SlideShare a Scribd company logo
MAKALAH
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
OTONOMI DAERAH
Dosen Pengasuh : Zakir Has, M.Pd.
Disusun oleh:
• SYABDAN DALIMUNTHE
• AR . WAHYU PRADANA
• ADI PURNOMO S
• ADITYA PRATAMA
JURUSAN TEKNIK PERANGKAT LUNAK
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
Otonomi Daerah | 1
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sebagai respon atas tuntutan reformasi pemerintah dengan cukup cepat
telah mela-kukan penambahan yang cukup mendasar atas berbagai UU dalam
bidang politik dari yang berwatak sentralistisotoritarian ke otonomi-demokratis.
Setelah berhasil menyusun tiga UU bidang politik yang menjadi landasan
pelaksanaan pemilu tahun 1999 pemerintah segera menyusulinya dengan UU baru
dalam bidang politik khusus mengenai hubungan kekuasaan antara pusat dan
daerah yakni UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No 25
Tahun 1999 tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah.
Perubahan hukum tentang hubungan antara Pusat dan Daerah ini
menyangkut masalah yang sangat mendasar dalam hubungan kekuasaan
(gezagverhouding) yang selama era Orde Baru sangat timpang karena hampir
seluruh kekuasaan bertumpu di tangan pemerintah Pusat tepatnya di tangan
Presiden.
Pembaharuan hukum tentang otonomi daerah ini menjadi kehamsan paling
tidak dua
alasan. Pertama, demokratisasi yang salah satu implementasinya adalah perluasan
otonomi daerah menjadi tuntutan era global karena demokratisasi menjadi salah
satu
dari lima hati nurani global (global conciousnes) Kedua, pengalaman Indonesia
dengan sistem otoriter yang mengabaikan otonomi daerah terbukti telah
menyimpan
api yang kemudian menyulut lahimya kritis politik, bahkan yang terjadi
belakangan ini krisis politik telah. memancing fenomena disintegrasi.
Demokrasi dan Otonomi
Ketika para pendiri negara Republik Indonesia bersepakat untuk
mendirikan sebuah negara berdasar prinsip demokrasi maka dengan sendirinya
prinsip otonomi daerah juga menyertainya. Hal ini menjadi niscaya karena salah
satu tuntutan penting bagi sebuah sistem demokrasi adalah adanya pemencaran
kekuasaan baik secara horizontal (ke samping) tinggi negara yang sejajar seperti
DPR, Presiden, BPK, MA, dan DPA, sedangkan pemencaran hodsontal ditandai
oleh adanya desentralisasi dan otonomi daerah. Bahwa adanya desentralisasi dan
Otonomi Daerah | 2
otonomi daerah diyakini oleh Bapak-bapak pendiri negara Republik Indonesia
sebagai bagian dari pelaksanaan demokrasi dapat dipahami dari pemyataan Hatta
bahwa:
“Menurut dasar kedaulatan rakyat itu, hak rakyat untuk menentukan nasibnya
tidak hanya ada pada pucuk pemerintahan negeri, melainkan juga pada tiap
tempat, di kota, di desa, dan di daerah...Dengan keadaan yang demikian, maka
tiap-tiap bagian atau golongan rakyat mendapat autonomi (membuat dan
menjalankan peraturan-peraturan sendiri) dan Zelfgbestuur (menjalankan
peraturan peraturan yang dibuat oleh Dewan yang lebih tinggi) ... Keadaan yang
seperti itu penting sekali, karena keperluan tiap-tiap tempat dalam satu negeri
tidak sama, melainkan berlain-lain”. (Hatta, 1976 : 103).
Dari apa yang dikemukakan Hatta menjadi jelas bahwa prinsip otonomi
harus menjadi salah satu salah satu sendi susunan pemerintahan yang demokratis
agar ada jaminan kebebasan bagi warganya untuk menyalurkan aspirasi politik.
Ini sejalan dengan apa yang dikutip Robert Rienow (1966 : 573) dari
Tocqueville yang mengatakan juga bahwa suatu negara merdeka yang tidak
membangun institusi pemerintahan di tingkat daerah adalah pemerintahan yang
tidak membangun semangat kedaulatan rakyat sebab didalamnya tidak ada
kebebasan. Salah satu karakter menonjol dari demokrasi, kata Toqcueville, adalah
adanya kebebasan sehingga alasan pokok dibangunnya pemerintahan di tingkat
daerah minimal ada dua macam : pertama, membiasakan rakyat untuk
merumuskan sendiri persoalan-persoalan di daerahnya sekaligus mencari
pemecahannya; kedua, memberi kesempatan kepada masing-masing komunitas
yang mempunyai tuntutan beragam untuk membuat aturan dan programnya
sendiri.
Bagir Manan (1994) dalam konteks ini mengatakan bahwa ada tiga faktor
yang menunjukkan kaitan erat antara demokrasi dan otonomi daerah : pertama,
untuk mewujudkan prinsip kebebasan {liberty) kedua, untuk membiasakan rakyat
berupaya untuk mampu memutuskan sendiri berbagai kepentingan yang berkaitan
langsung dengan dirinya; ke-tiga, untuk memberikan pelayanan yang maksimal
terhadap masyarakat yang mempunyai tuntutan dan kebutuhan beragam.
Meskipun begitu memang tidak dapat dipungkiri begitu saja kenyataan bahwa di
negara yang menganut sistem sentralisasi pun mungkin dapat tumbuh demokrasi,
namun adanya otonomi daerah dan desentralisasi akan jauh lebih menjamin
tumbuhnya demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya.
(Kelsen, 1973 : 312). Atas dasar pemikiran yang demikianlah dapat
dipahami bahwa
undang-undang yang pertama kali lahir di negara Republik Indonesia adalah UU
tentang otonomi daerah yakni UU No. 1 Tahun 1945.
1.2 Tujuan Umum
Otonomi Daerah | 3
Tujuan umum dari makalah ini adalah agar pembaca dapat mengetahui dan
memperluas pengetahuan, bahwa Otonomi Daerah merupakan kewenangan
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
1.3 Tujuan Khusus
Dapat kami paparkan tujuan-tujuan khusus Otonomi Daerah, diantaranya:
- Mengetahui masalah-masalah yang menjadi kewenangan atau acuan
program suatu daerah dalam meningkatkan produktivitas dalam bidang
tertentu.
- Mengetahui sejauh mana arah dan sasaran suatu daerah dalam pencapaian
menuju sutu daerah yang otonom.
- Mengetahui tingkat keberhasilan dalam pencapaian program/bidang
tertentu sehingga suatu daerah bisa menjadi daerah otonom.
Otonomi Daerah | 4
BAB II
Landasan Teori
2.1 Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan
pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau
"lingkungan pemerintah". Dengan demikian pengertian secara istilah
"otonomi daerah" adalah "wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah
yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat
itu sendiri." Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada
suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan
wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan
pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan
ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.
Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi
kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan
bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi.
Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-
bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi
daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan
keanekaragaman.
Apa hubungan antara otonomi daerah dan kesejahteraan? Mengapa dalam era
otonomi daerah sekarang justru kemiskinan sangat merajalela? Sebagaimana
dinyatakan Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia mencakup lebih dari
70 juta jiwa. Lantas apakah berarti otonomi daerah justru berkorelasi negatif
terhadap kesejahteraan?
Sebelum kita meneliti semua itu, setidaknya bisa kita temukan fakta bahwa
lahirnya otonomi daerah di Indonesia lebih karena perubahan kondisi politik
daripada alasan paradikmatik-empirik. Tahun 1998, masyarakat Indonesia
merasakan kemuakan atas pemerintahan yang sangat sentralistis dan ingin
menuju pola masyarakat yang lebih menjanjikan kebebasan. Realitasnya,
setelah masyarakat Indonesia berada dalam era otonomi daerah, berbagai
Otonomi Daerah | 5
problem bermunculan dan implemenasi atas konsep otonomi itu
memunculkan banyak konflik baik vertikal maupun horizontal.
Dalam paparan singkat ini, penulis ingin memberikan catatan bahwa
pelaksanaan otonomi daerah pada faktanya telah menimbulkan empat
problem.
2.2 Otonomi, Desentralisasi Kewenangan dan Integrasi Nasional
Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan
mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini
tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi
itu,kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan
daerah sebagaimana mestinya, sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari
pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi
semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat,
maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu,
arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke
daerah.
Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini dinilai sangat penting
terutama untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara
dengan sebaik-baiknya. Karena dalam sistem yang berlaku sebelumnya,
sangat dirasakan oleh daerah-daerah besarnya jurang ketidakadilan struktural
yang tercipta dalam hubungan antara pusat dan daerah-daerah. Untuk
menjamin agar perasaan diperlakukan tidak adil yang muncul di berbagai
daerah seluruh Indonesia tidak makin meluas dan terus meningkat yang pada
gilirannya akan sangat membahayakan integrasi nasional, maka kebijakan
otonomi daerah ini dinilai mutlak harus diterapkan dalam waktu yang
secepat-cepatnya sesuai dengan tingkat kesiapan daerah sendiri. Bahkan, TAP
MPR tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi
Daerah No.IV/MPR/2000 menegaskan bahwa daerah-daerah tidak perlu
menunggu petunjuk dan aturan-aturan dari pusat untuk menyelenggarakan
otonomi daerah itu sebagaimana mestinya. Sebelum dikeluarkannya peraturan
yang diperlukan dari pusat, pemerintahan daerah dapat menentukan sendiri
pengaturan mengenai soal-soal yang bersangkutan melalui penetapan
Peraturan Daerah. Setelah peraturan pusat yang dimaksud ditetapkan,barulah
peraturan daerah tersebut disesuaikan sebagaimana mestinya, sekedar untuk
itu memang perlu diadakan penyesuaian.
Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan
tidak hanya menyangkut pengalihan kewenangan dari atas ke bawah, tetapi
pada pokoknya juga perlu diwujudkan atas dasar keprakarsaan dari bawah
untuk mendorong tumbuhnya kemandirian pemerintahan daerah sendiri
sebagai faktor yang menentukan keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu.
Dalam kultur masyarakat kita yang paternalistik, kebijakan desentralisasi dan
Otonomi Daerah | 6
otonomi daerah itu tidak akan berhasil apabila tidak dibarengi dengan upaya
sadar untuk membangun keprakarsaan dan kemandirian daerah sendiri.
2.3 Otonomi, Dekonsentrasi Kekuasaan dan Demokratisasi
Otonomi daerah kadang-kadang hanya dipahami sebagai kebijakan yang
bersifat institutional belaka yang hanya dikaitkan dengan fungsi-fungsi
kekuasaan organ pemerintahan. Oleh karena itu, yang menjadi perhatian
hanyalah soal pengalihan kewenangan pemerintahan dari tingkat pusat ke
tingkat daerah. Namun, esensi kebijakan otonomi daerah itu sebenarnya
berkaitan pula dengan gelombang demokratisasi yang berkembang luas dalam
kehidupan nasional bangsa kita dewasa ini.
Pada tingkat suprastruktur kenegaraan maupun dalam rangka restrukturisasi
manajemen pemerintahan, kebijakan otonomi daerah itu dikembangkan
seiring dengan agenda dekonsentrasi kewenangan. Jika kebijakan
desentralisasi merupakan konsep pembagian kewenangan secara vertikal,
maka kebijakan dekonsentrasi pada pokoknya merupakan kebijakan
pembagian kewenangan birokrasi pemerintahan secara horizontal. Kedua-
duanya bersifat membatasi kekuasaan dan berperan sangat penting dalam
rangka menciptakan iklim kekuasaan yang makin demokratis dan berdasar
atas hukum.
Oleh karena itu, kebijakan otonomi daerah itu tidak hanya perlu dilihat
kaitannya dengan agenda pengalihan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke
Pemerintah Daerah, tetapi juga menyangkut pengalihan kewenangan dari
pemerintahan ke masyarakat. Justru inilah yang harus dilihat sebagai esensi
pokok dari kebijakan otonomi daerah itu dalam arti yang sesungguhnya.
Otonomi daerah berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah yang
diharapkan dapat terus tumbuh dan berkembang keprakarsaan dan
kemandiriannya dalam iklim demokrasi dewasa ini.Jika kebijakan otonomi
daerah tidak dibarengi dengan peningkatan kemandirian dan keprakarsaan
masyarakat di daerah-daerah sesuai tuntutan alam demokrasi, maka praktek-
praktek kekuasaan yang menindas seperti yang dialami dalam sistem lama
yang tersentralisasi, akan tetap muncul dalam hubungan antara pemerintahan
di daerah dengan masyarakatnya. Bahkan kehawatiran bahwa sistem otonomi
pemerintahan daerah itu justru dapat menimbulkan otoritarianisme
pemerintahan lokal di seluruh Indonesia. Para pejabat daerah yang
sebelumnya tidak memiliki banyak kewenangan dalam waktu singkat tiba-
tiba mendapatkan kekuasaan dan kesempatan yang sangat besar yang dalam
waktu singkat belum tentu dapat dikendalikan sebagaimana mestinya.Dalam
keadaan demikian, maka sesuai dengan dalil Lord Acton bahwa ‘power
tendsto corrupt and absolute power corrupts absolutely’, timbul kehawatiran
bahwa iklim penindasan dan praktek-praktek kezaliman yang anti demokrasi
serta praktek-praktek pelanggaran hukum dan penyalahgunaan wewenang
yang pernah terjadi di tingkat pusat justru ikut beralih ke dalam praktek
pemerintahan di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, otonomi
daerah haruslah dipahami esensinya juga mencakup pengertian otonomi
Otonomi Daerah | 7
masyarakat di daerah-daerah dalam berhadapan dengan pemerintahan di
daerah.
2.4 Otonomi dan ‘Federal Arrangement’
Dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, terkandung
semangat perubahan yang sangat mendasar berkenaan dengan konsep
pemerintahan Republik Indonesia yang bersifat federalistis. Meskipun
ditegaskan bahwa organisasi pemerintahan Republik Indonesia berbentuk
Negara Kesatuan(unitary), tetapi konsep dasar sistem pembagian kekuasaan
antara pusat dan daerah diatur menurut prinsip-prinsip federalisme. Pada
umumnya dipahami bahwa dalam sistem federal, konsep kekuasaan asli atau
kekuasaan sisa (residual power) berada di daerah atau bagian, sedangkan
dalam sistem negara kesatuan (unitary),kekuasaan asli atau kekuasaan sisa itu
berada di pusat. Dalam ketentuan Pasal 7UU tersebut, yang ditentukan
hanyalah kewenangan pusat yang mencakup urusan hubungan luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan urusan agama,
sedangkan kewenangan berkenaan dengan urusan sisanya (lainnya)justru
ditentukan berada di kabupaten/kota.
Bahkan, dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945,yaitu Pasal 18 ayat (8)
dinyatakan: “Pemerintah pusat memberikan otonomi yang luas kepada
daerah-daerah untuk melaksanakan pemerintahan masing-masing,kecuali
kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan,peradilan,
moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan di bidang lain yang diatur
dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman
yang dimiliki daerah”. Hanya saja perlu dicatat pertama bahwa dalam naskah
PerubahanUUD ini digunakan perkataan “‘memberikan’ otonomi yang luas
kepada daerah-daerah”. Kedua, jika dalam Pasal 7 UU No.22 Tahun 1999
tertulis‘Pertahanan Keamanan’ tanpa koma, maka dalam Pasal 18 ayat (8)
UUD 1945 digunakan koma, yaitu “pertahanan, keamanan”. Masih harus
diteliti sejauhmana kedua hal ini dapat dinilai mencerminkan
kekurangcermatan para anggota Badan Pekerja MPR dalam perumusan
redaksi, atau memang hal itu dirumuskan dengan kesengajaan bahwa pada
hakikatnya kewenangan daerah dalam rangka kebijakan otonomi daerah itu
adalah pemberian pemerintah pusat kepada daerah[7], dan bahwa pengertian
pertahanan dan keamanan yang berdasarkan Pasal 2 Ketetapan MPR tentang
Pemisahan TNI dan POLRI No. VI/MPR/2000 memang telah dipisahkan
secara tegas, merupakan urusan-urusan yang berbeda, yaitu antara peran
tentara dan kepolisian[8].
Dalam Pasal 4 ayat (2) dinyatakan bahwa hubungan antara pusat dan daerah
tidak lagi bersifat hirarkis. Bupati bukan lagi bawahan Gubernur, dan
hubungan antara daerah propinsi dan daerah kabupaten serta kota tidak lagi
bersifat subordinatif, melalinkan hanya koordinatif. Elemen hubungan
kekuasaan yang bersifat horizontal ini dan ditetapkannya prinsip kekuasaan
asli atau sisa yang berada di daerah kabupaten/kota merupakan ciri-ciri
penting sistem federal. Karena itu, dapat dikatakan bahwa meskipun struktur
Otonomi Daerah | 8
organisasi pemerintahan Republik Indonesia berbentuk Negara Kesatuan, kita
juga mengadopsi pengaturan-pengaturan yang dikenal sebagai ‘federal
arrangement’.
Oleh karena itu, para penyelenggara negara, baik di pusat maupun di daerah-
daerah sudah seharusnya menyadari hal ini, sehingga pelaksanaan otonomi
daerah perlu segera diwujudkan tanpa keraguan. Pihak-pihak yang bersikap
skeptis ataupun yang masih berusaha mencari formula lain sehubungan
dengan gelombang separatisme di berbagai daerah, seyogyanya juga
menyadari adanya pengaturan-pengaturan yang bersifat federalistis tersebut.
Hanya dengan keyakinan kolektif bangsa kita mengenai besarnya skala
perubahan struktural yang dimungkinkan dalam berbagai instrumen peraturan
perundang-undangan yang telah ditetapkan, kita akan dapat berkonsentrasi
penuh menyukseskan agenda otonomi daerah yang luas ini. Dan hanya
dengan konsentrasi penuh itu pulalah kita akan dapat menyukseskan agenda
otonomi daerah ini,sehingga dapat terhindar dari malapetaka yang jauh lebih
buruk berupa disintegrasi kehidupan kita sebagai satu bangsa yang bersatu
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.5 Otonomi dan Daya Jangkau Kekuasaan
Dalam kebijakan otonomi daerah itu tercakup pula konsepsi pembatasan
terhadap pengertian kita tentang ‘negara’ yang secara tradisional dianggap
berwenang untuk mengatur kepentingan-kepentingan umum.Dalam UU
No.22 Tahun 1999 tersebut, yang dapat dianggap sebagai wilayah dayaj
angkau kekuasaan negara (state) hanya sampai di tingkat kecamatan. Secara
akademis, organ yang berada di bawah struktur organisasi kecamatan dapat
dianggap sebagai organ masyarakat, dan masyarakat desa dapat disebut
sebagai‘self governing communities’ yang otonom sifatnya. Oleh karena itu,
pada pokoknya, susunan organisasi desa dapat diatur sendiri berdasarkan
norma-norma hukum adat yang hidup dan berkembang dalam kesadaran
hukum dan kesadaran politik masyarakat desa itu sendiri.
Secara ideal, wilayah kekuasaan pemerintahan negara tidak dapat
menjangkau atau turut campur dalam urusan pemerintahan desa.Biarkanlah
masyarakat desa mengatur sendiri tata pemerintahan desa mereka serta
mengatur perikehidupan bersama mereka di desa sesuai dengan kebutuhan
setempat.Tidak perlu diadakan penyeragaman pengaturan untuk seluruh
wilayah nusantara seperti yang dipraktekkan selama ini. Prinsip ‘self
governing community’ ini sejalan pula dengan perkembangan pemikiran
modern dalam hubungan antara ‘stateand civil society’ yang telah kita
kembangkan dalam gagasan masyarakat madani.
Dalam pengembangan masyarakat madani, tidak saja masyarakat desa
dikembangkan sebagai ‘self governing communities’, tetapi keterlibatan
fungsi-fungsi organisasi pemerintahan secara umum dalam dinamika kegiatan
masyarakat pada umumnya juga perlu dikurangi secara bertahap. Hanya
fungsi-fungsi yang sudah seharusnya ditangani oleh pemerintah sajalah yang
Otonomi Daerah | 9
tetap harus dipertahankan wilayah yang berada dalam daya jangkau
kekuasaan negara. Sedangkan hal-hal yang memang dapat dilepaskan dan
dapat tumbuh berkembang sendiri dalam dinamika masyarakat, cukup
diarahkan untuk menjadi bagian dari urusan bebas masyarakat sendiri.
Sudah tentu pelepasan urusan tersebut menjadi urusan masyarakat perlu
dilakukan dengan cermat dan hati-hati. Pelepasan urusan dimaksudkan untuk
mendorong kemandirian dan keprakarsaan masyarakat sendiri,bukan
dimaksudkan untuk melepas beban dan tanggungjawab pemerintah Karena
didasarkan atas sikap yang tidak bertanggungjawab ataupun karena
disebabkan ketidakmampuan pemerintah menjalankan tugas dan kewajiban
yang dibebankan kepadanya. Pelepasan urusan juga tidak boleh dilakukan
tiba-tiba tanpa perencanaan yang cermat dan persiapan sosial yang memadai
yang pada gilirannya justru dapat menyebabkan kegagalan total dalam agenda
penguatan sector masyarakat secara keseluruhan.
Dasar Hukum
Otonomi Daerah berpijak pada dasar Perundang-undangan yang kuat, yakni :
1. Undang-undang Dasar Sebagaimana telah disebut di atas Undang-undang
Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan
Otonomi Daerah. Pasal 18 UUD menyebutkan adanya pembagian
pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah.
2. Ketetapan MPR-RI Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang
penyelenggaraan Otonomi Daerah : Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan
Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta perimbangan kekuangan Pusat
dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Undang-Undang
Undang-undang N0.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya
mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan
pelaksanaan asas Desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam UU
No.22/1999 adalah mendorong untuk pemberdayaan masyarakat,
menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran masyarakat,
mengembangkan peran dan fungsi DPRD.
Dari ketiga dasar perundang-undangan tersebut di atas tidak diragukan lagi
bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah memiliki dasar hukum yang kuat.
Tinggal permasalahannya adalah bagaimana dengan dasar hukum yang kuat
tersebut pelaksanaan Otonomi Daerah bisa dijalankan secara optimal.
Otonomi Daerah | 10
BAB III
MATERI
3.1 OTONOMI DAERAH
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan
pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau
"lingkungan pemerintah". Dengan demikian pengertian secara istilah "otonomi
daerah" adalah "wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur
dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri."
Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu
wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah
masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan
keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan
tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.
Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi
kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan
bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi.
Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-
bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi
daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan
keanekaragaman.
Apa hubungan antara otonomi daerah dan kesejahteraan? Mengapa dalam era
otonomi daerah sekarang justru kemiskinan sangat merajalela? Sebagaimana
dinyatakan Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia mencakup lebih dari 70
juta jiwa. Lantas apakah berarti otonomi daerah justru berkorelasi negatif terhadap
kesejahteraan?
Sebelum kita meneliti semua itu, setidaknya bisa kita temukan fakta bahwa
lahirnya otonomi daerah di Indonesia lebih karena perubahan kondisi politik
daripada alasan paradikmatik-empirik. Tahun 1998, masyarakat Indonesia
Otonomi Daerah | 11
merasakan kemuakan atas pemerintahan yang sangat sentralistis dan ingin menuju
pola masyarakat yang lebih menjanjikan kebebasan. Realitasnya, setelah
masyarakat Indonesia berada dalam era otonomi daerah, berbagai problem
bermunculan dan implemenasi atas konsep otonomi itu memunculkan banyak
konflik baik vertikal maupun horizontal.
Dalam paparan singkat ini, penulis ingin memberikan catatan bahwa pelaksanaan
otonomi daerah pada faktanya telah menimbulkan empat problem.
3.2 Dasar Hukum
Otonomi Daerah berpijak pada dasar Perundang-undangan yang kuat, yakni :
1. Undang-undang Dasar
Sebagaimana telah disebut di atas Undang-undang Dasar 1945 merupakan
landasan yang kuat untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pasal 18
UUD menyebutkan adanya pembagian pengelolaan pemerintahan pusat
dan daerah.
2. Ketetapan MPR-RI
Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi
Daerah : Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional
yang berkeadilan, serta perimbangan kekuangan Pusat dan Daerah dalam
rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Undang-Undang
Undang-undang N0.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada
prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih
mengutamakan pelaksanaan asas Desentralisasi. Hal-hal yang mendasar
dalam UU No.22/1999 adalah mendorong untuk pemberdayaan
masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran
masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD.
Dari ketiga dasar perundang-undangan tersebut di atas tidak diragukan lagi bahwa
pelaksanaan Otonomi Daerah memiliki dasar hukum yang kuat. Tinggal
permasalahannya adalah bagaimana dengan dasar hukum yang kuat tersebut
pelaksanaan Otonomi Daerah bisa dijalankan secara optimal.
3.3 Pokok-Pokok Pikiran Otonomi Daerah
Isi dan jiwa yang terkandung dalam pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya
menjadi pedoman dalam penyusunan UU No. 22/1999 dengan pokok-pokok
pikiran sebagai berikut :
Otonomi Daerah | 12
1. Sistim ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip-prinsip
pembagian kewenangan berdasarkan asas konsentrasi dan desentralisasi
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi
adalah daerah propinsi, sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas
desentralisasi adalah daerah Kabupaten dan daerah Kota. Daerah yang
dibentuk dengan asas desentralisasi berwenang untuk menentukan dan
melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat.
3. Pembagian daerah diluar propinsi dibagi habis ke dalam daerah otonom.
Dengan demikian, wilayah administrasi yang berada dalam daerah
Kabupaten dan daerah Kota dapat dijadikan Daerah Otonom atau dihapus.
4. Kecamatan yang menurut Undang-undang Nomor 5 th 1974 sebagai
wilayah administrasi dalam rangka dekonsentrasi, menurut UU No 22/99
kedudukanya diubah menjadi perangkat daerah Kabupaten atau daerah
Kota.
3.4 Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah
Berdasar pada UU No.22/1999 prinsip-prinsip pelaksanaan Otonomi Daerah
adalah sebagai berikut :
1. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan
aspek-aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan
keanekaragaman daerah.
2. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan
bertanggung jawab
3. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah
Kabupaten dan daerah Kota, sedang Otonomi Daerah Propinsi merupakan
Otonomi Terbatas.
4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan Konstitusi negara
sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta
antar daerah.
5. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian
Daerah Otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan daerah Kota
tidak ada lagi wilayah administrasi.
6. Kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain seperti
Badan Otorita, Kawasan Pelabuhan, Kawasan Pertambangan, Kawasan
Kehutanan, Kawasan Perkotaan Baru, Kawasan Wisata dan semacamnya
berlaku ketentuan peraturan Daerah Otonom.
Otonomi Daerah | 13
7. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan
fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi
pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah.
8. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah Propinsi dalam
kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk memelaksanakan
kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur
sebagai wakil Pemerintah.
9. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari
Pemerintah Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana
dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan
pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.
3.5 Problem Otonomi Daerah
Pertama, pudarnya negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, pemimpin negara
adalah atasan para pemimpin di bawahnya. Namun di Indonesia, apakah faktanya
memang demikian? Kenyataannya sangat jauh dari itu. Bagaimanapun para
gubernur, bupati, dan walikota untuk terpilih butuh dukungan partai-partai.
Realitas ini membuat mereka lebih taat pada pimpinan partai yang mendukung
mereka. Undangan pertemuan pemerintah di atasnya sering diabaikan, sementara
undangan pimpinan partai ditanggapi segera, bahkan cepat-cepat berangkat
dengan memakai uang negara. Ini membuat Indonesia seperti mempunyai banyak
presiden. Walaupun para pimpinan partai tidak memerintah, tapi mereka
mengendalikan para gubernur dan kepala daerah yang didukung partai mereka.
Kedua, lemahnya jalur komando. Dalam konsep otonomi daerah, para gubernur
bukan atasan bupati/walikota. Sementara pemerintah pusat membawahi daerah
yang jumlahnya lebih dari empat ratus buah. Di sisi lain, gubernur juga
merupakan jabatan politis yang untuk meraihnya membutuhkan dukungan politik
partai. Seringkali yang terjadi presiden, gubernur, dan bupati/walikota berasal dari
partai yang berbeda. Kiranya, adalah wajar kalau dengan semua itu jalur komando
dari pusat ke daerah menjadi terputus. Kemampuan pusat hanyalah
mengkoordinasikan seluruh pemerintahan di bawahnya, itupun dalam tingkat
koordinasi yang sangat lemah.
Ini mengakibatkan program-program pemerintah pusat tidak berjalan, padahal
banyak program yang sangat penting demi keselamatan rakyat. Alasan Menkes
Siti Fadilah Supari terkait kegagalam penanganan flu burung, dimana instruksi
dan dana dari departemen kesehatan tidak mengalir ke sasaran karena para kepala
daerah tidak mempedulikan (sehingga banyak korban berjatuhan), kiranya cukup
relevan sebagai contoh. Realitasnya NKRI sekarang telah tiada. Yang ada
hanyalah persekutuan ratusan kabupaten dan kota di Indonesia.
Otonomi Daerah | 14
Ketiga, semakin kuatnya konglomeratokrasi. Putusnya jalur komando dalam
pemerintahan di Indonesia terasa sangat ironis jika melihat kekuatan komando di
partai dan perusahaan. Partai dan perusahaan umumnya bersifat sentralistis.
Pimpinan pusat bagaimanapun juga adalah atasan pimpinan di tingkat provinsi.
Dan pimpinan tingkat provinsi adalah atasan pimpinan tingkat daerah. Ini
membuat partai dan perusahaan di Indonesia jauh lebih solid daripada pemerintah.
Partai dan perusahaan lebih terasa sebagai suatu “pihak”. Ini lain dengan
pemerintah yang lebih terasa sebagai “kumpulan” atau bahkan sekedar “tempat
persaingan”. Dengan melihat bahwa pemerintahan di Indonesia terpecah-pecah,
pemimpin pemerintahan butuh dukungan partai, dan partai butuh dana yang
umumnya mengandalkan dukungan para konglomerat, maka bisa disimpulkan
bahwa konglomerat merupakan subjek atas partai dan partai merupakan subjek
atas pemerintah. Ini berarti yang berkuasa di Indonesia adalah para konglomerat.
Realitas ini semakin terasa parahnya jika mengingat bahwa Indonesia sangat
tergantung modal asing dan bahwa kekuatan korporasi di dunia saat ini di atas
negara (sebagaimana dinyatakan Prof. Hertz, dari 100 pemegang kekayaan
terbesar di dunia sekarang 49-nya adalah negara, sementara 51-nya perusahaan;
kekayaan Warren Buffet, orang terkaya di dunia, di atas APBN Indonesia). Bisa
dibayangkan jika di jaman dulu puluhan kerajaan dengan kondisi politiknya yang
“mungkin terpecah” bisa dikuasai oleh VOC (sebuah perusahaan dunia),
bagaimana sekarang ratusan daerah yang umumnya secara politis “sudah
terpecah” menghadapi puluhan VOC baru yang kekuatannya di atas negara? Dari
fakta ini saja sangat bisa dipahami mengapa Indonesia berada dalam cengkeraman
korporatokrasi/konglomeratokrasi.
Keempat, terabaikannya urusan rakyat. Asumsi yang diberlakukan dalam konsep
otonomi daerah adalah rakyat bisa mengurus dirinya sendiri. Pelaksanaan asumsi
ini adalah bahwa para gubernur, bupati, dan walikota, walaupun tidak dalam
komando pemerintah pusat, tetapi dalam kontrol DPRD setempat. Sayangnya,
bagaimanapun juga DPRD mempunyai realitas yang sama dengan para pimpinan
pemerintahan dalam hubungannya dengan partai dan korporasi/konglomerat. Ini
berarti kekuasaan korporasi justru semakin mengakar.
Realitas ini bisa dilihat dari fakta bahwa berbagai parameter keberhasilan adalah
ukuran korporasi, bukan ukuran kesejahteraan rakyat. Padahal, seringkali
hitungan korporasi tidak sesuai dengan hitungan kesejahteraan. Dengan ukuran
pendapatan per kapita (angka yang dibutuhkan korporasi), banyak kabupaten di
Indonesia mempunyai pendapatan per kapita di atas Rp.18 juta per tahun (Rp. 1,5
juta/bulan atau Rp. 6 juta / keluarga). Itu berarti banyak keluarga di Indonesia
yang mempunyai penghasilan di atas keluarga doktor. Kenyataannya, lebih 70 juta
lebih rakyat miskin (angka kemiskinan merupakan hitungan kesejahteraan).
Indonesia memang negeri yang sangat aneh. Berbagai bentuk iklan semakin
megah dan meriah. Tapi jalan-jalan semakin berlubang.
Kiranya, empat problem di atas sudah bisa menggambarkan bagaimana hubungan
antara otonomi daerah dengan munculnya berbagai problem di Indonesia. Dengan
otonomi, harapannya adalah suasana yang lebih bebas dan desentrlistis.
Otonomi Daerah | 15
Kenyataannya, sentralisasi lama dipreteli kekuasaannya untuk masuk sentralisasi
baru, yaitu kekuasaan korporasi/konglomerasi internasional.
3.6 Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia
Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan konsep
dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah, tetapi dalam
perkembangan sejarahnya ide otonomi daerah itu mengalami berbagai perubahan
bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik kalangan elit
politik pada masanya. Apabila perkembangan otonomi daerah dianalisis sejak
tahun 1945, akan terlihat bahwa perubahan-perubahan konsepsi otonomi banyak
ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada saat it. Hal itu terlihat jelas
dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana yang terdapat
dalam UU berikut ini :
1. UU No. 1 tahun 1945
Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan pada
dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan
pusat.
2. UU No. 22 tahun 1948
Mulai tahun ini Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada
desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu
sisi ia punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat
pemerintah pusat.
3. UU No. 1 tahun 1957
Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana
kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih
alat pemerintah pusat.
4. Penetapan Presiden No.6 tahun 1959
Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan dekonsentrasi.
Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat terutama
dari kalangan pamong praja.
5. UU No. 18 tahun 1965
Otonomi Daerah | 16
Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada
desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi
daerah, sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja
6. UU No. 5 tahun 1974
Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman
dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan
dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi
dan tugas perbantuan. Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal Ode
Baru, maka pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 pembangunan
menjadi isu sentral dibanding dengan politik. Pada penerapanya, terasa
seolah-olah telah terjadi proses depolitisasi peran pemerintah daerah dan
menggantikannya dengan peran pembangunan yang menjadi isu nasional.
7. UU No. 22 tahun 1999
Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan pemerintah daerah
sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan dengan mengedapankan otonomi luas, nyata dan
bertanggung jawab.
3.7 Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah
1. Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang
pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta
kewenangan bidang lain.
2. Kewenangan bidang lain tersebut meliputi kebijakan tentang perencanaan
nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana
perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga
perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya
manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang
strategis, konservasi, dan standardisasi nasional.
3. Kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka
desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan
pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai
dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.
4. Kewenangan Pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam
rangka dekonsentrasi harus disertai dengan pembiayaan sesuai dengan
kewenangan yang dilimpahkan tersebut.
5. Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan
dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, serta
kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya.
Otonomi Daerah | 17
6. Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom termasuk juga kewenangan
yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah
Kota.
7. Kewenangan Propinsi sebagai Wilayah Administrasi mencakup
kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada
Gubernur selaku wakil Pemerintah.
8. Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di
wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan Daerah di
wilayah laut meliputi:
o Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut
sebatas wilayah laut tersebut;
o Pengaturan kepentingan administratif;
o Pengaturan tata ruang;
o Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh
daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah;
dan
o Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
9. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di wilayah laut adalah
sejauh sepertiga dari batas laut Daerah Propinsi. Pengaturan lebih lanjut
mengenai batas laut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
10.Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua
kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan seperti
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain yang
mencakup kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian
pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem
administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan
pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam
serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.
11.Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mencakup
kewenangan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Propinsi.
Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten
dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan
kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan,
penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga
kerja.
Otonomi Daerah | 18
12. Pemerintah dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertentu dalam
rangka tugas pembantuan disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta
sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan
mempertanggungjawabkannya kepada Pemerintah. Setiap penugasan
ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
Sumber-sumber Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi
meliputi:
1. PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)
o Hasil pajak daerah
o Hasil restribusi daerah
o Hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan.
• Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah,antara lain hasil
penjualan asset daerah dan jasa giro
2. DANA PERIMBANGAN
o Dana Bagi Hasil
o Dana Alokasi Umum (DAU)
o Dana Alokasi Khusus
3. PINJAMAN DAERAH
o Pinjaman Dalam Negeri
1. Pemerintah pusat
2. Lembaga keuangan bank
3. Lembaga keuangan bukan bank
4. Masyarakat (penerbitan obligasi daerah)
o Pinjaman Luar Negeri
1. Pinjaman bilateral
2. Pinjaman multilateral
Otonomi Daerah | 19
4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah;
o hibah atau penerimaan dari daerah propinsi atau daerah
Kabupaten/Kota lainnya,
o penerimaan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan
Otonomi Daerah | 20
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Proses Otonomi Daerah di Indonesia
Otonomi Daerah di Indonesia dimulai dengan bergulirnya Undang-
Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU
Nomor 25 Tahun 2005 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah yang secara praktis efektif dilaksanakan sejak 1 Januari 2001.
Otonomi Daerah menurut UU ini adalah kewenangan daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundangundangan.
Tahap ini merupakan fase pertama dari pelaksanaan Otonomi Daerah di
Indonesia. Fase kedua Otonomi Daerah ditandai dengan adanya reformasi dalam
kebijakan keuangan negara melalui penetapan tiga peraturan di bidang keuangan
negara. Ketiga peraturan tersebut adalah UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan
UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara.
Telah lebih dari lima tahun reformasi sistem pemerintahan tersebut
berjalan dengan berbagai kendala yang mengiringinya serta pro dan kontra.
Berbagai usaha pun dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan sistem
tersebut. Salah satu upaya tersebut adalah dengan melakukan amandemen UU
Otonomi Daerah.
Proses ini merupakan awal dari fase ketiga dalam proses Otonomi Daerah
di Indonesia. UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 masing-
masing digantikan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah. Otonomi Daerah menurut UU ini adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Filosofi Otonomi Daerah dijabarkan sebagai berikut (Suwandi, 2005):
1. Eksistensi Pemerintah Daerah adalah untuk menciptakan kesejahteraan
secara demokratis
2. Setiap kewenangan yang diserahkan ke daerah harus mampu menciptakan
kesejahteraan dan demokrasi
3. Kesejahteraan dicapai melalui pelayanan publik
4. Pelayanan publik ada yang bersifat pelayanan dasar (basic services) dan
ada yang bersifat pengembangan sektor unggulan (core competence)
5. Core competence merupakan sintesis dari Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB), tenaga kerja dan pemanfaatan lahan
Otonomi Daerah | 21
4.2 Konsep Kebijakan Fiskal Daerah
Desentralisasi tidak hanya terkait dengan model pemerintahan, namun
juga menyangkut paradigma ekonomi yang disebut desentralisasi ekonomi.
Desentralisasi ekonomi mencakup aktivitas dan tanggung jawab ekonomi yang
diimplementasikan pada level daerah. Upaya desentralisasi ekonomi antara lain
liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi.
Berkaitan dengan hal tersebut, desentralisasi fiskal menjadi komponen utama
proses
desentralisasi di Indonesia. Menurut Pakpahan (2006), desentralisasi fiskal
meliputi:
a. Pembiayaan mandiri (self financing) dan cost recovery dalam bidang
pelayanan publik
b. Peningkatan PAD
c. Bagi hasil pajak dan bukan pajak secara lebih tepat
d. Transfer dana ke daerah, utamanya melalui Dana Alokasi Umum (DAU)
dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dengan lebih adil
e. Kewenangan daerah untuk melakukan pinjaman berdasarkan kebutuhan
daerah
Sebagai bagian yang terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan dengan
kebijakan fiskal
nasional, kebijakan fiskal daerah juga harus mempertimbangkan prinsip-prinsip
penganggaran. Terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan dalam penyiapan
anggaran, yaitu hard budget constraint dan soft budget constraint.
Berdasarkan pendekatan hard budget constraint, daerah terlebih dahulu
mengidentifikasi pendapatan (revenues) baru kemudian menentukan pengeluaran.
Sebaliknya, berdasarkan soft budget constraint, pengeluaran diestimasi lebih
dahulu kemudian daerah mengusahakan pendapatan untuk mendanai pengeluaran
tersebut. Dalam pendekatan yang pertama, potensi merupakan pertimbangan
utama, sementara pada pendekatan kedua, kebutuhanlah yang menjadi faktor
dominan (Kadjatmiko, 2006). Untuk menciptakan kesinambungan fiskal daerah,
maka Kadjatmiko (2006) berpendapat bahwa pendekatan hard budget constraint
lebih tepat untuk digunakan.
Pada dasarnya, Otonomi Daerah memiliki tujuh elemen dasar (Suwandi, 2005).
Elemen tersebut adalah kewenangan, kelembagaan, personel, keuangan daerah,
perwakilan, pelayanan publik, dan pengawasan. Sarana untuk mewujudkan
otonomi daerah adalah melalui good governance, penerapan Standar Akuntansi
Pemerintahan (SAP), reformasi sistem pengelolaan keuangan daerah dan
penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM).
4.3 Otonomi Daerah dan Good Governance
Ketiga fase yang dijelaskan tersebut di atas bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan,
pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan daya saing daerah.
Proses ini membutuhkan penerapan prinsip-prinsip good governance yang
menyeluruh dan terpadu. Adapun prinsipprinsip good governance adalah:1
Otonomi Daerah | 22
1. Partisipasi; mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam
menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang
menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Partisipasi bermaksud untuk menjamin agar setiap kebijakan
yang diambil mencerminkan aspirasi masyarakat. Dalam rangka
mengantisipasi berbagai isu yang ada, Pemerintah Daerah menyediakan
saluran komunikasi agar masyarakat dapat mengutarakan pendapatnya.
Jalur komunikasi ini meliputi pertemuan umum, temu wicara, konsultasi
dan penyampaian pendapat secara tertulis. Bentuk lain untuk merangsang
keterlibatan masyarakat adalah melalui perencanaan partisipatif untuk
menyiapkan agenda pembangunan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan
secara partisipatif dan mekanisme konsultasi untuk menyelesaikan isu
sektoral.
2. Penegakan hukum; mewujudkan adanya penegakan hukum yang adil bagi
semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan
memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Berdasarkan
kewenangannya, Pemerintah Daerah harus mendukung tegaknya
supremasi hukum dengan melakukan berbagai penyuluhan peraturan
perundangundangan dan menghidupkan kembali nilai-nilai dan norma-
norma yang berlaku di masyarakat. Di samping itu Pemerintah Daerah
perlu mengupayakan adanya peraturan daerah yang bijaksana dan efektif,
serta didukung penegakan hukum yang adil dan tepat. Pemerintah Daerah,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) maupun masyarakat perlu
menghilangkan kebiasaan yang dapat menimbulkan Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN).
3. Transparansi; menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah
dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan
dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Informasi adalah
suatu kebutuhan penting masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pengelolaan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah Daerah
perlu proaktif memberikan informasi lengkap tentang kebijakan dan
layanan yang disediakannya kepada masyarakat. Pemerintah Daerah perlu
mendayagunakan berbagai jalur komunikasi seperti melalui brosur, leaflet,
pengumuman melalui koran, radio serta televisi lokal. Pemerintah Daerah
perlu menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara mendapatkan
informasi. Kebijakan ini akan memperjelas bentuk informasi yang dapat
diakses masyarakat ataupun bentuk informasi yang bersifat rahasia,
bagaimana cara mendapatkan informasi, lama waktu mendapatkan
informasi serta prosedur pengaduan apabila informasi tidak sampai kepada
masyarakat.
4. Kesetaraan; memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat
untuk meningkatkan kesejahteraannya. Tujuan dari prinsip ini adalah
untuk menjamin agar kepentingan pihak-pihak yang kurang beruntung,
seperti mereka yang miskin dan lemah, tetap terakomodasi dalam proses
pengambilan keputusan. Perhatian khusus perlu diberikan kepada kaum
minoritas agar mereka tidak tersingkir. Selanjutnya kebijakan khusus akan
disusun untuk menjamin adanya kesetaraan terhadap wanita dan kaum
minoritas baik dalam lembaga eksekutif dan legislatif.
Otonomi Daerah | 23
5. Daya tanggap; meningkatkan kepekaan para penyelenggara pemerintahan
terhadap aspirasi masyarakat, tanpa kecuali. Pemerintah Daerah perlu
membangun jalur komunikasi untuk menampung aspirasi masyarakat
dalam hal penyusunan kebijakan. Ini dapat berupa forum masyarakat, talk
show, layanan hotline, prosedur komplain. Sebagai fungsi pelayan
masyarakat, Pemerintah Daerah akan mengoptimalkan pendekatan
kemasyarakatan dan secara periodik mengumpulkan pendapat masyarakat.
6. Wawasan ke depan; membangun daerah berdasarkan visi dan strategi yang
jelas dan mengikutsertakan warga dalam seluruh proses pembangunan,
sehingga warga merasa memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap
kemajuan daerahnya. Tujuan penyusunan visi dan strategi adalah untuk
memberikan arah pembangunan secara umun sehingga dapat membantu
dalam penggunaan sumberdaya secara lebih efektif. Untuk menjadi visi
yang dapat diterima secara luas, visi tersebut perlu disusun secara terbuka
dan transparan, dengan didukung dengan partisipasi masyarakat,
kelompok-kelompok masyarakat yang peduli, serta kalangan dunia usaha.
Pemerintah Daerah perlu proaktif mempromosikan pembentukan forum
konsultasi masyarakat, serta membuat berbagai produk yang dapat
digunakan oleh masyarakat.
7. Akuntabilitas; meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan
dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat luas.
Seluruh pembuat kebijakan pada semua tingkatan harus memahami bahwa
mereka harus mempertanggungjawabkan hasil kerja kepada masyarakat.
Untuk mengukur kinerja mereka secara obyektif perlu adanya indikator
yang jelas. Sistem pengawasan perlu diperkuat dan hasil audit harus
dipublikasikan, dan apabila terdapat kesalahan harus diberi sanksi.
8. Pengawasan; meningkatkan upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan
swasta dan masyarakat luas. Pengawasan yang dilakukan oleh lembaga
berwenang perlu memberi peluang bagi masyarakat dan organisasi
masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pemantauan, evaluasi, dan
pengawasan kerja, sesuai bidangnya. Walaupun demikian tetap diperlukan
adanya auditor independen dari luar dan hasil audit perlu dipublikasikan
kepada masyarakat.
9. Efisiensi dan efektifitas; menjamin terselenggaranya pelayanan kepada
masyarakat dengan mengunakan sumber daya yang tersedia secara optimal
dan bertanggungjawab. Pelayanan masyarakat harus mengutamakan
kepuasan masyarakat, dan didukung mekanisme penganggaran serta
pengawasan yang rasional dan transparan. Lembagalembaga yang
bergerak di bidang jasa pelayanan umum harus menginformasikan tentang
biaya dan jenis pelayananya. Untuk menciptakan efisiensi harus
digunakanteknik manajemen modern untuk administrasi kecamatan dan
perlu ada desentralisasi kewenangan layanan masyarakat sampai tingkat
keluruhan/desa.
10. Profesionalisme; meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara
pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat
dengan biaya yang terjangkau. Tujuannya adalah menciptakan birokrasi
profesional yang dapat efektif memenuhi kebutuhan masyarakat. Ini perlu
Otonomi Daerah | 24
didukung dengan mekanisme penerimaan staf yang efektif, sistem
pengembangan karir dan pengembangan staf yang efektif, penilaian,
promosi, dan penggajian staf yang wajar. Penerapan Otonomi Daerah
dengan mengacu pada prinsip-prinsip good governance tersebut difasilitasi
oleh Pemerintah Pusat dengan meningkatkan alokasi Anggaran
Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) yang disalurkan ke daerah.
Secara umum, sumber pendapatan daerah terutama berasal dari:
1. Dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum, Dana
Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) pajak dan sumber
daya alam
2. Pendapatan Asli Daerah (PAD), terutama yang berasal dari pajak dan
retribusi daerah.
Dari kedua sumber pendapatan daerah tersebut masih didominasi oleh Dana
Perimbangan. Dana Perimbangan tersebut jumlahnya cenderung selalu meningkat
sejak digulirkan pada tahun 2001 baik dilihat dari nilai nominal maupun dari
persentasenya terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dan pendapatan
domestik neto (PDN). Tabel 1 menunjukkan pekembangan Dana Perimbangan
tahun 2003-2006. DAU adalah komponen Dana Perimbangan yang paling besar.
DAU merupakan transfer dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang
berbentuk block grant. DAU dihitung berdasarkan formula kesenjangan fiskal
(selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal daerah). Sejak tahun 2001,
formula DAU telah mengalami beberapa kali perubahan. Formula DAU untuk
tahun 2006 disusun berdasarkan UU No. 33/2004 ditunjukkan oleh Gambar 1.
DAU masih menjadi sumber utama pembiayaan belanja daerah. Secara rata-rata,
persentase DAU terhadap APBD berkisar antara 70-80 persen.
Dana Perimbangan lainnya adalah Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK
merupakan dana yang
bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan
untuk
membantu daerah dalam membiayai:
1. Kebutuhan khusus (UU No. 25 Tahun 2000 dan PP No. 104 Tahun 2000)
2. Kegiatan khusus (UU No. 33 Tahun 2004, PP No. 55 Tahun 2005, dan
Nota Keuangan dan RAPBN 2006)
DAK berbentuk specific grant. Kebutuhan dan kegiatan khusus yang dapat
dibiayai dari dana tersebut adalah segala urusan daerah yang sesuai dengan
prioritas nasional. Hal-hal yang termasuk kebutuhan khusus yaitu:
1. kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan menggunakan formula alokasi
umum dan/atau kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas
nasional
2. kebutuhan untuk membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh
daerah penghasil.
Otonomi Daerah | 25
BAB V
SIMPULAN
Seiring dengan kemajuan dalam berbagai bidang/sektor yang sudah
menjamur diwilayah khususnya Indonesia, baik itu dari sektor industri, pertanian,
peternakan, perikanan, perkebunan dan sebagainya, maka persaingan pun akan
menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh sebuah wilayah untuk mewujudkan
suatu daerah yang otonom.
Oleh karena itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya-
upaya yang akan menjadi sasaran atau pedoman dalam peningkatan mutu dan
sekaligus dapat berpengaruh terhadap kelancaran suatu daerah yang otonom.
Beberapa hal tersebut diantaranya yaitu:
1. Adanya dasar hukum yang menjadi landasan dalam mewujudkan suatu
program otonomi daerah.
2. Tersedianya sumber daya manusia(SDM) yang berkualitas dan sumber
daya alam(SDA) yang memadai guna lancarnya otonomi tersebut.
3. Harus memperhatikan arah/sasaran dan tujuan yang akan dicapai.
4. Kehidupan berpolitik.
diantaranya yaitu:
• Demokrasi pancasila dan Partisipasi masyarakat
• Kehidupan konstitusional Baik :
• Demokrasi
• Hukum
• Kepemimpinan nasional
• Fungsi lembaga tinggi negara
• Dan lembaga-lembaga tinggi negara
5. Hak dan kewajiban wewenang dan tanggung jawab sebagai warga negara
Indonesia.
Otonomi Daerah | 26
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Rusdi, 2007, “Indikator Kinerja dengan Model Matriks Kinerja”,
dipresentasikan dalam Pelatihan Pengelolaan Keuangan Daerah, World Bank
Institute, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas
Gadjah Mada (PPE-FEUGM), dan Politik Lokal dan Otonomi Daerah (PLOD),
Yogyakarta, 26-27 Januari.
Asian Development Bank, 2005, “Capacity Building to Support Decentralization
in Indonesia”, Technical Assistance Performance Evaluation Report.
Benu, Fredrik, 2006, “Anggaran Berbasis Kinerja”, dipresentasikan dalam
Financial Management Training in Indonesia, Balikpapan, Departemen
Keuangan RI, Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und
Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FE-UGM.
Campos, Jose Edgardo dan Joel S. Hellman, 2005, “Governance Gone Local:
Does Decentalization Improve Accountability?”, East Asia Decentralized, Bank
Dunia, Washington D.C.
Departemen Keuangan RI, 2006, Penjelasan Umum tentang Standar Biaya Tahun
2007, Disampaikan dalam Sosialisasi Standar Biaya Tahun 2007 kepada Unit
Eselon I Kementerian/Lembaga, Jakarta, 2 November.
Kadjatmiko, 2006, “Local Fiscal Policy”, Budget Performance: Capacity
Building for Effective Public Finance, Departemen Keuangan RI,
Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ,
InWEnt, dan PPE-FE-UGM.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman
Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata
Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan
Penyusunan Perhitungan APBD.
Kristiadi, J.B., 2006, “Preface”, Budget Performance: Capacity Building for
Effective Public Finance, Departemen Keuangan RI, Bundesministerium für
wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FE-
UGM.
Pakpahan, Arlen T., 2006, “Local Financial and Business Climate”, Budget
Accountability, Reporting, and Auditing, Departemen Keuangan RI,
Otonomi Daerah | 27
Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ,
InWEnt, dan PPE-FE-UGM, 8-11 Mei 2006, Yogyakarta.
Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Universitas Gadjah Mada, 2005,
“Strengthening Core Local Government Competencies”, Modul Pelatihan.
Otonomi Daerah | 28

More Related Content

What's hot

Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah dinamika dan probl...
Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan probl...Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan probl...
Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah dinamika dan probl...
Researcher Syndicate68
 
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...
Oswar Mungkasa
 
Kumpulan pertanyaan otonomi
Kumpulan pertanyaan otonomiKumpulan pertanyaan otonomi
Kumpulan pertanyaan otonomi
Arya D Ningrat
 
Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang
Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer MalangMakalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang
Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang
Aulia Hamunta
 
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan PencapaianDesentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
Isnu Rahadi Wiratama
 
MAKALAH KEUANGAN DAERAH
MAKALAH KEUANGAN DAERAHMAKALAH KEUANGAN DAERAH
MAKALAH KEUANGAN DAERAHRAMASYAFARADI
 
Pemerintah Pusat dan Daerah
Pemerintah Pusat dan DaerahPemerintah Pusat dan Daerah
Pemerintah Pusat dan Daerah
Darvin Try Ananda
 
Makalah hukum administrasi negara
Makalah hukum administrasi negaraMakalah hukum administrasi negara
Makalah hukum administrasi negara
Nina Ruspina
 
Desain Penataan Daerah: Pemekaran dan Penggabungan
Desain Penataan Daerah: Pemekaran dan PenggabunganDesain Penataan Daerah: Pemekaran dan Penggabungan
Desain Penataan Daerah: Pemekaran dan Penggabungan
Dadang Solihin
 
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia Dadang Solihin
 
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Penataan Ruang
 
UU no 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
UU no 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan DaerahUU no 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
UU no 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Suprijanto Rijadi
 
Paparan menteri dn
Paparan menteri dnPaparan menteri dn
Paparan menteri dn
Joseph Sitepu
 
Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap p...
Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap p...Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap p...
Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap p...
Researcher Syndicate68
 
Hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
Hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerahHubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
Hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
natal kristiono
 
Pengelolaan Keuangan Negara
Pengelolaan Keuangan NegaraPengelolaan Keuangan Negara
Pengelolaan Keuangan Negara
Sujatmiko Wibowo
 
Pokok-pokok Pikiran Anggota DPRD dalam Perencanaan Pembangunan Daerah
Pokok-pokok Pikiran Anggota DPRD dalam Perencanaan Pembangunan DaerahPokok-pokok Pikiran Anggota DPRD dalam Perencanaan Pembangunan Daerah
Pokok-pokok Pikiran Anggota DPRD dalam Perencanaan Pembangunan Daerah
Dadang Solihin
 
Tugas dan Fungsi DPRD dalam Pembangunan Daerah
Tugas dan Fungsi DPRD  dalam Pembangunan Daerah Tugas dan Fungsi DPRD  dalam Pembangunan Daerah
Tugas dan Fungsi DPRD dalam Pembangunan Daerah
Dadang Solihin
 
Makalah sistem pemerintahan daerah
Makalah sistem pemerintahan daerahMakalah sistem pemerintahan daerah
Makalah sistem pemerintahan daerah
Septian Muna Barakati
 
Prinsip Perencanaan Pembangunan Daerah
Prinsip Perencanaan Pembangunan Daerah Prinsip Perencanaan Pembangunan Daerah
Prinsip Perencanaan Pembangunan Daerah
Dadang Solihin
 

What's hot (20)

Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah dinamika dan probl...
Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan probl...Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan probl...
Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah dinamika dan probl...
 
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...
 
Kumpulan pertanyaan otonomi
Kumpulan pertanyaan otonomiKumpulan pertanyaan otonomi
Kumpulan pertanyaan otonomi
 
Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang
Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer MalangMakalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang
Makalah Desentralisasi dan Otonomi Daerah. FISIP Unmer Malang
 
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan PencapaianDesentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
 
MAKALAH KEUANGAN DAERAH
MAKALAH KEUANGAN DAERAHMAKALAH KEUANGAN DAERAH
MAKALAH KEUANGAN DAERAH
 
Pemerintah Pusat dan Daerah
Pemerintah Pusat dan DaerahPemerintah Pusat dan Daerah
Pemerintah Pusat dan Daerah
 
Makalah hukum administrasi negara
Makalah hukum administrasi negaraMakalah hukum administrasi negara
Makalah hukum administrasi negara
 
Desain Penataan Daerah: Pemekaran dan Penggabungan
Desain Penataan Daerah: Pemekaran dan PenggabunganDesain Penataan Daerah: Pemekaran dan Penggabungan
Desain Penataan Daerah: Pemekaran dan Penggabungan
 
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia
 
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
 
UU no 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
UU no 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan DaerahUU no 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
UU no 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
 
Paparan menteri dn
Paparan menteri dnPaparan menteri dn
Paparan menteri dn
 
Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap p...
Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap p...Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap p...
Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap p...
 
Hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
Hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerahHubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
Hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
 
Pengelolaan Keuangan Negara
Pengelolaan Keuangan NegaraPengelolaan Keuangan Negara
Pengelolaan Keuangan Negara
 
Pokok-pokok Pikiran Anggota DPRD dalam Perencanaan Pembangunan Daerah
Pokok-pokok Pikiran Anggota DPRD dalam Perencanaan Pembangunan DaerahPokok-pokok Pikiran Anggota DPRD dalam Perencanaan Pembangunan Daerah
Pokok-pokok Pikiran Anggota DPRD dalam Perencanaan Pembangunan Daerah
 
Tugas dan Fungsi DPRD dalam Pembangunan Daerah
Tugas dan Fungsi DPRD  dalam Pembangunan Daerah Tugas dan Fungsi DPRD  dalam Pembangunan Daerah
Tugas dan Fungsi DPRD dalam Pembangunan Daerah
 
Makalah sistem pemerintahan daerah
Makalah sistem pemerintahan daerahMakalah sistem pemerintahan daerah
Makalah sistem pemerintahan daerah
 
Prinsip Perencanaan Pembangunan Daerah
Prinsip Perencanaan Pembangunan Daerah Prinsip Perencanaan Pembangunan Daerah
Prinsip Perencanaan Pembangunan Daerah
 

Viewers also liked

Makalah otonomi daerah
Makalah otonomi daerahMakalah otonomi daerah
Makalah otonomi daerah
Sentra Komputer dan Foto Copy
 
Otonomi Daerah - Makalah
Otonomi Daerah - MakalahOtonomi Daerah - Makalah
Otonomi Daerah - Makalah
Amalia Dekata
 
Tsunami
TsunamiTsunami

Viewers also liked (6)

Makalah wewenang pemerintah daerah
Makalah wewenang pemerintah daerahMakalah wewenang pemerintah daerah
Makalah wewenang pemerintah daerah
 
Makalah otonomi daerah
Makalah otonomi daerahMakalah otonomi daerah
Makalah otonomi daerah
 
Makalah wewenang pemerintah daerah
Makalah wewenang pemerintah daerahMakalah wewenang pemerintah daerah
Makalah wewenang pemerintah daerah
 
Otonomi Daerah - Makalah
Otonomi Daerah - MakalahOtonomi Daerah - Makalah
Otonomi Daerah - Makalah
 
Tsunami
TsunamiTsunami
Tsunami
 
Tsunami powerpoint
Tsunami powerpointTsunami powerpoint
Tsunami powerpoint
 

Similar to Makalah otonomi daerah

Otonomi daerah dan demokrasi
Otonomi daerah dan demokrasiOtonomi daerah dan demokrasi
Otonomi daerah dan demokrasimaneicon22
 
Otonomi daerah
Otonomi daerahOtonomi daerah
Otonomi daerah
Sherly Anggraini
 
Makalah sistem pemerintahan 2
Makalah sistem pemerintahan 2Makalah sistem pemerintahan 2
Makalah sistem pemerintahan 2
Septian Muna Barakati
 
Pelaksanaan otonomi daerah
Pelaksanaan otonomi daerahPelaksanaan otonomi daerah
Pelaksanaan otonomi daerah
Operator Warnet Vast Raha
 
Otonomi daerah dalam sistem ketatanegaraan ri
Otonomi daerah dalam sistem ketatanegaraan riOtonomi daerah dalam sistem ketatanegaraan ri
Otonomi daerah dalam sistem ketatanegaraan riAhmad Solihin
 
Nama kelompok 4
Nama kelompok 4Nama kelompok 4
Nama kelompok 4
apotek agam farma
 
Masalah hukum dan Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Konteks Otonomi Dareah
Masalah hukum dan Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Konteks Otonomi DareahMasalah hukum dan Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Konteks Otonomi Dareah
Masalah hukum dan Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Konteks Otonomi Dareah
Miftah Ridho
 
Presentasi pkn
Presentasi pknPresentasi pkn
Presentasi pkn
Lusiana Diyan
 
Otonomi Daerah di Indonesia
Otonomi Daerah di IndonesiaOtonomi Daerah di Indonesia
Otonomi Daerah di Indonesia
HIA Class.
 
Makalah Hak dan Kewajiban Warga Negara
Makalah Hak dan Kewajiban Warga NegaraMakalah Hak dan Kewajiban Warga Negara
Makalah Hak dan Kewajiban Warga NegaraDewi Zulaeva
 
Makalah
MakalahMakalah
MATERI PKN KELAS X.pptx
MATERI PKN KELAS X.pptxMATERI PKN KELAS X.pptx
MATERI PKN KELAS X.pptx
SwadikapNgap
 
Otonomi Daerah.pdf
Otonomi Daerah.pdfOtonomi Daerah.pdf
Otonomi Daerah.pdf
Zukét Printing
 
Otonomi Daerah.docx
Otonomi Daerah.docxOtonomi Daerah.docx
Otonomi Daerah.docx
Zukét Printing
 

Similar to Makalah otonomi daerah (20)

Otonomi daerah dan demokrasi
Otonomi daerah dan demokrasiOtonomi daerah dan demokrasi
Otonomi daerah dan demokrasi
 
Otonomi daerah
Otonomi daerahOtonomi daerah
Otonomi daerah
 
Makalah sistem pemerintahan 2
Makalah sistem pemerintahan 2Makalah sistem pemerintahan 2
Makalah sistem pemerintahan 2
 
Makalah sistem pemerintahan 2
Makalah sistem pemerintahan 2Makalah sistem pemerintahan 2
Makalah sistem pemerintahan 2
 
Makalah sistem pemerintahan daerah
Makalah sistem pemerintahan daerahMakalah sistem pemerintahan daerah
Makalah sistem pemerintahan daerah
 
otonomi daerah
otonomi daerahotonomi daerah
otonomi daerah
 
Pelaksanaan otonomi daerah
Pelaksanaan otonomi daerahPelaksanaan otonomi daerah
Pelaksanaan otonomi daerah
 
Otonomi daerah dalam sistem ketatanegaraan ri
Otonomi daerah dalam sistem ketatanegaraan riOtonomi daerah dalam sistem ketatanegaraan ri
Otonomi daerah dalam sistem ketatanegaraan ri
 
Nama kelompok 4
Nama kelompok 4Nama kelompok 4
Nama kelompok 4
 
Makalah sistem pemerintahan daerah
Makalah sistem pemerintahan daerahMakalah sistem pemerintahan daerah
Makalah sistem pemerintahan daerah
 
Masalah hukum dan Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Konteks Otonomi Dareah
Masalah hukum dan Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Konteks Otonomi DareahMasalah hukum dan Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Konteks Otonomi Dareah
Masalah hukum dan Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Konteks Otonomi Dareah
 
Presentasi pkn
Presentasi pknPresentasi pkn
Presentasi pkn
 
Otonomi Daerah di Indonesia
Otonomi Daerah di IndonesiaOtonomi Daerah di Indonesia
Otonomi Daerah di Indonesia
 
Makalah Hak dan Kewajiban Warga Negara
Makalah Hak dan Kewajiban Warga NegaraMakalah Hak dan Kewajiban Warga Negara
Makalah Hak dan Kewajiban Warga Negara
 
Makalah
MakalahMakalah
Makalah
 
MATERI PKN KELAS X.pptx
MATERI PKN KELAS X.pptxMATERI PKN KELAS X.pptx
MATERI PKN KELAS X.pptx
 
Otonomi daerah
Otonomi daerahOtonomi daerah
Otonomi daerah
 
Otonomi Daerah.pdf
Otonomi Daerah.pdfOtonomi Daerah.pdf
Otonomi Daerah.pdf
 
Makalah otonomi daerah 2
Makalah otonomi daerah 2Makalah otonomi daerah 2
Makalah otonomi daerah 2
 
Otonomi Daerah.docx
Otonomi Daerah.docxOtonomi Daerah.docx
Otonomi Daerah.docx
 

Makalah otonomi daerah

  • 1. MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN OTONOMI DAERAH Dosen Pengasuh : Zakir Has, M.Pd. Disusun oleh: • SYABDAN DALIMUNTHE • AR . WAHYU PRADANA • ADI PURNOMO S • ADITYA PRATAMA JURUSAN TEKNIK PERANGKAT LUNAK UNIVERSITAS ISLAM RIAU Otonomi Daerah | 1
  • 2. 2013 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebagai respon atas tuntutan reformasi pemerintah dengan cukup cepat telah mela-kukan penambahan yang cukup mendasar atas berbagai UU dalam bidang politik dari yang berwatak sentralistisotoritarian ke otonomi-demokratis. Setelah berhasil menyusun tiga UU bidang politik yang menjadi landasan pelaksanaan pemilu tahun 1999 pemerintah segera menyusulinya dengan UU baru dalam bidang politik khusus mengenai hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah yakni UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Perubahan hukum tentang hubungan antara Pusat dan Daerah ini menyangkut masalah yang sangat mendasar dalam hubungan kekuasaan (gezagverhouding) yang selama era Orde Baru sangat timpang karena hampir seluruh kekuasaan bertumpu di tangan pemerintah Pusat tepatnya di tangan Presiden. Pembaharuan hukum tentang otonomi daerah ini menjadi kehamsan paling tidak dua alasan. Pertama, demokratisasi yang salah satu implementasinya adalah perluasan otonomi daerah menjadi tuntutan era global karena demokratisasi menjadi salah satu dari lima hati nurani global (global conciousnes) Kedua, pengalaman Indonesia dengan sistem otoriter yang mengabaikan otonomi daerah terbukti telah menyimpan api yang kemudian menyulut lahimya kritis politik, bahkan yang terjadi belakangan ini krisis politik telah. memancing fenomena disintegrasi. Demokrasi dan Otonomi Ketika para pendiri negara Republik Indonesia bersepakat untuk mendirikan sebuah negara berdasar prinsip demokrasi maka dengan sendirinya prinsip otonomi daerah juga menyertainya. Hal ini menjadi niscaya karena salah satu tuntutan penting bagi sebuah sistem demokrasi adalah adanya pemencaran kekuasaan baik secara horizontal (ke samping) tinggi negara yang sejajar seperti DPR, Presiden, BPK, MA, dan DPA, sedangkan pemencaran hodsontal ditandai oleh adanya desentralisasi dan otonomi daerah. Bahwa adanya desentralisasi dan Otonomi Daerah | 2
  • 3. otonomi daerah diyakini oleh Bapak-bapak pendiri negara Republik Indonesia sebagai bagian dari pelaksanaan demokrasi dapat dipahami dari pemyataan Hatta bahwa: “Menurut dasar kedaulatan rakyat itu, hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak hanya ada pada pucuk pemerintahan negeri, melainkan juga pada tiap tempat, di kota, di desa, dan di daerah...Dengan keadaan yang demikian, maka tiap-tiap bagian atau golongan rakyat mendapat autonomi (membuat dan menjalankan peraturan-peraturan sendiri) dan Zelfgbestuur (menjalankan peraturan peraturan yang dibuat oleh Dewan yang lebih tinggi) ... Keadaan yang seperti itu penting sekali, karena keperluan tiap-tiap tempat dalam satu negeri tidak sama, melainkan berlain-lain”. (Hatta, 1976 : 103). Dari apa yang dikemukakan Hatta menjadi jelas bahwa prinsip otonomi harus menjadi salah satu salah satu sendi susunan pemerintahan yang demokratis agar ada jaminan kebebasan bagi warganya untuk menyalurkan aspirasi politik. Ini sejalan dengan apa yang dikutip Robert Rienow (1966 : 573) dari Tocqueville yang mengatakan juga bahwa suatu negara merdeka yang tidak membangun institusi pemerintahan di tingkat daerah adalah pemerintahan yang tidak membangun semangat kedaulatan rakyat sebab didalamnya tidak ada kebebasan. Salah satu karakter menonjol dari demokrasi, kata Toqcueville, adalah adanya kebebasan sehingga alasan pokok dibangunnya pemerintahan di tingkat daerah minimal ada dua macam : pertama, membiasakan rakyat untuk merumuskan sendiri persoalan-persoalan di daerahnya sekaligus mencari pemecahannya; kedua, memberi kesempatan kepada masing-masing komunitas yang mempunyai tuntutan beragam untuk membuat aturan dan programnya sendiri. Bagir Manan (1994) dalam konteks ini mengatakan bahwa ada tiga faktor yang menunjukkan kaitan erat antara demokrasi dan otonomi daerah : pertama, untuk mewujudkan prinsip kebebasan {liberty) kedua, untuk membiasakan rakyat berupaya untuk mampu memutuskan sendiri berbagai kepentingan yang berkaitan langsung dengan dirinya; ke-tiga, untuk memberikan pelayanan yang maksimal terhadap masyarakat yang mempunyai tuntutan dan kebutuhan beragam. Meskipun begitu memang tidak dapat dipungkiri begitu saja kenyataan bahwa di negara yang menganut sistem sentralisasi pun mungkin dapat tumbuh demokrasi, namun adanya otonomi daerah dan desentralisasi akan jauh lebih menjamin tumbuhnya demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya. (Kelsen, 1973 : 312). Atas dasar pemikiran yang demikianlah dapat dipahami bahwa undang-undang yang pertama kali lahir di negara Republik Indonesia adalah UU tentang otonomi daerah yakni UU No. 1 Tahun 1945. 1.2 Tujuan Umum Otonomi Daerah | 3
  • 4. Tujuan umum dari makalah ini adalah agar pembaca dapat mengetahui dan memperluas pengetahuan, bahwa Otonomi Daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 1.3 Tujuan Khusus Dapat kami paparkan tujuan-tujuan khusus Otonomi Daerah, diantaranya: - Mengetahui masalah-masalah yang menjadi kewenangan atau acuan program suatu daerah dalam meningkatkan produktivitas dalam bidang tertentu. - Mengetahui sejauh mana arah dan sasaran suatu daerah dalam pencapaian menuju sutu daerah yang otonom. - Mengetahui tingkat keberhasilan dalam pencapaian program/bidang tertentu sehingga suatu daerah bisa menjadi daerah otonom. Otonomi Daerah | 4
  • 5. BAB II Landasan Teori 2.1 Pengertian Otonomi Daerah Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah". Dengan demikian pengertian secara istilah "otonomi daerah" adalah "wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri." Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya. Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi. Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang- bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman. Apa hubungan antara otonomi daerah dan kesejahteraan? Mengapa dalam era otonomi daerah sekarang justru kemiskinan sangat merajalela? Sebagaimana dinyatakan Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia mencakup lebih dari 70 juta jiwa. Lantas apakah berarti otonomi daerah justru berkorelasi negatif terhadap kesejahteraan? Sebelum kita meneliti semua itu, setidaknya bisa kita temukan fakta bahwa lahirnya otonomi daerah di Indonesia lebih karena perubahan kondisi politik daripada alasan paradikmatik-empirik. Tahun 1998, masyarakat Indonesia merasakan kemuakan atas pemerintahan yang sangat sentralistis dan ingin menuju pola masyarakat yang lebih menjanjikan kebebasan. Realitasnya, setelah masyarakat Indonesia berada dalam era otonomi daerah, berbagai Otonomi Daerah | 5
  • 6. problem bermunculan dan implemenasi atas konsep otonomi itu memunculkan banyak konflik baik vertikal maupun horizontal. Dalam paparan singkat ini, penulis ingin memberikan catatan bahwa pelaksanaan otonomi daerah pada faktanya telah menimbulkan empat problem. 2.2 Otonomi, Desentralisasi Kewenangan dan Integrasi Nasional Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi itu,kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya, sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat, maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah. Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini dinilai sangat penting terutama untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya. Karena dalam sistem yang berlaku sebelumnya, sangat dirasakan oleh daerah-daerah besarnya jurang ketidakadilan struktural yang tercipta dalam hubungan antara pusat dan daerah-daerah. Untuk menjamin agar perasaan diperlakukan tidak adil yang muncul di berbagai daerah seluruh Indonesia tidak makin meluas dan terus meningkat yang pada gilirannya akan sangat membahayakan integrasi nasional, maka kebijakan otonomi daerah ini dinilai mutlak harus diterapkan dalam waktu yang secepat-cepatnya sesuai dengan tingkat kesiapan daerah sendiri. Bahkan, TAP MPR tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah No.IV/MPR/2000 menegaskan bahwa daerah-daerah tidak perlu menunggu petunjuk dan aturan-aturan dari pusat untuk menyelenggarakan otonomi daerah itu sebagaimana mestinya. Sebelum dikeluarkannya peraturan yang diperlukan dari pusat, pemerintahan daerah dapat menentukan sendiri pengaturan mengenai soal-soal yang bersangkutan melalui penetapan Peraturan Daerah. Setelah peraturan pusat yang dimaksud ditetapkan,barulah peraturan daerah tersebut disesuaikan sebagaimana mestinya, sekedar untuk itu memang perlu diadakan penyesuaian. Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan tidak hanya menyangkut pengalihan kewenangan dari atas ke bawah, tetapi pada pokoknya juga perlu diwujudkan atas dasar keprakarsaan dari bawah untuk mendorong tumbuhnya kemandirian pemerintahan daerah sendiri sebagai faktor yang menentukan keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu. Dalam kultur masyarakat kita yang paternalistik, kebijakan desentralisasi dan Otonomi Daerah | 6
  • 7. otonomi daerah itu tidak akan berhasil apabila tidak dibarengi dengan upaya sadar untuk membangun keprakarsaan dan kemandirian daerah sendiri. 2.3 Otonomi, Dekonsentrasi Kekuasaan dan Demokratisasi Otonomi daerah kadang-kadang hanya dipahami sebagai kebijakan yang bersifat institutional belaka yang hanya dikaitkan dengan fungsi-fungsi kekuasaan organ pemerintahan. Oleh karena itu, yang menjadi perhatian hanyalah soal pengalihan kewenangan pemerintahan dari tingkat pusat ke tingkat daerah. Namun, esensi kebijakan otonomi daerah itu sebenarnya berkaitan pula dengan gelombang demokratisasi yang berkembang luas dalam kehidupan nasional bangsa kita dewasa ini. Pada tingkat suprastruktur kenegaraan maupun dalam rangka restrukturisasi manajemen pemerintahan, kebijakan otonomi daerah itu dikembangkan seiring dengan agenda dekonsentrasi kewenangan. Jika kebijakan desentralisasi merupakan konsep pembagian kewenangan secara vertikal, maka kebijakan dekonsentrasi pada pokoknya merupakan kebijakan pembagian kewenangan birokrasi pemerintahan secara horizontal. Kedua- duanya bersifat membatasi kekuasaan dan berperan sangat penting dalam rangka menciptakan iklim kekuasaan yang makin demokratis dan berdasar atas hukum. Oleh karena itu, kebijakan otonomi daerah itu tidak hanya perlu dilihat kaitannya dengan agenda pengalihan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi juga menyangkut pengalihan kewenangan dari pemerintahan ke masyarakat. Justru inilah yang harus dilihat sebagai esensi pokok dari kebijakan otonomi daerah itu dalam arti yang sesungguhnya. Otonomi daerah berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah yang diharapkan dapat terus tumbuh dan berkembang keprakarsaan dan kemandiriannya dalam iklim demokrasi dewasa ini.Jika kebijakan otonomi daerah tidak dibarengi dengan peningkatan kemandirian dan keprakarsaan masyarakat di daerah-daerah sesuai tuntutan alam demokrasi, maka praktek- praktek kekuasaan yang menindas seperti yang dialami dalam sistem lama yang tersentralisasi, akan tetap muncul dalam hubungan antara pemerintahan di daerah dengan masyarakatnya. Bahkan kehawatiran bahwa sistem otonomi pemerintahan daerah itu justru dapat menimbulkan otoritarianisme pemerintahan lokal di seluruh Indonesia. Para pejabat daerah yang sebelumnya tidak memiliki banyak kewenangan dalam waktu singkat tiba- tiba mendapatkan kekuasaan dan kesempatan yang sangat besar yang dalam waktu singkat belum tentu dapat dikendalikan sebagaimana mestinya.Dalam keadaan demikian, maka sesuai dengan dalil Lord Acton bahwa ‘power tendsto corrupt and absolute power corrupts absolutely’, timbul kehawatiran bahwa iklim penindasan dan praktek-praktek kezaliman yang anti demokrasi serta praktek-praktek pelanggaran hukum dan penyalahgunaan wewenang yang pernah terjadi di tingkat pusat justru ikut beralih ke dalam praktek pemerintahan di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, otonomi daerah haruslah dipahami esensinya juga mencakup pengertian otonomi Otonomi Daerah | 7
  • 8. masyarakat di daerah-daerah dalam berhadapan dengan pemerintahan di daerah. 2.4 Otonomi dan ‘Federal Arrangement’ Dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, terkandung semangat perubahan yang sangat mendasar berkenaan dengan konsep pemerintahan Republik Indonesia yang bersifat federalistis. Meskipun ditegaskan bahwa organisasi pemerintahan Republik Indonesia berbentuk Negara Kesatuan(unitary), tetapi konsep dasar sistem pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah diatur menurut prinsip-prinsip federalisme. Pada umumnya dipahami bahwa dalam sistem federal, konsep kekuasaan asli atau kekuasaan sisa (residual power) berada di daerah atau bagian, sedangkan dalam sistem negara kesatuan (unitary),kekuasaan asli atau kekuasaan sisa itu berada di pusat. Dalam ketentuan Pasal 7UU tersebut, yang ditentukan hanyalah kewenangan pusat yang mencakup urusan hubungan luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan urusan agama, sedangkan kewenangan berkenaan dengan urusan sisanya (lainnya)justru ditentukan berada di kabupaten/kota. Bahkan, dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945,yaitu Pasal 18 ayat (8) dinyatakan: “Pemerintah pusat memberikan otonomi yang luas kepada daerah-daerah untuk melaksanakan pemerintahan masing-masing,kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan,peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan di bidang lain yang diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman yang dimiliki daerah”. Hanya saja perlu dicatat pertama bahwa dalam naskah PerubahanUUD ini digunakan perkataan “‘memberikan’ otonomi yang luas kepada daerah-daerah”. Kedua, jika dalam Pasal 7 UU No.22 Tahun 1999 tertulis‘Pertahanan Keamanan’ tanpa koma, maka dalam Pasal 18 ayat (8) UUD 1945 digunakan koma, yaitu “pertahanan, keamanan”. Masih harus diteliti sejauhmana kedua hal ini dapat dinilai mencerminkan kekurangcermatan para anggota Badan Pekerja MPR dalam perumusan redaksi, atau memang hal itu dirumuskan dengan kesengajaan bahwa pada hakikatnya kewenangan daerah dalam rangka kebijakan otonomi daerah itu adalah pemberian pemerintah pusat kepada daerah[7], dan bahwa pengertian pertahanan dan keamanan yang berdasarkan Pasal 2 Ketetapan MPR tentang Pemisahan TNI dan POLRI No. VI/MPR/2000 memang telah dipisahkan secara tegas, merupakan urusan-urusan yang berbeda, yaitu antara peran tentara dan kepolisian[8]. Dalam Pasal 4 ayat (2) dinyatakan bahwa hubungan antara pusat dan daerah tidak lagi bersifat hirarkis. Bupati bukan lagi bawahan Gubernur, dan hubungan antara daerah propinsi dan daerah kabupaten serta kota tidak lagi bersifat subordinatif, melalinkan hanya koordinatif. Elemen hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal ini dan ditetapkannya prinsip kekuasaan asli atau sisa yang berada di daerah kabupaten/kota merupakan ciri-ciri penting sistem federal. Karena itu, dapat dikatakan bahwa meskipun struktur Otonomi Daerah | 8
  • 9. organisasi pemerintahan Republik Indonesia berbentuk Negara Kesatuan, kita juga mengadopsi pengaturan-pengaturan yang dikenal sebagai ‘federal arrangement’. Oleh karena itu, para penyelenggara negara, baik di pusat maupun di daerah- daerah sudah seharusnya menyadari hal ini, sehingga pelaksanaan otonomi daerah perlu segera diwujudkan tanpa keraguan. Pihak-pihak yang bersikap skeptis ataupun yang masih berusaha mencari formula lain sehubungan dengan gelombang separatisme di berbagai daerah, seyogyanya juga menyadari adanya pengaturan-pengaturan yang bersifat federalistis tersebut. Hanya dengan keyakinan kolektif bangsa kita mengenai besarnya skala perubahan struktural yang dimungkinkan dalam berbagai instrumen peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan, kita akan dapat berkonsentrasi penuh menyukseskan agenda otonomi daerah yang luas ini. Dan hanya dengan konsentrasi penuh itu pulalah kita akan dapat menyukseskan agenda otonomi daerah ini,sehingga dapat terhindar dari malapetaka yang jauh lebih buruk berupa disintegrasi kehidupan kita sebagai satu bangsa yang bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2.5 Otonomi dan Daya Jangkau Kekuasaan Dalam kebijakan otonomi daerah itu tercakup pula konsepsi pembatasan terhadap pengertian kita tentang ‘negara’ yang secara tradisional dianggap berwenang untuk mengatur kepentingan-kepentingan umum.Dalam UU No.22 Tahun 1999 tersebut, yang dapat dianggap sebagai wilayah dayaj angkau kekuasaan negara (state) hanya sampai di tingkat kecamatan. Secara akademis, organ yang berada di bawah struktur organisasi kecamatan dapat dianggap sebagai organ masyarakat, dan masyarakat desa dapat disebut sebagai‘self governing communities’ yang otonom sifatnya. Oleh karena itu, pada pokoknya, susunan organisasi desa dapat diatur sendiri berdasarkan norma-norma hukum adat yang hidup dan berkembang dalam kesadaran hukum dan kesadaran politik masyarakat desa itu sendiri. Secara ideal, wilayah kekuasaan pemerintahan negara tidak dapat menjangkau atau turut campur dalam urusan pemerintahan desa.Biarkanlah masyarakat desa mengatur sendiri tata pemerintahan desa mereka serta mengatur perikehidupan bersama mereka di desa sesuai dengan kebutuhan setempat.Tidak perlu diadakan penyeragaman pengaturan untuk seluruh wilayah nusantara seperti yang dipraktekkan selama ini. Prinsip ‘self governing community’ ini sejalan pula dengan perkembangan pemikiran modern dalam hubungan antara ‘stateand civil society’ yang telah kita kembangkan dalam gagasan masyarakat madani. Dalam pengembangan masyarakat madani, tidak saja masyarakat desa dikembangkan sebagai ‘self governing communities’, tetapi keterlibatan fungsi-fungsi organisasi pemerintahan secara umum dalam dinamika kegiatan masyarakat pada umumnya juga perlu dikurangi secara bertahap. Hanya fungsi-fungsi yang sudah seharusnya ditangani oleh pemerintah sajalah yang Otonomi Daerah | 9
  • 10. tetap harus dipertahankan wilayah yang berada dalam daya jangkau kekuasaan negara. Sedangkan hal-hal yang memang dapat dilepaskan dan dapat tumbuh berkembang sendiri dalam dinamika masyarakat, cukup diarahkan untuk menjadi bagian dari urusan bebas masyarakat sendiri. Sudah tentu pelepasan urusan tersebut menjadi urusan masyarakat perlu dilakukan dengan cermat dan hati-hati. Pelepasan urusan dimaksudkan untuk mendorong kemandirian dan keprakarsaan masyarakat sendiri,bukan dimaksudkan untuk melepas beban dan tanggungjawab pemerintah Karena didasarkan atas sikap yang tidak bertanggungjawab ataupun karena disebabkan ketidakmampuan pemerintah menjalankan tugas dan kewajiban yang dibebankan kepadanya. Pelepasan urusan juga tidak boleh dilakukan tiba-tiba tanpa perencanaan yang cermat dan persiapan sosial yang memadai yang pada gilirannya justru dapat menyebabkan kegagalan total dalam agenda penguatan sector masyarakat secara keseluruhan. Dasar Hukum Otonomi Daerah berpijak pada dasar Perundang-undangan yang kuat, yakni : 1. Undang-undang Dasar Sebagaimana telah disebut di atas Undang-undang Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pasal 18 UUD menyebutkan adanya pembagian pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah. 2. Ketetapan MPR-RI Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah : Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta perimbangan kekuangan Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Undang-Undang Undang-undang N0.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas Desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam UU No.22/1999 adalah mendorong untuk pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Dari ketiga dasar perundang-undangan tersebut di atas tidak diragukan lagi bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah memiliki dasar hukum yang kuat. Tinggal permasalahannya adalah bagaimana dengan dasar hukum yang kuat tersebut pelaksanaan Otonomi Daerah bisa dijalankan secara optimal. Otonomi Daerah | 10
  • 11. BAB III MATERI 3.1 OTONOMI DAERAH Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah". Dengan demikian pengertian secara istilah "otonomi daerah" adalah "wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri." Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya. Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi. Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang- bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman. Apa hubungan antara otonomi daerah dan kesejahteraan? Mengapa dalam era otonomi daerah sekarang justru kemiskinan sangat merajalela? Sebagaimana dinyatakan Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia mencakup lebih dari 70 juta jiwa. Lantas apakah berarti otonomi daerah justru berkorelasi negatif terhadap kesejahteraan? Sebelum kita meneliti semua itu, setidaknya bisa kita temukan fakta bahwa lahirnya otonomi daerah di Indonesia lebih karena perubahan kondisi politik daripada alasan paradikmatik-empirik. Tahun 1998, masyarakat Indonesia Otonomi Daerah | 11
  • 12. merasakan kemuakan atas pemerintahan yang sangat sentralistis dan ingin menuju pola masyarakat yang lebih menjanjikan kebebasan. Realitasnya, setelah masyarakat Indonesia berada dalam era otonomi daerah, berbagai problem bermunculan dan implemenasi atas konsep otonomi itu memunculkan banyak konflik baik vertikal maupun horizontal. Dalam paparan singkat ini, penulis ingin memberikan catatan bahwa pelaksanaan otonomi daerah pada faktanya telah menimbulkan empat problem. 3.2 Dasar Hukum Otonomi Daerah berpijak pada dasar Perundang-undangan yang kuat, yakni : 1. Undang-undang Dasar Sebagaimana telah disebut di atas Undang-undang Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pasal 18 UUD menyebutkan adanya pembagian pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah. 2. Ketetapan MPR-RI Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah : Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta perimbangan kekuangan Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Undang-Undang Undang-undang N0.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas Desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam UU No.22/1999 adalah mendorong untuk pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Dari ketiga dasar perundang-undangan tersebut di atas tidak diragukan lagi bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah memiliki dasar hukum yang kuat. Tinggal permasalahannya adalah bagaimana dengan dasar hukum yang kuat tersebut pelaksanaan Otonomi Daerah bisa dijalankan secara optimal. 3.3 Pokok-Pokok Pikiran Otonomi Daerah Isi dan jiwa yang terkandung dalam pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya menjadi pedoman dalam penyusunan UU No. 22/1999 dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut : Otonomi Daerah | 12
  • 13. 1. Sistim ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip-prinsip pembagian kewenangan berdasarkan asas konsentrasi dan desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah propinsi, sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah Kabupaten dan daerah Kota. Daerah yang dibentuk dengan asas desentralisasi berwenang untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. 3. Pembagian daerah diluar propinsi dibagi habis ke dalam daerah otonom. Dengan demikian, wilayah administrasi yang berada dalam daerah Kabupaten dan daerah Kota dapat dijadikan Daerah Otonom atau dihapus. 4. Kecamatan yang menurut Undang-undang Nomor 5 th 1974 sebagai wilayah administrasi dalam rangka dekonsentrasi, menurut UU No 22/99 kedudukanya diubah menjadi perangkat daerah Kabupaten atau daerah Kota. 3.4 Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah Berdasar pada UU No.22/1999 prinsip-prinsip pelaksanaan Otonomi Daerah adalah sebagai berikut : 1. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek-aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah. 2. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab 3. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah Kota, sedang Otonomi Daerah Propinsi merupakan Otonomi Terbatas. 4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan Konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. 5. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan daerah Kota tidak ada lagi wilayah administrasi. 6. Kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain seperti Badan Otorita, Kawasan Pelabuhan, Kawasan Pertambangan, Kawasan Kehutanan, Kawasan Perkotaan Baru, Kawasan Wisata dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan Daerah Otonom. Otonomi Daerah | 13
  • 14. 7. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. 8. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk memelaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah. 9. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. 3.5 Problem Otonomi Daerah Pertama, pudarnya negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, pemimpin negara adalah atasan para pemimpin di bawahnya. Namun di Indonesia, apakah faktanya memang demikian? Kenyataannya sangat jauh dari itu. Bagaimanapun para gubernur, bupati, dan walikota untuk terpilih butuh dukungan partai-partai. Realitas ini membuat mereka lebih taat pada pimpinan partai yang mendukung mereka. Undangan pertemuan pemerintah di atasnya sering diabaikan, sementara undangan pimpinan partai ditanggapi segera, bahkan cepat-cepat berangkat dengan memakai uang negara. Ini membuat Indonesia seperti mempunyai banyak presiden. Walaupun para pimpinan partai tidak memerintah, tapi mereka mengendalikan para gubernur dan kepala daerah yang didukung partai mereka. Kedua, lemahnya jalur komando. Dalam konsep otonomi daerah, para gubernur bukan atasan bupati/walikota. Sementara pemerintah pusat membawahi daerah yang jumlahnya lebih dari empat ratus buah. Di sisi lain, gubernur juga merupakan jabatan politis yang untuk meraihnya membutuhkan dukungan politik partai. Seringkali yang terjadi presiden, gubernur, dan bupati/walikota berasal dari partai yang berbeda. Kiranya, adalah wajar kalau dengan semua itu jalur komando dari pusat ke daerah menjadi terputus. Kemampuan pusat hanyalah mengkoordinasikan seluruh pemerintahan di bawahnya, itupun dalam tingkat koordinasi yang sangat lemah. Ini mengakibatkan program-program pemerintah pusat tidak berjalan, padahal banyak program yang sangat penting demi keselamatan rakyat. Alasan Menkes Siti Fadilah Supari terkait kegagalam penanganan flu burung, dimana instruksi dan dana dari departemen kesehatan tidak mengalir ke sasaran karena para kepala daerah tidak mempedulikan (sehingga banyak korban berjatuhan), kiranya cukup relevan sebagai contoh. Realitasnya NKRI sekarang telah tiada. Yang ada hanyalah persekutuan ratusan kabupaten dan kota di Indonesia. Otonomi Daerah | 14
  • 15. Ketiga, semakin kuatnya konglomeratokrasi. Putusnya jalur komando dalam pemerintahan di Indonesia terasa sangat ironis jika melihat kekuatan komando di partai dan perusahaan. Partai dan perusahaan umumnya bersifat sentralistis. Pimpinan pusat bagaimanapun juga adalah atasan pimpinan di tingkat provinsi. Dan pimpinan tingkat provinsi adalah atasan pimpinan tingkat daerah. Ini membuat partai dan perusahaan di Indonesia jauh lebih solid daripada pemerintah. Partai dan perusahaan lebih terasa sebagai suatu “pihak”. Ini lain dengan pemerintah yang lebih terasa sebagai “kumpulan” atau bahkan sekedar “tempat persaingan”. Dengan melihat bahwa pemerintahan di Indonesia terpecah-pecah, pemimpin pemerintahan butuh dukungan partai, dan partai butuh dana yang umumnya mengandalkan dukungan para konglomerat, maka bisa disimpulkan bahwa konglomerat merupakan subjek atas partai dan partai merupakan subjek atas pemerintah. Ini berarti yang berkuasa di Indonesia adalah para konglomerat. Realitas ini semakin terasa parahnya jika mengingat bahwa Indonesia sangat tergantung modal asing dan bahwa kekuatan korporasi di dunia saat ini di atas negara (sebagaimana dinyatakan Prof. Hertz, dari 100 pemegang kekayaan terbesar di dunia sekarang 49-nya adalah negara, sementara 51-nya perusahaan; kekayaan Warren Buffet, orang terkaya di dunia, di atas APBN Indonesia). Bisa dibayangkan jika di jaman dulu puluhan kerajaan dengan kondisi politiknya yang “mungkin terpecah” bisa dikuasai oleh VOC (sebuah perusahaan dunia), bagaimana sekarang ratusan daerah yang umumnya secara politis “sudah terpecah” menghadapi puluhan VOC baru yang kekuatannya di atas negara? Dari fakta ini saja sangat bisa dipahami mengapa Indonesia berada dalam cengkeraman korporatokrasi/konglomeratokrasi. Keempat, terabaikannya urusan rakyat. Asumsi yang diberlakukan dalam konsep otonomi daerah adalah rakyat bisa mengurus dirinya sendiri. Pelaksanaan asumsi ini adalah bahwa para gubernur, bupati, dan walikota, walaupun tidak dalam komando pemerintah pusat, tetapi dalam kontrol DPRD setempat. Sayangnya, bagaimanapun juga DPRD mempunyai realitas yang sama dengan para pimpinan pemerintahan dalam hubungannya dengan partai dan korporasi/konglomerat. Ini berarti kekuasaan korporasi justru semakin mengakar. Realitas ini bisa dilihat dari fakta bahwa berbagai parameter keberhasilan adalah ukuran korporasi, bukan ukuran kesejahteraan rakyat. Padahal, seringkali hitungan korporasi tidak sesuai dengan hitungan kesejahteraan. Dengan ukuran pendapatan per kapita (angka yang dibutuhkan korporasi), banyak kabupaten di Indonesia mempunyai pendapatan per kapita di atas Rp.18 juta per tahun (Rp. 1,5 juta/bulan atau Rp. 6 juta / keluarga). Itu berarti banyak keluarga di Indonesia yang mempunyai penghasilan di atas keluarga doktor. Kenyataannya, lebih 70 juta lebih rakyat miskin (angka kemiskinan merupakan hitungan kesejahteraan). Indonesia memang negeri yang sangat aneh. Berbagai bentuk iklan semakin megah dan meriah. Tapi jalan-jalan semakin berlubang. Kiranya, empat problem di atas sudah bisa menggambarkan bagaimana hubungan antara otonomi daerah dengan munculnya berbagai problem di Indonesia. Dengan otonomi, harapannya adalah suasana yang lebih bebas dan desentrlistis. Otonomi Daerah | 15
  • 16. Kenyataannya, sentralisasi lama dipreteli kekuasaannya untuk masuk sentralisasi baru, yaitu kekuasaan korporasi/konglomerasi internasional. 3.6 Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah, tetapi dalam perkembangan sejarahnya ide otonomi daerah itu mengalami berbagai perubahan bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik kalangan elit politik pada masanya. Apabila perkembangan otonomi daerah dianalisis sejak tahun 1945, akan terlihat bahwa perubahan-perubahan konsepsi otonomi banyak ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada saat it. Hal itu terlihat jelas dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana yang terdapat dalam UU berikut ini : 1. UU No. 1 tahun 1945 Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan pada dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan pusat. 2. UU No. 22 tahun 1948 Mulai tahun ini Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi ia punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat pemerintah pusat. 3. UU No. 1 tahun 1957 Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat pemerintah pusat. 4. Penetapan Presiden No.6 tahun 1959 Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan dekonsentrasi. Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong praja. 5. UU No. 18 tahun 1965 Otonomi Daerah | 16
  • 17. Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja 6. UU No. 5 tahun 1974 Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal Ode Baru, maka pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 pembangunan menjadi isu sentral dibanding dengan politik. Pada penerapanya, terasa seolah-olah telah terjadi proses depolitisasi peran pemerintah daerah dan menggantikannya dengan peran pembangunan yang menjadi isu nasional. 7. UU No. 22 tahun 1999 Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengedapankan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. 3.7 Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah 1. Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. 2. Kewenangan bidang lain tersebut meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional. 3. Kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. 4. Kewenangan Pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka dekonsentrasi harus disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan tersebut. 5. Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya. Otonomi Daerah | 17
  • 18. 6. Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. 7. Kewenangan Propinsi sebagai Wilayah Administrasi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah. 8. Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan Daerah di wilayah laut meliputi: o Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut; o Pengaturan kepentingan administratif; o Pengaturan tata ruang; o Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; dan o Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara. 9. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di wilayah laut adalah sejauh sepertiga dari batas laut Daerah Propinsi. Pengaturan lebih lanjut mengenai batas laut diatur dengan Peraturan Pemerintah. 10.Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan seperti kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain yang mencakup kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional. 11.Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mencakup kewenangan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Propinsi. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja. Otonomi Daerah | 18
  • 19. 12. Pemerintah dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertentu dalam rangka tugas pembantuan disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada Pemerintah. Setiap penugasan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Sumber-sumber Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi meliputi: 1. PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) o Hasil pajak daerah o Hasil restribusi daerah o Hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. • Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah,antara lain hasil penjualan asset daerah dan jasa giro 2. DANA PERIMBANGAN o Dana Bagi Hasil o Dana Alokasi Umum (DAU) o Dana Alokasi Khusus 3. PINJAMAN DAERAH o Pinjaman Dalam Negeri 1. Pemerintah pusat 2. Lembaga keuangan bank 3. Lembaga keuangan bukan bank 4. Masyarakat (penerbitan obligasi daerah) o Pinjaman Luar Negeri 1. Pinjaman bilateral 2. Pinjaman multilateral Otonomi Daerah | 19
  • 20. 4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah; o hibah atau penerimaan dari daerah propinsi atau daerah Kabupaten/Kota lainnya, o penerimaan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan Otonomi Daerah | 20
  • 21. BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Proses Otonomi Daerah di Indonesia Otonomi Daerah di Indonesia dimulai dengan bergulirnya Undang- Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 2005 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang secara praktis efektif dilaksanakan sejak 1 Januari 2001. Otonomi Daerah menurut UU ini adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Tahap ini merupakan fase pertama dari pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Fase kedua Otonomi Daerah ditandai dengan adanya reformasi dalam kebijakan keuangan negara melalui penetapan tiga peraturan di bidang keuangan negara. Ketiga peraturan tersebut adalah UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Telah lebih dari lima tahun reformasi sistem pemerintahan tersebut berjalan dengan berbagai kendala yang mengiringinya serta pro dan kontra. Berbagai usaha pun dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan sistem tersebut. Salah satu upaya tersebut adalah dengan melakukan amandemen UU Otonomi Daerah. Proses ini merupakan awal dari fase ketiga dalam proses Otonomi Daerah di Indonesia. UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 masing- masing digantikan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Otonomi Daerah menurut UU ini adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Filosofi Otonomi Daerah dijabarkan sebagai berikut (Suwandi, 2005): 1. Eksistensi Pemerintah Daerah adalah untuk menciptakan kesejahteraan secara demokratis 2. Setiap kewenangan yang diserahkan ke daerah harus mampu menciptakan kesejahteraan dan demokrasi 3. Kesejahteraan dicapai melalui pelayanan publik 4. Pelayanan publik ada yang bersifat pelayanan dasar (basic services) dan ada yang bersifat pengembangan sektor unggulan (core competence) 5. Core competence merupakan sintesis dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), tenaga kerja dan pemanfaatan lahan Otonomi Daerah | 21
  • 22. 4.2 Konsep Kebijakan Fiskal Daerah Desentralisasi tidak hanya terkait dengan model pemerintahan, namun juga menyangkut paradigma ekonomi yang disebut desentralisasi ekonomi. Desentralisasi ekonomi mencakup aktivitas dan tanggung jawab ekonomi yang diimplementasikan pada level daerah. Upaya desentralisasi ekonomi antara lain liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi. Berkaitan dengan hal tersebut, desentralisasi fiskal menjadi komponen utama proses desentralisasi di Indonesia. Menurut Pakpahan (2006), desentralisasi fiskal meliputi: a. Pembiayaan mandiri (self financing) dan cost recovery dalam bidang pelayanan publik b. Peningkatan PAD c. Bagi hasil pajak dan bukan pajak secara lebih tepat d. Transfer dana ke daerah, utamanya melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dengan lebih adil e. Kewenangan daerah untuk melakukan pinjaman berdasarkan kebutuhan daerah Sebagai bagian yang terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan dengan kebijakan fiskal nasional, kebijakan fiskal daerah juga harus mempertimbangkan prinsip-prinsip penganggaran. Terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan dalam penyiapan anggaran, yaitu hard budget constraint dan soft budget constraint. Berdasarkan pendekatan hard budget constraint, daerah terlebih dahulu mengidentifikasi pendapatan (revenues) baru kemudian menentukan pengeluaran. Sebaliknya, berdasarkan soft budget constraint, pengeluaran diestimasi lebih dahulu kemudian daerah mengusahakan pendapatan untuk mendanai pengeluaran tersebut. Dalam pendekatan yang pertama, potensi merupakan pertimbangan utama, sementara pada pendekatan kedua, kebutuhanlah yang menjadi faktor dominan (Kadjatmiko, 2006). Untuk menciptakan kesinambungan fiskal daerah, maka Kadjatmiko (2006) berpendapat bahwa pendekatan hard budget constraint lebih tepat untuk digunakan. Pada dasarnya, Otonomi Daerah memiliki tujuh elemen dasar (Suwandi, 2005). Elemen tersebut adalah kewenangan, kelembagaan, personel, keuangan daerah, perwakilan, pelayanan publik, dan pengawasan. Sarana untuk mewujudkan otonomi daerah adalah melalui good governance, penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), reformasi sistem pengelolaan keuangan daerah dan penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM). 4.3 Otonomi Daerah dan Good Governance Ketiga fase yang dijelaskan tersebut di atas bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan daya saing daerah. Proses ini membutuhkan penerapan prinsip-prinsip good governance yang menyeluruh dan terpadu. Adapun prinsipprinsip good governance adalah:1 Otonomi Daerah | 22
  • 23. 1. Partisipasi; mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Partisipasi bermaksud untuk menjamin agar setiap kebijakan yang diambil mencerminkan aspirasi masyarakat. Dalam rangka mengantisipasi berbagai isu yang ada, Pemerintah Daerah menyediakan saluran komunikasi agar masyarakat dapat mengutarakan pendapatnya. Jalur komunikasi ini meliputi pertemuan umum, temu wicara, konsultasi dan penyampaian pendapat secara tertulis. Bentuk lain untuk merangsang keterlibatan masyarakat adalah melalui perencanaan partisipatif untuk menyiapkan agenda pembangunan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan secara partisipatif dan mekanisme konsultasi untuk menyelesaikan isu sektoral. 2. Penegakan hukum; mewujudkan adanya penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Berdasarkan kewenangannya, Pemerintah Daerah harus mendukung tegaknya supremasi hukum dengan melakukan berbagai penyuluhan peraturan perundangundangan dan menghidupkan kembali nilai-nilai dan norma- norma yang berlaku di masyarakat. Di samping itu Pemerintah Daerah perlu mengupayakan adanya peraturan daerah yang bijaksana dan efektif, serta didukung penegakan hukum yang adil dan tepat. Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) maupun masyarakat perlu menghilangkan kebiasaan yang dapat menimbulkan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). 3. Transparansi; menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Informasi adalah suatu kebutuhan penting masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah Daerah perlu proaktif memberikan informasi lengkap tentang kebijakan dan layanan yang disediakannya kepada masyarakat. Pemerintah Daerah perlu mendayagunakan berbagai jalur komunikasi seperti melalui brosur, leaflet, pengumuman melalui koran, radio serta televisi lokal. Pemerintah Daerah perlu menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara mendapatkan informasi. Kebijakan ini akan memperjelas bentuk informasi yang dapat diakses masyarakat ataupun bentuk informasi yang bersifat rahasia, bagaimana cara mendapatkan informasi, lama waktu mendapatkan informasi serta prosedur pengaduan apabila informasi tidak sampai kepada masyarakat. 4. Kesetaraan; memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Tujuan dari prinsip ini adalah untuk menjamin agar kepentingan pihak-pihak yang kurang beruntung, seperti mereka yang miskin dan lemah, tetap terakomodasi dalam proses pengambilan keputusan. Perhatian khusus perlu diberikan kepada kaum minoritas agar mereka tidak tersingkir. Selanjutnya kebijakan khusus akan disusun untuk menjamin adanya kesetaraan terhadap wanita dan kaum minoritas baik dalam lembaga eksekutif dan legislatif. Otonomi Daerah | 23
  • 24. 5. Daya tanggap; meningkatkan kepekaan para penyelenggara pemerintahan terhadap aspirasi masyarakat, tanpa kecuali. Pemerintah Daerah perlu membangun jalur komunikasi untuk menampung aspirasi masyarakat dalam hal penyusunan kebijakan. Ini dapat berupa forum masyarakat, talk show, layanan hotline, prosedur komplain. Sebagai fungsi pelayan masyarakat, Pemerintah Daerah akan mengoptimalkan pendekatan kemasyarakatan dan secara periodik mengumpulkan pendapat masyarakat. 6. Wawasan ke depan; membangun daerah berdasarkan visi dan strategi yang jelas dan mengikutsertakan warga dalam seluruh proses pembangunan, sehingga warga merasa memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap kemajuan daerahnya. Tujuan penyusunan visi dan strategi adalah untuk memberikan arah pembangunan secara umun sehingga dapat membantu dalam penggunaan sumberdaya secara lebih efektif. Untuk menjadi visi yang dapat diterima secara luas, visi tersebut perlu disusun secara terbuka dan transparan, dengan didukung dengan partisipasi masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat yang peduli, serta kalangan dunia usaha. Pemerintah Daerah perlu proaktif mempromosikan pembentukan forum konsultasi masyarakat, serta membuat berbagai produk yang dapat digunakan oleh masyarakat. 7. Akuntabilitas; meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Seluruh pembuat kebijakan pada semua tingkatan harus memahami bahwa mereka harus mempertanggungjawabkan hasil kerja kepada masyarakat. Untuk mengukur kinerja mereka secara obyektif perlu adanya indikator yang jelas. Sistem pengawasan perlu diperkuat dan hasil audit harus dipublikasikan, dan apabila terdapat kesalahan harus diberi sanksi. 8. Pengawasan; meningkatkan upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan swasta dan masyarakat luas. Pengawasan yang dilakukan oleh lembaga berwenang perlu memberi peluang bagi masyarakat dan organisasi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pemantauan, evaluasi, dan pengawasan kerja, sesuai bidangnya. Walaupun demikian tetap diperlukan adanya auditor independen dari luar dan hasil audit perlu dipublikasikan kepada masyarakat. 9. Efisiensi dan efektifitas; menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan mengunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggungjawab. Pelayanan masyarakat harus mengutamakan kepuasan masyarakat, dan didukung mekanisme penganggaran serta pengawasan yang rasional dan transparan. Lembagalembaga yang bergerak di bidang jasa pelayanan umum harus menginformasikan tentang biaya dan jenis pelayananya. Untuk menciptakan efisiensi harus digunakanteknik manajemen modern untuk administrasi kecamatan dan perlu ada desentralisasi kewenangan layanan masyarakat sampai tingkat keluruhan/desa. 10. Profesionalisme; meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang terjangkau. Tujuannya adalah menciptakan birokrasi profesional yang dapat efektif memenuhi kebutuhan masyarakat. Ini perlu Otonomi Daerah | 24
  • 25. didukung dengan mekanisme penerimaan staf yang efektif, sistem pengembangan karir dan pengembangan staf yang efektif, penilaian, promosi, dan penggajian staf yang wajar. Penerapan Otonomi Daerah dengan mengacu pada prinsip-prinsip good governance tersebut difasilitasi oleh Pemerintah Pusat dengan meningkatkan alokasi Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) yang disalurkan ke daerah. Secara umum, sumber pendapatan daerah terutama berasal dari: 1. Dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) pajak dan sumber daya alam 2. Pendapatan Asli Daerah (PAD), terutama yang berasal dari pajak dan retribusi daerah. Dari kedua sumber pendapatan daerah tersebut masih didominasi oleh Dana Perimbangan. Dana Perimbangan tersebut jumlahnya cenderung selalu meningkat sejak digulirkan pada tahun 2001 baik dilihat dari nilai nominal maupun dari persentasenya terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dan pendapatan domestik neto (PDN). Tabel 1 menunjukkan pekembangan Dana Perimbangan tahun 2003-2006. DAU adalah komponen Dana Perimbangan yang paling besar. DAU merupakan transfer dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang berbentuk block grant. DAU dihitung berdasarkan formula kesenjangan fiskal (selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal daerah). Sejak tahun 2001, formula DAU telah mengalami beberapa kali perubahan. Formula DAU untuk tahun 2006 disusun berdasarkan UU No. 33/2004 ditunjukkan oleh Gambar 1. DAU masih menjadi sumber utama pembiayaan belanja daerah. Secara rata-rata, persentase DAU terhadap APBD berkisar antara 70-80 persen. Dana Perimbangan lainnya adalah Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu daerah dalam membiayai: 1. Kebutuhan khusus (UU No. 25 Tahun 2000 dan PP No. 104 Tahun 2000) 2. Kegiatan khusus (UU No. 33 Tahun 2004, PP No. 55 Tahun 2005, dan Nota Keuangan dan RAPBN 2006) DAK berbentuk specific grant. Kebutuhan dan kegiatan khusus yang dapat dibiayai dari dana tersebut adalah segala urusan daerah yang sesuai dengan prioritas nasional. Hal-hal yang termasuk kebutuhan khusus yaitu: 1. kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan menggunakan formula alokasi umum dan/atau kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional 2. kebutuhan untuk membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh daerah penghasil. Otonomi Daerah | 25
  • 26. BAB V SIMPULAN Seiring dengan kemajuan dalam berbagai bidang/sektor yang sudah menjamur diwilayah khususnya Indonesia, baik itu dari sektor industri, pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan dan sebagainya, maka persaingan pun akan menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh sebuah wilayah untuk mewujudkan suatu daerah yang otonom. Oleh karena itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya- upaya yang akan menjadi sasaran atau pedoman dalam peningkatan mutu dan sekaligus dapat berpengaruh terhadap kelancaran suatu daerah yang otonom. Beberapa hal tersebut diantaranya yaitu: 1. Adanya dasar hukum yang menjadi landasan dalam mewujudkan suatu program otonomi daerah. 2. Tersedianya sumber daya manusia(SDM) yang berkualitas dan sumber daya alam(SDA) yang memadai guna lancarnya otonomi tersebut. 3. Harus memperhatikan arah/sasaran dan tujuan yang akan dicapai. 4. Kehidupan berpolitik. diantaranya yaitu: • Demokrasi pancasila dan Partisipasi masyarakat • Kehidupan konstitusional Baik : • Demokrasi • Hukum • Kepemimpinan nasional • Fungsi lembaga tinggi negara • Dan lembaga-lembaga tinggi negara 5. Hak dan kewajiban wewenang dan tanggung jawab sebagai warga negara Indonesia. Otonomi Daerah | 26
  • 27. DAFTAR PUSTAKA Akbar, Rusdi, 2007, “Indikator Kinerja dengan Model Matriks Kinerja”, dipresentasikan dalam Pelatihan Pengelolaan Keuangan Daerah, World Bank Institute, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (PPE-FEUGM), dan Politik Lokal dan Otonomi Daerah (PLOD), Yogyakarta, 26-27 Januari. Asian Development Bank, 2005, “Capacity Building to Support Decentralization in Indonesia”, Technical Assistance Performance Evaluation Report. Benu, Fredrik, 2006, “Anggaran Berbasis Kinerja”, dipresentasikan dalam Financial Management Training in Indonesia, Balikpapan, Departemen Keuangan RI, Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FE-UGM. Campos, Jose Edgardo dan Joel S. Hellman, 2005, “Governance Gone Local: Does Decentalization Improve Accountability?”, East Asia Decentralized, Bank Dunia, Washington D.C. Departemen Keuangan RI, 2006, Penjelasan Umum tentang Standar Biaya Tahun 2007, Disampaikan dalam Sosialisasi Standar Biaya Tahun 2007 kepada Unit Eselon I Kementerian/Lembaga, Jakarta, 2 November. Kadjatmiko, 2006, “Local Fiscal Policy”, Budget Performance: Capacity Building for Effective Public Finance, Departemen Keuangan RI, Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FE-UGM. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD. Kristiadi, J.B., 2006, “Preface”, Budget Performance: Capacity Building for Effective Public Finance, Departemen Keuangan RI, Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FE- UGM. Pakpahan, Arlen T., 2006, “Local Financial and Business Climate”, Budget Accountability, Reporting, and Auditing, Departemen Keuangan RI, Otonomi Daerah | 27
  • 28. Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FE-UGM, 8-11 Mei 2006, Yogyakarta. Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Universitas Gadjah Mada, 2005, “Strengthening Core Local Government Competencies”, Modul Pelatihan. Otonomi Daerah | 28