[Ringkasan]
Dokumen tersebut membahas mengenai masalah-masalah hukum dan penyelenggaraan kewenangan dalam konteks otonomi daerah. Beberapa poin penting yang diangkat antara lain definisi otonomi daerah, kewenangan pemerintah pusat dan daerah, dampak positif dan negatif otonomi daerah, serta masalah-masalah hukum dalam pelaksanaan otonomi daerah seperti ketidakteraturan peraturan dan kerunyaman transisional.
ABSTRAK
Salah satu ukuran keberhasilan pelaksanaan Otonomi Desa adalah Pemerintah
Desa semakin mampu memberikan pelayanan kepada masyarakatnya dan
mampu membawa kondisi masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik.
Dengan terselenggaranya Otonomi Desa, maka hal itu akan menjadi pilar
penting Otonomi Daerah. Keberhasilan Otonomi Daerah sangat ditentukan
oleh berhasil tidaknya Otonomi Desa. Lebih jauh, upaya membangun
industrialisasi desa yang berbasiskan padat modal menjadi salah satu solusi
yang ditawarkan. Tulisan singkat ini akan mencoba mengurai bagaimana
otonomi desa diimplementasikan, khususnya menurut UU No. 32 Tahun 2004.
Selain itu, penulis juga menyoroti tentang bagaimana kiat dan upaya
membangun industrialisasi desa sebagai salah satu langkah mencegah
urbanisasi serta mensejahterakan masyarakat desa.
ABSTRAK
Salah satu ukuran keberhasilan pelaksanaan Otonomi Desa adalah Pemerintah
Desa semakin mampu memberikan pelayanan kepada masyarakatnya dan
mampu membawa kondisi masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik.
Dengan terselenggaranya Otonomi Desa, maka hal itu akan menjadi pilar
penting Otonomi Daerah. Keberhasilan Otonomi Daerah sangat ditentukan
oleh berhasil tidaknya Otonomi Desa. Lebih jauh, upaya membangun
industrialisasi desa yang berbasiskan padat modal menjadi salah satu solusi
yang ditawarkan. Tulisan singkat ini akan mencoba mengurai bagaimana
otonomi desa diimplementasikan, khususnya menurut UU No. 32 Tahun 2004.
Selain itu, penulis juga menyoroti tentang bagaimana kiat dan upaya
membangun industrialisasi desa sebagai salah satu langkah mencegah
urbanisasi serta mensejahterakan masyarakat desa.
Makalah Hakikat Otonomi Daerah disusun sebagai bahan acuan dan referensi bagi adik-adik SMP, SMP atau mungkin bagi kawan-kawan saya di tingkat Universitas. Makalah ini membahas bagaimana seluk beluk otonomi daerah, pelakasaannya, sejarah dan sebagainya sehingga akan memperluas pengetahuan pembaca, khususnya pelajar sekalian.
Reformasi Birokrasi Kementerian Pertanian Republik Indonesia Tahun 2020-2024Universitas Sriwijaya
Selama periode 2014-2021, Kementerian Pertanian Indonesia mencapai beberapa keberhasilan, termasuk penurunan jumlah penduduk miskin dari 11,5% menjadi 9,78%. Ketahanan pangan Indonesia juga meningkat, dengan peringkat ke-13 di Asia Pasifik pada tahun 2021. Berdasarkan Global Food Security Index, Indonesia naik dari peringkat 68 pada tahun 2021 ke peringkat 63 pada tahun 2022. Meskipun ada 81 kabupaten dan 7 kota yang rentan pangan pada tahun 2018, volume ekspor pertanian meningkat menjadi 41,26 juta ton dengan nilai USD 33,05 miliar pada tahun 2017. Walaupun pertumbuhan ekonomi menurun 2,07% pada tahun 2020, ini membuka peluang untuk reformasi dan restrukturisasi di berbagai sektor.
Reformasi Administrasi Publik di Indonesia (1998-2023): Strategi, Implementas...Universitas Sriwijaya
Reformasi tahun 1998 di Indonesia dilakukan sebagai respons terhadap krisis ekonomi, ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan otoriter dan korup, tuntutan demokratisasi, hak asasi manusia, serta tekanan dari lembaga keuangan internasional. Tujuannya adalah memperbaiki kondisi ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan memperkuat fondasi demokrasi dan tata kelola pemerintahan. Reformasi ini mencakup bidang politik, ekonomi, hukum, birokrasi, sosial, budaya, keamanan, dan otonomi daerah. Meskipun masih menghadapi tantangan seperti korupsi dan ketidaksetaraan sosial, reformasi berhasil meningkatkan demokratisasi, investasi, penurunan kemiskinan, efisiensi pelayanan publik, dan memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah. Tetap berpegang pada ideologi bangsa dan berkontribusi dalam pembangunan negara sangat penting untuk masa depan Indonesia.
Moderasi agama memegang peranan vital dalam mempertahankan kerukunan antar umat beragama, menjaga stabilitas sosial, dan mempromosikan nilai-nilai toleransi serta kerjasama lintas agama. Dalam konteks Indonesia, negara dengan beragam kepercayaan dan keyakinan, moderasi agama menjadi fondasi utama bagi keberlangsungan kehidupan beragama yang damai dan harmonis. Moderasi agama merupakan konsep yang mengajarkan pendekatan yang seimbang dalam praktik keagamaan, dengan menekankan toleransi, penghargaan terhadap perbedaan, serta penolakan terhadap ekstremisme dan intoleransi. Di Indonesia, moderasi agama tidak hanya menjadi prinsip panduan dalam praktik keagamaan, tetapi juga menjadi bagian dari identitas nasional yang memperkuat persatuan dan kesatuan dalam keberagaman. Kehadiran Islam di Indonesia telah memberikan kontribusi besar dalam membentuk karakter moderasi agama. Sejak masuknya Islam pada abad ke-13, agama ini telah meresap ke dalam budaya dan masyarakat Indonesia dengan pendekatan yang toleran dan inklusif. Selain itu, keberadaan agama-agama lain seperti Hindu, Buddha, dan Kristen juga turut membentuk lanskap keberagaman agama di Indonesia. Moderasi agama membantu masyarakat Indonesia untuk menjaga kerukunan antar umat beragama dalam kehidupan sehari-hari. Melalui dialog antar agama, kegiatan lintas agama, dan kerjasama sosial, moderasi agama memfasilitasi pertukaran budaya dan pemahaman yang lebih dalam antar penganut agama. Hal ini mengurangi potensi konflik antar kelompok agama dan mendorong terbentuknya hubungan yang harmonis di antara mereka. Pemerintah Indonesia memiliki peran penting dalam mempromosikan moderasi agama melalui kebijakan-kebijakan yang mendukung kerukunan antar umat beragama. Salah satu contohnya adalah Pancasila, yang menekankan pada prinsip-prinsip seperti keadilan sosial, demokrasi, dan persatuan Indonesia dalam keberagaman. Selain itu, pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Dewan Gereja Indonesia (DGI) merupakan upaya konkret untuk mendorong dialog antaragama dan pencegahan ekstremisme agama. Meskipun moderasi agama memiliki dampak positif yang besar dalam masyarakat Indonesia, tetapi masih ada beberapa tantangan yang perlu dihadapi dalam mewujudkannya sepenuhnya. Salah satunya adalah adanya kelompok-kelompok radikal yang mempromosikan ideologi ekstremisme agama. Kelompok-kelompok ini seringkali menimbulkan konflik dan ketegangan antar umat beragama, serta mengancam stabilitas sosial dan keamanan nasional. Selain itu, ketidaksetaraan dalam perlakuan terhadap umat beragama juga menjadi masalah serius dalam konteks moderasi agama. Diskriminasi dan intoleransi terhadap minoritas agama masih terjadi di beberapa daerah, memperumit upaya untuk mencapai kerukunan antar umat beragama secara menyeluruh. Untuk mengatasi tantangan tersebut, penting untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya moderasi agama melalui pendidikan agama yang inklusif dan holistik.
Disusun oleh :
Kelas 6D-MKP
Hera Aprilia (11012100601)
Ade Muhita (11012100614)
Nurhalifah (11012100012)
Meutiah Rizkiah. F (11012100313)
Wananda PM (11012100324)
Teori ini kami kerjakan untuk memenuhi tugas
Matakuliah : KEPEMIMPINAN
Dosen : Dr. Angrian Permana, S.Pd.,MM.
UNIVERSITAS BINA BANGSA
Implementasi transformasi pemberdayaan aparatur negara di Indonesia telah difokuskan pada tiga aspek utama: penyederhanaan birokrasi, transformasi digital, dan pengembangan kompetensi ASN. Penyederhanaan birokrasi bertujuan untuk membuat ASN lebih lincah dan inovatif dalam pelayanan publik melalui struktur yang lebih sederhana dan mekanisme kerja baru yang relevan di era digital. Transformasi digital memerlukan perubahan mendasar dan menyeluruh dalam sistem kerja di instansi pemerintah, yang meliputi penyempurnaan mekanisme kerja dan proses bisnis birokrasi untuk mempercepat pengambilan keputusan dan meningkatkan pelayanan publik. Selain itu, pengembangan kompetensi ASN mencakup penyesuaian sistem kerja yang lebih lincah dan dinamis, didukung oleh pengelolaan kinerja yang optimal serta pengembangan sistem kerja berbasis digital, termasuk penyederhanaan eselonisasi.
4. Kemajemukan masyarakat Indonesia itu ditandai oleh beberapa faktor
yang antara lain oleh perbedaan suku, agama, etnis dan antar golongan
serta kebudayaan lokal yang beraneka ragam. Hal ini disebabkan bukan
saja karena setiap etnik mempunyai daerah asal yang jelas otonomi dan
batas-batasnya, melainkan juga memiliki kultur politik (political culture)
yang beragam (Hakim, 2002: 55)
Sumber daya alam daerah di Indonesia yang tidak merata juga
merupakan salah satu penyebab diperlukannya suatu sistem
pemerintahan yang memudahkan pengelolaan sumber daya alam yang
merupakan sumber pendapatan daerah sekaligus menjadi pendapatan
nasional. Sebab seperti yang kita ketahui bahwa terdapat beberapa
daerah yang pembangunannya memang harus lebih cepat daripada
daerah lain. Karena itulah pemerintah pusat membuat suatu sistem
pengelolaan pemerintahan di tingkat daerah yang disebut otonomi
daerah.
Pada kenyataannya, otonomi daerah itu sendiri tidak bisa diserahkan
begitu saja pada pemerintah daerah. Selain diatur dalam perundang-
undangan, pemerintah pusat juga harus mengawasi keputusan-keputusan
yang diambil oleh pemerintah daerah. Apakah sudah sesuai dengan
tujuan nasional, yaitu pemerataan pembangunan di seluruh wilayah
Republik Indonesia yang berdasar pada sila Kelima Pancasila, yaitu
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
5.
6. Untuk mengetahui pengertian Otonomi Daerah.
Untuk mengetahui kewenangan dalam konteks
Otonomi Daerah.
Untuk mengetahui dampak positif dan negatif
Otonomi Daerah.
Untuk mengetahui masalah –masalah hukum
dalam pelaksanaan Otonomi Daerah.
8. Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban
yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil
guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap
masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan ( Wikipedia, 2010: 1).
Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat.
Otonomi adalah sebuah tatanan ketatanegaraan (staatsrechtelijk), bukan
hanya tatanan administrasi Negara (administratiefrechtelijk).
Sebagaimana tatanan ketatanegaraan, otonomi berkaitan dengan dasar-
dasar bernegara dan susunan organisasi negara. Paling tidak, ada dua
arahan dasar susunan ketatanegaraan dalam perumahan Indonesia
merdeka yaitu demokrasi dan penyelenggaraan negara berdasarkan atas
hukum. Otonomi bukan sekedar pemencaran penyelenggaraan
pemerintahan untuk mencapai efesiensi dan efektivitas
pemerintahan.(Manan, 2002: 24)
9. Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum,
juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan
dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata
dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan
menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.
UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia
(Scribd, 2010: 3).
Sebagaimana telah disebut di atas Undang-undang Dasar 1945
merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan Otonomi
Daerah. Pasal 18 UUD menyebutkan adanya pembagian pengelolaan
pemerintahan pusat dan daerah. Pemberlakuan sistem otonomi daerah
merupakan amanat yang diberikan oleh Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Amandemen Kedua tahun
2000 untuk dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang dibentuk
khusus untuk mengatur pemerintahan daerah. UUD 1945 pasca-
amandemen itu mencantumkan permasalahan pemerintahan daerah
dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Sistem otonomi
daerah sendiri tertulis secara umum dalam Pasal 18 untuk diatur lebih
lanjut oleh undang-undang (Scribd, 2010: 4).
10. Pembagian kewenangan dari sudut pandang masyarakat dapat
ditentukan dengan siapa yang akan menerima manfaat dan siapa
yang akan menanggung beban atau resiko atau dampak. Sebagai
contoh penyelenggaraan upaya pertahanan negara akan
bermanfaat bagi seluruh bangsa dan harus didanai oleh seluruh
bangsa secara nasional, oleh karenanya bidang pertahanan
merupakan kewenangan pemerintahan nasional (pusat). Namun
"lampu penerangan jalan" misalnya, hanya bermanfaat bagi
penghuni kota atau permukiman tertentu dan dapat didanai oleh
masyarakat setempat, karenanya hal ini mutlak kewenangan
pemerintahan kota (Widjaja, 2001: 35).
Selain kewenangan-kewenangan umum yang telah disebutkan
diatas, bagi daerah kabupaten dan daerah kota diwajibkan
menyelenggarakan kewenangan wajib sebagai berikut: (1)
pekerjaan umum; (2) kesehatan; (3) pendidikan dan
kebudayaan; (4) pertanian; (5) perhubungan; (6) industri dan
perdagangan; (7) penanaman modal; (8) lingkungan hidup; (9)
pertanahan; (10) koperasi; dan (11) tenaga kerja.
11. Untuk daerah kota disamping kewajiban diatas juga diwajibkan
untuk menyediakan kebutuhan utilitas kota sesuai kondisi dan
kebutuhan kota yang bersangkutan, utilitas kota ini antara lain:
(1) pemadam kebakaran; (2) kebersihan; (3)pertamanan; dan
(4) tata kota.
Kewenangan daerah kabupaten dan daerah kota diatas berlaku
juga di kawasan otorita yang terletak didaerahnya. Kawasan
otorita yang dimaksud meliputi: (1) badan otorita; (2) kawasan
pelabuhan; (3) kawasan bandar udara; (4) kawasan perumahan;
(50) kawasan industri; (6) kawasan perkebunan; (7) kawasan
pertambangan; (8) kawasan kehutanan; (9) kawasan pariwisata;
(10) kawasan jalan bebas hambatan; (11) kawasan lain yang
sejenis.
Selain itu, berbagai kewenangan daerah juga dapat ditugasi oleh
pusat untuk membantu melaksanakan kewenangan yang
seharusnya dilaksanakan oleh pusat (Tugas Pembantuan). Untuk
penugasan ini undang-undang mensyaratkan harus disertai
dengan pembiayaan, sarana dan prasarana yang dibutuhkan.
Dalam pelaksanaannya daerah wajib melaporkan dan
mempertanggungjawabkannya kepada pemerintah pusat
(Brantakusumah, 2000: 4).
12. Dampak Positif
Dampak positif otonomi daerah adalah bahwa dengan otonomi daerah maka
pemerintah daerah akan mendapatkan kesempatan untuk menampilkan
identitas lokal yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali
pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam
menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang
diperoleh lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari
pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong
pembangunan daerah serta membangun program promosi kebudayaan dan
juga pariwisata. Dengan melakukan otonomi daerah maka kebijakan-kebijakan
pemerintah akan lebih tepat sasaran, hal tersebut dikarenakan pemerintah
daerah cinderung lebih menegeti keadaan dan situasi daerahnya, serta
potensi-potensi yang ada di daerahnya daripada pemerintah pusat. Contoh di
Maluku dan Papua program beras miskin yang dicanangkan pemerintah pusat
tidak begitu efektif, hal tersebut karena sebagian penduduk disana tidak bisa
menkonsumsi beras, mereka biasa menkonsumsi sagu, maka pemeritah disana
hanya mempergunakan dana beras miskin tersebut untuk membagikan
sayur, umbi, dan makanan yang biasa dikonsumsi masyarakat. Selain
itu, dengan sistem otonomi daerah pemerintah akan lebih cepat mengambil
kebijakan-kebijakan yang dianggap perlu saat itu, tanpa harus melewati
prosedur di tingkat pusat (Candra, 2011: 2).
13. Dampak Negatif
Dampak negatif dari otonomi daerah adalah adanya kesempatan bagi oknum-
oknum di pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan
Negara dan rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu terkadang
ada kebijakan-kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan konstitusi Negara
yang dapat menimbulkan pertentangan antar daerah satu dengan daerah
tetangganya, atau bahkan daerah dengan Negara, seperti contoh pelaksanaan
Undang-undang Anti Pornografi di tingkat daerah. Hal tersebut dikarenakan
dengan sistem otonomi daerah maka pemerintah pusat akan lebih susah
mengawasi jalannya pemerintahan di daerah, selain itu karena memang
dengan sistem, otonomi daerah membuat peranan pemeritah pusat tidak
begitu berarti. Otonomi daerah juga menimbulkan persaingan antar daerah
yang terkadang dapat memicu perpecahan. Contohnya jika suatu daerah
sedang mengadakan promosi pariwisata, maka daerah lain akan ikut
melakukan hal yang sama seakan timbul persaingan bisnis antar daerah.
Selain itu otonomi daerah membuat kesenjangan ekonomi yang terlampau
jauh antar daerah. Daerah yang kaya akan semakin gencar melakukan
pembangunan sedangkan daerah pendapatannya kurang akan tetap begitu-
begitu saja tanpa ada pembangunan. Hal ini sudah sangat mengkhawatirkan
karena ini sudah melanggar pancasila sila ke-lima, yaitu “Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia.” adalah Otonomi daerah adalah hak, wewenang,
dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang- undangan (Candra, 2011: 3).
14. Masalah – masalah Hukum Dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah
Menurut Lubis (2003: 6), masalah-masalah tersebut terbagi sebagai berikut :
Ketidak – teraturan peraturan
Yang dimaksud dengan ketidak-teraturan peraturan di sini, ialah tidak sistematisnya proses
perumusan kebijakan ( policy ) mengenai Pemerintahan Daerah dan Otonominya itu, jika
dibandingkan antara momen lahirnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah sebagai hasil
desakan dan pukulan reformasi dan euforia demokrasi di tahun 1998 dan 1999
dihubungkan dengan moment lahirnya amandemen UUD 1945 (termasuk amandemen
terhadap pasal 18 UUD itu tentang Pemerintahan Daerah) sebagai hasil desakan lanjut
reformasi dan euforia demokrasi itu khususnya untuk mereformasi konstitusi 1945 di tahun
1999, 2000, 2001 dan 2002.
Setelah keluarnya UU mengenai Pemerintahan Daerah dan Keuangan Daerah timbul
masalah-masalah baru sebagai konsekwensi dari pergeseran garis kebijakan politik dan
perundang-undangan itu, Sedangkan disisi lain, peraturan-peraturan untuk pelaksanaan
tidak segera dilengkapi (organieke verordeningen).
Sebagai konsekuensi pemberlakuan sistem otonomi daerah, dibentuk pula perangkat
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah, yaitu Undang-Undang yang telah tersebut diatas yang
kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU Nomor 33 Tahun 2004). Terasa
kerunyaman bahkan kekurang-pastian hukum mengenai status, posisi dan fungsi dalam
konteks hubungan antara pusat dan daerah, bahkan juga terasa adanya kesimpangsiuran
pandangan dan penafsiran mengenai hakekat otonomi daerah dalam Undang – Undang itu
(Argama, 2005: 5).
15. Kerunyaman Transisional
Kerunyaman ini ditandai oleh timbulnya berbagai aktivitas yang dipoles dengan slogan
reformasi dan euforia demokrasi, yang pada hakekatnya adalah disebabkan oleh berbagai
ketentuan dalam Undang – Undang itu sendiri.
Sebagai akibatnya, dalam masa transisi di tahun 1999 dan berikutnya dengan kelahiran UU
No. 22 dan No. 25 tahun 1999 itu, terjadi pergolakan poIitis-yuridis administratif dalam
hubungan antara Pusat dan Daerah. Bahkan antara Propinsi dengan kabupaten /
Kota, bahkan lagi antara sesama kabupaten / Kota itu sehingga terjadi semacam
terputusnya hubungan hierarkis secara vertikal dan juga seperti hapusnya hubungan
koordinator dan subordinatif di antara sesama pemerintah di daerah itu.
Tidak semua pihak legislatif maupun eksekutif didaerah Kabupaten dan Daerah Kota itu
dinilai “siap” dalam arti menguasai pemahaman untuk menerapkan UU itu, dengan
persepsi yang sama. Terjadi sikap yang Ekstrim sedemikian, sehingga Daerah-daerah
Kabupaten dan Kota menganggap tidak ada hubungan administratif dan fungsional sama
sekali dengan Propinsi, dan beberapa KDH telah langsung berhubungan dengan
Pemerintah pusat tanpa “sekedar pemberitahuan atau beri kabar pun” kepada Gubernur
KDH Propinsi. Kemudian timbul kecenderungan Kabupaten untuk mengeruk sebanyak
mungkin sumber PAD seakan-akan kepentingan kesejahteraan masyarakat dinomor
duakan, dan belum tentu terjamin bahwa pungutan-pungutan itu akan membalik (feed
back, melting process) sebagai biaya penanggulangan kepentingan kesejahteraan rakyat
(public service). Serta terjadi semacam rebutan kedudukan antar kaum politisi dari Parpol
dan kalangan aparat birokrat yang telah meniti karir dengan jenjang pendidikan dan
dengan jam terbang pengalaman yang cukup lama untuk menduduki posisi-posisi
eksekutif.
Bahkan disana sini terjadi money politics padahal menurut teriakan dan pekik reformasi
semula, KKN harus dikikis habis, khususnya suap menyuap dalam hal pencalonan Kepala
Daerah dan Wakilnya. Sampai saat ini masih ada kasus money politics ini, yang belum
tuntas pemerosesannya secara yuridis (Lubis, 2003: 7).
17. Dari sekian banyak yang kami jelaskan di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa :
Otonomi daerah merupakan hak dan kewajiban suatu daerah untuk mengatur serta
mengurus urusan pemerintahan, kesejahteraan, dan kepentingan masyarakat di
wilayahnya sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat itu sendiri.
Wewenang pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah pemerintah
daerah melaksanakan sistem pemerintahanya sesuai prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dengan undang-undang pemerintah pusat dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Dampak positif otonomi daerah adalah memunculkan kesempatan identitas lokal yang ada
di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan
respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di
daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yang didapatkan
melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah juga
akan lebih tepat sasaran dan tidak membutuhkan waktu yang lama sehingga akan lebih
efisien.
Dampak negatif dari otonomi daerah adalah munculnya kesempatan bagi oknum-oknum di
tingkat daerah untuk melakukan berbagai pelanggaran, munculnya pertentangan antara
pemerintah daerah dengan pusat, serta timbulnya kesenjangan antara daerah yang
pendapatannya tinggi dangan daerah yang masih berkembang.
Masalah – masalah hukum dalam otonomi daerah yang paling menonjol dari pembahasan
di atas yaitu ketidak-teraturan peraturan dan kerunyaman transisional yang ditandai oleh
berbagai aktivitas yang dipoles dengan slogan reformasi, serta euforia demokrasi yang
disebabkan oleh berbagai ketentuan dalam Undang – Undang itu sendiri.