Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas tentang otonomi daerah di Indonesia dan permasalahan yang muncul akibat pelaksanaannya, termasuk kewenangan yang tumpang tindih antar pemerintah daerah dan masih lemahnya kapasitas SDM daerah.
Hubungan Presiden dengan MK di atur di dalam :
UUD 1945 pasal 24C ayat 2 yang berbunyi, “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
UUD 1945 pasal 24C ayat 3 yang berbunyi, “Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. ”UU no 48 tahun 2009 pasal 29 ayat 2 yang berbunyi, “Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. ”UU no 48 tahun 2009 pasal 34 ayat 1 yang berbunyi, “Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 24C UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK), MK mempunyai lima kewenangan. Yakni, menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu (baik di tingkat nasional maupun pemilihan umum kepala daerah) dan memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden (impeachment).
Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap p...Researcher Syndicate68
ABSTRAK
Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah memasuki babak
kedua sejak reformasi 1998, yakni babak pertama berdasarkan UU No. 22 dan 25
Tahun 1999 dan babak kedua berlandaskan UU No. 32 dan 33 Tahun 2004.
Seluruh komponen stakeholders penyelenggaraan kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah tentu berharap agar babak ini lebih baik daripada babak
sebelumnya, baik dalam hal desentralisasi administratif maupun desentralisasi
fiskal. Hal ini tidak lain karena kedua hal tersebut – yakni desentralisasi
administratif (pembagian urusan pemerintahan) dan desentralisasi fiskal
(pembiayaan/pendanaan) merupakan dua sisi mata uang yang saling berkaitan
sama lain. Tulisan ini mencoba menjelaskan implikasi implementasi desentralisasi
dan otonomi daerah, khususnya terhadap hubungan keuangan Pusat – Daerah,
yang dimulai dengan melihat arah desentralisasi dan struktur pemerintahan masa
depan, reformasi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan hubungan Pusat –
Daerah, tahapan implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, dan
mencermati implikasi internal dan eksternal pola hubungan keuangan Pusat –
Daerah.
Pancasila merupakan suatu asas kerohanian yang disebut sebagai dasar filsafat negara.
Dalam kedudukan ini pancasila merupakan sumber nilai dan sumber norma dalam setiap aspek penyelenggaraan negara dan sumber tertib hukum.Negara Indonesia adalah negara demokrasi berdasarkan atas hukum,maka segala aspek pelaksanaan dan penyelenggaraan negara diatur melalui peraturan perundangan
Pancasila dalam kontek ketatanegaraan Republik Indonesia adalah pembagian kekuasaan lembaga lembaga tinggi negara, hak dan kewajiban, keadilan sosial, dan lainnya diatur dalam undang undang dasar negara.
Tatanan organisasi pemerintahan negaraendahmustika
Materi ini mempelajari mengenai tatanan organisasi pemerintahan negara yang meliputi tatanan organisasi kenegaraan, tatanan organisasi pemerintahan beserta dengan prinsip-prinsipnya.
Oleh: Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA
STUDI PERBANDINGAN TERHADAP
UU NO. 22 TAHUN 1948, UU NO. 1 TAHUN 1957,
UU NO. 18 TAHUN 1965, UU NO. 5 TAHUN 1974, UU NO. 22 TAHUN 1999, SERTA UU NO. 32 TAHUN 2004
Hubungan Presiden dengan MK di atur di dalam :
UUD 1945 pasal 24C ayat 2 yang berbunyi, “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
UUD 1945 pasal 24C ayat 3 yang berbunyi, “Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. ”UU no 48 tahun 2009 pasal 29 ayat 2 yang berbunyi, “Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. ”UU no 48 tahun 2009 pasal 34 ayat 1 yang berbunyi, “Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 24C UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK), MK mempunyai lima kewenangan. Yakni, menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu (baik di tingkat nasional maupun pemilihan umum kepala daerah) dan memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden (impeachment).
Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap p...Researcher Syndicate68
ABSTRAK
Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah memasuki babak
kedua sejak reformasi 1998, yakni babak pertama berdasarkan UU No. 22 dan 25
Tahun 1999 dan babak kedua berlandaskan UU No. 32 dan 33 Tahun 2004.
Seluruh komponen stakeholders penyelenggaraan kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah tentu berharap agar babak ini lebih baik daripada babak
sebelumnya, baik dalam hal desentralisasi administratif maupun desentralisasi
fiskal. Hal ini tidak lain karena kedua hal tersebut – yakni desentralisasi
administratif (pembagian urusan pemerintahan) dan desentralisasi fiskal
(pembiayaan/pendanaan) merupakan dua sisi mata uang yang saling berkaitan
sama lain. Tulisan ini mencoba menjelaskan implikasi implementasi desentralisasi
dan otonomi daerah, khususnya terhadap hubungan keuangan Pusat – Daerah,
yang dimulai dengan melihat arah desentralisasi dan struktur pemerintahan masa
depan, reformasi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan hubungan Pusat –
Daerah, tahapan implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, dan
mencermati implikasi internal dan eksternal pola hubungan keuangan Pusat –
Daerah.
Pancasila merupakan suatu asas kerohanian yang disebut sebagai dasar filsafat negara.
Dalam kedudukan ini pancasila merupakan sumber nilai dan sumber norma dalam setiap aspek penyelenggaraan negara dan sumber tertib hukum.Negara Indonesia adalah negara demokrasi berdasarkan atas hukum,maka segala aspek pelaksanaan dan penyelenggaraan negara diatur melalui peraturan perundangan
Pancasila dalam kontek ketatanegaraan Republik Indonesia adalah pembagian kekuasaan lembaga lembaga tinggi negara, hak dan kewajiban, keadilan sosial, dan lainnya diatur dalam undang undang dasar negara.
Tatanan organisasi pemerintahan negaraendahmustika
Materi ini mempelajari mengenai tatanan organisasi pemerintahan negara yang meliputi tatanan organisasi kenegaraan, tatanan organisasi pemerintahan beserta dengan prinsip-prinsipnya.
Oleh: Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA
STUDI PERBANDINGAN TERHADAP
UU NO. 22 TAHUN 1948, UU NO. 1 TAHUN 1957,
UU NO. 18 TAHUN 1965, UU NO. 5 TAHUN 1974, UU NO. 22 TAHUN 1999, SERTA UU NO. 32 TAHUN 2004
power point ini berisi tentang pengertian dan maksud dari desentralisasi Secara etimologis, istilah desentralisasi berasal dari Bahasa Belanda, yaitu de yang berarti lepas, dan centerum yang berarti pusat. Desentralisasi adalah sesuatu hal yang terlepas dari pusat.
Kelompok Anglo Saxon mendefinisikan desentralisasi sebagai penyerahan wewenang dari pemerintah pusat, baik kepada para pejabat pusat yang ada di daerah yang disebut dengan dekonsentrasi maupun kepada badan-badan otonom daerah yang disebut devolusi.
Kelompok Kontinental membedakan desentralisasi menjadi dua bagian yaitu desentralisasi jabatan atau dekonsentrasi dan desentralisasi ketatanegaraan, desentralisasi ketatanegaraan merupakan pemberian kekuasaan untuk mengatur daerah di dalam lingkungannya guna mewujudkan asas demokrasi dalam pemerintahan negara.
Devolusi adalah sebagian kekuasaan diserahkan kepada badan-badan politik di daerah yang diikuti dengan penyerahan kekuasaan sepenuhnya untuk mengambil keputusan baik secara politis maupun secara administratif.
Dekonsentasi adalah . Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah otonom sebagai wakil pemerintah atau perangkat pusat di daerah dalam kerangka negara kesatuan
Kata Pengantar
Puji sukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini tepat pada waktunya tanpa hambatan yang berarti. Tidak lupa pula penulis haturkan shalawat serta salam pada baginda rasul Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi suritauladan serta menghantarkan kita dari masa jahiliah menuju rasa yang penuh hikmah seperti yang kita rasakan saat ini.
Desentralisasi politik, yakni pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat yang meliputi hak mengatur dan mengurus kepentingan rumah tangga sendiri bagi badan-badan politik di daerah yang dipilih oleh rakyat dalam daerah-daerah tertentu
Desentralisasi fungsional, yaitu pemberian hak kepada golongan- golongan tertentu untuk mengurus segolongan kepentingan tertentu dalam masyarakat baik terikat maupun tidak pada suatu daerah tertentu, seperti mengurus irigasi bagi petani.
Desentralisasi kebudayaan, yakni pemberian hak kepada golongan- golongan minoritas dalam masyarakat untuk menyelenggarakan kebudayaan sendiri, seperti ritual kebudayaan.
Otonomi daerah adalah kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat. Tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan otonomi daerah adalah keleluasaan dalam bentuk hak dan wewenang serta kewajiban dan tanggung jawab badan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sesuai keadaan dan kemampuan daerahnya sebagai manifestasi dari desentralisasi.
sekian dan trm ksh..
Disampaikan pada PKN Tingkat II Angkatan IV-2024 BPSDM Provinsi Jawa Tengah dengan Tema “Transformasi Tata Kelola Pelayanan Publik untuk Mewujudkan Perekonomian Tangguh, Berdayasaing, dan Berkelanjutan”
Dr. Tri Widodo Wahyu Utomo, S.H., MA
Deputi Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara LAN RI
PETUNJUK TEKNIS INTEGRASI PELAYANAN KESEHATAN PRIMER
Kementerian Kesehatan menggulirkan transformasi sistem kesehatan.
Terdapat 6 pilar transformasi sistem kesehatan sebagai penopang kesehatan
Indonesia yaitu: 1) Transformasi pelayanan kesehatan primer; 2) Transformasi
pelayanan kesehatan rujukan; 3) Transformasi sistem ketahanan kesehatan;
4) Transformasi sistem pembiayaan kesehatan; 5) Transformasi SDM
kesehatan; dan 6) Transformasi teknologi kesehatan.
Transformasi pelayanan kesehatan primer dilaksanakan melalui edukasi
penduduk, pencegahan primer, pencegahan sekunder dan peningkatan
kapasitas serta kapabilitas pelayanan kesehatan primer. Pilar prioritas
pertama ini bertujuan menata kembali pelayanan kesehatan primer yang ada,
sehingga mampu melayani seluruh penduduk Indonesia dengan pelayanan
kesehatan yang lengkap dan berkualitas.
Penataan struktur layanan kesehatan primer tersebut membutuhkan
pendekatan baru yang berorientasi pada kebutuhan layanan di setiap
siklus kehidupan yang diberikan secara komprehensif dan terintegrasi
antar tingkatan fasilitas pelayanan kesehatan. Pendekatan baru ini disebut
sebagai Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer, melibatkan Puskesmas, unit
pelayanan kesehatan di desa/kelurahan yang disebut juga sebagai Puskesmas
Pembantu dan Posyandu. Selanjutnya juga akan melibatkan seluruh fasilitas
pelayanan kesehatan primer.
Disampaikan dalam Drum-up Laboratorium Inovasi Kabupaten Sorong, 27 Mei 2024
Dr. Tri Widodo W. Utomo, S.H., MA.
Deputi Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara LAN-RI
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) Tahun 2023Muh Saleh
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 merupakan survei yang mengintegrasikan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dan Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGI). SKI 2023 dikerjakan untuk menilai capaian hasil pembangunan kesehatan yang dilakukan pada kurun waktu lima tahun terakhir di Indonesia, dan juga untuk mengukur tren status gizi balita setiap tahun (2019-2024). Data yang dihasilkan dapat merepresentasikan status kesehatan tingkat Nasional sampai dengan tingkat Kabupaten/Kota.
Ketersediaan data dan informasi terkait capaian hasil pembangunan kesehatan penting bagi Kementerian Kesehatan, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai bahan penyusunan kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang lebih terarah dan tepat sasaran berbasis bukti termasuk pengembangan Rencana Pembangunan Kesehatan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2024-2029) oleh Kementerian PPN/Bappenas. Dalam upaya penyediaan data yang valid dan akurat tersebut, Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam penyusunan metode dan kerangka sampel SKI 2023, serta bersama dengan Lintas Program di Kementerian Kesehatan, World Health Organization (WHO) dan World Bank dalam pengembangan instrumen, pedoman hingga pelaporan survei.
1. OTONOMI DAERAH DAN PERMASALAHANNYA
D i s u s u n
O
L
E
H
Kelompok
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DWIJENDRA DENPASAR
BALI
2. KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan, karena berkat-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Otonomi Daerah dan
Permasalahannya”. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen pembimbing, sehingga makalah
ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. Makalah ini masih jauh dari
kesempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bisa
memberikan informasi bagi mahasiswa dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu
pengetahuan bagi sesama mahasiswa semua.
Denpasar, 25 Desember 2014
Kelompok Penyusun
3. DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Maksud dan Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Otonomi Daerah
2.2 Latar Belakang Timbulnya Otonomi Daerah di Indonesia
2.3 Permasalahan Yang Muncul dari Otonomi Daerah
2.4 Kasus Penyalahgunaan Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah
2.5 Antisipasi Problem Yang Terjadi Akibat Otonomi Daerah
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
4. BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Indonesia adalah negara demokrasi. Demokrasi adalah prinsip bangsa atau
negara ini dalam menjalankan pemerintahannya. Semenjak awal bergulirnya era
reformasi, demokrasi kian marak menjadi perbincangan seluruh lapisan bangsa
ini. Demokrasi menjadi kosa kata umum yang digunakan masyarakat untuk
mengemukakan pendapatnya. Hal ini didasarkan pada pengertian demokrasi
menurut Abraham Lincoln. Demokrasi menurut Abraham Lincoln adalah
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Salah satu perwujudan dari sistem demokrasi di Indonesia adalah otonomi
daerah. Otonomi daerah adalah hal, wewenang dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal ini otonomi daerah diatur menurut UU No. 32 Tahun 2004,
peraturan ini merupakan revisi dari peraturan sebelumnya tentang otonomi daerah.
Dengan demikian, masyarakat suatu daerah memperoleh kebebasan dalam
mengatur dan membangun daerahnya. Dengan adanya otonomi daerah,
pemerintahan indonesia di era reformasi ini berbanding terbalik dengan orde baru.
Jika orde baru menerapkan sistem pemerintahannya secara sentralisasi kepada
pemerintah pusat, maka pada era reformasi ini dengan adanya otonomi daerah,
sistem pemerintahannya menjadi desentralisasi. Tujuan diberlakukannya otonomi
daerah secara umum yakni agar pembangunan dan pembagian kekayaan alam di
5. setiap daerah merata,kesenjangan sosial antar daerah tidak mencolok, dan tidak
adanya ketimpangan sosial.
Otonomi daerah dipandang perlu dalam menghadapi perkembangan keadaan,
baik dalam dan luar negeri, serta tantangan persaingan global. Otonomi daerah
memberikan kewenangan yang luas dan nyata, bertanggung jawab kepada daerah
secara proposional, yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan
kemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah. Itu semua harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran
masyarakat, pemerataan, keadilan, serta potensi dan keanekaragaman daerah yang
dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
Penyelenggaraan Otonomi di daerah didasarkan pada isi dan jiwa yang
terkandung dalam pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya.
Menurut Hukum Tata Pemerintahan Negara atau Hukum Administrasi Negara
Otonomi Daerah merupakan suatu kewenangan daerah untuk menjalankan
pengaturan, penetapan, penyelenggaraan, pengawasan, pertanggungjawaban
Hukum dan Moral dan Penegakan Hukum Administrasi di daerah untuk
terciptanya pemerintahan yang taat hukum, jujur, bersih, dan berwibawa
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Otonomi daerah sebagai
suatu kebijakan Desentralisasi ini diberlakukan dikarenakan Otonomi Daerah
diharapkan dapat menjadi solusi terhadap problema ketimpangan pusat dan
daerah, disintegrasi nasional, serta minimnya penyaluran aspirasi masyarakat
local. Otonomi merupakan solusi terpenting untuk menepis disintegrasi.
6. Otonomi untuk daerah propinsi diberikan secara terbatas yang meliputi
kewenangan lintas kabupaten dan kota, dan kewenangan yang tidak atau belum
dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota, serta kewenangan bidang
pemerintahan tertentu lainnya. Mengapa propinsi mendapat kedudukan sebagai
daerah otonom dan sekaligus sebagai wilayah administrasi? Ada beberapa
pertimbangan yang mendasarinya, yaitu: Pertama; Untuk memelihara hubungan
yang serasi antara pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Kedua; Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah yang bersifat lintas
daerah kabupaten dan daerah kota serta melaksanakan kewenangan Otonomi
Daerah yang belum dapat dilaksanakan untuk daerah kabupaten dan daerah kota.
Ketiga; Untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan tertentu yang dilimpahkan
dalam rangka pelaksanaan Asas Dekonsentrasi.
Dari uraian diatas, saat ini yang menjadi permasalahannya adalah ;
“Siapkah sumber daya manusia di daerah dalam menerima otonomi ?”
1.2. RUMUSAN MASALAH
Permasalahan yang akan kita bahas dalam makalah ini, meliputi beberapa hal:
1. Penyebab timbulnya otonomi daerah
2. Permasalahan-permasalahan yang timbul akibat otonomi daerah.
3. Antisipasi terhadap problem yang terjadi akibat pemberlakuan Otoda.
1.3. MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud dan tujuan dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut:
· Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai otonomi daerah
· Membahas permasalahan-permasalahan yang timbul akibat otonomi daerah
7. BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Otonomi Daerah
Istilah otonomi daerah berasal dari bahasa Yunani yaitu autos yang berarti
berdiri sendiri, dan nomos yang berarti peraturan. Oleh karena itu secara harfiah
otonomi berarti peraturan sendiri atau undang-undang sendiri yang selanjutnya
berkembang menjadi pemerintahan sendiri. Otonomi Daerah adalah suatu
pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Kewenangan tersebut diberikan secara proposional yang
diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya
nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai
dengan ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998.
Menurut Wayong, “otonomi daerah sebenarnya merupakan bagian dari
pendewasaan politik rakyat di tingkat lokal dan proses mensejahterakan
rakyat”, Menurut UU No. 32/2004 Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Terdapat dua komponen utama pengertian otonomi, yaitu
pertama komponen wewenang menetapkan dan melaksanakan kebijakan sebagai
komponen yang mengacu pada konsep “pemerintahan” yang terdapat dalam
pengertian otonomi.
8. 2.2. Latar Belakang Timbulnya Otonomi Daerah di Indonesia
Otonomi daerah muncul sebagai bentuk veta comply terhadap sentralisasi
yang sangat kuat di masa orde baru. Berpuluh tahun sentralisasi pada era orde
baru tidak membawa perubahan dalam pengembangan kreativitas daerah, baik
pemerintah maupun masyarakat daerah. Ketergantungan pemerintah daerah
kepada pemerintah pusat sangat tinggi sehingga sama sekali tidak ada
kemandirian perencanaan pemerintah daerah saat itu. Di masa orde baru
semuanya bergantung ke Jakarta dan diharuskan semua meminta uang ke Jakarta.
Tidak ada perencanaan murni dari daerah karena Pendapatan Asli Daerah (PAD)
tidak mencukupi.
Ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi tahun 1997 dan tidak bisa cepat
bangkit, menunjukan sistem pemerintahan nasional Indonesia gagal dalam
mengatasi berbagai persoalan yang ada. Ini dikarenakan aparat pemerintah pusat
semua sibuk mengurusi daerah secara berlebih-lebihan. Semua pejabat Jakarta
sibuk melakukan perjalanan dan mengurusi proyek di daerah. Dari proyek yang
ada ketika itu, ada arus balik antara 10 sampai 20 persen uang kembali ke Jakarta
dalam bentuk komisi, sogokan, penanganan proyek yang keuntungan itu dinikmati
ke Jakarta lagi. Terjadi penggerogotan uang ke dalam dan diikuti dengan
kebijakan untuk mengambil hutang secara terus menerus. Akibat perilaku buruk
aparat pemerintah pusat ini, disinyalir terjadi kebocoran 20 sampai 30 persen dari
APBN.
Akibat lebih lanjut, adalah adanya ketergantungan daerah kepada pemerintah
pusat yang sangat besar. Dan otonomi daerah adalah jawaban terhadap persoalan
9. sentralisasi yang terlalu kuat di masa orde baru. Caranya adalah mengalihkan
kewenangan ke daerah. Ini berdasarkan paradigma, hakikatnya daerah sudah ada
sebelum Republik Indonesia (RI) berdiri.Prinsipnya, daerah itu bukan bentukan
pemerintah pusat, tapi sudah ada sebelum RI berdiri. Karena itu, pada dasarnya
kewenangan pemerintahan itu ada pada daerah, kecuali yang dikuatkan oleh UUD
menjadi kewenangan nasional. Semua yang bukan kewenangan pemerintah pusat,
asumsinya menjadi kewenangan pemerintah daerah.Maka, tidak ada penyerahan
kewenangan dalam konteks pemberlakuan kebijakan otonomi daerah. Tapi,
pengakuan kewenangan.
Tahun 1999 menjadi titik awal terpenting dari sejarah desentralisasi di
Indonesia. Pada masa pemerintahan Presiden Habibie melalui kesepakatan para
anggota Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilu 1999 ditetapkan Undang-Undang
Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor
25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah untuk mengoreksi UU
No.5/1974 yang dianggap sudah tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan
pemerintahan dan perkembangan keadaan.Kedua Undang-Undang tersebut
merupakan skema otonomi daerah yang diterapkan mulai tahun 2001. Undang-undang
ini diciptakan untuk menciptakan pola hubungan yang demokratis antara
pusat dan daerah,Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-
Undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap
tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan
penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk
menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri
10. mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Diharapkan dengan adanya kewenangan di pemerintah daerah maka akan
membuat proses pembangunan, pemberdayaan dan pelayanan yang signifikan.
Prakarsa dan kreativitasnya terpacu karena telah diberikan kewenangan untuk
mengurusi daerahnya. Sementara di sisi lain, pemerintah pusat tidak lagi terlalu
sibuk dengan urusan-urusan domestik. Ini agar pusat bisa lebih berkonsentrasi
pada perumusan kebijakan makro strategis serta lebih punya waktu untuk
mempelajari, memahami, merespons, berbagai kecenderungan global dan
mengambil manfaat darinya.
2.3. Permasalahan Yang Muncul dari Otonomi Daerah
Implementasi Otonomi daerah bukan tanpa masalah. Ia melahirkan banyak
persoalan ketika diterjemahkan di lapangan. Banyaknya permasalahan yang
muncul menunjukan implementasi kebijakan ini menemui kendala-kendala yang
harus selalu dievakuasi dan selanjutnya disempurnakan agar tujuannya tercapai.
Beberapa persoalan itu adalah:
1. Kewenangan yang tumpang tindih
Pelaksanaan otonomi daerah masih kental diwarnai oleh kewenangan
yang tumpang tindih antar institusi pemerintahan dan aturan yang berlaku, baik
antara aturan yang lebih tinggi atau aturan yang lebih rendah. Peletakan
kewenangan juga masih menjadi pekerjaan rumah dalam kebijakan ini. Apakah
kewenangan itu ada di kabupaten kota atau provinsi. Dengan pemberlakuan
otonomi daerah yang mendadak mengejutkan pihak-pihak daerah yang tidak
memiliki sumber daya manusia kualitatif.Terjadilah artikulasi otonomi daerah
11. kepada aspek-aspek finansial tanpa pemahaman substatife yang cukup terhadap
hakekat otonomi itu sendiri.
2. Anggaran
Banyak terjadi keuangan daerah tidak mencukupi sehingga menghambat
pembangunan. Sementara pemerintah daerah lemah dalam kebijakan menarik
investasi di daerah. Di sisi yang lain juga banyak terjadi persoalan kurangnya
transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan APBD yang merugikan
rakyat. Dalam otonomi daerah, paradigma anggaran telah bergeser ke arah apa
yang disebut dengan anggaran partisipatif. Tapi dalam prakteknya, keinginan
masyarakat akan selalu bertabrakan dengan kepentingan elit sehingga dalam
penetapan anggaran belanja daerah, lebih cenderung mencerminkan
kepentingan elit daripada kepentingan masyarakat.
3. Pelayanan Publik
Masih rendahnya pelayanan publik kepada masyarakat. Ini disebabkan
rendahnya kompetensi PNS daerah dan tidak jelasnya standar pelayanan yang
diberikan. Belum lagi rendahnya akuntabilitas pelayanan yang membuat
pelayanan tidak prima. Banyak terjadi juga Pemerintah daerah mengalami
kelebihan PNS dengan kompetensi tidak memadai dan kekurangan PNS
dengan kualifikasi terbaik. Di sisi yang lain tidak sedikit juga gejala
mengedepankan ”Putra Asli Daerah” untuk menduduki jabatan strategis dan
mengabaikan profesionalitas jabatan.
4. Politik Identitas Diri
12. Menguatnya politik identitas diri selama pelaksanaan otonomi daerah
yang mendorong satu daerah berusaha melepaskan diri dari induknya yang
sebelumnya menyatu. Otonomi daerah dibayang-bayangi oleh potensi konflik
horizontal yang bernuansa etnis. Atau dapat dikatakan Bangkitnya
egiosemtrisme ditiap daerah.
5. Orientasi Kekuasaan
Otonomi daerah masih menjadi isu pergeseran kekuasaan di kalangan elit
daripada isu untuk melayani masyarakat secara lebih efektif. Otonomi daerah
diwarnai oleh kepentingan elit lokal yang mencoba memanfaatkan otonomi
daerah sebagai momentum untuk mencapai kepentingan politiknya dengan cara
memobilisasi massa dan mengembangkan sentimen kedaerahan seperti ”putra
daerah” dalam pemilihan kepala daerah.
6. Lembaga Perwakilan
Meningkatnya kewenangan DPRD ternyata tidak diikuti dengan
terserapnya aspirasi masyarakat oleh lembaga perwakilan rakyat. Ini
disebabkan oleh kurangnya kompetensi anggota DPRD, termasuk kurangnya
pemahaman terhadap peraturan perundangan. Akibatnya meski kewenangan itu
ada, tidak berefek terhadap kebijakan yang hadir untuk menguntungkan publik.
Persoalan lain juga adalah banyak terjadi campur tangan DPRD dalam
penentuan karir pegawai di daerah.
7. Pemekaran Wilayah
Pemekaran wilayah menjadi masalah sebab ternyata ini tidak dilakukan
dengan grand desain dari pemerintah pusat. Semestinya desain itu dengan
13. pertimbangan utama guna menjamin kepentingan nasional secara keseluruhan.
Jadi prakarsa pemekaran itu harus muncul dari pusat. Tapi yang terjadi adalah
prakarsa dan inisiatif pemekaran itu berasal dari masyarakat di daerah. Ini
menimbulkan problem sebab pemekaran lebih didominasi oleh kepentingan elit
daerah dan tidak mempertimbangkan kepentingan nasional secara
keseluruhan.
8. Pilkada Langsung
Pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah ternyata
menimbulkan banyak persoalan. Pilkada langsung sebenarnya tidak diatur di
UUD, sebab yang diatur untuk pemilihan langsung hanyalah presiden. Pilkada
langsung menimbulkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk
pelaksanaan suksesi kepemimpinan ini. Padahal kondisi sosial masyarakat
masih terjebak kemiskinan. Disamping itu, pilkada langsung juga telah
menimbulkan moral hazard yang luas di masyarakat akibat politik uang yang
beredar. Tidak hanya itu pilkada langsung juga tidak menjamin hadirnya
kepala daerah yang lebih bagus dari sebelumnya.
2.4. Kasus Penyalahgunaan Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah
Dalam kenyataannya, otonomi daerah yang dalam hakikatnya merupakan
suatu tujuan yang sangat baik bagi kemajuan bangsa ini, justru banyak sekali
terjadi penyalahgunaan dalam pelaksanaannya, tidak hanya di tingkat pemerintah
pusat melainkan di tingkat pemerintah daerah hingga unsur pelaksana lainnya
dalam pelaksanaan otonomi daerah ini. Walaupun pemerintah sering menyuarakan
program otonomi daerah ini di setiap sudut wilayah negara, namun pada
14. kenyataannya pembangunan masih belum merata di setiap daerah di Indonesia.
Berbagai cara dilakukan demi meratanya pembangunan dan kesejahteraan bangsa
ini yang pada kenyataannya mendapatkan hasil yang kurang memuaskan bahkan
nihil. Lalu, apakah ada yang salah dalam konteks otonomi daerah ini?
Pelaksanaan otonomi daerah yang tidak pada mestinya mengakibatkan
kekecewaan masyarakat daerah setempat karena adanya penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh para Pejabat daerah, sehingga asas Otonomi
daerah dengan tujuan agar daerah-daerah dapat mengelola secara mandiri segala
sumberdaya, keuangan, maupun sumber-sumber lain sebagai pendapatan bagi
daerah tidak berjalan sesuai dengan tujuan dan harapan masyarakat.
Antusias yang tinggi “untuk meningkatkan kemajuan daerah” terlihat dari
banyaknya daerah-daerah yang meminta dimekarkan sehingga terjadi pemekaran
daerah besar-besaran di seluruh wilayah Indonesia. Yang menarik dari “proses
mekarnya suatu daerah” ini adalah menjamurnya praktik korupsi yang dilakukan
oleh oknum yang bernama pemimpin/petinggi di daerah. Banyak contoh kasus
yang dapat memperlihatkan hal ini.
Berbagai kasus korupsi dilakukan pejabat daerah memperlihatkan kepada kita
bahwa korupsi benar-benar berada pada kawasan elit pemerintah. Jika fenomena
tersebut dapat dibongkar secara lebih besar, tentu kita akan melihat kenyataan
yang sangat mecengangkan. Hal ini diperkuat data Indonesia Coruption Watch,
bahwa hingga akhir 2010 ada 148 mantan kepala daerah dan mantan wakil kepala
daerah, serta kepala daerah yang masih aktif terjerat kasus korupsi. Namun kasus
yang diizinkan disidik hanya 84 kasus, di luar 27 kasus yang ditangani Komisi
15. Pemberantasan Korupsi (KPK). Sedangkan sisanya belum diizinkan
presiden.Sepertinya otonomi daerah dan tuntutan pemekaran daerah, hanya
dijadikan kedok untuk mencari kekuasaan dan kekayaan.Tampak disini, perluasan
kekuasaan dan kewenangan yang besar bukan dianggap amanah sesuai dengan
cita-cita awal tetapi sebagai ajang untuk mencari kekayaan berlebih.
2.5 Antisipasi Problem Yang Terjadi Akibat Otonomi Daerah
Yang sebaiknya dilakukan agar otonomi daerah dapat berhasil mencapai
tujuannya. Adapun hal-hal yang perlu dilakukan adalah:
1. Memperkuat fungsi kontrol terhadap pemda yang dilakukan oleh masyarakat
dan lembaga legislatif daerah.
2. Pemberdayaan politik warga masyarakat.
3. Pemahaman terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik meliputi:
1. Asas persamaan
2. Asas Kepercayaan
3. Asas Kepastian Hukum
4. Asas Kecermatan
5. Asas Pemberian Alasan
6. Asas Larangan bertindak kesewenang-wenangan
7. Dan lain-lain.
4. Dan yang terakhir adalah meningkatkan mutu pendidikan sehingga
memunculkan sumber daya manusia yang berkualitas.
16. Terkait berbagai problematika otonomi daerah tersebut, menjadi sangat urgen
bagi pemerintah untuk mengambil langkah-langkah tegas dan strategis. Beberapa
upaya yang dapat dilakukan adalah:
Pertama, segera merevisi UU 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terutama
masalah pembagian wewenang pemerintah pusat dan daerah dan terkait pasal 126
yang memuat status kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Selama ini, dasar
hukum tersebut memberi ketentuan bahwa sejauh belum menjadi terdakwa dan
tuntutannya kurang dari lima tahun penjara, mereka bisa bebas dan tetap
menempati jabatannya.Status sebagai pejabat negara juga kerap menyulitkan
aparat penegak hukum ketika akan menahan dan memeriksa mereka. Undang-undang
mengharuskan pemeriksaan terhadap kepala daerah atas izin presiden.
Sedangkan izin tersebut juga harus melalui birokrasi yang panjang dan rumit.
Dengan merevisi undang-undang tersebut, diharapkan gubernur, bupati/walikota
yang tersangkut kasus korupsi akan dinon-aktifkan begitu menjadi tersangka.
Jabatan dan hak mereka akan diberikan kembali jika penyidikan kasusnya
dihentikan.
Kedua, pemerintah juga dapat mengefektifkan peran Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dalam upaya memerangi korupsi di daerah yang semakin
menggurita. Argumentasi ini didasarkan pada kapasitas legal yang dimiliki KPK
untuk untuk masuk ke semua lembaga negara dan melakukan evaluasi untuk
pencegahan korupsi. Sebelum itu ditempuh, tentu langkah yang harus diambil
adalah penguatan posisi KPK di daerah, yakni dengan pembentukan KPK di
daerah.
17. Ketiga,penting untuk menerapkan asas pembuktian terbalik. Asas pembuktian
terbalik merupakan aturan hukum yang mengharuskan seseorang untuk
membuktikan kekayaan yang dimilikinya, sebelum menjabat dibandingkan setelah
menjabat. Serta darimana sumber kekayaan itu berasal. Jika kekayaan melonjak
drastis dan bersumber dari kas Negara atau sumber lain yang ilegal, tentu
merupakan tindak pidana korupsi. Korupsi memang merupakan kejahatan luar
biasa (extraordinary crime), maka harus ditangani secara luar biasa pula dan tentu
dengan melibatkan semua pihak. Karena, langkah-langkah strategis tersebut tidak
akan berarti tanpa kerja sama dari semua pihak, terutama aparat penegak hukum
untuk menjunjung hukum seadil-adilnya. Ini diperlukan agar otonomi daerah
benar-benar bernilai serta menjadi berkah bagi rakyat di daerah.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari berbagai pembahasan diatas maka kami dapat menyimpulkan keadaan
otonomi daerah saat ini di Negara Indonesia sebagai berikut:
· Pemberian otonomi daerah yang mendadak mengakibatkan artikulasi otonomi
daerah kepada aspek-aspek finansial tanpa pemahaman yang cukup terhadap
hakekat otonomi itu sendiri.
· Pemberlakuan otonomi daerah akibat kecenderungan pemerintah pusat yang
tidak menguntungkan daerah.
18. · Di daerah sumber daya manusia yang berkualitas masih sedikit karena
terdistribusi ke pusat.ap
· Dengan otonomi maka daerah bebas melakukan apa saja.
· Dengan otonomi daerah pusat akan melepaskan tanggung jawab untuk
membantu dan membina daerah.
Dengan demikian masalah Otonomi Daerah dalam pelaksanaannya perlu
ditinjau kembali demi pemerataan kesejahteraan bangsa ini. Pemerintah pusat
mampu memberikan wewenang sepenuhnya kepada pemerintah daerah, akan
tetapi tidak lepas tanggung jawab sepenuhnya dan selalu memberikan
pengawasan. Dan peran seluruh masyarakat Indonesia dalam pelaksanaan
Otonomi Daerah yang benar sangat dibutuhkan.
3.2 SARAN
· Otonomi daerah sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di
daerah melalui optimalisasi pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
manusia bisa terwujud dengan baik, maka perlu selalu dalam pengawasan, baik
secara internal dari pemerintah melalui Kementrian Dalam Negeri juga partisipasi
masyarakat di daerah. Dengan demikian sangat diharapkan peran masyarakat sipil
di daerah seperti lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial keagamaan di
daerah.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.transparansi.or.id/tentang/otonomi-daerah/.html
http://www.indopos.co.id/index.php/arsip-berita-politik/45-politika/11479-
otonomi-daerah-mengecewakan.html