang berbeda, yaitu:
Pertama, konsep ‘struktur’ menurut pandangan teori fungsional struktural, adalah
‘sesuatu yang berada di luar (eksternal) aktor dan memaksa (determinis) pada aktor
atau individu dalam melakukan aktifitas sosial di masyarakat. Jadi, struktur sosial
berperan untuk membentuk, mengekang dan menentukan aktifitas sosial individu
dalam masyarakat (Abraham,F.M., 1982a; Harper,C.L., 1989); dan Kedua, konsep
‘struktur’ menurut pandangan teori strukturasi Giddens, yaitu: Struktur dimaknai
sebagai ‘properti-properti’ yang berstruktur, atau ‘seperangkat atau sekumpulan aturan
dan sumber daya yang berulangkali terorganisasi’ (recursively organized sets of rules
and resources). Dalam hal ini berarti: Struktur hanya ada di dalam dan melalui aktivitas
agen manusia. Struktur bukan bersifat mengekang, mewarnai, membentuk dan
memaksa tindakan sosial individu di masayarakat, sebab ada faktor agen (kemampuan
jiwa, pikiran individu) juga ikut mewarnai, menentukan aktifitas sosial individu di
masyarakat (Giddens, 1984; Faisal, S. 1998; Priyono,H.B., 2002). Jadi, dalam
pandangan teori strukturasi, makna struktur sosial bisa menggambarkan fenomena
yang berskala makro dan juga menggambarkan fenomena yang berskala mikro,
keduanya (makro-mikro) saling mengisi.
9
10. Menurut Mc. Guire dalam Soekanto, S., (1984), bahwa mengkaji tentang struktur
sosial harus dipamahami dimensi-dimensi struktur sosial masyarakat, sedangkan
dimensi-dimensi struktur sosial adalah:
a. Dimensi yang mencakup status atau kedudukan sosial (social status), yang bisa
didasarkan atas: status keluarga atau keturunan, status kekayaan, status keahlian
atau kemampuan, status pengaruh/ kekuasaan, status adat atau tradisi dan
sebagainya. Dari status tersebut tersebut memunculkan stratifikasi sosial dalam tiga
lapisan, yaitu: lapisan atas (upper class), lapisan tengah (middle class), dan lapisan
bawah (lower class).
b. Dimensi yang mencakup pranata atau lembaga-lembaga sosial (social institution),
yaitu meliputi: pranata politik (political institution), pranata kekerabatan (domestic
institution), pranata ekonomi (economic institution), pranata pendidikan (educational
institution), pranata ilmu pengetahuan (scientific institution), pranata agama
(religious institution), pranata kesehatan (somatic institution), dan pranata keindahan
(esthetic institution).
c. Dimensi yang mencakup derajat konformitas terhadap perilaku individu yang tidak
dikehendaki (pantangan) atau yang dikehendaki oleh masyarakat. Konformitas
tersebut mencakup titik yang paling patut dilakukan sampai pada penyimpangan
(deviant) atau yang tidak patut dilakukan.
d. Dimensi yang mencakup kelompok-kelompok sosial, misalnya: calor caste, ethnic
group, varian orientation, varian by society, dan sebagainya.
4. Konsep kehidupan sosial sebagai suatu sistem.
Kehidupan sosial disebut sebagai ‘sistem sosial’ adalah karena dalam kehidupan
sosial terdapat unsur-unsur (sebagai sub unsur), yang masing-masing unsur sosial
tersebut bertindak sebagai sub sistem yang saling mempengaruhi atau saling kait
mengkait dalam proses kehidupan manusia, baik dalam proses pemenuhan kebutuhan
individu atau kebutuhan kelompok.
Menurut Berry, D., (1981), bahwa pembahasan tentang sistem sosial pada
dasarnya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pembahasan tentang masyarakat
(society). Dalam dialog sehari-hari sering pengertian ‘masyarakat’ dengan ‘sistem
sosial’ hampir sinonim, terutama dalam mengungkap tentang ‘sistem masyarakat’
dengan ‘sistem sosial’, tetapi dalam proses analisis fenomena sosial antara
‘masyarakat’ dengan ‘sistem sosial’ tidak selalu sinonim, karena meskipun konsep
‘sistem’ dapat dikenakan pada masyarakat yang memiliki kekuatan ‘impersonal’
terhadap individu, sistem juga dapat berhubungan dengan aspek-aspek atau karakter
individu, misalnya: sistem di universitas bisa mendorong dosen (individu) bertindak
otoriter; sistem dalam kepartaian, bisa mendorong anggota (individu) DPR melakukan
10
11. korupsi, sistem rumah sakit bisa menyebabkan orang (individu) menjadi sakit (hal ini
sering disebut dimensi latensi), dan bisa juga menyebabkan orang (individu) sembuh
dari penyakit yang diderita (fungsi manifes).
Menurut para ahli, ada beberapa ciri atau karakteristik suatu sistem sosial yaitu:
a. Ditinjau dari ruang lingkupnya, maka sistem sosial dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu bersifat makro, dan mikro. Bersifat makro adalah menunjuk pada sistem
sosial (sistem masyarakat) yang berskala besar atau luas, misalnya: Sistem
pendidikan nasional; Sistem peradilan negara; Sistem perdagangan nasional;
Sistem pertahanan nasional. Jadi unsur-unsur dalam sistem makro atau sub sistem
sosial makro juga sangat luas atau kompleks. Sedangkan sistem sosial yang
bersifat mikro adalah menunjuk pada bentuk sistem sosial yang kecil, misalnya
sistem keluarga. Jadi sub sistem atau unsur-unsur dalam sistem keluarga juga
sempit dan kecil, misalnya dalam keluarga inti, sub unsurnya adalah ayah, ibu dan
anak.
b. Perubahan atau perkembangan dari salah satu aspek atau unsur atau sub sistem
akan mempengaruhi atau menghasilkan perubahan pada sub sistem lainnya,
misalnya: (1) perubahan pada sub sistem ekonomi nasional akan membawa
implikasi perubahan pada aspek politik, aspek keamanan atau sub sistem lainnya;
(2) perubahan pada ikatan perkawinan suami-istri, akan membawa implikasi pada
perubahan perhatian, kasih sayang, atau kejiwaan anak dalam kehidupan keluarga,
dan seterusnya.
c. Antara sub sistem satu dengan sub sistem lainnya dalam ’sistem sosial’ bersifat
deterministik (saling mempengaruhi), sehingga terjadinya perubahan positif
(integrasi) atau negatif (disintegrasi) pada salah satu sub-sistem akan membawa
integrasi atau disintegrasi suatu sistem secara keseluruhan (Harper, C.L, 1989;
Horton,P, and Hunt, G.L, 1984; Coleman, J.W, and Cressey, D.R., 1984).
Sifat determinasi sub sistem satu pada sub sistem lainnya dalam ‘sistem sosial’
tersebut akan memungkinkan menghasilkan dua bentuk, yaitu: (1) membawa
perubahan yang mengarah kepada pulihnya kembali keseimbangan sistem
(equilibrium) dan mempertahankan status quo; dan (2) membawa perubahan yang
mengarah pada kegoncangan sistem karena munculnya beragam perilaku
menyimpang para angggota dalam kelompok sebagai sistem (Soekanto, S., 1984;
Ritzer, G and Goodman, D.J. 2003). Dalam kehidupan masyarakat modern atau
masyarakat metropolis ‘sistem sosial’ akan berkembang akan semakin kompleks,
terdiferensiasi, terintegrasi atau bahkan banyak muncul beragam problem
(disintegrasi), terjadinya realitas fenomena masyarakat modern/metropolis tersebut
karena beberapa faktor, yaitu: (a) berkembangnya beragam spesialisasi bidang
11
12. kehidupan; (b) kompleksnya tuntutan atau rasa ketidakpuasan manusia terhadap
karya budaya yang ada; dan (c) intensitas kontak sosial-budaya dengan masyarakat
lain, karena kemajuan teknologi informasi di era globalisasi (Habermas, J., 1986;
Giddens, A, 1994).
Suatu kehidupan sosial dianggap sebagai suatu ‘sistem sosial’, mengandung arti
bahwa ‘kehidupan sosial tersebut mempunyai unsur-unsur atau sub unsur sosial yang
saling berinteraksi satu dengan lainnnya, dan unsur-unsur tersebut membentuk
struktur sistem sosial itu sendiri dan mengatur sistem sosial’. Unsur-unsur sistem sosial
tersebut antara lain: (a) pengetahuan atau keyakinan; (b) sentimen atau perasaan
(tindakan afektif); (c) tujuan atau sasaran atau cita-cita; (d) nilai dan norma sosial; (e)
kedudukan (status) dan peranan (role) sosial; (f) stratifikasi sosial (tingkatan sosial
seseorang dalam kelompok); (g) kekuasaan atau pengaruh (power), atau wewenang;
(h) sanksi atau pengendalian atau kontrol sosial; (i) sarana atau fasilitas dalam
kehidupan kelompok; dan (j) tekanan dan ketegangan (Sulaeman, M.M, 1998).
Contoh keterkaitan antar unsur-unsur sosial tersebut dalam kehidupan sosial
yang menggambarkan ‘suatu sistem’ adalah: ‘misalnya dalam kehidupan keluarga,
seseorang yang membangun kehidupan keluarga agar berlangsung secara integratif,
maka proses kehidupan keluarga itu harus mengintegrasikan tujuh sub unsur, yaitu: (1)
harus mendasarkan pada sistem keyakinan atau pengetahuan yang baik tentang
syarat-syarat membangun keluarga bahagia (integratif); (2) proses sosialisasi dan
interaksi antar anggota keluarga (ayah, ibu dan anak) tersebut harus berdasarkan
ikatan batin yang kuat, satu keyakinan, satu perasaan atau didasarkan pada tindakan
afektif; (3) semua anggota keluarga dalam menjalin interaksi dan sosialisasi harus
berdasarkan pada tujuan atau sasaran atau cita-cita yang telah disepakati dalam
keluarga, yaitu mencapai keluarga bahagia (keluarga yang integratif); (4) dalam
membangun keyakinan, interaksi dan untuk mewujudkan cita-cita atau tujuan keluarga,
harus mendasarkan pada nilai dan norma yang telah disepakati dalam keluarga; (5)
dalam upaya mewujudkan peran atau fungsi anggota keluarga di atas, maka harus
diperhatikan keberagaman kedudukan (status) atau lapisan status dan peranan (role)
masing-masing angggota dalam keluarga; (6) dalam upaya merealisasikan tujuan
terwujudkan integrasi keluarga, maka diperlukan figur orang tua yang melaksanakan
wewenang atau kekuasaan dalam keluarga secara demokrasi; dan (7) agar
pelaksanaan pemberian layanan pendidikan pada anak dan anggota keluarga secara
baik maka diperlukan sarana dan prasarana dengan baik dan adanya sistem kontrol
yang tegas tetapi mendidik’. Deskripsi contoh di atas dapat digambarkan sebagai
berikut.
12
13. Gambar 1.1 tentang Kehidupan sosial sebagai suatu sistem.
Tujuan Nilai,
Norma
Kontrol Power/
kekuasaa
n
Sarana Tekanan
Afeksi Lapisan
sosial
Status &
Kepercayaa Role
n
D. Konsep Kebudayaan Sebagai Suatu Sistem
Dalam sub bab ini, fokus kajiannya adalah menjelaskan tentang: (1) pengertian
kebudayaan; (2) wujud kebudayaan; (3) unsur-unsur kebudayaan; (4) kenisbian atau
relativitas kebudayaan; (5) kebudayaan sebagai suatu proses hasil belajar atau
pembelajaran; dan (6) kebudayaan sebagai suatu sistem. Perlu dipahami bahwa
kajian tentang kebudayaan sebagai suatu sistem adalah mempunyai jangkauan materi
bahasan yang sangat luas, oleh karena itu wacana yang tersaji dalam bagian ini
hanyalah untuk memberikan dasar-dasar dalam melakukan kajian lebih lanjut tentang
kebudayaan sebagai suatu sistem.
1. Pengertian kebudayaan.
Dalam khasanah kajian ilmu pengetahuan sosial-budaya telah dijumpai beragam
definisi tentang kebudayaan. Keberagaman definisi tentang kebudayaan tersebut
disebabkan oleh: (a) keberagaman orientasi filosofis-teoritis para ahli dalam
memahami hakikat kebudayaan; dan (b) adanya keberagaman disiplin keilmuan yang
dimiliki oleh masing-masing peminat studi kebudayaan. Bahkan pada tahun 1952
sudah ada seorang antropolog A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn yang menulis buku
dengan judul ’Culture, A Critical Review of Concepts and Definitions’, dalam buku
13
14. tersebut dijelaskan paling sedikit ada 160 buah definisi tentang kebudayaan, kemudian
mereka menganalisis dari segi latar belakang, prinsip, dan tipe atau inti dari pengertian
kebudayaan yang dikemukakan para ahli (Koentjaraningrat, 1989).
Kata ‘kebudayaan’ adalah berasal dari bahasa sanskerta ‘buddhayah’ (buddhi/
budi atau akal dan daya atau kekuatan). Jadi, dalam arti bahasa ‘kebudayaan’
merupakan suatu hasil cipta, rasa dan karsa manusia dalam proses kehidupannya.
Kebudayaan sebenarnya mempunyai arti yang sangat luas, tidak hanya sebatas
konsep tentang hal-hal yang indah, seperti bangunan-bangunan arsitektur (candi,
masjid, pura dan sebagainya); seni rupa, seni tari, seni suara atau kesusatraan, tetapi
meliputi seluruh hasil cipta, rasa dan karsa manusia sepanjang usia hidupnya untuk
memenuhi beragam kebutuhan hidup, baik secara individu atau kelompok (Kroeber
(ed), 1953; Linton, R., 1963; Gazalba, S.,1967; Koentjaraningrat, 1982) Dalam bahasa
inggris kata kebudayaan adalah culture, yang berarti ‘segala daya upaya serta
tindakan manusia untuk merubah alam.
Kemudian apakah perbedaan makna ‘kebudayaan’ (culture) dengan ‘peradaban’
(civilization)?. Kebudayaan mempunyai makna yang lebih luas dari pada peradaban.
Dalam beberapa kajian tentang kebudayaan, istilah peradaban (civilization) sering
digunakan untuk menyebut bagian atau unsur-unsur dari karya budaya yang bersifat
indah, halus, membanggakan, dan maju. Contohnya: bangunan candi Borobudur;
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ruang angkasa dan kemajuan Iptek bidang
pertanian, kedokteran dan sebagainya; Keagungan seni rupa atau seni pahat;
Kesusastraan; Pelaksanaan demokrasi dan hak azasi yang baik dalam suatu negara,
dan sebagainya. Jadi, peradaban sebenarnya merupakan bagian dari kebudayaan
yang mengandung unsur-unsur kemajuan (membanggakan), baik yang bersifat fisik
maupun non fisik (Kroeber (ed), 1963; Gazalba, S.,1967).
Berdasarkan uraian singkat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian
kebudayaan adalah ‘seluruh sistem ide (gagasan atau cita-cita) yang ada dalam pikiran
manusia, dan seluruh tindakan sosial dalam kehidupan sehari-hari serta seluruh hasil
karya fisik manusia (sistem teknologi) yang diperoleh melalui proses pembelajaran,
dalam rangka pemenuhan beragam kebutuhan hidup baik secara individu atau
kelompok’. Berdasarkan kesimpulan definisi tentang kebudayaan tersebut, maka
hakikat suatu kebudayaan itu mempunyai tiga wujud budaya, yaitu:
a. Wujud ide atau gagasan atau cita-cita (sistem budaya). Karakteristik atau ciri wujud
budaya ide adalah: bersifat sangat abstrak, ada dalam pikiran manusia, berbentuk
gagasan, cita-cita, motivasi, ideologi, keyakinan, dan tidak bisa dilihat bentuknya
dan tidak bisa diraba, serta menjadi orientasi dari munculnya wujud budaya
kelakuan berpola.
14
15. b. Wujud kelakuan berpola atau sistem tindakan sehari-hari (sistem sosial). Beberapa
ciri wujud ini adalah: agak abstrak-agak kongkrit, gejalanya bisa diamati oleh panca
indra karena berupa kebiasaan atau tingkah laku sehari-hari, tidak bisa diraba,
kelahirannya berorientasi pada wujud budaya ide, dan dijadikan oreintasi munculnya
wujud budaya fisik (teknologi).
c. Wujud teknologi atau peralatan (sistem teknologi). Beberapa ciri wujud budaya ini
adalah: sangat kongkrit, bisa dilihat oleh kasat mata, bisa diraba, berbentuk benda
fisik, sebagai sarana perlengkapan dari wujud ide (sistem udaya) dan wujud
kelakuan berpola (sistem sosial) (Peursen, 1976; Koentjaraningrat, 1981; Ihromi,
T.O, 1984).
Jadi, hakikat makna kebudayaan itu mempunyai ruang lingkup pengertian yang
sangat luas, yaitu: (a) merupakan seluruh cipta, rasa dan karsa manusia yang sangat
beraneka ragam potensi atau kemampuannya; (b) diperoleh dan dilatihkan kepada
generasi penerus melalui proses pembelajaran (bukan melalui kelahiran atau
keturunan); (c) dijabarkan atau diwujudkan dalam bentuk gagasan, kelakuan atau
kebiasaan-kebiasaan atau tata cara dan peralatan hidup; (d) bersifat dinamik (terus
berubah dan berkembang) dalam proses kehidupan kemasyarakatan diberbagai
bidang; dan (e) bersifat nisbi atau relatif, yaitu ukuran baik atau tidak baik suatu karya
budaya itu tergantung pada pandangan pendukung budaya itu sendiri (Ihromi, T.O,
1984; Sulaeman,M., 1998; Liliweri, A., 2003).
2. Wujud kebudayaan
Sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa pada dasarnya suatu
kebudayaan itu mempunyai tiga wujud, yaitu: (1) wujud kebudayaan dalam bentuk
kompleks ide, gagasan, nilai-nilai, cita-cita dan kemauan (sistem budaya); (2) wujud
kebudayaan dalam bentuk kompleks kelakuan berpola atau tata cara, atau kebiasaan
sehari-hari (sistem sosial); dan (3) wujud kebudayaan dalam bentuk fisik atau
peralatan hidup (sistem teknologi).
Wujud budaya pertama adalah dalam bentuk ide atau gagasan, sering disebut
dengan ‘sistem budaya’. Sedangkan ciri-ciri wujud budaya ide adalah: (a) bersifat
abstrak, sulit diraba dan dilihat bentuknya; (b) tempatnya ada di alam pikiran individu
atau warga masyarakat; (c) menjadi acuan atau pedoman individu dalam bertingkah
laku sehari-hari. Oleh karena itu wujud budaya ide atau gagasan sering dijadikan
sebagai ’pedoman hidup’; dan (d) relatif lebih sulit untuk mengalami perubahan,
apalagi wujud budaya ide tersebut sudah menjadi pandangan hidup warga
masyarakat. Contoh wujud budaya ide atau gagasan yang bersifat ’kolektif’ adalah:
nilai-nilai luhur Pancasila; Undang-Undang Dasar 1945 dan aturan perundangan atau
hukum lainnya; Tujuan pembangunan nasional; Visi dan missi suatu organisasi sosial,
15
16. politik ekonomi dan sebagainya. Sedangkan contoh wujud budaya ide atau gagasan
yang bersifat ’individu’ adalah: tujuan, cita-cita, keinginan, pandangan, ideologi,
keyanikan, dan motivasi seseorang untuk melakukan sesuatu tindakan tertentu atau
untuk meraih prestasi di bidang tertentu.
Wujud budaya kedua dalam bentuk kompleks kelakuan berpola, sering disebut
sebagai ’sistem sosial’. Sedangkan ciri-ciri sistem sosial (wujud budaya kelakukan
berpola) adalah: (a) bentuknya lebih kongkrit dari pada wujud budaya ide atau
gagasan; (b) merupakan penerapan atau perwujudan dari budaya wujud ide, yang
berbentuk tata cara atau tingkah laku seseorang dalam kehidupan sehari-hari di
masyarakat; (c) relatif mudah berubah, terutama yang berbentuk kebiasaan-kebiasaan
sehari-hari dalam model berpakaian, berinteraksi sosial; dan (d) bisa diobservasi atau
diamati pola-pola kegiatan sehari-hari dalam memenuhi beragam kebutuhan hidupnya.
Contoh wujud budaya kelakuan berpola (sistem sosial) adalah: (a) wujud budaya ide
dalam bentuk ’ingin melakukan pernikahan’, maka wujud kelakukan berpola (sistem
sosial) adalah; rangkaian tahap-tahap kegiatan dalam upacara perkawinan; (b) wujud
budaya ide dalam bentuk ’tujuan ingin mewujudkan pelaksanaan demokrasi dalam
pemilu yang Luber’, maka wujud kelakuan berpolanya adalah, beberapa rangkaian
kegiatan pencoblosan di TPS oleh para pemilih dan panitia secara Luber. Jadi,
perwujudan dari wujud budaya kedua (kelakuan berpola) adalah selalu berorientasi
pada wujud budaya pertama (sistem ide atau gagasan). Apabila seseorang melakukan
aktivitas atau kegiatan tertentu (wujud budaya kedua) tidak sesuai dengan ide dasar,
keyakinan, atau nilai yang dijunjung tinggi (wujud budaya pertama), maka seseorang
tersebut dapat dikatakan sedang mengalami disintegrasi individu.Contoh, seseorang
ingin melakukan penelitian ilmiah secara objektif (wujud budaya pertama), tetapi yang
rangkaian kegiatan yang dilakukan adalah melakukan penjiplaan atau plagiator dari
penelitian orang lain (wujud budaya kedua yang tidak selaras dengan wujud budaya
pertama).
Wujud budaya ketiga adalah peralatan hidup, yang sering disebut sebagai
’sistem teknologi’, ciri-ciri wujud budaya sistem teknologi adalah: (a) sangat kongkrit,
dapat dilihat dan di raba wujudnya, berupa peralatan atau benda; dan (b) paling mudah
terjadi perubahan bentuk, karena bisa rusak. Bentuk wujud budaya teknologi bisa
berupa bangunan rumah atau pabrik atau bangunan tempat ibadah atau peralatan
hidup lainnya dari yang paling besar sampai yang paling kecil, misalnya paku atau
baut. Ketiga wujud budaya tersebut dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu
atau kelompok (masyarakat) saling mengkait atau merupakan suatu sistem. Uraian
tentang kebudayaan sebagai suatu sistem akan dijelaskan pada uraian berikutnya.
16
17. 3. Unsur-unsur kebuadayaan
Setiap karya budaya selalu mempunyai tiga wujud budaya (wujud ide, wujud
kelakuan berpola, dan wujud teknologi), sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
Dalam aktifitas manusia sehari-hari ketiga wujud budaya tersebut saling berhubungan
timbal balik (Kroeber (ed), 1953; Peursen, 1976; Arifin, 2008). Demikian juga setiap
karya budaya suatu masyarakat mempunyai unsur-unsur budaya, dari unsur-unsur
budaya yang mempunyai ruang lingkup luas sampai unsur-unsur budaya yang
mempunyai ruang lingkup sangat kecil.
Menurut antropolog C. Klukckhon dalam Kroeber (1953), bahwa karya budaya
manusia itu mempunyai unsur-unsur budaya yang selalu dijumpai disetiap kehidupan
masyarakat dimanapun di dunia ini, unsur-unsur budaya tersebut disebut ’unsur-unsur
budaya universal’ (cultural universals), sedangkan menurut Koentjaraningrat (1982),
bahwa unsur-unsur budaya universal tersebut disebut juga sebagai ’isi kebudayaan’.
Isi kebudayaan ini selalu dijumpai disetiap kehidupan manusia, baik pada masyarakat
terisolir sampai pada masyarakat metropolis (perkotaan modern).
Unsur-unsur budaya universal tersebut ada tujuh, yaitu: (1) Sistem religi atau
sistem kepercayaan. Setiap kehidupan masyarakat dimanapun di dunia ini pasti
mengenal sistem regili dan upacara keagamaan atau sistem keyakinan pada kekuatan
’supra natural’. Pada kelompok masyarakat yang berideologi komunis sejatinya secara
personal tetap mengakui adanya kekuatan dahsyat diluar diri manusia (supra natural),
hanya cara merasakan dan menyatakan adanya kekuatan supra natural tersebut
berbeda dengan orang-orang Islam, Kristen, Katholik, Hindhu, Budha. Bagi orang
atheis, Tuhan mereka adalah science atau rasionalisme; (2) Sistem organisasi
kemasyarakatan. Setiap masyarakat dimanapun akan mengembangkan pola-pola
organisasi sosial kemasyarakat, yang berbentuk pola-pola aktivitas sosial dalam
kelompok-kelompk di masyarakat yang berdasarkan adat istiadat yang berlaku; (3)
Sistem pengetahuan. Setiap masyarakat dimanapun pasti mengembangkan sistem
pengetahuan, baik menyangkut pengetahuan alam, sosial atau pengetahuan
humaniora. Semakin maju kehidupan suatu masyarakat semakin kompleks sistem ilmu
pengetahuan yang dikembangkan; (4) Bahasa. Setiap masyarakat dimanapun akan
mengembangkan bahasa sebagai media komunikasi selama proses interaksi sosial,
baik bahsa simblik maupun non-simbolik; (5) Kesenian. Setiap masyarakat dimanapun
akan mengembangkan kesenian sesuai dengan kondisi tantangan atau situasi yang
dihadapi sehari-harai pada lingkungan tempat tinggalnya, misalnya, masyarakat
agraris akan mengekspresikan potensi seninya (baik seni rupa, seni tari, seni bangun,
dsb) sesuai dengan alam lingkungan agraris, dsb.; (6) Sistem mata pencaharian hidup.
Setiap masyarakat dimanapun akan mengembangkan sistem mata pencahariaan
17
18. hidup, misalnya pertanian, nelayan, pertukangan, industri, profesi tertentu, dsb.; dan
(7) Sistem teknologi, yaitu sistem peralatan atau benda-benda sebagai sarana dalam
melakukan aktivitas tertentu di masyarakat.
Setiap unsur-unsur budaya universal (cultural universals) tersebut dapat dibagi
menjadi unsur-unsur budaya yang lebih kecil. Misalnya, sistem mata pencaharian
hidup (cultural universal), dapat dibagi kedalam unsur-unsur budaya yang lebih kecil
(bagian dari cultural universal yang disebut ‘aktivitas budaya setempat’ (cultural
activity), misalnya: mata pencaharian pertanian; mata pencaharian nelayan, dan
sebagainya. Dari unsur budaya cultural activity ini juga dapat dibagi menjadi unsur-
unsur budaya yang lebih kecil lagi yang disebut ‘Traits complex’, misalnya, mata
pencaharian pertanian, dibagi menjadi: sistem bercocok tanam di sawah, sistem
berkebun, dan sebagainya. Dari Traits complex ini juga dapat dibagi lagi menjadi
beberapa unsur yang lebih kecil, yang disebut ‘Traits’, misalnya: bagian dari sistem
bercocok tanam di sawah adalah: membajak, memanem padi, dan sebagainya. Dari
Traits ini juga dapat dibagi menjadi unsur budaya yang paling kecil yang disebut
‘Items’ (unsur terkecil yang tidak bisa dibagi lagi), misalnya, dari membajak, maka
items-nya adalah: kayu, paku, tali, dan sebagainya. Jadi, ketujuh unsur budaya
universal tersebut mempunyai sub-sub unsur dari cultural activity sampai ke items.
Menurut R. Linton (1963), setiap unsur-unsur budaya universal tersebut
mempunyai tiga wujud budaya (wujud sistem budaya; wujud sistem sosial; dan wujud
sistem teknologi), yang masing-masing wujud budaya dari ketujuh unsur budaya
universal tersebut mempunyai empat bagian yang lebih kecil. Contoh, untuk unsur
budaya universal dari ‘sistem mata pencaharian hidup’, adalah: (1) wujud sistem
budaya adalah berupa ‘nilai adat istiadat’. Dari nilai adat istiadat ini dibagi menjadi
beberapa bagian yang lebih kecil berupa ‘kompleks budaya’. Dari kompleks budaya ini
bagi lagi menjadi beberapa ’tema budaya’. Dari tema budaya ini dibagai menjadi
beberapa ‘gagasan’’; (2) wujud sistem sosial adalah berupa ‘aktivitas sosial’. Dari
aktivitas sosial ini dibagi menjadi beberapa bagian yang lebih kecil berupa ‘kompleks
sosial’. Dari kompleks sosial ini bagi lagi menjadi beberapa ’pola sosial’. Dari pola
sosial ini dibagai menjadi beberapa ‘tindakan’’; (3) wujud teknologi, yaitu semua berupa
benda kebudayaan. Uraian tentang sub unsur dari unsur budaya universal menurut R.
Linton tersebut dapat diilustrasikan dalam gambar sebagai berikut:
18
19. Cultural
Universal
s
1 2 3 4 5 6 7
dsb. 6.a
ds 6.b
b.a
6.b.1.
b
6.b.1. 6.b.1 6.b.2 dsb.
a
Keterangan:
1. Wujud sistem budaya dari 1,2,3,4,5,6,7 (cultural universals) adalah ’adat istiadat’;
Sedangkan 6.a; 6.b; dsb. adalah ’kompleks budaya’. Sedangkan 6.b.1; 6.b.2; dsb.
Adalah ’tema budaya’. Sedangkan 6.b.1.a; 6.b.1.b; dsb adalah ’gagasan’.
2. Wujud sistem sosial dari 1,2,3,4,5,6,7 (cultural universals) adalah ’akitivitas sosial’.
Sedangkan 6.a; 6.b; dsb. adalah ’kompleks sosial’. Sedangkan 6.b.1; 6.b.2; dsb.
Adalah ’pola sosial’. Sedangkan 6.b.1.a; 6.b.1.b; dsb adalah ’tindakan’.
3. Wujud sistem teknologi, untuk semua unsur atau bagian (dari cultural universals
sampai 6.b.1.a) adalah ’benda kebudayaan’
4. Kenisbian atau relativitas kebudayaan
Dalam studi psikhologi, sosiologi maupun antropologi, banyak menjelaskan
bahwa manusia dalam aktivitas hidup baik dalam ranah kehidupan individu maupun
kehidupan sosial selalu menampilkan pola-pola hidup yang diferensial (beragam atau
pluralis), baik keberagaman dalam hal: orientasi hidup; kemampuan berpikir; motivasi,
kedudukan dan peran-peran sosial, cara atau metode dalam meraih tujuan; adat
istiadat yang diyakini; agama atau kepercayaan, dan sebagainya. Bahkan
keberagaman kehidupan sosial budaya merupakan suatu keniscayaan atau keharusan
objektif dan selalu dijumpai dimanapun manusia berada, keberagaman kehidupan di
berbagai bidang justru akan dapat mendorong terjadinya dinamika sosial (Kroeber,
1952; Wilson, E.K., 1966; Green, 1972; Wrightsman, 1977).
Menurut para sosiolog dan antropolog, diantara sebab terjadinya keberagaman
atau kemajemukan sosial-budaya tersebut adalah: (1) adanya perbedaan kondisi
lingkungan alam fisik (geografis) sebagai tempat tinggal manusia, misalnya perbedaan
tingkat kesuburan tanah, perbedaan iklim dan cuaca; (2) adanya perbedaan tingkat
intensitas kontak sosial budaya dengan masyarakat luar, misalnya masyarakat di
pedalaman akan berbeda corak budayanya dengan masyarakat metropolis; (3)
perbedaan etos budaya (karakter budaya khas/khusus) antara kelompok satu dengan
19
20. kelompok lainnya, misalnya: budaya khusus petani, budaya khusus nelayan, budaya
khusus profesi guru, dokter, hakim, budaya khusus pedagang, dan sebagainya; (4)
perbedaan pandangan (ideologi), keyakinan (agama) yang menjadi orientasi hidup
dan perbedaan motivasi inovatif antar anggota masyarakat; (5) perbedaan tingkat
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (6) perbedaan tingkat heterogenitas
ras, ethnik suatu masyarakat (Macionis, J., 1987; Zanden, J.W.V, 1990; Liliweri, 2005).
Realitas keberagaman sosial-budaya tersebut, baik yang disebabkan oleh
perbedaan latar belakang geografis, perbedaan sosio-budaya dan psikhologis, akan
dapat mengharuskan munculnya sikap mental atau pandangan sebagai berikut: (1)
suatu karya budaya tertentu yang dihasilkan oleh suatu masyarakat tertentu tidak bisa
dianggap jelek atau dianggap baik oleh masyarakat yang menilai, karena ukuran ’baik’
atau ’jelek’ suatu karya budaya adalah melekat pada individu atau masyarakat yang
menghasilkan atau memiliki karya budaya itu sendiri. Prinsip inilah yang disebut
’relativitas budaya’; (2) menyelami dan memahami kedalaman makna karya budaya
atau simbol-simbol budaya suatu masyarakat tertentu, baik pada aspek ’wujud sistem
budaya’, ’sistem sosial’ dan ’sistem teknologi’ dengan cara ikut langsung dalam
merasakan dan menyelami pandangan, perasaan dan motivasi warga masyarakat
yang diteliti atau dikaji. Hal ini sering disebut prinsip ’kenisbian budaya’. (Ihromi, T.O.,
1984; Suseno, F.M., 1993; Poerwanto, H, 2000). Sebenarnya konsep antara relativitas
budaya dengan konsep kenisbian budaya adalah mempunyai makna yang sama.
Dalam kehidupan sosial budaya yang sangat pluralis, seperti masyarakat
Indonesia, terbangunnya sikap mental ’kenisbian budaya’ atau ’relativitas budaya’
adalah sangat penting dan mendasar, karena apabila kualitas sikap mental ’kenisbian
budaya’ warga masyarakat rendah maka keberagaman sosial budaya masyarakat
Indonesia akan menjadi sumber masalah (basic problems) yang sangat berat dan akan
menjadi penghambat proses pembangunan nasional. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan rendahnya kualitas sikap mental ’kenisbian budaya’ warga masyarakat,
yaitu: (1) masih kuatnya sikap mental etnosentrisme di masyarakat, yaitu sikap mental
yang menilai bahwa karya dan pola budaya yang dimiliki sukunya adalah paling baik,
sedangkan karya dan pola budaya suku lain adalah jelek atau rendah kualitasnya.
Sikap ethnosentrisme bisa juga diartikan sebagai kesetiaan yang berlebihan pada
ethnik/sukunya; (2) masih kuatnya sikap mental curiga di kalangan warga masyarakat
terhadap unsur-unsur budaya lain atau luar yang akan masuk, karena unsur budaya
lain/luar dianggap akan dapat merusak atau menjadi sebab terjadinya kegoncangan
unsur budaya asli yang dianggap telah mapan; dan (3) sarana atau media-media
proses kontak sosial budaya antar masyarakat (suku bangsa) tidak berfungsi dengan
baik, misalnya: lembaga pendidikan, pusat rekreasi, pasar atau pusat-pusat kegiatan
20
21. ekonomi; alat atau jalur-jalur transportasi; pameran atau pertukaran antar budaya
daerah, dan sebagainya. Jadi, pandangan kenisbian kebudayaan menuntut agar
semua perilaku sosial dan adat istiadat dari suatu masyarakat hendaknya dipandang
dari sudut masyarakat itu sendiri dan tidak dari sudut kebudayaan orang lain yang
menilai dan yang menganggap budayanya lebih baik dari yang lain, terbangunnya
kualitas sikap mental kenisbian budaya pada warga bangsa akan mendorong
kokohnya integritas dan kesatuan bangsa indonesia (Koentjaraningrat, 1981; Alfian,
1986; Usman, S., 1998; Liliweri 2005).
Napoleon Chanon, dalam Ihromi, T.O., (1984), memberikan contoh tentang
kenisbian budaya sebagai berikut: ’Adat istiadat yang berkembang di suku bangsa
Yanomamo, yang berada di daerah perbatasan negara venezuela dan Brazilia Amerika
Latin. Pada suku tersebut berlaku adat istiadat, yaitu apabila putra (anak laki-laki) suku
Yanomamo merasa tidak setuju atau marah kepada orang tuanya (karena orang tua
berbuat salah) dianjurkan untuk menyatakan kemarahannya dengan cara
menempeleng atau memukul orang tuanya. Jadi, bila anak menampar orang tuanya
sebagai bentuk kemarahannya pada orang tua, tindakan itu bukan dinilai atau
dianggap melanggar hukum bahkan dipuji. Sistem adat ini telah dipahami oleh anak
sejak kecil. Sebagian besar anak laki-laki mengetahuinya, bahwa cara yang sudah
dimaklumi bersama dan disetujui masyarakat Yanomamo tersebut adalah cara
menunjukkan kemarahan dalam masyarakat mereka pada orang tua dengan cara
memukul’. Realitas adat istiadat tersebut sudah tentu tidak bisa dinilai jelek menurut
adat istiadat yang umumnya berlaku di Indonesia, karena adat istiadat dalam bentuk
menyatakan kemarahan anak kepada orang tua pada masyarakat Yanomamao
tersebut adalah melekat pada pandangan hidup dan tradisi masyarakat Yanomamo itu
sendiri.
Konsekwensi logis dari realitas sosial budaya yang selalu tampil dalam
keberagaman tersebut adalah, setiap individu atau setiap warga masyarakat harus
mengembangkan sikap mental: (1) tolerir terhadap keberagaman pola-pola budaya
orang lain atau suku bangsa lain; (2) memberikan kesempatan bagi setiap individu
atau warga masyarakat dalam merealisasikan dan mengembangkan pola budayanya
secara proporsional ditengah keberagaman hidup, dengan tidak meremehkan atau
merendahkan adat istiadat orang lain; (3) terbuka terhadap beragam alternatif pilihan
hidup, selalu berinovasi untuk meraih kualitas hidup dan kompetitif secara positif di
tengah keberagaman sosial budaya. Namun dalam realitas hidup masih banyak
dijumpai pola-pola pikir dan tindakan sosial individu dalam masyarakat yang
menerapkan; dan (4) selalu mendukung atau mencintai setiap ada agenda kegiatan
atau aktivitas sosial budaya yang sifatnya adalah menggalakkan proses pembauran
21
22. ethnik atau program informasi lintas budaya antar masyarakat, sehingga akan
diperoleh banyak alternatif pilihan dan wacana tentang keberagaman sosial budaya
masyarakat (Alfian, 1986; Effendi, S., (ed), 1992; Koentowijoyo, 1999).
5. Kebudayaan sebagai hasil pembelajaran
Dalam banyak kajian antropologi dan sosiologi dijelaskan bahwa, pada diri
manusia terdapat dua potensi dasar sebagai bekal dalam proses pemenuhan beragam
kebutuhan hidupnya di masyarakat, yaitu: (1) potensi diri yang bersifat naluriah atau
instinktif, dengan ciri-ciri: (a) diperoleh tidak melalui proses belajar tetapi melalui
kelahiran atau telah dibawa sejak lahir; (b) bersifat biologis-responsif, misalnya: ketika
merasa lapar dan haus ingin makan dan minum, ketika ngantuk kemudian tidur, ketika
anggota tubuh bersentuhan dengan api terasa panas, ketika debu akan masuk ke
mata kemudian mata berkedip, dan sebagainya; (2) potensi diri atau kemampuan diri
yang diperoleh melalui proses pengenalan, pembelajaran, pelatihan secara terus
menerus, hal inilah yang disebut dengan kebudayaan (Rose, 1965; Popenoe, D., 1974;
Horton and Hunt, 1984).
Dalam proses kehidupan sosial budaya di masyarakat, ada tiga cara proses
pembelajaran budaya yang dilakukan oleh setiap individu, yaitu: (1) proses
internalisasi; (2) proses sosialisasi; dan (3) proses enkulturasi. Proses internalisasi
adalah, ‘proses pembelajaran individu sejak usia dini (sejak lahir) sampai meninggal
untuk belajar, melatih dan menanamkan dalam jiwa-pikiran atau kepribadiannya
tentang segala hasrat, keinginan, emosi, motivasi, perasaan yang diperlukan selama
proses kehidupannya’. Dalam proses internalisasi inilah seseorang sejak kecil sampai
meninggal terus belajar tentang: merasakan dan mewujudkan kebahagiaan hidup;
merealisasikan dan memaknai cinta dan benci dalam hidup; membangun sikap simpati
atau empati, rasa malu; melatih diri bersikap adil, jujur; membangun semangat untuk
ingin tahu dan berbakti pada orang tua, masyarakat, berkarya, dan sejenisnya. (Green,
A. W. 1972; Koentjaraningrat, 1989). Jadi, dalam proses internalisasi ini seseorang
tidak pernah berhenti selama hidupnya untuk terus membangun kualitas kepribadian
atau berakhlak mulia, melalui lingkungan tempat hidupnya, baik dalam keluarga, teman
bermain, organisasi-organisasi sosial di masyarakat, dan lingkungan kerja.
Proses sosialisasi adalah, ‘proses pembelajaran individu sejak dini (sejak lahir)
sampai meninggal tentang pola-pola tindakan sosial atau interaksi sosial dalam
proses-proses sosial di lingkungannya dengan memperhatikan beragam nilai dan
norma sosial yang berlaku dalam kelompoknya’. Jadi, dalam proses sosialisasi
seorang individu terus belajar dan melatih diri untuk: (a) menjalin interaksi sosial sebaik
mungkin agar diterima oleh anggota masyarakatnya; (b) melatih melakukan peran-
peran sosial sesuai dengan harapan masyarakatnya; (c) melakukan komunikasi secara
22
23. efektif dengan anggota kelompok atau masyarakatnya dalam aktifitas sosial; dan (d)
menjalin kerjasama dalam kelompok dalam rangka pemenuhan beragam kebutuhan
hidupnya. Sedangkan diantara fungsi sosialisasi antara lain: (a) membentuk
kepribadian individu, khususnya berkaitan dengan beragam aktifitas kehidupan
kelompok atau proses-proses sosial (interaksi sosial) secara berkualitas; dan (b)
melatih setiap individu mampu melaksanakan beragam peranan sosial yang
diharapkan oleh masyarakat secara berkualitas (Berger, 1972; Bouman, P.J., 1982;
Horton and Hunt, 1984).
Menurut para ahli, ada beberapa lingkungan hidup yang dapat berfungsi sebagai
media sosialisasi seseorang untuk membangun kualitas kepribadian dalam hidup di
masyarakat, yaitu: (1) lingkungan keluarga, (2) lingkungan teman sebaya, (3)
lingkungan lembaga pendidikan atau sekolah, (4) media massa, dan (5) lingkungan
tempat kerja. Diantara kelima media sosialisasi tersebut, lingkungan keluarga adalah
media sosialisasi yang paling menentukan proses pembentukan kepribadian anak.
Kegagalan proses internalisasi dan sosialisasi dalam kehidupan keluarga atau yang
sering disebut ‘proses sosialisasi tidak sempurna’ akan menyebabkan anak melakukan
beragam tindakan-tindakan sosial menyimpang (Coleman and Cressey, 1984; Horton
and Hunt, 1984).
Proses enkulturasi. Istilah enkulturasi secara tekstual dapat diterjemahkan
sebagai ‘pembudayaan’ atau dalam bahasa inggris disebut ‘institutionalization’. Proses
enkulturasi adalah ’proses pembelajaran diri sejak usia dini sampai meninggal tentang
adat istiadat, sistem norma, dan peraturan-peraturan yang berlaku di masyarakat. Jadi,
dalam proses enkulturasi ini seseorang sejak kecil berlatih untuk memahami dan
mengamalkan nilai, norma, adat istiadat, dan seperangkat aturan yang telah berlaku
dalam keluarga dan masyarakatnya (membangun karakter untuk sadar akan aturan
hidup). Pelatihan alam pikiran dan tindakannya tersebut dilakukan secara berulang-
ulang dari kecil sampai dewasa, sehingga tindakan-tindakan sosial yang berdasarkan
norma atau adat istiadat tersebut telah ’terbudayakan’ atau ’terlembagakan’ atau
‘terinstitusional’ atau ‘menjadi etos’. Sesuatu yang sudah ’terlembagakan’ atau
’terbudayakan’ berarti sesuatu itu sudah mendarah daging atau sudah menjadi pola
hidup sehari-hari dan relatif sulit mengalami perubahan.
Selama proses kehidupan sosial di masyarakat, setiap individu selalu
melakukan ketiga proses pembelajaran budaya tersebut, yaitu: internalisasi,
sosialisasi, dan enkulturasi. Ketiganya mempunyai hubungan yang sangat erat, karena
dalam praktik-praktik tindakan sosial dalam rangka pemenuhan beragam kebutuhan
hidup di masyarakat, setiap individu selalu bersentuhan dengan ketiga hal tersebut.
Ketiga proses pembelajaran budaya tersebut mempunyai persamaan, yaitu ’sama-
23
24. sama berfungsi dalam proses pembentukan kepribadian seseorang sejak dini sampai
meninggal’, sedangkan perbedaannya lebih terletak pada ’titik tekan’
permasalahannya, yaitu: internalisasi lebih menekankan pada proses pembentukan
karakter atau kualitas kepribadian atau akhlak mulia setiap individu; sosialisasi lebih
menekankan pada aspek kualitas diri dalam melakukan proses interaksi sosial, atau
komunikasi sosial atau proses-proses sosial dalam kehidupan kelompok, baik dalam
keluarga, organisasi kemasyarakatan, tempat kerja dsb., sedangkan enkulturasi lebih
menekankan pada aspek ’pembudayaan’ atau melatih diri secara berulang-ulang
dalam mematuhi seperangkat norma atau aturan yang berlaku di masyarakat.
Setiap proses pembelajaran budaya yang dilakukan seseorang pada
lingkungan pembelajaran budaya, misalnya: keluarga, teman sebaya, sekolah, tempat
kerja, baik dalam bentuk internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi tidak selamanya
berlangsung secara sempurna. Apabila proses internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi
pada lingkungan pembelajaran budaya tersebut tidak sempurna, maka para anggota
kelompok tersebut cenderung akan melakukan tindakan menyimpang (deviants),
misalnya: suami-istri bercerai, anak terlibat dalam perkelahian atau penyalahgunaan
obat terlarang, konflik SARA, dan sebagainya.
Keenam, kebudayaan sebagai suatu sistem. Dalam kajian antropologi maupun
sosiologi, telah dijelaskan bahwa setiap melakukan kajian tentang kebudayaan tidak
cukup hanya mengkaji dari satu unsur, atau aspek budaya secara parsial, tetapi harus
dilakukan secara integratif atau holistik atau multidimensional, karena hakikat
kebudayaan itu adalah mencakup seluruh cipta, rasa dan karsa manusia yang terjelma
dalam wujud sistem budaya, sistem sosial dan sistem teknologi secara integratif
(Ihromi, 1984; Koentjaraningrat, 1989; Kuntowijoyo, 1999).
Ada sebagian yang memandang bahwa semua cipta, rasa dan karsa
manusia, baik yang berbentuk negatif (merugikan masyarakat atau orang lain) atau
yang berbentuk positif (membawa kemajuan atau menguntungkan kehidupan
masyarakat) adalah kebudayaan. Namun pandangan tersebut perlu diberi penjelasan
lebih lanjut, yaitu: (1) hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang negatif (eror atau
destruktif) yang merugikan atau membawa dampak negatif bagi kehidupan bersama di
masyarakat, hakikatnya ’kurang proporsional’ apabila disebut sebagai karya budaya,
tetapi lebih tepatnya disebut bentuk cipta, rasa dan karsa yang menyimpang
(deviants), atau lebih proporsional disebut ’karya budaya menyimpang’, dan karya
budaya menyimpang sebenarnya ’bukan sesuatu yang diinginkan dan bukan yang
dicita-citakan’ oleh individu atau warga masyarakat; (2) pada hakikatnya pola tindakan
manusia dalam hidup adalah lebih cenderung untuk melakukan atau mengekspresikan
cipta, rasa dan karsanya ke arah keseimbangan, kedamaian hidup, kebahagiaan, dan
24
25. ketenangan hidup daripada karya tindakan yang menyengsarakan (disintegrasi atau
eror); dan (3) hakikat suatu karya budaya atau yang dihasilkan oleh seseorang harus
mendorong untuk memunculkan karya budaya berikutnya (prospektif), dan setiap cipta,
rasa dan karsa yang menyimpang (deviants) sulit menghasilkan karya budaya
berikutnya yang lebih baik atau ‘peradaban’ (civilization) (Asy’ari, M. (Ed). 1988;
Effendi, S., (Eds). 1992; Mutahhari, M, 1997)..
Kebudayaan sebagai suatu sistem mengandung arti bahwa ’kebudayaan itu
merupakan suatu integrasi, yaitu antar wujud budaya dan antara unsur-unsur budaya
satu dengan yang lain saling menjalin hubungan timbal balik dalam proses kehidupan
di masyarakat. Jadi, masing-masing wujud budaya dan unsur budaya tidak bisa
dipahami secara parsial atau terpisah (otonom)’. Ada beberapa alasan yang
memperkuat pandangan bahwa kebudayaan adalah suatu integrasi (sebagai sistem),
antara lain:
a. Hakikat setiap karya budaya mempunyai sifat dasar yaitu ’sifat adaptif’ terhadap
pengaruh lain atau unsur budaya lain, sehingga setiap unsur budaya satu dengan
unsur budaya lain dalam kehidupan sehari-hari saling kait mengkait.
b. Hakikatnya setiap unsur budaya (tujuh cultural universals) dalam praktik-praktik
sosial sehari-hari tidak bisa saling bertentangan, justru semua unsur budaya
tersebut saling berhubungan atau saling melengkapi, saling mengisi untuk memberi
makna hidup manusia di masyarakat. Sangat mustakhil dalam aktivitas sosial
ketujuh unsur budaya universal tersebut berlawanan (tidak ada hubungan).
c. Perubahan yang terjadi pada unsur budaya satu dapat mempengaruhi perubahan
pada unsur budaya yang lain, contoh: perubahan jenjang pendidikan formal
(perubahan dalam penguasaan Iptek) seseorang akan mempengaruhi perubahan
pada unsur-unsur budaya yang lain, misalnya: sistem mata pencaharian hidup;
sistem kepercayaan, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan kebudayaan adalah
suatu sistem.
d. Setiap karya budaya manusia apabila diimplementasikan dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari selalu menampilkan keterpaduan antara wujud budaya ide
(gagasan), kelakuan (tata cara) dan teknologi (benda). Deskripsi tentang
kebudayaan sebagai suatu integrasi (sistem) dapat disederhanakan dalam gambar
1.3 dan 1.4 sebagai berkut:
25
26. Gambar 1.3. Tentang integrasi antar tujuh unsur budaya universal.
Sitem
Sistem ilmu
religi penget.
Sitem Sistem
Teknolgi Org.
sosial
Sistem
Bahasa
Mata
penc.
Kesenian
Gambar 1.4. Tentang integrasi antara wujud budaya dengan unsur-unsur budaya
universal. (Diadopsi dari Koentjaraningrat, 1989)
A
G
III
II
F B
I
E C
D
Keterangan:
26
27. 1. Lingkaran lapisan terluar, yaitu A sampai G adalah tujuh unsur budaya universal
(cultural universals).
2. Setiap unsur budaya dari cultural universals tersebut mempunyai tiga wujud
budaya, yaitu: (a) wujud ide atau gagasan atau sistem budaya (lingkaran paling
dalam atau lingkaran I); (b) wujud pola perilaku atau tata cara atau sistem sosial
(lingkaran II); dan (c) wujud benda atau sistem teknologi (lingkaran III).
3. Keserasian fungsi antara lingkaran lapisan I, II, III dan lingkaran lapian terluar
dalam praktik-praktik sosial-budaya adalah wujud integrasi budaya (budaya
sebagai sistem).
4. Lingkaran I (wujud ide) adalah karya budaya yang paling dasar, sebagai orientasi
dari lingkaran II dan III.
E. Konsep Dinamika Sosial dan Kebudayaan
Konsep dinamika sosial (social dynamics) dan dinamika kebudayaan (cultural
dynamics) adalah ‘proses-proses pergeseran unsur-unsur sosial dan unsur-unsur
kebudayaan dalam kehidupan masyarakat’ (Burns, T.R, 1987; Koentjaraningrat, 1989).
Pada studi antropologi dan sosiologi, kajian tentang dinamika sosial dan kebudayaan
banyak banyak berkaitan dengan konsep kajian tentang: perubahan sosial dan
perubahan kebudayaan; pembelajaran kebudayaan (proses internalisasi, proses
sosialisasi, dan proses enkulturasi); dan persebaran kebudayaan. Dalam pembahasan
tentang dinamika sosial dan kebudayaan berikut ini lebih banyak menyinggung tentang
perubahan sosial dan perubahan kebudayaan.
Uraian tentang konsep perubahan sosial-budaya pada pembahasan berikut ini
hanya menjelaskan secara singkat tentang: (1) pengertian perubahan sosial-budaya;
(2) uraian singkat dari beberapa perspektif teoritis yang mengkaji tentang perubahan
sosial-budaya; (3) sebab-sebab terjadinya perubahan sosial-budaya; dan (4) ruang
lingkup kajian perubahan sosial-budaya.
Pertama, pengertian perubahan sosial-budaya. Ada beberapa asumsi penting
yang perlu dipahami oleh setiap peminat studi perubahan sosial atau perubahan
kebudayaan, adalah: Bahwa tidak ada sesuatu di bawah kolong langit dan di
hamparan bumi ini yang tidak mengalami perubahan sosial-budaya (Etzioni (eds),
1973; Bouman, 1982; Sztompka, 1993); Perubahan sosial merupakan suatu proses
perubahan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, oleh karena itu ruang
lingkup kajian perubahan sosial merupakan materi yang sangat luas, kompleks dan
terbuka (Goode, 1977; Harper, 1989). Demikian juga pengertian perubahan
kebudayaan, yaitu ‘suatu proses perubahan baik yang menyangkut perubahan dari
aspek wujud budaya maupun perubahan dari aspek unsur-unsur budaya’.
Beragam definisi tentang perubahan sosial telah diajukan oleh para ahli. Dari
beragam definisi tersebut sosiolog Selo Soemardjan menyimpulkan bahwa perubahan
sosial adalah, ‘segala perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu
masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai,
27
28. sikap dan pola perilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat’ (Soemardjan,
1981). Dari berbagai definisi tentang perubahan sosial dan perubahan kebudayaan,
paling tidak ada empat konsep penting yang dapat dipahami tentang pengertian
perubahan sosial (social change) dan perubahan kebudayaan (cultural change), antara
lain:
a. Masyarakat dimanapun akan mengalami perubahan sosial dan perubahan
kebudayaan, dan perubahan sosial-budaya merupakan suatu proses yang luas,
kompleks, menyangkut berbagai aspek dan tatanan dalam kehidupan ummat
manusia.
b. Setiap perubahan sosial-budaya akan membawa modifikasi-modifikasi baik pada
aspek kuantitatif (material) maupun kualitatif (nonmaterial), yang dapat
berlangsung secara lambat (evolution) atau secara cepat (revolution).
c. Perubahan sosial-budaya yang terjadi bisa menyangkut, perubahan struktur sosial-
budaya, perubahan fungsi hubungan antar bagian dalam sistem sosial-budaya.
d. Perubahan sosial-budaya akan dapat mempengaruhi terjadinya perubahan
pandangan hidup, nilai-nilai, tujuan dan sikap hidup manusia, meskipun proses
perubahan pada aspek ini berlangsung sangat lambat (Lauer, R.H. 1978;
Sztompka, 1993).
Kedua, perubahan sosial-budaya dalam perspektif teoritis. Ada beragam teori
(perspectives) yang membahas tentang perubahan sosial-budaya, yaitu: (1) perspektif
evolusi (evolutionary perspectives); (2) perspektif fungsionalis (functionalist
perspectives) (Durkheim, 1974); (3) perspektif konflik (conflict perspectives); (4)
perspektitif Interaksionis simbolik (Macionis, 1987; Harper, 1989; Zanden, 1990); dan
(5) perspektif Integrasi Agen Struktur (Giddens, 1987) atau Makro-mikro (Sanderson,
1991; Ritzer dan Goodman, 2003).
Kajian tentang fenomena sosial-budaya yang menjelaskan tentang perubahan
sosial-budaya berbasis teori evolusi (evolution theory), antara lain:
a. Pandangan A. Comte (1798-1857) tentang ‘tahap-tahap perkembangan manusia
dan masyarakat’ yang dikenal dengan hukum tiga tahap perkembangan, yaitu:
Tahap teologik (fiktif); Tahap metafisik (abstrak); dan Tahap positif (riel)
(Mannheim, 1959; Wibisono, 1983; Laeyendecker, 1991). Pandangan Comte inilah
yang menjadi acuan para teoritisi evolusionis berikutnya (Inkeles, 1964; Giddens,
1985).
b. Pandangan Herbert Spencer (1820-1903) tentang ‘evolusi masyarakat dari pola
sederhana menuju yang rumit dan kompleks, dari homogen (homogeneity) ke
heterogen (heterogeneity)’ (Etzioni, 1973; Rossides, 1978).
28
29. c. Karl Marx (1818-1883), tentang ‘evolusi masyarakat menuju masyarakat komunis
tanpa kelas dengan padangan historis materialism’; (Rose, 1963; Mutahhari, 1986).
d. Max Weber (1864-1920), tentang the role of ideas in history. Bagi Weber setiap
individu terdapat potensi rasional untuk meraih tujuan, yang terdiri dari empat
macam yaitu: traditional rationality, value oriental rationality, effective rationality,
dan purposive rationality atau rationality instrumental. Keempatnya dapat berdiri
sendiri, tetapi juga simultan yang secara bersama menjadi acuan perilaku
masyarakat, dan tindakan yang paling utama adalah tindakan rationality
instrumental (Wrong, 1970; Johnson,D.P., 1981; Laeyendecker, 1991).
e. Pitirim A Sorokin (1889-1968), bahwa: Perubahan sosial-budaya bisa disebabkan
oleh faktor internal dan eksternal; Pendekatan historis (historical approach) dalam
studi perubahan sosial adalah sangat penting; dan Metode logika penuh arti yang
terintegrasi dalam budaya (logico meaningful integration of culture) akan
menghasilkan tiga sistem sosiokultural (supersistem), yaitu: sistem ideasional;
sistem inderawi; dan sistem campuran. Sejarah sosiokultural merupakan siklus
yang bervariasi antara ketiga supersistem yang mencerminkan kultur ‘agak’
homogen (Green, 1972; Rossides, 1978; Campbell, 1981). Masih banyak
teoritukus yang berpandangan evolusi, diantaranya: Oswald Spengler; Ferdinan
Toennies; Vilfredo Pareto; Emile Durkheim, dan Alex Inkeles. Pembahasan lebih
lanjut tentang perubahan sosial-budaya dalam perspektif teoritis akan diuraikan
pada bab berikutnya.
Ketiga, sebab-sebab terjadinya perubahan sosial-budaya. Menurut para ahli
sebab-sebab terjadinya perubahan sosial-budaya, ditentukan oleh banyak faktor,
antara lain: (1) faktor kondisi diluar kemampuan manusia (the ultimate conditions),
misalnya kondisi lingkungan fisik (physical environment), jumlah penduduk, iklim; (2)
faktor terjadinya integrasi atau konflik antar kepentingan dalam lembaga di
masyarakat; (3) faktor orientasi sistem nilai dan norma sosial budaya yang dianut
anggota masyarakat; (4) faktor penemuan budaya baru dan pengembangan bidang
teknologi, misalnya invention yang mempengaruhi beragam aspek kehidupan; (5)
faktor kontak sosial-budaya dan penyebaran unsur budaya melalui proses difusi; (6)
faktor peranan innovator dalam proses aktivitas sosial sehari-hari; dan (7) faktor
peranan penguasa dalam mewarnai kehidupan negara atau masyarakat (Green, 1972;
Zanden, 1990). Dari beragam faktor tersebut dapat disimpulkan bahwa sebab
terjadinya perubahan sosial-budaya dapat dipengaruhi oleh kondisi kekuatan internal
(internal force) dan kondisi kekuatan eksternal (external force) masyarakat (Etzioni,
1973; Popenoe, 1974; Soekanto, 1984,b).
29
30. Keempat, ruang lingkup kajian perubahan sosial-budaya. Merujuk pandangan
Gerth dan Mills, dalam Soekanto (1984,a), maka ruang lingkup kajian tentang
perubahan sosial-budaya dapat disimpulkan minimal menyangkut enam aspek, antara
lain: (1) apakah aspek-aspek sosial-budaya yang berubah?; (2) bagaimana hal-hal itu
berubah?; (3) kemanakah tujuan atau arah dari perubahan sosial-budaya itu?; (4)
bagaimanakah kecepatan perubahan sosial-budaya tersebut terjadi?; (5) mengapa
terjadi perubahan sosial-budaya?; dan (6) faktor-faktor penting manakah yang ada
dalam perubahan sosial-budaya?.
Menurut Himes and Moore dalam Salim (2002), ada tiga dimensi dalam kajian
perubahan sosial-budaya adalah: (1) dimensi struktural, dimensi ini mengacu pada
perubahan-perubahan dalam bentuk struktural masyarakat dengan ruang lingkup
perubahan meliputi: (a) perubahan aspek status dan peranan, (b) perubahan aspek
perilaku individu dan kekuasaan, (c) terjadinya pergeseran dari wadah atau kategori
peranan, (d) terjadinya modifikasi saluran komunikasi diantara peranan-peranan atau
kategori peranan, (e) terjadinya perubahan dari sejumlah tipe dan fungsi sebagai
akibat dari struktur; (2) dimensi kultural, dimensi ini mengacu pada perubahan-
perubahan kebudayaan dalam masyarakat, baik yang berupa: Wujud budaya ide
(sistem budaya); Wujud budaya kelakuan berpola (sistem sosial); dan Wujud budaya
fisik (sistem teknologi), baik bersifat difusi, inovasi dan integrasi; (3) dimensi
interaksional, dimensi ini mengacu pada adanya perubahan hubungan sosial di dalam
masyarakat. Ruang lingkup perubahan interaksional menyangkut lima hal yaitu:
hubungan kooperatif sampai konflik; hubungan informal dan formal; hubungan
horisontal dan vertikal.
F. Kesimpulan
Berdasarkan uraian singkat tentang: Hakikat studi ilmu pengetahuan sosial-
budaya; Konsep kehidupan sosial sebagai suatu sistem; Konsep kebudayaan sebagai
suatu sistem; dan Konsep dinamika sosial dan kebudayaan, adalah dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Semua ilmu pengetahuan sosial-budaya dan ilmu pengetahuan alam, pada
dasarnya memiliki tiga landasan utama, yaitu: ontologi, epistemologi, dan
aksiologi. Dan untuk membedakan jenis ilmu pengetahuan sosial satu dengan
yang lain dapat dilihat dari tiga landasan tersebut.
2. Suatu kehidupan sosial dianggap sebagai suatu ‘sistem’, mengandung arti bahwa
‘kehidupan sosial tersebut mempunyai unsur-unsur atau sub unsur sosial yang
saling berinteraksi satu dengan lainnnya, dan unsur-unsur tersebut membentuk
struktur sistem sosial itu sendiri dan mengatur sistem sosial’. Unsur-unsur sistem
sosial tersebut antara lain: (a) pengetahuan atau keyakinan; (b) sentimen atau
30
31. perasaan (tindakan afektif); (c) tujuan atau sasaran atau cita-cita; (d) nilai dan
norma sosial; (e) kedudukan (status) dan peranan (role) sosial; (f) stratifikasi sosial
(tingkatan sosial seseorang dalam kelompok); (g) kekuasaan atau pengaruh
(power), atau wewenang; (h) sanksi atau pengendalian atau kontrol sosial; (i)
sarana atau fasilitas dalam kehidupan kelompok; dan (j) tekanan dan ketegangan.
3. Kebudayaan sebagai suatu sistem mengandung arti bahwa ’kebudayaan itu
merupakan suatu integrasi, yaitu antar wujud budaya dan antara unsur-unsur
budaya satu dengan yang lain saling menjalin hubungan timbal balik dalam proses
kehidupan di masyarakat. Jadi, masing-masing wujud budaya dan unsur budaya
tidak bisa dipahami secara parsial atau terpisah (otonom)’.
4. Konsep dinamika sosial (social dynamics) dan dinamika kebudayaan (cultural
dynamics) adalah ‘proses-proses pergeseran unsur-unsur sosial dan unsur-unsur
kebudayaan dalam kehidupan masyarakat’. Sedangkan ruang lingkup kajian
tentang perubahan sosial-budaya, minimal menyangkut enam aspek, antara lain:
(a) apakah aspek-aspek sosial-budaya yang berubah?; (b) bagaimana hal-hal itu
berubah?; (c) kemanakah tujuan atau arah dari perubahan sosial-budaya itu?; (d)
bagaimanakah kecepatan perubahan sosial-budaya tersebut terjadi?; (e) mengapa
terjadi perubahan sosial-budaya?; dan (f) faktor-faktor penting manakah yang ada
dalam perubahan sosial-budaya?.
31
32. KONSEP
SISTEM SOSIAL-BUDAYA DALAM PERSPEKTIF TEORITIS
Oleh: Dr. ARIFIN
A. Ruang Lingkup Dan Tujuan Kajian
Ruang lingkup kajian tentang sistem sosial-budaya dalam perspektif teoritis
adalah menyangkut tentang: (a) fenomena sosial-budaya dalam perspektif teori
evolusi; (b fenomena sosial-budaya dalam perspektif teori sistem; (c) sistem sosial-
budaya dalam perspektif teori fungsional struktural dan neo-fungsional; (d) sistem
sosial-budaya dalam perspektif teori konflik dan neo-Marxian; (e) sistem sosial-budaya
dalam perspektif teori interaksionis simbolik; fe) sistem sosial-budaya dalam perspektif
teori fenomenologi; (g) sistem sosial budaya dalam perspektif teori posmodern; (h)
sistem sosial budaya dalam perspektif teori integrasi; dan (i) kesimpulan.
Sedangkan tujuan pembahasan tentang sistem sosial-budaya dalam
perspektif teoritis, antara lain: (1) diharapkan para mahasiswa, khususnya program
studi ilmu-ilmu sosial dapat memahami beberapa alternatif wacana tentang fenomena
sosial-budaya dalam perspektif: Teori evolusi; Teori sistem; Teori fungsional struktural
dan neo-fungsional; Teori konflik dan neo-Marxian; Teori interaksionis simbolik dan
teori fenomenologi; Teori posmodern; dan Teori integrasi; (2) diharapkan para peneliti
atau peminat studi ilmu-ilmu sosial, dapat memahami konsep-konsep dasar tentang
fenomena sosial-budaya dalam perspektif: Teori evolusi; Teori sistem; Teori
fungsional struktural dan neo-fungsional; Teori konflik dan neo-Marxian; Teori
interaksionis simbolik dan teori fenomenologi; Teori posmodern; dan Teori integrasi,
untuk kemudian dapat dijadikan sebagai theoritical orientation dalam melakukan
analisis fenomena sosial dalam proses social research; dan (3) setelah memahami
konsep-konsep dasar tentang teori-teori tersebut, diharapkan para mahasiswa,
peneliti dan peminat studi ilmu-ilmu sosial dapat melakukan kajian lebih lanjut pada
referensi-referensi ilmiah yang dianjurkan.
B. Fenomena Sosial-budaya Dalam Perspektif Teori Evolusi
Kajian sosiologi yang menjelaskan tentang perubahan sosial berbasis teori
evolusi (evolution theory), antara lain: (1) pandangan A. Comte (1798-1857) tentang
‘tahap-tahap perkembangan manusia dan masyarakat’ yang dikenal dengan hukum
tiga tahap perkembangan, yaitu: Tahap teologik (fiktif); Tahap metafisik (abstrak); dan
Tahap positif (riel) (Mannheim, 1959; Wibisono, 1983; Laeyendecker, 1991).
Pandangan Comte inilah yang menjadi acuan para teoritisi evolusionis berikutnya
(Inkeles, 1964; Giddens, 1985); (2) pandangan Herbert Spencer (1820-1903) tentang
‘evolusi masyarakat dari pola sederhana menuju yang rumit dan kompleks, dari
homogen (homogeneity) ke heterogen (heterogeneity)’ (Etzioni, 1973; Rossides, 1978);
32
33. (3) Karl Marx (1818-1883), tentang ‘evolusi masyarakat menuju masyarakat komunis
tanpa kelas dengan padangan historis materialism’; (Rose, 1963; Mutahhari, 1986);
(4) Max Weber (1864-1920), tentang the role of ideas in history. Bagi Weber setiap
individu terdapat potensi rasional untuk meraih tujuan, yang terdiri dari empat macam
yaitu: traditional rationality, value oriental rationality, effective rationality, dan purposive
rationality atau rationality instrumental. Keempatnya dapat berdiri sendiri, tetapi juga
simultan yang secara bersama menjadi acuan perilaku masyarakat, dan tindakan yang
paling utama adalah tindakan rationality instrumental (Wrong, 1970; Johnson,D.P.,
1981; Laeyendecker, 1991); dan (5) Pitirim A Sorokin (1889-1968), bahwa: Perubahan
sosial bisa disebabkan oleh faktor internal dan eksternal; Pendekatan historis
(historical approach) dalam studi perubahan sosial adalah sangat penting; dan Metode
logika penuh arti yang terintegrasi dalam budaya (logico meaningful integration of
culture) akan menghasilkan tiga sistem sosiokultural (supersistem), yaitu: sistem
ideasional; sistem inderawi; dan sistem campuran. Sejarah sosiokultural merupakan
siklus yang bervariasi antara ketiga supersistem yang mencerminkan kultur ‘agak’
homogen (Green, 1972; Rossides, 1978; Campbell, 1981).
Masih banyak teoritukus yang berpandangan evolusi, diantaranya: Oswald
Spengler; Ferdinan Toennies; Vilfredo Pareto; Emile Durkheim, dan Alex Inkeles.
Diantara tokoh teoritikus terkemuka yang berpandangan evolusi tersebut adalah A.
Comte, dengan teorinya tentang ‘tiga hukum perkembangan’. Banyak ilmuwan
(sosiolog) terkenal dunia terpengaruh oleh pandangan Comte, misalnya: E. Durkheim,
Talcott Parsons, dan Emitai Etzioni dsb (Wibisono, 1983). Diantara karya monumental
Comte adalah: Systeme de Philosophie Positive atau Sistem Filsafat Positif (1824);
Cours de Philosophie Positive atau Pelajaran Filsafat Positif 6 Jilid (1830-1842); dan
Systeme de Politique Positive atau Sistem Politik Positif (1851-1854).
Menurut Comte, bahwa sejarah kehidupan umat manusia, juga jiwa manusia,
baik secara individu atau kelompok (masyarakat), akan berubah dan berkembang
menurut hukum tiga tahap (Law of the three stage), yaitu: (a) Tahap Teologi atau Fiktif;
(b) Tahap Metafisik atau Abstrak; dan (c) Tahap Positif atau Riel (Rossides, 1978;
Inkeles, 1964; Macianis J.J, 1987). Adapun karaketrisitik ketiga tahap tersebut antara
lain tersebut di bawah ini.
Tahap Teologi atau Fiktif. Diantara ciri tahap ini adalah: (1) Merupakan tahap
awal perkembangan jiwa atau masyarakat, tahap ini manusia selalu berusaha untuk
mencari dan menemukan sebab yang pertama dan tujuan akhir segala sesuatu yang
ada; (2) Tahap teologi munculnya didahului oleh suatu perkembangan secara
bertahap, yaitu tahap: Fetisyisme; Politeisme, dan Monoteisme; (3) Pada tahap
Fetisyisme, manusia menganggap segala sesuatu (benda) yang ada disekeliling
33
34. manusia mempunyai pengaruh (kekekuatan mana) bagi kehidupan manusia. Dari sini
kemudian berkembang ke tahap Politeisme, yaitu manusia menyakini banyak dewa-
dewa (mahluk tidak kelihatan) yang menentukan hidup manusia, oleh karena itu
manusia harus memujanya. Tahap terakhir adalah Monoteisme, yaitu manusia tidak
lagi percaya pada banyak dewa atau Tuhan, melainkan berubah pada satu kekuatan
mutlak, adikodrati, yaitu Tuhan Yang Maha Esa; (4) Comte menilai, tahap Fetisyisme
dan Politeisme terjadi pada masyarakat primitif, sedangkan tahap Monoteisme terjadi
pada tahap masyarakat klasik atau kuno; dan (5) Pada tahap Teologi ini, jiwa atau
masyarakat, seluruh pola perilakunya selalu dikaitkan dengan kekuasaan supra natural
(adikodrati) dan manusia tidak berdaya dalam proses hidup di masyarakat
(Laeyendecker, 1991; Wibisono, 1983).
Tahap Metafisik atau Abstrak. Diantara ciri tahap ini adalah: (1) Manusia sudah
mulai merobah cara-cara berpikirnya, mulai mencari dan menemukan jawaban atas
pertanyaan yang berkaitan dengan gejala alam; (2) Kemampuan akal budi
dikembangkan. Manusia tidak lagi mutlak tergantung pada kekuatan adikodrati,
melainkan beralih pada kekuatan abstraksinya; (3) Pada tahap ini istilah Ontologi
mulai dipergunakan. Tahap ini merupakan tahap peralihan, sehinga jiwa manusia
sering konflik (satu sisi kekuatan teologis masih nampak, sisi lain kekuatan abstraksi
semakin dominan), akhir konflik adalah kekuatan akal budi (abstraksi) sebagai
pemenang dalam menjelaskan hakikat sesuatu, tidak lagi kekuatan teologi; (4) Dalam
rentang sejarah kehidupan, tahap metafisik ini adalah tahap ketika umat manusia
datang pada jaman pertengahan dan Renaissance; (5) Pada tahap ini bukan lagi
kekuatan magik yang menentukan hidup, melainkan analisis fikir untuk menentukan
hakikat sehingga “ditemukan” adanya tingkatan (urutan) dari yang “ada”, yaitu
dibedakan “ada” natural dan “ada” supra natural (Wibisono, 1983); dan (6) Perbedaan
tahap Metafisik dengan teologis adalah, pada periode Metafisik mengenal dua periode,
yaitu: Periode Kritis (dimana pemikiran teologis diserang dan digugat); dan Periode
Konstruktif (dimana tahap positif sudah dipersiapkan). Tahap Metafisik ini berlangsung
selama antara tahun 1300 - 1800 (Laeyendecker, 1991; Rossides, 1978).
Tahap Positif atau Riel. Diantara ciri-ciri tahap ini adalah: (1) Tahap riel
merupakan tahap pembebasan yang sebenarnya, jiwa manusia dan masyarakat tidak
lagi dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan magik atau adikodrati, yang diperlukan dalam
tahap ini adalah pengetahuan riel, yang dapat diperoleh melalui pengamatan empirik,
percobaan, perbandingan berdasarkan hukum-hukum rasio; (2) Dalam konteks
sejarah, bila tahap teologi adalah berada pada level masyarakat primitif, tahap
metafisik berada pada level masyarakat feodal atau jaman pertengahan, maka tahap
pofitif adalah berada pada level masyarakat modern dan merupakan puncak atau akhir
34
35. perkembangan masyarakt (Coser, 1969); (3) Kehidupan tahap positif akan diatur oleh
kaum elite cendekiawan dan industrialis, dengan rasa perikemanusiaan sebagai dasar
untuk mengatur kehidupan. Kaum cendekiawan dan industriawan inilah berpadu
mengatur masyarakat secara ilmiah; (4) Bila pada tahap teologi komunitas keluarga
adalah dasar kehidupan masyarakat, pada tahap metafisik negara sebagai dasarnya,
maka pada tahap positif yang menjadi dasar adalah semua ummat manusia di bawah
pimpinan para cendekiawan dan industriawan; dan (5) Masyarakat tahap positif
merupakan bentuk puncak evolusi masyarakat, dan merupakan wujud masyarakat
terbaik, karena peran para cerdik pandai dan industriawan yang memerintah atas
dasar cinta kasih dan rasional, ketertiban (social statics) sebagai landasannya dan
kemajuan sosial (social dynamics) sebagai tujuannya (Rossides, 1978; Laeyendecker,
1991; Wibisono, 1983; Timasheff Nicholas, 1967).
Dalam kaitannya dengan studi tentang perubahan sosial, maka makna hukum
tiga tahap Comte adalah: (1) Bahwa perkembangan jiwa manusia dan kehidupan
masyarakat berlangsung secara evolusi linear, dari sederhana menuju ke arah
kemajuan, dan kemajuan itu digambarkan sebagai masyarakat positif atau industrial
(peran para cendekiawan dan industriawan); (2) Menurut Copleston (1974), Comte
mengakui adanya tumpang tindih (overlap) antara tahap satu dengan yang lain, artinya
tahap metafisik tidak bisa bebas sama sekali dari tahap teologi, demikian juga tahap
positif tidak bisa bebas sama sekali dari tahap teologi dan metafisik; dan (3) Tahap
positif, merupakan tahap akhir dan ideal atau terbaik, karena: Kehidupan didasarkan
cinta kasih sebagai pedoman; Ketertiban sebagai landasan; Kemajuan sebagai tujuan;
dan Peran elite cendekia dan industriawan dalam kekuasan. Tetapi Comte tidak
pernah menggambarkan bagaimana kehidupan setelah tahap positif. Oleh karena itu
teori Comte tentang perubahan atau perkembangan evolusi ini bersifat “Evolusi Linear
dan tertutup”, tak ubahnya dialektikanya Hegel dan Karl Marx. Jadi, Comte dan Marx
termasuk teoritisi Evolusi unilinear (Wibisono, 1983; Inkeles, 1964). Pengaruh hukum
tiga tahap Auguste Comte, tentang evolusi perkembangan jiwa manusia dan
masyarakat ini sangat besar dalam mewarnai beragam pandangan teoritisi sosial
tentang evolusi masyarakat.
Meskipun para ahli teori evolusi tersebut mempunyai beragam sudut pandang
tentang perubahan sosial, namun menurut Sztompka (1993) pada umumnya para
teoritikus evolusionis mempunyai asumsi yang sama. Ada sepuluh asumsi umum yang
menjadi inti teori evolusi yang dikemukakan para teoritikus evolusionis, yaitu: (1)
semua tokoh teori evolusi menganggap bahwa keseluruhan sejarah manusia
mempunyai bentuk, pola, logika, makna unik yang melandasi banyak kejadian yang
tampaknya serampangan dan tidak berkaitan; (2) obyek yang mengalami perubahan
35
36. adalah keseluruhan masyarakat manusia dan kemanusiaan; (3) keseluruhan
kehidupan masyarakat dipahami dengan istilah organik, dengan menerapkan analogi
organik, sebagai sebuah sistem yang terintegrasi secara ketat dari unsur-unsur
subsistem, keseluruhannya tunggal dan umum, menyumbang terhadap pemeliharaan
dan kelangsungan hidupnya; (4) perhatian dipusatkan pada perubahan kesatuan
organik itu, pada sistem sosial; (5) perubahan masyarakat dipandang sebagai sesuatu
yang alamiah, terjadi dimana saja dan merupakan ciri tak terhindarkan dari realitas
sosial; (6) perubahan masyarakat dipandang mengarah bergerak dari bentuk
sederhana ke kompleks; (7) perubahan evolusi dibayangkan berpola unilinear dan
mengikuti pola tunggal; (8) lintasan evolusi umum ini terbagi dalam fase-fase (periode)
mengikuti rentetan konstan dan tidak satupun fase bisa dilewati; (9) perubahan evolusi
dianggap bertahap, terus menerus, meningkat dan komulatif; dan (10) evolusi
mempunyai mekanisme yang sama yaitu proses kedepan (kemajuan) dan
menghasilkan perbaikan (Sztompka, 1993).
C. Fenomena Sosial-budaya Dalam Perspektif Teori Sistem
Pada bab I telah diuraikan tentang konsep ’aktifitas sosial dan kebudayaan
sebagai suatu sistem’. Dan perlu ditegaskan kembali bahwa, ‘dalam memahami
aktifitas kehidupan sosial dan kebudayaan seyogyanya menggunakan pendekatan
integratif atau memandang bahwa aktifitas sosial-budaya merupakan suatu sistem,
karena antar unsur-unsur sosial dan unsur-unsur kebudayaan dalam kehidupan
masyarakat pada hakikatnya adalah saling mempengaruhi’, hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain: (1) dalam realitas hidup sehari-hari, antar unsur-unsur
sosial-budaya tersebut bersifat adaptif; (2) dalam praktik-praktik sosial sehari-hari
masing-masing unsur sosial-budaya saling berhubungan secara timbal balik; (3)
perubahan pada satu unsur sosial atau unsur budaya akan mempengaruhi perubahan
pada unsur sosial atau unsur budaya yang lain; dan (4) pada hakikatnya pola perilaku
sosial atau budaya sehari-hari untuk memenuhi beragam kebutuhan hidup selalu
menampilkan keterpaduan antar unsur-unsur sosial dan budaya (Koentjaraningrat,
1981; Soemardjan, S., 1981; Soekanto, S dan Ratih, L. 1988).
Orientasi filosofis dari teori sistem sebenarnya adalah mengacu pada aliran
positivisme yang dikembangkan oleh bapak sosiologi dunia August Comte. Comte
dikenal sebagai pencetus nama atau istilah sosiologi untuk studi ilmu masyarakat
(Abraham, F.M. 1982; Wibisono, K., 1983). Sosiolog Graham C. Kinloch (2005)
menyimpulkan beberapa asumsi pokok dari pandangan Comte tentang fenomena
kehidupan sosial, antara lain: Pertama, bahwa alam semesta diatur oleh hukum-hukum
alam yang tidak terlihat (invisible natural), sejalan dengan proses evolusi dan
36