1. PENGANTAR MATA KULIAH MASA`IL FIQHIYYAH
A. Pendahuluan.
Pada masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, umat Islam apabila
menghadapi suatu persoalan langsung menanyakan kepada Raulullahshallallahu ‘alaihi wa
sallam, dan Rasul-lah yang langsung memberikan jawaban, terkadang dengan al-Qur‟an yang
turun berkenaan dengan masalah tersebut (sebagai jawaban), dan terkadang dengan sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ketiga bentuknya yakni
secara qauli (perkataan), fi’li(perbuatan), dan taqriri (ketetapan). Adakalanya pula
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunda masalah itu atau menunggu hingga turunnya
wahyu. Adapun bentuk jawab rasul, pada hakikatnya tidak terlepas dari petunjuk Ilahi, sesuai
firman Allah swt :
}
Artinya : “dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.[3]Ucapannya
itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)[4]. ” (QS. An-Najm : 3-4)
Namun, semuanya berubah setelah Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam meninggal dunia dan mengakibatkan terputusnya wahyu, sehingga para sahabat.
dalam menyelesaikan masalah-masalah yang memerlukan penjelasan hukumnya, menempuh
jalan sebagai berikut :
1. Mencari ketentuan hukumnya dalam al-Qur‟an.
2. Mencari ketentuan hukumnya dalam Sunnah Rasul Allah.
3. Memusyawarahkan masalah itu, di mana Khalifah mengundang para tokoh Shahabat untuk
dimintai pendapatnya tentang hukum masalah yang dihadapinya. Bila mereka mendapatkan kata
sepakat, maka Khalifah melaksanakan hasil musyawarah tersebut. Apabila tidak mendapat kata
sepakat, maka Khalifah mengambil alih dan menentukan yang kiranya dipandang lebih maslahat.
Dengan demikian, sumber hukum pada masa Shahabat adalah sebagai berikut :
1. Al-Wahyu (al-Qur‟an)
2. Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Al-Ijtihad dan al-Ra‟yu.
2. Al-Ra’yu menurut pengertian Shahabat meliputi pengertian : Dilalah al-Nash, al-Qiyas, al-
Istihsan, Saad al-Dzara’i, al-Mashlahah al-Mursalah dan lain-lain. Dasar inilah yang kemudian
diikuti dan dijadikan dasar oleh para Imam Mujtahidin dalam mengistinbath hukum. Sistematika
di atas terus berjalan sampai kepada para Imam Mujtahidin yang terkenal, di mana mereka
dalam menetapkan suatu hukum pada dasarnya tidak keluar dari prinsip-prinsip tersebut. Hal ini
disebabkan, sistematika tersebut sesuai dengan petunjuk Allah :
- }
Artinya : “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri
wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika
kamu tidak mengetahui, keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan
kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan“
Dalam ayat lain juga disebutkan ;
}
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.“
Juga dari petunjuk Rasululllah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (seperti terlihat dalam
Hadits dari Mu‟adz bin Jabal mengenai ijtihad), dan Atsar Shahabat :
}
Artinya : “diceritakan kepada kami oleh Hafs bin Umar dari Syu’bah dari Abi ‘Aun dari al-Harits
bin Amru bin Akhi al-Mughirah bin Syu’bah dari Anas ahli Himso dari keluarga Mu’adz, bahwa
ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengutus Mu’adz ke Yaman, kemudian
(Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata : bagaimana kamu memutuskan suatu perkara
3. apabila dihadapkan kepadamu suatu permasalahan?, (Mu’adz) berkata : aku memutuskan sesuai
dengan apa yang ada didalam Al-Qur’an, (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata : bila
tidak ada di dalam Al-Qur’an?, (Mu’adz) berkata : maka dengan sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata : bila tidak ada di dalam
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak juga dalam Al-Qur’an?, (Mu’adz)
berkata : maka aku berijtihad dengan akalku, (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata :
segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan yang di utus oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.”[1]
Pada masa Mujtahidin, sumber-sumber hukum Islam bertambah sesuai perkembangan dan
kebutuhan zaman, yang penambahan ini pada hakikatnya bukanlah sesuatu yang baru (bid’ah),
melainkan sebagai pengembangan dan penjabaran secara lebih konkrit dari sumber hukum
ketiga, yaitu al-Ijtihad wa al-Ra’yu yang telah diratifikasi oleh al-Qur‟an, al-Sunnah
dan Atsar Shahabat di atas. Sumber-sumber hukum yang bersifat ijtihadi ini dijadikan dasar dan
pedoman oleh para Imam Mujtahidin dan madzhabnya masing-masing. Dengan demikian
jelaslah, bahwa sumber-sumber hukum bagi semua madzhab ada yang sama dan ada yang
berbeda. Yang sama bahwa semua madzhab berdasarkan pada al-Qur‟an, Sunnah Rasul, al-
Qiyas dan Ijma‟. Sebab itu, keempat dalil tersebut oleh Ahli Ushul Fiqh disebut dalil
yang muttafaq ‘alaih, dengan mengenyampingkan adanya khilaf dari Imam Ahmad bin Hanbal
yang tidak mengakui Ijma‟ sebagai sumber hukum dengan alasan ketidak mungkinan terjadinya.
Semua kembali berubah setelah para imam madzhab telah meninggalkan dunia (wafat). Di mana
umat Islam terus menemui permalasahan-permasalahan baru yang dibutuhkan jawaban
hukumnya. Oleh karenanya, demi mempelajari cara untuk mencari jawaban-jawaban atas
permasalahan baru ini, di perguruan tinggi Islam, khsusnya konsetrasi syari‟ah diadakan mata
kuliah al-masa`il al-fiqhiyyah.
Al-mas`ail al-fiqhiyyah ( ) merupakan rangkaian dari dua lafazh,
yakni mas`ail dan fiqhiyyah. Hubungan dari kedua lafadz ini, dalam nahwudisebut
hubungan shifah dengan maushuf, atau na’at dengan man’ut. Lafadzmasail ( ) adalah
bentuk plural (jamak) dari mas`alatun ( ) yang bermakna masalah atau problem. Kata
dasarnya adalah sa`ala ( ) dan bermakna “bertanya”. Artinya, masa`il adalah masalah-
masalah baru yang muncul akibat pertanyaan-pertanyaan untuk dicari jawabannya. Adapaun
lafadzal-fiqhiyyah adalah berasal dari lafadz al-fiqhu yang artinya al-fahmu yang dirangkai
dengan ( ) yang huruf ( ) berfungsi membangsakan. Jadi al-masa`il al-fiqhiyah menurut
pengertian bahasa adalah, “permasalahan-permasalahan baru yang bertalian dengan masalah-
4. masalah atau jenis-jenis hukum (fiqh) dan dicari jawabannya.” Berdasarkan definisi secara
kebahasaan di atas, maka secara istilah, al-masa`il al-fiqhiyah adalah problem-problem hukum
Islam baru al-waqi’iyyah (faktual) dan dipertanyakan oleh umat jawaban hukumnya karena
secara eksplisit permasalahan tersebut tidak tertuang di dalam sumber-sumber hukum Islam.
B. Isi Kajian al-Masa`il al-Fiqhiyyah.
Isi kajian al-masa`il al-fiqhiyyah di dalam buku ini menyangkut kajian di dalam kesyari‟ahan.
1. Kompetensi Mata Kuliah.
Mahasiswa memahami dengan baik tentang problema-problema yang timbul dalam Fiqh Islam
memberikan kemampuan untuk membahas dan memecahkan masalah-masalah Fiqh yang aktual
dan memasyarakatkannya dengan pendekatan yang luas, yang tidak hanya terfokus pada teks-
teks fiqh klasik akan tetapi juga pada pendekatan-pendekatan rasional lainnya, seperti
pendekatan sosiologis, politis, dll.
2. Deskripsi Mata Kuliah.
Mata Kuliah ini meliputi kajian tentang, pengantar MK masail fiqhiyyah; Kementerian Agama
sebagai rumah ijtihad kolektif di Indonesia; infotainment; daur ulang air limbah dan
air mutanajjis; bank ASI; pola hidup konsumtif; standar upah yang adil; feminisme dalam Islam;
memberi uang untuk menjadi PNS; zakat sebagai bagian dari sumber PAD (Pendapatan Asli
Daerah); penyembelihan hewan sapi dengan niat kurban dan „aqiqah; transaksi jual-beli di
supermarket dan elektrik; pembunuhan dengan daya paksa (overmacht); kupon berhadiah di
departemen store; nikah di bawah tangan; penyitaan harta debitur yang wanprestasi; Islam,
Pancasila, demokrasi dan HAM; nikah beda agama; grasi; dan bid’ah.
Langkah -Langkah Penyelesaian Masail Fiqhiyah[3]
Dasar –dasar penyelesaian masalah dalam bentuk beberapa kidah penting
1. Menghindari sifat taqlid dan fanatisme
Upaya menghindarkan diri dari fanatisme mazhab tertentu dan taqlid buta terhadap pendapat ulama klasik
seperti pendapat Umar bin al-Khattab, Zaid bin Tsabit atau pendapat ualama moderen, kecuali ia adalah
seorang yang bodoh dan telah melakukan kesalahan. Pelakunya disebut muqallid yang dilawankan
dengn muttabi’. Yaitu muttabi‟ dengan kriteria sebagai berikut :
Menetapkan suatu pendapat yang dianutnya dengan dalil-dalil yang kuat, diakui dan tidak
mengundang kontroversi.
Memiliki kemampuan untuk mentarjih beberapa pendapat yang secara lahiriyah terjadi perbedaan
melalui perbandingan dalil-dalil yang digunakan masing-masing.
Diharapkan memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan berijtihad terhadap hukum persoalan
tertentu yang tidak didapati jawabannya pada ulama terdahulu.
2.Prinsip mempermudah dan menghindarkan kesulitan
5. Kaedah ini patut diperlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan nash qath‟i atau kaidah syari‟at yang
bersifat pasti. Dengan dua pertimbangan sebagai berkut:
Bahwa keberadaan syari‟at didasarkan kepada prinsip mempermudah dan menghindarkan kesulitan
manusia seperti sakit, dalam perjalanan, lupa, tidak tahu dan tidak sempurna akal. Taklif Allah
atas hambanya disesuaikan dengan kadar kemampuan yang dimiliki.
Memahami situasi dan kondisi suatu zaman yang dialami pada saat munculnya persoalan. Adapun
kriteria maslahat sebagaimana yang biasa dikenal adalah menrealisasikan lima kepentingan pokok
dan disebut dengan darurat khomsa, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal,
memelihara harta, memelihara keturunan.
3.Berdialog dengan masyarakat melalui bahasa kondisi masanya dan melalui pendekatan persuasif aktif
serta komunikatif.
Ketentuan hukum yang akan diputuskan harus disesuaikan masyarakat yang diinginkannya dan
menggunakan bahasa layak sebagaimana bahasa masyarakat dimana persoalan itu muncul. Bahasa
masyarakat yang ideal :
bahasa yang dapat dipahami sebagai bahasa sehari-hari dan mampu menjangkau pemahaman
umum.
Menghindarkan istilah-istilah rumit yang mengundang pengertian kontroversi.
Ketetapan hukum bersifat ilmiah karena didasarkan pertimbangan hikmah, illat, filisofis dan Islami.
4.Bersifat moderat terhadap kelompok tekstualis dan kelompok kontekstualis.
Dalam merespon persoalan baru yang muncul, ulama bersandar kepada al-nash sesuai bunyi literal ayat
tanpa menginterpretasi lebih lanjut diluar teks itu. Dipihak lain, kelompok kontekstualis lebih berani
menginterprestasikan produk hukum al-nash dengan melihat kondisi zaman dan lingkungan. Sementara
kelompok ini dinilai terlalu berani bahkan dianggap melampaui kewenangan ulama salaf yang tidak
diragukan kehandalannya dalam masalah ini. Menurut mereka perbedaan masa, masyarakat, geografis,
pemerintahan dan perkembangan teknologi moderen patut dipertimbangkan serta layak mendapat
perhatian.
5.Ketentuan hukum bersifat jelas tidak mengandung interpretasi.
Bahasa hukum relatif tegas dan membutuhkan beberapa butir alternatif keterangan dan diperlukan
pengecualian-pengecualian pada bagian tersebut. Pengecualian ini merupakan langkah elastis guna
menjangkau kemungkinan lain diluar jangkauan ketentuan yang ada. Misalnya ketentuan hukum potong
tangan terhadap pencuri sebuah barang yang telah mencapai nisab. Umar bin Khatthab pernah tidak
memberlakukan hukum ”had” atau potong tangan terhadap pencuri barang tuannya, karena sang tuan pelit,
dan tidak membayar upah si pelayan, maka ia memcuri barang sang tuan demi kebutuhan mendesak yaitu
kelaparan.
6. A. Pengertian Masailul Fiqh
Masail dalam bahasa arab merupakan jamak taksir dari kata masalah yang artinya perkara (persoalan).
Masalah adalah ketimpangan antara teori dan kenyataan. Masalah timbul karena adanya tantangan, adanya
kesangsian ataupun kebingungan kita terhadap suatu fenomena , adanya kemenduaan arti (ambiguity), adanya
halangan dan rintangan, adanya celah (gap) baik antarkegiatan atau antarfenomena, baik yang telah ada
ataupun yang akan ada.
Fiqh secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam tentang hukum-hukum islam. Secara
terminologi berarti :”mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-
dalilnya yang terperinci.
B. FAKTOR-FAKTOR KEMUNCULAN MASAILUL FIQHIYAH
a. Kondisi Geografis
Setiap daerah di belahan dunia ini pasti memiliki kondisi geografis yang
berbeda. Ada yang memiliki udara tropis, subtropics dan sebagainya.
Perbedaan kondisis seperti ini lah yang akan memunculkan masalah yang
berbeda-beda pula, terutama fiqh. Contohnya, pada kondisi daerah yang abnormal,
persoalan yang muncul dari keadaa dan letak geografis itu antara lain:
Hukum bertayamum pada daerah yang kekeringan(tandus) yang kesulitan air.
Hukum atau tehnik pelaksanaan sholat dan puasa pada geografis yang
abnormal dalam hal penentuaan waktu.
Pelaksanaan pernikahan via telfon, internet, transaksi muamalat dan
seterusnya pada kondisi yang tidak memungkinkan untuk bertemu langsung.
b. Struktur dan pola budaya masyarakat
Keberadaan suatu kebudayaan tidak bisa dipisahkan dari masyarakat dan
dengan demikian kehadiran syari’at dalam hal ini hukum Islam (fiqh) tidak serta
merta menggantikan posisi kebudayaan yang telah melekat pada masyarakat.
Didalam masyarakat yang sangat kental dengan nilai-nilai budayanya sangat sulit
diterapkan nilai-nilai agama terutama sudut fiqihnya.
7. Apabila terjadi pembenturan antara keduanya, maka akan timbul persoalan
baru yang kemudian disebut ‘masailul fiqhiyah’. Beberapa contoh dalam masalah ini
antara lain;
Masalah pembagian harta warisan pada daerah tertentu.
Upacara sesajen untuk keselamatan dan berkah.
Budaya dangdutan yang dipaksakan demi khormatan sampai-sampai
menghutang untuk resepsi pernikahan.
Budaya tukar cincin sebelum khitbah (lamaran) yang telah dianggap telah sah
bergaul bebas.
c. Perkembangan Teknologi
Dewasaini kemajuan ilmu pengetahuan menunjukan prestasi yang cukup
signufikan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern selalu aktif
menuju sasaran tepat dan berdampak positif sekaligus negative. Hasil kemampuan
IPTEK dalam sekop umuum adalah salah satunyya computer. Alat ini dapat
menunjukan arah kiblat, puasa, perhitungan zakat, warisan dan lainnya.
Faktor Penyebab Masalah Fiqh
1. Perbedaan Qiraat : yaitu perbedaan tentang arti dari kata disetiap
ayat yang berbeda.
2. Adam al-Ittila ala al-hadist : adanya hadist yang belum ditelaah oleh
sebagian sahabat karena secara real pengetahuan mereka dalam hal ini tidak
sama. Dan keadaan seperti ini merupakan sesuatu yang wajar, sebab tidak
selamanya para sahabat pada waktu yang sama dapat
menyertai Rasulullah SAW, disamping itu dari sisi tingkat kecerdasannnya
pun berbeda pula.
3. Adanya Syak atau keraguan dalam menetapkan hadist : Setiap ada
hadist atau riwayat yang datang, tidak langsung dapat di amalkan begitu saja
sebelum dipersaksikan di depan para sahabat lain agar menjaga
8. otentisitasnya dapat dipertanggung jawabkan bahwa hadist tersebut benar-
benar berasal dari Rasulluloh SW.
4. Perbedaan dalam memahami nash dan perbedaan penafsirannya.
5. Adanya lafadz Musytarak : yaitu lafadz yang memiliki dua makna atau
lebih.
6. Ta’arud al-Adillah : adanya dalil-dalil yang secara lahiriah kontradiktif.
Sesungguhnya dalil-dalil yang dijadiakan landasan para ulama dalam
menyelesaikan suatu kasus bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist, hanya saja
karena sudut pandang mereka berbeda sesuai dengan perbedaan latar
belakang mereka masing-masing, maka berbeda pula h
B. Ruang Lingkup Masailul Fiqh
Kajian masailul fiqh tidak hanya membahas persoalan fiqh (hukum islam) saja. Tetapi juga membahas
persoalan aqidah (kepercayaan), persoalan akhlaq (moral).
C. Tujuan Mempelajari Masailul Fiqh
1) Untuk beribadah
2) Untuk mengetahui dan mengidentifikasi masalah-masalah fiqh yang berkembang ditengah masyarakat
3) Untuk mengkaji dan merumuskan persoalan-persoalan atau permasalahan yang bersifat amaliyah
D. Manfaat Mempelajari Masailul Fiqh
a) Menambah wawasan bagi intelektual dalam menyelesaikan suatu permasalahan fiqh kontempore
b) Menjawab persoalan yang ada
c) Menjawab pertanyaan masyarakat
E. Penyebab Suatu Masalah
9. Penyebab timbulnya suatu masalah klasik dalam masailul fiqh adalah :
a. Karena ulama berbeda dalam memahami makna-makna lafaz dalam bahasa arab yang bersifat mujmal/
musytarak, dikeragui umum atau khusus dan dikeragui mana yang hakiki atau maknawi
b. Perbedaan cara meriwayatkan suatu hadis
c. Karena perbedaan rujukan atau sumber
d. Karena perbedaan menetapkan kaidah-kaidah ushul
e. Karena perbedaan dalam menanggapi adanya pertentangan antara dalil atau cara mentarjihnya.
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah ada beberapa penyebab timbulnya masailul fiqh yaitu: waktu,
tempat, kondisi sosial, niat, adat istiadat yang berlaku.
F. Cara Menyelesaikan Permasalahan Fiqh
Masalah keagamaan yang aktual (baru) lebih banyak menggunakan metode ijtihad daripada metode
istinbath. Metode ijtihad yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah masalah-masalah yang tidak ada
ketentuannya dalam nash, sedangkan dihadapi dan dilakukan oleh umat islam karena sangat dibutuhkan dalam
kelangsungan hidupnya. Tetapi metode istinbath adalah upaya maksimal untuk menarik suatu ketentuan
hukum dari nash yang ada baik nash al-quran maupun hadis.
Jadi pembahasan masailul fiqh lebih banyak menggunakan metode ijtihad daripada metode istinbath
karena kebanyakan masalahnya tidak ditemukan ketentuannya dalam nash.
Abdul al-Qadir Ahmad ’Ata mengatakan, pembahasan masalah aktual yang tidak ada nashnya sekurang-
kurangnya ada tiga macam cara yang harus dilakukan ketika menentukan hukumnya dengan metode ijtihad
yaitu :
a. Harus selalu menjaga dasar-dasar aqidah islam, yaitu tidak boleh ada produk hukum yang dapat melemahkan
tau merusaknya, sehingga dapat menggantikan dengan kepercayaan yang musyrik atau atheis.
b. Harus menghindari dan menolak perbuatan sesat yang pernah dilakukan oleh ahlul kitab atau orang musyrik.
c. Harus selalu mengutamakan kehidupan yang bermoral