Gambaran klinis pasien TB dengan HIV/AIDS tergantung dari derajat berat ringannya. Pemeriksaan sputum BTA tetap penting untuk diagnosis TB meskipun di daerah dengan prevalensi HIV tinggi. Pemberian terapi TB dan ARV harus mempertimbangkan jumlah CD4 dan interaksi antar obat.
2. Latar Belakang
AIDS ( Acquired Immunodeficiency Syndrome ) merupakan
masalah global yang penting dan merupakan masalah yang
sangat kompleks telah mengalami suatu pandemi virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus) sebagai penyebab AIDS.
Menurut data UNAIDS (United Programmes on HIV AIDS) yaitu
badan WHO dunia yang menanggulangi permasalahan AIDS
memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari 34 juta
orang di dunia sejak tahun 1981 dan menjadikannya sebagai
suatu destruksi pandemik yang terbesar dalam sejarah manusia.
3. Penyakit Tuberkulosis (TB) sejak lama merupakan penyakit
menular yang endemis di Indonesia.
Antara TB dan HIV mempunyai hubungan yang kuat karena
dengan infeksi HIV maka angka penyakit TB mengalami
peningkatan lagi. Tuberkulosis paru merupakan infeksi
oportunistik yang paling sering terjadi pada penderita HIV.
4. HIV ( Human Immunodeficiency Virus )
Istilah HIV telah digunakan sejak 1986 sebagai nama untuk
retrovirus yang diusulkan pertama kali sebagai penyebab AIDS
oleh Luc Montagnier dari Perancis, yang awalnya
menamakannya LAV (lymphadenopathy-associated virus) dan
oleh Robert Gallo.
5. Epidemiologi HIV
Dari semua wilayah di dunia, sub-Sahara Afrika adalah yang
paling sering terjangkit HIV, yang mengandung sekitar 70% dari
orang yang hidup dengan HIV. Sebagian besar negara di Asia
tidak melihat ledakan epidemi pada masyarakat umum sampai
sekarang tapi penggunaan narkoba dan pekerja seks mulai
meningkat
6. Risiko Penularan dan Transmisi
Penularan HIV membutuhkan kontak dengan cairan tubuh
khususya darah, air mani, cairan vagina, air susu ibu, air liur, atau
eksudat dari luka atau kulit dan mukosa yang mengandungi
virion bebas atau sel yang terinfeksi. Transmisi umumnya oleh
perpindahan cairan tubuh secara langsung melalui hubungan
seksual, berbagi jarum yang terkontaminasi darah, persalinan,
menyusui dan prosedur medis seperti transfusi dan paparan
instrumen yang terkontaminasi.
7. Sel limfosit CD4 merupakan target utama pada infeksi HIV. Sel ini
berfungsi sentral dalam sistem imun. Pada mulanya sistem imun
dapat mengendalikan infeksi HIV, namun dengan perjalanan dari
waktu ke waktu HIV akan menimbulkan penurunan jumlah sel
limfosit CD4, terganggunya homeostasis dan fungsi sel-sel
lainnya dalam sistem imun tersebut.
8. Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan
Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang
Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis (<50.000/ml)
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)
Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu*
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis*
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
9. Tuberkulosis (TBC)
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health
Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai
« Global Emergency ». Laporan WHO tahun 2012 menyatakan
bahwa terdapat 8,7 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun
2012, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam)
positif.
10. Patogenesis
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan
bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu
sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek
primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja
dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang
primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju
hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh
pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis
regional).
11. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai
berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali
(restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain
sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara Perkontinuitatum, secara bronkogen,
hematogen dan limfogen
12. Klasifikasi TBC
Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis Paru BTA (+)
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak
menunjukkan hasil BTA positif. Hasil pemeriksaan satu
spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan
radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
Tuberkulosis Paru BTA (-)
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan
tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan
BTA negatif dan biakan M. tuberculosis positif
13. Berdasarkan Tipe Pasien, ditentukan berdasarkan riwayat
pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu :
Kasus baru
Kasus kambuh (relaps)
Kasus defaulted atau drop out
Kasus gagal
Kasus kronik / persisten
Berdasarkan Pemeriksaan dahak, Tuberkulosis paru dibagi
menjadi :
14. Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang
organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, kelenjar getah
bening, selaput otak, perikard, tulang, persendian, kulit, usus,
ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain. Diagnosis
sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi.
15. Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala
klinik, pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik,
radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya
17. Pemeriksaan Bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman
tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam
menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas
indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan.
18.
19. • Hubungan HIV dengan TB
Epidemiologi TB pada Pasien HIV
Risiko berkembangnya tuberkulosis (TB) diperkirakan antara 21-
34 kali lebih besar pada orang yang hidup dengan HIV
dibandingkan mereka tanpa infeksi HIV. Pada tahun 2012 ada 8,7
juta kasus baru TB, dimana 1,1 (13%) juta antara orang yang
hidup dengan HIV dan orang yang meninggal akibat TB 430.000
(24%) hidup dengan HIV.
20. Patogenesis TBC pada Pasien HIV
Infeksi TB terjadi ketika orang dengan karier basil TB dalam
tubuhnya, tetapi bakteri yang ada dalam jumlah kecil dan
dorman. Dorman bakteri ini diatur oleh mekanisme pertahanan
tubuh, sehingga tidak menyebabkan penyakit. Pada pasien
dengan HIV terjadi penurunan imunitas tubuh sehingga bakteri
TB dengan mudah dapat menyerang.
21. Diagnosis TBC dengan HIV
Gambaran klinis pasien TB dengan HIV/AIDS tergantung dari
derajat berat ringannya. Pada saat awal ketika imunitas masih
baik gejala TB tidak banyak berbeda dengan pasien TB tanpa
HIV. Misalnya terdapat keluhan batuk-batuk, demam terutama
sore hari, keringat malam, nafsu makan berkurang, berat badan
turun dan batuk darah. Bila proses telah berlanjut dengan
imuniti sangat rendah maka gambaran klinik menjadi tidak khas
lagi.
22. Berikut ini adalah alur diagnosis TB pada pasien HIV positif:
23. Terapi TB pada pasien HIV
Kondisi Rekomendasi
CD4 < 200 sel/mm3 Mulai terapi OAT, mulai terapi ARV segera setelah terapi
TB dapat ditoleransi (antara 2 minggu hingga 2 bulan)
CD4 200-350 sel/mm3 Mulai terapi OAT
Pertimbangan ARV:
-mulai salah satu dibawah ini setelah selesai fase intensif
(mulai lebih dini dan bila penyakit berat):
-Paduan yang mengandung EFV (AZT atau d4T)+3TC+EFV
(600 atau 800mg/hari) atau
-Paduan yang mengandung NVP bila paduan TB fase
lanjutan tidak menggunakan rimfapisin (AZT atau
d4T)+3TC+NVP
CD4 > 350 sel/mm3 Mulai terapi TB. (tunda ARV)
CD4 tidak mungkin diperiksa Mulai terapi TB (perimbangan ARV)
24. 1. Bila TB terdiagnosa pada awal 6 bulan inisiasi ARV, harus
dianggap sebagai kegagalan terapi ARV. Regimen harus
disesuaikan dengan pemberian rifampisin
2. Bila TB didiagnosa setelah terapi inisiasi ARV 6 bulan, sehingga
evaluasi harus dilakukan untuk mengeksklusi kegagalan ARV,
yaitu:
jumlah CD4
menilai kepatuhan terapi, bila kepatuhan baik perlu
pemeriksaan spesimen viral load dan/atau resistensi HIV
menilai keadaan klinis dan bukti imulologis lain kegagalan terapi
bila tidak bisa melakukan pemeriksaan CD 4, bila TB paru maka
bukan kegagalan ARV, bila TB ekstra paru maka merupakan
kegagalan ARV
25. Regimen ARV bila Ditemukan TB Paru pada Pasien dengan ARV
dan Mendapat OAT dengan Rifampisin
26. Ringkasan
Gambaran klinis pasien TB dengan HIV/AIDS tergantung dari
derajat berat ringannya.
Gejala klinik mengarah dan atau curiga pada TB-HIV, bila
dijumpai proses perburukan klinis yang berlangsung sangat
cepat.
Pemeriksaan sputum BTA tetap merupakan pemeriksaan paling
penting dalam penegakan diagnosis TB, walaupun di daerah
dengan prevalensi HIV tinggi.
27. Pemeriksaan radiologis untuk menegakkan diagnosis penting
sebagai pemeriksaan penunjang.
Pada pasien HIV/AIDS terdapat korelasi antara imunosupresi
yang berat dengan derajat penyerapan, karenanya dosis
standar OAT yang diterima suboptimal sehingga konsentrasi
obat rendah dalam serum.
Paduan obat yang diberikan berdasarkan rekomendasi ATS
yaitu: 2 RHZE/RH diberikan sampai 6-9 bulan setelah konversi
dahak. INH diberikan terus menerus seumur hidup.
28. Waktu pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus
memperhatikan jumlah limfosit CD4 dan sesuai dengan
rekomendasi yang ada.
Dengan perubahan sistem imun karena ARV, pasien dengan HIV
lebih jarang berkembang menjadi TB selama mendapat terapi
ARV.
Pada prinsipnya, pemberian OAT pada odha tidak berbeda
dengan pasien HIV negatif. Interaksi antar OAT dan ARV,
terutama efek hapatotoksisitasnya, harus sangat diperhatikan.