1. 1
PENGAJIAN JUMAT PETANG BA’DA MAGHRIB
KAJIAN HADITS TEMATIK
MASJID MARGO RAHAYU NAMBURAN KIDUL YOGYAKARTA
“Perempuan Dikhitan, Wajibkah? “
Dalam riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah
dinyatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
"Fithrah itu ada lima, atau ada lima fithrah yaitu: khitan, mencukur bulu
kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur kumis." (HR
Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, juz VII, hal. 206, hadits no. 5889; HR Muslim,
juz I, hal. 152, hadits no. 620, dari Abu Hurairah r.a.)
Hadits tersebut menunjukkan bahwa Islam adalah ajaran yang
komprehensif yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk
hal-hal yang sepele yang menjadi naluri kebiasaan manusia.
Dalam konteks khitan, ulama sepakat bahwa laki-laki dianjurkan
untuk berkhitan, karena secara logika bisa dipahami, khitan merupakan
bagian dari kebersihan (thahârah). Tetapi tidak demikian bagi perempuan,
banyak kalangan terutama tenaga medis yang melarang khitan bagi
perempuan. Sementara itu sebagian kalangan berpendapat bahwa khitan
bagi perempuan harus dilakukan. Oleh karenanya, masalah khitan bagi
perempuan perlu mendapatkan kejelasan secara tuntas dan menyeluruh.
Ulama berbeda pendapat tentang hukum khitan bagi perempuan,
ada yang mengatakan sunnah, dan ada yang mengatakan mubah. Sedangkan
menurut al-Syafi’i hukumnya wajib, seperti hukum khitan bagi laki-laki
sebagaimana dikemukakan Imam Nawawi.
Pendapat yang melarang khitan perempuan sebetulnya tidak
memiliki dalil syar’i, kecuali hanya sekadar melihat bahwa khitan perempuan
adalah menyakitkan korban (perempuan). Sementara hadits yang
menjelaskan khitan perempuan (hadits Abu Dawud) tidak
menunjukkan taklîf disamping juga keshahihannya diragukan. Padahal ada
kaedah ushul yang menyatakan bahwa ‘adam al-dalîl laisa bi dalîl (tidak
adanya dalil bukan merupakan suatu dalil).
2. 2
Adapun pendapat yang mengatakan sunnah, berdasarkan hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
ﷺ
“Dari Abu al-Malih bin Usamah, dari Ayahnya: “Sungguh Nabi SAW bersabda:
Khitan itu hukumnya sunnah bagi para lelaki dan kemuliaan bagi para
perempuan.” (HR Ahmad dari Usamah bin 'Umair bin 'Amir, Musnad
Ahmad ibn Hanbal, juz V, hal. 75, hadits no. 20738)
Kata sunnah yang dikehendaki di sini bukan berarti lawan
kata wajib. Sebab kata sunnah apabila dipakai dalam sebuah hadits, maka
tidak dimaksud sebagai lawan kata wajib. Namun lebih menunjukkan
persoalan membedakan antara hukum laki-laki dan perempuan. Dengan
begitu, arti kata sunnah dan kata makrumah dalam hadits tersebut maksudnya
adalah laki-laki lebih dianjurkan berkhitan dibanding perempuan. Sehingga
bisa jadi artinya adalah laki-laki sunnah berkhitan dan perempuan mubah.
Atau wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi perempuan. Atau laki-laki
dianjurkan mengumumkan khitannya, baik dalam walîmah al-khitân atau
undangan, sedangkan perempuan justru yang baik dirahasiakan, tidak perlu
diekspose atau disebarluaskan.
Sebagaimana disampaiakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath
al-Bâriy Syarh Shahîh al-Bukhâriy,
ﷺ
4. 4
“Fithrah itu ada lima, atau lima macam yang termasuk fitrah, yaitu khitan,
mencukur rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan, mencabut bulu ketiak,
memotong kuku, dan mencukur kumis.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)
Al-Mawardi berkata: “Mengkhitan perempuan yaitu memotong
kulit yang ada di bagian atas vagina, yaitu tempat masuknya alat kelamin
pria yang berbentuk seperti biji atau seperti jengger ayam jantan. Bagian
yang wajib dipotong adalah kulit yang timbul ke atas, bukan memotongnya
habis. Abu Dawud telah meriwayatkan hadits Ummu ‘Athiyah: “Sungguh
seorang perempuan akan berkhitan di Madinah, lalu Nabi SAW bersabda
padanya: “Jangan engkau potong habis, sebab hal itu lebih baik bagi seorang
perempuan.” Lalu Abu Dawud berkata: “Hadits itu bukan hadits kuat.” Saya
(Ibn Hajar al-‘Asqalani) berpendapat, hadits itu punya dua syahid (penguat)
dari hadits Anas dan hadits Ummu Aiman. Lalu dari hadits Abu al-Syaikh
dalam Kitab al-‘Aqiqah, hadits lain dari al-Dhahak bin Qais dalam riwayat al-
Baihaqi. Al-Nawawi berkata: “Khitan laki-laki disebut dengan
istilah i’dzar dengan dzal yang dititik satu, sementara khitan perempuan
disebut khafzh dengankha’ dan zha’ yang dititik satu. Sedangkan Abu Syamah
menyatakan bahwa pendapat ahli bahasa memutuskan keduanya
disebut i’dzar, dan khafzh dikhususkan bagi perempuan. Abu ‘Ubaidah
berkata: “Perempuan dan laki-laki beri’dzar (berkhitan). Saya
mengi’dzar mereka berdua, maksudnya khatantuhuma (saya mengkhitan
keduanya) dan akhtantuhuma (saya mengkhitan keduanya), dalam wazan dan
maknanya. Al-Jauhari berkata: “Mayoritas diucapkan khafzhat al-
jariyah (seorang perempuan berkhitan.)” Ia berkata: “Orang Arab
menyangka bahwa seorang anak laki-laki ketika lahir pada saat muncul
bintang qamar, qulfah (kulit ujung penis)nya melebar, sehingga seperti sudah
dikhitan.” Ulama Syafi’iyah menghukumi orang yang lahir dalam keadaan
sudah terkhitan sunnah menjalankan pisau di bagian khitan tanpa
memotongnya. Abu Syamah berkata: “Mayoritas anak yang lahir dalam
keadaan begitu, khitannya tidak sempurna, hanya ujung penis yang terlihat.
Bila begitu, maka ia wajib menyempurnakan khitannya. Dalam kitab al-
Madkhal, Syaikh Abu Abdillah bin al-Hajj menyampaikan, hukum khitan
perempuan masih diperselisihkan. Apakah mereka semua dikhitan atau
dibedakan antara perempuan timur dikhitan dan perempuan barat tidak,
sebab tidak adanya sisa bagian yang disyariatkan dipotong di vagina mereka,
berbeda dengan wanita timur. Ia berkata: “Ulama yang punya pendapat
seorang anak laki-laki yang lahir dalam keadaan terkhitan sunnah
5. 5
menjalankan pisau di tempat khitannya karena mematuhi perintah syari’ah,
berpendapat begitu pula bagi seorang anak perempuan. Dan ulama yang
tidak berpendapat begitu, maka tidak menghukumi sunnah menjalankan
pisau di tempat khitan seorang perempuan.” Al-Syafi’i dan
mayoritas Ashhabnya berpendapat atas kewajiban khitan, bukan
keempat fithrah lainnya yang disebutkan dalam hadits bab ini. Dari Ahmad
dan sebagian ulama Malikiyah diriwayatkan menghukumi wajib. Dari Abu
Hanifah menghukumi wajib namun bukan fardhu. Diriwayatkan pula
darinya, hukum khitan itu sunnah yang berdosa bila ditinggalkan. Pada satu
pendapat ashhab Syafi’iyah dinyatakan bahwa khitan tidak wajib bagi
perempuan. Pendapat ini disampaikan – pula -- oleh penulis kitab al-Mughni.
Begitu pula keterangan dalam Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi
r
6. 6
“Fitrah itu ada lima macam, yaitu khitan, mencukur rambut yang tumbuh di
sekitar kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku, dan mencabut
bulu ketiak.” (HR. Muslim, dari Abu Hurairah ra.)
Sabda Nabi SAW: “Fitrah itu ada lima macam.” kemudian beliau
menjelaskannya, beliau berkata:“Yaitu khitan, mencukur rambut yang tumbuh di
sekitar kemaluan, memotong kuku, mencukur kumis, mencabut bulu ketiak, dan
mencukur kumis.” Dan dalam hadits lain: “Sepuluh perkaratermasuk fithrah,
yaitu memotong kumis, memelihara jenggot, bersiwak, menghirup air ke hidung,
memotong kuku, membasuh sendi-sendi, mencabut rambut ketiak, mencukut rambut
sekitar kemaluan, dan memercikkan air pada kemaluan untuk menghilangkan was-
was.” Mash’ab berkata: “Yang kesepuluh telah terlupakan kecuali bila
7. 7
maksudnya adalah berkumur.” Sedangkan sabda Nabi SAW: “Fitrah itu ada
lima macam.” maknanya adalah lima perkara yang termasuk fitrah, seperti
dalam riwayat lain, yaitu: “Sepuluh perkara yang termasuk fitrah.” Sebenarnya
macam fitrah itu tidak hanya sepuluh, dan Nabi SAW telah
menyinggungnya dengan sabda beliau: “Sepuluh perkara yang termasuk
fithrah.” Wallâhu a’lam.
Sementara makna fitrah sendiri diperselisihkan. Abu Sulaiman al-
Khaththabi berkata: “Mayoritas ulama berpendapat, makna fitrah adalah
sunnah. Demikian disampaikan oleh sekelompok ulama selain al-
Khaththabi. Mereka berkata: “Maksudnya, fitrah itu termasuk sunnah para
nabi -shalawatullah ‘alaihim wa al-salam-. Menurut satu pendapat fitrah
diartikan sebagai ajaran agama. Lalu mayoritas fitrah di atas menurut ulama
hukumnya tidak wajib. Sebagiannya diperselisihkan hukum wajibnya, seperti
khitan, berkumur dan menghirup air ke hidung. Dan bisa saja perkara wajib
disebut bersama dengan perkara sunnah, seperti firman Allah
Swt.: “Kalian makanlahbuahnya ketika berbuah, dan berikan haknya saat hari
panennya.” Memberikan hak (zakat) hukumnya wajib, dan hukum
memakannya tidak wajib. Wallâhu a’lam.
Adapun perincian hukumnya, maka khitan wajib menurut Imam
Syafi’i dan ulama banyak. Sunnah menurut Malik dan mayoritas ulama.
Menurut al-Syafi’i wajib khitan itu bagi semua laki-laki dan perempuan.
Kemudian yang wajib bagi laki-laki adalah memotong semua kulit yang
menutupkhasyafah (ujung penis) sehingga terlihat semuanya, sementara bagi
wanita adalah memotong sebagian kecil kulit yang berada di vagina bagian
atas. Pendapat al-Shahih dalam madzhab kita yang disetujui mayoritas ulama
Syafi’iyah menyatakan, khitan itu boleh dilakukan semasa kecil, dan tidak
wajib. Kita juga mempunyai satu pendapat Ashhab yang menyatakan khitan
itu wajib atas wali, yakni mengkhitan anak kecilnya sebelum mencapai usia
baligh. Terdapat pula pendapat Ashhâb yang mengharamkan khitan sebelum
mencapai usia 10 tahun. Ketika kita memutuskan dengan pendapat al-
shahih, maka disunnahkan mengkhitan pada hari ketujuh dari kelahiran.
Adakah hari kelahiran dihitung menjadi bagian dari tujuh hari itu? atau
tanpa menghitung hari kelahiran? Dalam masalah ini ada dua
pendapat Ashhab. Pendapat yang kuat adalah menghitung hari kelahiran
menjadi bagian tujuh hari tersebut.
Dan begitu juga dalam Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab
8. 8
Sedangkan khitan perempuan, maka ketahuilah, bahwa tempat
masuknya penis adalah tempat keluarnya haidh, anak dan mani. Di atas
(bagian vagina) yang menjadi tempat masuknya penis terdapat lubang seperti
lubang alat kelamin pria yang menjadi saluran kencing perempuan. Di
antara saluran kencing dan tempat masuknya penis tersebut terdapat kulit
tipis. Di atas saluran kencing perempuan itu terdapat kulit tipis seperti daun
yang terletak di antara dua bibir vagina. Dua bibir vagina tersebut menutupi
semua bagian-bagian tersebut. Kulit tipis di atas saluran kencing itulah yang
sebagiannya dipotong saat khitan. Dan itulah khitan perempuan.
Maka khitan perempuan dilakukan dengan cara menghilangkan
sebagian kecil kulit ari yang menutupi klitoris, bukan membuangnya sama
sekali. Bahkan Rasulullah SAW justru mengingatkan agar tidak berlebihan
dalam memotong, sebagaimana terungkap dalam hadits Ummu ‘Athiyah al-
Anshariyah di atas.
Adapun waktu khitan bagi perempuan yang paling baik adalah hari
ketujuh dari kelahirannya. Ulama berbeda pendapat tentang penetapan
hitungan hari ketujuh. Ada yang berpendapat hari pertama kelahiran
dihitung satu hari, dan ini pendapat yang kuat, sementara itu, ada yang
menganggap hari pertama tidak dihitung.
(Dikutip dan diselaraskan dari http://mutakhorij-
assunniyyah.blogspot.com/2013/02/perempuan-dikhitan-wajibkan.html,
dari Sumber: NU Online)