PERATURAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA NOMOR : PM.30/HK.201/MKP/2010 TENTANG PEDOMAN PENCEGAHAN EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK DI LINGKUNGAN PARIWISATA REGULATION DESTINATIONS 2011 KEMENTERIAN
Perkembangan kepariwisataan Indonesia mampu memberikan pendapatan yang signifikan terhadap perekonomian nasional. Namun pengelolaan sektor kepariwisataan yang kurang terkendali dan hanya berorientasi jangka pendek dapat memicu kemunculan dan peningkatan dampak buruk bagi kehidupan sosial budaya baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk dapat dimanfaatkan untuk kegiatan kejahatan eksploitasi seksual. Kondisi ini menjadi semakin memprihatinkan apabila korbannya adalah anak-anak.
Materi dalam Talkshow : Menata Pariwisata Berkelanjutan Ramah Anak dalam Agenda Pemulihan Sektor Travel & Tourism Pasca Pandemi Covid-19. Tujuan penyelenggaraan kegiatan ini adalah sebagai refleksi upaya perlindungan anak di wilayah pariwisata yang selama ini telah dilakukan, serta agenda kedepan yang ingin dicapai oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia.
Buku Panduan Wisata Perdesaan Ramah Anak Bebas EksplotasiECPAT Indonesia
Buku Panduan ini disusun sebagai bahan untuk memperkuat kapasitas dan pemahaman dalam mencegah dan menanggulangi eksploitasi terhadap anak yang berpotensi terjadi di wisata perdesaan.
Situasi eksploitasi anak di destinasi wisata merupakan kejahatan yang dilakukan oleh individu atau terorganisir untuk memanfaatkan anak-anak yang berada di destinasi wisata untuk pemenuhan ekonomi maupun seksual. Kejahatan ini secara terselubung terjadi di berbagai belahan dunia. Oleh sebab itu, perlu dibangun suatu perspektif kolaborasi sehingga situasi fenomena ini lebih disadari oleh masyarakat, dan tercipta upaya kreatif dan menarik dalam memerangi eksploitasi anak di destinasi wisata, khususnya wisata perdesaan.
Diharapkan Buku Panduan ini diharapkan dapat membantu komunitas perlindungan anak dan pariwisatas setempat, khususnya PATBM dan Pokdarwis, dalam memfasilitasi pelatihan, pertemuan-pertemuan dan pendampingan untuk perlindungan anak dari eksploitasi di destinasi wisata, khususnya wisata perdesaan.
Modul Pelatihan Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Seksual Kome...ECPAT Indonesia
Modul ditulis untuk fasilitator pelatihan, dimana peserta pelatihan terdiri dari Perangkat Desa (diantaranya
terdiri dari Bendahara/Sekretaris, Kepala Desa dan Perwakilan dari Badan Perwakilan Desa(BPD)),
Pemerintah Daerah (diantaranya perwakilan dari Dinas Pariwisata, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Dinas Perijinan/PTSP dan Tenaga
Kesehatan), Polisi, Stakeholder Pariwisata (diantaranya berasal dari perwakilan, Travel, SPA, Karaoke, Guide,
Driver Trevel, Hotel, Pengusaha Warnet), Tenaga Pendidik, PKK, PHRI, Kelompok Sadar Wisata, Tokoh
Agama, Tokoh Masyarakat, NGO, Karang Taruna, Forum Anak. Dimana keberadaan dan profesinya
selama ini terkait erat dengan upaya perlindungan anak dari kekerasan dan eksploitasi seksual di daerah
tujuan wisata. Modul ini sebagai alat bantu bagi fasilitator untuk menyampaikan informasi dan melatih
peserta pelatihan dari daerah tujuan wisata untuk menyiapkan diri dalam membuat strategi perlindungan
anak dalam menghadapi ancaman kekerasan dan eksploitasi seksual.
Catatan Akhir Tahun ECPAT Indonesia - Tahun 2017ECPAT Indonesia
Dalam mewujudkan visi misinya, ECPAT Indonesia memilih beberapa strategi, diantaranya penelitian, sosialisasi, pelatihan, kerjasama, Focus Group Discussion (FGD) dll. Kiprah ECPAT Indonesia
selama 13 tahun, telah menemukan banyak permasalahan anak di Indonesia, diantaranya anak putus sekolah, anak terpapar pornografi melalui smartphone, perkawinan anak, hubungan seks anak dengan anak, anak mengalami kekerasan seksual, anak menjadi pekerja atau sebagai pencari nafkah, keseluruhan kasus yang ECPAT Indonesia temukan rentan menjadi pintu masuk terjadinya eksploitasi seksual komersial.
KPPPA bekerjasama dengan ECPAT Indonesia sejak tahun 2018, telah berhasil menyusun Pedoman Desa/Kelurahan Bebas dari Pornografi. Pedoman tersebut disusun berdasarkan hasil assesmen ditingkat kelurahan/desa, yang melibatkan stakeholder desa/kelurahan, organisasi masyarakat dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Hingga ditahun 2019 KPPPA dengan ECPAT Indonesia telah membentuk dan mendampingi 9 Desa/Kelurahan yang telah mendeklarasikan menjadi Desa bebas dari pornografi anak. Dimana Desa-Desa tersebut bersama masyarakat bahu membahu membangun sistem pencegahan dan penanganan serta perlindungan anak dari pornografi.
Berdasarkan pada keberhasilan tersebut KPPPA dengan ECPAT Indonesia kembali akan melanjutkan program kerjasama di tahun 2021 dalam upaya Pencegahan dan Penanganan Pornografi anak di Indonesia, dengan membangun sistem perlindungan anak dari bahaya pornografi berbasis Desa/Kelurahan.
Materi dalam Talkshow : Menata Pariwisata Berkelanjutan Ramah Anak dalam Agenda Pemulihan Sektor Travel & Tourism Pasca Pandemi Covid-19. Tujuan penyelenggaraan kegiatan ini adalah sebagai refleksi upaya perlindungan anak di wilayah pariwisata yang selama ini telah dilakukan, serta agenda kedepan yang ingin dicapai oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia.
Buku Panduan Wisata Perdesaan Ramah Anak Bebas EksplotasiECPAT Indonesia
Buku Panduan ini disusun sebagai bahan untuk memperkuat kapasitas dan pemahaman dalam mencegah dan menanggulangi eksploitasi terhadap anak yang berpotensi terjadi di wisata perdesaan.
Situasi eksploitasi anak di destinasi wisata merupakan kejahatan yang dilakukan oleh individu atau terorganisir untuk memanfaatkan anak-anak yang berada di destinasi wisata untuk pemenuhan ekonomi maupun seksual. Kejahatan ini secara terselubung terjadi di berbagai belahan dunia. Oleh sebab itu, perlu dibangun suatu perspektif kolaborasi sehingga situasi fenomena ini lebih disadari oleh masyarakat, dan tercipta upaya kreatif dan menarik dalam memerangi eksploitasi anak di destinasi wisata, khususnya wisata perdesaan.
Diharapkan Buku Panduan ini diharapkan dapat membantu komunitas perlindungan anak dan pariwisatas setempat, khususnya PATBM dan Pokdarwis, dalam memfasilitasi pelatihan, pertemuan-pertemuan dan pendampingan untuk perlindungan anak dari eksploitasi di destinasi wisata, khususnya wisata perdesaan.
Modul Pelatihan Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Seksual Kome...ECPAT Indonesia
Modul ditulis untuk fasilitator pelatihan, dimana peserta pelatihan terdiri dari Perangkat Desa (diantaranya
terdiri dari Bendahara/Sekretaris, Kepala Desa dan Perwakilan dari Badan Perwakilan Desa(BPD)),
Pemerintah Daerah (diantaranya perwakilan dari Dinas Pariwisata, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Dinas Perijinan/PTSP dan Tenaga
Kesehatan), Polisi, Stakeholder Pariwisata (diantaranya berasal dari perwakilan, Travel, SPA, Karaoke, Guide,
Driver Trevel, Hotel, Pengusaha Warnet), Tenaga Pendidik, PKK, PHRI, Kelompok Sadar Wisata, Tokoh
Agama, Tokoh Masyarakat, NGO, Karang Taruna, Forum Anak. Dimana keberadaan dan profesinya
selama ini terkait erat dengan upaya perlindungan anak dari kekerasan dan eksploitasi seksual di daerah
tujuan wisata. Modul ini sebagai alat bantu bagi fasilitator untuk menyampaikan informasi dan melatih
peserta pelatihan dari daerah tujuan wisata untuk menyiapkan diri dalam membuat strategi perlindungan
anak dalam menghadapi ancaman kekerasan dan eksploitasi seksual.
Catatan Akhir Tahun ECPAT Indonesia - Tahun 2017ECPAT Indonesia
Dalam mewujudkan visi misinya, ECPAT Indonesia memilih beberapa strategi, diantaranya penelitian, sosialisasi, pelatihan, kerjasama, Focus Group Discussion (FGD) dll. Kiprah ECPAT Indonesia
selama 13 tahun, telah menemukan banyak permasalahan anak di Indonesia, diantaranya anak putus sekolah, anak terpapar pornografi melalui smartphone, perkawinan anak, hubungan seks anak dengan anak, anak mengalami kekerasan seksual, anak menjadi pekerja atau sebagai pencari nafkah, keseluruhan kasus yang ECPAT Indonesia temukan rentan menjadi pintu masuk terjadinya eksploitasi seksual komersial.
KPPPA bekerjasama dengan ECPAT Indonesia sejak tahun 2018, telah berhasil menyusun Pedoman Desa/Kelurahan Bebas dari Pornografi. Pedoman tersebut disusun berdasarkan hasil assesmen ditingkat kelurahan/desa, yang melibatkan stakeholder desa/kelurahan, organisasi masyarakat dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Hingga ditahun 2019 KPPPA dengan ECPAT Indonesia telah membentuk dan mendampingi 9 Desa/Kelurahan yang telah mendeklarasikan menjadi Desa bebas dari pornografi anak. Dimana Desa-Desa tersebut bersama masyarakat bahu membahu membangun sistem pencegahan dan penanganan serta perlindungan anak dari pornografi.
Berdasarkan pada keberhasilan tersebut KPPPA dengan ECPAT Indonesia kembali akan melanjutkan program kerjasama di tahun 2021 dalam upaya Pencegahan dan Penanganan Pornografi anak di Indonesia, dengan membangun sistem perlindungan anak dari bahaya pornografi berbasis Desa/Kelurahan.
Buku Panduan Terminologi Perlindungan Anak dari EksploitasiECPAT Indonesia
Istilah dan bentuk eksploitasi seksual dan/atau eksploitasi ekonomi terhadap anak terus berkembang seiring dengan kemajuan teknologi. Buku panduan ini mengadaptasi terminologi Eksploitasi di tingkat global yaitu “Terminology Guidelines for The Protection of Children From Sexual Exploitation and Sexual Abuse” yang diterbitkan oleh ECPAT International dan disesuaikan dengan peraturan perundangan Indonesia dan pengalaman pelaku perlindungan anak, yang disesuaikan dengan peraturan perundangan Indonesia dan pengalaman pelaku perlindungan anak, diharapkan dapat menambah referensi/rujukan untuk memahami dinamika eksploitasi yang terjadi terhadap anak.
Semoga panduan ini berkontribusi signifikan dalam upaya penegakan hukum dan pengembangan kebijakan perlindungan anak untuk memastikan Anak Indonesia terbebas dari segala bentuk eksploitasi.
Sulit dipungkiri bahwa di masa depan tidak ada bangsa yang dapat bersembunyi dari arus tanpa batas di era globalisasi. Era dimana pergaulan dunia semakin terbuka lebar yang bukan saja membawa keuntungan, namun juga diikuti dengan dampak yang sulit dikendalikan. Masa depan menjadi semakin sulit ditebak dan terkadang terjadi diluar dugaan sehingga memberikan kejutan-kejutan yang mengancam kehidupan masyarakat baik dari dimensi politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Arus lintas batas di era globalisasi pun masuk dalam ranah-ranah yang sulit dikendalikan, termasuk pornografi yang tidak hanya melibatkan orang dewasa tetapi juga anak-anak. Bahkan, pornografi anak menjadi ladang bisnis yang menjanjikan keuntungan yang besar sehingga anak-anak kerap dijadikan target baik sebagai objek maupun sebagai konsumen. Maraknya pornografi yang melibatkan anak-anak ini tidak terlepas dari pengaruh internet dan pengaruh media sosial yang menggandrungi kehidupan anak-anak.
Meskipun belum tersedia data secara global, namun beberapa lembaga yang melakukan pendataan menemukan pornografi yang melibatkan anak-anak meningkat secara tajam. The NCMEC (National Center for Missing and Exploited Children) Cybertipline, lembaga yang berada di Amerika Serikat dan menangani laporan eksploitasi seksual anak di ranah siber memaparkan, telah lebih dari 7,5 juta laporan eksploitasi seksual anak di ranah siber tercatat sejak tahun 1998. Menariknya, laporan meningkat tajam sejak tahun 2015 dengan jumlah laporan mencapai sekitar 4,4 juta atau lebih dari separuhnya. Pada tahun 2016, INHOPE, asosiasi pengaduan
konten melalui internet, menemukan bahwa terdapat 8,4 juta URL/situs yang mengandung konten pornografi anak dan tersebar di seluruh dunia.
Terdapat juga indikasi bahwa konten pornografi anak diedarkan oleh pelaku melalui platform yang lebih tersembunyi, seperti jaringan berbagi file online (termasuk peer-to-peer) atau melalui ‘Dark Net’ atau teknik perangkat lunak yang di enkripsi. Dalam konteks Indonesia, anak-anak Indonesia mengalami dua hal yaitu menjadi target kejahatan pornografi dan terpapar pornografi. Ditemukan sejumlah fakta bahwa anak-anak di Indonesia dijadikan objek pornografi baik oleh pelaku kejahatan yang tidak terorganisir maupun oleh pelaku kejahatan yang terorganisir untuk dikomersialisasikan. Sebut saja kasus
Tjandra di Surabaya yang berhasil mengumpulkan lebih dari 10.000 gambar yang mengandung konten pornografi anak yang dia dapat melalui media sosial yang kemudian diketahui bahwa beliau menyebarkan dan memperjual belikan gambar-gambar tersebut ke jaringan pedofil internasional.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anakk menginisiasi lahirnya Desa/Kelurahan Bebas Pornografi
anak. Desa/Kelurahan Bebas Pornografi anak adalah suatu kawasan desa/ kelurahan yang pemerintah, penduduk, dan pihak yang berkepentingan memiliki komitmen dan program konkret dan berkelanjutan dalam mencegah dan menanggulangi pornografi anak.
Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak 2016 - 2020ECPAT Indonesia
Kekerasan terhadap anak telah menjadi agenda pembangunan global dan
nasional sejak ditandatanganinya Konvensi Hak Anak (KHA) 25 tahun lalu,
dimana Indonesia mempakan salah satu negara yang ikut terlibat dan telah
meratifikasinya menjadi Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 tahun
2002. Dalam berbagai kebijakan terkait perlindungan anak, Pemerintah
Indonesia berkomitmen dalam mencegah dan menangani kekerasan terhadap
anak, termasuk di dalamnya upaya-upaya untuk menghentikan kekerasan fisik,
seksual, emosional hingga penelantaran terhadap anak. Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 bidang pembangunan kualitas
sumber daya manusia telah memuat target khusus penumnan angka kekerasan
terhadap anak.
Materi 6 - Peran dan Tanggungjawab Pemerintah Desa atau KelurahanECPAT Indonesia
KPPPA bekerjasama dengan ECPAT Indonesia sejak tahun 2018, telah berhasil menyusun Pedoman Desa/Kelurahan Bebas dari Pornografi. Pedoman tersebut disusun berdasarkan hasil assesmen ditingkat kelurahan/desa, yang melibatkan stakeholder desa/kelurahan, organisasi masyarakat dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Hingga ditahun 2019 KPPPA dengan ECPAT Indonesia telah membentuk dan mendampingi 9 Desa/Kelurahan yang telah mendeklarasikan menjadi Desa bebas dari pornografi anak. Dimana Desa-Desa tersebut bersama masyarakat bahu membahu membangun sistem pencegahan dan penanganan serta perlindungan anak dari pornografi.
Berdasarkan pada keberhasilan tersebut KPPPA dengan ECPAT Indonesia kembali akan melanjutkan program kerjasama di tahun 2021 dalam upaya Pencegahan dan Penanganan Pornografi anak di Indonesia, dengan membangun sistem perlindungan anak dari bahaya pornografi berbasis Desa/Kelurahan.
MENAGIH PEMERINTAH UNTUK MEMBERIKAN PEMENUHAN HAK-HAK (KOMPENSASI) BAGI KORBA...ECPAT Indonesia
Pada kasus-kasus kekerasan seksual khususnya kepada anak-anak, pemerintah melalui penegakan hukum telah mennjatuhkan putusan kepada pelaku-pelaku kejahatan seksual. namun apakah pemerintah memikirkan kondisi korban dan keluarga korban setelah kejadian?
Sejauh ini pemerintah belum memberikan hak-hak korban, sementara dalam Undang-undang telah mengatur mengenai hak-hak korban khususnya mengenai Restitusi yang diberikan kepada korban oleh pelaku, dan juga mengatur mengenai hak Kompensasi ganti kerugian yang diberikan oleh negara kepada korban.
NEGARA MEMBAYAR KOMPENSASI BAGI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL ANAK
Pada kasus-kasus kekerasan seksual anak, pemerintah harusnya menjalankan tanggungjawabnya untuk memberikan kompensasi bagi korban ataupun keluarga korban kekerasan seksual anak, hal ini disampaikan karena ini sebagai salah satu kelalaian dan kegagalan ketidakhadiran negara untuk memberikan perlindungan bagi warga negaranya khususnya bagi anak-anak.
Maka berdasarkan dengan itu kami Meminta kepada Pemerintah agar:
1. Pemerintah memberikan pemenuhan hak-hak korban untuk memberikan kompensasi bagi korban ataupun bagi keluarga korban, pemberian kompensasi ini dilakukan karena negara tidak hadir dan gagal untuk memberikan perlindungan kepada anak-anak.
2. Pemberianhukuman yang berat bagi pelaku merupakan jalan terakhir setelah Negara menjamin lingkungan yang aman terhadap pencegahan kekerasan dan eksploitasi seksual anak yang di dalamnya termasuk pendidikan hukum, sistem sosial yang peka terhadap kekerasan seksual anak, kampanye terus menerus agar tidak terjadi kekerasan pada anak, mekanisme kontrol dan pengawasan anak, mudahnya untuk melapor dan penegakan hukum yang mudah dan murah.
3. Melakukan proses re-integrasi dengan menggunakan prinsip-prinsip perlindungan yang baik terhadap korban untuk kembali kepada keluarga, sekolah dan masyarakat.
Modul Smart School Online Untuk Orang Tua “Eksploitasi Seksual Anak di Ranah ...ECPAT Indonesia
Modul edukasi tentang Eksploitasi seksual anak di ranah online saat ini telah berhasil di selesaikan oleh tim penulis dari ECPAT Indonesia didalam program “Smart School Online” untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan pengetahuan dan pemahamannya dalam menyikapi perkembangan internet saat ini. Modul ini merupakan salah satu modul dari 3 seri modul program “Smart School Online” yang melengkapi modul lainnya.
Secara khusus modul ini memberikan panduan bagi fasilitator untuk menjawab kekhawatiran orang tua, guru dan masyarakat terhadap situasi eksploitasi seksual komerisal anak di ranah online, agar fasilitator dapat berperan lebih optimal dalam mengedukasi masyarakat dengan mengedepankan upaya pencegahan dan memberikan respon yang tepat bila mendapati situasi tersebut.
Perlindungan dan penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual pada anakTrini Handayani
Beberapa waktu yang lalu, penduduk Indonesia dikejutkan dengan berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi pada lembaga pendidikan yang notabene merupakan lembaga yang sangat dipercaya untuk membentuk karakter anak yang berbudi luhur serta sebagai harapan orang tua demi masa depan akademik anaknya. Kasus yang terjadi di luar lembaga pendidikanpun sangat mencengangkan, dengan korban lebih dari 100 (seratus) anak yang dilakukan sodomi oleh seorang yang sudah dikenal secara baik oleh korban dengan iming-iming hadiah yang tidak seberapa serta ancaman agar perbuatan tersebut tidak dilaporkan kepada siapapun oleh korban kekerasan seksual tersebut. Korban maupun keluarga korban menunda laporan ke pihak yang berwajib dikarenakan kekerasan seksual tersebut dianggap sebagai aib keluarga, sehingga jatuh korban yang sangat banyak.
Organisasi SOSIAL yang focus pada Anak & Remaja
Mengharapkan banya pemerintah daerah bekerjasam mengkampanyekan GERAKAN MASYARAKAT PEDULI ANAK DAN REMAJA
Mengharapkan Kami diundang untuk mensosialisasikan ke pada masyarakat setempat pada anak Sekolah pada dunia Kampus dan pada daerah daerah yang mana nanti diharapkan menjadi Gerakan Bersama
Dalam hal ini KPPPA bekerjasama dengan ECPAT Indonesia sejak tahun 2018, telah berhasil menyusun Pedoman Desa/Kelurahan Bebas dari Pornografi. Pedoman tersebut disusun berdasarkan hasil assesmen ditingkat kelurahan/desa, yang melibatkan stakeholder desa/kelurahan, organisasi masyarakat dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Hingga ditahun 2019 KPPPA dengan ECPAT Indonesia telah membentuk dan mendampingi 9 Desa/Kelurahan yang telah mendeklarasikan menjadi Desa bebas dari pornografi anak. Dimana Desa-Desa tersebut bersama masyarakat bahu membahu membangun sistem pencegahan dan penanganan serta perlindungan anak dari pornografi.
Berdasarkan pada keberhasilan tersebut KPPPA dengan ECPAT Indonesia kembali akan melanjutkan program kerjasama di tahun 2021 dalam upaya Pencegahan dan Penanganan Pornografi anak di Indonesia, dengan membangun sistem perlindungan anak dari bahaya pornografi berbasis Desa/Kelurahan.
Kebijakan Perlindungan Anak untuk menyelamatkan generasi masa depan. LOS 2016 Surabaya.
Materi ini disusun oleh pak Didik Yudhi, berhubungan dengan peraturan kemendikbud no 82 tahun 2015 mengenai penanggulangan kekerasan pada anak. harapannya agar menjadi perhatian bagi panitia LOS tahun 2016
Rencana Aksi Nasional Perlindungan Anak 2015-2019ECPAT Indonesia
Rencana Aksi Nasional Perlindungan Anak (RAN-PA) merupakan penjabaran lebih rinci atas pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 untuk mencapai sasaran pembangunan perlindungan anak sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 2/2015 tentang RPJMN tahun 2015-2019. Pencapaian berbagai sasaran komitmen global seperti Konvensi Hak Anak dan Sustainable Development Goals juga menjadi tujuan dalam rencana aksi ini.
Seperti yang tertera dalam dokumen RPJMN 2015-2019, Pemerintah Indonesia berkomitmen dalam upaya perlindungan anak sebagai bagian dari bentuk investasi terhadap pembangunan sumber daya manusia. Cita-cita besar inipun sejalan dengan agenda nasional pembangunan (Nawacita). Pemenuhan hak dan perlindungan anak secara optimal akan menghasilkan individu berkualitas yang akan membawa kemajuan bangsa di masa yang akan datang, sebaliknya jika permasalahan anak tidak tertangani dengan baik maka generasi selanjutnya akan menjadi beban bagi negara.
Modul eksploitasi seksual anak online ecpat (anak)ECPAT Indonesia
Sebuah modul edukasi tentang eksploitasi seksual anak di ranah online untuk program “Smart School Online”. Secara khusus modul ini memberikan panduan bagi fasilitator agar
dapat berperan lebih optimal dalam mengedukasi anak dan orang muda dengan mengedepankan upaya pencegahan dan memberikan respon yang tepat bila mendapati situasi eksploitasi seksual anak yang terjadi di ranah online. Modul ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada anak dan orang muda tentang definisi, bentuk-bentuk eksploitasi seksual anak di ranah online dan gambaran umum kasus-kasus yang terjadi di Indonesia. Modul ini juga mengajak anak dan orang muda untuk mengenali jenis-jenis pelaku eksploitasi seksual anak di ranah online serta mengetahui langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya eksploitasi seksual anak di ranah online.
Menentang Pornografi dan Eksploitasi Terhadap AnakECPAT Indonesia
sebagai sebuah jaringan organisasi dan individu yang konsern terhadap penghapusan eksploitasi seksual komeridal terhadap anak (ESKA), ECPAT berharap agar masyarakat dunia dapat menjamin bahwa anak-anak d seluruh dunia terbebas dari semua bentuk ekploitasi
Buku Panduan Terminologi Perlindungan Anak dari EksploitasiECPAT Indonesia
Istilah dan bentuk eksploitasi seksual dan/atau eksploitasi ekonomi terhadap anak terus berkembang seiring dengan kemajuan teknologi. Buku panduan ini mengadaptasi terminologi Eksploitasi di tingkat global yaitu “Terminology Guidelines for The Protection of Children From Sexual Exploitation and Sexual Abuse” yang diterbitkan oleh ECPAT International dan disesuaikan dengan peraturan perundangan Indonesia dan pengalaman pelaku perlindungan anak, yang disesuaikan dengan peraturan perundangan Indonesia dan pengalaman pelaku perlindungan anak, diharapkan dapat menambah referensi/rujukan untuk memahami dinamika eksploitasi yang terjadi terhadap anak.
Semoga panduan ini berkontribusi signifikan dalam upaya penegakan hukum dan pengembangan kebijakan perlindungan anak untuk memastikan Anak Indonesia terbebas dari segala bentuk eksploitasi.
Sulit dipungkiri bahwa di masa depan tidak ada bangsa yang dapat bersembunyi dari arus tanpa batas di era globalisasi. Era dimana pergaulan dunia semakin terbuka lebar yang bukan saja membawa keuntungan, namun juga diikuti dengan dampak yang sulit dikendalikan. Masa depan menjadi semakin sulit ditebak dan terkadang terjadi diluar dugaan sehingga memberikan kejutan-kejutan yang mengancam kehidupan masyarakat baik dari dimensi politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Arus lintas batas di era globalisasi pun masuk dalam ranah-ranah yang sulit dikendalikan, termasuk pornografi yang tidak hanya melibatkan orang dewasa tetapi juga anak-anak. Bahkan, pornografi anak menjadi ladang bisnis yang menjanjikan keuntungan yang besar sehingga anak-anak kerap dijadikan target baik sebagai objek maupun sebagai konsumen. Maraknya pornografi yang melibatkan anak-anak ini tidak terlepas dari pengaruh internet dan pengaruh media sosial yang menggandrungi kehidupan anak-anak.
Meskipun belum tersedia data secara global, namun beberapa lembaga yang melakukan pendataan menemukan pornografi yang melibatkan anak-anak meningkat secara tajam. The NCMEC (National Center for Missing and Exploited Children) Cybertipline, lembaga yang berada di Amerika Serikat dan menangani laporan eksploitasi seksual anak di ranah siber memaparkan, telah lebih dari 7,5 juta laporan eksploitasi seksual anak di ranah siber tercatat sejak tahun 1998. Menariknya, laporan meningkat tajam sejak tahun 2015 dengan jumlah laporan mencapai sekitar 4,4 juta atau lebih dari separuhnya. Pada tahun 2016, INHOPE, asosiasi pengaduan
konten melalui internet, menemukan bahwa terdapat 8,4 juta URL/situs yang mengandung konten pornografi anak dan tersebar di seluruh dunia.
Terdapat juga indikasi bahwa konten pornografi anak diedarkan oleh pelaku melalui platform yang lebih tersembunyi, seperti jaringan berbagi file online (termasuk peer-to-peer) atau melalui ‘Dark Net’ atau teknik perangkat lunak yang di enkripsi. Dalam konteks Indonesia, anak-anak Indonesia mengalami dua hal yaitu menjadi target kejahatan pornografi dan terpapar pornografi. Ditemukan sejumlah fakta bahwa anak-anak di Indonesia dijadikan objek pornografi baik oleh pelaku kejahatan yang tidak terorganisir maupun oleh pelaku kejahatan yang terorganisir untuk dikomersialisasikan. Sebut saja kasus
Tjandra di Surabaya yang berhasil mengumpulkan lebih dari 10.000 gambar yang mengandung konten pornografi anak yang dia dapat melalui media sosial yang kemudian diketahui bahwa beliau menyebarkan dan memperjual belikan gambar-gambar tersebut ke jaringan pedofil internasional.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anakk menginisiasi lahirnya Desa/Kelurahan Bebas Pornografi
anak. Desa/Kelurahan Bebas Pornografi anak adalah suatu kawasan desa/ kelurahan yang pemerintah, penduduk, dan pihak yang berkepentingan memiliki komitmen dan program konkret dan berkelanjutan dalam mencegah dan menanggulangi pornografi anak.
Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak 2016 - 2020ECPAT Indonesia
Kekerasan terhadap anak telah menjadi agenda pembangunan global dan
nasional sejak ditandatanganinya Konvensi Hak Anak (KHA) 25 tahun lalu,
dimana Indonesia mempakan salah satu negara yang ikut terlibat dan telah
meratifikasinya menjadi Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 tahun
2002. Dalam berbagai kebijakan terkait perlindungan anak, Pemerintah
Indonesia berkomitmen dalam mencegah dan menangani kekerasan terhadap
anak, termasuk di dalamnya upaya-upaya untuk menghentikan kekerasan fisik,
seksual, emosional hingga penelantaran terhadap anak. Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 bidang pembangunan kualitas
sumber daya manusia telah memuat target khusus penumnan angka kekerasan
terhadap anak.
Materi 6 - Peran dan Tanggungjawab Pemerintah Desa atau KelurahanECPAT Indonesia
KPPPA bekerjasama dengan ECPAT Indonesia sejak tahun 2018, telah berhasil menyusun Pedoman Desa/Kelurahan Bebas dari Pornografi. Pedoman tersebut disusun berdasarkan hasil assesmen ditingkat kelurahan/desa, yang melibatkan stakeholder desa/kelurahan, organisasi masyarakat dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Hingga ditahun 2019 KPPPA dengan ECPAT Indonesia telah membentuk dan mendampingi 9 Desa/Kelurahan yang telah mendeklarasikan menjadi Desa bebas dari pornografi anak. Dimana Desa-Desa tersebut bersama masyarakat bahu membahu membangun sistem pencegahan dan penanganan serta perlindungan anak dari pornografi.
Berdasarkan pada keberhasilan tersebut KPPPA dengan ECPAT Indonesia kembali akan melanjutkan program kerjasama di tahun 2021 dalam upaya Pencegahan dan Penanganan Pornografi anak di Indonesia, dengan membangun sistem perlindungan anak dari bahaya pornografi berbasis Desa/Kelurahan.
MENAGIH PEMERINTAH UNTUK MEMBERIKAN PEMENUHAN HAK-HAK (KOMPENSASI) BAGI KORBA...ECPAT Indonesia
Pada kasus-kasus kekerasan seksual khususnya kepada anak-anak, pemerintah melalui penegakan hukum telah mennjatuhkan putusan kepada pelaku-pelaku kejahatan seksual. namun apakah pemerintah memikirkan kondisi korban dan keluarga korban setelah kejadian?
Sejauh ini pemerintah belum memberikan hak-hak korban, sementara dalam Undang-undang telah mengatur mengenai hak-hak korban khususnya mengenai Restitusi yang diberikan kepada korban oleh pelaku, dan juga mengatur mengenai hak Kompensasi ganti kerugian yang diberikan oleh negara kepada korban.
NEGARA MEMBAYAR KOMPENSASI BAGI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL ANAK
Pada kasus-kasus kekerasan seksual anak, pemerintah harusnya menjalankan tanggungjawabnya untuk memberikan kompensasi bagi korban ataupun keluarga korban kekerasan seksual anak, hal ini disampaikan karena ini sebagai salah satu kelalaian dan kegagalan ketidakhadiran negara untuk memberikan perlindungan bagi warga negaranya khususnya bagi anak-anak.
Maka berdasarkan dengan itu kami Meminta kepada Pemerintah agar:
1. Pemerintah memberikan pemenuhan hak-hak korban untuk memberikan kompensasi bagi korban ataupun bagi keluarga korban, pemberian kompensasi ini dilakukan karena negara tidak hadir dan gagal untuk memberikan perlindungan kepada anak-anak.
2. Pemberianhukuman yang berat bagi pelaku merupakan jalan terakhir setelah Negara menjamin lingkungan yang aman terhadap pencegahan kekerasan dan eksploitasi seksual anak yang di dalamnya termasuk pendidikan hukum, sistem sosial yang peka terhadap kekerasan seksual anak, kampanye terus menerus agar tidak terjadi kekerasan pada anak, mekanisme kontrol dan pengawasan anak, mudahnya untuk melapor dan penegakan hukum yang mudah dan murah.
3. Melakukan proses re-integrasi dengan menggunakan prinsip-prinsip perlindungan yang baik terhadap korban untuk kembali kepada keluarga, sekolah dan masyarakat.
Modul Smart School Online Untuk Orang Tua “Eksploitasi Seksual Anak di Ranah ...ECPAT Indonesia
Modul edukasi tentang Eksploitasi seksual anak di ranah online saat ini telah berhasil di selesaikan oleh tim penulis dari ECPAT Indonesia didalam program “Smart School Online” untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan pengetahuan dan pemahamannya dalam menyikapi perkembangan internet saat ini. Modul ini merupakan salah satu modul dari 3 seri modul program “Smart School Online” yang melengkapi modul lainnya.
Secara khusus modul ini memberikan panduan bagi fasilitator untuk menjawab kekhawatiran orang tua, guru dan masyarakat terhadap situasi eksploitasi seksual komerisal anak di ranah online, agar fasilitator dapat berperan lebih optimal dalam mengedukasi masyarakat dengan mengedepankan upaya pencegahan dan memberikan respon yang tepat bila mendapati situasi tersebut.
Perlindungan dan penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual pada anakTrini Handayani
Beberapa waktu yang lalu, penduduk Indonesia dikejutkan dengan berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi pada lembaga pendidikan yang notabene merupakan lembaga yang sangat dipercaya untuk membentuk karakter anak yang berbudi luhur serta sebagai harapan orang tua demi masa depan akademik anaknya. Kasus yang terjadi di luar lembaga pendidikanpun sangat mencengangkan, dengan korban lebih dari 100 (seratus) anak yang dilakukan sodomi oleh seorang yang sudah dikenal secara baik oleh korban dengan iming-iming hadiah yang tidak seberapa serta ancaman agar perbuatan tersebut tidak dilaporkan kepada siapapun oleh korban kekerasan seksual tersebut. Korban maupun keluarga korban menunda laporan ke pihak yang berwajib dikarenakan kekerasan seksual tersebut dianggap sebagai aib keluarga, sehingga jatuh korban yang sangat banyak.
Organisasi SOSIAL yang focus pada Anak & Remaja
Mengharapkan banya pemerintah daerah bekerjasam mengkampanyekan GERAKAN MASYARAKAT PEDULI ANAK DAN REMAJA
Mengharapkan Kami diundang untuk mensosialisasikan ke pada masyarakat setempat pada anak Sekolah pada dunia Kampus dan pada daerah daerah yang mana nanti diharapkan menjadi Gerakan Bersama
Dalam hal ini KPPPA bekerjasama dengan ECPAT Indonesia sejak tahun 2018, telah berhasil menyusun Pedoman Desa/Kelurahan Bebas dari Pornografi. Pedoman tersebut disusun berdasarkan hasil assesmen ditingkat kelurahan/desa, yang melibatkan stakeholder desa/kelurahan, organisasi masyarakat dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Hingga ditahun 2019 KPPPA dengan ECPAT Indonesia telah membentuk dan mendampingi 9 Desa/Kelurahan yang telah mendeklarasikan menjadi Desa bebas dari pornografi anak. Dimana Desa-Desa tersebut bersama masyarakat bahu membahu membangun sistem pencegahan dan penanganan serta perlindungan anak dari pornografi.
Berdasarkan pada keberhasilan tersebut KPPPA dengan ECPAT Indonesia kembali akan melanjutkan program kerjasama di tahun 2021 dalam upaya Pencegahan dan Penanganan Pornografi anak di Indonesia, dengan membangun sistem perlindungan anak dari bahaya pornografi berbasis Desa/Kelurahan.
Kebijakan Perlindungan Anak untuk menyelamatkan generasi masa depan. LOS 2016 Surabaya.
Materi ini disusun oleh pak Didik Yudhi, berhubungan dengan peraturan kemendikbud no 82 tahun 2015 mengenai penanggulangan kekerasan pada anak. harapannya agar menjadi perhatian bagi panitia LOS tahun 2016
Rencana Aksi Nasional Perlindungan Anak 2015-2019ECPAT Indonesia
Rencana Aksi Nasional Perlindungan Anak (RAN-PA) merupakan penjabaran lebih rinci atas pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 untuk mencapai sasaran pembangunan perlindungan anak sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 2/2015 tentang RPJMN tahun 2015-2019. Pencapaian berbagai sasaran komitmen global seperti Konvensi Hak Anak dan Sustainable Development Goals juga menjadi tujuan dalam rencana aksi ini.
Seperti yang tertera dalam dokumen RPJMN 2015-2019, Pemerintah Indonesia berkomitmen dalam upaya perlindungan anak sebagai bagian dari bentuk investasi terhadap pembangunan sumber daya manusia. Cita-cita besar inipun sejalan dengan agenda nasional pembangunan (Nawacita). Pemenuhan hak dan perlindungan anak secara optimal akan menghasilkan individu berkualitas yang akan membawa kemajuan bangsa di masa yang akan datang, sebaliknya jika permasalahan anak tidak tertangani dengan baik maka generasi selanjutnya akan menjadi beban bagi negara.
Modul eksploitasi seksual anak online ecpat (anak)ECPAT Indonesia
Sebuah modul edukasi tentang eksploitasi seksual anak di ranah online untuk program “Smart School Online”. Secara khusus modul ini memberikan panduan bagi fasilitator agar
dapat berperan lebih optimal dalam mengedukasi anak dan orang muda dengan mengedepankan upaya pencegahan dan memberikan respon yang tepat bila mendapati situasi eksploitasi seksual anak yang terjadi di ranah online. Modul ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada anak dan orang muda tentang definisi, bentuk-bentuk eksploitasi seksual anak di ranah online dan gambaran umum kasus-kasus yang terjadi di Indonesia. Modul ini juga mengajak anak dan orang muda untuk mengenali jenis-jenis pelaku eksploitasi seksual anak di ranah online serta mengetahui langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya eksploitasi seksual anak di ranah online.
Menentang Pornografi dan Eksploitasi Terhadap AnakECPAT Indonesia
sebagai sebuah jaringan organisasi dan individu yang konsern terhadap penghapusan eksploitasi seksual komeridal terhadap anak (ESKA), ECPAT berharap agar masyarakat dunia dapat menjamin bahwa anak-anak d seluruh dunia terbebas dari semua bentuk ekploitasi
GLOBAL STUDY ON SEXUAL EXPLOITATION OF CHILDREN IN TRAVEL AND TOURISMECPAT Indonesia
Indonesia is one of the world’s major tourism destinations. It attracts millions of tourists every year from all over the world, including many local visitors. The high tourism rate in Indonesia is influenced by easy access to its nationwide tourist attractions, high volume of flights and cheap accommodation. The rising number of both local and foreign visitors has led to an increased demand for entertainment facilities, most notably in the sex trade. Research on child sex tourism in Indonesia conducted by ECPAT Indonesia found that, on the whole, Indonesia did not recognise or offer sex tourism in its popular destinations, although many manipulated the tourism industry to sexually exploit children.
Eksploitasi Seksual Komersia Anak di IndonesiaECPAT Indonesia
Tidak ada yang ingin anak-anak Indonesia yang disebut-sebut sebagai penerus bangsa, terjerat dalam komersialisasi seksual orang-orang dewasadi sekitar mereka. nasib anak-anak negeri ini sudah semakin parah, mereka dijerumuskan oleh berbagai pihak dan masuk dalam situasi Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA). ESKA merupakan bentuk kejahatan yang menimpa anak-anak dalam bentuk pelacuran anak, pornografi anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual dan pariwisata seks anak
THE SCOPE AND MAGNITUDE OF ONLINE SEXUAL ABUSE OF CHILDREN IN INDONESIAECPAT Indonesia
Research on the Scope and Magnitude of Online Sexual Abuse of Children in Indonesia was conducted in three cities, namely: Jakarta, Bandung and Surabaya. Data in this research was collected by using some methods such as document study, in-depth interview, quesionaire and focus group discussion (FGD).
In Jakarta, we interviewed 17 informants with different backgrounds such bloggers, Ministry of Women’s Empowerment and Child Protection (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Ministry of Communication and Information (Kementerian Komunikasi dan Informasi), Yayasan Nawala, ID Kita Kompasiana, The Jakarta Post, Merdekadotcom, criminologist from Universitas Indonesia (UI), Yayasan Bandungwangi, Commission for the Protection of Indonesian Children (Komisi Perlindungan Anak Indonesia – KPAI), Integrated Service Center for Women’s Empowerment and Children (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak – P2TP2A), ICT Watch, Microsoft and Cyber Crime Unit of the Headquarter of Indonesian Police.
In Surabaya, we interviewed five informants who were victims of online sexual abuse of children. The in-depth interview was conducted at Yayasan Embun Surabaya Office which is also used as a shelter for child victims of sexual abuse. We also interviewed informants from Yayasan Embun Surabaya and Surabaya Children Crisis Center (SCCC). One FGD was also conducted by involving SCCC’s and Yayasan Genta’s staffs, boards and lawyer.
Meanwhile, in Bandung, we interviewed five children who were victims of online sexual abuse and a 19-year-old pimp. The in-depth interview also involved two key informants from Cyber Crime Unit of West Java Regional Police and Yayasan Masyarakat Sehat (YMS).
Buku laporan pptppo 2015 trafficking report indonesiaECPAT Indonesia
Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang menjadi negara asal, transit, dan tujuan perdagangan orang. Guna mengurangi dampak kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO), Pemerintah bekerjasama dengan pemerintah
daerah, organisasi masyarakat, dunia usaha, dan organisasi internasional melalui pembentukan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Menteri
Koordinasi Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan sebagai Ketua Umum Gugus Tugas sedangakan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai Ketua Harian dan beranggotakan 19 (sembilan belas) Kementerian/ Lembaga. Guna memudahan tugas Ketua Harian
dibantu oleh Sekretariat Gugus Tugas yang dipimpin oleh Seorang Kepala Sekretariat.
Pilih mana-mana dua syarikat tersenarai di Bursa Malaysia dari mana-mana sektor (kecuali kewangan) dan analisiskan struktur modal syarikat bagi tahun 2012 dan 2013.
Similar to PERATURAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA NOMOR : PM.30/HK.201/MKP/2010 TENTANG PEDOMAN PENCEGAHAN EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK DI LINGKUNGAN PARIWISATA REGULATION DESTINATIONS 2011 KEMENTERIAN
Eksploitasi Seksual Komersial Anak dalam RKUHPECPAT Indonesia
Tindak Pidana Eksploitasi Seksual Komersial Anak dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) adalah suatu jenis kejahatan model baru yang sedang mendapat perhatian diduniasaat ini. Kejahatan ini terdiri dari Prostitusi anak, Pornografi anak, Perdagangan anak untuk tujuan seksual, Pariwisata seks anak dan perkawinan anak. Walaupun tidak
ada data yang pasti mengenai berapa jumlah korban ESKA saat ini, namun temuan beberapa organisasi cukup mengagetkan.
UNICEF Indonesia pernah melakukan penelitian tentang anak yang menjadi korban ESKA dan ditemukan ada sekitar 40.000-70.000 anak yang menjadi korban ESKA. ILO pernah melakukan penelitian tentang pelacuran anak dibeberapa kota di Indonesia dan menemukan fakta ada sekitar 24.000 anak-anak yang dilacurkan. Bahkan sejak 2005 sampai 2014, IOM Indonesia berhasil memulangkan korban perdagangan manusia ke wilayah-wilayah Indonesia sebanyak 7,193 dari
jumlah itu ditemukan sebanyak 82% adalah perempuan dan 16% dari total tersebut adalah anak-anak yang merupakan anak-anak korban perdagangan untuk tujuan seksual.
Indonesia saat ini tidak memiliki undang-undang yang khusus mengatur masalah ESKA. Undang-undang hanya memasukan ESKA secara terpisah di beberapa peraturan pidana lain, seperti contohnya UU tentang pornografi, di dalam undang-undang ini pornografi anak hanya menjadi bagian dari tindak pidana intinya yaitu pidana pornografi, begitu juga yang terdapat dalam undang-undang Tindak Pidana Perdagangan Orang, di mana perdagangan anak dengan tujuan eksploitasi
seksual hanya masuk menjadi salah satu bagian saja dalam undang-undang ini.
Pada RKUHP pada bagian Buku II sebenarnya tindak pidana ESKA sudah sebagian masuk dalam rancangannya, seperti tindak pidana pornografi anak dan tindak pidana perdagangan anak untuk tujuan seksual, pasal-pasal tersebut tersebar di beberapa bagian. Namun jika ditilik dengan lebih detil maka terhadap rumusan itu masih diperlukan penajaman definisi-definisi terkait ESKA. Baik yang sesuai dengan Undang-Undang khusus yang telah ada, juga dari instrumen Internasional yang telah di ratifikasi oleh Indonesia, agar rumusan dalam rancangan KUHP tersebut lebih baik.
ECPAT Indonesia
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
Melawan Praktik Prostitusi Anak di Indonesia dan TantangannyaECPAT Indonesia
Prostitusi dalam sejarah di Indonesia sudah ada sejak jaman kerajaan dahulu kala, para raja-raja memiliki jumlah selir yang jumlahnya banyak dan para selir tersebut mendapatkan imbalan dari mulai uang sampai kehidupan yang nyaman yang disediakan oleh kerajaan tersebut. Pada jaman kolonial Belanda pun prostitusi ternyata makin meluas dan berkembang, banyaknya para pekerja asing yang datang ke Indonesia pada saat itu malah makin menyuburkan praktek-praktek prostitusi pada saat itu dan ditambah dengan peraturan yang dikeluarkan oleh kolonial Belanda pada saat itu yang melarang pendatang asing untuk menikah dengan perempuan lokal Pada saat ini, praktik prostitusi atau pelacuran dilakukan secara gelap. Meski dianggap sebagai kejahatan moral, aktivitas prostitusi di Indonesia tersebar luas. Unicef memperkirakan, sebanyak 30% pelacur perempuan di Indonesia berusia di bawah 18 tahun. Tak hanya itu, banyak mucikari yang masih berusia remaja. Akhir-akhir ini bahkan marak pemberitaan tentang artis-artis Indonesia yang juga bekerja di sektor prostitusi. Penyebaran lokalisasi di Indonesia hingga tahun 2014, data Kemensos menyebutkan dari 161 lokalisasi di Indonesia, baru 23 di antaranya yang ditutup. Seiring dengan perkembangan teknologi, prostitusi pun sekarang bisa diakses melalui dunia online atau internet atau yang sekarang disebut dengan prostitusi online, hal inilah yang sekarang marak terjadi dan menjadi fenomena baru didalam bisnis prostitusi.
4. Dunia Pariwisata dalam Perlindungan Anak - ECPAT IndonesiaECPAT Indonesia
Materi dalam Talkshow : Menata Pariwisata Berkelanjutan Ramah Anak dalam Agenda Pemulihan Sektor Travel & Tourism Pasca Pandemi Covid-19. Tujuan penyelenggaraan kegiatan ini adalah sebagai refleksi upaya perlindungan anak di wilayah pariwisata yang selama ini telah dilakukan, serta agenda kedepan yang ingin dicapai oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia.
Similar to PERATURAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA NOMOR : PM.30/HK.201/MKP/2010 TENTANG PEDOMAN PENCEGAHAN EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK DI LINGKUNGAN PARIWISATA REGULATION DESTINATIONS 2011 KEMENTERIAN (20)
Laporan Hasil Pemantauan di Jabodebek 2021-2022.pdfECPAT Indonesia
Sejak tahun 2021 ECPAT Indonesia bekerjasama dengan Bandungwangi untuk melakukan asesmen terkait dengan kasus eksploitasi seksual anak dalam prostitusi yang terjadi di daerah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi). Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran pola, modus, besaran jumlah kasus dan profile korban eksploitasi seksual anak dalam prostitusi termasuk kerentanannya mengalami kekerasan. Di Tahun 2022 kami kembali melakukan asesmen, sehingga laporan ini merupakan temuan yang kami persembahkan kepada anak-anak Indonesia, masyarakat, pemerintah, Lembaga perlindungan anak, dan pihak-pihak yang peduli dengan upaya perlindungan anak dari eksploitasi seksual. Semoga hasil temuan ini bermanfaat menjadi refleksi, acuan data untuk upaya penghapusan segala bentuk eksploitasi seksual anak di Indonesia.
Laporan IWF Mengenai AI dan Kekerasan Seksual AnakECPAT Indonesia
Internet Watch Foundation (IWF) telah menyelidiki laporan pertamanya tentang materi pelecehan seksual terhadap anak (CSAM) yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan (AI).
Investigasi awal mengungkap dunia teknologi teks-ke-gambar. Singkatnya, Anda mengetikkan apa yang ingin Anda lihat di generator online dan perangkat lunak akan menghasilkan gambar.
Teknologinya cepat dan akurat – gambar biasanya sangat cocok dengan deskripsi teks. Banyak gambar dapat dihasilkan sekaligus – Anda hanya dibatasi oleh kecepatan komputer Anda. Anda kemudian dapat memilih favorit Anda; mengeditnya; arahkan teknologi untuk menghasilkan apa yang Anda inginkan.
ECPAT Indonesia adalah jaringan nasional dari 22 organisasi dan 2 individu
dari 11 provinsi di Indonesia untuk menentang Eksploitasi Seksual Anak (ESA),
meliputi eksploitasi seksual anak dalam prostitusi, perdagangan anak untuk
tujuan seksual, eksploitasi seksual anak di sektor pariwisata dan perjalanan,
eksploitasi seksual anak online, dan perkawinan anak.
ECPAT Indonesia membuat Catatan Akhir Tahun (CATAHU) tahun 2022 yang merupakan bentuk tanggung jawab ECPAT Indonesia kepada publik di wilayah Indonesia dan secara khusus ditujukan kepada donor, lembaga jaringan, stakeholder yang selama ini bekerja bersama-sama untuk memperjuangkan hak-hak anak.
Pada akhir tahun 2022 kemarin, Cianjur telah dilanda gempa bumi sekuat 5,6 SR yang telah menewaskan ratusan orang dan ribuan orang lainnya luka-luka. Gempa ini pun terus berlanjut dengan beberapa gempa susulan yang membuat semakin banyaknya korban berjatuhan, tak terkecuali anak-anak. Kehilangan tempat tinggal, hilangnya harta dan benda, hingga kejiwaan terguncang yang menyebabkan trauma pun turut dirasakan. Melihat hal ini, ECPAT Indonesia bekerjasama dengan Kinder Nothilfe Germany memutuskan untuk membuat gerakan bersama yang bertujuan untuk menolong korban -terkhusus anak dan perempuan- di Cianjur.
Bagian ini akan menjelaskan tentang internet dan cara kerjanya serta media sosial. Termasuk di dalamnya resiko keamanan bagi anak di dunia online (daring) dan bagaimana menghindari resiko tersebut. Pada bagian akhir akan dijelaskan tentang bagaimana melakukan pelaporan jika ditemukan situs / media sosial yang mengandung konten negatif yang berbahaya bagi anak, serta beberapa fitur/tools yang dapat mengurangi resiko anak terpapar konten negatif. Praktek untuk penggunaannya dilakukan agar dapat dipahami langkah-langkah penggunaannya secara sistematis
modul ini dibuat agar para orang tua, komunitas dan masyarakat luas dapat mengetahui secara mendalam tentang bentuk-bentuk eksploitasi seksual anak melalui media daring, peraturan yang berlaku di Indonesia serta hal-hal yang dapat dilakukan mencegah bahaya eskploitasi seksual melalui media daring terjadi pada anak-anak. Sehingga diharapkan, orang tua, komunitas dan masyarakat dapat lebih berperan aktif dalam melindungi anak-anak dari bahaya eksploitasi seksual anak melalui media daring.
Riset disrupting harm sendiri merupakan riset yang dilakukan oleh ECPAT Internasional, UNICEF, dan Interpol dengan bekerjasama dengan ECPAT Indonesia dengan subjek penelitian yaitu keselamatan anak di ranah daring.
Tips JAGO Agar Privasi Anak Tetap Aman di Media Sosial ECPAT Indonesia
Sosial media menjadi tempat bermain yang asik dan seru untuk anak-anak, Namun terkadang anak belum tahu bagaimana mereka melindungi privasi mereka di media sosial.
Hal ini tentunya berisiko bagi keamanan anak. Untuk itu, kita juga perlu meningkatkan kewaspadaan dan sikap yang bijak dalam menggunakan media digital. Berikut adalah tips JAGO agar privasi anak tetap aman di Media Sosial.
Waspada Media Sosial Menjadi Sarana Eksploitasi Seksual AnakECPAT Indonesia
Sosial media menjadi salah satu paltfom yang sangat digemari anak untuk menghabiskan waktu luangnya. Mereka bisa berinteraksi dengan teman, mengetahui informasi terkini, dan mendapatkan hiburan.
Intensitas penggunaan sosial media yang tinggi, membuat anak rentan terhadap eksploitasi seksual di dunia online. Yuk kenali eksploitasi seksual anak online melalui infografis ini supaya kita lebih waspada dan tidak mudah menjadi korbannya.
Apakah kamu pernah mengalami eksploitasi seksual anak online? Langkah apa sih yang kamu lakukan supaya terhindar dari kejahatan ini? Yuk share komentar kamu dipostingan ini.
Dunia digital saat ini semakin berkembang dengan pesat, semua kegiatan yang dilakukan pasti selalu melibatkan internet didalamnya. Hal ini membuat dunia juga semakin cepat mengalami perubahan.
Melihat kondisi tersebut, generasi muda juga bisa mengambil peran loh! Ayo kita kejar sebelum ketinggalan! Daripada hanya menjadi penikmat saja, kita juga bisa berpartisipasi dalam membuat konten positif. Nah, ada beberapa tips nih untuk para kreator muda agar tetap aman saat membuat konten! Kalau kamu paling suka buat konten tentang apa? Kasih komentar dibawah yuk!
Form B1 Rubrik Observasi Presentasi Visi Misi -1.docx
PERATURAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA NOMOR : PM.30/HK.201/MKP/2010 TENTANG PEDOMAN PENCEGAHAN EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK DI LINGKUNGAN PARIWISATA REGULATION DESTINATIONS 2011 KEMENTERIAN
1. PERATURAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA
NOMOR : PM.30/HK.201/MKP/2010
TENTANG
PEDOMAN PENCEGAHAN EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK
DI LINGKUNGAN PARIWISATA
KEMENTERIAN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA
DIREKTORAT JENDERAL PENGEMBANGAN DESTINASI PARIWISATA
2011
2. 1
PERATURAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA
NOMOR : PM.30/HK.201/MKP/2010
TENTANG
PEDOMAN PENCEGAHAN EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK
DI LINGKUNGAN PARIWISATA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA,
Menimbang : a. bahwa kepariwisataan Indonesia mampu memberikan
pendapatan yang signifikan terhadap perekonomian nasional;
b. bahwa pengelolaan sektor kepariwisataan yang kurang terkendali
dan hanya berorientasi jangka pendek dapat memicu kemunculan
dan peningkatan dampak buruk bagi kehidupan sosial budaya baik
secara langsung maupun tidak langsung dan dapat dimanfaatkan
untuk kegiatan kejahatan eksploitasi seksual;
c. bahwa kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf b menjadi
semakin memprihatinkan apabila korbannya adalah anak-anak;
d. bahwaberdasarkanpertimbangansebagaimanadimaksuddalam
huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Kebudayaan dan Pariwisata tentang Pedoman Pencegahan
Eksploitasi Seksual Anak Di Lingkungan Pariwisata;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor
32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3143);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination ofAll forms
of Discrimination Against Women) (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1984 Nomor 29,Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3277);
3. 2
3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668);
4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3886);
5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Penghapusan
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 30, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3941);
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor
109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4235);
7. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 58 Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4720);
8. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4966);
9. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan
Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak
Anak) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990
Nomor 57);
10. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 mengenai
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II;
11. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan
dan Organisasi Kementerian Negara;
12. Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
Nomor 25/Kep/Menko/Kesra/IX/09 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Eksploitasi Seksual
Anak;
13. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor
PM.17/HK.001/MKP-2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata Nomor PM.07/HK.001/MKP-2007;
4. 3
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA
TENTANG PEDOMAN PENCEGAHAN EKSPLOITASI
SEKSUAL ANAK DI LINGKUNGAN PARIWISATA.
PERTAMA : Pencegahan Eksploitasi Seksual Anak di Lingkungan Pariwisata
dilaksanakan sesuai pedoman sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Peraturan Menteri ini.
KEDUA : Pedoman sebagaimana dimaksud dalam diktum PERTAMA
merupakan acuan bagi instansi Pemerintah, Pemerintah
Daerah, Usaha Pariwisata, Organisasi Non Pemerintah dan
masyarakat.
KETIGA : Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Maret 2010
MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA,
Ir. JERO WACIK, SE
5. 4
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 5
A. Latar Belakang................................................................................ 5
B. Maksud dan Tujuan......................................................................... 9
C. Sasaran............................................................................................ 9
D. Ruang Lingkup................................................................................ 10
BAB II PENCEGAHAN EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK
DI BIDANG USAHA PARIWISATA.......................................................... 11
BAB III PENCEGAHAN EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK DI LINGKUNGAN
PARIWISATA OLEH APARATUR PEMERINTAH................................... 16
BAB IV PENGAWASAN DAN EVALUASI........................................................... 20
A. Pengawasan.................................................................................... 20
B. Evaluasi........................................................................................... 20
BAB V PENUTUP................................................................................................ 21
6. 5
Lampiran : Peraturan Menteri Kebudayaan
dan Pariwisata
Nomor : PM.30/HK.201/MKP/2010
Tanggal : 29 Maret 2010
PEDOMAN PENCEGAHAN EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK
DI LINGKUNGAN PARIWISATA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan kepariwisataan Indonesia mampu memberikan pendapatan
yang signifikan terhadap perekonomian nasional. Namun pengelolaan sektor
kepariwisataan yang kurang terkendali dan hanya berorientasi jangka pendek
dapat memicu kemunculan dan peningkatan dampak buruk bagi kehidupan
sosial budaya baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan kejahatan eksploitasi seksual. Kondisi ini menjadi
semakin memprihatinkan apabila korbannya adalah anak-anak.
Eksploitasi Seksual Anak (ESA) di Lingkungan Pariwisata adalah kejahatan
seksual terhadap anak-anak yang dilakukan oleh seseorang baik laki-laki atau
perempuan yang sedang bepergian ke suatu tempat, biasanya dari satu negara
ke negara lain dan mereka melakukan kegiatan seksual dengan anak-anak yang
berumur di bawah 18 tahun. ESA dapat dilakukan oleh wisatawan mancanegara
dan wisatawan nusantara yang sering menggunakan sarana akomodasi,
transportasi dan fasilitas-fasilitas lainnya yang berhubungan dengan pariwisata
(ECPAT International) .
ESA merupakan masalah yang kompleks dan universal. Biasanya anak-anak
yang menjadi korban kejahatan eksploitasi seksual mempunyai mobilitas tinggi
dan anak-anak yang sudah terperangkap dalam sindikat kejahatan eksploitasi
seksual akan sulit melepaskan diri, dan memulihkan mereka dari situasi tersebut
membutuhkanwaktuyanglama,denganbiayayangbesar,terlebihlagibagimereka
yang mengalami trauma. Anak-anak yang telah memperoleh pengalaman buruk
dalam sindikat kejahatan eksploitasi seksual akan sulit diterima di masyarakat
sehingga memerlukan rehabilitasi yang diikuti dengan upaya pengintegrasian
kembali anak ke lingkungan masyarakat yang normal. Di samping itu, masyarakat
sendiri juga harus dikondisikan sedemikian rupa sehingga berlapang dada disertai
kearifan untuk menerima kembali anak-anak sebagai korban ESA.
7. 6
Menurut Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor 25/
Kep/Menko/Kesra/IX/09 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang (TPPO) dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA), ESA terjadi dalam berbagai
bentuk antara lain pornografi anak, perdagangan anak, dan prostitusi anak.
• Prostitusi anak adalah penggunaan anak dalam kegiatan seksual dengan
pembayaran atau dengan imbalan dalam bentuk lain.
• Pornografi anak adalah setiap representasi, dengan sarana apapun, pelibatan
secara eksplisit seorang anak dalam kegiatan seksual, baik secara nyata
maupun disimulasikan, atau setiap representasi dari organ-organ seksual
anak untuk tujuan seksual.
• Perdagangan anak adalah untuk tujuan seksual.
Pelaku ketiga jenis ESA pada umumnya wisatawan mancanegara dan wisatawan
nusantara. Mengingat perkembangan ESA yang meningkat, pariwisata sering
dituduh sebagai penyebab terjadinya sindikat ESA oleh masyarakat.
Keterkaitan pariwisata dan ESA telah mendapatkan perhatian dunia internasional.
Sejak awal pembangunan kepariwisataan Indonesia, pemerintah telah menolak
segala bentuk ESA karena bertentangan dengan nilai-nilai etika dan moral, hal ini
sesuai dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan,
Kode Etik Kepariwisataan Dunia, dan ASEAN Travel Code. Pada kenyataannya,
usaha pariwisata bukan penyebab terjadinya ESA, tetapi fasilitas pariwisata
sering digunakan untuk melakukan ESA.
Pemanfaatan usaha pariwisata dalam ESA dapat dikategorikan secara langsung
dan tidak langsung sebagaimana digambarkan di bawah ini:
Gambar 1.
Hubungan Antara ESA dan Kepariwisataan
Sumber : Penelitian Eksploitasi Seksual Anak di Lingkungan Pariwisata, 2004.
PARIWISATA
Pariwisata tidak memiliki
korelasi
terhadap kemunculan ESA
mendapatkan
KONSUMEN /
KLIEN
(dalam hal ini adalah
WISATAWAN)
ESA
dimanfaatkan /
digunakan sebagai
Akses yang mudah bagi :
l Anak korban prostitusi ataupun
l Mucikari dan perantara
u n t u k
8. 7
Keterlibatan secara langsung yaitu apabila para pelaku usaha pariwisata termasuk
di dalamnya adalah para pengusaha pariwisata atau karyawannya secara sengaja
memberi peluang kepada wisatawan/pengunjung yang datang untuk melakukan
ESA di tempat usaha pariwisata antara lain:
1) daya tarik wisata;
2) kawasan pariwisata;
3) jasa transportasi wisata;
4) jasa perjalanan wisata;
5) jasa makanan dan minuman;
6) penyediaan akomodasi;
7) penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi;
8) penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran;
9) informasi pariwisata;
10) jasa konsultan pariwisata;
11) wisata tirta; dan
12) spa.
Dengan tidak mengindahkan ESA maka usaha pariwisata dapat dikatakan terlibat
langsung dalam ESA.
Keterlibatan tidak langsung yaitu ketika para pelaku usaha pariwisata atau
karyawannya tidak menyadari atau mengetahui bahwa jasa pelayanan usaha
pariwisata tersebut telah dimanfaatkan oleh para pelaku ESA setelah kejadian
berlangsung.
Filipina, Mongolia, Kamboja dan Vietnam merupakan negara-negara di Asia yang
menjadi tujuan wisata bagi pelaku ESA dan untuk mendapatkan jasa layanan
prostitusi anak. Namun, Indonesia dapat dipandang sebagai salah satu alternatif
untuk melakukan ESA karena tingkat kesadaran masyarakatnya tentang ESA
lebih rendah dan peraturan perundang-undangan beserta penegakan hukumnya
masih lemah. Berdasarkan kasus-kasus ESA yang ditangani oleh POLRI, banyak
ditemukan ESA di daerah tujuan pariwisata di Indonesia, seperti di Medan, Batam,
Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali dan Lombok.
Secara fisik, mental, dan kejiwaan, anak yang menjadi korban ESA mengalami
depresi yang dapat mengakibatkan lemahnya kondisi mental dan mengalami
kesulitan dalam hal sosialisasi di tengah-tengah masyarakat. Menurut beberapa
penelitian, anak yang menjadi korban ESA, mengalami keterlambatan dalam
pertumbuhan dan perkembangan secara fisik dan mental, sebagai akibat dari
gangguan kejiwaan yang dialaminya.
Dampak lain yang paling mengkhawatirkan ialah kecenderungan keinginan balas
dendam dari anak yang telah menjadi korban, terhadap anak lain, seperti satu
kasus yang terjadi di Bali dan Lombok, yakni terdapat seorang anak yang menjadi
korban prostitusi, kemudian ketika dewasa menjadi perantara bagi orang yang
membutuhkan anak untuk dijadikan sebagai objek ESA.
9. 8
ESA dapat dikatakan sebagai akibat dari suatu keadaan masyarakat yang
tingkat kesejahteraannya rendah, baik kesejahteraan sosial maupun ekonomi.
Di samping itu ESAjuga diakibatkan dari pemenuhan gaya hidup konsumerisme.
Sedangkan kegiatan kepariwisataan dimanfaatkan untuk melakukan tindak
ESA. Beberapa ahli menyebutkan bahwa kegiatan kepariwisataan berfungsi
sebagai unsur pembawa (carrier).
Pada saat seseorang melakukan perjalanan ke tempat lain, akan muncul
perasaan menjadi orang asing di daerah yang dikunjungi. Orang tersebut
merasa bahwa tidak ada yang mengetahui apa yang akan dilakukan.Akibatnya,
seseorang yang merasa sebagai ”orang asing” memiliki kecenderungan tergoda
untuk mencoba sesuatu yang baru, termasuk hal-hal yang negatif seperti
melakukan ESA. Orang tersebut digolongkan sebagai “pelaku kejahatan
situasional”. Namun, ada juga orang yang sejak awal berniat melakukan
ESA di tempat yang dikunjunginya, yang dapat digolongkan sebagai “pelaku
kejahatan preferensial”, seperti pelaku fedofilia (paedophile).
Menanggapi kenyataan tersebut, negara-negara anggota United Nation
World Tourism Organization (UN-WTO) secara bersama-sama sepakat
memerangi ESA di lingkungan pariwisata di negara masing-masing dengan
melakukan adopsi terhadap butir-butir kesepakatan yang tertuang dalam UN-
WTO Statement on the Prevention of Organized Sex Tourism (1995), dan the
Global Code of Ethics for Tourism, 1999 (Kode Etik Kepariwisataan Dunia).
Kedua kesepakatan tersebut dipakai sebagai acuan menyusun kerangka
kerja untuk pencegahan ESA di lingkungan pariwisata, dan mendukung
terlaksananya pembangunan pariwisata yang bertanggung jawab dan
berkelanjutan.
UN-WTO melalui Child Wise Australia menjadikan ASEAN sebagai proyek
rintisan kampanye “Protection of Children from Sexual Exploitation in Tourism”.
Program tersebut berkaitan dengan kecenderungan global ESA yang mulai
bergeser dari negara maju ke negara yang sedang berkembang. Perhatian
UN-WTO sekarang terkonsentrasi kepada negara-negara dunia ketiga di Asia,
Amerika Latin, Karibia, Afrika, dan Eropa Timur.
Di Indonesia tidak ada data statistik resmi yang dapat dijadikan referensi
tentang jumlah korban ESA, tetapi ada dua lembaga dapat dijadikan sumber
untuk memperkirakan jumlah korban ESA. Pertama, UNICEF Indonesia
memperkirakan jumlah korban ESA adalah 30% dari jumlah pekerja seks
di Indonesia (2006). Kementerian Sosial mendata jumlah pekerja seks di
Indonesia sebanyak 71.281 orang, dengan demikian jumlah korban ESA
kurang lebih 20.000 orang sebagai prostitusi anak (2004). Kedua, berdasarkan
catatan kasus dari BARESKRIM POLRI tahun 2008 terdapat 90 kasus ESA
dengan jumlah korban sebanyak 210 anak.
10. 9
Seiring berkembangnya ESA di lingkungan pariwisata, maka Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata memandang perlu untuk melakukan pencegahan
dalam rangka menghapus ESA di Lingkungan Pariwisata melalui pembuatan
Pedoman Pencegahan ESA di Lingkungan Pariwisata. Demikian pentingnya
permasalahan ESA, maka sudah seharusnya pencegahan ESA diagendakan
sebagai kegiatan yang segera dilaksanakan.
Pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat Nomor 25/Kep/Menko/Kesra/IX/09 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan Eksploitasi
Seksual Anak (ESA) 2009 – 2014, dan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
adalah sebagai anggota Sub Gugus Tugas Bidang Pencegahan dan Partisipasi
Anak.
Berangkat dari kondisi di atas serta dalam rangka mengefektifkan upaya
pencegahan ESA di lingkungan pariwisata, maka diperlukan suatu “Peraturan
Menteri Tentang Pedoman Pencegahan Eksploitasi Seksual Anak di Lingkungan
Pariwisata”.
B. Maksud dan Tujuan
Penyusunan pedoman dimaksudkan untuk mewujudkan dan mengoptimalkan
pelaksanaan upaya Pencegahan ESA di Lingkungan Pariwisata. Adapun
tujuannya adalah:
1. Membangun komitmen bersama diantara seluruh pemangku kepentingan
untuk melakukan perlindungan terhadap anak dari ESA di lingkungan
pariwisata.
2. Menumbuhkembangkan sistem yang sinergis dari pihak-pihak terkait
agar upaya Pencegahan ESA di Lingkungan Pariwisata terlaksana secara
efektif.
3. Meningkatkan etika, disiplin dan tanggung jawab para pemangku
kepentingan di lingkungan kepariwisataan agar upaya Pencegahan ESA di
Lingkungan Pariwisata senantiasa berorientasi pada perlindungan anak.
C. Sasaran
Sasaran yang ingin dicapai dari penyusunan Peraturan Menteri tentang Pedoman
Pencegahan ESA di Lingkungan Pariwisata adalah terwujudnya pengurangan
atau penghapusan ESA di Lingkungan Pariwisata.
11. 10
D. Ruang Lingkup
Ruang lingkup upaya Pencegahan ESA di Lingkungan Pariwisata meliputi
tahapan:
1. Pencegahan
Pencegahan ESA di Lingkungan Pariwisata dilaksanakan melalui:
a. Identifikasi masyarakat rentan dari ESA;
Koordinasi dan kerja sama dengan instansi terkait dalam rangka
penyusunan peta situasi permasalahan dan ESAdi lingkungan pariwisata
di masing-masing daerah yang bersumber dari data POLDA.
b. Penguatan instrumen Pencegahan ESA di Lingkungan Pariwisata;
Penguatan instrumen Pencegahan ESAdi Lingkungan Pariwisata bekerja
sama dengan para pelaku usaha pariwisata dan asosiasi pariwisata
Indonesia, antara lain melalui pemberdayaan masyarakat pariwisata,
sosialisasi peraturan perundang-undangan, dan penyuluhan.
c. Pemanfaatan budaya;
Optimalisasi dan aktualisasi nilai-nilai kearifan lokal sebagai penjaga
moralitas masyarakat agar dapat meminimalisasikan kecenderungan
terjadinya ESA khususnya di lingkungan pariwisata.
d. Kampanye kepedulian;
Pelaksanaan kampanye kepedulian bekerja sama dengan para pelaku
usaha pariwisata dalam rangka upaya Pencegahan ESA di Lingkungan
Pariwisata baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun dunia usaha.
e. Pendidikan dan pelatihan;
Pendidikan dan pelatihan kepada para pelaku usaha pariwisata yang
bekerja sama dengan instansi dan lembaga terkait dalam rangka upaya
Pencegahan ESA di Lingkungan Pariwisata.
f Pengembangan citra kepariwisataan.
Pengembangan citra kepariwisataan dengan penciptaan produk wisata
yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral dengan menjunjung
tinggi hak-hak anak, dan pendayagunaan regulasi tentang Pencegahan
ESA di Lingkungan Pariwisata.
2. Pengawasan dan Evaluasi Pencegahan ESA di Lingkungan Pariwisata
dilakukan melalui:
a. indikator keberhasilan; dan
b. mekanisme evaluasi pengawasan.
12. 11
BAB II
PENCEGAHAN EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK
DI BIDANG USAHA PARIWISATA
Pedoman Pencegahan Eksploitasi Seksual Anak di Lingkungan Pariwisata diberlaku-
kan untuk para pelaku usaha Pariwisata yang melakukan kegiatan usaha pariwisata
berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
kecuali usaha jasa pramuwisata, yang terdiri atas :
1. Usaha daya tarik wisata adalah usaha yang kegiatannya mengelola daya tarik
wisata alam, daya tarik wisata budaya, dan daya tarik wisata buatan/binaan
manusia.
2. Usaha kawasan pariwisata adalah usaha yang kegiatannya membangun dan/
atau mengelola kawasan dengan luas tertentu untuk memenuhi kebutuhan
pariwisata.
3. Usaha jasa transportasi wisata adalah usaha khusus yang menyediakan angkutan
untuk kebutuhan dan kegiatan pariwisata, bukan angkutan transportasi reguler/
umum.
4. Usaha jasa perjalanan wisata adalah usaha biro perjalanan wisata dan usaha
agen perjalanan wisata.
Usaha biro perjalanan wisata meliputi usaha penyediaan jasa perencanaan
perjalanan dan/atau jasa pelayanan dan penyelenggaraan pariwisata, termasuk
penyelenggaraan perjalanan ibadah.
Usaha agen perjalanan wisata meliputi usaha jasa pemesanan sarana, seperti
pemesanan tiket dan pemesanan akomodasi serta pengurusan dokumen
perjalanan.
5. Usaha jasa makanan dan minuman adalah usaha jasa penyediaan makanan
dan minuman yang dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan untuk proses
pembuatan dapat berupa restoran, kafe, jasa boga, dan bar/kedai minum.
6. Usaha penyediaan akomodasi adalah usaha yang menyediakan pelayanan
penginapan yang dapat dilengkapi dengan pelayanan pariwisata lainnya.
Usaha penyediaan akomodasi dapat berupa hotel, villa, pondok wisata, bumi
perkemahan, persinggahan karavan, dan akomodasi lainnya yang digunakan
untuk tujuan pariwisata.
7. Usaha penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi merupakan usaha yang
ruang lingkup kegiatannya berupa usaha seni pertunjukan, arena permainan,
karaoke, bioskop, serta kegiatan hiburan dan rekreasi lainnya yang bertujuan
untuk pariwisata.
13. 12
8. Usaha penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan
pameran adalah usaha yang memberikan jasa bagi suatu pertemuan sekelompok
orang, menyelenggarakan perjalanan bagi karyawan dan mitra usaha sebagai
imbalan atas prestasinya, serta menyelenggarakan pameran dalam rangka
menyebarluaskan informasi dan promosi suatu barang dan jasa yang berskala
nasional, regional dan internasional.
9. Usaha jasa informasi pariwisata adalah usaha yang menyediakan data, berita,
feature, foto, video dan hasil penelitian mengenai kepariwisataan yang disebarkan
dalam bentuk bahan cetak dan/atau elektronik.
10. Usaha jasa konsultan pariwisata adalah usaha yang menyediakan saran dan
rekomendasi mengenai studi kelayakan, perencanaan, pengelolaan usaha,
penelitian dan pemasaran di bidang kepariwisataan.
11. Usaha wisata tirta merupakan usaha yang menyelenggarakan wisata dan
olahraga air, termasuk penyediaan sarana dan prasarana serta jasa lainnya yang
dikelola secara komersial di perairan laut, pantai, sungai, danau dan waduk.
12. Usaha spa adalah usaha perawatan yang memberikan layanan dengan metode
kombinasi terapi air, terapi aroma, pijat, rempah-rempah, layanan makanan/
minuman sehat dan olah aktivitas fisik dengan tujuan menyeimbangkan jiwa dan
raga dengan tetap memerhatikan tradisi dan budaya bangsa Indonesia.
14. 13
Upaya-upaya untuk melaksanakan Pencegahan Eksploitasi Seksual Anak di Lingkun-
gan Pariwisata yang wajib dilakukan oleh para pelaku usaha pariwisata dan disesuai-
kan dengan bidang usahanya yaitu, sebagai berikut :
1. Membuat dan menyebarluaskan informasi Anti ESA melalui media informasi
yang digunakan oleh para pelaku usaha pariwisata antara lain dapat berupa
Promotional Kit seperti home pages, banner, standing banner, poster, leaflet,
pamflet, booklet, sticker dan melalui media elektronika.
15. 14
2. Menetapkan peraturan internal dalam kegiatan operasional yang mendukung
upaya Pencegahan ESA di Lingkungan Pariwisata pada Prosedur Standar
Operasi (Standard Operating Procedure/SOP).
3. Memberikan pelatihan secara berkesinambungan kepada karyawan mengenai
upaya Pencegahan ESA di Lingkungan Pariwisata.
4. Memberikan perlindungan kepada karyawan yang memberikan laporan tentang
adanya ESA dan/atau dugaan terjadinya ESA.
5. Mencantumkan telepon pengaduan (Hotline Number) yang ada di Kepolisian
pada media promosi yang digunakan untuk Kampanye Pencegahan ESA di
Lingkungan Pariwisata. Telepon pengaduan (Hotline Number) layanan siaga
24 jam dari Kepolisian Daerah (POLDA) di masing-masing Provinsi dapat dilihat
dalam tabel berikut :
TELEPON PENGADUAN RUANG PELAYANAN PEREMPUAN DAN ANAK
(RPPA) DI POLDA INDONESIA
NO LOKASI TELEPON PENGADUAN
1. POLDA NANGGROE ACEH
DARUSSALAM
(0651) 7555353
2. POLDA SUMATERA UTARA (061) 7870355
3. POLDA SUMATERA BARAT (0751) 26972
4. POLDA JAMBI (0741) 7552958
5. POLDA SUMATERA SELATAN (0711) 374740
6. POLDA BENGKULU (0736) 51274
7. POLDA LAMPUNG (0721) 474184
8. POLDA RIAU (0761) 22474, 41995
9. POLDA BANGKA BELITUNG (0717) 439456
10. POLDA KEPULAUAN RIAU
(POLRES TANJUNGPINANG)
(0771) 7282620
11. POLDA METRO JAYA (021) 474184
12. POLDA JAWA BARAT (022) 7800173
13. POLDA JAWA TENGAH (024) 8444709
14. POLDA D.I.YOGYAKARTA (0274) 883841
15. POLDA JAWA TIMUR (031) 8294007
16. POLDA BANTEN (0254) 228082, 228083
17. POLDA BALI (0361) 226783 ext 127
18. POLDA NUSA TENGGARA BARAT (0370) 633508
19. POLDA NUSA TENGGARA TIMUR (0380) 829311
16. 15
NO LOKASI TELEPON PENGADUAN
20. POLDA KALIMANTAN SELATAN (0511) 3352270
21. POLDA KALIMANTAN TENGAH (0536) 3236366
22. POLDA KALIMANTAN TIMUR (0542) 411619
23 POLDA KALIMANTAN BARAT (0561) 584465, 584463
24 POLDA SULAWESI SELATAN (0411) 514662
25. POLDA SULAWESI TENGGARA (0401) 3340744
26. POLDA SULAWESI UTARA (0431) 3344297
27 POLDA SULAWESI TENGAH (0451) 455151
28. POLDA GORONTALO (0435) 838923
29. POLDA SULAWESI BARAT
(POLRES MAMUJU)
(0426) 21110
30. POLDA MALUKU (0911) 353290
31. POLDA MALUKU UTARA (0921) 3126110
32. POLDA PAPUA (0967) 531834
33. POLDA PAPUA BARAT
(POLRES MANOKWARI)
(0986) 212686
Sumber : POLDA di 33 provinsi.
Pengaduan peristiwa ESA dapat pula dilaporkan kepada Polres/Polresta/Poltabes
atau Polsek setempat.
6. Memasukkan klausul kesediaan rekanan bisnis (pemasok) dan pembeli (buyer)/
tamu dalam upaya Pencegahan ESA di Lingkungan Pariwisata pada perjanjian
kontrak kerja sama yang dijalin.
7. Para pengusaha pariwisata memberikan laporan tahunan tentang Pencegahan
ESA di Lingkungan Pariwisata kepada Dinas Pariwisata Provinsi dan Kabupaten/
Kota dalam bentuk dokumen dan dapat pula menampilkan laporannya dalam
website usaha pariwisata tersebut tentang pelaksanaan pencegahan ESA di
lingkungan usahanya.
8. Wajib melakukan pengawasan penjualan secara ketat terhadap produk makanan
dan minuman yang diduga dapat dijadikan sarana pendukung ESA agar tidak
dikonsumsi anak (contoh: anak-anak dilarang keras mengonsumsi minuman
beralkohol).
17. 16
BAB III
PENCEGAHAN EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK
DI LINGKUNGAN PARIWISATA OLEH APARATUR PEMERINTAH
Agar aparatur pemerintah dapat berperan secara maksimal dalam melakukan Pence-
gahan Eksploitasi Seksual Anak di Lingkungan Pariwisata maka perlu dilakukan lang-
kah-langkah kegiatan sebagai berikut :
1. Pencegahan Eksploitasi Seksual Anak di Lingkungan Pariwisata oleh
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
Tugas dan Wewenang Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata :
a. Perencanaan, Pengkajian dan Pelaksanaan Pedoman Pencegahan ESA
di Lingkungan Pariwisata
1) Membuat perencanaan tentang Pencegahan ESA di Lingkungan
Pariwisata yang memuat materi penyusunan Komunikasi, Informasi dan
Edukasi (KIE) berupa modul, pelatihan, pelaporan, dokumen sosialisasi,
standardisasi pembuatan bahan informasi cetak dan elektronika.
2) Melakukan kajian tentang Pencegahan ESA di Lingkungan Pariwisata
bersama lintas sektoral dengan instansi pemerintah terkait, swasta,
organisasi non pemerintah dan perguruan tinggi.
3) Melaksanakan diseminasi Pedoman Pencegahan ESA di Lingkungan
PariwisatakepadaDinasKebudayaandanPariwisataProvinsi,Kabupaten/
Kota, instansi terkait, pelaku usaha pariwisata, dan masyarakat.
b. Pemanfaatan Kegiatan di Lingkungan Kebudayaan dan Pariwisata
1) Memasukkan materi Pencegahan ESA di Lingkungan Pariwisata dalam
program ”Sadar Wisata”.
2) Mendorong peningkatan pelaksanaan kegiatan kebudayaan dan
pariwisata di Provinsi dan Kabupaten/Kota berskala internasional,
nasional dan lokal (calender of event).
c. Pemberdayaan Masyarakat
1) Mengusulkan kepada Kementerian Pendidikan Nasional untuk
memasukkan kurikulum tentang Pencegahan ESA di Lingkungan
Pariwisata dalam program pendidikan dan pelatihan di bidang
pariwisata.
2) Membuatkebijakanyangmendorongpeningkatanperansertamasyarakat
dalam Pencegahan ESA di Lingkungan Pariwisata.
d. Peningkatan Peran Koordinasi dan Kerja Sama Kelembagaan
Meningkatkan koordinasi dan kerja sama kelembagaan Sub Gugus Tugas
Bidang Pencegahan dan Partisipasi Anak di pusat dalam rangka memperkuat
program Pencegahan ESA di Lingkungan Pariwisata.
18. 17
e. Pengawasan dan Evaluasi Program
1) Menyusun Petunjuk Teknis Operasional Pengawasan dan Evaluasi.
2) Melakukan pelaporan secara berkala tentang pelaksanaan Pencegahan
ESA di Lingkungan Pariwisata (tahunan dan/atau tiap 6 bulan) kepada
Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, dengan tembusan
kepada Penanggung Jawab Gugus Tugas Pencegahan dan Partisipasi
Anak.
3) Melakukan publikasi kegiatan Pencegahan ESAdi Lingkungan Pariwisata
yang disusun dalam dua bahasa (Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia)
mencakup seluruh kegiatan pencegahan maupun penanganan kasus
ESA melalui media cetak dan elektronik.
2. Pencegahan Eksploitasi Seksual Anak di Lingkungan Pariwisata oleh Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi
Tugas dan Wewenang Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi :
a. Perencanaan dan Pengkajian
1) Merencanakan program Pencegahan ESA di Lingkungan Pariwisata
meliputi identifikasi potensi terjadinya ESA di Lingkungan Pariwisata dan
menyusun peta kerawanan ESA di Provinsi.
2) Melaksanakan diseminasi pedoman Pencegahan ESA di Lingkungan
Pariwisata Provinsi, Kabupaten/Kota, instansi terkait, pelaku usaha
pariwisata, dan masyarakat.
b. Pelaksanaan Kebijakan
1) Menyusun langkah-langkah pelaksanaan Pencegahan ESA di
Lingkungan Pariwisata.
2) Melaksanakan koordinasi dengan Dinas-Dinas Terkait di Provinsi
tentang upaya Pencegahan Eksploitasi Seksual Anak di Lingkungan
Pariwisata.
c. Pemanfaatan Kegiatan di Lingkungan Kebudayaan dan Pariwisata
1) Memasukkan materi Pencegahan ESA di Lingkungan Pariwisata dalam
program ”Sadar Wisata”.
2) Meningkatkan pelaksanaan kegiatan kebudayaan dan pariwisata di
Provinsi dan Kabupaten/Kota berskala internasional, nasional dan lokal
(calender of event)
d. Peningkatan Citra Kepariwisataan
Melaksanakan sosialisasi dan koordinasi pelaksanaan yang telah disusun oleh
pemerintah pusat dalam pembangunan kepariwisataan yang ramah anak.
19. 18
e. Pengawasan dan Evaluasi Program
1) Melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap kegiatan upaya
Pencegahan ESA di Lingkungan Pariwisata dengan menggunakan peta
identifikasi masyarakat rentan terhadap ESA di Provinsi.
2) Melakukan pelaporan hasil pengawasan dan evaluasi secara berkala
kepada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata.
3. Pencegahan Eksploitasi Seksual Anak di Lingkungan Pariwisata oleh Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten/Kota
Tugas dan Wewenang Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten/Kota:
a. Perencanaan dan Pelaksanaan
1) Merencanakan program Pencegahan ESA di Lingkungan Pariwisata
meliputi identifikasi potensi terjadinya ESA di Lingkungan Pariwisata dan
menyusun peta kerawanan ESA di Kabupaten/Kota.
2) Melaksanakan diseminasi Pedoman Pencegahan ESA di Lingkungan
Pariwisata Kabupaten/Kota.
b. Pelaksanaan Kebijakan
1) Mengoordinasikan program kerja kegiatan Pencegahan ESA di
Lingkungan Pariwisata kepada instansi terkait dan pelaku kepentingan
tentang Pencegahan ESA di Lingkungan Pariwisata di Kabupaten/Kota.
2) MelaksanakansosialisasiPencegahan ESAdiLingkunganPariwisatakepada
instansi terkait, pelaku usaha pariwisata, dan masyarakat di Kabupaten/Kota.
3) MelakukanpenyebaranmaterikampanyePencegahanESAdiLingkungan
Pariwisata kepada seluruh pelaku usaha pariwisata, instansi terkait, dan
masyarakat di Kabupaten/Kota.
c. Pemanfaatan Kegiatan di Lingkungan Kebudayaan dan Pariwisata
1) Memasukkan materi Pencegahan ESA di Lingkungan Pariwisata dalam
program ”Sadar Wisata”.
2) Meningkatkan pelaksanaan kegiatan kebudayaan dan pariwisata di
Kabupaten/Kota berskala internasional, nasional dan lokal (calender of
event)
3) Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pelaksanaan Pencegahan
ESA di Lingkungan Pariwisata.
d. Pemberdayaan Masyarakat
1) Sosialisasi kebijakan yang diterima dari Provinsi kepada instansi terkait
dan lembaga pendidikan di Kabupaten/Kota.
2) Realisasi kebijakan kurikulum di semua jenjang pendidikan.
20. 19
e. Peningkatan Citra Kepariwisataan
Melaksanakan sosialisasi dan koordinasi pelaksanaan yang telah disusun
oleh pemerintah pusat dalam pembangunan kepariwisataan yang ramah
anak.
f. Pengawasan dan Evaluasi Program
1) Melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap kegiatan upaya
Pencegahan ESA di Lingkungan Pariwisata dengan menggunakan peta
identifikasi masyarakat rentan terhadap ESA di Kabupaten/Kota.
2) Melakukan pelaporan secara berkala atau sewaktu-waktu apabila
dibutuhkan kepada Gubernur.
21. 20
BAB IV
PENGAWASAN DAN EVALUASI
A. Pengawasan
Pengawasan Pencegahan ESA di Lingkungan Pariwisata dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
a. Membuat Petunjuk Teknis Operasional Pengawasan Pencegahan ESA di
Lingkungan Pariwisata yang berisi indikator keberhasilan untuk mengukur
kinerja para pihak yang terlibat dalam pencegahan ESA di lingkungan
pariwisata. Petunjuk Teknis Operasional Pengawasan Pencegahan ESA
di Lingkungan Pariwisata di Kabupaten/Kota dibuat oleh Dinas Pariwisata
Kabupaten/Kota atau instansi yang menangani pariwisata di Kabupaten/
Kota; di provinsi dibuat oleh Dinas Pariwisata Provinsi atau instansi yang
menangani pariwisata di Provinsi; dan di pusat dibuat oleh Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata.
b. Melakukan klarifikasi dan verifikasi temuan-temuan di lapangan berdasarkan
Petunjuk Teknis Operasional Pengawasan dan Evaluasi.
c. Hasil klarifikasi dan verifikasi temuan dipergunakan untuk penyusunan
program kerja pemantauan tahun berikutnya.
d. Melakukan pelaporan berkala tentang pelaksanaan Pencegahan ESA di
Lingkungan Pariwisata dengan mekanisme pelaporan berjenjang; Dinas
Pariwisata Kabupaten/Kota atau instansi yang menangani pariwisata di
Kabupaten/Kota membuat laporan kepada Dinas Pariwisata Provinsi,
selanjutnya Dinas Pariwisata Provinsi atau instansi yang menangani
pariwisata di Provinsi membuat laporan kepada Kementerian Kebudayaan
dan Pariwisata, termasuk kepada Penanggung Jawab Sub Gugus Tugas
Pencegahan dan Partisipasi Anak.
e. Melakukan publikasi kegiatan Pencegahan ESA di Lingkungan Pariwisata
guna mendapatkan tanggapan dan/atau masukan dari masyarakat.
B. Evaluasi
1. Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Pedoman Pencegahan ESA di
Lingkungan Pariwisata.
2. Evaluasi sebagaimana dimaksud pada butir a dilakukan bekerja sama dengan
lembaga-lembaga kajian kepariwisataan dan lembaga kajian perlindungan
anak untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan Pedoman Pencegahan ESA
di Lingkungan Pariwisata yang hasilnya dikonsultasikan/diharmonisasikan
kepada Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
22. 21
BAB V
PENUTUP
Pencegahan Eksplotasi Seksual Anak di Lingkungan Pariwisata ini menjadi upaya
bersama antara instansi pemerintah, para pelaku usaha pariwisata serta para pe-
mangku kepentingan terkait yang bersifat lintas sektoral dan lintas regional dengan
skala penanggulangan secara nasional maupun kewilayahan. Orientasi sinergitas di-
antara pelaku kepentingan menjadi pokok penanggulangan eksploitasi seksual anak
di lingkungan pariwisata sehingga mampu memaksimalkan peran masing-masing
pihak secara optimal.
MENTERI KEBUDAYAAN DAN
PARIWISATA,
Ir. JERO WACIK, SE
23. 22
REGULATION OF THE MINISTER OF CULTURE AND TOURISM
NUMBER: PM.30/HK.201/MKP/2010
CONCERNING
GUIDELINES ON THE PREVENTION OF
SEXUAL EXPLOITATION OF CHILDREN IN TOURISM
PROTECTOUR
C
HILDREN FROM SEXUAL
EXPLOITATION
THE MINISTRY OF CULTURE AND TOURISM
DIRECTORATE GENERAL OF DEVELOPMENT TOURISM DESTINATIONS
2011
24. 1
Regulation of the Minister of Culture and Tourism
Number: PM.30/HK.201/MKP/2010
on
GUIDELINES ON THE PREVENTION OF SEXUAL EXPLOITATION OF CHILDREN
IN TOURISM
WITH THE BLESSING OF GOD
THE MINISTER OF CULTURE AND TOURISM,
Considering : a. that Indonesian tourism is able to generate significant revenue
to national economy;
b. that the management of tourism sector that is inadequately
controlled and only with short-term orientation may trigger the rise
and increase of adverse impacts to socio-cultural life both directly
and indirectly and may be abused for sexual exploitation crime;
c. that the condition as referred to in point b is more worrisome if the
victims are children;
d. that based on the consideration as referred to in point a, point b,
and point c, it is necessary to stipulate Regulation of the Minister
of Culture and Tourism concerning Guidelines on The Prevention
of Sexual Exploitation of Children in Tourism;
In view of : 1. Law Number 4 of 1979 on Children’s Well-being (State Gazette
of the Republic of Indonesia of 1979 Number 32, Supplement to
the State Gazette of the Republic of Indonesia Number 3143);
2. Law Number 7 of 1984 on Ratification of Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination Against Women
(State Gazette of the Republic of Indonesia of 1984 Number 29,
Supplement to the State Gazette of the Republic of Indonesia
Number 3277);
25. 2
2. Law Number 3 of 1997 on Children’s Court (State Gazette of
the Republic of Indonesia of 1997 Number 3, Supplement to the
State Gazette of the Republic of Indonesia Number 3668);
3. Law Number 39 of 1999 on Human Rights (State Gazette of the
Republic of Indonesia of 1999 Number 165, Supplement to the
State Gazette of the Republic of Indonesia Number 3886);
4. Law Number 1 of 2000 on Elimination of the Worst Forms of Work
for Children (State Gazette of the Republic of Indonesia of 1999
Number 30, Supplement to the State Gazette of the Republic of
Indonesia Number 3941);
5. Law Number 23 of 2002 on Prevention of Children (State Gazette
of the Republic of Indonesia of 2002 Number 109, Supplement to
the State Gazette of the Republic of Indonesia Number 4235);
6. Law Number 21 of 2007 on Eradication of Crimes in Human
Trafficking (State Gazette of the Republic of Indonesia of 2007
Number 58, Supplement to the State Gazette of the Republic of
Indonesia Number 4720);
7. Law Number 10 of 2009 on Tourism (State Gazette of the
Republic of Indonesia of 2009 Number 11, Supplement to the
State Gazette of the Republic of Indonesia Number 4966);
8. Presidential Decree Number 36 of 1990 on Ratification of
Convention on the Rights of Children (State Gazette of the
Republic of Indonesia of 1990 Number 57);
9. Presidential Decree Number 84/P of 2009 on Establishment of
United Indonesian Cabinet II;
10. Presidential Regulation Number 47 of 2009 on Establishment
and Organization of State Ministries;
11. Regulation of Coordinating Minister for the People’s Welfare
Number 25/Kep/Menko/Kesra/IX/09 on Eradication of Crimes in
Human Trafficking and Sexual Exploitation of Children;
12. Regulation of the Minister of Culture and Tourism Number PM.17/
HK.001/MKP-2005 on Organization and Work Procedure of the
Ministry of Culture and Tourism as already amended, the last by
the Regulation of the Minister of Culture and Tourism Number
PM.07/HK.001/MKP-2007;
26. 3
DECIDES:
To stipulate : REGULATION OF THE MINISTER OF CULTURE AND TOURISM
CONCERNING GUIDELINES ON THE PREVENTION OF SEXUAL
EXPLOITATION OF CHILDREN IN TOURISM.
FIRSTLY : The Sexual Exploitation of Children in Tourism Environment shall
be prevented in conformity with the guidelines as set forth in the
Attachment of this Ministerial Regulation.
SECONDLY : The guidelines as referred to in the FIRST dictum shall be reference for
government and regional government institutions, tourism business,
non-government organizations, and the society.
THIRDLY : This Ministerial Regulation shall be in effect on the date of its
stipulation.
Stipulated in Jakarta
on March 29, 2010
THE MINISTER OF CULTURE AND TOURISM,
Ir. JERO WACIK, SE
27. 4
CONTENTS
SEC I INTRODUCTION..................................................................................... 5
A. Background..................................................................................... 5
B. Purposes and Objectives............................................................... 9
C. Goal.................................................................................................. 9
D. Scope............................................................................................... 9
SEC II THE PREVENTION OF SEXUAL EXPLOITATION
OF CHILDREN IN TOURISM.................................................................. 11
SEC III THE PREVENTION OF SEXUAL EXPLOITATION OF CHILDREN
IN TOURISM BY GOVERNMENT APPARATUS.................................... 16
SEC IV SUPERVISION AND EVALUATION........................................................ 20
A. Supervision..................................................................................... 20
B. Evalution.......................................................................................... 20
SEC V CLOSING................................................................................................ 21
28. 5
Attachment : Regulation of the Minister of
Culture and Tourism
Number : PM.30/HK.201/MKP/2010
Dated : March 29, 2010
GUIDELINES ON THE PREVENTION OF SEXUAL EXPLOITATION OF
CHILDREN IN TOURISM
SECTION I
INTRODUCTION
A. Background
The development of Indonesian tourism is able to generate significant
revenue for national economy. However, the management of tourism
sector that is inadequately controlled and only with short-term orientation
may trigger the rise and increase of adverse impacts to socio-cultural
life both directly and indirectly and may be exploited for crime of sexual
exploitation. This condition is more worrisome if the victims are children.
Sexual Exploitation of Children (SEC) in Tourism is considered to be
sexual crime against children that is committed by men or women who are
traveling to certain places, usually from one country to another, and they
have sexual intercourse with children under 18 years old age. SEC may
be committed by both foreign tourists and domestic tourists who often use
means of accommodation, transportation and other facilities related to
tourism (ECPAT International).
SEC is a complex and universal problem. Usually children who are the
victims of sexual exploitation crime have high mobility and those who have
been trapped in the criminal syndicate of sexual exploitation will be difficult
to get rid of the situation. Restoring them from that situation would take
a long time with high cost, especially those with traumatic experiences.
Children who have already had bad experiences in criminal syndicate of
sexual exploitation will be hard to get community acceptance, therefore,
they will need rehabilitation to be followed by efforts for reintegration
of the children into normal environment of the community. In addition,
the community itself must be conditioned in such a way that they will be
broad-minded and wise to accept the children who have become SEC
victims back into the community.
29. 6
TOURISM
get
CONSUMERS/
CLIENTS
(in this case is
TOURISTS)
SEC
t o
Pursuant to the Regulation of the Coordinating Minister for the People’s Welfare
Number 25/Kep/Menko/Kesra/IX/09 on Eradication of Crimes in Human Trafficking
and Sexual Exploitation of Children (SEC), SEC occurs in various forms such as
child pornography, child trafficking, and child prostitution.
• Child prostitution is the use of children in sexual activities with payment or
compensation in other forms.
• Child pornography is any representation, with any means whatsoever, of a
child’s explicit involvement in sexual activities, either factual or simulated, or
any representation of a child’s sexual organs for sexual purposes.
• Child trafficking is for sexual purposes.
The perpetrators in those three types of SEC are usually foreign and domestic
tourists. Because of the increasing development of SEC, tourism is often accused
as the cause of SEC syndicate in the society.
The relationship between tourism and SEC has become an international concern.
Since the beginning of Indonesia’s tourism development, the government has
refused any forms of SEC as they are in contradiction to ethic and moral values.
This is in conformity with Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, Global
Code of Ethics for Tourism, and ASEAN Travel Code. In fact, tourism industry is
not the cause of SEC, but tourism facilities are often used for SEC.
The use of tourism business in SEC may be categorized directly and indirectly as
illustrated below:
Picture 1
Relationship between SEC and Tourism
Source: Research in Sexual Exploitation of Children in Tourism Environment, 2004.
is used/
utilized
as the easy access by:
l Victims of child prostitution or
l Procurers and intermediaries
Tourism has no
correlation
with the rise of SEC
30. 7
Direct involvement is when tourism industry actors including tourism entrepreneurs
or their employees give opportunities intentionally to tourists/visitors who come to
commit SEC at tourism industry places such as:
1) tourist attractions;
2) tourism areas;
3) tourism travelling services;
4) tourism traveling services;
5) food and beverage services;
6) accommodation supplies;
7) entertainment and recreation activities;
8) meetings, incentive travels, conventions, and exhibitions;
9) tourism information;
10) tourism consultation services;
11) water tourism; and
12) spa.
By ignoring SEC, a tourism industry is practically engaged in SEC.
Indirect involvement is when tourism industry actors or their employees are not
aware or cognizant that their tourism industry services have been utilized by an
SEC actor after the incident has occurred.
The Philippines, Mongolia, Cambodia and Vietnam are Asian countries which
become the tourism destinations for SEC perpetrators to get child prostitution
services. However, Indonesia may be considered as an alternative destination to
commit SEC because the people’s awareness regarding SEC is still low and the
laws and regulations as well as law enforcement are still weak. Based on SEC
cases handled by Indonesian Police, many SEC cases are found in Indonesia’s
tourism destinations such as Medan, Batam, Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali
and Lombok.
Physically, mentally, and psychologically, children who are SEC victims would
experience depression that may result in weak mental condition and difficulty in
socializing with community members. According to some researches, children
who are SEC victims would be retarded in their physical and mental growth and
development as the result of their mental problems.
Another most worrisome impact is the inclination of child victims to take revenge
on other children. An example is the case that has occurred in Bali and Lombok,
where a child who had been a victim of child prostitution then, as a grown-up,
became an intermediary for those who need children as SEC objects.
SEC is practically the result of a condition in the society where the level of its
welfare, both social and economic welfare, is low. In addition, SEC is also the
result of consumerism lifestyle. Meanwhile, tourism activities are utilized to commit
SEC. Some experts say that tourism activities serve as a carrier.
31. 8
When someone travels to another place, it is possible to feel foreign in the
visited region. Moreover, there will be a feeling that no one will know what he
is doing. As the result, someone who feels as “a foreigner” has a tendency to
try something new, including negative things such as SEC. Such persons are
categorized as “situational crime doers”. However, there are also people who
since the beginning intend to commit SEC in their visited places, and they may
be categorized as “preferential crime doers” such as pedophiles.
In response to such facts, the countries of United Nations World Tourism
Organization (UN-WTO) members jointly agree to combat SEC in tourism of
their respective countries by adopting the points of agreement set forth in the
UN-WTO Statement on the Prevention of Organized Sex Tourism (1995), and
the Global Code of Ethics for Tourism (1999). Both agreements are used as
references to formulate a framework for the prevention of SEC in tourism and
support responsible and sustainable tourism development.
UN-WTO through Child Wise Australia makes ASEAN as a pilot project for
the campaign of “Protection of Children from Sexual Exploitation in Tourism”.
The program is associated with the global inclination of SEC to shift from
developed countries to developing countries. The concern of UN-WTO is
now concentrated on third-world countries in Asia, Latin America, Caribbean,
Africa, and Eastern Europe.
In Indonesia, there is no official statistics that can be made as reference to the
number of SEC victims, but there are two institutions that can be the sources
to estimate the number of SEC victims. Firstly, UNICEF Indonesia estimated
that the number of SEC victims was 30% of the number of sexual workers in
Indonesia (2006). According to the Ministry of Social Affairs there were 71,281
sexual workers in Indonesia, thus it was estimated that for about 20,000 people
of SEC victims were child prostitutes (2004). Secondly, based on the record
of cases from the Criminal Investigation Bureau of Indonesian Police in 2008
there were 90 cases of SEC with victims of 210 children.
In line with the development of SEC in tourism, the Ministry of Culture and
Tourism deems the necessity of doing the prevention in order to eradicate
SEC in tourism by stipulating Guidelines on The Prevention of Sexual
Exploitation of Children in Tourism. The problem of SEC is so important
that the prevention of SEC should be listed as a program to be immediately
carried out.
The government has issued the Decree of the Coordinating Minister for the
People’s Welfare Number 25/Kep/Menko/Kesra/IX/09 on Eradication of Crimes
in Trafficking In Person and Sexual Exploitation of Children (SEC) 2009-2014,
and the Ministry of Culture and Tourism as a member of Sub-Task Force in
Children’s Prevention and Participation Sector.
32. 9
Based on the above condition and in order to reinforce the efforts for the prevention
of SEC in tourism, then there should be a “Ministerial Regulation concerning
Guidelines on The Prevention of Sexual Exploitation of Children in Tourism”.
B. Purposes and Objectives
These guidelines are intended to generate and optimize the efforts for the
Prevention of Sexual Exploitation of Children in Tourism. The objectives are as
follows:
1. To build joint commitment among all stakeholders to protect children from
SEC in tourism.
2. To grow and develop a synergic system among related parties in optimizing
the efforts for the Prevention of Sexual Exploitation of Children in Tourism.
3. To enhance ethics, discipline, and responsibility of stakeholders in tourism
so that the efforts for the Prevention of Sexual Exploitation of Children in
Tourism would always be oriented to children protection.
C. Goal
The goal that must be achieved by this Ministerial Regulation concerning
Guidelines on The Prevention of Sexual Exploitation of Children in Tourism is the
decrease or the eradication in SEC in tourism.
D. Scope
The scope of efforts for the Prevention of Children from Sexual Exploitation in
Tourism covers the stages as follows:
1. Prevention
The Prevention of Sexual Exploitation of Children in Tourism is conducted through:
Identification of vulnerable community members to SEC:
a. Coordination and cooperation with related institutions in order to map the
problematic situation and SEC in tourism in each region based on the
data from Regional Police.
b. Reinforcement of instruments for the Prevention of Sexual Exploitation of
Children in Tourism:
Reinforcement of instruments for the Prevention of Sexual Exploitation
of Children in Tourism in cooperation with tourism industry actors and
Indonesian Tourism Association, among others through empowerment of
tourism society, dissemination of laws and regulations, and extension of
information.
33. 10
c. Utilization of culture:
Optimization and actualization of local wisdom values as the guards of
the society’s morality in order to minimize inclination to SEC, especially
in tourism.
d. Campaign of concern:
The Campaign of concern is conducted in cooperation with tourism
industry actors in the framework of efforts for the Prevention of SEC in
Tourism both by the government and private sector.
e. Education and training:
Education and training for tourism industry actors is conducted in
cooperation with related institutions and agencies in the framework of
efforts for the Prevention of SEC in Tourism.
f. Development of tourism image:
The development of tourism image is by creating tourism products that
are morally accountable and in respect of children’s rights and through
the effective use of regulations on the Prevention of SEC in Tourism.
2. Supervision and Evaluation on the Prevention of SEC in Tourism will be
conducted through:
a. indicators of success; and
b. supervisory evaluation mechanism.
34. 11
SECTION II
THE PREVENTION OF SEXUAL EXPLOITATION OF CHILDREN IN TOURISM
The Guidelines on The Prevention Sexual Exploitation of Children in Tourism shall be
in effect for tourism industry actors who carry out tourism business activities pursuant
to Article 14 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism except for tourist guide
service business that consists of:
1. Tourist attraction business shall be a business with activities to manage natural
tourist attraction, cultural tourist attraction, and man-made tourist attraction.
2. Tourism area business shall be a business with activities to develop and/or
manage an area of a certain size to fulfill tourism needs.
3. Transportation service business shall be a business that specially provides
transportation for tourism needs and activities, but not included regular/public
transportation.
4. Tourism travel service business shall be a tourism travel bureau business and
tourism travel agent business.
Tourism travel bureau business covers business to provide travel planning services
and/or tourism organizing services, including travels for religious purposes.
Tourism travel agent business covers facilities reservation service business such
as ticket and accommodation reservations and travel documents assistance.
5. Food and beverage service business shall be a service business in the supply
of food and beverage equipped with tools and equipment for its preparation
process and which may be in the form of restaurants, cafes, catering, and
drinking bars.
6. Accommodation supply business shall be a business that provides lodging
services that may be equipped with other tourism services.
The accommodation supply service may include hotels, villas, tourism cottages,
camping grounds, caravan transits, and other kinds of accommodation used for
the purpose of tourism.
7. Entertainment and recreation business shall be a business with its scope in the
form of performance art business, playing grounds, karaoke, cinemas, and other
entertainment and recreation activities for the purpose of tourism.
8. Organizing business of meetings, incentive travels, conventions, and exhibitions
shall be a business that provides services for a meeting of a group of people,
organizes travel for employees and business partners as compensation for
their achievement, and organizes exhibitions in order to spread information and
promote goods and services at national, regional, and international level.
35. 12
9. Tourism information service business shall be a business that provides data,
news, features, photographs, video films, and results of researches on tourism
disseminated in the form of printed and/or electronic matters.
10. Tourism consultation service business shall be a business that provides
suggestions and recommendations concerning feasibility study, planning,
business management, research and marketing in tourism sector.
11. Water tourism business shall be a business that organizes water tourism and
sports, including provision of means and infrastructures as well as other services
that are commercially managed in sea waters, beaches, rivers, lakes and
reservoirs.
12. Spa business shall be a business of treatment that provides services with a
combination of methods such as water therapy, aroma therapy, massage, spices,
healthy food/drink services and physical activities for the purpose of balancing the
body and soul suitable for Indonesian tradition and culture.
36. 13
The Efforts for The Prevention of Sexual Exploitation on Children in Tourism must be
made by tourism industry actors and adjusted to their business sectors as follows:
1. Preparing and disseminating information on Anti SEC through information media
that are used by tourism business players which may among others be in the form
of promotional kits such as home pages, banners, standing banners, leaflets,
pamphlets, booklets, stickers, and electronic media.
37. 14
2. Stipulating internal regulations in the operations that support the efforts for The
Prevention of SEC in Tourism in the Standard Operating Procedure.
3. Providing continuous training about the efforts for The Prevention of SEC in
Tourism to the employees.
4. Providing protection to the employees who give report on the incident of SEC and/
or alleged incident of SEC.
5. Specifying hotline numbers provided by the Regional Police for the Campaign
of The Prevention of SEC in Tourism in promotional media. The 24 hour hotline
number provided by the Regional Police in each province can be seen in the
following table :
NO. LOCATION HOTLINE NUMBER
1. REGIONAL POLICE OF NANGGROE
ACEH DARUSSALAM
(0651) 7555353
2. REGIONAL POLICE OF NORTH SUMA-
TRA
(061) 7870355
3. REGIONAL POLICE OF WEST SUMATRA (0751) 26972
4. REGIONAL POLICE OF JAMBI (0741) 7552958
5. REGIONAL POLICE OF SOUTH SUMA-
TRA
(0711) 374740
6. REGIONAL POLICE OF BENGKULU (0736) 51274
7. REGIONAL POLICE OF LAMPUNG (0721) 474184
8. REGIONAL POLICE OF RIAU (0761) 22474, 41995
9. REGIONAL POLICE OF BANGKA BELI-
TUNG
(0717) 439456
10. REGIONAL POLICE OF RIAU
(SUB-REGIONAL POLICE OF TANJUNG PINANG
(0771) 7282620
11. REGIONAL POLICE OF METRO JAYA (021) 474184
12. REGIONAL POLICE OF WEST JAVA (022) 7800173
13. REGIONAL POLICE OF CENTRAL JAVA (024) 8444709
14. REGIONAL POLICE OF D.I.YOGYAKARTA (0274) 883841
15. REGIONAL POLICE OF EAST JAVA (031) 8294007
16. REGIONAL POLICE OF BANTEN (0254) 228082, 228083
17. REGIONAL POLICE OF BALI (0361) 226783 EXT. 127
18. REGIONAL POLICE OF WEST NUSA
TENGGARA
(0370) 633508
19. REGIONAL POLICE OF EAST NUSA
TENGGARA
(0380) 829311
38. 15
NO. LOCATION HOTLINE NUMBER
20. REGIONAL POLICE OF SOUTH KALIM-
ANTAN
(0511) 3352270
21. REGIONAL POLICE OF CENTRAL KALI-
MANTAN
(0536) 3236366
22. REGIONAL POLICE OF EAST KALIMAN-
TAN
(0542) 411619
23. REGIONAL POLICE OF WEST KALIMAN-
TAN
(0561) 584465, 584463
24. REGIONAL POLICE OF SOUTH SU-
LAWESI
(0411) 514662
25. REGIONAL POLICE OF SOUTHEAST
SULAWESI
(0401) 3340744
26. REGIONAL POLICE OF NORTH SU-
LAWESI
(0431) 3344297
27. REGIONAL POLICE OF CENTRAL SU-
LAWESI
(0451) 455151
28. REGIONAL POLICE OF GORONTALO (0435) 838923
29. REGIONAL POLICE OF WEST SULAWESI
(SUB-REGIONAL POLICE OF MAMUJU)
(0426) 21110
30. REGIONAL POLICE OF MALUKU (0911) 353290
31. REGIONAL POLICE OF NORTH MALUKU (0921) 3126110
32. REGIONAL POLICE OF PAPUA (0967) 531834
33. REGIONAL POLICE OF WEST PAPUA
(SUB-REGIONAL POLICE OF MANOKWARI)
(0986) 212686
Source: Regional Police in 33 provinces.
Incidents of SEC may also be reported to local Sub-Regional Police/City Sub-
regional Police/Large City Police or Sector Police.
6. Putting in a clause in the established cooperation agreements about the willingness
of business partners (suppliers) and buyers/visitors to involve on the efforts for
The Prevention of SEC in Tourism.
7. Tourism entrepreneurs shall provide annual reports about the efforts on the
Prevention of SEC in their business places to Provincial and Regency/City
Culture and Tourism Service Offices, they may also be presented in their business
websites.
8. The sales of food and beverage products that are alleged as supportive means
of SEC shall be made under strict supervision and shall not be consumed by
children (e.g. alcohol drinks are strictly prohibited for children).
39. 16
SECTION III
THE PREVENTION OF SEXUAL EXPLOITATION OF CHILDREN IN TOURISM BY
GOVERNMENT APPARATUS
In order to optimize the role of the Government apparatus conducting the Preven-
tion of Sexual Exploitation of Children in Tourism, it is necessary to the following
measures:
1. The Prevention of Sexual Exploitation of Children in Tourism by the Ministry
of Culture and Tourism
Duties and Authorities of the Ministry of Culture and Tourism:
a. Planning, Review and Implementation of Guidelines on the Prevention
of SEC in Tourism
1) Making a planning on the Prevention of SEC in Tourism that contains
materials for formulation of Communication, Information and
Education in the form of modules, training, report, dissemination
documents, standard of making the printed and electronic
information.
2) Making a cross-sectoral review on the Prevention of SEC in Tourism with
related government and private institutions as well as non-government
organizations and higher education institutions.
3) Disseminating Guidelines on The Prevention of SEC in Tourism to
Provincial/Regency/City Culture and Tourism Service Offices, related
institutions, tourism industry actors, and the society.
b. Utilization of Activities in the Related Institution of Culture and Tourism
1) To include the materials of the Prevention of SEC in Tourism in “Tourism
Awareness” program.
2) To encourage the implementation of cultural and tourism activities in the
Province and The Regency/City at international, national, and local level
(calendar of events).
c. Empowerment of the Society
1) Giving recommendations to the Ministry of National Education to include
curriculum of the Prevention of SEC in tourism education and training
program.
2) Making policies that encourage the participation of community members
in the Prevention of SEC in Tourism.
d. Increased Roles of Institutional Coordination and Cooperation
To increase institutional coordination and cooperation of the Sub-Task Force
in Prevention and Children’s Participation in the central government in order
to strengthen the program of the Prevention of SEC in Tourism.
40. 17
e. Supervision and Evaluation of Program
1) Preparing Technical and Operational Guidance for Supervision and
Evaluation.
2) Providing periodical reports on the Prevention of SEC in
Tourism (annually and/or semi-annually) to the Coordinating
Minister for the People’s Welfare with copies to be delivered
to those in charge of Task-Force for Prevention and Children’s
Participation.
3) Publicizing the activities of the Prevention of SEC in Tourism in two
languages (English and Indonesian) which covering all activities for the
prevention as well as for handling the SEC cases through printed and
electronic media.
2. The Prevention of Sexual Exploitation Of Children in Tourism by Provincial
Culture and Tourism Service Offices
Duties and Authorities of Provincial Culture and Tourism Service Offices:
a. Planning and Review
1) Planning the program for the Prevention of SEC in Tourism covering
identification of potential occurrence of SEC in Tourism and mapping the
vulnerability of SEC in the Province.
2) Disseminating Guidelines on the Prevention of SEC in Tourism to
Provincial/Regency/City Culture and Tourism Service Offices, related
institutions, tourism industry actors, and the society.
b. Implementation of Policies
1) Formulating measures for the Prevention of SEC in Tourism.
2) Coordinating with related Service Offices in the Province on efforts for the
Prevention of Sexual Exploitation of Children in Tourism.
c. Utilization of Activities in the Environment of Culture and Tourism
1) To include the materials of the Prevention of SEC in Tourism in “Tourism
Awareness” program.
2) To encourage the implementation of cultural and tourism activities in the
Province and The Regency/City at international, national, and local level
(calendar of events).
d. Improved Tourism Image
Implementing the dissemination and coordination that have been
prepared by the central government in the development of child-
friendly tourism.
41. 18
e. Supervision and Evaluation of Program
1) Supervising and evaluating activities in the efforts for the Prevention
of SEC in Tourism using the identification map of community members
vulnerable to SEC in the Province.
2) Reporting the results of supervision and evaluation periodically to the
Minister of Culture and Tourism.
3. The Prevention of Sexual Exploitation Of Children in Tourism by Regency/
City Culture and Tourism Service Offices
Duties and Authorities of Regency/City Culture and Tourism Service
Offices:
a. Planning and Implementation
1) Planning the program for the Prevention of SEC in Tourism covering the
identification of potential occurrence of SEC in Tourism and mapping the
vulnerability of SEC in the Regency/City.
2) Disseminating Guidelines on The Prevention of SEC in Tourism in the
Regency/City.
b. Implementation of Policies
1) Coordinating the work program of the Prevention of SEC in Tourism with
related institutions and stakeholders concerning the Prevention of SEC
in Tourism in the Regency/City.
2) Disseminating the Prevention of SEC in Tourism to related institutions,
tourism industry actors, and the society in the Regency/City.
3) Disseminating the materials of the Campaign of The Prevention of SEC
in Tourism to tourism industry actors, related institutions, and community
members in the Regency/City.
c. Utilization of Activities in the Related Institution of Culture and Tourism
1) To include the materials of the Prevention of SEC in Tourism in “Tourism
Awareness” program.
2) Encouraging the implementation of cultural and tourism activities in
the Regency/City at international, national, and local level (calendar of
events).
3) Increasing participation of community members in the Prevention of SEC
in Tourism.
d. Empowerment of Society
1) Dissemination of policies that are received from the Province to related
institutions and educational institutions in The Regency/City.
42. 19
2) Implementation of curriculum policies in all educational levels.
e. Improved Tourism Image
Implementing the dissemination and coordination that have been prepared by
the central government in the development of child-friendly tourism.
f. Supervision and Evaluation of Program
1) Supervising and evaluating activities in the efforts for the Prevention
of SEC in Tourism using the identification map of community members
vulnerable to SEC in the Regency/City.
2) Reporting the results of supervision and evaluation periodically or at any
time if necessary to the Governor.
43. 20
SECTION IV
SUPERVISION AND EVALUATION
A. Supervision
The Prevention of SEC in Tourism shall be supervised in the methods as follows:
a. Preparing Technical and Operational Guidance for Supervising the
Prevention of SEC in Tourism containing indicators of success to measure
the performance of involved parties in the Prevention of SEC in Tourism. The
Technical and Operational Guidance for Supervising the Prevention of SEC
in Tourism in a Regency/City shall be prepared by the Regency/City Tourism
Service Office or the institution that deals with tourism in the Regency/City; in
a Province it shall be prepared by the Provincial Tourism Service Office or the
institution that deals with tourism in the Province; and in central government
it shall be prepared by the Ministry of Culture and Tourism.
b. Making clarification and verification of findings in the field based on Technical
and Operational Guidance on Supervision and Evaluation.
c. The results of clarification and verification of findings shall be used to prepare
work program for monitoring in the subsequent year.
d. Making periodical reports on the Prevention of SEC in Tourism with reporting
mechanism in stages; the Regency/City Culture and Tourism Service Office
or the institution that deals with tourism in the Regency/City shall make
reports to the Provincial Culture and Tourism Service Office, the Provincial
Culture and Tourism Service Office or the institution that deals with tourism
in the Province shall make reports to the Ministry of Culture and Tourism,
including to those in charge of Sub-Task Force for Children’s Prevention and
Participation.
e. Publicizing the activities of the Prevention of SEC in Tourism in order to
receive responses and/or inputs from the society.
B. Evaluation
1. Evaluating the implementation of Guidelines on The Prevention of SEC in
Tourism.
2. The evaluation as referred to in point a shall be conducted in cooperation with
tourism review institutions and child protection review institutions in order to
see the effectiveness of the implementation of Guidelines on The Prevention
of SEC in Tourism, the results of which shall be consulted/in harmony with the
Ministry of Culture and Tourism.
44. 21
SECTION V
CLOSING
The Prevention of Sexual Exploitation of Children in Tourism shall be the joint ef-
forts among government institutions, tourism industry actors and related stakeholders
and using the cross-sectoral and cross-regional approaches in handling problems at
national and regional levels. Synergic orientation among stakeholders shall become
the core of combating sexual exploitation of children in tourism, thereby being able to
enhance the roles of each party optimally.
THE MINISTER OF CULTURE AND
TOURISM,
Ir. JERO WACIK, SE