Artikel ini membahas pergeseran paradigma dalam memahami gerakan sosial dan mengkritik pendekatan konvensional sosiologi dan ilmu politik. Edelman menyoroti pendekatan antropologi yang lebih mementingkan kekhususan dan pengalaman hidup aktivis.
2. Konsep-Konsep dalam Judul Artikel
Dari judul artikel ini tersendiri, terdapat banyak konsep
di dalamnya. Saya akan memulai review ini dengan
mengetengahkan pemahaman, mudah-mudahan
secara Antropologis, dari konsep – konsep yang ada
dalam judul artikel ini. Konsep, oleh Ahimsa-Putra,
didefinisikan sebagai “istilah atau kata-kata yang diberi
makna tertentu sehingga membuatnya dapat
digunakan untuk memahami, menafsirkan,
menganalisis dan menjelaskan peristiwa atau gejala
sosial-budaya yang dipelajari” (2007: 13). Paling tidak
ada empat konsep utama yang terdapat dalam judul
artikel ini. Saya rasa penting untuk memahami konsep-
konsep dalam judul artikel ini untuk lebih mudah
memahami isi dari artikel.
3. Pertama adalah kata ‘social’ yang diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia menjadi kata ‘sosial’. Pada saat saya
mencoba mencari tahu makna dari kata ‘social’ dalam dunia
Antropologi, beberapa tulisan menyandingkannya langsung
dengan kata Antropologi sehingga terbentuk istilah Sosial
Antropologi (The Social Anthropology of Radcliffe-
Brown tulisan Adam Kuper, Anthropology tulisan Ram Nath
Sharma dan Rajendra Kumar Sharma, Elements of Social
Organisation tulisan Raymond Firth,Marxist Analyses and
Social Anthropology tulisan Maurice Bloch, Social & Cultural
Anthropology in Perspective tulisan I. M. Lewis, Social
Anthropology tulisan Redfield dan Wilcox, dan tulisan Nigel
Rapport yang berjudul Social and Cultural Anthropology:
The Key Concepts). Dari tulisan – tulisan tersebut dapat
ditarik pemahaman bahwa pada saat kita berbicara
mengenai sesuatu yang ‘sosial’, maka kita berbicara
mengenai relasi sosial orang dengan orang yang lain.
4. Konsep yang kedua adalah konsep dari ‘movement’
yang kemudian dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia menjadi kata ‘gerakan’, dan bukannya
pergerakan. Menurut saya
pengertian ‘movement’ menjadi gerakan karena
konsep ‘social movement’ dalam artikel ini ada dalam
konteks politik, yang merupakan konsep lain yang
perlu diketengahkan dan akan saya ketengahkan
dalam bagian ini. Robert Mirsel memahami gerakan
tersebut sebagai proses perubahan (atau paling
kurang, perubahan yang diupayakan) (Mirsel, 2004:
12).
5. Konsep yang ketiga adalah konsep ‘paradigms’ yang
dalam Bahasa Indonesia dimengerti dengan kata
‘paradigma’. ‘Paradigma’ memiliki kata lain yaitu
Kerangka Teori. Kerangka Teori menurut Ahimsa-Putra
adalah “seperangkat pernyataan tentang hakekat cara
memandang, cara merumuskan, dan cara menjawab
suatu persoalan dengan menggunakan cara dan tata-
urut tertentu, yang akan dapat menghasilkan
pernyataan tertentu tentang persoalan tersebut” (2007:
5).
6. Konsep yang terakhir adalah konsep dari kata ‘politics’
atau kata ‘politik’. Paris dan
Howell mendefiniskan ‘politics’ sebagai “distribution,
understandings, and use of power in social
group” (distribusi, pemahaman dan penggunaan
kekuasaan dalam kelompok sosial).
7. Melihat dari keempat konsep utama dalam judul artikel
tersebut, dapat dipahami bahwa artikel ini berbicara
mengenai gerakan sosial, yang terbentuk dari relasi
orang dengan orang lainnya, terhadap distribusi,
pemahaman serta penggunaan kekuasaan dalam
kelompok sosial. Secara lebih khusus, artikel ini
dibayangkan akan membicarakan mengenai
perubahan cara memandang, cara merumuskan, dan
cara menjawab persoalan gerakan sosial serta
perubahan politik yang melatarbelakangi perubahan
cara pandang, perumusan dan cara menjawab
gerakan sosial yang ada.
8. Pemahaman Singkat Mengenai Artikel
Ada tiga permasalahan mendasar yang saya
garisbawahi setelah membaca artikel ini. Pertama
adalah paradigm shift atau pergeseran paradigma,
kedua adalahapplicability atau penerapannya, dan
yang ketiga adalah conventional approachatau
pendekatan konvensional. Istilah ‘pendekatan
konvensional’ amat sangat dapat dipahami karena
pada dasarnya artikel ini menerapkan kronologi
‘lahirnya paradigma-paradigma dalam melihat
fenomena gerakan-gerakan sosial yang ada dimana
paradigma yang muncul di awal kemudian disebut
sebagai pendekatan yang konvensional karena
dianggap sudah out of date atau ketinggalan jaman,
tidak mungkin lagi untuk diterapkan (unapplicable).
9. Membaca artikel ini seperti layaknya menonton
pertandingan antara Antropologi melawan Sosiologi
dan Ilmu Politik dalam arena memahami fenomena
gerakan-gerakan sosial. Mengingat bahwa Edelman
adalah seorang Antropolog, dapat dipahami bahwa
Edelman banyak mengetengahkan kritisi beliau
mengenai paradigma yang selama ini digunakan oleh
Sosiologi dan Ilmu Politik, serta sekaligus
menunjukkan kekhususan Antropologi dalam
memahami fenomena gerakan sosial. Ada tiga hal
yang diketengahkan atas kekhususan Antropologi
dalam memahami fenomena gerakan sosial.
10. Yang pertama adalah scope of analysis atau cakupan
analisa. Hal tersebut dapat dipahami karena
diutamakannya particularities atau kekhasan. Dan hal
tersebut mengarah pada hal yang kedua yaitu
kesmallscalean dari Antropologi yang dihadapkan pada
paradigma Sosiologi dan Ilmu Politik yang mengarah
padageneralization atau generalisasi yang dihasilkan dari
kajian Sosiologi dan Ilmu Politik. Generalisasi dari Ilmu
Sosiologi dalam analisa gerakan aksi sosial, yang
diketengahkan dalam artikel ini, dapat dimengerti dengan
mudah apabila kita membaca tulisan Sosiolog Henry A.
Landsberger dalam salah satu tulisannya berjudulPeasant
Unrest: Themes and Variations yang diambil dari bukunya
yang berjudulRural Protest: Peasant Movements and Social
Change (1973: 19) dimana dia mengetengahkan empat ciri
suatu aksi:
11. (1) Adanya kesamaan nasib
(2) Aksi yang dilakukan merupakan aksi kolektif dalam
artian jumlah orang yang terlibat dan terkoordinasi dan
terorganisirnya kegiatan tersebut
(3) Aksi tersebut bersifat instrumental dalam artian
dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu dan bersifat
ekspresif
(4) Aksi yang dilakukan berdasarkan semata pada
status ekonomi dan politik yang rendah
12. Disebutkan dalam artikel ini bahwa “ethnographic
research resist grand theoretical generalizations
because close-up views of collective action often
looked messy” atau penelitian etnografis menolak
dilakukannya generalisasi karena generalisasi tersebut
kelihatan sembarangan. Yang terakhir adalah
diketengahkannyalived experience of activists and
non-activists atau pengalaman hidup dari para aktivis
dan non-aktivis. Mengapa para aktivis dan non-aktivis
karena adanya pandangan dalam dunia Antropologi
bahwa pengalaman pribadi reflektif dalam kehidupan
masyarakat dimana masyarakat merupakan tempat
orang itu hidup. Hal terakhir inilah yang merefleksikan
adanya relasi orang dengan orang lainnya (relasi
sosial) dimana di dalamnya lahir gerakan-gerakan
sosial.
13. Diambil dari sumber lain, Jason Bradley de Fay,
seorang Sosiolog, berpikir bahwa gabungan ilmu
politik, ekonomi dan sosiologi dapat membantu dalam
memahami bagaimana dan mengapa gerakan sosial
bermula dalam papernya yang berjudul The Sociology
of Social Movements dimana Sidney Tarrow
memberikan contoh yang baik bagaimana hubungan
antara ilmu politik, ekonomi dan sosiologi telah
membantu dalam memahami bagaimana dan
mengapa gerakan sosial bermula. Berdasarkan pada
teori marx, Durkheim dan Smith Fay berusaha “to
come to a better understanding of different dimensions
of collective identity and their socioeconomic
repercussions”. Teori Tingkah laku Kolektif (collective
behavior) Durkheim lah yang digunakan dirasa Fay
memberikan kontribusi dalam analisa gerakan sosial.
14. Satu hal yang bermanfaat dari artikel ini adalah
diketengahkannya definisi dari kata ‘identity’ atau kata
‘identitas’ yaitu “a process through which social actors
construct meaning on the basis of cultural attributes
that are given priority over other potential sources of
meaning” (suatu proses dimana para aktor sosial
membangun makna atas dasar atribut budaya yang
diberikan daripada atas dasar sumber-sumber makna
potensial lainnya).
15. Meskipun tidak dituliskan secara langsung, saya
berpikir bahwa Edelman berusaha mengetengahkan
bahwa pendekatan New Social Movements dirasa
sesuai untuk melihat gerakan-gerakan sosial yang
muncul pada era saat ini.
Jason Bradley de Fay dalam papernya yang
berjudul The Sociology of Social
Movements mengetengahkan adanya New Social
Movements (NSM) yang menggunakan paradigma
Postmodernisme dengan ciri-ciri sebagai berikut:
16. 1. There is a tendency for the social base of new social
movements to transcend class structure
2. The ideological characteristics of NSMs stand in sharp
contrast to the working class movement and to the Marxist
conception of ideology as a unifying and totalizing element for
collective action
3. NSMs often involve the emergence of new or formerly weak
dimensions of identity
4. The relation between the individual and the collective is
blurred
5. NSMs often involve personal and intimate aspects of human
life
6. The use of radical mobilization tactics of disruption and
resistance that differ from those practiced by the working-class
movement
7. The organization and proliferation of new social movement
groups are related to the credibility crisis of the conventional
channels for participation in Western democracies.
8. NSM organizations tend to be segmented, diffuse and
decentralized
17. Referensi
1. Ahimsa-Putra, H.S. 2007. Paradigma,
Epistomologi, dan Metode Ilmu Sosial-Budaya: Sebuah
Pemetaan. Makalah Pelatihan
2. Jenel Williams Paris, Brian M. Howell. 2010.
Introducing Cultural Anthropology: A Christian
Perspective